Anda di halaman 1dari 34

PENGADILAN HAM

LATAR BELAKANG
BANYAKNYA PELANGGARAN HAM YANG TERJADI
SELAMA PEMERINTAHAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU.
PENGADILAN UMUM TIDAK BISA DITERAPKAN KARENA
KARAKTER PELANGGARAN HAM BERBEDA DENGAN
KEJAHATAN BIASA.
DASAR YURIDIS
Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini sempat
menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh komnas HAM.
Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran
HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM dilingkungan peradilan
umum.
Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam
ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling
lama 4 tahun.
Karena berbagai alasan Perpu No. 1 ini yang kemudian ditolak oleh
DPR untuk menjadi undang-undang.
Alasan penolakan: secara konstitusional pembentukan perpu tentang
pengadilan HAM dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-
undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan
adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih
terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
 kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak
berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan
sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.
 Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam
konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida tahun 1948 dan
tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
 Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP
yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau
tuntutan secara lembaga.
 Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau
overlapping dengan hukum positif.
Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang
pengadilan HAM adalah undang-undang Nomor 26 tahun 2000.
Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut
serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi
manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai,
sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas
maka pengadilan HAM perlu dibentuk.
Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk
penyelesaian kasus- kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah
mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu
sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan HAM yang sifatnya permanen
dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
KEDUDUKAN
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di
lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM
mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk
dukungan administrasinya.
Tempat persidangan, dukungan administrasi, dan kepaniteraan
mengikuti persidangan umum.
JENIS KEJAHATAN YG
DIADILI
GENOSIDA yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan
cara :
membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok atau; memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu ke kelompok lain.
KEJAHATAN THD
KEMANUSIAN
Yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang
diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada
penduduk sipil yang berupa: Pembunuhan, Pemusnahan, yaitu
meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan
dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat
pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia,
khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan
orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan
pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar
sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum international.
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau
penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang
tahanan atau seorag yang berada dibawah pengawasan.
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-
bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan,
atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau
persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh
penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut,
dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam
jangka waktu yang panjang.
Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat
yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang
dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa
penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu
kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan
maksud untuk mempertahankan regim itu.
HUKUM ACARA
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara
yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara
pidana kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini.
Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses
pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan
mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan
KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan
pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut
ad hoc, dan hakim ad hoc.
Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional
hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau
pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang
berat.
Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam
uu No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan
dalam KUHAP yaitu :
1. PENANGKAPAN
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan
dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan
bukti permulaan yang cukup
2. PENAHANAN
Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan
lanjutan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berwenang
melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan.
Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang
disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM
berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat.
3. PENYELIDIKAN
Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa
penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna
ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini
4. PENYELIDIKAN
Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan
kewenangan dari Komnas HAM dan penyelidikan yang dilakukan
oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya pro
justitia.
5. PENYIDIKAN
Pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus
pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung.

6. PENUNTUTAN
Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh
Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat
menganggat jaksa penuntut umum ad hoc.
PEMERIKSAAN DI
PENGADILAN
Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus
pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang
jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM
yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim
tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang
bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5
orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3
orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis
hakim dalam tingkat kasasi.
Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya
sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim
yang dapat mengadili di tingkat Peninjauan Kembali (PK),
mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP)
proses bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga
dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya
tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur
tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa
dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih menggunakan
komposisi hakim ad hoc atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam
UU No. 26 Tahun 2000 ini
PENGERTIAN AD HOC
Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim
karir yang memenuhi persyaratan professional, berdedikasi dan
berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara
kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati
hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat
adalah sekurang- kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5
tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. Hakim ad
hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala
negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.
PROSEDUR PEMBUKTIAN
Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri
yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan
HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP.
Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur
pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam
rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat
proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya
terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang
perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang
berat.
Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada
alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184. Hal-hal yang
dapat dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai
jika dikomparasikan dengan praktek peradilan internasional.
Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus
pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat
bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu
yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers,
wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat
kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga
diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran,
artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang
disidangkan.
KETENTUAN PIDANA
Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan
pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No.
26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang
dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin
bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan
mendapatkan hukuman yang ringan.
Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan
genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana
paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan
yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan)
huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).
PENGADILAN HAM AD
HOC
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus
untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal
inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang
dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat
yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya
untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur
dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.
Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada
pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa
pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad
hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat
berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3
menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan
perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan
dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada
dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada
locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini.
Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan
HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda
dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya
pengadilan HAM ad hoc yaitu :
adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan
Komnas HAM.
adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan
pengadilan HAM
ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM
ad hoc.
Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara
jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses
perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya
penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM
yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa
mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu
hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan
penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden
mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi.
Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad
hoc.
Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling
tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya
pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai
pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan
HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena
pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik
sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya
ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya
pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan
tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian
kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara
implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR
memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat
menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.

Anda mungkin juga menyukai