Anda di halaman 1dari 15

PERADILAN HAM

Disusun Oleh:

Anggika Khairani 2010200009

Nurhayani Nasution 2010200019

Dosen Pengampu:

Nada Putri Rohana, M.H.

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata mata kuliah.
Makalah ini kami susun untuk menambah pengetahuan serta wawasan para pembaca.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman masyarakat tentang hal tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah ini.
Dengan adanya makalah tersebut menambah pengetahuan dan wawasan kita dan tiada
kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca yang dapat membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca dan tentu bagi penulis sendiri.

Padang Sidempuan, 13 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH.......................................................................1


B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. LANDASAN PERADILAN HAM....................................................................... 2


B. SEJARAH PERADILAN HAM........................................................................... 4
C. KEWENANGAN................................................................................................... 9
D. KELEMBAGAAN................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN...................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan yang memeriksa dan
mengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pelanggaran hak asasi
manusia terdiri dari genosida dan kejahatan kemanusiaan. Pasal 8 UndangUndang Nomor
26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan definisi tentang
kejahatan genosida. Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis kelompok agama, dengan cara: a. Membunuh anggota kelompok; b.
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota
kelompok; c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh maupun sebagian. d. Memaksakan tindakan-
tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; atau e.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan definisi terhadap kejahatan
kemanusiaan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah sejarah peradilan HAM?
2. Apakah landasan yuridis lembaga peradilaan HAM?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN YURIDIS
Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah
pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan HAM. Perpu ini sempat menjadi landasan yuridis untuk adanya
penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh komnas HAM. Karena
berbagai alasan Perpu No. 1 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-
undang. Alasan mengenai ditolaknya perpu adalah sebagai berikut :
1. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan
mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk
mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih terdapat
kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
a. kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak
berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan
sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup
pengaturannya.
b. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida tahun
1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
c. Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada
KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu
menjangkau tuntutan secara lembaga.
d. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau
overlapping dengan hukum positif.
Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah
mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM.1Dalam
penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan
1
Muladi, Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat Di Era Demokrasi, Jurnal Demokrasi Dan HAM,
Jakarta, 2000, Hlm. 54.

2
perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB.
Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab
moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang
ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai
instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau
diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1
Undang-undang No. 39 Tahun 1999.
Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan
ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini
sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional terhadap pPasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM
yang berat dibentuk pengadilan HAM dilingkungan peradilan umum. Ayat 2
menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan
udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun,
undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan HAM adalah undang-
undang Nomor 26 tahun 2000.2
Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk
penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme
pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-
undang ini, pengadilan HAM yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime
komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan
banyak dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang
terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida
dalam yurisdiksi pengadilan HAM.
Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah
kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan begian dari
international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi
“peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap
UU No. 26 Tahun 2000 Ini Disyahkan Pada Tanggal 6 November 2000.
2

3
kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undangundang
hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam
kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampauai asas legalitas.
Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut
seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu.
Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat
termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis
seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang
berwenang adalah peradilan pidana.
Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai
upaya praktis dari pemerintah untuk secara cepat mengakomodir dan menghentikan
upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis. Dari
argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang
mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu
peradilan pidana dan pengadilan HAM. Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26
Tahun 2000 dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga
untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan
pidana atau masuk peradilan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan
HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam
pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen
internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan.
Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik
tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi
dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian
secara khusus dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab
undang-undang hukum pidana (KUHAP).
B. SEJARAH TERBENTUKNYA PERADILAN HAM
Pasca runtuhnya kekuasaan rejim otoriter orde baru dan masuknya era reformasi
menjadikan semakin meningkatnya tuntutan terhadap penyelesaian berbagai pelanggaran
HAM yang terjadi dan adanya perubahan di tataran instrumental untuk mendorong
penegakan hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia. Salah satu instrumen

4
penting yang lahir dalam masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian
kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan
HAM).
Lahirnya mekanisme pengadilan HAM dipercepat adanya desakan dari Komisi
Tinggi HAM PBB tahun 1999, akibat dari adanya dugaan Pelanggaran HAM yang berat
di Timor-Timur selama proses jajak pendapat tahun 1999.
Desakan tersebut mendorong pemerintah Indonesia dibawah Presiden Habibie
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun
1999, yang diumumkan Presiden pada tanggal 8 Oktober 1999, tiga hari menjelang pidato
pertanggungjawaban di MPR. Terbitnya Perppu ini setidaknya menunjukkan kepada
dunia internasional adanya kemauan pemerintah Indonesia untuk membentuk pengadilan
HAM di tingkat domestik. Namun, kehadiran Perpu ini ditolak oleh DPR dalam sidang
paripurna di bulan Maret 2000, karena dianggap secara konstitusional tidak memiliki
alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa.
Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak penolakan pihak DPR, pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM.6 Tekanan atas kemungkinan
pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk mengajukan
rancangan legislasi baru menggantikan Perppu ini. 7 Dalam keterbatasan waktu inilah
proses pembahasan Undang-undang No. 26 tahun 2000 berjalan. RUU ini dibahas hanya
dalam waktu kurang dari tujuh bulan, pada bulan November tahun 2000 DPR
mengesahkan RUU tersebut, yang kemudian menjadi UU No. 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM.3
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan yang memeriksa dan
mengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pelanggaran hak asasi
manusia terdiri dari genosida dan kejahatan kemanusiaan. Pasal 8 UndangUndang Nomor
26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan definisi tentang
kejahatan genosida. Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis kelompok agama, dengan cara:
1. Membunuh anggota kelompok
3
Zainal Abiding, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan Dan
Perkembangannya, Elsam, Hal. 1.

5
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota
kelompok
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh maupun sebagian
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam
kelompok
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan definisi terhadap
kejahatan kemanusiaan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. Pembunuhan
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
6. Penyiksaan
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara
8. Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama , jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional
9. Penghilangan orang secara paksa
10. Kejahatan appertheid.
Pengertian Genosida dan kejahatan kemanusiaan mengandung anasiranasir yang
dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana. Lembaga pengadilan hak asasi manusia
merupakan pengadilan khusus yang selanjutnya disebut dengan pengadilan HAM yang
berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang

6
Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pembentukan pengadilan
hak asasi manusia merupakan wujud nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dari segala ancaman mengingat bahwa
hak asasi manusia merupakan hak asasi yang bersifat fundamental yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara indonesia
merupakan kewajiban konstitusional Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat
3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa Negara wajib
melindungi hak asasi seluruh warganya guna terciptanya ketentraman, keadilan serta
mewujudkan negara hukum yang sesungguhnya. Simposium tentang “Indonesia adalah
negara hukum” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada
permulaan orde baru tanggal 8 Mei 1966 menggaris bawahi bahwa ciri khas negara
hukum salah satunya adalah pengakuan dan perlindungan Hak-Hak asasi yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial dan kebudayaan
Berdasarkan penjelesan umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan pertimabangan bahwa pembentukan
pengadilan hak asasi manusia didasarkan pada :
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan
berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan
perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu
segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketentrman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlkan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah:
a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut
ad hoc, dan hakim ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional

7
Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang 4 menerima laporan
atau pengaduan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di perngadilan.
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.4
Dalam hal perlindungan terhadap hak asasi manusia negara Indonesia sebagai
Negara Hukum membentuk konstruksi hukum yang melindungi terhadap hak asasi
warga negaranya, salah satunya adalah Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dengan lahirnya undang-undang tersebut maka Negara Indonesia
diwajibkan untuk membentuk pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM merupakan Pengadilan khusus
untuk menangani kejahatan yang berat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1
poin 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Lebih lanjutnya
disebutkan dalam Pasal 7 dan 8 dijelaskan bahwa kejahatan yang berat ialah
kejahatan genusida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada Pasal 2 telah
disebutkan bahwa Pengadilan HAM merupakan Pengadilan Khusus yang berada
dilingkungan Peradilan Umum.
Jadi segala permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia akan diselenggarakan
di Pengadilan tersebut. Pengadilan HAM bukan merupakan Peradilan yang berdiri
sendiri, karena Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-undang No. 4 tentang kekuasaan
kehakiman telah pula menegaskan bahwa hanya ada empat lingkungan Peradilan,
yaitu Peradialan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara. Dari kedua Pasal tersebut sudah jelas diketahui kelemahan dari
Pengadilan HAM di Indonesia. Kelemahannya ialah meskipun Pengadilan HAM
merupakan Pengadilan Khusus namun wilayah penempatan Pengadilan HAM
didalam lingkungan Peradilan Umum, menjadikannya sangat bergantung pada
mekanisme birokrasi dan administrasi Peradilan Umum yang ditempatinya, sehingga
menjadikan harapan besar lahirnya Undang-undang No. 26 Tahun 2000 dalam
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hal. 122
4

8
penegakan Hak Asasi Manusia delum bisa terlaksana secara maksimal secara
maksimal sampai sekarang.
Pengadilan HAM berdiri sendiri, karena sifatnya yang spesifik khusus kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Maka sudah barang tentu ketentuan Pasal 24
Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang No. 4 tentang Kekuasaan
Kehakiman harus diamandemen.5
C. KEWENANGAN PERADILAN HAM
Pasal 4 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 5 Pengadilan HAM berwenang
juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara
Indonesia Pasal 6 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur
di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pasal 7 Pelanggaran
hak asasi manusia yang berat meliputi:
1. kejahatan genosida
2. kejahatan terhadap kemanusiaan.6
3. Memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan diluar
batas territorial wilayah Negara RI oleh WNI.
4. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara HAM berat
yang dilakukan oleh seorang yang di bawah umur 18 tahun pada saat kejahatan
dilakukan.
D. LEMBAGA PERADILAN HAM
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya Pengadilan
HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan
pengaturan dalam Hukum Acara Pidana. Pengaturan yang berbeda tersebut dimuai sejak
tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM, sampai pengaturan
tentang Majelis Hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa.
Dalam Pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga
5
Nurul Alimi, Urgensitas Pembentukan Pengadilan HAM Di Seluruh Wilayah Indonesia Dan Penyelesaian
Hukumnya (Kajian Yuridis Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM), Jurnal Keislaman,
Pendidikan Dan Ekonomi Vol. 3, No. 1, Oktober 2018, Hal. 47.
6
Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia.

9
diantaranya adalah Hakim Ad Hoc.
Pengaturan yang bersifat khusus ini didasarkan atas karakteristik kejahatan yang
sifatnya extra ordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang
seharusnya juga sifatnya khusus. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM telah dijalankan dengan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, Pengadilan
HAM Ad Hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau
kurang memadainya instrumen hukum. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 ternyata
belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan
tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau
penerapan tentang Undang-undang No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas
penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.7

BAB III
PENUTUP
Ibid., Hal. 49.
7

10
KESIMPULAN
Pasal 4 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 5 Pengadilan HAM berwenang juga
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan
di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia Pasal
6 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat meliputi:
1. kejahatan genosida
2. kejahatan terhadap kemanusiaan.
3. Memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan diluar
batas territorial wilayah Negara RI oleh WNI.
4. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara HAM berat yang
dilakukan oleh seorang yang di bawah umur 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Muladi, Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat Di Era Demokrasi, Jurnal Demokrasi

11
Dan HAM, Jakarta, 2000.
UU No. 26 Tahun 2000 Ini Disyahkan Pada Tanggal 6 November 2000.
Abiding Zainal, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan Dan
Perkembangannya, Elsam.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
Alimi,nurul, Urgensitas Pembentukan Pengadilan HAM Di Seluruh Wilayah Indonesia Dan
Penyelesaian Hukumnya (Kajian Yuridis Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM), Jurnal Keislaman, Pendidikan Dan Ekonomi Vol. 3, No. 1, Oktober 2018.

12

Anda mungkin juga menyukai