Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan rangkaian peraturan yang dibentuk untuk mengatur

tingkah laku serta perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum juga

merupakan organ peraturan-peraturan abstrak, yang mengatur kepentingan-

kepentingan manusia, dimana siapa saja yang melakukan tindakan melawan

hukum akan dikenakan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang sudah

ditentukan. Hukum dapat berupa hukum tertulis (terkodifikasi) dan hukum yang

tidak tertulis (hukum yang hidup dalam masyarakat)1.

Hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis memiliki fungsi masing-

masing, yakni sebagai “...standard of conduct yakni sandaran atau ukuran

tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dan

melakukan hubungan satu dengan yang lain”. “...as a tool of social engeneering

yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih

baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat”. “...as a tool of

social control yakni sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan

manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum,

agama, dan susila”. “...as a facility on of human interaction yakni hukum

berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga menciptakan

perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan

diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam

kehidupan masyarakat”. Agar fungsi hukum tersebut berjalan sebagaimana

1
Abdul Manan, 2005, Aspek – Aspek Pengubahan Hukum, Jakarta: Prenada Media, hlm. 2.

1
mestinya, maka hukum tidak boleh statis harus selalu dinamis 2, harus diadakan

perubahan sejalan dengan kemajuan zaman dikehidupan masyarakat.

Pembaruan hukum di Indonesia perlu memperhatikan bidang hukum yang

ada, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum lainnya

sehingga hasil dari perubahan dari hukum tersebut dapat berkesinambungan

antar bidang hukum diatas. Dalam pembaruan hukum, mempelajari sebuah

stelsel hukum dunia merupakan salah satu referensi yang penting dalam

mengungkapkan unsur persamaan serta perbedaan dari sistem hukum yang

berlaku saat ini. Dalam hal ini diharapkan mendapatkan hasil berupa beberapa

aspek pengubah hukum dari sistem tersebut, baik dari hukum asing maupun

hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping hanya sekedar mengetahui stesel

hukum dunia, juga akan mendapat kesempatan pengetahuan yang lebih serta

pengalaman bangsa lain dalam menyelesaikan beberapa masalah hukum.

Dengan begitu dapat dipetik manfaat dari pengalaman bangsa lain tersebut

untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi3.

Saat ini di Indonesia masih ada beberapa kasus yang memiliki angka

statistik perkara tersebut belum terselesaikan cukup tinggi. Seperti pada kasus

pidana biasa kejahatan/pencurian pada Tahun 2019 dari perkara yang masuk

sejumlah 20.403 ditambah sisa awal 4.312 menjadi 24.715, masih

meninggalkan kasus sisa akhir 3.969 kasus. Kasus pidana biasa narkotika di

tahun yang sama kasus yang masuk sejumlah 34.423 ditambah sisa awal 9.423

2
Ibid, hlm. 3.
3
Ibid, hlm. 29.

2
menjadi 43.846, masih meninggalkan kasus sisa akhir 8.379 kasus 4. Tingginya

nilai angka statistik yang ada menunjukkan bukan hanya beracara di pengadilan

rumit namun juga dapat disebabkan sumber daya manusia dalam penegakan

hukum. Dengan adanya perubahan diharapkan dapat memberikan perubahan

yang signifikan dalam penanganan perkara.

Hukum Acara Pidana yang ada di Indonesia telah dirumuskan dalam

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). KUHAP dibuat untuk menggantikan Herzein Inlands

Reglement (HIR) yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Substansi di dalam

KUHAP menurut Yanto (2013) dalam Ismatul Azimah (2016) telah mengalami

banyak perkembangan, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi yang harus segera disusun oleh bangsa Indonesia agar hukum acara

pidana tidak tertinggal dengan perkembangan di era gloalisasi5. Sejalan dengan

hal tersebut perkembangan hubungan kemasyarakatan di dunia internasional

juga sangat pesat, ditandai dengan berbagai konvensi internasional yang

berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan yang perlu diikuti oleh Indonesia

sebagai bagian dari masyarakat internasional. Konvensi-konvensi internasional

yang berkaitan dengan keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana telah banyak diratifikasi oleh Indonesia. Konvensi Internasional tentang

International Criminal Court, United Nations Actions Against Corruption,

4
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, 16 September
2019, Statistik Perkara Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum,
https://badilum.mahkamahagung.go.id/statistik.html
5
Ismatul Azimah, “Studi tentang Plea Bargaining di Amerika Serikat dan Prospek Jalur Khusus
dalam Pembaharuan KUHAP”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016, Online, Internet, 5 Mei 2020, http://digilib.uin-
suka.ac.id/20872/1/12340137_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf Hlm. 7

3
International Convention Against,Torture dan International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR), merupakan konvensi-konvensi yang berkaitan

langsung dengan hukum acara pidana yang lahir sesudah adanya Kitab Undang-

Undang Acara Pidana tahun 19816.

Dua macam kepentingan menuntut perhatian dalam acara pidana, yaitu

“...kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang melanggat suatu peraturan

hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya

guna keamanan masyarakat”, dan selanjutnya “...kepentingan orang yang

dituntut bahwa ia harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga

jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman atau kalau

memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat dan

tidak seimbang dengan kesalahannya”7.

Sistem peradilan di Indonesia menganut sistem akuisitor, yaitu pembuktian

perkara pidana mengarah kepada pembuktian ilmiah, serta tersangka sebagai

pihak pemeriksaan tindak pidana, dan sistem peradilan juga terpengaruh oleh

due process model, yaitu proses hukum yang adil dan layak serta pengakuan

hak-hak tersangka/terdakwa. Namun menurut Trisno Raharjo (2011) dalam

Ismatul Azimah (2016) konsep tersebut masih memiliki kelemahan-kelemahan

6
Ahmad Ubbe, 2009, dalamMuhaimin, 2016, Keberadaan Hakim Komisaris dan
Transparansidalam Proses Penyidikan (The Existence of judge Commissioner and The
Transparency of The Process of Investigation), Online, Internet, 5 Mei 2020,
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=books&cd=&ved=2ahU
KEwjs_4DKo4vqAhVv8HMBHTi2AdEQFjAAegQIABAB&url=https%3A%2F%2Fejourn
al.balitbangham.go.id%2Findex.php%2Fdejure%2Farticle%2Fdownload%2F57%2F9&
usg=AOvVaw3gj655PZQsetHnIxVmHJgFHlm. 4.
7
Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, hlm.
15 – 18.

4
yang cukup signifikan seperti due process model yang diharapkan diterapkan

masih jauh dari harapan, bahkan pendekataan inkuisitur masih mendominasi8.

Perlunya pembaruan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terlebih pada perlakuan hukum

terhadap terdakwa dalam proses peradilan, dimaksudkan agar memberikan

jaminan kepastian hukum, penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak

asasi manusia dari terdakwa. Terdakwa juga menjadi bagian penting dalam

mengungkap kebenaran dalam pemeriksaan perkara pidana. Menurut Pasal 207

HIR suatu pengakuan salah dari seorang terdakwa harus disertai keterangan

yang serba lengkap dan yang dikuatkan juga oleh lain-lain alat bukti seperti

saksi atau surat-surat. Dalam hal ini hakim dituntut untuk teliti dalam

melakukan peradilan pidana9.

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (RUU KUHAP) tercantum dalam Pasal 199 yang mengatur tentang jalur

khusus dimana terdakwa masih mendapat keringanan atas pengakuan yang telah

disampaikan. Namun dalam praktek perkara pidana dimana penuntut umum

(jaksa) dan tertuduh atau pembelanya melakukan suatu negosiasi di persidangan

dianggap suatu pelanggaran hukum. Negara-negara penganut ajaran Common

Law menerapkan sistem tersebut karena dianggap mengefektifkan kinerja

hakim dan pengadilan, contohnya di Amerika Serikat. Sistem tersebut tidak

terpisahkan dari seluruh sistem penegakan yang berlaku, sehingga cara ini

8
Ismatul Azimah, Op.Ccit, hlm. 5.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 34 – 35.

5
merupakan salah satu prosedur formal dan legal. Praktek tersebut dikenal

dengan istilah plea bargaining system10.

Menurut para ahli pengertian Plea Bargaining System didefinisikan sebagai

berikut:

1. Menurut Hazel B. Kerper (1980) dalam Intan Khoirun Nisa’ (2017)


Plea Bargaining adalah:
Proses dimana penuntut umum dan terdakwa dalam suatu perkara
pidana melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak
untuk kemudian dimintakan persetujuan pengadilan, biasanya
didalamnya termasuk pengakuan bersalah terdakwa untuk
mendapatkan keringanan tuntutan atau untuk mendapatkan beberapa
keuntungan lain yang memungkinkan untuk memperoleh keringanan
hukuman11.

2. Plea Bargaining adalah “…proses negosiasi dimana penuntut umum

menawarkan terdakwa beberapa kelonggaran untuk mendapatkan

pengakuan bersalah12”.

3. F. Zimring and R. Frase (1980) dalam Katherine Van Wezel Stone

(1981) Plea Bargaining “…mengandung perjanjian antara penuntut

umum dan terdakwa atau penasehat hukumnya yang berujung pada

pengakuan bersalah oleh terdakwa”. “…Penuntut umum setuju untuk

memberikan tuntutan yang lebih ringan (untuk mendapatkan hukuman

yang lebih ringan) dibanding dengan menempuh mekanisme

persidangan yang mungkin akan merugikan terdakwa karena

kemungkinan mendapatkan hukuman lebih berat13.”

10
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, hlm. 117.
11
Intan Khoirun Nisa’, 2017, Analisis Terhadap Penerapan Sistem Jalur Khusus (Plea Baragining
System) dalam system Peradilan Pidana Indonesia (Studi Terhadap Pasal 199 RUU
KUHAP), Online, Internet, 5 mei 2020, http://eprints.umm.ac.id/37767/hlm. 4
12
Harvard Law Review, 1970, The unconstitutionaly of Plea Bargaining, vol. 83, Online, Internet,
6 Mei 2020, https://www.jstor.org/stable/pdf/1339821.pdf?seq=1hlm. 1389.
13
Stone, Katherine Van Wezel, 1981, The Post-War Paradigm in American Labor Law, Vol 90, The
Yale Law Journal,

6
Hal yang menarik dari Plea Bargaining System ialah “...keterkaitan suatu

pengakuan sebagai sarana penyelesaian suatu perkara dan penyiksaan yang

dilakukan oleh aparat untuk memperoleh pengakuan tersebut”. Pada dasarnya,

setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan, pada kenyataan nya

pengakuan dan penyiksaan seperti dua yang belum bisa lepas dari sistem

peradilan pidana di Indonesia. Dapat dibuktikan dari salah satu kasus seorang

aparat dan warga yang menangkap pencuri kendaraan bermotor melakukan

sebuah kekerasaan saat mengintrogasi tersangka.

Pasal 15 Konvensi Menentang Penyiksaan, menyebutkan bahwa:

Setiap negara pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah
dibuat sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan harus tidak digunakan
sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak
penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat

Sesuai dengan peraturan yang ada diatas pengadilan harus menolak bukti

yang berasal dari penyiksaan ataupun intimidasi. Namun pada prakteknya

masih sering ditemukan para tersangka yang sudah mengaku bersalah karena

mengalami penyiksaan membuatnya kesulitan untuk membuktikan adanya

penyiksaan yang dialaminya dengan menggunakan mekanisme pembuktian

yang tercantum dalam KUHAP dan akhirnya berujung pada kriminalisasi orang

yang tidak bersalah atau biasa disebut sebagai kasus salah tangkap.

Variasi sistem Amerika muncul di Singapura yang penuntut polisi (police

prosecutor) pada pengadilan rendah dapat melakukan negosiasi untuk menarik

atau mengurangi dakwaan di depan deputi penuntut umum karen yang tersebut

https://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://scholar.google.c
o.id/&httpsredir=1&article=6685&context=ylj, hlm 498

7
terakhir ini harus menyetujuinya, karena penuntut polisi itu tidak dapat menarik

dakwaan.

Disisi lain Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jepang (The Code of

Criminal Procedure) jaksa diberi kewenangan eksklusif dalam melakukan

penuntutan. Jaksa tidak bisa sewenang-wenang melakukan penuntutan terhadap

tersangka yang telah melakukan tindak pidana, jaksa perlu mengumpulkan

semua bukti bahwa tersangka/terdakwa melakukan sebuah tindak pidana,

disamping itu jaksa harus mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan

oleh tersangka/terdakwa. Jaksa juga dituntut untuk mengetahui penyebab

tersangka melakukan tindak pidana tersebut dan apa akibatnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis tertarik untuk meneliti

perbadingan hukum mengenai: PENGATURAN PLEA BARGAINING

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA JEPANG DAN SINGAPURA

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan Plea Bargaining di Jepang dan Singapura?

2. Apakah Plea Bargaining dapat menjadi Ius Constituendum di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian, ada tujuan yang dicapai oleh Penulis. Tujuan ini

tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan dari

penelitian ini adalah:

8
1. Untuk mengetahui pengaturan Plea Bargaining di Jepang dan

Singapura.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Plea Bargaining di

Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan referensi bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai perbandingan hukum

dan hukum acara pidana.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat Meningkatkan pengetahuan penulis

terhadap perbandingan Plea Bargaining dari Jepang dan Singapura;

dan

3. Memberikan bahan bacaan kepada seluruh mahasiswa Hukum

Universitas Katolik Soegijapranata mengenai Plea Bargaining.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu

metode yang menekankan proses pemahaman Penulis atas perumusan

masalah untuk mengkontruksi sebuah gejala hukum yang kompleks

dan holistic14. Penelitian ini juga menggunakan metode normatif.

14
Petrus Soerjowinoto, dkk, 2018, Metode Penulisan Karya Hukum, Semarang: Universitas Katolik
Soegijapranata, Hlm. 17

9
2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu

menguraikan berbagai pengaturan tentang perbandingan hukum

mengenai plea bargaining di Jepang dan Singapura. Uraian ini

kemudian dianalisis dengan teori-teori dan penerapannya.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah seluruh informasiyang berkaitan dengan

infromasi Perbandingan Hukum Plea Bargaining di Singapura dan

Jepang. Elemen dari penelitian ini terdiri dari: Singapore Criminal

Procedure dan The Code of Criminal Procedure Act.

4. Teknik Pengumpulan Data

Oleh karena penelitian ini bersifat normatif maka data dikumpulkan

melalui studi pustaka/studi literatul terhadap data sekunder, yang terdiri

dari:

a. Bahan Hukum Primair yakni dasar hukum yang mengikat Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Rencana Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penal CodeAct. No 45

of 1907 (Hukum Pidana Jepang), The Code of Criminal Procedure

Act. No. 131 of 1948 (Hukum Acara Pidana Jepang), Penal Code

Chapter 224 (Hukum Pidana Singapura), Criminal Procedure Code

Chapter 68 (Hukum Acara Pidana Singapura).

b. Bahan Hukum Sekunder yakni bahan yang mengikat dengan

penulisan ini seperti doktrin, bahan bacaan maupun artikel yang

terkait dengan penulisan ini.

10
c. Bahan Hukum Tersier yakni bahan-bahan yang berkaitan dan

memperjelas informasi dalam bahan hukum primair dan bahan

hukum sekunder, misalnya internet.

5. Metode Pengolahan Data dan Penyajian Data

Data yang diperoleh dari penelitian, diolah, dipilih atau dilakukan

editing pengumpulan data, kemudian diolah, dipilih, dan dilakukan

editing. Setelah proses pengolahan data selesai kemudian disajikan

secara sistematis untuk menjawab pertanyaan penelitian.

6. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan tidak

menggunakan angka statistik. Kemudian dianalisis secara deskriptif

yaitu menjelaskan jawaban atas permasalahan penelitian.

7. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu:

a. BAB I adalah BAB Pendahuluan yang memuat latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode

penelitian

b. BAB II adalah BAB Tinjauan Pustaka yang memuat:

1) Tujuan perbandingan Hukum

2) Tinjauan tentang plea bargaining

3) Tinjauan tentang Hukum Acara Pidana Indonesia

a) Pengertian Hukum Acara Pidana

b) Fungsi Hukum Acara Pidana

c) Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana

11
4) Tinjauan tentang Japan Criminal Procedure Code

5) Tinjauan tentang Singapore Criminal Procedure

c. BAB III adalah BAB Hasil Penelitian dan Pembahasan yang

memuat:

1) Perbandingan Hukum plea bargaining antara Jepang dan

Singapura

a) Plea bargaining system Jepang

b) Plea bargaining system Singapura

c) Perbandingan plea bargaining Jepang dan Singapura

d) Tabel perbandingan plea bargaining Jepang dan Singapura

2) Plea Bargaining menjadi Ius Constituendum di Indonesia

d. BAB IV merupakan BAB Penutup yang memuat kesimpulan dan

saran

12

Anda mungkin juga menyukai