LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
1
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia,
Depok, 8 Maret 2003, hlm, 2.
2
Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM) mengenai “Hak Memperoleh Akses Peradilan
Pidana”, www.komisihukum.go.id
1
yang canggih. Masyarakat pelbagai negara, termasuk Indonesia dihadapkan
pada persoalan baru, yang menjadi issue internasional, berupa demokratisasi
hukum. Pemujaan hukum sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan
sarana ketertiban mulai banyak dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep
baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang
berusaha memasukan pemahaman hukum sebagai sarana perlindungan hak-
hak warganegara yang berintikan pengaturan dengan mengedepankan
kepentingan umum.3
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.4
Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi, bahwa berbicara mengenai
hukum, maka tidak terlepas pula berbicara mengenai sistem. 5 Sehingga
wacana perbincangan mengenai suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat
kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam elemen dari sebuah negara.
3
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm.
ix.
4
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 2.
5
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan
Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013, hlm. 2.
6
Ada ahli hukum yang menyebutnya sebagai Teori Gabungan. Teori ini dicetuskan oleh Gusav
Radbruch, ahli hukum yang berasal dari Jerman.
2
Masyarakat dipaksa untuk memahami kerumitan proses peradilan
pidana tanpa adanya proses sosialisasi dan penyuluhan mengenai bagaimana
beracara di peradilan pidana. Yang pada akhirnya, beracara peradilan pidana
menjadi suatu monopoli sarjana-sarjana hukum dengan segala sifat ke-
eksklusifan-nya.
Saat ini, R-KUHAP draft 2012 dan R-KUHP telah masuk ke dalam
Prolegnas, dan sudah mulai di bahas di Komisi III DPR. Namun ironisnya,
pihak legislatif tidak memahami posisi R-KUHAP dan R-KUHP. Sehingga
saat ini, perdebatan pro kontra terkonsentrasi pada pembahasan R-KUHAP,
sedangkan R-KUHP sepertinya diabaikan.
7
“Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber: http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/,
diakses tanggal 6 Desember 2018.
3
pembaruan hukum acara pidana di Indonesia telah direspon oleh pemerintah
dengan membuat suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana8 dan RUU tentang
KUHP.
Di dalam RUU KUHP Draft 2010, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
sebagai berikut:
Dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP Draft 2010
sebagai berikut:
8
JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2013, hlm. x.
4
Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-
nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta
tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh
konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya
kejahatan.9
9
Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori,
Praktik dan Prosedurnya, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013, hlm. 227.
10
Hukum Delik Adat adalah aturanaturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan
kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan agar
keseimbangan masayarakat tidak terganggu. Lihat: Surojo Wignjodipuro, Pengantar AsasAsas
Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 13.
5
Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang
menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan
hubungan kelamin di luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh
kepala adat, tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan
peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar
hukum adat dan dijatuhkan hukuman penjara menurut ketentuan hukum
pidana.
11
Eva Achjani Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Sumber:
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,_sh.,mh.pdf, hlm. 4.
6
B. Rumusan Masalah
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
“Membaca Dua Fase Pemikiran Mochtar”, Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508615572f01c/membaca-dua-fase-pemikiran-
mochtar, diakses pada tanggal 22 Juni 2017.
13
Mochtar Kusumaatmadja sendiri tidak pernah mendeklarasikan teorinya sebagai Teori Hukum
Pembangunan, namun kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang
mengapresiasi pandangan-pandangan Beliau sebagai dengan memberikan penamaan “Teori Hukum
Pembangunan”
8
hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia
dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh
dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau
diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka
Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup
(way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila
yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah
yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah
merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan
substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman.
Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.14
14
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.
Sebuah Kajian Deskriptif Analitis, Sumber:
http://badilum.info/upload_file/img/article/doc/kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangu
nan.pdf, diunduh pada tanggal 22 Juni 2017, hlm. 1-2.
9
living law dalam masyarakat dan sesuai dengan pencerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat tersebut.15
15
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, hlm. 65-66.
16
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Indonesia: Sebuah Gagasan Membangun Teori Hukum Di
Tengah Situasi Global, Jurnal Humaniora, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Vol. 1, No. 1, Februari 2000, hlm. 42-43.
10
pergaulan dan perkembangan pada tingkat global;17 Kelima, pada saat
kemerdekaan diproklamasikan, jumlah sarjana hukum yang kompeten,
seperti juga halnya dengan sarjana-sarjana bidang lain, lebih-lebih sarjana
hukum yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang legislative
drafting, masih terlalu sedikit untuk mampu dalam waktu singkat
menghasilkan berbagai perangkat kaidah hukum positif nasional yang
diperlukan untuk menata dan menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang merdeka.18
17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Bandung: Bina
Cipta, 1976, hlm. 4.
18
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Tipologi Pemikiran Hukum: Sebuah Eksemplar
Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, dalam Digest Epistema, Vol. 2, 2012, hlm. 12.
19
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……..Op.cit., hlm. 63.
11
bahkan telah merangkul aliran analytical jurisprudence, aliran sociological
jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.20
20
Ibid., hlm. 68.
21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 213.
22
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001, hlm. 66.
23
Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 180.
12
fungsi pembentukan hukum. Penyataan bahwa “hukum sebagai suatu unsur
dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum” tersebutlah
yang kemudian dikenal dengan teorinya “law as a tool of social
engineering”.24
24
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Heaven: Yale University Press,
1954, hlm. 47.
25
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum Sociological Jurisprudence Terhadap
Perkembangan Pembangunan Hukum di Indonesia Pada Masa Orde Baru, Laporan Hasil Penelitian
Dosen, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, Tahun 2005, hlm. 11.
13
hukum yang baik jika sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
atau sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law).
Pernyataan ini membuktikan bahwa aliran Sociological Jurisprudence yang
dikembangkan oleh Eugen Erlich tidak pula menolak kebenaran tesis yang
dikemukakan mazhab sejarah bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan
berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat. Jadi, bagi aliran
Sociological Jurisprudence, tesis yang dikembangkan oleh aliran positivisme
hukum dan mazhab sejarah adalah benar dan keduanya sama pentingnya.26
Dengan pernyataan ini, menurut Hotma P. Sibuea, aliran Sociological
Jurisprudence telah mengemukakan suatu pemikiran hukum yang lebih maju
dari aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah yaitu hukum yang
berkepastian dan sekaligus mengandung unsur keadilan.27
26
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995, hlm. 111.
27
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 17.
14
pertama dari segala hukum, menurut Mochtar Kusumaatmadja, adalah
ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu
masyarakat yang teratur.28 Pada sisi lain, Northrop pula menerapkan teori dari
Eugen Ehrlich tersebut di atas, pada suatu situasi konkrit yang dihadapi
dengan mengatakan bahwa “…the best solution is that which shows the
greatest sensitivity to all factors in the problematic situation.” Terhadap
pandangan dari Northrop tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan
bahwa pikiran dalam hukum itu harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri
dengan keadaan yang telah berubah sesungguhnya telah terdapat pula dalam
alam pikiran bangsa Indonesia.29
28
Shidarta, Teori Hukum Integratif dalam Konstelasi Pemikiran Filsafat Hukum (Interpretasi atas
sebuah Teori Rekonstruksi), Sumber: http://shidarta-articles.blogspot.co.id/2012/05/teori-hukum-
integratif-dalam-konstelasi.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2017.
29
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 5.
30
Ulang Mangun Sosiawan, Efektifitas Peraturan Perundang-Undangan Kaitan Dengan
Pembangunan Daerah Tertinggal, Laporan Akhir Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2011, hlm. 8.
15
pembinaan hukum nasional sebagai penjabaran (uitwerking) daripada
konsepsi hukum tersebut.31
1. Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral,
agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan lain-lain), yang
merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat,
sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup atau living law.
2. Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk
mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
31
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 1.
32
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……. Op.cit., hlm. 63.
33
Sidharta, Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori
Hukum Pembangunan, Eksistensi dan Implikasi, Jakarta: Epistema Institute, 2012, hlm. 23.
16
(teratur); hukum tanpa kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman).
5. Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang
merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang
teratur; untuk tercapainya ketertiban diperlukan kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat; tujuan kedua setelah
ketertiban adalah keadilan yang isi keadilan ini berbeda-beda menurut
masyarakat dan zamannya.
17
8. Pembangunan harus dimaknai seluas-luasnya meliputi segala segi dari
kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka.
18
f. Reaksi masyarakat karena menganggap perubahan itu bisa
melukai kebanggaan nasional;
34
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……. Op.cit., hlm. 65-66.
19
2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan
tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum
menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam
proses pembangunan;
4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
itu;
35
Ibid., hlm. 66-68.
20
perkembangan masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan
perundang-undangan, tidak hanya putusan pengadilan;
36
Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar Kusumaatmadja: Manusia Yang Pernah Saya Kenal dan
Pemikirannya (sebuah Pengantar Ringkas), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusumaatmadja dan
Teori Hukum Pembangunan……..Op.cit., hlm. xxi.
21
keputusan pengadilan atau hukum jurisprudensi. Dengan demikian, titik berat
rekayasa masyarakat menurut Pound berada di pundak pengadilan (hakim).
Hal ini tentu saja sesuai dengan sistem Common Law yang berlaku di
Amerika. Untuk kasus Indonesia, hal demikian jelas tidak mungkin
dilaksanakan karena Indonesia mengajut Civil Law yang lebih
mengutamakan hukum perundang-undangan. Maka, yang dimaksud dengan
hukum dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat tentu
saja adalah undang-undang.37 Perbedaan itu timbul karena konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang dikemukakan Mochtar
Kusumaatmadja, antara lain:38
37
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 13.
38
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum.......Op.cit., hlm. 83-84.
39
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 15.
22
“kesadaran hukum masyarakat” atau “perasaan keadilan masyarakat” dan
siapakah yang dapat mengungkapkannya?40
40
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 7.
41
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusumaatmadja dan Teori Hukum Pembangunan……..Op.cit., hlm. 121.
42
Ibid.
23
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kondisi yang
disebabkan karena kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat
untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita
harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat.
Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau
peradilan yang secara formal yuridis harus tepat karena eratnya hukum
dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.
Karena itu, ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun,
memerlukan pendidikan yang lebih baik dari biasanya, dalam arti meliputi
suatu spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya yang dibutuhkan dalam
mempelajari hukum positif.43 Maka, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan
bahwa hendaknya dimulai dengan peningkatan kewaspadaan dan kemauan
untuk melaksanakan hak-haknya sebagai warganegara, termasuk
mewujudkan masyarakat dan negara yang diinginkan yaitu masyarakat dan
negara berdasarkan hukum.44 Selain itu, Mochtar Kusumaatmadja
menjelaskan bahwa hukum yang dibuat harus sesuai atau memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat.45
43
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum ......... Op.cit., hlm. 15.
44
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 42.
45
Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika
Aditama, 2010, hlm. 28.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung:
Bina Cipta, 1975, hlm. 3.
24
Dengan peran hukum seperti ini, Mochtar Kusumaatmadja ingin membangun
hukum yang memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya
pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legitimasi kepada
kekuasaan. Disini Mochtar Kusumaatmadja memberikan formula yang tegas
bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan sekaligus menepis
tudingan bahwa konsep pembangunan hukum Mochtar Kusumaatmadja
adalah alat untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.47
47
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm. 123-124.
48
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka.......Op.cit. hlm. 4.
49
Atip Latipulhayat, Mochtar Kusumaatmadja, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 3,
Tahun 2014, hlm. 630.
25
ini mencakup di dalamnya keadilan sosial (sila kelima Pancasila). Persoalan
manusia Indonesia di dalam pembangunan di dasarkan pada asumsi
penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan
berpikir dan bertindak manusia Indonesia.50 Lebih lanjut Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari
nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.51
50
Sidharta, Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm.
19-22.
51
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis,
Bandung: Alumni, 2002, hlm. 10.
52
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm. 124-128.
26
ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas
persamaan). Apabila tujuan hukum dalam negara Pancasila pada
analisis di atas adalah keadilan sosial, maka fungsi hukum jadinya
adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita itu dalam kenyataan;
27
digunakan dalam memberikan pemaknaan terhadap terminologi tersebut.
Oleh karena itulah, guna memahami makna dari ‘politik hukum’, menurut
Otong Rosadi dan Andi Desmon, terdapat dua model pendekatan, yaitu:53
Tidak jauh berbeda dengan pengertian hukum, sampai sejauh ini juga
belum terdapat keseragaman tentang pengertian politik hukum. Dalam
pandangan F. Sugeng Istanto, akibat belum terdapat kesepakatan tentang
sasaran pokok bahasan politik hukum, maka hingga kini belum terdapat pula
kesamaan pengertian politik hukum.56 Terlepas dari masalah kesepakatan
53
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum. Suatu Optik Ilmu Hukum, Yogyakarta:
Thafa Media, 2013, hlm. 3.
54
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2012, hlm. 19
55
F. Sugeng Istanto, Politik Hukum. Bahan Kuliah, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 2004,
hlm. 3.
56
Ibid
28
sasaran dan belum adanya keseragaman pengertian, sejauh yang dapat
ditelusuri, tambah F. Sugeng Istanto, Politik Hukum telah diperkenalkan di
Indonesia oleh Lemaire dalam bukunya Het Recht in Indonesie pada tahun
1952.57
57
Ibid
58
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, 1961,
hlm. 124.
59
Ibid., hlm. 124-125.
29
istilah asing, politik hukum pidana dikenal dengan policy penal, criminal law
60
atau strafrechts politiek. Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka
istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebutkan dengan istilah
“politik hukum pidana”. Yang dalam istilah asing, politik hukum pidana
dikenal dengan policy penal, criminal law atau strafrechts politiek. 61
60
Ibid., hlm. 27.
61
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 24
62
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002, hlm. 28.
63
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 59.
64
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1994, hlm. 4
30
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa Politik Hukum Pidana
merupakan bagian dari Politik Kriminal, dimana Politik Kriminal itu sendiri
terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:65
65
Sudarto (1), Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta,1986, hlm. 152.
66
Barda Nawawi Arief (4), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 24
67
Barda Nawawi Arief (3), Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 20-21.
31
perbuatan tertentu yang melawan hukum yang tidak mungkin diterima oleh
masyarakat. Suatu alasan sebab apa hukum pidana tidak dapat dihapuskan
ialah bahawa hukum pidana dengan teliti menunjuk dalam hal-hal mana
Negara berhak untuk bertindak terhadap seorang penduduk lewat jalur hukum
acara pidana.
68
Wahab Ahmad, Politik Hukum Pidana Dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Sumber: http://www..badilag.net, hlm. 5.
69
Widiada Gunakarya dan Petrus Irianto, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 10.
32
Politik Hukum Pidana (Politik Kriminal) tidak hanya berdiri sendiri
tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh
hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan
hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum
pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini tentunya dilaksanakan
melalui sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) yang terdiri
dari sub sistem Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
70
Muladi, Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas Dalam RUU KUHP, Makalah yang dipresentasikan dalam Focus Group
Discussion yang diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi dalam Rancangan
KUHP, Hotel Ibis Tamrin, Jakarta, 28 September 2006, hlm. 1.
33
Kami sebagai Peneliti menggunakan jenis Metode Penelitian Hukum
Normatif, adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan
pengembanan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut Dogmatika
Hukum (rechtsdogmatiek) atau Ilmu Hukum Positif atau Ilmu Hukum
Dogmatik atau Ilmu Hukum Praktikal.71 Yang kemudian menjadi kajian dari
penelitian hukum normatif yaitu yang berkaitan dengan bagaimana cara
kerjanya sebuah ilmu, artinya apa dan bagaimana metodenya, akan ditentukan
oleh apa yang dicari oleh ilmu itu, atau dengan kata lain, apa visi dan misi
dari ilmu yang bersangkutan, dan terkait padanya apa yang menjadi persoalan
pokok atau persoalan inti dalam ilmu tersebut.
B. Pendekatan Penelitian
71
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2009,
hlm. 40.
72
Peter Mahmud Marzuki, Karakteristik Ilmu Hukum, Sumber (online): http:// download.
portalgaruda.org/article.php?article=18635&val=1156, diakses pada tanggal 6 Desember 2018,
hlm. 24.
73
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 2002,
hlm. 23.
74
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia
Publising, 2012, hlm. 300.
34
logis tipe penelitian ini merupakan penelitian hukum normatifatau penelitian
hukum dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal.
Kemudian sebagai penelitian hukum normatif maka metode pendekatan yang
diterapkan untuk membahas permasalahan penelitian, dapat lebih dari satu
jenis metode pendekatan.
C. Sumber Data
Sumber yang digunakan pada penelitian normatif 76 yang paling utama
dalah kepustakaan sebagai data sekunder, yaitu terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[UUD NRI 1945];
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP];
c. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil [UU Drt No. 1/1951];
75
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi,.........Op.cit., hlm. 18
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Radja
Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 12-14.
35
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana [UU No. 8/1981] atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana [KUHAP];
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman [UU No. 48/2009].
2. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum yang diperoleh
dari buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan objek yang
diteliti, termasuk di dalamnya adalah Rancangan KUHAP dan
Rancangan KUHP
3. Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari Kamus dan Ensiklopedia.
D. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini mendasarkan diri
kepada metode kegiatan ilmiah dari Ilmu Hukum. Dimana Ilmu Hukum atau
Dogmatik Hukum adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya mencakup kegiatan
menginventarisasi, memaparkan, menginterpretasi dan mensistematisasi
serta juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu
masyarakat atau Negara tertentu, dengan bersaranakan konsep-konsep,
kategori-kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi, dan metode-metode
yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan
tersebut, yang keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan
upaya menemukan penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum, baik mikro
maupun makro, yang mungkin terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, Ilmu
Hukum secara langsung terarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian
yuridis terhadap masalah konkret.
Cara berfikir tersebut yang dikenal dengan istilah penalaran hukum
(legal reasoning), yang berguna untuk menetapkan putusan hukum untuk
ditawarkan sebagai penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi. Atau
sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, “penalaran hukum”
merupakan pemaparan otoritatif yang formal, yang bertujuan untuk
36
menunjukan bagaimana dan mengapa seorang pembuat keputusan sampai
pada kesimpulan tertentu. 77
Adapun legal reasoning tersebut merupakan metode berfikir yuridis
untuk mengidentifikasi, berdasarkan tatanan hukum yang berlaku, hak-hak
dan kewajiban yuridis spesifik dari para pihak terkait.
Untuk mempersiapkan proses legal reasoning (penalaran hukum)
guna mencapai putusan hukum (proposisi hukum) secara rasional
bertanggung jawab, maka kegiatan ilmiah Ilmu Hukum mencakup
interpretasi dan sistematisasi aturan-aturan hukum. Menginterpretasi aturan
hukum adalah upaya menemukan makna dari aturan hukum itu, artinya
mendistilasi atau menarik keluar dan menampilkannya ke permukaan kaidah
atau makna hukum yang tercantum atau tersembunyi di dalam aturan hukum
yang bersangkutan. Dalam proses menemukan hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal.
Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan
dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-
konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.
Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-
penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara
lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan
penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna
dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum
berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-
jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.78
77
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, [Penterjemah : M. Khozim],
Bandung: Penerbit Nusamedia, 2013, hlm. 307.
78
Ahmad Muliadi, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Mata Kuliah Penemuan Hukum, Pascasarjana
Universitas Jayabaya, hlm. 2.
37
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Penegakan hukum itu sendiri menurut Nyoman Serikat Putra Jaya dapat
diartikan sebagai “perhatian dan penggarapan”, baik perbuatan- perbuatan melawan
hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan
melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Dengan
demikian, di sini penegakan hukum tidak hanya diartikan sebagai penerapan hukum
positif, tetapi juga penciptaan hukum positif.80
79
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing,
2009, hlm. 12.
80
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 52.
38
Penciptaan hukum positif yang merupakan arti dari penegakan hukum
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya tersebut,
menunjukkan bahwa suatu pembaharuan hukum berpijak pada ius constitutum
menuju ius constituendum. Hal ini berarti juga bahwa kebijakan hukum pidana atau
penal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Dalam
melakukan pembaharuan tersebut, tentu harus dilihat masalah pokok hukum pidana
yaitu “tindak pidana” (strafbaarfeit/criminal act/actus reus), “kesalahan”
(schuld/guit/mensrea), dan “pidana” (straf/punishment/poena).81 Usaha
penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana)
juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social
defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).82
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa
tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga arah dari kebijakan politik
hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem
dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib
dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1. Supremasi hukum;
81
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman pemidanaan, Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
2011, hlm. 5.
82
Muladi, Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas Dalam RUU KUHP, Makalah yang dipresentasikan dalam Focus Group
Discussion yang diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi dalam Rancangan
KUHP, Hotel Ibis Tamrin, Jakarta, 28 September 2006, hlm. 6.
39
ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,
tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik
hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum.
83
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Bandung: Genta Press, 2011, hlm. 90-
91.
84
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman........Op.cit., hlm. 43.
40
dan kendala reformasi hukum yang akan dialami dalam reformasi hukum di
Indonesia, yaitu:85
1. Tehnis, yakni dalam bentuk mengenali nilai, norma yang hidup dalam
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa;
5. Pengaruh luar, reformasi hukum yang sesuai dengan nilai, norma, dan budaya
bangsa Indonesia akan sulit diwujudkan sepanjang Indonesia masih “didikte”
oleh kekuatan-kekuatan asing seperti IMF di dalam memberikan pinjaman
kepada Indonesia atau badan-badan lainnya.
85
Khudzaifah Dimyati, Op.cit., hlm. 13-14.
41
Sebagaiamana hal tersebut turut dipertanyakan oleh Valerine J.L. Kriekhoff,
apakah hukum adat masih diakui eksistensinya?86 Proses modernisasi telah
melenyapkan dasar kemasyarakatan dari hukum kebiasaan tradisional hukum adat
(hampir) sebahagian besar tanah air.87
86
Valerine J.L. Kriekhoff, Arah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional – Penggunaan Hukum
Adat, Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN
2013) dengan tema “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan oleh
Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.
87
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2011, hlm. 131
88
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo, 1997, hlm. 6
42
ditantang untuk merealisasi cita-cita menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan
pembaharu, mendorong terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat
lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru
yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang nasional
(dan bahkan kini juga global).89 Oleh karena itu, Bernard Arief Sidharta
berpendapat bahwa dengan diproklamirkan kemerdekaan Negara Republik
Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka sebenarnya secara implisit
sudah terjadi perubahan dalam isi cita hukum sebagai asas dasar yang
mempedomani (basic guiding principles) dalam penyelenggaraan hukum di
Indonesia.90
89
Soetadyo Wignjosoebroto, Hukum. Paradigma, Metode dan Masalah, Jakarta: ELSAM dan
HUMA, 2002, hlm. 166-167.
90
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik
Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Genta Publishing, 2013, hlm. 95.
43
Pengadilan-Pengadilan Sipil (UU Drt No. 1/1951) yang menegaskan sebagai
berikut:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat,
ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
1) bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
dengan besar kesalahan yang terhukum,
2) bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham
hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti
seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya
yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
UU Drt No. 1/1951 tersebut, walaupun tidak secara efektif berlaku dan
dijalankan dalam praktik peradilan pidana. Namun demikian, kebutuhan akan
mengakomodir nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 5/2004) menjelaskan bahwa dalam
memeriksa perkara, Mahkamah Agung berkewajiban menggali, mengikuti, dan
memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hal yang sama dapat pula dijumpai dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) yang
menegaskan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
44
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Yang kemudian dipertegaskan kembali dalam Pasal 50 ayat (1) UU No. 48/2009
yang menegaskan “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.”
45
(2). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Adapun gejala keempat, pengakuan pidana adat melalui peradilan umum
sehingga memunculkan beberapa yurisprudensi mengenai diakomodirnya
kepentingan hukum adat, yaitu antara lain:
46
Berdasarkan ketujuh fenomena tersebut, maka menjadi suatu kebutuhan
bagi Mahkamah Agung untuk mempersiapan secara institusional suatu badan
peradilan khusus yang berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat
secara kepidanaan. Hal ini menjadi penting, oleh karena ketidakseragaman
pengetahuan Hukum Pidana dan Hukum Adat yang dianut oleh Aparat Penegak
Hukum khususnya Penyidik Polri dan Penuntut Umum.
91
Menurut Widodo Dwi Putro, nomor putusan sengaja dikaburkan dalam fotocopy an putusan
pengadilan tersebut, guna menghormati Kode Etik; Lihat: Widodo Dwi Putro, Tinjauan Kritis
Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2011, hlm. 214.
47
damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan
masyarakat.92
BAB V
SIMPULAN
92
I Nyoman Nurjaya, Memahami Kedudukan Dan Kapasitas Hukum Adat Dalam Politik
Pembangunan Hukum Nasional, Jurnal PERSPEKTIF, Vol. XVI, No. 4, 2011, hlm. 237.
48
dan keterjebakan dalam paradigma hukum tertulis, menjadi suatu hal yang bersifat
urgent (penting). Selain merupakan amanah perjuangan kemerdekaan bangsa, dan
amanah dari amandemen konstitusi, eksistensi peradilan pidana adat menjadi suatu
perekat sosial dalam masyarakat terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar
Maju, 2009.
49
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Ikhtiar, 1961.
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum. Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, 2013.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana,
2011.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1983.
50
Surojo Wignjodipuro, Pengantar AsasAsas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,
1982.
Internet / Jurnal
Ahmad Muliadi, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Mata Kuliah Penemuan Hukum,
Pascasarjana Universitas Jayabaya.
Eva Achjani Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Sumber:
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,
_sh.,mh.pdf
51