Anda di halaman 1dari 54

SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA

LAPORAN HASIL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Ujian Hasil GunaMemperoleh


Gelar (Sarjana Hukum) Pada Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas
November Kolaka

OLEH :
KAHARUDDIN
181130950

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
2022

i
LEMBAR PERSETUJUAN

SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN


HAK ASASI MANUSIA

Disusun Oleh :

Nama : Kaharuddin
NIM : 181130950
Program Studi : Ilmu Hukum
Peminatan : Hukum Pidana

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada Seminar Hasil di hadapan tim
penguji Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November.

Kolaka, 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Yahyanto, S.H., M.H Basrawi, S.H., M.H


NIDN.09056068202 NIDN.0029058404

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik semesta
alam dan sumber segala pengetahuan, karena berkat rahmat, nikmatnya dan
pertolongan kepada hambanya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian
yang berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia”.
Penulisan Laporan ini dibuat sebagai persyaratan menyelesaikan pendidikan
untuk memenuhi salah satu syarat Akademik guna memperoleh gelar Sarjana
Strata Satu (S-1) Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Sembilanbelas November Kolaka. Dalam penyelesaian Laporan ini tidak sedikit
ditemukan rintangan-rintangan namun karena adanya tekat yang besar sehingga
penyusunan Laporan ini dapat terselesaikan. Penulis juga menyadari bahwa
proposal ini dapat diselesaikan dengan baik berkat adanya bantuan dan bimbingan
serta dorongan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil, untuk itu
dengan tidak mengurangi rasa hormat, penulis sangat berterimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Nur Ihsan HL, M.Hum. Selaku Rektor Universitas
Sembilanbelas November Kolaka.
2. Bapak Yahyanto, S.H., M.H., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
PolitikUniversitas Sembilanbelas November Kolaka.
3. Ibu Riezka Ekah Mayasari, SH., MH., Selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Universitas Sembilanbelas November Kolaka.
4. Bapak Yahyanto, S.H., M.H., Selaku pembimbing I yang banyak
meluangkan waktunya serta memberikan petunjuk kepada penulis demi
kesempurnaan penulisan proposal ini.
5. Bapak Basrawi, S.H., M.H. Selaku pembimbing II yang banyak meluangkan
waktunya serta memberikan petunjuk kepada penulis demi kesempurnaan
penulisan proposal ini.
6. Bapak/ibu dosen dan segenap pegawai Universitas Sembilanbelas
November Kolaka.
7. Ayahanda, Ibunda, serta saudara/saudariku yang telah memberikan doa restu
dan dukungan, semangat, harapan serta fasilitas kepada penulis untuk maju
dalam meraih cita-cita.
iii
8. Serta seluruh teman-teman yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih.
Meskipun dalam penyusunan Laporan ini penulis telah mencurahkan semua
kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan tugas ini
masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang sifatya
membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan proposal ini.

Kolaka, 23 Januari 2022

Kaharuddin

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang

dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak

asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Menjadi

kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-

hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-

pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Dan

terdapat kecenderungan bahwa demi penghormatan akan perlindungan hak asasi

manusia itu, maka negara bertugas hanyalah menjaga ketertiban masyarakat,

karena yang penting dalam hal ini ialah negara tidak akan ikut campur dalam hal

yang dianggap merupakan pelanggaran akan hak asasi itu.

Di dalam suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha

menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diaturlah masalah

fungsi negara dengan penyelenggara hak dan kewajiban asasi manusia itu.

Bagaimanapun negara di satu pihak melindungi hak-hak asasi, namun di pihak

lain menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum itu berupa

kesejahteraan masyarakat. Besarnya peranan negara dalam membina

kesejahteraan masyarakat namun hak asasi manusia itu harus tetap di lindungi. 1

Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik

dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya

1
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
1
2

terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan

rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua

bentuk yaitu, pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida, salah satunya

seperti pembantaian pada zaman G30S/PKI dan kejahatan kemanusiaan, seperti

politik apartheid atau politik perbedaan warna kulit di Afrika Selatan dan juga

pelanggaran HAM di Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang berupa

penyiksaan, penganiayaan dan pemerkosaan. Sedangkan bentuk pelanggaran

HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu (genosida dan

kejahatan kemanusiaan), seperti melakukan pencemaran nama baik terhadap

seseorang, menghalangi seseorang untuk menyampaikan pendapatnya, dan

melakukan pemukulan terhadap seseorang.

Pemajuan dan Perlindungan HAM merupakan dua bidang yang menjadi

mandat Komnas HAM sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 75

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 19991 . Tetapi,

keberadaan ketentuan pasal 75 Undan-Undang No. 39/1999 tersebut bukanlah

lantas menghilangkan tanggung jawab pemerintah untuk memajukan dan

melindungi ham sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 28i Undang-Undang

Dasar 1945. Juga sebagai konsekwensi dari keanggotaan Indonesia di Perserikatan

Bangsa-Bangsa, pemerintah berkewajiban untuk memajukan ham internasional

seperti yang tertuang dalan Piagam PBB 2 dan Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia. Pemajuan HAM berarti bahwa aparat pemerintah kita, baik sipil di di

lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun aparat militer serta masyarakat

2
UN Charter, article 55
3

pada umumnya perlu dibuat mengerti, paham, dan menerima serta melindungi

HAM seperti yang tertuang dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa dan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik ICCPR) serta Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya (ICESCR). Pemahaman dan penerimaan konsep HAM

universal oleh masyarakat dan aparat pemerintah tersebut akan menjadikan tugas

pemajuan dan perlindungan HAM menjadi lebih mudah. Tetapi tampaknya,

berdasarkan realitas yang ada di Indonesia pada saat ini, upaya Komnas HAM

untuk memajukan dan melindungi ham bukanlah pekerjaan yang ringan dan tanpa

rintangan. Rintangan yang menghadang Komnas HAM bisa berasal dari faktor

budaya, kendala politik maupun rintangan yang berasal dari aparat penegak

hukum kita sendiri, banyaknya kelemaham dari berbagai peraturan perundangan

yang berkaitan dengan HAM, maupun sikap dari lembaga peradilan kita yang

belum pro terhadap HAM universal.

HAM seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, berbagai

peraturan perundangan dan instrumen internasional yang ada belumlah

membudaya dan sudah terlalu sering dilanggar. Tidaklah sedikit ketentuan yang

tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional yang tampaknya tidak

sejalan dengan norma lokal kita. Sebutlah misalnya pasal 18 International

Covenanant on Civil and Political Rights (ICCPR)3 yang mengatur tentang

kebebasan beragama (Freedom of Religion) tidaklah sinkron dengan Undang-

3
Indonesia hanya mengakui enam “agama resmi” dalam UU No.1/PNPS/1965. Keberadaan
agama lain diluar “agama resmi” ini tidak ditolerir.Pasal 28 (e) UUD 1945 dan Pasal 22 UU
No.22/1999 menyentuh soal kebebasan beragama, tetapi tidak memberikan jaminan yang kuat
sesuai dengan standar internasional.
4

Undang No.1/PNPS/1965. Kemajuan tampaknya terjadi dengan adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi No.97/PUUXIX/2016 yang mengakui eksistensi Aliran

Kepercayaan di Indonesia. Perlu dilakukan upaya serius oleh pemerintah dan

Komnas HAM serta NGOs untuk mensinkronkan antara norma lokal dengan

instrumen HAM internasional ini. Pemerintah tampaknya juga belumlah

memperlihatkan komitmen politik yang kuat dan serius untuk memajukan dan

melindungi HAM di negeri ini. Penangan perkara hak asasi manusia (HAM)

selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo masih buruk. 4 Berbagai

peraturan perundangan yang ada juga perlu diamandemen agar perlindungan

HAM menjadi lebih kuat. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM perlu

diamandemen guna memperkuat institusi peradilan HAM, memperluas jurisdiksi

Pengadilan HAM agar mencakup pelanggaran atas ketentuan ICCPR yang telah

kita ratifikasi dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2005 serta menempatkan

Komnas HAM sebagai Penyidik kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan ringan.

Pada saat ini fungsi Komnas HAM barulah pada taraf penyelidikan saja.

Sedangkan fungsi penyidikan dan penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM

dipegang oleh Kejaksaan Agung. Perlu banyak pelaku pelanggaran HAM yang

dituntut dan dihukum untuk membuktikan dan memperlihatkan kepada

masyarakat baik domestik maupun internasional bahwa Indonesia tidak mengenal

impunitas dan bukanlah tempat yang aman dan bersahabat bagi para pelaku

pelanggaran HAM.

Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji

4
Koran Tempo, Catatan HAM Pemerintahan Jokowi Masih Buruk: Akses 01 Desember
2022
5

lebih jauh tentang kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Sanksi pidana terhadap

Pelanggaran Hak Asasi Manusia”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalampenelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran HAM

Ringan?

b) Apa Faktor-Faktor Yang Menghambat Proses Pidana Pelanggaran

HAMRingan?

C. Tujuan Penelitian

Seiring perumusan masalah pada penelitian ini, maka tujuan dari

penelitian ini yaitu:

1) Untuk Mengetahui Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap

Pelanggaran HAM Ringan.

2) Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Yang Menghambat Proses

PidanaPelanggaran HAM Ringan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, antara lain:

1. Manfaat teoritis

Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta

menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai Pengaturan Sanksi Pidana

Terhadap Pelanggaran HAM Ringan di Polres Kolaka.


6

2. Manfaat praktis

1) Bagi instansi pemerintah dapat memberikan informasi yang dapat

dijadikan acuan pengambilan keputusan terutama dalam

Menangani kasus dan pemberian Sanksi Pidana Terhadap

Pelanggaran HAM Ringan.

2) Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi para peneliti yang

berminat untuk meneliti tentang Pengaturan Sanksi Pidana

Terhadap Pelanggaran HAM Ringan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sanksi Pidana

Pensyariatan hukum pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kasih sayang

Allah pada hambanya. Allah mengancam orang yang melanggar syariat dengan

balasan sanksi. Sanksi yang diberikan Allah tidak lain semata-mata hanya untuk

mendidik hambanya agar senantiasa mematuhi hukum yang telah ditetapkan, demi

terjaganya kemaslahatan di antara umat manusia.

1. Pengertian Sanksi

Suatu langkah hukuman yang dijatuhkan oleh negara atau kelompok tertentu

karena terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok.5 Sistem

hukum pidana ada dua jenis sanksi yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu

sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang

paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang

dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.6

Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa

orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. 7 Sanksi

tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak diluar KUHP, bentuk-

bentuknya yaitu berupa perawatan di rumah sakit dan dikembalikan pada orang

tuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak

yang masih dibawah umur.8

5
www.pengertianmenurutparaahli.com.
6
Mahrus Ali, “ Dasar-Dasar Hukum Pidana ”, Jaakarta, 2015, hlm 193
7
I bid, hlm 202.
8
Mahrus Ali, “ Dasar-Dasar Hukum Pidana ”, Jaakarta, 2015, hlm 193.
7
8

Sanksi pidana merupakan suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpahkan

kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan

tindak pidana.9

Sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang bersifat antisipatif bukan reaktif

terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam

ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan spesifiksi non penderitaaan

atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu

bagi pelaku maupun korban bagi perseorangan, badan hukum publik maupun

perdata.

Dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu

penyakit, Hakim memerintahkan supaya dimasukan dalam rumah sakit jiwa, paling

lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

2. Pengertian Pidana

Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman.

Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim

merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit

adalah berkaitan dengan hukum pidana.10

Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai

akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan

9
Mahrus Ali, “ Dasar-Dasar Hukum Pidana ”, Jaakarta, 2015, hlm 193.
10
Ibid, Hlm 202
9

hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai

tindak pidana (strafbaar feit).

Pelaku pidana disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal

adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu

kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak

kejahatannya berdasarkan motif agama, politik atau paham.

3. Macam-macam Sanksi dalam Hukum Positif

Menurut KUHP macam-macam sanksi antara lain:11

a. Pidana pokok

1) Pidana mati

2) Pidana penjara

3) Pidana kurungan

4) Pidana denda

b. Pidana tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu

2) Perampasan barang-barang tertentu

3) Pengumuman putusan hakim

4. Tujuan Sanksi dalam Hukum Positif

Kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat membutuhkan suatu

keadaan yang tertib agar dapat menjalani hidup dengan tenteram, damai, dan

sejahtera. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat yang paling

fundamental bagi terciptanya suatu masyarakat yang teratur. Sedangkan ketertiban

11
Pasal 10 KUHP
10

itu sendiri merupakan tujuan yang paling pokok dan pertama dari segala hukum. 12

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah hukum pidana mulai digunakan pada jaman Jepang sebagai

terjemahan dari bahasa Belanda dari kata “strafrecht”. Perkataan “recht”

mempunyai 2 (dua) arti yakni recht dalam arti objektif jika diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi “hukum” dan recht dalam arti subjektif

diterjemahkan dengan “hak” maka demikian pula dengan strafrecht. Strafrecht

(hukum pidana) dalam arti subjektif adalah hak Negara untuk memidana atu

menjatuhkan pidana (pemidanaan) apabila larangan atau keharusannya untuk

bertingka laku dilanggar. Sedangkan strafrecht dalam arti objektif adalah segala

larangan (verboden) dan keharusan (geboden) apabila dilanggar diancam pidana

oleh undang-undang, selain itu juga diatur tentang syarat-syarat kapan pidana itu

dapat dijatuhkan.13

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak

pidana, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana,

yaitu:

a. Unsur Objektif, unsur yang terdapat di luar sipelaku. Unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana

tindakan-tindakan sipelaku itu harus dilakukan terdiri dari:

12
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. k-2,
(Bandung: Alumni, 2006), hlm 3.
13
H. M. Rasyid Ariman & Fahmi Raghib. 2016. Hukum Pidana. Cetakan Kedua
Malang: Setara Press, halaman 1 -2
11

1) Sifat melanggar hukum.

2) Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan pegawai negeri di dalam

kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas. Yakni berhubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif, unusr yang terdapat atau melekat pada diri sipelaku,

atau yang dihubungkan dengan diri sipelaku dan termasuk di dalamnya

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atua ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53

ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340

KUHP yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.14

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya

yaitu segala sesuatuyang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur

objektif adalah.unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

14
Teguh Prasetyo. 2015. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 50-51.
12

keadaan, yaitu didalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku

itu harus di lakukan. 15

Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa uraian di atas itu

bukanlah merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat

timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini

merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu jika syar ini tidak dipenuhi maka

perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.

Menurut Prof. Moelyatno dalam buku Teguh Prasetyo mengatakan unsur

atau elemen perbuatan pidana itu terdiri dari:

1) Kelakuan dan akibat.

2) Hal ikhwal atau keadaan menyertai perbuatan.

3) Keadaan tambahan yang memberatikan pidana.

4) Unsur melawan hukum yang objektif.Unsur melawan hukum yang

subjektif.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan

bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana

hanya menunjuk kepada larangan dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana,

sebagaimana telah diacamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan

perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak

15
P. A. F. Lamintang & Francicus Theojunior Lamintang. 2016. Dasar-Dasar Hukum
Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 192.
13

dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Acus non facit reum

nisi mens sist rea). Asas ini tidak tersebut dalamhukum tertulis tapi dalam hukum

yang tidak tertulis yang juga di indonesia berlaku. Hukum pidana fiskal tidak

memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi

pidana denda atau rampas Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak

yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). Dahulu

dijalankan atas pelanggaran tetapi sejak adanya arrest susu dari HR 1916

Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtredingen, berlaku

asas tanpakesalahan,tidak mungkin dipidana.16

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana itu merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebuatn mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat. Dalam bahas inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act

does not make a person guility, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar

asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mempidana

seseorang yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana

(actusreus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).17

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memnuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan

adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas

16
Ibid., halaman 165-166.
17
Mahrus Ali. Op. Cit., halaman 155-156.
14

kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika

ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Oleh

karena itu, pertanggngjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban

pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan seseorang.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang

dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

kesepakatanmenolak suatu perbuatan tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan

merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu,

pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maknanya tidak heran jika

dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder

schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalamhukum pidana,

demikian fundamentalnya asas tersebut sehingga meresap dan menggema dalam

hamper semua ajaran penting dalam hukum pidana.18

Pertanggungjawaban pidana merupakan penilaian yang dilakukan setelah

dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana tau terbuktinya tindak pidana. Penilaian

ini dilakukan secara objektif berhubungan dengan pembuat dengan norma hukum

yang dilanggarnya, sehingga berkaitan dengan perbuatan dan nilai-nilai moral yang

dilanggarnya. Akhirnya, secara objektif pembuat dinilai sebagai orang yang dapat

dicela atau tidak dicela. Kesalahan ini berorientasi pada nilai-nilai moralitas,

18
Ibid., halaman 156-157.
15

pembuat yang melanggar nilai-nilai moralitas patut untuk dicela. Penilaian secara

subjektif dilakukan terhadap pembuat bahwa keadaan psychologis tertentu yang

telah melanggar moralitas patut dicela atau tidak dicela. 19

Masalah pertanggungjawaban dan khususnya pertanggungjawaban pidana

mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas yang dapat

dipermasalahkan salah satunya adalah tingkat kemampuan bertanggungjawab yang

mencakup mampu, kurang mampu, atau tidak mampu.20

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang

tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Pertanggungjawaban

yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksu dalam hukum pidana adalah

pertangungjawaban menurut hukum pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika

setiap orang bertanggunghawab atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum

pidana yang menjadi pokok permasalahan hanyalah tingkah laku yang

mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana. 21

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang

normal atau sehat dan mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan halhal

yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain mampu untuk menginsyafi sifat

melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu

untuk menentukan kehendaknya. Jadi, paling tidak faktor untuk menentukan

adanya kemampuan bertanggungjawab adalah faktor akal dan factor kehendak.

Akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak

19
Agus Rusianto. 2016. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya. Edisi Pertama. Jakarta:Prenadamedia
Group, halaman 14 Group, halaman 14
20
Teguh Prasetyo. Op. Cit., halaman 83.
21
Ibid., halaman 85.
16

diperbolehkan. Sedangkan kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya

dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak

diperbolehkan.22

C. Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang

menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara

teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka

umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar “yang

seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia, dan yang melekat

pada semua manusia “terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis

atau status lainnya. Ini berlaku di mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang

universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang.

HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan kewajiban

pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. Mereka tidak

harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan keadaan

tertentu; misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara

melanggar hukum, penyiksaan, dan eksekusi. Doktrin dari hak asasi manusia telah

sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan

regional. Tindakan oleh negara- negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah

membentuk dasar dari kebijakanpublik di seluruh dunia.

Ide HAM menunjukkan bahwa “jika wacana publik dari masyarakat global

22
Mahrus Ali. Op. Cit., halaman 171
17

mengenai perdamaian dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu

merujuk ke hak asasi manusia.” Klaim yang kuat yang dibuat oleh doktrin hak

asasi manusia terus memprovokasi skeptisisme yang cukup besar dan perdebatan

tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi manusia sampai hari ini.

Arti yang tepat dari hak asasi memicu kontroversial dan merupakan subyek

perdebatan filosofis yang berkelanjutan; sementara ada konsensus bahwa hak

asasi manusia meliputi berbagai hak seperti hak untuk mendapatkan pengadilan

yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan

berbicara, atau hak atas pendidikan, ada ketidaksetujuan tentang mana yang hak

tertentu harus dimasukkan dalam kerangka umum hak asasi manusia; beberapa

pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan

minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain

melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi.

Banyak ide-ide dasar yang menggambarkan gerakan hak asasi manusia yang

dikembangkan pada masa setelah Perang Dunia Kedua dan kekejaman dari

Holocaust, berpuncak pada adopsi dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di

Parisoleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Masyarakat kuno tidak memiliki

konsepsi modern yang sama dari hak asasi manusia universal.

Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak alami

yang muncul sebagai bagian dari tradisi hukum alam abad pertengahan yang

menjadi menonjol selama Abad Pencerahan dengan filsuf sepertiJohn Locke,

Francis Hutcheson, dan Jean-Jacques Burlamaqui, dan yang menonjol dalam

wacana politik Revolusi Amerikadan Revolusi Perancis. Dari dasar ini, argumen
18

hak asasi manusia modern muncul selama paruh kedua abad kedua puluh,

mungkin sebagai reaksi terhadap perbudakan, penyiksaan, genosida, dan

kejahatan perang, sebagai realisasi kerentanan manusia yang melekat dan sebagai

prasyarat untuk kemungkinan menciptakan masyarakat yang adil.

Pelanggaran HAM dibagi menjadi 2 Yaitu :

a. Pelanggaran HAM berat merupakan tindakan yang berbahaya dan

mengancam nyawa seseorang yang dilakukan oleh individu atau

sekelompok manusia.

Contoh pelanggaran HAM berat adalah

1) Pembunuhan

2) Pembantaian

3) Penyiksaan

4) Penyekapan

5) Penyandraan

6) Perampokan dengan menghailangkan nyawa seseorang, dan lain-

lain

b. Pelanggaran HAM ringan merupakan tindakan yang tidak

mengancam nyawa manusia yang dilakukan oleh individu atau

kelompok manusia.

Contoh pelanggaran HAM ringan adalah

1) Pencemaran nama baik

2) Perusakan terhadap sesuatu

3) Main hakim sendiri


19

4) Bentrok

5) Tawuran

6) Rusuh dan masih banyak lagi.

2. Faktor Penyebab Pelanggaran Hak Asasi Manusia

a. Faktor Internal

Faktor internal berarti adanya dorongan seseorang untuk melakukan

pelanggaran HAM yang berasal dari dalam diri pelaku pelanggaran HAM.

1) Ego yang tinggi dan selalu mementingkan diri sendiri.

Sikap egois dan mementingkan diri sendiri akan mengakibatkan

seseorang lalai dari kewajibannya dan selalu menuntut haknya

dalam berbagai kepentingan. Sikap ini juga akan menyebabkan

seseorang memiliki hasrat yang besar untuk mencapai sesuatu yang

diinginkan. Karena sikap buruk tersebut, akhirnya bukan tidak

mungkin seseorang akan menghalalkan segala cara agar haknya

terpenuhi walau caranya bisa melanggar hak orang lain.

2) Kesadaran akan HAM rendah

Tingkat kesadaran masing-masing orang memang berbeda-beda.

Ada yang sangat menghargai HAM dan ada juga yang sangat

mengabaikan adanya HAM tersebut. Rendahnya kesadaran HAM

akan mengakibatkan seorang pelanggar HAM berbuat semena-

mena kepada orang lain. Pelanggar tidak mau tahu bahwa orang

lain juga mempunyai hak asasi manusia yang harus dijaga dan

dihormati. Sikap ini tentu akan berakibat penyimpangan terhadap


20

Hak asasi manusia. Semakin rendah kesadaran HAM seseorang,

makin besar pula sikap masa bodoh seseorang terhadap HAM.

3) Kurangnya sikap toleransi

Sikap tidak toleran akan mengakibatkan munculnya rasa saling

tidak menghormati dan menghargai atas keberadaan orang lain.

Seakan- akan kedudukan seseorang direndahkan dan dilecehkan.

Pada akhirnya sikap ini akan menjerumuskan seseorang untuk

melakukan diskriminasi pada orang lain.

b. Faktor Eksternal

Faktor Eksternal, yaitu faktor di luar diri manusia yang mendorong

seseorang atau sekelompok orang melakukan peanggaran HAM. Faktor-

faktor ini diantaranya sebagai berikut :

1) Penyalahgunaan kekuasaan

Kekuasaan di dunia ada banyak sekali. Kekuasaan ini ada di

lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat atau pun

dilingkungan bangsa dan negara. Kekuasaan tidak selalu mengarah

pada kekuasaan pemerintah, namun dalam bentuk kekuasaan lain

salah satunya kekuasaan di sebuah perusahaan. Para pengusaha

yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar

HAM. Dapat kita simpulkan bahwa setiap kekuasaan yang

disalahgunakan akan mendorong timbulnya pelanggaran HAM.

2) Ketidaktegasan aparat penegak hukum

Aparat penegak hukum yang tidak tegas dan klemar-klemer akan


21

mengakibatkan timbulnya banyak pelanggaran HAM yang akan

terjadi. Kasus pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan secara

tuntas tentu menjadi pemicu aksi pelanggaran HAM lain yang

mungkin lebih merugikan. Para pelanggar tidak akan merasa

jera/kapok untuk melakukan hal serupa jika tidak diberi hukuman

setimpal sesuai perbuatan yang dilakukannya. Aparat penegak

hukum yang semena-mena dalam mengambil keputusan juga

merupakan bentuk pelanggaran HAM dan menjadi contoh tidak

baik, hal ini juga dapat menjadi pemicu terjadinya bentuk

pelanggaran HAM lainnya.

3) Teknologi yang disalahgunakan

Majunya teknologi di jaman sekarang memberi dampak positif dan

juga negatif. Salah satu dampak positifnya kita dapat memperoleh

informasi dengan mudah melalui internet. Segudang manfaat yang

ditawarkan dalam internet juga dapat dipergunakan oleh pelaku

kejahatan. Misalnya saja perampokan uang dalam ATM oleh

sekumpulan Hacker atau bisa juga penculikan seseorang melalui

jejaring sosial. Memang segala sesuatu yang menyimpang akan

mengakibatkan hal yang buruk. Jika teknologi tidak dipergunakan

sesuai aturan maka yang terjadi adalah timbul bentuk pelanggaran

HAM. Namun, secara tidak langsung juga kemajuan teknologi

dapat berdampak negatif bagi banyak orang. Seperti halnya sentra

produksi pabrik yang mencemari lingkungan sehingga kesehatan


22

manusia terancam.

4) Kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi

Ketidakseimbangan dan ketidakmerataan gaya hidup sudah mulai

munjul di era saat ini. Perbedaan tingkat kekayaan atau jabatan yang

dimiliki seseorang menjadi pemicu kesenjangan sosial dan ekonomi.

Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan banyak terjadi.

D. Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

1. Pendidikan Karakter

Tidak dapat kita sangkal bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat vital

bagi tiap diri manusia. Pentingnya pendidikan bagi manusia adalah karena ia juga

termasuk dalam hak asasi manusia dan keberadaannya serta pelaksanaannya

dijamin oleh undang-undang. Bukan hanya aspek saintis yang perlu diajarkan

pada peserta didik. Namun yang lebih penting adalah mendidik karakter dari tiap

generasi penerus bangsa. Pentingnya pendidikan karakter bagi kita adalah agar

menjadi pribadi yang lebih baik sesuai norma dan aturan yang berlaku di

masyarakat. Dengan begini, tentunya hak asasi manusia akan lebih mudah

ditegakkan dan pelanggaran HAM dapat dicegah dengan lebih cepat. Pendidikan

karakter paling cepat dan mudah adalah ketika usia dini, namun pendidikan

karakter di sekolah juga tetap penting, karena saat ini waktu siswa lebih banyak

dihabiskan di sekolah.

2. Mempelajari Segala Sesuatu tentang HAM

Sekalipun hak asasi manusia adalah hal yang sangat dekat dengan kita,

namun masih banyak orang-orang yang hak asasinya belum ia peroleh, masih
23

banyak yang diam saja ketika hak asasinya dilanggar, dihalangi, atau dikurangi.

Apa sebabnya? Masih banyak orang-orang yang belum paham tentang HAM,

bahwa HAM itu sudah seharusnya ditegakkan, diperjuangkan, dan dilindungi.

Terdapat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 tahun

1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, bahkan Deklarasi Universal HAM yang dikeluarkan oleh PBB. Semua

produk hukum tersebut ada untuk menjamin penegakkan HAM dan mengadili

mereka yang melanggar HAM. Maka, dengan mempelajari HAM, kita akan lebih

tahu dan peka terhadap terlaksananya penegakkan HAM di keluarga dan

masyarakat.

3. Menegakkan HAM dengan Berbuat Baik

Setelah mendapat pendidikan karakter, hasil dari pendidikan itu sendiri

harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar suasana kondusif bagi

penegakkan hak asasi manusia dapat tercapai. Perbuatan baik itu misalnya sering

berdiskusi, bersikap jujur, ramah kepada orang lain, toleransi terhadap perbedaan

yang ada di keluarga ataupun masyarakat, menaati hukum dan aturan yang

berlaku, melerai apabila ada yang bertengkar, melaporkan pada pihak yang

berwenang apabila terdapat kejadian pelanggaran HAM, melaksanakan hak asasi

dengan tidak melupakan tanggung jawab, dan sebagainya. Demokrasi Pancasila

yang dianut oleh Indonesia sebagai bentuk pemerintahannya sangat menjunjung

penegakkan HAM, maka sebaiknya kita tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

4. Sanksi Terhadap pelanggaran HAM

Berdasarkan Ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam Bab VII dari


24

Undang-undang Nomor 26 Tahun Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara selama 25 tahun, pidana

penjara selama 20 tahun, pidana penjara selama 15 tahun, pidana penjara selama

10 tahun dan paling ringan adalah pidana penjara selama 5 tahun. Pemberian

hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak yang paling mendasar yaitu hak

untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

bagaimanapun (non derogable rights).

E. Faktor – Faktor yang Menghambat penindakan HAM

1. Budaya

Walaupun pada tataran internasional telah dibentuk berbagai instrument

HAM seperti Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan kovenan-kovenan

seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara nasional pun

telah ada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta dibentuknya Komnas HAM,

Komnas Perlindungan Anak, dan Komnas Perlindungan Perempuan yang

bertujuan untuk memajukan dan melindungi HAM, tidaklah berarti bahwa secara

budaya berbagai instrument HAM internasional dan nasional tersebut tidak

mengalami rintangan danhambatan dalam penerapan dan pelaksanaanya.

Masih tetap ada saja berbagai kelompok yang menentang universalitas

HAM dengan mengatakan bahwa tidaklah selalu nilai-nilai yang terkandung

dalam berbagai instrument HAM internasional tersebut sejalan dan sinkron

dengan budaya lokal.


25

2. Politik

Adanya sistem politik yang demokratis dimana rule of law dihormati dan

dilindunginya hak-hak minoritas merupakan prasyarat utama bagi perlindungan

HAM. Adapun spirit dari demokrasi adalah adanya pluralisme, toleransi dan

orang-orang yang berwawasan luas. Demokrasi bukanlah berarti bahwa

pandangan-pandangan mayoritas selalu menang. Individu dan kelompok minoritas

mesti dilindungi dan diberikan perlakuan yang fair dan pantas.

Sistem politik kita belumlah mencerminkan perlindungan terhadap hakhak

minoritas. Dilarangnya keberadaan orang atau kelompok yang berbeda

interpretasinya terhadap ajaran agama mayoritas merupakan contoh tidak

dilindunginya hak-hak asasi minoritas. Adanya pengakuan negara terhadap agama

yang boleh atau tidak boleh ada di Indonesia adalah contoh lainnya. Untunglah hal

ini sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.97/PUU-

XIX/2016 yang mengakui eksistensi aliran kepercayaan yang hidup di berbagai

daerah di Indonesia.

3. Hukum

Hukum memegang peran sentral dalam upaya perlindungan HAM. Pada

akhirnya, apakah HAM itu bisa dilindungi atau tidak jika terjadi pelanggaran,

ditentukan oleh apakah hukum yang tersedia memberikan jaminan perlindungan

atau tidak. Berbicara tentang hukum maka tidak bisa tidak kita akan melihat

berbagai legal instrument yang tersedia untuk melindungi HAM, Institusi Penegak

Hukum dan Para Penegak Hukum itu sendiri.

Indonesia boleh dikatakan sudah memiliki berbagai peraturan


26

perundangan yang dapat dijadikan instrument untuk memajukan dan melindungi

HAM dengan segala keterbatasan, kelemahan yang dimilikinya. Ada Pengadilan

HAM yang bisa digunakan untuk mengadili pelanggaran HAM. Komnas HAM

telah dibentukuntuk melakukan penyelidikan jika terjadi pelanggaran HAM.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua)

pendekatan. Tetapi pada penelitian skripsi ini pendekatan yang dilakukan dalam

penelitian ini yaitu jenis penelitian Empiris (yuridis sosiologis).

Penelitian hukum yang menganalisis tentang penerapan hukum dalam

kenyataannya terhadap individu, kelompok, masyarakat, lembaga hukum dalam

masyarakat dengan menitikberatkan pada perilaku individu atau masyarakat,

organisasi atau lembaga hukum dalam kaitannya dengan penerapan atau

berlakunya hukum. 23

B. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis

memilih lokasi penelitian di daerah Kab. Kolaka yaitu tepatnya di Kantor Polres

Kolaka.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data

Primer dan data sekunder, dimana jenis datanya meliputi :

1. Data Primer

Data primer adalah data empirik yang diperoleh secara langsung lapangan

atau lokasi penelitian. Melalui teknik wawancara dengan pihak terkait yaitu

dengan para pegawai Polres Kolaka.

23
Dr. Muhaimin, Metode penelitian hukum. (Mataram University Press, 2020) Hal. 83
27
28

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai literatur atau studi

kepustakaan, peraturan perundangundangan, jurnal, internet, buku-buku, dan

dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan masalah yang akan diteliti.

D. Teknik Memperoleh Bahan Hukum

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam memperoleh data skunder

melalui studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan dua cara:

a. Wawancara

Dilakukan untuk menggunakan data primer dengan cara

mewawancarai secara langsung dan terbuka kepada pihak Polres Kolaka,

Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung (face to face)

untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan tujuan mendapatkan

datayang dapat menjelaskan permasalahan penelitian.

b. Observasi

Suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung dan

pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti. Observasi

pada penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kolaka yaitu di Kantor Polres

Kolaka.

c. Studi Dokumen

Dilakukan dengan pengumpulan data sekunder dengan cara membaca

dan mempelajari artikel-artikel pada majalahmajalah, tabloid-tabloid, surat

kabar dan buku-buku bacaan lainnya yang erat kaitannya dengan

permasalahanyang dibahas.
29

E. Teknik Pengolahan Data

Metode Pengolahan Data Pengolahan data adalah suatu proses dalam

memperoleh data ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus

tertentu. Data yang kemudian dikumpulkan kemudian diolah, pengolahan data

pada umumnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (Editing)

Pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena

kemungkinan data yang masuk atau terkumpul itu tidak logis dan

meragukan.

b. Sistematis Data (Sistemazing),

Menepatkan data menurut kerangka sistematika bahan berdasarkan

urutan masalah.

c. Teknik Analisis Data

Baik Data Primer maupun Data Sekunder yang dijadikan referensi

untuk menulis skripsi ini diinventarisir dan diklasifikasikan berdasarkan

rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan skripsi. Data primer

maupun sekunder tersebut kemudian diolah dengan tujuan memperoleh

penajaman terhadap bahan hukum yang telah diinventarisir. Setelah

memperoleh penajaman, kedua bahan hukum yang telah didapatkan pun

dikaitkan dan ditelaah untuk mendapatkan penjabaran yang sistematis.

Setelah dilakukan pengolahan Data akan dilakukan analisis dengan

dilandaskan pada pendekatan yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini.

Analisis dengan cara mengintepretasikan dan mendiskusikan bahan hasil


30

penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum

serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum

diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta

yang relevan sehingga menjadi kesimpulan terhadap permasalahannya.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Tentang Ham

Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya

Pancasila sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat.Baik

yang menyangkut mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,

maupun hubungan manusia dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai

yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat pada pancasila. Dalam Undang-

Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hah Asasi Manusia, pengaturan mengenai

Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi

Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa

tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi

Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen

internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Materi

UndangUndang ini tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan hukum

masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila dan

Undang- Undang Dasar 1945.

Sedangkan di dalam Undang- Undang Dasar 1945 (yang telah

diamandemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara khusus

dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil amandemen

kedua tahun 2000. Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan amanah yang telah

diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah Undang- Undang

No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999

31
32

telah disahkan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi

Manusia. 24

Pertama, definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai

setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik

disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum

mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia

seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak

mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1 ayat

6).

Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi,

pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk

diakui sebagai pribadi dan persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut dapat di kecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi

manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk

menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua

pelanggaran hak asasi manusia yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara

Republik Indonesia menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.

Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia

sebagai berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di

24
Bambang Heri Supriyanto” Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Positif di Indonesia” Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA
SOSIAL, Vol . 2, No. 3, Maret 2014
33

bentuk pengadilan dalam ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam

jangka waktu paling lama 4 tahun sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi

Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2) di adili oleh pengadilan yang

berwenang.

Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang berwenang mengadili pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada

tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) No. 1tahun 1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang

bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1999

tentang pengadilan hak asasi manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-

Undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

tersebut di cabut.

Pada tanggal 23 November 2000 di tetapkan Undang-Undang No. 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti Perpu No. 1

Tahun 1999. Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas menyelesaikan perkara

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam hal ini adalah kejahatan

genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan seluruh atau sebagian kelompok

bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan melakukan perbuatan

membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang

berat terhadap anggota-anggota kelompok. Menciptakan kondisi kehidupan yang


34

bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah. Memaksakan tindakan-

tindakan yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut.

Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilaksanakan sebagai

bagian dari serangan yang meluas ataupun sistematik yang diketahuinya bahwa

akibat serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa

pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk

secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-

wenang, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,

pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain

yang setara, penganiayaan terhadap kelompok tertentu atau perkumpulan yang

didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis

kelamin maupun alasan lain yang telah diakui secara Universal sebagai hal yang

dilarang oleh hukum internasional, penghilangan orang secara paksa kejahatan

apartheid. Dari berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi

tersebut telah mendorong munculnya suatu usulan untuk membantu pengadilan

Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia

berat di Aceh.Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan kepada

Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad

hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Karlina Leksono dan Supelli mengatakan bahwa :

“Ketika pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia amat luas,


pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya
menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Dalam sebuah dunia yang
35

sejak perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran isu demokratisasi


dan penghormatan terhadap martabat manusia, di lama antara proses
penegakan keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi,
melahirkan apa yang oleh Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar
moral, politik dan filosofisabad ini”. 25

Sungguhpun Begitu, prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan tentu

akan lebih baik dan cerah, mengingat pada satu sisi proses institusional Hak Asasi

Manusia, antara lain melalui pembaruan serta pembentukan hukum terus

menunjukkan kemajuan yang berarti, maupun pada sisi lain terbangunnya ruang

publik yang lebih terbuka bagi perjuangan Hak Asasi Manusia dalam kurun waktu

beberapa tahun belakangan ini.

B. Lembaga Yang Dapat Mengadili Hak Asasi Manusia

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.

Segala sesuatu yang berkenaan dengan pelaksanaan sendi-sendi kehidupan

bernegara di negara ini harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma

dan kaidah-kaidah yang ada dalam kegiatan-kegiatan bernegara, Indonesia yang

menyatakan dalam pedoman dasar konstitusi bahwa Indonesia adalah negara

hukum, berarti tiada kebijakan ataupun wewenang dan amanah tanpa berdasarkan

hukum.

Lembaga pengadilan yang ada di negara Indonesia merupakan bagian dari

fungsi yudikatif yang telah diamanahkan oleh konstitusi. Keberadaan pengadilan

yaitu sebagai wadah untuk menegakkan hukum yang ada di negara ini. Lembaga

pengadilan adalah suatu lembaga yang mempunyai peran untuk mengadili dan

25
Karlina Leksono dan Supelli, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal
Demokrasi dan HAM, (Jakarta : ID H-THC, 2001) Vol 1 No. 3. Hal 9.
36

menegakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di wilayah negara hukum

nasional dan fungsi dari pada lembaga pengadilan sebagai wilayah guna

mendapatkan simpul keadilan yang tiada sewenang-wenang. Dalam lingkungan

pradilan di Indonesia, mengenai masalah-masalah Hak Asasi Manusia dewasa ini,

sedang bagitu semarak di wacanakan bukan hanya saja dalam wahana seminar,

diskusi, semiloka bahkan di dalam praktisi pengembala hukum itu sedang menjadi

topik yang sering dibicarakan dan diperdebatkan. Hak Asasi Manusia sekarang di

dunia telah menjadi suatu isu global meskipun perkembangan Hak Asasi Manusia

telah lama.

Indonesia seperti negara lain yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab

terhadap pelaksanaan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam pancasila tentu

tidak dapat diam dengan seribu bahasa berkenaan dengan pelaksanaan Hak Asasi

Manusia di wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki kultur

nilai-nilai yang begitu menghormati dan menghargai arti dasar manusia yang telah

di buktikan oleh historis Indonesia yang panjang, bahwa Indonesia suatu wilayah

yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan ke khasan yang beraneka

ragam budayanya tetapi dengan sesuai nilai-nilai budaya nusantara telah

melaksanakan dalam kehidupan sehari-harinya dalam bermasyarakat berbangsa

dan bernegara dengan bermartabat tanpa harus menghilangkan nilai-nilai budaya

nusantara yang telah menempatkan posisi manusia di dalam bingkai yang

harmonis dan kesetaraan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.

Negara Indonesia, pengadilan mengenai masalah berkaitan dengan

pelanggaran, pelecehan, dan kejahatan Hak Asasi Manusia telah ada dan di atur
37

namun hukum yang mengatur tentang pelanggaran ataupun kejahatan Hak Asasi

Manusia masih bersifat umum yaitu terdapat dalam Kitab Undang- Undang

Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya peraturan

hukum yang mengatur tentang itu belum mampu mengakomodir segala

permasalahan-permasalahan Hak Asasi Manusia yang kian hari kian berkembang

dengan seiring era globalisasi dan peradaban manusia di dunia ini.Undang-

Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen perihal tentang pengadilan yaitu

termasuk dalam kekuasaan kehakiman yang mana kekuasaan itu merdeka terlepas

dari pengaruh kekuasaan pemerintah, harus ada jaminan Undang-undang tentang

kedudukan para hakim.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

membahas tentang pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia terdapat dalam

pasal 104 yang berbunyi:

1) Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di


bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan pengadilan
umum.
2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
3) Sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di adili oleh
pengadilan yang berwenang.

Pasal 104 bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-

wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary / extra judicial killing),


38

penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi

yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination), berkenaan dengan

pengadilan yang berwenang yaitu meliputi empat lingkungan pengadilan sesuai

dengan UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan

kehakiman diubah UU No. 35 Tahun 1999.

Lembaga yang dapat mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia di

Indonesia ada empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-Undang yaitu :

1) Pengadilan Umum.

2) Pengadilan Militer.

3) Pengadilan Agama.

4) Pengadilan Niaga.

Dalam wilayah empat pengadilan tersebut para pelanggaran Hak Asasi

Manusia dapat di adili sesuai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

dilakukannya di dalam wilayah hukum Indonesia, tentu berdasarkan peraturan

hukum diatas para pelaku pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia di negara

Indonesia dapat di jatuhkan hukuman dengan tampa pandang bulu dan pilih kasih

karena di mata hukum bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran

hukum yang serius dan harus segera di hukum, supaya manusia tidak mudah

melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum khususnya pelanggaran terhadap Hak

Asasi Manusia di Indonesia, memberikan terapi “traumatic psicology” bagi

manusia lain. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia sekarang telah

memasuki babak baru dengan telah diselesaikannya Amanat Undang-Undang No.

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan pemerintah sebagai
39

penyelenggara negara dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan legislatif

guna membuat suatu perundangundangan yang berkaitan dengan pengadilan

terhadap para pelaku pelanggaran kejahatan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang- Undang no. 26 tahun 2000

tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Keberadaannya secara hukum

“menjawab” bahwa Indonesia mau dan mampu dengan sungguh- sungguh

mengadili pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, seperti yang

diamanatkan Deklarasi Hak Asasi Manuasia dan berbagai intrumen internasional

serta Pradilan Pidana Internasional. Ada keistimewaan Penagadilan Hak Asasi

Manusia Indonesia yang menganut asas “retroaktif”,yaitu mengadili pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang berat , yang dilakukan sebelum Undang-Undang nomor

26. tahun 2000, hal ini dimungkinkan dengan usul Dewan Perwakilan Rakyat dan

keputusan Presiden. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang retroaktif ini dinamakan

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.26

Pengadilan di Indonesia, mulianya pengadilan yang menangani pelanggaran

Hak Asasi Manusia belumlah banyak seperti kasus perceraian oleh pengadilan

agama, kasus kriminal oleh pengadilan umum, kasus persengketaan niaga oleh

pengadilan niaga tidak menjadikan di masa depan pengadilan Hak Asasi Manusia

di Indonesia surut dalam perkembangan ke depannya, Pancasila sebagai falsafah

bangsa dan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengandung nilai-

nilai perlindungan Hak Asasi Manusia. Mengenai perjuangan perlindungan Hak

Asasi Manusia dalam dunia peradilan mulai terwujud dengan di undangkannya

26
Seodjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia,(Bandung: Citra Aditya
Bakti,2002),Cet. I. hal. 145.
40

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),

kemudian disusul dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan pasal 104 UndangUndang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kegiatan kepemerintahan ini

merupakan perkembangan hukum yang mencerminkan wawasan perikemanusiaan

yang berakar dalam budaya bangsa yang hakikatnya merupakan ekpresi

penghargaan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam

pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Indonesia mulai digelar untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Maret 2002 yang

mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Timor-Timur

pasca jejak pendapat, yang akan disusul dengan kasus terhadap pelanggaran berat

Hak Asasi Manusia lain di tanah air. Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia

berat yang dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilakukan

oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) permanen. Penerapan peradilan Hak

Asasi Manusia (HAM) bersifat ad hoc sesuatu yang baru dalam peradilan di

Indonesia, yang tidak saja mendapat perhatian di tanah air bahkan sampai manca

negara.Demi kredibilitas dan jati diri yang berwibawa dan adil dari peradilan

Hak Asasi Manusia Indonesia. Banyak pakar dan ilmuwan yang mendalami

intrumen Hak Asasi Manusia Internasional, termasuk implementasinya dalam

dunia peradilan Hak Asasi Manusia ad hoc di Indonesia yang sangat berharga.

Menurut Indriyanto Seno Adji :

“Secara ketat sistem hukum pidana Indonesia yang konkordansi dengan


Belanda memberikan “legality principle” sebagai salah satu pilar utama bagi
setiap negara yang mengakui dan menghargai suatu “supremacy of law”,
41

juga mengingatkan beberapa hal dalam penerapan Undang-Undang Nomor


26 Tahun 2000 dalam peradilan Hak Asasi Manusia, yaitu bagi hakim
peradilan HAM ad hoc adalah harapan agan hakim ad hoc diberi kebebasan
untuk menentukan suatu “dissenting apinion” sebagai cermin akuntabilitas
terhadap publik tentunya dengan tidak mengadakan penyimpangan distrem
dari KUHAP, sikap objektif harus tercermin dari hakim ad hoc yang jauh
dari kontaminasi politik.”

C. Faktor –Faktor yang Menghambat Penindakan Pelanggaran HAM

1. Budaya

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta dibentuknya Komnas HAM,

Komnas Perlindungan Anak, dan Komnas Perlindungan Perempuan yang

bertujuan untuk memajukan dan melindungi HAM, tidaklah berarti bahwa secara

budaya berbagai instrument HAM internasional dan nasional tersebut tidak

mengalami rintangan danhambatan dalam penerapan dan pelaksanaanya.

Dalam wawancara penulis pada tanggal 03 November 2022 dengan Kepala

Satreskrim Kolaka mengatakan :

"Kalau kita ingin membicarakan HAM itu sebenarnya kita berbicara


mengenai kebudayaan. Sedangkan konsep Bhinneka Tunggal Ika lebih
mengarah kepada deklarasi kebudayaan. Ia juga menegaskan bahwa
pelaksanaan Bhinneka Tunggal Ika perlu diisi dengan nilai HAM agar
tumbuh nilai toleransi di dalam tatanan masyarakat. Strategi kebudayaan
harus ramah HAM dengan begitu kesatuan bangsa Indonesia bisa
dipertahankan.Titik temu antara HAM dan kebudayaan adalah kebebasan
berekspresi,"27

27
Wawancara, Kepala Satreskrim Kolaka pada tanggal 03 November 2022 Pukul 09.13
wita
42

Wawancara diatas mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang

Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan hak budaya sekaligus kebebasan

dalam bereskpresi.

Lebih lanjut ia menjelaskan pentingnya perlindungan hak dalam

mengembangkan kebudayaan.

"Bentuk perlindungan hak dalam kebudayaan ialah kebebasan berekspresi,


HAM penting dalam pelaksanaan kebudayaan karena HAM menjaga ruang
berekspresi tetap ada. Saya tegaskan bahwa semua kegiatan kebudayaan
dapat berkembang jika memiliki prinsip HAM di dalamnya. Karena Bahan
baku kebudayaan adalah kreativitas. Kreativitas timbul karena adanya ruang
berekspresi. Tanpa adanya ruang berekspresi sebuah kebudayaan tidak akan
berkembang," 28

Wawancara penulis pada tanggal 03 November 2022 dengan staff Reskrim

Kolaka menyatakan bahwa :

“Saya berharap Komnas HAM mampu mendorong terlaksananya kebebasan


berekspresi. Selain itu, ia juga mengajak semua pegiat kebudayaan untuk
peduli dan mengedepankan prinsip HAM dalam mengembangkan sebuah
kebudayaan”.29

Selanjutnya, Wawancara Penulis tanggal 04 November 2022 dengan Kepala

Unit Polres Kolaka menyatakan :

“dalam melihat sebuah kebudayaan perlu memahami tiga aspek, yaitu


bagaimana menghargai, bagaimana melindungi, dan bagaimana
melaksanakan serta menjalankan kebudayaan tersebut, Masyarakat kolaka

28
Wawancara, Kepala Satreskrim Kolaka pada tanggal 03 November 2022 Pukul 09.13
wita
29
Wawancara, Staff Reskrim Kolaka pada tanggal 03 November 2022 Pukul 11.20 wita
43

sendiri masih menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang


menguntungkan bahkan kebudayaan masih dilihat sebagai pemasukan
negara. Sedangkan kaitannya kebudayaan dengan HAM tidak bisa
dipisahkan dengan pendidikan. Pendidikan, menjadi penting untuk
memahami dan menerapkan prinsip HAM dalam berkebudayaan sehingga
membuat penindakan pelanggaran HAM menjadi terhambat dikarenakan
masyarakat bahkan pemerintah lebih mengedepankan budaya”30

Berdasarkan dari perspektif lainnya menemukan titik temu antara HAM dan

kebudayaan, yakni hakikay HAM itu sendiri.

"Dalam hubungannya dengan pembicaraan kebudayaan, HAM menjadi


acuan sebagai mutu kebudayaan kita," jelasnya.

Ia juga mengingatkan untuk membentuk sebuah kebudayaan yang

berkualitas perlu adanya wawasan terhadap prinsip HAM. "Penting untuk

mengisi kreativitas dengan topik-topik HAM, wawasan akan HAM harus

ditingkatkan,"imbuhnya

2. Politik

Mekanisme lembaga penegak hukum yang fragmentaris sehingga sering

menimbulkan disparitas penegak hukum dalam kasus yang sama. Sistem

penegakan hukum dan upaya mencari keadilan di Indonesia mengenal tingkatan

peradilan yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Misalnya, suatu perkara

yang diputus dengan vonis hukuman berat di tingkat pertama (pengadilan negeri)

ternyata divonis dengan hukuman seringan-ringannya di tingkat banding

(pengadilan tinggi), bahkan mungkin dibebaskan. Masyarakat awam sangat sulit

30
Wawancara, Kepala Unit Polres Kolaka pada tanggal 04 November 2022 Pukul 10.03
wita
44

memahami hal ini. Kenyataannya, hukum pidana material (KUHP) di Indonesia

memberlakukan sistem hukuman maksimal. Oleh sebab itu, dalam perkara yang

sama dimungkinkan terjadinya perbedaan bobot hukuman oleh hakim dari tingkat

peradilan yang berbeda.

3. Hukum

Keadaan geografis Indonesia yang luas dan jumlah penduduknya yang

banyak menimbulkan kendala dalam komunikasi dan sosialisasi produk hukum

dan perundang-undangan. Sosialisasi dalam waktu yang relatif lama diperlukan

oleh suatu produk hukum tertentu yang berskala nasional.

Budaya hukum dan hak asasi manusia yang belum terpadu. Dalam

kasus hukum tertentu, perbedaan persepsi masih sering mewarnai kehidupan

masyarakat. Hal ini disebabkan oleh penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan

kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat bervariasi.

Dalam wawancara penulis tanggal 03 November 2022 dengan KASAT

Reskrim Kolaka Mengatakan :

“Dalam penegakan HAM kami kadang mengalami kesulitan dalam


melakukan penindakan karna perbedaan pandangan UU, Contoh seperti
perbedaan pandangan mengenai pengertian zina menurut KUHP dan hukum
Islam. Dalam KUHP, hukum atas perbuatan zina hanya dikenakan pada
laki- laki dan perempuan yang telah menikah yang melakukan
perselingkuhan. Sementara, hukum Islam menghendaki hukum yang sama
berlaku pula pada pelaku, laki-laki dan perempuan, yang belum menikah.”

Selanjutnya, Wawancara peneliti pada tanggal 04 November 2022 dengan

Kanit Polres Kolaka mengatakan :

“adapun hambatan dalam penindakan Pelanggaran HAM adalah masih


45

Rendahnya penguasaan hukum dari sebagian aparat penegak hukum, baik


dalam teori maupun pelaksanaan. Tingkat keseriusan dalam menangani
perkara akan rendah apabila kualitas aparat penegak hukumnya rendah dan
cara yang dipakai sering bertentangan dengan hukum itu sendiri.
Contohnya, penangkapan aktivis keagamaan yang dilakukan dengan cara
kasar dan tidak menghargai hak asasi manusia, padahal bertentangan dengan
aturan dan etika.”

Berdasarkan dengan wawancara diatas untuk penindakan pelanggaran masih

belum maksial karena rendahnya Kualitas peraturan perundang-undangan dan

SDM yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ini disebabkan oleh sifat

pemerintahan pada masa diberlakukannya undang-undang tertentu (misalnya,

pemberlakuan UU No. 11 PNPS/1963 tentang Subversi oleh pemerintahan masa

Orde Lama) dan sistem tata hukum nasional yang masih memberlakukan hukum

peninggalan atau warisan hukum kolonial.

D. Analisis Hukum

Berdasarkan wawancara Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam

penegakan HAM adalah sebagai berikut :

1) Penegakan hukum yang kurang atau tidak bijaksana karena

bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Misalnya, hak atas

penggunaan tanah yang kepemilikannya diatur dengan undang-

undang dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Namun,

hak yang semestinya masih tetap berfungsi sosial ini digunakan

untuk hal-hal yang tidak selaras dengan perasaan hukum dan

keadilan masyarakat.

2) Kesadaran hukum yang masih rendah sebagai akibat rendahnya


46

kualitas sumber daya manusia. Masih rendahnya taraf pengetahuan

dan kesadaran hukum sebagian warga masyarakat menghasilkan

ketidakpedulian dan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak

asasi orang lain.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hah Asasi

Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan

berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa

Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan

Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen

internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia.

2. Faktor-Faktor yang menghambat penindakan pelanggaran HAM yaitu:

a) Faktor Budaya

b) Faktor Politik

c) Faktor Hukum

B. Saran

1. Agar aparat penegak hukum bisa semakin tanggap terhadap segala

bentuk Tindakan yang melanggar HAM agar menerapkan hukum

sebagaimana mestinya.

2. Keberhasilan penegakan hukum adalah timbulnya rasa kesadaran

hokum dari masyarakat dan ketidakinginan masyarakat untuk

melanggarhukum. Dalam ajaran agama dan peraturan manapun itu

melakukan tindak kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan yang

sangat dilarang. Jadi, tugas kita bersama untuk saling mengingatkan

47
48

supaya kita tetap menjadi pribadi-pribadi yang sadar hukum.

Pemerintah, masyarakat, dan keluarga adalah terbesar bagi proses

pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa depan anak

Indonesia yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Rozak Husein, Hak-hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahayati Aneska,
2002.
Ahmad, Yulianti, & Fajar, Mukti, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2010.
Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Bandung: Gema Risalah
Pres, 2011.
Ali, Afandi, HukumWaris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakara: PT.
Rineka Cipta, 2004.
Arif, Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Presindo, 1989.
Arianto, Satya, Dimensi-Dimensi HAM, mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2009.
Bagir, Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum,
Jakarta: PT. Alumni, 2006.
Barda, Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Bisma, Siregar, Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta: Rajawali, 1998.
Bob, Franklin, Bagaimana Hukum Memikirkan Tentang Anak (How the Laws
Thinks About Children), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LBH APIK,
2005.
Bob, Franklin, Bagaimana Hukum Memikirkan Tentang Anak (How the Laws
Thinks About Children), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LBH APIK,
2005.
Dahliar, Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Quran, Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra, 1995.
Darwan, Prints, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005
Depkes RI, Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: 1999.
Munif, Ahmad, Perlindungan Hukum bagi Istri & Ancaman Kekerasan Rumah
Tangga dalam Islam, Skripsi, Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2001.
Muammar, Arafat Yusmad, Harmoni Hukum Indonesia, Makassar: Aksara Timur,
2015.
M, Nipan, Abdul Halim, Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005.
Nasir, M, Paradigma Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, Surabaya:
Nusantara, 200.
Pandan,Wangi Putri, Smart Parent and Happy Child Curvaksara, Yogyakarta: PT.

49
50

Grafindo Persada, 2009.


Pohan, R. Soetojo, Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan Keluarga (Personan En
Familie-Recht), Jakarta: Airlangga University Press, 2009.
Purwadi, Lihat Imam, Penelitian Perdangangan ( Traficking) Perempuan & Anak
di Nusa Tenggara Barat, NTB, Lembaga Perlindungan Anak, 2006.
Rahman, Facthur, Ilmu Waris, Bandung : Al-Ma’rif, 1981.
Saraswati, Rika, Hukum Pelindungan Anak di Indonesia, Bandung : Aditya Bakti,
2009.
Seto, Mulyadi, Kekerasan pada Anak, Kompas 14 Januari, 2006.
Shanty, Dellyana, Wanita & Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1988.
Shahih Muslim, Imam Muslim, Jus 11,Beirut,Lebanon: Al-kutub, Alilmiyah, 1996.
Shalahuddin, Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Amissco, 2009.
Sholeh, Soeaidy, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: CV Noviando
Pustaka, 2001
Siti, Chabilah, Pelaksanaan Pembinaan Agama Islam di Lembaga Permasyaratan
Anak (LPA Blitar), Skripsi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.


Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Anda mungkin juga menyukai