Anda di halaman 1dari 11

Nama : Mieta Hammalah Khairiyah Supit

Nim : 11000121140502
Mata Kuliah : Hukum Dan Hak Asasi Manusia – K
Dosen Pengampu : Dr. Elfia Farida, S.H., M.Hum.

TUGAS 2
RESUME MATERI
Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat

I. Pengadilan HAM
Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana
yang diamanatkan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A – J UUD 1945 dan
dipertegas lagi pada Pasal 71 – 72 UU No. 39 Tahun 1999. Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang
diatur dalam UU tersebut serta peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang
HAM yang diakui di Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM melalui
Pengadilan HAM. Mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM Berat didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang – Undang ini
merupakan hukum formil dari Undang – Undang No. 39 Tahun 1999. Undang-undang ini
mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan dengan Pengadilan HAM.
Lembaga pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang selanjutnya
disebut dengan pengadilan HAM yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan hak asasi manusia merupakan wujud nyata yang dilakukan
pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dari segala
ancaman mengingat bahwa hak asasi manusia merupakan hak asasi yang bersifat
fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Perlindungan terhadap hak
asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara indonesia merupakan kewajiban
konstitusional negara. sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa Negara wajib melindungi hak asasi
seluruh warganya guna terciptanya ketentraman, keadilan serta mewujudkan negara hukum
yang sesungguhnya. Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan yang memeriksa
dan mengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pelanggaran hak
asasi manusia terdiri dari genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Pasal 8 Undang - Undang Nomor 26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
memberikan definisi tentang kejahatan genosida. Genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota
kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh maupun sebagian.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok;
atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan definisi terhadap kejahatan
kemanusiaan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h. Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan appertheid.
Berdasarkan subtansi Undang- Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM di
tentukan bahwa tidak semua pelanggaran HAM yang berat dapat diselesaikan melalui
pengadilan HAM. Akan tetapi, pengadilan HAM hanya terbatas memeriksa dan memutus
perkara pelanggarah HAM yang berat (pasal 4). Pengadilan HAM juga tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Cara menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu
melalui Pengadilan yang berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Untuk menyatakan bahwa perbuatan hukum merupakan suatu tindak pidana pelanggaran
HAM berat perlu adanya penyelidikan terlebih dahulu. Melihat Pasal 18 ayat (1), lembaga
yang memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Mekanisme penyelesaian
berawal dari Penyelidikan yang dilakukan oleh KOMNAS HAM. Selanjutnya, merujuk Pasal
19 ayat (1) huruf b KOMNAS HAM dapat menerima laporan atau pengaduan seseoarang
atau kelompok orang tentang terjadinya suatu peristiwa pelanggan HAM berat.
Setelah KOMNAS HAM menentukan bahwa terjadi pelanggaran HAM Berat, KOMNAS
HAM membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KKP) HAM. Selanjutnya melihat pasal
21 ayat (1) jo. Pasal 23 ayat (1), bahwa proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh
Jaksa Agung. Proses selanjutnya melalui tahap Pengadilan.
Mekanisme proses penyelesaian pelanggaran HAM berat menurut UU No. 26 Tahun
2000 adalah sebagai berikut :
1. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh lembaga
independen. Dalam penyelidikan, penyelidik berwenang :
1) Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran berat HAM.
2) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti.
3) Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya.
4) Memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya.
5) Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya
jika dianggap perlu.
6) Memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
7) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat,
penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam
hubungan dengan penyelidikan.
2. Penyidikan
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam
pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri
atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya,
penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing- masing.

Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil


penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidikan dapat
diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya dan dapat
diperpanjang lagi 60 hari. Jika dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga
terselesaikan, maka dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa
Agung.
3. Penuntutan

Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat


penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan
diterima.
4. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis hakim
Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM
dan 3 orang hakim Ad Hoc. Syarat – syarat menjadi Hakim Ad Hoc :
1) Warga Negara Indonesia

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


3) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
4) Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang
hukum
5) Sehat jasmani dan rohani
6) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
7) Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
8) Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang Hak asasi manusia
Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 90 hari
terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari
sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.

II. Pengadilan HAM Ad Hoc


Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26
Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU
No. 26 Tahun 2000. Pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) dijumpai istilah “pengadilan HAM
ad hoc”, sebagai berikut:
Undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM Ad Hoc, ditugaskan untuk
menyelesaikan persoalan transitional justice, yaitu mengadili pelaku pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi di masa lalu (restrospektif). Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan
berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat sebelum
diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc berada di
lingkungan pengadilan umum dan memiliki beberapa karakteristik, seperti:
 Tidak permanen
Pengadilan HAM ad hoc hanya dibentuk untuk sementara waktu dan dikhususkan untuk
menangani perkara tertentu.
 Berdasarkan peristiwa tertentu
Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Meskipun pengadilan HAM ad hoc bertujuan untuk memperlindungi hak asasi manusia,
penegakan keadilan diperkirakan sulit tercapai dalam beberapa kasus. Hal ini menyebabkan
bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, baik yang terjadi di masa lalu maupun
masa kini, terhambat.
Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc menurut pasal 43 UU No.
26/2000 adalah:
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.
3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya yakni “Pemeriksaan
di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang undang ini”
Mengutip pendapat Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, dalam buku Pengadilan Hak Asasi
Manusia di Indonesia yang ditulis oleh R. Wiyono, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
adalah melalui mekanisme sebagai berikut :
 Atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1), KOMNAS HAM
melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum
berlakunya UU Pengadilan HAM;
 Hasil penyelidikan tersebut oleh KOMNAS HAM diserahkan kepada Jaksa Agung dan
jika sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Ayat (1), Jaksa Agung selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan oleh
KOMNAS HAM yang dimaksud dengan melakukan penyidikan;
 Jika ternyata hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat-alat bukti bahwa telah
terjadi pelanggaran HAM yang berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, maka
hasil penyidikan tersebut dengan melalui Presiden, oleh Jaksa Agung diberitahukan
kepada DPR dengan permintaan agar DPR mengajukan usul kepada Presiden agar
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; dan
 Jika DPR setuju atau sependapat dengan permintaan dari Jaksa Agung, maka sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dala Pasal 43 ayat (2), DPR mengajukan usul
kepada Presiden agar dikeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan
HAM Ad Hoc
Artinya, adanya Pengadilan HAM Ad Hoc setelah Presiden membentuk Keputusan
Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
III. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah fenomena yang timbul di era transisi
politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim sebelumya. Pemerintahan
transisi berusaha menjawab masalah tersebut dengan mencoba mendamaikan kecenderungan
menghukum di satu sisi dengan memberi maaf atau amnesti di sisi yang lain. Sebagai “jalan
tengah” tentu saja upaya demikian tidak memuaskan banyak pihak terutama korban, keluarga
korban, dan organisasi masyarakat sipil tetapi cara inilah yang dapat dilakukan mengingat
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya mengandung
dimensi politik, psikologis dan hukum yang sangat kompleks. Sejak kemunculannya pertama
kali di Argentina dan Uganda pada medium 1980-an, KKR telah menjadi fenomena
internasional. Lebih dari 20 negara telah memilih jalan mendirikan KKR sebagai cara
mempertanggungjawabkan kejahatan hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa
lampau. Beberapa diantaranya berhasil meskipun sebagian juga mengalami kegagalan.
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta pertanggungjawaban
rezim atas pelanggaran HAM berat di masa lalu secara teoretis diyakini banyak aktivis pro
demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin sebuah bangsa dapat hidup
bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan kekerasan. Proses transisi menuju
demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Pemerintahan yang baru harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan detak nadi
kehidupan, menciptakan ulang ruang nasional yang damai dan layak dihuni, membangun
semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan mengurung
kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.
Hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) melalui UU No. 27 Tahun 2004
(UU KKR) menjadi salah satu langkah alternatif yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dalam menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah
sebuah komisi yang ditugaskan untuk menemukan dan mengungkapkan pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh suatu pemerintahan, dengan harapan
menyelesaikan konflik yang tertinggal dari masa lalu. Dengan berbagai nama, komisi ini
kadang-kadang dibentuk oleh negaranegara yang muncul dari masa-masa pergolakan
internal, perang saudara, atau pemerintahan yang dictator. KKR sendiri merupakan lembaga
independen dan ekstra yudisial yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas
pelanggaran HAM yang berat yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusian
sebagaimana dimaksud UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan melaksanakan
rekonsiliasi. Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjelaskan yaitu;
(1) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak
menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi;
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk
dengan undangundang (Penjelasan Pasal 43 dan 47 menerangkan: “ Ketentuan dalam
Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan di luar Pengadilan HAM”).
Komisi ini berorientasi pada penyelidikan kasus masa lampau dalam jumlah besar,
dibentuk dalam waktu sementara, selama satu periode tertentu yang telah ditentukan
sebelumnya, dan memperoleh beberapa jenis kewenangan sebagai upaya melukiskan seluruh
pelanggaran HAM selama satu periode tertentu (Suparman Marzuki, 2010). Misi daripada
komisi ini adalah melakukan rekonsiliasi. Misi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa
rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran HAM membutuhkan pengungkapan
kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Oleh karena itu, memberikan
kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadiankejadian
penting yang berhubungan dnegan pelanggaran HAM di masa lalu merupakan hal yang
penting. Inilah fondasi untuk mengungkap kebenaran demi menegakkan keadilan. Melihat
Pasal 3 UU KKR, tujuan dari pembentukan KKR, yaitu :
a. Menyelesaikan pelanggaran hak asasi Manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu di
luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa;
b. Mewujudkan rekonsiliasi dan perastuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Selain itu
adanya KKR merupakan langkah sebagai hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui KKR dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdaiaman dan persatuan bangsa.
Dasar hukum munculnya KKR di Indonesia adalah Tap MPR No.V/MPR/2000 (Bab I-
huruf B alinea dua, dan Bab V), dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal
47 dan penjelasannya). Secara garis besar kedua instrumen tersebut menentukan hal-hal
sebagai berikut :
Pertama, Tap MPR No.V/MPR/2000 berisi 3 pokok:
a. Perintah pembentukan KKR dengan tugas menegaskan ke-benaran dan melaksanakan
rekonsiliasi.
b. Penegakan kebenaran tersebut. harus dilakukan dengan 2 cara, yaitu mengungkap terlebih
dulu penyalahgunaan kekuasaan dan membuka pelanggaran HAM pada masa lampau.
c. Pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, penegakan hukum, amnesti,
rehabilitasi, atau menempuh alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan
dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Kedua, UU Nornor: 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berikut penjelasannya
memuat 2 hal, yaitu:
a. Terbukanya peluang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme KKR
merupakan alternatif dari pengadilan HAM.
b. KKR yang akan dibentuk adalah institusi ekstra yudisial yang bertugas mengungkap
pelanggaran HAM masa lalu, yang kemudian melakukan rekonsiliasi.
Keinginan menggunakan KKR sebagai cara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
masa lalu semakin kuat dengan diundangkannya UU Nomor: 27 tahun 2004 tentang KKR.
UU ini dibentuk dengan asas: (a) Kemandirian; (b) Bebas dan tidak memihak; (c)
Kemaslahatan; (d) Keadilan; (e) Kejujuran; (f) Keterbukaan; (g) Perdamaian; dan (h)
Persatuan bangsa. Sedang tujuan yang hendak dicapai melalui UU ini adalah menyelesaikan
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan, guna
mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa.
Dalam kurun waktu empat tahun setelah disahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, maka dikeluarkanlah UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi setelah keluar mandat TAP MPR No. V/MPR/2000 dan UU N0. 26 Tahun
2000. Namun sayangnya pada 7 Desember 2006 UU KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK), hal ini berdasarkan Putusan Perkara No 006/PUU-IV/2006. Yang
menyatakan bahwa Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD NRI 1945. Akan tetapi
karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut,
maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi
tidak mungkin untuk dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Rahayu, S. M. (2009). Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Mahrus Ali & Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM BERAT In Court System &
Out Court System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011.
Fadli Andi Natsif, Perspektif Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat, Jurisprudentie, Vol. 3 No. 2 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai