Anda di halaman 1dari 51

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan

Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam


dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa bidang hukum
pidana – termasuk sistem dan proses peradilan pidananya – menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan, tetapi juga mendapat
celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.1

Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai


dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan,
pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang
sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak mudah difahami serta kadang kala
menakutkan bagi masyarakat awam. Persepsi yang demikian tidak dapat
dihindari sebagai akibat banyaknya pemberitaan di media massa yang
menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari keadilan seringkali
dihadapkan pada kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, baik disebabkan
oleh ketidaktahuan mereka akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik
dari aparat penegak hukum.2

Indonesia sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun dan


harus mengatur serta mengartikulasikan pelbagai kepentingan masyarakat
yang sangat plural ini, tentunya tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh
regional dan internasional, sebagai akibat kemajuan tehnologi komunikasi

1
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia,
Depok, 8 Maret 2003, hlm, 2.
2
Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM) mengenai “Hak Memperoleh Akses Peradilan
Pidana”, www.komisihukum.go.id

1
yang canggih. Masyarakat pelbagai negara, termasuk Indonesia dihadapkan
pada persoalan baru, yang menjadi issue internasional, berupa demokratisasi
hukum. Pemujaan hukum sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan
sarana ketertiban mulai banyak dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep
baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang
berusaha memasukan pemahaman hukum sebagai sarana perlindungan hak-
hak warganegara yang berintikan pengaturan dengan mengedepankan
kepentingan umum.3

Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.4
Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi, bahwa berbicara mengenai
hukum, maka tidak terlepas pula berbicara mengenai sistem. 5 Sehingga
wacana perbincangan mengenai suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat
kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam elemen dari sebuah negara.

Kerumitan proses peradilan pidana tersebut diperparah dengan aksi


lepas tangan dari Pemerintah dalam melakukan sosialisasi kepada
masyarakat, sehingga seolah-olah proses peradilan pidana menjadi eksklusif
bagi masyarakat. Kondisi tersebut tidak saja berlangsung pada saat proses
peradilan pidana terjadi, namun pada fase pemidanaan atau putusan
pengadilan hingga eksekusi putusan, keterlibatan masyarakat sangat
diabaikan. Masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang tidak berkepentingan
atas proses peradilan pidana, dari hulu hingga hilir, sehingga tujuan idee des
recht (Ajaran Cita Hukum)6 yaitu memberikan kepastian hukum, keadilan
dan manfaat, sangat tidak dirasakan.

3
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm.
ix.
4
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 2.
5
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan
Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013, hlm. 2.
6
Ada ahli hukum yang menyebutnya sebagai Teori Gabungan. Teori ini dicetuskan oleh Gusav
Radbruch, ahli hukum yang berasal dari Jerman.

2
Masyarakat dipaksa untuk memahami kerumitan proses peradilan
pidana tanpa adanya proses sosialisasi dan penyuluhan mengenai bagaimana
beracara di peradilan pidana. Yang pada akhirnya, beracara peradilan pidana
menjadi suatu monopoli sarjana-sarjana hukum dengan segala sifat ke-
eksklusifan-nya.

Maka muncullah wacana untuk melakukan legal reform terhadap


Hukum Acara Pidana. Pembaharuan terhadap KUHAP diawali dengan
dikeluarkannya Draft R-KUHAP 2004, kemudian dirubah menjadi R-
KUHAP Draft 3 April 2007, berubah lagi menjadi R-KUHAP Draft
Desember 2007, kembali lagi diubah dalam R-KUHAP Draft Maret 2008,
berubah lagi R-KUHAP Draft Januari 2009, kemudian R-KUHAP Draft
2010, dan terakhir melalui R-KUHAP Draft 11 Desember 2012.7

Saat ini, R-KUHAP draft 2012 dan R-KUHP telah masuk ke dalam
Prolegnas, dan sudah mulai di bahas di Komisi III DPR. Namun ironisnya,
pihak legislatif tidak memahami posisi R-KUHAP dan R-KUHP. Sehingga
saat ini, perdebatan pro kontra terkonsentrasi pada pembahasan R-KUHAP,
sedangkan R-KUHP sepertinya diabaikan.

Bahwa dalam memahami Sistem Peradilan Pidana, tidak saja


bergantung kepada Hukum Pidana Materill semata, namun merupakan
elaborasi dengan Hukum Pidana Formill pula. Oleh karena itu, sejak awal
keberadaannya, hukum pidana dan hukum acara pidana diperuntukkan
melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa. Dalam hal ini
J.E. Sahetapy, meminjam konsep Jerome H. Skolnick yang mengatakan
bahwa ”criminal procedure is intended to control authorities, not criminals”.
Hal senada juga diungkapkan Mardjono Reksodiputro yang mengatakan
bahwa fungsi dari suatu hukum acara pidana adalah untuk membatasi
kekuasaan negara dalam bertindak terhadap setiap warga masyarakat yang
terlibat dalam proses peradilan. Dalam kerangka tersebut, kebutuhan pada

7
“Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber: http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/,
diakses tanggal 6 Desember 2018.

3
pembaruan hukum acara pidana di Indonesia telah direspon oleh pemerintah
dengan membuat suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana8 dan RUU tentang
KUHP.

Di dalam RUU KUHP Draft 2010, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
sebagai berikut:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak


mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan.”

Dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP Draft 2010
sebagai berikut:

“Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.”
Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen
hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat
(2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and
punishment of any person for any act or omission which, at the time when it
was committed, was criminal according to the general principles of law
recognized by the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari
Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum
pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya
bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded
and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan).

8
JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2013, hlm. x.

4
Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-
nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta
tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh
konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya
kejahatan.9

Uraian-uraian tersebut diatas, menunjukan adanya keinginan yang


kuat untuk mengadopsi nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, sebagai
bentuk kebuntuan dari sistem yang ada. Yang hingga saat ini justru
memunculkan banyak permasalahan, bukan saja permasalahan hukum namun
juga permasalahan sosial.

Walaupun pada hakekatnya terdapat aturan hukum yang masih eksis


yaitu Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (UU Drt No. 1/1951).
Dimana pada Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt No. 1/1951 dapat dirasionalkan
bahwa aturan hukum tersebut mengakomodir kepentingan masyarakat adat
yang terganggu kerukunannya, namun tidak diatur dalam KUHP.

Namun demikian, permasalahan yang paling krusial adalah berkaitan


dengan prosedur atau hukum acara pidana yang akan diterapkan. Oleh karena,
secara futuristik, baik dalam R-KUHAP maupun R-KUHP, telah
mengakomodir nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Tentunya ini akan
berbanding lurus dengan pemahaman pelaku kekuasaan kehakiman dalam
melakukan interpretasi terhadap delik-delik adat10 tersebut.

Apabila kita mengacu kepada salah satu instrumen hukum dari


sumber hukum formil yaitu Yurisprudensi, dimana terdapat Putusan

9
Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori,
Praktik dan Prosedurnya, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013, hlm. 227.
10
Hukum Delik Adat adalah aturanaturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan
kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan agar
keseimbangan masayarakat tidak terganggu. Lihat: Surojo Wignjodipuro, Pengantar AsasAsas
Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 13.

5
Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang
menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan
hubungan kelamin di luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh
kepala adat, tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan
peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar
hukum adat dan dijatuhkan hukuman penjara menurut ketentuan hukum
pidana.

Fakta konkret di atas menunjukan adanya suatu itikad baik dari


kekuasaan kehakiman untuk tidak memproses suatu delik adat yang telah
diperiksa dan diputus oleh peradilan adat. Namun demikian, pemahaman
tersebut dapat kita kembalikan kepada keterjebakan hukum nasional dalam
sistem civil law yang menjunjung kepastian hukum berbasis asas legalitas.
Hal yang sama pula dikemukakan oleh Eva Achjani Zulfa yang menegaskan
hukum pidana menganut asas “lex scripta” dan “lex certa”, dimana asas
“nullum delictum nulla poena sine privea lege poenali”, melarang
keberlakuan hukum yang tidak tertulis karena dianggap akan mengancam
kepastian hukum yang diusung sebagai landasan utama keberlakuan hukum
pidana.11 Maka, uraian beliau tersebut dapat dimaknai akan adanya suatu
upaya melampaui yurisprudensi tersebut dari aparat penegak hukum.

Berdasarkan hal tersebutlah, maka guna mencapai suatu kepastian


hukum bagi masyarakat adat, dalam kaitannya dengan proses peradilan
terhadap delik adat, maka Peneliti mencoba untuk menggagas suatu bentuk
peradilan adat yang diletakan dalam sistem hukum nasional. Oleh karena
itulah, Kami menuangkan penelitian ini dalam suatu karya ilmiah dengan
judul “Menggagas Peradilan Pidana Adat Dalam Kekuasaan
Kehakiman”

11
Eva Achjani Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Sumber:
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,_sh.,mh.pdf, hlm. 4.

6
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penulis mengajukan


rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah model yang ideal pembentukan peradilan pidana untuk


menyelesaikan tindak pidana adat?”

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Hukum Pembangunan

Teori hukum pembangunan yang berkembang di Indonesia tak bisa


dilepaskan dari nama Mochtar Kusumaatmadja. Pengadiannya di kampus dan
di birokrat telah ikut membantu penyebaran pandangan-pandangannya
tentang hukum. Dikenal sebagai pakar hukum internasional, Mochtar pernah
diangkat menjadi Menteri Kehakiman (1974-1978) dan Menteri Luar Negeri
(1978-1988). Gagasan-gagasan Mochtar telah dimasukkan sebagai materi
hukum dalam Repelita II (1974-1979). Pada intinya teori hukum
pembangunan menegaskan hukum harus bisa didayagunakan untuk
kepentingan pembangunan. Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja sedikit
banyak mengenalkan mahasiswa hukum di Indonesia dengan sebutan law is
a tool of social engineering.12

Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia


maka salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar
dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan13 dari Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja, S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial
mengapa Teori Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak
atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai
berikut: Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori

12
“Membaca Dua Fase Pemikiran Mochtar”, Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508615572f01c/membaca-dua-fase-pemikiran-
mochtar, diakses pada tanggal 22 Juni 2017.
13
Mochtar Kusumaatmadja sendiri tidak pernah mendeklarasikan teorinya sebagai Teori Hukum
Pembangunan, namun kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang
mengapresiasi pandangan-pandangan Beliau sebagai dengan memberikan penamaan “Teori Hukum
Pembangunan”

8
hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia
dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh
dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau
diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka
Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup
(way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila
yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah
yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah
merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan
substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman.
Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.14

Kemuncullan Teori Hukum Pembangunan tersebut, layaknya


kemuncullan aliran-aliran atau mahzab-mahzab hukum yang merupakan
suatu kritik terhadap pendahulu-pendahulunya yang didasarkan kepada
pengaruh dari keunikan dan kekhasan ruang dan waktu dimana teori-teori
tersebut dimunculkan. Sebagaimana Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan
semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan dengan
perubahan dan hukum berfungsi sebagai penjamin terhadap perubahan yang
terjadi secara teratur yang dapat dibantu oleh sebagai suatu sarana (bukan
sebagai alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup atau the

14
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.
Sebuah Kajian Deskriptif Analitis, Sumber:
http://badilum.info/upload_file/img/article/doc/kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangu
nan.pdf, diunduh pada tanggal 22 Juni 2017, hlm. 1-2.

9
living law dalam masyarakat dan sesuai dengan pencerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat tersebut.15

Hegemoni Paradigma Positivisme Hukum yang didasarkan kepada


asas konkordansi atas keberlakukan sistem hukum yang dibawa dan
dipaksakan masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan Indonesia, memunculkan
kegelisahan akademik bagi para intelektual/ilmuwan hukum di Indonesia,
dengan semangat menciptakan basis paradigma bagi Ilmu Hukum Indonesia.

Kebutuhan untuk dapat menampilkan gambar hukum Indonesia yang


sesungguhnya, akan selalu mengganggu pikiran para intelektual, artinya,
dibutuhkan teori hukum disamping memberikan gambar hukum Indonesia,
juga menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat secara seksama.16

Banyak faktor yang menyebabkan cita-cita untuk mewujudkan tata


hukum nasional tidak segera terselenggara. Beberapa faktor di antaranya
antara lain Pertama, Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha Belanda
untuk mengembalikan kekuasaan kolonial di Indonesia; Kedua, secara etnik
bangsa Indonesia sangat heterogen dengan berbagai adat istiadat dan
subkulturnya, dan tersebar pada suatu wilayah kepulauan yang sangat luas.
Intensitas proses interaksi antar suku pada masa kolonial sangat lemah yang
menyebabkan proses unifikasi hukum secara alamiah praktis tidak terjadi;
Ketiga, tata hukum kolonial yang harus diganti dengan tata hukum nasional
sudah cukup lama menguasai kehidupan hukum di Indonesia; Keempat,
politik hukum kolonial, yang berakar dalam politik kolonial pada umumnya
yang memfungsikan wilayah jajahan dengan potensinya hanya sebagai
penopang kepentingan ekonomi negara induk, telah menyebabkan Bangsa
Indonesia dan Hukum Adatnya pada masa kolonial itu relatif terasing dari

15
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, hlm. 65-66.
16
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Indonesia: Sebuah Gagasan Membangun Teori Hukum Di
Tengah Situasi Global, Jurnal Humaniora, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Vol. 1, No. 1, Februari 2000, hlm. 42-43.

10
pergaulan dan perkembangan pada tingkat global;17 Kelima, pada saat
kemerdekaan diproklamasikan, jumlah sarjana hukum yang kompeten,
seperti juga halnya dengan sarjana-sarjana bidang lain, lebih-lebih sarjana
hukum yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang legislative
drafting, masih terlalu sedikit untuk mampu dalam waktu singkat
menghasilkan berbagai perangkat kaidah hukum positif nasional yang
diperlukan untuk menata dan menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang merdeka.18

Kegagalan konsep hukum warisan kolonial telah berhasil diungkap


oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengemukakan bahwa kegagalan
terpenuhinya cita-cita hukum disebabkan oleh sistem pendidikan hukum
warisan pendidikan hukum Belanda, yaitu hanya mendidik menjadi “tukang”
(craftmanship), tetapi tidak mampu menganalisis perubahan-perubahan
dalam masyarakat dan tidak mampu menemukan solusi dari masalah
penerapan hukum di dalam masyarakat.19

Mochtar Kusumaatmadja, dalam mengkonstruksi Teori Hukum


Pembangunan, merupakan upaya konvergensi dari beberapa teori hukum
dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich—
mengenai Teori Sociological Jurisprudence dan teori hukum Roscoe Pound
dengan filsafat budaya dari Northrop dan teori “policy oriented” dari Herold
D. Laswell dan Myres S, Mc.Dougal. Pengetahuan latar-belakang
(hintergrundwissen) tersebut, menurut Peneliti, perlulah dipahami terlebih
dahulu sebelum masuk kepada inti dari Teori Hukum Pembangunan. Dalam
pandangan yang lain, sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita,
bahwa Teori Hukum Pembangunan menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak
meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical jurisprudence,

17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Bandung: Bina
Cipta, 1976, hlm. 4.
18
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Tipologi Pemikiran Hukum: Sebuah Eksemplar
Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, dalam Digest Epistema, Vol. 2, 2012, hlm. 12.
19
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……..Op.cit., hlm. 63.

11
bahkan telah merangkul aliran analytical jurisprudence, aliran sociological
jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.20

Menurut Eugen Ehrlich—mengenai Teori Sociological


Jurisprudence, dalam bukunya “Grundlegung der Sociological Rechts”,
mengatakan bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk
menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga-lembaga
sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan
sebagainya. Lebih lanjut menurut Eugen Ehrlich, semua hukum sebagai
hukum sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh
faktor-faktor sosial ekonomis. Sistem ekonimis yang digunakan dalam
produksi, distribusi dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan
hukum. Pandangan tersebut mencerminkan bahwa timbulnya hukum sebagai
suatu proses naturalisme belaka. Semua gejala dunia termasuk hukum
didekati seperti benda-benda alam, dan hubungan antara gejala-gejala itu
dianggal alamiah pula. Dengan demikian, hukum merupakan kenyataan saja,
dengan kata lain, norma-norma hukum berasal dari kenyataan masyarakat.21
Terhadap pandangan tersebut, Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi menyimpulkan
bahwa hukum yang baik (ideal) adalah hukum yang dasar (ide)
pembentukannya berasal atau sesuai dengan kenyataan hukum masyarakat.22

Selangkah lebih maju dari pandangan Eugen Ehrlich tersebut,


sebagaimana diungkapkan oleh Roscoe Pound (1870-1964) yang turut
mengembangkan Sociological Jurisprudence di Amerika Serikat—terkadang
Roscoe Pound pula dikenal dengan pendiri Aliran Pragmatic Legal Realism,
yang mengatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat
harus memajukan kepentingan umum.23 Dalam berbagai pandangan dari
Roscoe Pound, nampak bahwa ia memiliki titik penekanan pada arti dan

20
Ibid., hlm. 68.
21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 213.
22
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001, hlm. 66.
23
Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 180.

12
fungsi pembentukan hukum. Penyataan bahwa “hukum sebagai suatu unsur
dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum” tersebutlah
yang kemudian dikenal dengan teorinya “law as a tool of social
engineering”.24

Dalam konsepsi “law as tool of social engineering,” hukum harus


dipandang dari segi fungsinya yaitu sebagai alat untuk merekayasa
(mengubah) masyarakat. Pemikiran hukum sebagai alat rekayasa masyarakat
mengandung konsekuensi bahwa negara tanpa bisa dihindari akan memiliki
posisi dominan dalam perekayasaan masyarakat tersebut. Secara lain dapat
dikemukakan bahwa konsepsi hukum sebagai alat rekayasa masyarakat
menuntut peran aktif negara.25

Dalam konsepsi Sociological Jurisprudence kebenaran tesis


positivisme hukum dan mazhab sejarah diterima sambil sekaligus
kelemahannya hendak disempurnakan. Hal itu dapat disimpulkan dari
pemikiran Eugen Erlich. Eugen Erlich sama sekali tidak menolak kebenaran
tesis positivisme hukum bahwa hukum pada dasarnya adalah perintah dari
penguasa sehingga memiliki kepastian hukum. Akan tetapi, hukum yang
ditetapkan semata-mata oleh penguasa tersebut tidak akan dengan sendirinya
diterima keberlakuannya dalam masyarakat atas dasar legalitas kekuasaan.
Oleh sebab itu, legalitas hukum berdasarkan kekuasaan penguasaan dirasakan
tidak cukup oleh aliran Sociological Jurisprudence karena hukum yang
memiliki kepastian tidak otomatis akan mengandung keadilan. Bagi aliran
Sociological Jurisprudence, hukum yang hanya memiliki kepastian saja tidak
memadai untuk diterima oleh (dalam) masyarakat jika hukum itu tidak
memenuhi unsur keadilan. Maka, aliran Sociological Jurisprudence
mengajukan tesis bahwa hukum yang ditetapkan oleh penguasa akan menjadi

24
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Heaven: Yale University Press,
1954, hlm. 47.
25
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum Sociological Jurisprudence Terhadap
Perkembangan Pembangunan Hukum di Indonesia Pada Masa Orde Baru, Laporan Hasil Penelitian
Dosen, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, Tahun 2005, hlm. 11.

13
hukum yang baik jika sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
atau sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law).
Pernyataan ini membuktikan bahwa aliran Sociological Jurisprudence yang
dikembangkan oleh Eugen Erlich tidak pula menolak kebenaran tesis yang
dikemukakan mazhab sejarah bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan
berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat. Jadi, bagi aliran
Sociological Jurisprudence, tesis yang dikembangkan oleh aliran positivisme
hukum dan mazhab sejarah adalah benar dan keduanya sama pentingnya.26
Dengan pernyataan ini, menurut Hotma P. Sibuea, aliran Sociological
Jurisprudence telah mengemukakan suatu pemikiran hukum yang lebih maju
dari aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah yaitu hukum yang
berkepastian dan sekaligus mengandung unsur keadilan.27

Filsafat Kebudayaan dari Northrop, pula merupakan salah satu


pemikiran yang mempengaruhi pandangan-pandangan dari Mochtar
Kusumaatmadja, khususnya pada sisi tentang hukum yang hidup, yaitu
hukum dalam arti sebagai lembaga dan proses. Mochtar Kusumaatmadja
mencoba untuk mengakomodasi filsafat kebudayaan dari Northrop ini ke
dalam teorinya.

Mochtar Kusumaatmadja memang membuat banyak pernyataan


tentang perlunya hukum didekati dari kaca mata sosiologi, antropologi, dan
kebudayaan. Beliau juga menekankan bahwa ahli hukum dalam masyarakat
yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif dengan spektrum
ilmu-ilmu sosial dan budaya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan demi
tujuan agar hukum yang dibentuk oleh penguasa politik, terutama melalui
perundang-undangan itu, mendapat dukungan masyarakat. Menurutnya,
kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika kekuasaan itu
mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai. Dalam suasana seperti inilah
hukum akan mampu memunculkan suasana ketertiban. Tujuan pokok dan

26
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995, hlm. 111.
27
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 17.

14
pertama dari segala hukum, menurut Mochtar Kusumaatmadja, adalah
ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu
masyarakat yang teratur.28 Pada sisi lain, Northrop pula menerapkan teori dari
Eugen Ehrlich tersebut di atas, pada suatu situasi konkrit yang dihadapi
dengan mengatakan bahwa “…the best solution is that which shows the
greatest sensitivity to all factors in the problematic situation.” Terhadap
pandangan dari Northrop tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan
bahwa pikiran dalam hukum itu harus peka terhadap perkembangan
masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri
dengan keadaan yang telah berubah sesungguhnya telah terdapat pula dalam
alam pikiran bangsa Indonesia.29

Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja


dipengaruhi cara berpikir Herold D. Laswell dan Myres S, Mc.Dougal (Policy
Approach) yang menjelaskan dimana betapa pentingnya kerjasama antara
pengemban hukum teoritis dan penstudi pada umumnya (scholars) serta
pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses melahirkan
suatu kebijakan publik, yang disatu sisi efektif secara politis, namun di sisi
lainnya juga bersifat mencerahkan.30

Pembahasan hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat


sangat penting dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai
pemikiran tentang hal tersebut di Indonesia. Hal tersebut sangat mendesak
karena pandangan atau konsepsi bahwa hukum merupakan salah satu sarana
pembaharuan dan pembangunan telah diterima, bahkan telah menjadi
pendirian resmi pemerintah sebagaimana tertuang dalam Repelita II Bab 27
yang memuat pokok-pokok kebijaksanaan serta garis besar program

28
Shidarta, Teori Hukum Integratif dalam Konstelasi Pemikiran Filsafat Hukum (Interpretasi atas
sebuah Teori Rekonstruksi), Sumber: http://shidarta-articles.blogspot.co.id/2012/05/teori-hukum-
integratif-dalam-konstelasi.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2017.
29
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 5.
30
Ulang Mangun Sosiawan, Efektifitas Peraturan Perundang-Undangan Kaitan Dengan
Pembangunan Daerah Tertinggal, Laporan Akhir Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2011, hlm. 8.

15
pembinaan hukum nasional sebagai penjabaran (uitwerking) daripada
konsepsi hukum tersebut.31

Guna mencapai tujuan dan fungsi yang berdasarkan konsepsi tersebut,


Mochtar Kusumaatmadja menganjurkan agar sistem pendidikan hukum
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan menganalisis kasus (studi kasus)
sehingga lulusan pendidikan hukum telah dipersiapkan sebagai ahli hukum
yang juga mengenal ilmu-ilmu non-hukum (ilmus sosial). Mochtar
Kusumaatmadja pula menghendaki lulusan pendidikan hukum selain
memiliki keahlian (legal skilled) perlu diikuti dengan etika profesi dan
tanggung jawab profesi. 32

Berdasarkan hintergrundwissen (pengetahuan latar belakang) tersebut


di atas, Mochtar Kusumaatmadja membangun 12 (dua belas) proposisi
hukum yang terdiri dari:33

1. Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral,
agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan lain-lain), yang
merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat,
sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup atau living law.

2. Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk
mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.

3. Hukum bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat


perlengkapannya, sebab tanpa kekuasaan hukum hanyalah kaidah
anjuran; kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat yang tertib

31
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 1.
32
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……. Op.cit., hlm. 63.
33
Sidharta, Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori
Hukum Pembangunan, Eksistensi dan Implikasi, Jakarta: Epistema Institute, 2012, hlm. 23.

16
(teratur); hukum tanpa kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman).

4. Kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika


mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai; untuk itu penguasa harus
memiliki semangat mengabdi pada kepentingan umum atau sense of
public service dan yang dikuasai tunduk pada penguasa atau the duty of
civil obedience; keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran
kepentingan umum atau public spirit.

5. Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang
merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang
teratur; untuk tercapainya ketertiban diperlukan kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat; tujuan kedua setelah
ketertiban adalah keadilan yang isi keadilan ini berbeda-beda menurut
masyarakat dan zamannya.

6. Masyarakat Indonesia sedang dalam masa peralihan (transisi) dari


tertutup menuju terbuka, dinamis, dan maju (modern); hakikat masalah
pembangunan adalah pembaruan cara berpikir (sikap, sifat, nilai-nilai),
baik pada penguasa maupun yang dikuasai, misalnya pada anggota
masyarakat harus berubah dari sekedar bersikap mental sebagai kaula
(kawula–jawa) negara menjadi sikap mental sebagai warga negara
(tidak hanya pasif mengikuti perintah penguasa tetapi juga aktif
mengetahui bahkan berani menuntut hak-haknya).

7. Dalam masyarakat yang sedang membangun, hukum tidak cukup hanya


bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai (sifat
konservatif dari hukum) tetapi juga berperan merekayasa masyarakat;
namun intinya tetap harus ada ketertiban (selama perubahan dilakukan
dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan
hukum).

17
8. Pembangunan harus dimaknai seluas-luasnya meliputi segala segi dari
kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka.

9. Hukum sebagai alat pembaruan dalam masyarakat yang sedang


membangun itu dapat pula merugikan, sehingga harus dilakukan
berhati-hati; oleh sebab itu penggunaan hukum harus dikaitkan juga
dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan; ahli hukum
dalam masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum
positif dengan spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya.

10. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa


perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur (tertib); hukum berperan
melalui bantuan perundang-undangan dan keputusan pengadilan atau
kombinasi dari keduanya; namun pembentukan perundang-undangan
adalah cara yang paling rasional dan cepat dibandingkan dengan cara
pengembangan hukum lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan.

11. Kendala atau kesukaran yang dihadapi dalam rangka berperannya


hukum dalam pembangunan:

a. Sukarnya menentukan tujuan perkembangan (pembaruan)


hukum;

b. Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan


suatu analisis deskriptif dan prediktif;

c. Sukarnya mengadakan ukuran yang objektif tentang berhasil


tidaknya usaha pembaruan hukum;

d. Adanya kepemimpinan yang kharismatis yang kebanyakan


kepentingannya bertentangan dengan cita-cita legal engineering
menuju suatu masyarakat atau negara hukum;

e. Masih rendahnya kepercayaan dan keseganan terhadap hukum


atau respect for the law dan peranannya dalam masyarakat,
khususnya bagi masyarakat yang lahir melalui keguncangan
politik (revolusi);

18
f. Reaksi masyarakat karena menganggap perubahan itu bisa
melukai kebanggaan nasional;

g. Reaksi yang berdasarkan salah diri, yaitu golongan intelektualnya


sendiri tidak mempraktikkan nilai atau sifat yang mereka
anjurkan;

h. Heterogenitas masyarakat Indonesia, baik dari segi tingkat


kemajuan, agama, bahasa, dan lain-lain.

12. Dalam rangka pembentukan perundang-undangan dalam era Indonesia


yang sedang membangun perlu diprioritaskan yaitu pembentukan
peraturan perundanga-undangan di bidang-bidang hukum yang netral
(tidak sensitif). Ranah hukum yang demikian praktis tidak akan banyak
menimbulkan kontroversi terkait dengan adat istiadat, agama, dan niali-
nilai primordial lainnya.

Pengaruh pandangan dari Northrop juga nampak pada fase kedua


pemikiran Mochtar Kusumaatmadja—fase pertamanya terjadi pada kurun
waktu 1970-an sampai dengan 1990-an, yang diawali dengan ketertarikan
Beliau untuk mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila ke dalam
pandangan-pandangan teoritisnya—dan mulai memasukki ranah Filsafat
Hukum, dan mulai mendasarkan pemikirannya pada khazanah budaya lokal.

Melalui analisis yang berbeda, Romli Atmasasmita menyampaikan


pandangan Mochtar Kusumaatmadja mengenai fungsi dan peranan hukum
dalam pembangunan nasional yang didasarkan kepada premis-premis sebagai
inti ajaran atau prinsip, adalah sebagai berikut:34

1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh


perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur;

34
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif:……. Op.cit., hlm. 65-66.

19
2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan
tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum
menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam
proses pembangunan;

3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban


melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus
dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat;

4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
itu;

5. Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan


jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu
sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di
dalam hukum itu.

Terhadap premis-premis dan proposisi tersebut di atas, maka Romli


Atmasasmita menyimpulkan sebagai berikut:35

1. Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan


masyarakat, berbeda dengan pemikiran Savigny, bahwa hukum selalu
tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum
dimaksud sejalan dengan pandangan aliran sociological jurisprudence,
yaitu satu-satunya cermin perkembangan masyarakat hanya terdapat
pada putusan pengadilan dengan asumsi bahwa, putusan pengadilan
selalu mengandung nilai-nilai kebenaran yang diakui masyarakat
dimana hukum itu hidup dan berkembang;

2. Mochtar Kusumaatmadja menambahkan—berdasarkan historis sistem


hukum Indonesia, bahwa perkembangan hukum yang sejalan dengan

35
Ibid., hlm. 66-68.

20
perkembangan masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan
perundang-undangan, tidak hanya putusan pengadilan;

3. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan hukum sebagai sarana dalam


pembangunan bukan alat (tools) agar pembangunan dapat dilaksanakan
dengan tertib dan teratur; hukum sedemikian itu hanya dapat berfungsi
jika hukum itu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat;

4. Kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan dan


keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai kehendak pemegang
kekuasaan, melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang
berkembang dalam masyarakat.

Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja pada fase pertama tersebut


kemudian dikomentari oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang menegaskan
bahwa Mochtar Kusumaatmadja tak hanya telah merekonseptualisasi hukum
dari perannya sebagai pengatur tertib kehidupan sosial (yang telah mapan) ke
fungsinya sebagai perekayasa sosial (demi terwujudnya pembangunan
sosial), tetapi alih-alih begitu pula telah men-transmigrasi-kan proses
penciptaan hukum demi kepentingan pembangunan nasional dari wilayah
kewenangan yudisial (dengan judge made law) ke wilayahj kewenangan
legislatif, yang pada orde baru didominasi oleh kewenanga eksekutif.36

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pemahaman mengenai konsepsi


hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dalam konteks Indonesia
yang akan dikembangkannya adalah berbeda dengan konsepsi “law as a tool
of social engineering” yang dikembangkan Roscoe Pound di Amerika.
Perbedaan dengan konsepsi Roscoe Pound adalah mengenai apa yang
dimaksud dengan hukum dalam masing-masing konsepsi tersebut. Dalam
konsepsi Roscoe Pound yang dimaksud dengan hukum adalah keputusan-

36
Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar Kusumaatmadja: Manusia Yang Pernah Saya Kenal dan
Pemikirannya (sebuah Pengantar Ringkas), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusumaatmadja dan
Teori Hukum Pembangunan……..Op.cit., hlm. xxi.

21
keputusan pengadilan atau hukum jurisprudensi. Dengan demikian, titik berat
rekayasa masyarakat menurut Pound berada di pundak pengadilan (hakim).
Hal ini tentu saja sesuai dengan sistem Common Law yang berlaku di
Amerika. Untuk kasus Indonesia, hal demikian jelas tidak mungkin
dilaksanakan karena Indonesia mengajut Civil Law yang lebih
mengutamakan hukum perundang-undangan. Maka, yang dimaksud dengan
hukum dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat tentu
saja adalah undang-undang.37 Perbedaan itu timbul karena konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang dikemukakan Mochtar
Kusumaatmadja, antara lain:38

1. Lebih menonjolkan perundang-undangan dalam proses pembaharuan


hukum di Indonesia.

2. Lebih menunjukkan sikap kepekaan terhadap kenyataan masyarakat


karena menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi law as a tool of social
engineering.

3. Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat


sesungguhnya merupakan pengalaman masyarakat dan bangsa
Indonesia menurut sejarah.

Maka, persoalan pokok dalam pemanfaatan hukum sebagai sarana


pembaharuan masyarakat menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah berkaitan
dengan pertanyaan “nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan akan
diganti dengan nilai-nilai baru yang yang diperkirakan lebih sesuai dengan
keadaan masyarakat pada saat sekarang ini?”39 Ditinjau dari segi praktis,
Mochtar Kusumaatmadja membangun teorinya beranjak dari
mempertanyakan hubungan antara teori (ilmu) hukum barat dengan alam
pikiran yang ada di Indonesia yaitu “Bagaimanakah kita mengetahui apakah
suatu ketentuan hukum yang hendak kita tetapkan itu sesuai dengan

37
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 13.
38
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum.......Op.cit., hlm. 83-84.
39
Hotma P. Sibuea, Pengaruh Mahzab Hukum ……..Op.cit., hlm. 15.

22
“kesadaran hukum masyarakat” atau “perasaan keadilan masyarakat” dan
siapakah yang dapat mengungkapkannya?40

Pada posisi ini, Mochtar Kusumaatmadja tidak berada dalam posisi


mengelaborasi konsep hukum yang ia pahami dengan eksistensi dari hukum
adat. Namun bukan berarti terdapat sikap antipati terhadap hukum adat,
dimana Mochtar Kusumaatmadja lebih menitikberatkan pandangannya
dengan mengelaborasi antara teori-teori hukum kontemporer dengan hukum
kebiasaan41—yang memiliki irisan ruang lingkup dengan hukum adat.

Sehingga, untuk mencapai suatu konsensus terhadap nilai-nilai mana


yang akan dinormatifkan tersebut diperlukan suatu pencapaian secara
intersubjektif melalui penelitian yang mendalam dan menyeluruh. Sehingga,
akan sampai kepada suatu konsensus terhadap suatu perbuatan yang dapat
diklasifikasikan baik sebagai mala in prohibita ataupun mala in se.

Konsensus secara intersubjektif tersebut—menurut Mochtar


Kusumaatmadja adalah dicapai melalui suatu diskursus praktis yang
berlangsung dengan memanfatkan asas demokrasi yang menempatkan
adanya suatu keterwakilan pada lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat.42 Hal ini pula yang membedakan ajaran Roscoe Pound dengan
Mochtar Kusumaatmadja, dimana Beliau berkeyakinan bahwa DPR lah yang
mampu mengungkapkan makna “kesadaran hukum masyarakat” tersebut.
Keyakinan Beliau tersebut pula didasarkan kepada pandangannya bahwa
Sociological Jurisprudence dan Mahzab Sejarah tidak mampu dan tidak
memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pengungkapan makna dari
“volksgeist” atau “nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”. Sedangkan
Aliran Sociological Jurisprudence dan Mahzab Sejarah mendasarkan analisa
akhirnya berdasarkan hal tersebut.

40
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan……...Op.cit., hlm. 7.
41
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusumaatmadja dan Teori Hukum Pembangunan……..Op.cit., hlm. 121.
42
Ibid.

23
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kondisi yang
disebabkan karena kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat
untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita
harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat.
Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau
peradilan yang secara formal yuridis harus tepat karena eratnya hukum
dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.
Karena itu, ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun,
memerlukan pendidikan yang lebih baik dari biasanya, dalam arti meliputi
suatu spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya yang dibutuhkan dalam
mempelajari hukum positif.43 Maka, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan
bahwa hendaknya dimulai dengan peningkatan kewaspadaan dan kemauan
untuk melaksanakan hak-haknya sebagai warganegara, termasuk
mewujudkan masyarakat dan negara yang diinginkan yaitu masyarakat dan
negara berdasarkan hukum.44 Selain itu, Mochtar Kusumaatmadja
menjelaskan bahwa hukum yang dibuat harus sesuai atau memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat.45

Mengenai peran hukum dalam pembangunan Mochtar


Kusumaatmadja menegaskan bahwa hukum harus menjamin agar perubahan
tersebut berjalan secara teratur. Penekanan Mochtar Kusumaatmadja pada
kalimat “berjalan secara teratur” menunjukkan bahwa tercapainya
“ketertiban” sebagai salah satu fungsi klasik dari hukum urgensinya
ditegaskan kembali oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam mengawal
pembangunan. Perubahan yang merupakan esensi dari pembangunan dan
ketertiban atau keteraturan yang merupakan salah satu fungsi penting dari
hukum adalah tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun.46

43
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum ......... Op.cit., hlm. 15.
44
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 42.
45
Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika
Aditama, 2010, hlm. 28.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung:
Bina Cipta, 1975, hlm. 3.

24
Dengan peran hukum seperti ini, Mochtar Kusumaatmadja ingin membangun
hukum yang memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya
pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legitimasi kepada
kekuasaan. Disini Mochtar Kusumaatmadja memberikan formula yang tegas
bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan sekaligus menepis
tudingan bahwa konsep pembangunan hukum Mochtar Kusumaatmadja
adalah alat untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.47

Untuk memahami relasi dan interaksi antara hukum dan


pembangunan Mochtar Kusumaatmadja menekankan dua hal yaitu: pertama,
persoalan hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) dan; kedua,
pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Berkenaan dengan hal
yang pertama Mochtar Kusumaatmadja mengulanginya dengan redaksi yang
berbeda, “Mengenai masalah yang pertama kita di sini ingin kemukakan
masalah-masalah yang kita hadapi dalam memperkembangkan hukum
sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering)”.48
Disini kembali Mochtar lebih menekankan kepada fungsi dinamis hukum
sebagai alat pembaharuan (perubahan) masyarakat tanpa harus
meningggalkan fungsi hukum yang mengatur yang dalam hal ini Mochtar
Kusumaatmadja menyebutnya sebagai pemahaman hukum yang lazim
(konvensional).49

Fase kedua dari Teori Hukum Pembangunan adalah dengan


mendasarkan kepada filsafat Pancasila sebagai landasan fundamental untuk
menggantikan teori-teori dari Northrop, Eugen Ehrlich, Roscoe Pound, Mc.
Dougal dan Laswell. Istilah-istilah seperti cita hukum Pancasila, filsafat
hukum Pancasila, dan negara hukum Pancasila mulai diwacanakan. Tujuan
dari hukum pada umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan

47
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm. 123-124.
48
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka.......Op.cit. hlm. 4.
49
Atip Latipulhayat, Mochtar Kusumaatmadja, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 3,
Tahun 2014, hlm. 630.

25
ini mencakup di dalamnya keadilan sosial (sila kelima Pancasila). Persoalan
manusia Indonesia di dalam pembangunan di dasarkan pada asumsi
penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan
berpikir dan bertindak manusia Indonesia.50 Lebih lanjut Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari
nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.51

Pokok-pokok pikiran Mochtar Kusumaatmadja terkait dengan fase


kedua dari Teori Hukum Pembangunan dapat dideskripsikan sebagai
berikut:52

1. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk


menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti Northrop,
Pound, Lasswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui oleh Mochtar
Kusumaatmadja sempat mempengaruhi pandangannya. Beliau mulai
menulis dan menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat hukum
Pancasila, dan negara hukum Pancasila;

2. Mochtar Kusumaatmadja tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada


umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan
dengan tujuan hukum dalam suatu negara hukum Pancasila. Dalam
setiap negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena itu, harus pula
tunduk pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya
keadilan sosial (sila kelima dari Pancasila);

3. Selain itu, keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan


kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal

50
Sidharta, Posisi Pemikiran Teori Hukum Pembangunan dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran
Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), dalam Shidarta (Ed), Mochtar Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm.
19-22.
51
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis,
Bandung: Alumni, 2002, hlm. 10.
52
Lili Rasjidi, Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan, dalam Shidarta (Ed), Mochtar
Kusuma-Atmadja...…. Op.cit., hlm. 124-128.

26
ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas
persamaan). Apabila tujuan hukum dalam negara Pancasila pada
analisis di atas adalah keadilan sosial, maka fungsi hukum jadinya
adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita itu dalam kenyataan;

4. Hukum suatu negara, sebagaimanapun bainya tujuannya, tidak akan


bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan.
Penegakan hukum, yaitu ketika hukum yang mengatur tidak berhasil
atau terganggu dalam menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam
penegakan hukum ini dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa
perkara dan memberi putusannya berdasarkan hukum dan demi
keadilan;

5. Penegakan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak hukum


(polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi terakhir juga
bergantung pada pencarian keadilan itu sendiri. Untuk itulah perlu
ditumbuhkan kesadaran bahwa berperkara itu adalah demi menegakan
hukum da keadilan, tidak semata-mata memenangkan perkara;

6. Dalam menumbuhkan kesadaran itu, ada peran etika di dalamnya. Etika


dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur kehidupan
manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur tindakan manusia dari
dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum mengatur aspek
tindakan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus para aparat
penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi, yang
dijalankan demi penegakan undang-undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien.

B. Politik Hukum Pidana

Pemahaman terhadap suatu terminologi tidaklah dapat hanya sekedar


menghapal dari pengertian atau definisi yang diberikan oleh para ahli, namun
memerlukan pula suatu proses memahami terhadap pendekatan yang

27
digunakan dalam memberikan pemaknaan terhadap terminologi tersebut.
Oleh karena itulah, guna memahami makna dari ‘politik hukum’, menurut
Otong Rosadi dan Andi Desmon, terdapat dua model pendekatan, yaitu:53

1. Politik hukum dapat dipahami dengan pendekatan memberikan masing-


masing pengertian kata “politik” dan “hukum” (divergen) lalu
menggabungkan kedua istilah itu (konvergen); dan
2. Pendekatan yang langsung mengartikan dalam satu napas (satu
kesatuan) sebagai satu frase yang mempunyai pengertian yang utuh.

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan


bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda yaitu rechtspolitiek, namun
hendaknya jangan dirancukan dengan istilah yang muncul yang terkahir yaitu
politiekrecht. Karena keduanya menurut Hence van Maarseveen memiliki
makna yang berbeda.54

Politik hukum adalah bidang kajian yang mendapat perhatian serius


dalam beberapa dekade terakhir. F. Sugeng Istanto berpendapat bahwa
sebagai akibat dari kenyataan bahwa hingga kini belum terdapat kesepakatan
tentang sasaran pokok bahasan politik hukum maka dapatlah dimengerti
bahwa hingga kini belum terdapat pula kesamaan pengertian politik hukum
yang dianut dan dikembangkan oleh berbagai program studi setelah sarjana
ilmu hukum.55

Tidak jauh berbeda dengan pengertian hukum, sampai sejauh ini juga
belum terdapat keseragaman tentang pengertian politik hukum. Dalam
pandangan F. Sugeng Istanto, akibat belum terdapat kesepakatan tentang
sasaran pokok bahasan politik hukum, maka hingga kini belum terdapat pula
kesamaan pengertian politik hukum.56 Terlepas dari masalah kesepakatan

53
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum. Suatu Optik Ilmu Hukum, Yogyakarta:
Thafa Media, 2013, hlm. 3.
54
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2012, hlm. 19
55
F. Sugeng Istanto, Politik Hukum. Bahan Kuliah, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 2004,
hlm. 3.
56
Ibid

28
sasaran dan belum adanya keseragaman pengertian, sejauh yang dapat
ditelusuri, tambah F. Sugeng Istanto, Politik Hukum telah diperkenalkan di
Indonesia oleh Lemaire dalam bukunya Het Recht in Indonesie pada tahun
1952.57

Dengan diperkenalkan politik hukum, maka muncul beragam


pendapat yang mencoba menjelaskan makna politik hukum. Salah satu
literatur klasik dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia yang
mengemukakan pengertian politik hukum adalah E. Utrecht dalam bukunya
Pengantar dalam Hukum Indonesia. Dalam Bab I Bagian 13 (Par. 13) tentang
Ilmu Hukum Positif, Politik Hukum, dan Filsafat Hukum bukunya, E. Utrecht
mengemukakan:58

“Perlu juga dikemukakan bahwa sering pula pelajaran hukum


umum, sebagai ilmu hukum positif, membuat penilaian (waarde-
oordelen) tentang kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang
telah diselidikinya dan, selanjutnya menentukan hukum yang
seharusnya berlaku (ius constituendum). Menentukan ius
constituendum ini pada pokoknya suatu perbuatan politik
hukum...”
Selanjutnya, tambah E. Utrecht, karena hukum juga menjadi obyek
politik, yaitu politik hukum. Maka, politik hukum berusaha membuat kaidah-
kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak.
Politik hukum, tambah Utrecht lagi, menyelidiki perubahan-perubahan apa
yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi
sesuai dengan “sociale werkelijkheid”.59

Barda Nawawi Arief menyebutkan istilah “kebijakan” di ambil dari


istilah Inggris yaitu “policy” atau isilah Belanda yaitu “politiek”. Bertolak
dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah “kebijakan hukum pidana”
dapat pula disebutkan dengan istilah “politik hukum pidana”. Yang dalam

57
Ibid
58
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, 1961,
hlm. 124.
59
Ibid., hlm. 124-125.

29
istilah asing, politik hukum pidana dikenal dengan policy penal, criminal law
60
atau strafrechts politiek. Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka
istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebutkan dengan istilah
“politik hukum pidana”. Yang dalam istilah asing, politik hukum pidana
dikenal dengan policy penal, criminal law atau strafrechts politiek. 61

Menurut A. Mulder, Strafrechts politiek adalah garis kebijakan untuk


menentukan: 62

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah


atau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.

Sehingga tahap kebijakan legislatif merupakan langkah awal dan


sekaligus merupakan sumber landasan dari proses konkretisasi pidana
berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.63
Sudarto menjelaskan bahwa cara kesatuan proses dalam sistem
penyelenggaraan hukum pidana itu harus merupakan benang sutera yang
menelusuri segala fase mulai dari pemeriksaan perkara pidana sejak awal
(pemeriksaan pendahuluan adalah penyelidikan) sampai akhir proses itu yaitu
pelaksanaan pemidanaan yang bahkan sesudah selesainya perjalanan pidana
oleh narapidana.64

60
Ibid., hlm. 27.
61
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 24
62
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002, hlm. 28.
63
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 59.
64
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1994, hlm. 4

30
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa Politik Hukum Pidana
merupakan bagian dari Politik Kriminal, dimana Politik Kriminal itu sendiri
terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:65

1. Dalam pengertian sempit, politik kriminal digambarkan sebagai


keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi


aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja di
pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas, politik kriminal itu merupakan keseluruhan


kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan
badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral
dari masyarakat.

Menurut Barda Nawawi Arief, usaha penanggulangan dengan


hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan
hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula
dikatakan bahwa politik hukum atau kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).66

Apabila dilihat dari sudut pandang politik kriminal terlihat pula


pendapat Van Bemmelen67 yang menegaskan bahwa jika hukum pidana
tersebut dipandang bukan dari sudut pidananya, namun dari sudut ketentuan-
ketentuan perintah dan larangan serta dari sudut penegakannya, dan
khususnya dari sudut hukum acara pidana, maka kita tidak lagi condong
membuang hukum pidana. Jika kita mendekati hukum pidana dari sudut
ketentuan-ketentuan perintah dan larangan, kita sadar bahwa ada perbuatan-

65
Sudarto (1), Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta,1986, hlm. 152.
66
Barda Nawawi Arief (4), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 24
67
Barda Nawawi Arief (3), Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 20-21.

31
perbuatan tertentu yang melawan hukum yang tidak mungkin diterima oleh
masyarakat. Suatu alasan sebab apa hukum pidana tidak dapat dihapuskan
ialah bahawa hukum pidana dengan teliti menunjuk dalam hal-hal mana
Negara berhak untuk bertindak terhadap seorang penduduk lewat jalur hukum
acara pidana.

Dalam pengertian yang praktis, Politik Hukum Pidana (politik


kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk
undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait
dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak
berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya
masing-masing.68

Pandangan lain disampaikan oleh Hoefnagels, bahkan ia memberikan


lebih dari satu pengertian daripada politik kriminal. Berbagai pengertian
tersebut adalah: 69

1. Criminal policy is the rational organization of the social reaction to


crime (politik kriminal adalah organsasi rasional dari reaksi sosial
terhadap kejahatan) ;

2. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal


adalah ilmu pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan);

3. Criminal policy is a policy of designating behavior as a crime (politik


krimjnal adalah kebijakan dalam rangga menandai perilaku sebagai
suatu kejahatan);

4. Criminal policy is a rational total of response to crime (politik kriminal


adalah total rasional dari respon terhadap kejahatan).

68
Wahab Ahmad, Politik Hukum Pidana Dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Sumber: http://www..badilag.net, hlm. 5.
69
Widiada Gunakarya dan Petrus Irianto, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 10.

32
Politik Hukum Pidana (Politik Kriminal) tidak hanya berdiri sendiri
tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh
hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan
hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum
pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini tentunya dilaksanakan
melalui sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) yang terdiri
dari sub sistem Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Muladi, bahwa berbicara tentang Politik Hukum pidana


(criminal law politics) pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut
proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Dengan
demikian terkait disini proses pengambilan keputusan (decision making
proses) atau pemilihan melalui seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada,
mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem hukum pidana mendatang.
Dalam rangka pengambil keputusan dan pilihan tersebut, disusun pelbagai
kebijakan (policies) yang berorientasi pada berbagai permasalahan pokok
dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum,
kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternaif sanksi yang
baik yang merupakan pidana (straf) maupun tindakan (maatregel).70

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Metode Penelitian

70
Muladi, Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas Dalam RUU KUHP, Makalah yang dipresentasikan dalam Focus Group
Discussion yang diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi dalam Rancangan
KUHP, Hotel Ibis Tamrin, Jakarta, 28 September 2006, hlm. 1.

33
Kami sebagai Peneliti menggunakan jenis Metode Penelitian Hukum
Normatif, adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan
pengembanan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut Dogmatika
Hukum (rechtsdogmatiek) atau Ilmu Hukum Positif atau Ilmu Hukum
Dogmatik atau Ilmu Hukum Praktikal.71 Yang kemudian menjadi kajian dari
penelitian hukum normatif yaitu yang berkaitan dengan bagaimana cara
kerjanya sebuah ilmu, artinya apa dan bagaimana metodenya, akan ditentukan
oleh apa yang dicari oleh ilmu itu, atau dengan kata lain, apa visi dan misi
dari ilmu yang bersangkutan, dan terkait padanya apa yang menjadi persoalan
pokok atau persoalan inti dalam ilmu tersebut.

Jenis penelitian ini merupakan konsekuensi logis dari Ilmu Hukum


yang diklasifikasikan sebagai ilmu normatif yang bersifat sui generis.72
Sedangkan titik berat penelitian dengan pendekatan yuridis normatif
ditujukan pada penelitian kepustakaan yang berarti akan lebih banyak
menelaah dan mengkaji data sekunder, dengan alasan karena masalah yang
diteliti sebagai objek adalah keterkaitan peraturan yang satu dengan lainnya
dan penerapannya dalam masyarakat.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah cara mengadakan penelitian.73 Sesuai


dengan Jenis Penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis
normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan.74 Konsekuensi

71
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2009,
hlm. 40.
72
Peter Mahmud Marzuki, Karakteristik Ilmu Hukum, Sumber (online): http:// download.
portalgaruda.org/article.php?article=18635&val=1156, diakses pada tanggal 6 Desember 2018,
hlm. 24.
73
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 2002,
hlm. 23.
74
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia
Publising, 2012, hlm. 300.

34
logis tipe penelitian ini merupakan penelitian hukum normatifatau penelitian
hukum dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal.
Kemudian sebagai penelitian hukum normatif maka metode pendekatan yang
diterapkan untuk membahas permasalahan penelitian, dapat lebih dari satu
jenis metode pendekatan.

Namun dalam penelitian, Peneliti menggunakan pendekatan


perundangan-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(analytical and conceptual approach), pendekatan kasus (case approach)
dalam artian beberapa kasus dikaji untuk referensi bagi suatu isu hukum75,
dan pendekatan filsafat (philosophy approach) dengan menggunakan
penalaran deduktif dan/atau induktif secara dialektis—beberapa ahli filsuf
menyebutnya penalaran abduksi, guna mendapatkan dan menemukan
kebenaran intersubyektif.

C. Sumber Data
Sumber yang digunakan pada penelitian normatif 76 yang paling utama
dalah kepustakaan sebagai data sekunder, yaitu terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[UUD NRI 1945];
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP];
c. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil [UU Drt No. 1/1951];

75
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi,.........Op.cit., hlm. 18
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Radja
Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 12-14.

35
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana [UU No. 8/1981] atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana [KUHAP];
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman [UU No. 48/2009].
2. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari Bahan hukum yang diperoleh
dari buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan objek yang
diteliti, termasuk di dalamnya adalah Rancangan KUHAP dan
Rancangan KUHP
3. Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari Kamus dan Ensiklopedia.

D. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini mendasarkan diri
kepada metode kegiatan ilmiah dari Ilmu Hukum. Dimana Ilmu Hukum atau
Dogmatik Hukum adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya mencakup kegiatan
menginventarisasi, memaparkan, menginterpretasi dan mensistematisasi
serta juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu
masyarakat atau Negara tertentu, dengan bersaranakan konsep-konsep,
kategori-kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi, dan metode-metode
yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan
tersebut, yang keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan
upaya menemukan penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum, baik mikro
maupun makro, yang mungkin terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, Ilmu
Hukum secara langsung terarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian
yuridis terhadap masalah konkret.
Cara berfikir tersebut yang dikenal dengan istilah penalaran hukum
(legal reasoning), yang berguna untuk menetapkan putusan hukum untuk
ditawarkan sebagai penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi. Atau
sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, “penalaran hukum”
merupakan pemaparan otoritatif yang formal, yang bertujuan untuk

36
menunjukan bagaimana dan mengapa seorang pembuat keputusan sampai
pada kesimpulan tertentu. 77
Adapun legal reasoning tersebut merupakan metode berfikir yuridis
untuk mengidentifikasi, berdasarkan tatanan hukum yang berlaku, hak-hak
dan kewajiban yuridis spesifik dari para pihak terkait.
Untuk mempersiapkan proses legal reasoning (penalaran hukum)
guna mencapai putusan hukum (proposisi hukum) secara rasional
bertanggung jawab, maka kegiatan ilmiah Ilmu Hukum mencakup
interpretasi dan sistematisasi aturan-aturan hukum. Menginterpretasi aturan
hukum adalah upaya menemukan makna dari aturan hukum itu, artinya
mendistilasi atau menarik keluar dan menampilkannya ke permukaan kaidah
atau makna hukum yang tercantum atau tersembunyi di dalam aturan hukum
yang bersangkutan. Dalam proses menemukan hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal.
Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan
dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-
konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.
Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-
penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara
lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan
penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna
dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum
berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-
jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.78

77
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, [Penterjemah : M. Khozim],
Bandung: Penerbit Nusamedia, 2013, hlm. 307.
78
Ahmad Muliadi, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Mata Kuliah Penemuan Hukum, Pascasarjana
Universitas Jayabaya, hlm. 2.

37
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Menurut Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya hukum mengandung ide atau


konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai suatu yang abstrak, termasuk ide
tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial, apabila berbicara tentang
penegakan hukum, maka pada hakikatnya berbicara tentang penegakan tentang ide-
ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak tersebut.79

Penegakan hukum itu sendiri menurut Nyoman Serikat Putra Jaya dapat
diartikan sebagai “perhatian dan penggarapan”, baik perbuatan- perbuatan melawan
hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan
melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Dengan
demikian, di sini penegakan hukum tidak hanya diartikan sebagai penerapan hukum
positif, tetapi juga penciptaan hukum positif.80

79
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing,
2009, hlm. 12.
80
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 52.

38
Penciptaan hukum positif yang merupakan arti dari penegakan hukum
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya tersebut,
menunjukkan bahwa suatu pembaharuan hukum berpijak pada ius constitutum
menuju ius constituendum. Hal ini berarti juga bahwa kebijakan hukum pidana atau
penal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Dalam
melakukan pembaharuan tersebut, tentu harus dilihat masalah pokok hukum pidana
yaitu “tindak pidana” (strafbaarfeit/criminal act/actus reus), “kesalahan”
(schuld/guit/mensrea), dan “pidana” (straf/punishment/poena).81 Usaha
penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana)
juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social
defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).82

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa
tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga arah dari kebijakan politik
hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem
dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib
dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:

1. Supremasi hukum;

2. Kesetaraan di hadapan hukum; dan

3. Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan


cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum

81
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman pemidanaan, Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
2011, hlm. 5.
82
Muladi, Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas Dalam RUU KUHP, Makalah yang dipresentasikan dalam Focus Group
Discussion yang diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi dalam Rancangan
KUHP, Hotel Ibis Tamrin, Jakarta, 28 September 2006, hlm. 6.

39
ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,
tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik
hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum.

Selain dari permasalahan dari segi proses pembentukan RKUHP dan


RKUHAP, permasalahan lain adalah substansi dari materi hukum yang termuat
baik di dalam RKUHP dan RKUHAP. Bahwa terjadi pro kontra terhadap materi
dari kedua rancangan tersebut, baik disebabkan karena pertentangan isi materi yang
lebih memiliki kecenderungan kepada satu religi saja, dimuatnya pengakuan secara
tertulis terhadap pidana adat, hingga masuknya pemahaman sistem hukum dari
berbagai negara, sebagai akibat dari fenomena globalisasi.

Patut kita cermati bersama bahwa perkembangan dalam masyarakat akibat


globalisasi telah mempengaruhi dalam tatanan hukum nasional bangsa-bangsa.
Globalisasi telah menimbulkan dampak di berbagai bidang, ada kecenderungan
munculnya negara tanpa batas (state without border). Pada akhirnya norma hukum
yang ada harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi, tetapi kemudian bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai yang dianut,
seperti pandangan hidup, ideologi dan dasar negara Pancasila yang telah menjadi
sumber dari segala sumber hukum.83

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada


hakikatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan
kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosiopolitik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosiokultural masyarakat
Indonesia.84 Patut pula kita apresiasi pendapat dari Khudzaifah Dimyati, bahwa
berkaitan dengan tuntutan reformasi di bidang hukum akan selalu diperdengarkan

83
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Bandung: Genta Press, 2011, hlm. 90-
91.
84
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman........Op.cit., hlm. 43.

40
dan kendala reformasi hukum yang akan dialami dalam reformasi hukum di
Indonesia, yaitu:85

1. Tehnis, yakni dalam bentuk mengenali nilai, norma yang hidup dalam
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa;

2. Kelembagaan, yakni sampai saat ini di Indonesia belum disepakati adanya


satu lembaga yang khusus mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan
dan sekaligus dikhususkan untuk menyusun dan mengkoordinasikan
pembentukan undang-undang;

3. Filosofis, adanya kecenderungan mengabaikan arti penting pertimbangan


filosofis terhadap suatu perundang-undangan yang akan disusun. Hal ini
dapat diketahui dari seringnya ditemukan peraturan perundang-undangan
yang dalam waktu singkat harus diubah, karena adanya perubahan kondisi
sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat;

4. Politik hukum, yang ditetapkan dalam penyusunan peraturan perundang-


undangan di Indonesia tidak dirumuskan secara tegas tentang ke arah mana
aturan akan dialirkan, apakah akan mengutamakan keikutsertaan di dalam
percaturan ekonomi dunia atau akan memperkuat ketahanan di dalam negeri
dalam rangka menghadapi percaturan politik ekonomi dunia;

5. Pengaruh luar, reformasi hukum yang sesuai dengan nilai, norma, dan budaya
bangsa Indonesia akan sulit diwujudkan sepanjang Indonesia masih “didikte”
oleh kekuatan-kekuatan asing seperti IMF di dalam memberikan pinjaman
kepada Indonesia atau badan-badan lainnya.

Sehingga, ketika kita mempermasalahkan tersingkirnya Pancasila sebagai


sumber hukum yang menginspirasi sistem hukum Indonesia, khususnya hukum
pidana, maka permasalahan lain pun muncul, yaitu dimanakah letaknya hukum
pidana adat dan hukum Islam? Yang notabene kedua sistem hukum tersebut pernah
berlaku dan masih berlaku pada sebahagian masyarakat di Indonesia.

85
Khudzaifah Dimyati, Op.cit., hlm. 13-14.

41
Sebagaiamana hal tersebut turut dipertanyakan oleh Valerine J.L. Kriekhoff,
apakah hukum adat masih diakui eksistensinya?86 Proses modernisasi telah
melenyapkan dasar kemasyarakatan dari hukum kebiasaan tradisional hukum adat
(hampir) sebahagian besar tanah air.87

Demikian pula diungkapkan oleh CFG. Sunaryati Hartono, bahwa Politik


Hukum Indonesia disatu pihak tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional yang
terdapat di Indonesia sendiri. Dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota
masyarakat dunia, politik hukum indonesia tidak terlepas pula dari realita dan
politik hukum internasional. Dengan demikian, faktor-faktor yang akan
menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-
citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para
teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta
perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum
Internasional.88

Pengalaman “mendamaikan” isi kandungan hukum antara hukum yang


diberi sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial
yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal)
sebagaimana diperoleh pada jaman kolonial – dan sedikit banyak boleh dibilang
sukses -- itu ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan. Pluralitas
hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham
partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah diteruskan pada zaman
kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk “menyatukan” Indonesia sebagai satu
kesatuan politik dan pemerintahan telah bercenderung untuk mengabaikan hukum
rakyat yang plural dan lokal-lokal itu untuk diganti dengan hukum nasional yang
diunifikasikan dan tak pelak juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum nasional

86
Valerine J.L. Kriekhoff, Arah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional – Penggunaan Hukum
Adat, Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN
2013) dengan tema “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan oleh
Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.
87
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2011, hlm. 131
88
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo, 1997, hlm. 6

42
ditantang untuk merealisasi cita-cita menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan
pembaharu, mendorong terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat
lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru
yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang nasional
(dan bahkan kini juga global).89 Oleh karena itu, Bernard Arief Sidharta
berpendapat bahwa dengan diproklamirkan kemerdekaan Negara Republik
Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka sebenarnya secara implisit
sudah terjadi perubahan dalam isi cita hukum sebagai asas dasar yang
mempedomani (basic guiding principles) dalam penyelenggaraan hukum di
Indonesia.90

Perubahan tersebut, mulai nampak dan terlihat pada Rancangan Undang-


Undang Hukum Pidana (RUU HP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU HAP). Dimana pada Pasal 2 ayat (1) RUU HP menegaskan
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.” Ketentuan tersebut, bahkan ditegaskan kembali
dan masih di dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 2 ayat (2) RUU HP yang
menegaskan “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.”

Eksistensi kedua ketentuan tersebut, telah bertahan sekian lama dalam


kedua rancangan tanpa kepastian hukum dalam keadaannya yang positif. Namun
demikian, secara yuridis normatif, kesamaan norma terdapat dalam Pasal 5 ayat (3)
huruf b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

89
Soetadyo Wignjosoebroto, Hukum. Paradigma, Metode dan Masalah, Jakarta: ELSAM dan
HUMA, 2002, hlm. 166-167.
90
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik
Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Genta Publishing, 2013, hlm. 95.

43
Pengadilan-Pengadilan Sipil (UU Drt No. 1/1951) yang menegaskan sebagai
berikut:

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat,
ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
1) bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
dengan besar kesalahan yang terhukum,
2) bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham
hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti
seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya
yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
UU Drt No. 1/1951 tersebut, walaupun tidak secara efektif berlaku dan
dijalankan dalam praktik peradilan pidana. Namun demikian, kebutuhan akan
mengakomodir nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 5/2004) menjelaskan bahwa dalam
memeriksa perkara, Mahkamah Agung berkewajiban menggali, mengikuti, dan
memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hal yang sama dapat pula dijumpai dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) yang
menegaskan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

44
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Yang kemudian dipertegaskan kembali dalam Pasal 50 ayat (1) UU No. 48/2009
yang menegaskan “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.”

UU No. 48/2009 tersebut jelas memperlihat keberpihakannya terhadap


sumber hukum yang tidak tertulis, atau setidak-tidaknya, negara masih mengakui
adanya sumber hukum lain selain apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan. Namun, hal tersebut tidaklah cukup untuk memberikan legitimasi bagi
kemuncullan ‘peradilan pidana adat’ di dalam ranah kekuasaan kehakiman. Maka,
horizons kita harus diperluas kepada gejala fenomena hukum yang terjadi atau
trend hukum yang terjadi.

Terdapat beberapa gejala yaitu pertama adalah diakomodirnya prinsip


restorative justice dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU No. 11/2012) yang memiliki keidentikan sistem
bekerjanya dengan Pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat; kedua adalah
menguatnya pengakuan secara konstitusi terhadap hukum yang hidup di
masyarakat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” Pula termuat dalam Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 yang
menegaskan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.”; ketiga, adalah adanya Pasal 6
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No.
39/1999) yang menegaskan sebagai berikut:

(1). Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan


kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

45
(2). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Adapun gejala keempat, pengakuan pidana adat melalui peradilan umum
sehingga memunculkan beberapa yurisprudensi mengenai diakomodirnya
kepentingan hukum adat, yaitu antara lain:

1. Pengadilan Negeri Luwuk No. 27/Pid/ 1983, yang memutus hubungan


kelamin diluar perkawinan berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Drt No.
1/1951, yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu
Nomor 6/PID/1984 tanggal 9 April 1984 dan kembali diperkuat dengan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 666K/Pid/1984;
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3898K/Pdt/1989, tanggal 19 Nopember
1992, mengenai pelanggaran adat berupa hubungan diluar perkawinan di
daerah Kafemenanu, mamun diajukan secara perdata dengan gugatan untuk
membayar biaya adat berupa biaya atau mas kawin;
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984
tentang tindak pidana adat Logika Sanggraha;
4. Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 051/Pid.Rin/1988 tanggal 23
Maret 1988. Pengadilan mempertimbangkannnya telah menyebut
pelanggaran terhadap hukum adat delik Nambarayang atau Nagmpesake;

Gejala kelima, munculnya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.


Pada periode DPR 2009–2014, pertama kali sejak Indonesia merdeka, politik
legislasi RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat
diakomodasi dalam program legislasi nasional; keenam, munculnya Rancangan
Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat; dan
ketujuh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang
menegaskan “Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
hingga saat ini belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak
peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang
dimaksud terbentuk.”

46
Berdasarkan ketujuh fenomena tersebut, maka menjadi suatu kebutuhan
bagi Mahkamah Agung untuk mempersiapan secara institusional suatu badan
peradilan khusus yang berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat
secara kepidanaan. Hal ini menjadi penting, oleh karena ketidakseragaman
pengetahuan Hukum Pidana dan Hukum Adat yang dianut oleh Aparat Penegak
Hukum khususnya Penyidik Polri dan Penuntut Umum.

Permisalannya adalah Putusan Pengadilan Negeri Batang Nomor


...../Pid.B/2009/PN.Btg91, yang memuat permasalahan hukum bagaimana Aparat
Penegak Hukum merespon suatu laporan/pengaduan terhadap pergesekan antara
norma hukum nasional dengan norma sosial yang hidup di masyarakat. Dimana,
suatu perbuatan yang dikenal dengan istilah “nggresek” dalam masyarakat Desa
Kenconorejo bukan merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum atau bukan
pula dipandang secara sosial sebagai perbuatan pencurian.

Istilah “nggresek” dalam masyarakat Desa Kenconorejo merupakan suatu


kegiatan memungut/mengambil sisa hasil panen yang memang telah menjadi
budaya pada masyarakat setempat. Namun, oleh karena Aparat Penegak Hukum
berpegang kepada yuridis normatif berupa hukum yang tertulis, maka persoalan
hukum tersebut masuk ke ranah peradilan umum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlunya suatu kajian mengenai


kewenangan absolut mengadili terhadap permasalahan yang secara nilai-nilai yang
hidup merupakan ranah sosial budaya. Maka menurut Paul Bohannan, suatu konflik
merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan
manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin
dihindari atau diabaikan dalam kehidupan bersama. Yang harus dilakukan adalah
bagaimana konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara

91
Menurut Widodo Dwi Putro, nomor putusan sengaja dikaburkan dalam fotocopy an putusan
pengadilan tersebut, guna menghormati Kode Etik; Lihat: Widodo Dwi Putro, Tinjauan Kritis
Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2011, hlm. 214.

47
damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan
masyarakat.92

BAB V
SIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka guna menghindari


perselisihan atau konflik yang disebabkan adanya legal gaps antara kenyataan
sosial dengan yuridis normatif, pembentuk undang-undang dan Mahkamah Agung
perlu kiranya memperluas dan sekaligus memperbanyak sudut pandang (horizon)
agar memperoleh suatu futuristic interpretation atas kebutuhan institusi yang
mengakomodir hak hukum masyarakat adat.
Pelembagaan atau penginstitusian hak hukum masyarakat adat berkaitan
dengan permasalahan hukum pidana adat yang seringkali tidak terakomodir,
sebagai akibat ketidakmampuan analisa Aparat Penegak Hukum—secara umum,

92
I Nyoman Nurjaya, Memahami Kedudukan Dan Kapasitas Hukum Adat Dalam Politik
Pembangunan Hukum Nasional, Jurnal PERSPEKTIF, Vol. XVI, No. 4, 2011, hlm. 237.

48
dan keterjebakan dalam paradigma hukum tertulis, menjadi suatu hal yang bersifat
urgent (penting). Selain merupakan amanah perjuangan kemerdekaan bangsa, dan
amanah dari amandemen konstitusi, eksistensi peradilan pidana adat menjadi suatu
perekat sosial dalam masyarakat terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan


Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar
Maju, 2009.

49
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Ikhtiar, 1961.

Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2012.

JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta:


Komisi Hukum Nasional RI, 2013.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :


Bayumedia Publising, 2012.

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, [Penterjemah : M.


Khozim], Bandung: Penerbit Nusamedia, 2013.

Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum.


Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum.
Buku I, Bandung: Alumni, 2013.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,


Bandung: Binacipta, 1976.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung:


Alumni, 2011.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit


UNDIP, 1995.

Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum. Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, 2013.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana,
2011.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1983.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap


Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1994

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :


Rineka Cipta, 2002.

50
Surojo Wignjodipuro, Pengantar AsasAsas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,
1982.

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses


Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013.

Internet / Jurnal

“Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber: http://kuhap.or.id/perjalanan-


rancangan-kuhap/, diakses tanggal 6 Desember 2018.

Ahmad Muliadi, Penemuan Hukum, Bahan Ajar Mata Kuliah Penemuan Hukum,
Pascasarjana Universitas Jayabaya.

Eva Achjani Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Sumber:
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,
_sh.,mh.pdf

F. Sugeng Istanto, Politik Hukum. Bahan Kuliah, Yogyakarta : Universitas Gajah


Mada, 2004.

Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan


Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia,
Depok, 8 Maret 2003.

Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM) mengenai “Hak Memperoleh


Akses Peradilan Pidana”, www.komisihukum.go.id

Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas,


Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Vol. 2, No. 2, Juli 2013.

Peter Mahmud Marzuki, Karakteristik Ilmu Hukum, Sumber (online): http://


download. portalgaruda.org/article.php?article=18635&val=1156,
diakses pada tanggal 6 Desember 2018.

51

Anda mungkin juga menyukai