Anda di halaman 1dari 96

PROPOSAL

KEADILAN RESTORATIF DALAM PENEGAKAN


HUKUM PIDANA DITINJAU DARI PERSPEKTIF
HUKUM SEBAGAI ALAT REKAYASA SOSAIL

THOMMY ARUAN
20203108011

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PASCASARJANA
MANADO
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara yang besar, negara yang telah berdiri

puluhan tahun lamanya yang bentuk pemerintahannya merupakan pemerintahan

republik berdasarkan konstitusi yang sah yakni Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia yang merupakan suatu negara

kepulauan dengan beragam suku dan bahasa tantunya harus memiliki sebuah

instrument dalam mengatur keserasian dan keteraturan kehidupan antar

masyarakat. Instrumen ini tantunya bertujuan untuk memenuhi cita-cita dan

harapan para pendiri bangsa yang termuat di dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana diantarnya untuk

membentuk pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa

indonesia dan untuk memjukan kesejahteraan umum, mencerdasarkan kehidupan

bangsa dan iktu melaksanakan ketertibak dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Untuk

memenuhi cita-cita dan harapan para pendiri bangsa itulah maka negara ini

membutuhkan sebuah instrument yang dapat kita sebut sebagai sebuah hukum

untuk mewujudkan dan memenuhi cita-cita dan harapan tersebut.

Hukum itu sendiri adalah keseluruhan peraturan yang berlakunya dapat

dipaksakan oleh badan yang berwenang.1 Ungkapan yang terkenal: ubi societas, ibi

ius atau dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Karenanya, sering dikatakan

1
Donald Albert Rumokoy, Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers, 2014, halaman 3.

1
bahwa jika tidak ada masyarakat maka hukum juga tidak diperlukan. Dengan

bertitik tolak dari adanya masyarakat, maka jawaban atas pertanyaan tentang alasan

keberadaan hukum berkaitan dengan keberadaan masyarakat. Selain itu, alasan

keberadaan hukum juga terkait erat dengan apa yang menjadi tujuan hukum.2

Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Dengan

demikian alasan keberadaan hukum yaitu adanya ketertiban dan ketentraman (onde

en rust) masyarakat. Alasan keberadaan hukum adalah karena norma-norma yang

lain, yaitu norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama, tidak mencukupi dalam

memberikan perlindungan kepentingan orang dalam masyarakat. Ketiga norma

yang lain itu tidak mencukupi karena dua sebab, yaitu:

1. Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak diatur oleh norma kesopanan,

kesusilaan dan agama, tetapi memerlukan perlindungan juga. Tidak ada norma

kesopanan kesusilaan dan agama yang menuntut bahwa orang harus berlalu di

sebelah kiri atau di sebelah kanan apabila berjalan di jalan.

2. Kepentingan-kepentingan yang telah diatur oleh ketiga norma yang lain itu,

belum cukup terlindungi. Peraturan hukum bersifat memaksa dengan sanksi.3

Tujuan dari diadakannya sebuah hukum selain dari pada yang di atas,

hukum di dalam suatu negara juga dapat bertujuan untuk memenuhi dan menjamin

adanya suatu rasa kepastian hukum dengan berlandaskan pada rasa keadilan. Hal

tersebut sangat penting untuk dapat menciptakan suatu tatanan kehidupan

masyarakat yang aman, tertib dan damai. Sehingga segala perilaku masyarakat

dapat di kontrol dengan adanya aturan atau hukum yang berlaku. Kita ketahui

2
Ibid, halaman 47.
3
Ibid, halaman 47-48.

2
bersama, bahwa suatu negara bila mana di dirikan tanpa adanya sebuah aturan atau

hukum yang mengatur tentang keberlangsungan hidup dan cara bergaul antar

sesama anggota masyarakat, akan berpotensi menghasilkan sebuah konflik yang

mana hal tersebut bisa saja tidak dapat terhindar dan bahkan terselesaikan. Dengan

adanya sebuah hukum, maka berbagai permasalahan yang mungkin dapat terjadi

didalam kehidupan bersosial dapat teratasi atau terselesaikan. Hal ini juga sejalan

dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang tokoh penganut aliran

sociological jurisprudence yakni Roscoe Pound yang mengatakan bahwa

hukumlah yang seharunya menjadi instrument/alat untuk mengarahkan masyarakat

menuju pada sasaran yang hendak dicapai, bahkan jika diperlukan hukum dapat

dipergunakan untuk menghilangkan berbagai kebiasaan masyarakat yang bersifat

negatif.4 Selain itu, adapun pendapat dari Mochtar Kusumaatmadja yang

mengatakan bahwa didalam sebuah negara yang berkembang, mekanisme

hukumnya belum semapan dengan di negara-negara maju sehingga hukum

diperlukan untuk merekayasa perilaku atau sikap serta tindak tanduk masyarakat

agar dapat mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang akan terus

membawa masyarakat Indonesia untuk ikut andil didalamnya. Hal ini juga

bertujuan untuk mengontrol perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat

agar tetap tertib dan teratur.5

Indonesia sendiri memakai pedoman hukum dari Undang-Undang Dasar

1945 yang lebih spesifik lagi pada Pasal 28D ayat (1) yang bebunyi “Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

4
H. Yacob Djasmani, Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial Dalam Praktek Berhukum di
Indonesia, Jurnal MMH, Jilid 40 No. 3, Juli 2011
5
Ibid, hal 366

3
perlakuan yang sama dihadapan hukum” dan kemudian dari pada Undang-Undang

tersebut masyarakat akan mendapatkan apa yang dikehendaki dalam kehidupan

bernegara yang idealnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak dipandang dari

kalangan apapun dan tidak mementingkan salah satu ras, agama ataupun golongan

tertentu. Sejatinya Pasal tersebut merupakan landasan hukum yang dipakai di

Negara ini dari berbagai penjabaran hukum yang ada, baik dikeluarkan

berdampingan dengan Undang-Undang Dasar 1945 maupun yang dikeluarkan

berdasarkan kebijakan dari berbagai lembaga-lemabaga hukum yang ada di

Indonesia.

Namun pada kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia kini masih

meninggalkan berbagai persoalan yang harus diselesaikan, terutama kasus-kasus

pidana yang melibatkan satu pihak dengan pihak lainnya di masyarakat. Rasa

keadilan yang diharapkan dari penegakan hukum belum bisa dinikmati masyarakat

di negara ini. Apalagi seperti diketahui sistem peradilan pidana di Indonesia tidak

banyak mengatur mengenai korban. Dengan demikian kadangkala keberadaan

korban cenderung diindahkan atau ”terlupakan”.

Proses peradilan pidana saat ini masih berorientasi kepada retributif justice

dan melalui pendekatan viktimologi, hal tersebut memunculkan gugatan terhadap

hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan yang berorientasi kepada pelaku

kejahatan dengan mempertanyakan mengapa keadilan justru diberikan kepada

orang yang melanggar hukum pidana dan tidak kepada orang yang terlanggar

4
haknya, sebagai pihak yang menderita atau dirugikan secara langsung akibat

adanya pelanggaran hukum pidana.6

Realitanya keberpihakan hukum terhadap pelaku tidak seimbang dengan

keberpihakan hukum terhadap korban. Beberapa peraturan perundang-undangan

baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, dirasa lebih banyak

memberikan keistimewaan dan hak-hak perlindungan hukum kepada pelaku

kejahatan selaku tersangka, terdakwa dan terpidana. Korban kejahatan seakan

dimarginalkan dan tidak mendapat jaminan maksimal atas hak-hak pemulihan

kerugian yang dialaminya.

Sistem peradilan pidana yang bersifat offender oriented diangap terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa sebagaimana yang dikemukakan

oleh Andi Hamzah:

“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan


hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak
dari para korban. Korban dalam hal ini tidak diberikan kewenangan dan
tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan
sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperuangkan hak-hak dan
memulihkan keadaannya akibat dari suatu kejahatan yang dialaminya”.7

Selain itu, Romli Atmasasmita juga mengakui bahwa Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang lebih mengutamakan terhadap hak-hak tersangka. Hal tersebut

terrlihat dari ungkapannya bahwa fungsi kitab Undang-Undang Hukum Acara

6
Mudzakkir, Viktimologi (Studi Kasus di Indonedia), Makalah dalam Seminar Nasional
Hukum Pidana dan Kriminologi Ke XI, Surabaya, 2005, halaman 20.
7
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hal : 25.

5
Pidna terutama menitikberatkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau

terdakwa.8

Penegakan hukum yang dilakukan dengan mempergunakan metode

keadilan formal berupa tindakan represif Kepolisian yang kemudian dilanjutkan

dengan proses hukum ligitatif (law enforcement process), pada umumnya akan

berakhir dengan situasi menang-kalah (win-lost) atau kalah-kalah (lost-lost ). Akhir

proses ligitatif tersebut hanya akan berujung pada pemidanaan pelaku atas

perbuatannya, sementara pemulihan aspek hak-hak korban serta kerugian fisik dan

psikis yang diderita korban akibat peristiwa tersebut belum dapat dipenuhi. Bentuk

pemidanaan yang digunakan saat ini juga dapat dikatakan tidak memberikan efek

jera bagi para pelanggar hukum . Farouk Muhammad dalam buku ADR Konstruksi

Penyelesaian Masalah dan Sengketa Melalui Proses Restorative Justice Model

Dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana, menjelaskan bahwa:9

Sistem peradilan pidana yang selama ini ditopang dengan doktrin dan teori
efek jera (deterence effect) sudah tidak efektif lagi untuk digunakan dalam
proses penyelesaian masalah, keadaan tersebut mendorong penanganan
masalah melalui mekanisme informal (misdeamenor) dengan melibatkan
pihak ketiga sebagai fasilitator guna melakukan victim-offender
Reconsiliation dan atau Alternative Dispute Resolution lebih dirasakan
manfaat oleh berbagai pihak yang bersangkutan.

Pada akhir-akhir ini terlihat seolah-olah hanya pengadilan saja tempat yang

paling baik untuk menyelesaikan masalah (konflik) hukum dan mencari keadilan.

Sehingga setiap indikasi adanya tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi

perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya

8
Ibid
9
Sudarsono Teguh, ADR Konstruksi Penyelesaian Masalah dan Sengketa Melalui Proses
Restorative Justice Model Dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana , Jakarta : Mulya Angkasa,
2009, halaman 39.

6
menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan

tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pengadilan

dalam bentuk pemidanaan (punishment) tanpa melihat esensinya. Padahal, dalam

suatu peradilan pidana, pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim,

terdakwa, dan penasihat hukum serta sakisi-saksi. Pihak korban diwakili oleh

penuntut umum dan untuk menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan

dijadikan saksi (korban).10 Namun hal tersebut belum memberikan dampak atau

manfaat yang nyata bagi korban kejahatan.

Padahal di banyak negara sudah mulai memikirkan alternatif lain untuk

menyelesaikan konflik yang ada dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena

ketidakpuasan dan frustasi terhadap penerapan hukum pidana yang ada selama ini,

serta penerapan sistem peradilan pidana (Criminal justice System) yang tidak

memberikan keadilan bagi individu, perlindungan kepada korban, dan tidak

memberikan manfaat kepada masyarakat. Akibat dari system peradilan pidana yang

selama ini cenderung pada offender oriented maka viktomologi sebagai studi yang

berorientasi terhadap korban memberikan dasar pemikiran diperlukannya konsep

penyelesaian perkara di luar dari sistem peradilan pidana.

Restorative Justice merupakan salah satu konsep penyelesaian perkara

yang dilaksanakan di luar system peradilan. Restoratif justice sendiri menurut Tony

F. Marshall “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in

a particular offence come toghether to resolve collectively how to deal with the

aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice

10
Waluyo Bambang, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: SinarGrafika,
2011, halaman 8.

7
adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran

tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akiat dari pelanggaran tersebut

demi kepentingan masa depan).11 Apabila dilihat dari sejarahnya, pendekatan

model restorative justice sebenarnya merupakan pendekatan darurat pada era

Tahun 1960 dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus pidana, yang tidak

menggunakan sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif disisi lain merupakan

sebuah kritik terhadap system peradilan pidana yang melihat kejahatan sebagai

pelanggaran terhadap aturan negara sehingga dalam hal ini negara dipandang

memiliki hak untuk menghukum para pelaku pelanggar tersebut. Sedangkan pada

sisi yang lain penderitaan korban dianggap selesai apabila negara telah membuat

pelaku menderita dengan hukumannya. Akan tetapi hal tersebut yang merupakan

konsep warisan kolonial tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menekan

angka kejatan dan angka residivisme.12

Pendekatan restorative justice ini, berfokus pada partisipasi secara langsung

dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus-kasus pidana.

Memang pendekatan ini dalam praktek masih mengalami perdebatan secara teori,

namun pandangan ini berkembang dan mempunyai dampak terhadap kebijakan

hukum (legal policy) dan praktik penegakan hukum di beberapa negara. Restorative

justice dianggap sebagai bentuk pemikiran baru yang dapat digunakan untuk

merespon berbagai kejahatan dan menjawab ketidakpuasan dari kinerja sistem

peradilan pidana pada saat ini. Oleh karena itu, untuk sebuah negara yang besar dan

11
Marian Liebman, Restorative Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers, 2007), hal : 26
12
Afthonul Afif, 2015, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, Pustaka Pelajar,
Yogakarta

8
bercita-cita menjadi sebuah negara yang maju dirasa perlu melakukan sebuah

perubahan ataupun terobosasn dari segi pendekatan dalam penyelesaian perkara

pidana.

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang

menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku

tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana

yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk

menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan

seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki

makna keadilan yang merestorasi, adapun restorasi disini memiliki makna yang

lebih luas dari apa yang dikenal dalam proses peradilan pidana konvensional

adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban.

Hal ini berangkat dari pandangan bahwa dalam suatu peristiwa kejahatan,

penderitaan orang yang telah menjadi korban tidak saja berakibat pada orang itu

sendiri, tetapi juga berdampak pada orang-orang disekitanya. Bahkan juga

berdampak pada masyarakat dan negara dalam lingkup yang lebih luas. Dalam

praktik peradilan pidana, korban hanya diperlukan atau diposisikan sebagai saksi

(korban), tanpa berhak untuk ikut serta berperan aktif dalam sidang pengadilan.

Aparat penegak hukum hanya mendudukkan korban sebagai instrumen dalam

rangka membantu mereka untuk menghukum atau menjatuhkan pidana bagi pelaku,

tanpa pernah berlanjut pada apa yang mereka berikan untuk kepentingan korban.

Namun demikian, dalam konsep restorative justice meliputi pemulihan

hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan

atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat

9
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelakupun diberi

kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi perdamaian, kerja

sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting, karena

proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang

terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam

penyelesaian masalah mereka.

Sebagai sebuah contoh kasus pelanggaran tindak pidana yang terdapat kota

medan yang diambil dari penelitian yang di lakukan oleh Yohana Anastasia

Simanullang.13 Pada Kasus tersebut terjadi sebuah pelanggaran tindak pidana

ringan berupa pencurian. Kasus tersebut diterapkan pendekatan restorative justice

dengan melakukan mediasi antara para pihak yang terkait baik pelaku, korban dan

penegak hukum dalam hal ini Polsek Medan. Dalam penyelesaian perkara tersebut

yang dilakukan di luar persidangan dengan menggunakan pendekatan keadilan

restorative membuahkan hasil yang positif dimana tercapai sebuah kesepakatan

antara kedua belah pihak sehingga dalam hal ini tercipta rasa keadilan yang dapat

dirasakan baik dari pihak korban maupun pelaku itu sendiri.

Hasil yang berbeda bisa saja terjadi bila mana kasus tersebut dilaksanakan

dengan cara pendekatan retributive (pembalasan) atau restitutive (ganti rugi), yang

mana penerapan pendekatan tersebut seringkali meninggalkan kekecewaan,

ketidakpuasan dan dendam bagi korban dan pelaku.

Dari contoh kasus diatas, kita dapat meliihat bahwa pendekatan yang

menggunakan Restoratif Justice ternyata memberikan sebuah hasil yang mana

13
Simanullang, Y, A, 2018, Penerapan Asas Restorative Justice Dalam Kasus Pencurian
Ringan (Pasal 364 KUHP) (Studi di Polsek Medan Sunggal), Universitas HKBP Nommensen,
Medan

10
kedua belah pihak baik dari korban dan tersangka mendapatkan keadilan dan rasa

kepuasan masing-masing, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan tidak ada yang

merasa dirugikan baik dari pihak korban maupun tersangka dan dengan terjadinya

proses pendekatan restorative justive membuat permasalahan tersebut tidak

beranjut ke meja persidangan.

Hal ini sejalan dengan yang terdapat di dalam pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia yang mana tujuan dibentuknya sebuah

pemerintahan salah satunya untuk melindungi segenap tumpah darah ataupun

dalam hal ini dapat dikatakan seluruh masyarakat dengan tetap berlandaskan pada

rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, hal itu juga di perkuat

dengan adanya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:14

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Dari permasalahan diatas dan di dukung oleh beberapa dasar hukum yang

kuat demi mencapai sebuah keadilan, restorative justice dapat dikatakan

merupakan sebuah mekanisme pendekatan yang sangat baik. Pendekatan ini juga

memiliki dampak yang positif bagi perkembangan hukum di Indnonesia. Namun,

sampai sejauh ini, negara kita belum memiliki suatu aturan yang pasti yang termuat

di dalam KUHAP terkait dengan restorative justice itu sendiri sehingga hal tersebut

dapat menjadi pedoman dasar dalam penegakan hukum melalui pendekatan

tersebut. Di lain sisi, restorative justice merupakan suatu hal yang baru dikalangan

14
Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor 99/PUU-VII/2009 Tentang UU
Pemilihan Presiden & Wakil Presiden “Larangan Quick Count Pada Pilpres, Online,
(https://www.mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara%2099%20quick%20co
unt%20pilpres.pdf)

11
masyarakat sehingga perlu adanya pemahaman dan sosialisasi terkait penyelesaian

perkara dengan menitik beratkan pada pendekatan keadilan restoratif.

Perkembangan konsep restoratif justice dalam sistem hukum pidana di

Indonesia semakin berkembang dalam satu dekade terakhir, hal tersebut diawali

dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Berlakunya UU SPPA maka sebisa mungkin anak

dijauhkan dari sanksi pidana, sehingga dalam tindak pidana yang pelakunya adalah

Anak, penyidik sebisa mungkin mengupayakan prinsip restorative justice dalam

setiap penyelesaian perkara.

Pasal 1 ayat 6 menjelaskan pengertian restorative justice yaitu:15

“penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban

dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama untuk mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadaan semula dan bukan pembalasan.”

Dewasa ini semua institusi penegak hukum di Indonesia baik Mahkamah

Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kementrian

Hukum dan HAM Republik Indonesia telah mengadopsi prinsip restoratif justice

sebagai salah satu cara untuk menyelesaiakan suatu perkara pidana. Pada Tahun

2012 keempat lembaga ini membuat kesepahaman bersama Ketua Mahkamah

Agung republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 131/KMS/SKB/X/2012, Nomor M-HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor

15
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No.11
Tahun 2012, ps. 1.

12
KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang

Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (restoratif

Justice). Dalam Nota Kesepakatan Bersama ini prinsip keadilan restoratif

(restoratif justice) didefenisikan pada Pasal 1 ayat (2), yaitu:

“Keadilan restoratif (restorative justice) adalah penyelesaian perkara


tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan
atau hakim sejak awal pesidangan dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.”

Selanjutnya masing-masing institusi Penegak hukum tersebut

mengeluarkan peraturan sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara pidana

dengan prinsip keadilan restoratif, antara lain:

1. Peraturan Kapala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019

tentang Penyidikan Tindak Pidana

2. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

3. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2020 tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

4. Keputusan Direktur jenderal Badan Peradilan umum Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang

Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif

13
Namun meskipun sudah ada peraturan yang menjadi pedoman dari tiap-tiap

intitusi penegak hukum, hal tersebut menurut penulis dirasa belum cukup

dikarenakan dari aturan-aturan yang ada dari tiap institusi memiliki beberapa

perbedaan dan kelemahan, sehingga dianggap perlu adanya aturan hukum terpusat

untuk memperbaiki hal tersebut sekaligus menjadi pedoman dasar dari tiap-tiap

institusi dalam melaksanakan penegakan hukum yang berkaitan dengan pendekatan

restorative justice agar dapat terciptanya keselarasan dalam pelaksanaan ataupun

mekanisme hukumnya. Hal yang paling sederhana dapat terlihat di dalam

Peraturatan Kejaksanaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2021 tentang

Pengehentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Pasal 5 Ayat 1b

yang mana pada Pasal tersebut menekankan bahwa yang dapat dikenakan

mekanisme pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana yang diancam

pidana denda atau diancam dengan penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

Hal ini bertolak belakangan dengan aturan yang terdapat di dalam Peraturan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan

Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang tidak mensyaratkan hal

demikian, sehingga dari aturan-aturan yang ada dapat menyebabkan persepsi yang

saling bertolak belakang antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya.

Padahal, dengan telah diterbitkannya aturan-aturan yang ada telah sangat

membantu dari tiap-tiap aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi terhadap

Kepolisian yang mana sebelum dikeluarkannya Perpol tersebut, terkadang

Kepolisian sering mengambil langkah atau kebijakan yang mungkin bertentangan

dengan aturan yang ada. Dimana bila kita beranjak dengan pendekatan penegakan

hukum konvesional yang menerapkan sistem retributive justice, maka aturannya

14
dari proses pelaporan perkara tersebut harus tetap dilanjutkan hingga pada tahap

pengadilan dan putusan pengadilan. Namun atas dasar kemanusiaan, terkadang

beberapa kasus yang dianggap masih dapat diselesaikan diluar jalur pengadilan,

dibuatkan kebijakan khusus berdasarkan hati nurani dari penegak hukum dengan

tetap mendasari pada kepentingan umum, keadilan dan rasa kemanusiaan. Perkara

tersebut pun acap kali mendapatkan hasil yang positif walaupun diselesaikan diluar

pengadilan. Namun hal tersebut pun sering menjadikan aparat hukum dalam situasi

dilema, karena berdasarkan aturannya apa yang dilakukan oleh penegak hukum

tersebut telah bertentangan dengan aturan yang ada. Disisi yang lain, meskipun

perkara tersebut telah diselesaikan oleh kedua belah pihak baik korban dan pelaku,

namun berdasarkan data administrasi dikepolisian sang pelaku masih menyandang

status tersangka meskipun perkara tersebut tidak pernah dilanjutkan lagi baik dari

pihak korban maupun aparat yang berwenang. Dengan adanya Perpol No. 15 Tahun

2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, beberapa

permasalahan yang diuraikan diatas mendapatkan jawaban dan jalan keluarnya.

Namun tetap saja masih menyisahkan kelemahan baik dari segi aturan yang

dikeluarkan dari tiap-tiap institusi tersebut. Dari hal diatas, dapat memperlihatkan

bahwa sampai sejauh ini belum terdapat kepastian hukum yang jelas berkaitan

dengan Restoratif Justice ini sendiri sehingga dipandang perlu untuk dibuat suatu

Undang-Undang yang dapat memperbaiki permsalahan tersebut.

Mengemukanya norma yang mengandung prinsip Restoratif Justice dalam

peraturan yang dibuat oleh intitusi penegak hukum mencerminkan penegakan

hukum progresif yang dipelopori oleh Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto

Rahardjo, penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan

15
melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya,

artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-

kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak

tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan

perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seseorang yang

memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.16 Selanjutnya, Satjipto Rahardjo

juga mengemukakan bahwa penegakan hukum pada hakekatnya merupakan suatu

usaha untuk mewujudkan ide-ide serta konsep-konsep yang sifatnya abstrak

menjadi kenyataan, termasuk ide tentang keadilan, kebenaran, dan kepastian

hukum.17

Penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau

diciptakan. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan

hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.18

Penegakan hukum membutuhkan institusi-institusi hukum seperti hakim, jaksa,

advokat, dan polisi. Masing-masing institusi bekerja dengan saling mempengaruhi

untuk merealisasikan tujuan hukum. Oleh karena itu, maka penegakan hukum tidak

bekerja dalam ruang hampa dan kedap pengaruh, melainkan selalu berinteraksi

dengan lingkup sosial yang lebih besar.

Upaya-upaya progresif dalam penegakan hukum mendorong Satjipto

Rahardjo melahirkan konsep Penegakan Hukum Progresif. Penegakan Hukum

Progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih

16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2009, halaman7.
17
Ibid, halaman 12.
18
Ibid, halaman 24.

16
dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna

lebih mendalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan

hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan

spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh

determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai

keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.19

Ada beberapa kekuatan hukum progresif, yaitu:20

1. Ada dalam ranah teoritis, keunggulan paradigma hukum progresif dalam

konteks ini adalah melihat hukum secara lebih menyeluruh dan tajam jika

dibandingkan dengan paradigma hukum yang lain. Paradigma hukum progresif

tidak hanya melihat hukum sebagai kumpulan peraturan saja, namun jauh

melampaui peraturan, yaitu memandang hukum pada tataran yang lebih luas

sebagai bagian dari realitas sosial yang kompleks.

2. Berada dalam konteksfaktisitas hukum serta pilihan nilai yang coba dicapai

oleh paradigma hukum progresif. Paradigma hukum progresif memandang

hukum sebagai bagian dari realitas sosial yang kompleks, hukum tidak steril

dari pengaruh lain seperti misalnya politik.

3. Paradigma hukum progresif berada dalam aspek metodologis. Paradigma

hukum progresif menganalisis hukum secara lebih komprehensif dan lebih

tajam dengan menggunakan ilmu bantu lain seperti sosiologi hukum, psikologi,

antropologi, sehingga pembacaan terhadap realitas hukum menjadi lebih baik,

dan solusi yang ditawarkan pada akhirnya tidak bertumpu pada peraturan ad

19
Ibid, halaman xiii
20
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi
Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: antony Lib, 2009, halaman 185.

17
hoc, namun lebih luas dari itu dengan mempertimbangkan variabel-variabel lain

seperti kemanusian, sistem sosial, sistem nilai, politik maupun ekonomi.

Berdasarkan uraian diatas, diharapkan melalui penelitian ini dapat

menjawab permasalahan yang ada serta dapat memberikan pandangan yang lebih

luas sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Keadilan

Restoratif Dalam Penegakan Hukum Pidana Ditinjau Dari Perspektif Hukum

Sebagai Alat Rekayasa Sosail”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hakikat keadilan restoratif dalam peraturan hukum pidana

yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan prinsip keadilan restoratif dalam penegakan

hukum di Indonesia dari perspektif hukum sebagai alat rekayasa sosial?

3. Bagaimanakah konsep keadilan restoratif yang ideal dalam peraturan

hukum pidana di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisa bagaimana hakikat keadilan restoratif dalam peraturan

hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk menganalisa Bagaimana penerapan prinsip keadilan restoratif dalam

penegakan hukum di Indonesia dari perspektif hukum sebagai alat rekayasa

sosial.

3. Untuk mengetahui bagaimana konsep keadilan restoratif yang ideal dalam

peraturan hukum pidana di Indonesia.

18
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:

a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam rangka menunjang

pengembangan ilmu bagi penulis sendiri dan mahasiswa fakultas

hukum pada umumnya.

b. Menjadi masukan bagi masyarakat dan para penegak hukum dalam

menegakkan ketentuan hukum dengan mempertimbangkan

kepentingan terbaik berdasarkan konsep keadilan restoratif.

c. Diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan aparat penegak

hukum dalam rangka menyusun peraturan hukum pidana yang

menerapkan prinsip keadilan restoratif.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini semoga dapat dimanfaatkan untuk bahan

informasi berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana dengan

berlandasakan pada konsep pendekatan restorative justice.

b. Dapat diadikan bahan evaluasi untuk mengkaji dan menilai kebjakan

saat ini serta untuk menentukan kebijakan hukum dimasa mendatang

yang berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana terlebih khusus yang

berlandaskan konsep restorative justice.

E. Originalitas Penelitian

Untuk mengkaji originalitas penelitian dalam penulisan ini, maka peneliti

melakukan perbandingan antara penelitian terdahulu atau penelitian-penelitian

19
yang relevan denan penelitian yang akan di teliti saat ini. Hal tersebut dapat terlihat

pada Tabel 1.1 di bawah ini:

Tabel 1.1 Penelitian Yang Relevan

Substansi Fokus
No Nama Peneliti Judul Peneitian
Penelitian Penelitian

1 Ahmad Agus Restorative Disertasi ini Disertasi

Ramdlany/ Justice Dalam mengkaji keadilan 2021

Universitas Islam Hukum Pidana restorative yang ada

Negeri Sunan Islam Perspektif dalam hukum

Ampel, Surabaya Filsafat Hukum pidana islam dilihat

dari perspektif

filsafat hukum

islam. Penelitian ini

bersifat Normatif

dengan

menggunakan

statue approach

sebagai data

sekunder. Penelitian

ini menghasilan

temuan Pertama,

keadilan restorative

20
dalam hukum

pidana Islam

dikenal dengan

istilah al ‘afwu dan

Islah. Perbuatan

memaafkan dan

perdamaian dari

korban atau

keluarganya

dipandang sebagai

suatu yang lebih

baik. Korban

mendapatkan

perbaikan dari

sanksi yang

dijatuhkan, serta ada

perananan korban

dalam system dan

proses peradilan

pidana.

Kedua,hukum

pidana islam sangat

menganjurkan

penyelesaian

21
perkara dengan cara

perdamaian. Ketiga,

nilai-nilai keadilan

restorative

memberikan

perhatian yang sama

terhadap korban dan

pelaku. Otoritas

untuk menentukan

rasa keadilan ada di

tangan para pihak,

terutama korban

bukan pada negara.

Restoratif Justice

dalam hukum

pidana islam dapat

berimplikasi pada

efektifitas

penegakan hukum

di Indonesia.

Kejahatan akan

berkurang, penjara

tidak akan over

capacity serta

22
terciptanya

keamanan dan

ketentraman dalam

masyarakat.

2 Ach,ad Irwan Pendekatan Hasil penelitian ini Disertasi

Hamzani/ Restoratif Justice menunjukkan; 2015

Universitas Dalam posisi hukum pidana

Diponegoro, Pembangunan islam dalam

Semarang Hukum Pidana pembangunan

Nasional hukum pidana

Berbasis nasional adalah

Ketentuan Qisas- sebagai sumber

Diyat Dalam materiil bersama

Hukum Pidana sumber hukum.

Islam Hukum pidana

islam sebagai

sumber materiil

merupakan corak

yang menekankan

aspek substansi,

bukan legal

formalnya.

Ketentuan qisas-

23
diyat dapat

dikontribusikan ke

dalam hukum

pidana nasional

untuk

menyempurnakan

RUU KUHP.

Rumusannya tidak

harus sama persis,

namun esensinya

sama, yaitu

memberikan hak

kepada korban atau

ahli warisnya dalam

menentukan sanksi

untuk tindak pidana

pembunuhan dan

penganiayaan

sebagai bentuk

perhatian dan

perlindungan

kepada korban atau

ahli warisnya.

Selain itu, hasil

24
penelitian ini juga

merekomendasikan

agar hukum pidana

islam dijadikan

sumber materiil

dalam

pembangunan

hukum pidana

nasional, ketentuan

qisas-diyat

ditransformasikan

ke dalam RUU

KUHP dan

pendekatan

restorative justice

berbasis qisas-diyat

dapat dirumuskan

dalam RUU KUHP,

dengan

penyelesaian diluar

proses melalui

lembaga pemafaan

yang masih

terintegrasi dalam

25
system peradilan

sebagai pintu/kamar

tersendiri.

26
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Teori

a. Teori Tujuan Hukum

Kasuistik dalam dinamika Hukum di Indonesia penuh dengan keberagaman

dan dalam penerapannya memerlukan tinjauan yang spesifik dan sesuai dengan

pemanfaatan dari penerapan hukum tersebut baik secara logis maupun konrkrit

yang tentunya harus berkesesuaian. Hukum di Indonesia mempunyai manfaat yang

penting untuk kestabilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Grand theory dalam disertasi ini adalah teori tujuan hukum, yaitu : teori

tujuan hukum Barat dan teori tujuan hukum Timur13 yang akan jabarkan sebagai

berikut:14

1. Teori Tujuan Hukum Barat

Dalam Konsep teori ini mengacu kepada kepastian Hukum, Keadilan dan

Kemanfaatan dari Hukum itu sendiri.15

2. Teori Hukum Timur

Teori ini berbeda dengan teori bara, bangsa-bangsa timur masih memakai

budaya hukum asli yang ada di tanah mereka, yang mana teori tentang

tujuan hukumnya bertumpu pada “keadilan adalah keharmonisan, dan

keharmonisan adalah Kedamaian”.

13
Teori Timur ini dapat diterjemahkan sebagai hukum adat yang tumbuh, hidup, dipelihara
dan berlaku pada masyarakat lokal atau apa yang disebut dengan hukum adat.
14
Achmad Ali, op cit. halaman 212.
15
Acmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori peradilan
(judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-undang (legisprudence). Kencana Perdana Media
Group. Cetakan ke-1. Agustus, Jakarta. Hal.212

27
Sebagaimana menurut Notohamidjojo bahwa: “Hukum yang pertama

bertujuan mewujudkan keadilan; dimana itu tidak mungkin, hukum mengejar: daya

guna atau doelmatigheid.”16 Selanjutnya Notohamidjojo menempatkan kepastian

hukum sebagai salah satu faset yang terpenting dari pada daya guna.17

Sebagai contoh penegakan hukum di negara Jepang adalah jika pengadilan

Jepang dalam putusannya, sering mengabaikan ketentuan formal, demi

mewujudkan kedamaian didalam masyarakat mereka. Bahkan, perkara-perkara

yang tidak berat, seperti pencurian, dapat dilakukan perdamaian antara pelaku

pencurian (bahasa jepangnya dorobo), dengan korbannya secara resmi di kantor-

kantor polisi, dimana disana sudah tersedia formulir khusus untuk perdamaian.

Syaratnya jika perdamaian itu antara pencuri dan korbannya, adalah bahwa pencuri

langsung mengaku bersalah perdamaian itu meminta maaf kepada korbannya,

mengembalikan barang curiannya, dan yang terpenting adalah korbannya

memaafkannya. Perkara ditutup dan tidak lagi dilanjutkan, meskipun sebenarnya

ketentuan formal dari hukum acara pidana di Jepang, identik dengan hukum acara

pidana Barat dan Indonesia, yaitu menganut asas “tidak ada perdamaian dalam

perkara pidana”, tetapi sendi dalam realitas praktik hukum, undang-undang

diabaikan demi tujuan hukum kedamaian. Demikian juga di Indonesia, pelanggaran

terhadap hukum adat berakibat “terganggunya keseimbangan keluarga atau

masyarakat, walaupun adakalanya perkaranya sampai ditangani oleh alat negara,

dapat ditempuh dengan cara lain melalui pribadi dan atau keluarga yang

bersangkutan, atau ditangani kepala kerabat, kepala adat, kepala desa, ketua

16
Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, halaman
33.
17
ibid, halaman 35.

28
perkumpulan organisasi (instansi) dan alat negara”. Cara penyelesaian yang

dilakukan karena terjadinya delik adat menurut Hilman Hadikusuma,18 yaitu:

1) “Penyelesaian antara pribadi, keluarga, tetangga.

Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat, ditempat pekerjaan,

dan lainnya, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga

atau masyarakat bersangkutan, diselesaikan langsung ditempat kejadian

antara pribadi bersangkutan, atau diselesaikan di rumah keluarga salah

satu pihak antara keluarga bersangkutan, atau ditempat pekerjaan oleh para

pihak bersangkutan dan teman – teman sekerja, atau antara tetangga dalam

kesatuan rukun tetangga.

2) Penyelesaian kepala kerabat atau kepala adat

Adakalanya pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau

tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain

hlm tidak berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada

kepala kerabat atau kepala adat dari kedua pihak, maka yang mengadakan

pertemuan selanjutnya adalah diantara kepala kerabat atau kepala adat.

3) Penyelesaian kepala desa.

Apabila penyelesaian delik adat dilakukan oleh kepala kerabat atau kepala

adat kebanyakan menyangkut perselisihan khusus dikalangan masyarakat

adat kekerabatan yang tidak termasuk kewenangan kepala desa, atau juga

yang masih berlaku dikalangan masyarakat yang susunannya dengan

kelompok suku–suku, maka penyelesaian delik adat dari masyarakat yang

18
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
2014, halaman 17.

29
bersifat ketetanggaan, atau yang penduduknya campuran, dilaksanakan

kepala desa.

4) Penyelesaian Keorganisasian

Di kota-kota kecil atau besar atau di daerah mana penduduknya heterogen,

dimana terdapat berbagai kumpulan atau organisasi kemasyarakatan, yang

mempunyai susunan pengurus dan keanggotaan, seperti halnya

perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di peratauan,

perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan

lainnya, juga dapat melaksanakan penyelesaian secara kekeluargaan

terhadap peristiwa atau perbuatan delik yang terjadi yang telah

mengakibatkan terganggunya keseimbangan dalam kesatuan perkumpulan

organisasi bersangkutan”.

Negara kita Indonesia merujuk kepada penyesuaian atau pemakaian

nomenklatur Hukum yaitu mengadopsi Hukum Formal barat yang mana konsep

tujuan hukumnya yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sistem Eropa

Continental menjadi hal yang dominan dalam pemakain sistem hukum di Indonesia,

yang substansialnya dari segi hukum memiliki corak pemikiran yang sangat

Legalistic.

Salah satu tokoh yang bernama Achmad Ali mengemukakan pada bukunya

bahwa Negara Indonesia sebagai bangsa Timur yang mengalami penjajahan dari

bangsa barat selama ratusan tahun lamanya, dan kemungkinan ini yang membuat

peninggalan-peninggalan sistem hukum mereka yang tertinggal di Indonesia,

sebagai contoh dalam sistem hukum Belanda yang tersirat dan bahkan dijadikan

30
sebuah buku yang bernama KUHP dan KUHAP yang mana kedua buku tersebut

masih mengadopsi sistem hukum Belanda.

Teori menurut Aistoteles dan Gustav Raldburch banyak dipakai dalam

mengkonsideransi atau bahkan dalam mensingkronisasi apa yang menjadi

kebijakan hukum di Indonesia yang mengadopsi budaya hukum barat walaupun

bukan sebuah pilihan akan tetapi sengaja menjadi peninggalan dari bangsa barat

yang pernah menjajah atau menginjakan kaki di negeri Indoensia ini. Adapun

penjelasan terkait beberapa teori-teori yang di kemukakan dan bahkan dipakai

hingga saat ini dan bisa saja termaktub di dalam sistem hukum dari landasan teori

tujuna hukum di Indonesia, yaitu antara lain:

1.1 Teori Etis

Menurut teori ini tujuan hukum tidak lain untuk mewujudkan keadilan

(justice). Teori ini dikenalkan oleh Aristoteles seorang filosof Yunani dalam

bukunya yang berjudul “Rhetorica dan Ethica Nicomachea”, Menurut

pendapatnya hukum memiliki tujuan suci yaitu memberikan kepada setiap

orang apa yang menjadi haknya. Pernyataan tersebut sependapat dengan

Van Apeldoorn yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “ Inleiding tot

de studie van het Nederlandse recht ” bahwa tujuan hukum ialah mengatur

tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.19

Aristoteles membagi keadilan kedalam dua jenis, yaitu:20

19
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2008, halaman 77.
20
Purnadi Purbacaraka & M. Chidir Ali. Disiplin Hukum, Bandung: Alumni, 1981,
halaman 12.

31
a) Keadilan Distributif (Justitia Distributia)

Keadilan ini adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang

mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya (suum cuique tribuere),

dengan kata lain, keadilan ini merupakan keadilan yang memberikan

jatah kepada tiap-tiap orang berdasarkan porsinya, tanpa menuntut

bagian yang sama atau persamaan untuk setiap orang melainkan

perimbangan. Keadilan distributive ini berkaitan dengan tugas

pemerintah terhadap warganya dalam menentukan apa yang dapat

dituntut oleh warga masyarakat.

b) Keadilan Komutatif (Justitia Commutativa)

Keadilan ini adalah keadilan yang didapatkan oleh setiap orang sama

banyaknya, tanpa melihat porsi masing-masing orang. Dalam hal ini

yang dituntut adalah kesamaan. Sesuatu dikatakan adil apabila setiap

orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan.

1.2 Teori Rawls,21 memusatkan perhatian keadilan pada bagaimana

mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat

sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara

nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin

distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga

menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota

masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama

sosial.

21
Achmad Ali, op. cit halaman 278

32
Definisi “adil” oleh Rawls secara sederhana dijelaskan dalam suatu

konsep yang disebut Justice as Fairness. Artinya, keadilan tidak berarti

kemerataan absolut dalam sebuah masyarakat dengan cara diratakan

oleh otoritas yang berdaulat secara penuh. Keadilan bagi Rawls adalah

keadilan yang bijak pada setiap individu. Keadilan yang setara berarti

memberikan kesempatan setara pada setiap individu untuk memberikan

kualifikasi terbaiknya dalam masyarakat untuk menghasilkan capaian

yang terbaik dari sebuah kompetisi. Dari kedua pendapat diatas, dapat

disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut teori etis ini tidak lain untuk

menciptakan keadilan dalam masyarakat.

1.3 Teori Utilistis adalah tujuan hukum tidak lain hanya untuk merealisasikan

kemanfaatan (utility). Salah satu tokoh penganut aliran Utilitarian adalah

Jeremy Bentham (1748-1783), yang mempunyai pandangan dan pemikiran

hukum yang diilhami oleh karya David Hume (1711-1776) yang merupakan

seorang pemikir yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana

inti ajaran Hume bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan

kebahagiaan22. Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian Bentham

membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang sudah

diletakkan Hume tentang asas manfaat. Menurutnya hakikat kebahagiaan

“adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan”.

22
Bernard.L. Tanya. Dkk, Genta Teori Hukum, Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta : Publishing, 2010, halaman 89.

33
Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest Happines

for the greatest number.23

Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang

menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah

perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba

menerapkannya di bidang hukum yaitu perundang-undangan di mana baik

buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. Sehingga undang-undang

yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat

akan dinilai sebagai undang-undang yang baik, oleh karena itu diharapkan

agar pembentuk undang-undang harus membentuk hukum yang adil bagi

segenap warga masyarakat secara individual. Lebih lanjut Bentham

berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat

untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.24

Kelemahan dari ajaran ini adalah kebahagiaan yang dikemukakan oleh

aliran utiliti ini berupa numerik jadi selama sudah ada sebagian besar

masyarakat yang mendapat keberuntungan oleh hukum dengan demikian

tidak masalah jika ada sebagiab kecil yang dikorbankan haknya, padahal

hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya dalam bentuk sebuah

masyarakat akan tetapai hukum juga harus melihat manusia dari

eksistensinya sebagai individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada

sebagian individu yang dikorbankan haknya. Hukum harus hadir untuk

23
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung:
PT. Refika Aditama, 2010, halaman 44.
24
Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bhakti, 2004, halaman 64.

34
melindungi sampai pada pihak yang paling lemah sekalipun demikian

hukum tetap berorientasi untuk memberikan keadilan.

1.4 Teori Legalistik-Positivistik yakni tujuan hukum menurut teori ini adalah

untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainly). Istilah Positivisme

pertama kali dipergunakan oleh Saint Simon (1760 – 1825) yang lahir dari

Prancis sebagai perubahan dalam menghadapi revolusi borjuis yang

menetang kekuasaan feodal, dominasi raja dan gereja.25

Menurut pandangan positivisme, pemberlakuan undang-undang karena

undang-undang mendapatkan bentuk positif dari lembaga yang berwenang.

Pertimbangan teoretis dan metafisik tidak diperbolehkan karena positivisme

hukum adalah pengajaran ilmiah tentang hukum.26 Hukum itu harus dapat

dilihat dalam ketentuan undang-undang karena, hanya dengan itulah

ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang diluar undang-undang

tidak dapat dimasukan sebagai hukum.27 Dalam aliran hukum positivif,

dikenal adanya dua aliran, yaitu Aliran hukum positif analitis yang dikenal

sebagai analytical jurisprudence dengan tokohnya John Austin dan Aliran

hukum positif murni yang dikenal dengan teori hukum murni (pure theory

of law) dipelopori dan dikembangkan oleh Hans Kelsen.

25
Khudzaifah Dimyati. Dkk, Hukum & Moral, Basis Epistimologi Paradigma Rasional
H.L.A. Hart, Yogyakarta : Genta Publishing, 2017, halaman 1.
26
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kansius, 1986,
halaman 128-129.
27
Khudzaifah Dimyati. Dkk, op. cit, halaman 3.

35
1.5 Aliran hukum positif analitis

Aliran ini mendefinisikan hukum sebagai commond dari pemberi hukum

(perintah dari legislator atau penguasa), yang merupakan perintah dari

otoritas/kedaulatan tertinggi. Hukum dianggap sebagai sistem yang logis,

tetap dan tertutup (closed logic system). Ini berarti bahwa aturan dikurangi

dari hukum yang berlaku tanpa perlu mempertimbangkan norma sosial,

politik dan moral.28 Hukum benar benar terpisah dari keadilan dan

kemanfaatan, hukum hanya didasarkan pada kekuatan yang memegang

kedaulatan.29 Pendapat Austin tidak mempertimbangkan kebaikan atau

kejahatan hukum, karena penilaian dianggap sebagai masalah yang berbeda

di luar bidang hukum. Menurut John Austin, ia dibagi menjadi:

1) hukum yang dibuat oleh Allah untuk manusia (hukum Allah) yang tidak

memiliki makna yuridis, di mana fungsinya hanya sebagai wadah untuk

kepercayaan,

2) hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (human law), terdiri

atas; Pertama, hukum aktual yang dipegang oleh kekuatan politik yang

disebut sebagai hukum positif, sementara hukum sebenarnya tidak

ditegakkan oleh orang, secara pribadi. Hukum ini yang sebenarnya tidak

disebut oleh Austin sebagai "moralitas positif" saja. Hukum positif atau

hukum sebenarnya memiliki karakteristik empat unsur, yaitu perintah,

sanksi, kewajiban dan kedaulatan.30 Jika hukum tidak memenuhi

28
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2013, halaman 80-81.
29
W. Friedmann, Legal Theory Susunan I, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat
Hukum oleh Muhammad Arifin, Jakarta: CV. Rajawali, 1990, halaman 149.
30
W. Friedmann, ibid, halaman 150.

36
keempat unsur, maka tidak dapat diartikan sebagai hukum positif, hanya

disebut sebagai moral positif.

3. Teori Hukum Murni.

Penerapan teori ini yang termaktub dalam General theory of law and state,

merupakan bukunya Hans Kelsen, yang memuat dukunganya terhadap pendapat

Austin bahwa undang-undang atau peraturan tersebut adalah perintah. Menurut

Hans Kelsen tentang pendapat Austin bahwa "perintah adalah pernyataan

kehendak seseorang dalam bentuk imperatif bahwa orang lain harus bertindak

dengan cara tertentu, seorang individu yang objeknya adalah tindakan dari

individu lain. Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa seorang individu dapat

secara khusus memberikan bentuk imperatif pada kemauannya ketika dia

memiliki, atau yakin memiliki, kekuatan tertentu atas individu lain, ketika dia,

atau berpikir dia berada dalam posisi yang membutuhkan kepatuhan. Sebuah

perintah baru dapat disebut norma jika itu mengikat individu kepada siapa itu

diarahkan, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diminta perintah.

a. , …A command is a norm only if it is binding upon the individual to whom it


is directed, only if this individual ought to do what the command requires.31

Namun Kelsen tidak sepakat dengan Austin dengan menyatakan bahwa

tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan

lebih tinggi mempunyai sifat mengikat. Kelsen mencontohkan perintah seorang

bandit kepada seseorang untuk menyerahkan uangnya tidaklah mengikat,

walaupun dalam kenyataannya bandit tersebut mampu untuk memaksakan

31
Hans Kelsen, General Theory of Law and State. New York : Russel and Russel, 1973,
halaman 31.

37
kehendaknya. Suatu perintah mengikat, bukan disebabkan individu yang

memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang lebih tinggi, tetapi perintah itu

mengikat oleh karena individu tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan

untuk mengeluarkan perintah perintah yang bersifat mengikat. Individu hanya

berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat,

memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni memberikan kompetensi untuk

menerbitkan perintah-perintah yang mengikat. Hal ini sebagaimana dinyatakan

oleh Kelsen:32

“…A command is binding, not because the individual commanding has an


actual superiority in power, but because he is authorized or empowered to issue
commands of a binding nature. And he is authorized or empowered only if a
normative order, wich is presupposed to be binding, confers on him this
capacity, the competence to issue binding commands.”

Teori hukum murni adalah teori hukum positif. Kelsen mempertanyakan

dan menjawab pertanyaan, apa hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang

sebenarnya33 Tatanan hukum positif adalah hukum sebagaimana adanya, tanpa

mempertahankannya dengan menyebutnya adil, atau menghujatnya dengan

menyebutnya tidak adil. Tatanan hukum positif berupaya menghadirkan hukum

yang nyata dan mungkin, bukan hukum yang benar, oleh karena itu, menurut

Kelsen, diskusi tentang keadilan harus dikecualikan dari ilmu hukum, karena

hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda.

Keadilan, menurut Radbruch bahwa keadilan sudah cukup apabila

kasuskasus yang sama diperlakukan secara sama.34 Sebagaimana dikatakan oleh

Teguh Prasetyo bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum adalah

32
Hans Kelsen, ibid, halaman 31-32.
33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, halaman 272.
34
ibid, halaman 34.

38
keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan itu sudah pasti ada pula kepastian

dan selalu saja diperoleh manfaat”,35 Geny adalah salah satu ahli yang juga

mendukung bahwa hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan.36

Selanjutnya Geny berpendapat sebagaimana dikutip oleh van Apeldoorn bahwa

tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga

memasukkan kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai sesuatu unsur

dari pengertian keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.37 Tujuan

hukum satu-satunya adalah tidak lain daripada mewujudkan keadilan.

Bahwa pendapat yang secara panjang lebar menguraikan bahwa hukum

bertujuan untuk tiga tujuan yaitu keadilan kepastian dan kemanfaatan,

rasionalisasi yang tepat bahwa kalau keadilan yang dikejar maka kepastian dan

kemanfaatan secara otomatis akan terwujud, karena baik kemanfaatan dan

kepastian adalah bagian dari keadilan itu sendiri. Jadi pada hakikatnya kepastian

dan kemanfaatan tidak diposisikan sejajar dengan keadilan sebagai tujuan

hukum akan tetapi sebagai sarana untuk mencapai keadilan itu sendiri. Maka

dari itu tujuan hukum pastilah keadilan.

Gustav Radbruch yang merupakan pencetus tiga tujuan hukum yang

kemudian dijadikan rujukan utama para ahli-ahli hukum mengenai tujuan

hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Radbruch pada akhirnya

mengoreksi pandangannya sendiri, ia menyatakan bahwa cita hukum tidak lain

daripada keadilan. Selanjutnya ia juga menyatakan, “Est autem jus a justitia,

sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus.” yang artinya: Akan tetapi

35
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2010, halaman 133.
36
Sudikno Mertokusumo, op.cit., halaman 77.
37
L.J. van Apeldoorn, op. cit, halaman 16.

39
hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena

itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.38

Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering

berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun

sebaliknya. Diantara ketiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi

benturan, maka harus ada yang dikorbankan. Maka dari itu, asas prioritas yang

digunakan olehnya harus dilaksanakan dengan urutan sebegai berikut:39

a) Keadilan Hukum;

b) Kemanfaatan Hukum;

c) Kepastian Hukum.

Dengan tersusunnya teori Gustav dalam tatanan secara berkesesuaian di atas

maka akan terciptanya penyelenggaraan hukum dari program Tujuan Hukum

yang menurut Gustav memungkinkan dapat menghindarkan sistem hukum dari

konflik internal yang kerap akan terjadi dengan kemungkinan persentase yang

cukup tinggi.

Tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dngan kasus yang dihadapi

dan ingin dipecahkan.Tokoh aliran ini antara lain adalah Gustav Radbruch.

Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dari Jerman yang mengajarkan

konsep tiga ide dasar hukum. Gustav Radbruch mengajarkan bahwa ada tiga ide

dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum,

38
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), op. cit, halaman 89.
39
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum. Raja Grafindo, Jakarta. 2012, Hal. 123

40
juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit),

kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).40

a) Keadilan Hukum menurut Gustav yaitu perekat tatanan kehidupan

bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu

anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan

yang diperlukan untuk menjaga ikatan social dan mencapai tujuan

kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan

yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan

tidak dilakukan atau dilanggar, tatanan social akan terganggu karena

terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan

bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan

mendapat sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.41

b) Kemanfaatan Hukum yakni Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik,

jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan,

kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya,

ketentuan hukum akan dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan

akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.

Sehingga tak ada satupun ada para ahli menyatakan bahwa teori

kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum.

Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.

Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian

terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan

40
Achmad Ali, op cit, halaman 3.
41
Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan
Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Patai
HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.

41
berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum.

Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang

pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.42

c) Kepastian hukum menurut Radbruch yakni Kepastian hukum merupakan

tuntunan utama terhadap hukum ialah, supaya hukum menjadi positif, dalam

artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum

sungguh-sungguh positif. Hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan

maksud bahwa hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang undang

yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan sifatnya tetap

sampai undang-undang tersebut ditarik kembali. Permasalahan yang sering

terjadi akibat kekeliruan memahami makna dari kepastian hukum adalah,

sering kali bunyi bahkan sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-

undang dipertahankan secara mutlak, sehingga yang terjadi sebagaimana

ada ungkapan: lex duras sed tamen scripta, yang artinya undang-undang

adalah keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya. Hukum

harus memiliki kepastian, untuk itu maka hukum harus berupa peraturan

tertulis. Akan tetapi sangat penting untuk dipahami bahwa Undang-undang

tidak dapat menguras hukum.43 Karena meskipun kaidah hukum

dirumuskan melalui teks-teks dalam undangundang akan tetapi rumusan

teks tersebut tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud kaidah

hukumnya.44 Makin banyak hukum memenuhi syarat “peraturan yang

42
Lili Rasjidi dan I. B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993. Hal. 79-80.
43
Sudikno Mentokusumo, dan A. Pitlo, Bab Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 53.
44
Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum
dalam Konteks Hukum Nasional, Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011, halaman 2.

42
tepat”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidak pastian, jadi makin

tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti

summum ius, summa iniura,45 atau lebih sering kita dengar dengan

ungkapan Keadilan tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi. 46

b. Teori Penegakan Hukum

Pada tataran middle theory dalam disertasi ini menggunakan teori

penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah

kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.47

Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan-

pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Di dalam

penegakan hukum, pasangan nilai tersebut perlu diserasikan, sebab nilai

ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketentraman titik

tolaknya adalah kebebasan.48 Secara umum penegakan hukum dapat diartikan

sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk

memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang

ditetapkan tersebut. Sedangkan menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum

45
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Jakarta: Pradnya Paramita, 2009,
halaman 13.
46
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008, halaman 139.
47
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta PT.
Raja Grafindo 2011, halaman 5.
48
Ibid, halaman 6.

43
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu

pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.49

Teguh Prasetyo, yang menyatakan bahwa penegakan hukum jika dilihat

dari proses kebijakan, penegakan hukum pada dasarnya adalah penegakan

kebijakan melalui beberapa tahapan. Pertama, tahap perumusan, yaitu tahap

penegakan hukum secara abstrak oleh legislatif. Tahap ini juga bisa disebut

tahap legislatif. Tahap kedua aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana

oleh petugas penegak hukum dari polisi ke pengadilan. Tahap kedua ini juga

bisa disebut tahap kebijakan peradilan. tahap ketiga eksekusi adalah tahap

penerapan hukum pidana secara konkrit oleh aparat pelaksana hukum pidana.

Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.50

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Bagir Manan yang menyatakan

bahwa:

1. Penegakan hukum hampir selalu hanya terkait dengan proses peradilan.

Terkadang bahkan dengan pengadilan. Penegakan hukum tidak hanya

terjadi dalam serangkaian proses peradilan. Penegakan hukum juga

dilakukan oleh badan administrasi negara seperti imigrasi dan bea cukai.

Dalam dunia sains ada juga badan quasi-judicial (quasi administratieve

rechtspraak) seperti badan penyelesaian sengketa pajak (sekarang

lingkungan peradilan murni yang merupakan pengadilan pajak.

49
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, halaman
24.
50
Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusamedia, 2011,
halaman 111.

44
2. Penegakan hukum bukan hanya tentang "orang" (polisi, jaksa, hakim).

Sebagai sistem penegakan hukum yang melibatkan berbagai subsistem,

yaitu:

1) Penegakan hukum kelembagaan;

2) Sumber daya /penegakan hukum;

3) Prosedur (mekanisme) penegakan hukum;

4) Infrastruktur dan fasilitas penegakan hukum.51

Dengan demikian, dari sejumlah pendapat, dapat disimpulkan bahwa

penegakan hukum pidana dimulai dari badan legislatif, badan legislatif yang

membuat undang-undang dan menentukan norma-norma dalam bentuk perintah

dan larangan. Hukum yang dibuat oleh badan legislatif ini dapat mencerminkan

ada atau tidak adanya nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan

hukum pidana juga dilakukan oleh pengadilan. Yaitu penerapan hukum pidana

dalam bentuk hukum oleh aparat penegak hukum baik dari tingkat kepolisian

hingga tingkat pengadilan.

Penegakan hukum pidana terkait erat dengan sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam masyarakat untuk menangani

kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat dari menjadi korban kejahatan,

menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang terjadi sehingga masyarakat puas

karena keadilan telah ditegakkan dan para pelaku telah dihukum dan para

pelaku yang telah melakukan kejahatan tidak pernah mengulangi kejahatannya

51
Manan Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Yogyakarta: FH UII
Press, 2005, halaman 14.

45
lagi.52 Penegakan hukum pidana oleh lembaga peradilan adalah suatu sistem

yang berkaitan dengan sistem hukum yang diajukan oleh Friedman meliputi

subsistem substansi, struktur hukum dan subsistem budaya hukum.53

Penegakan hukum pidana tidak terlepas dari perilaku orang-orang dalam

organisasi/lembaga penegakan hukum. Penegakan hukum pidana tentunya tidak

dapat dilaksanakan secara total karena penegak hukum sangat dibatasi dalam

hukum acara pidana dan hukum pidana substantif, oleh karena itu penegakan

hukum pidana membutuhkan kinerja petugas penegak hukum yang progresif,

yaitu menegakkan hukum pidana untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan

dan kepentingan. orang-orang. Supremasi hukum tidak diterjemahkan sebagai

supremasi hukum, tetapi supremasi keadilan.

Menurut pendapat Ramington dan Ohlin dalam bukunya Romli

Atmasasmita menyatakan bahwa penegakan hukum atau sistem peradilan

pidana adalah sebagai berikut: Sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai

penggunaan pendekatan sistem pada mekanisme administrasi peradilan pidana,

dan peradilan pidana sebagai sistem adalah hasil interaksi antara hukum dan

peraturan, praktik administrasi dan sikap atau perilaku sosial. Memahami sistem

itu sendiri menyiratkan proses interaksi yang disiapkan secara rasional.54

Menurut M.Yahya Harahap sistem peradilan pidana yang digariskan oleh

Undang Undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP) merupakan “sistem terpadu”

52
Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997,
halaman 12-13.
53
M. Friedman, Lawrence, The Legal System, A Social Science Perspective, New York :
Russell Sage Faundation, 1975, halaman 14-15.
54
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2010, halaman 2.

46
berlandaskan“diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai

dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang- undang kepada

masing-masing”.55

c. Teori Sistem Hukum


Berdasarkan pada pendekatan sistematik sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, maka teori sistem hukum dapat dijadikan sebagai landasan dalam

menganalisa pokok permasalahan yang diajukan dalam disertasi ini adalah

teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. Sistem hukum menurut

Lawrence M. Friedman terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur hukum

(legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal

culture).56

Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut:

"The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number
and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and
how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also
means how the legislature is organized, how many memberis sit on the
Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what
procedures the t police department follows, and so on". (Struktur dari suatu
sistem hukum terdiri atas hal-hal sebagai berikut, diantaranya : jumlah dan
kapasitas peradilan, yurisdiksi, dan pola banding dari satu peradilan
keperadilan lainnya. Struktur pun menjelaskan pengaturan legislasi, jumlah
anggota yang duduk pada Kamar Dagang, batas wewenang dan keabsahan
tindakan suatu pimpinan, prosedur yang dijalankan Kepolisian dan
sebagainya).

Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance).

Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut:

55
Yahya M. Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika : Jakarta, 2004, halaman 90.
56
Friedman, Lawrence M., The Legal Sysytem A Social Science Perspective, Russel Sage
Foundation, New York. 1975.Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001,
halaman 125

47
"By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people
inside the system. This is, first of all, "the law" in the popular sense of the
term-the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can
be sent to prison, that 'by law' a pickle maker has to list his ingredients on the
label of the jar".57 (Hal tersebut diartikan sebagai peraturan yang nyata,
norma, dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Hal ini utamanya
hukum dalam pengertian umum, sebagai suatu bentuk batasan kecepatan 50
mil per/jam, bahwa penjahat dapat dijebloskan kepenjara, dan demi hukum
setiap pembuat acara harus menjelaskan bahan-bahan dalam setiap
toplesnya).

Dengan demikian, Friedman mengatakan, bahwa yang dimaksudkan

dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma

dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai

"hukum" itulah substansi hukum.

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman mengartikannya

sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang

keyakinan, nilai, gagasan, serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam

tulisannya Friedman merumuskannya sebagai berikut;

"By this we mean people's attitudes toward law and the legal system-their
beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the
general culture which concerns the legal system".58 (Dengan ini kami
mengartikan perilaku masyarakat terhadap hukum dan kepercayaan terhadap
sistem hukum, tata nilai, gagasan dan ekspektasi. Dengan kata lain, ini
merupakan bagian dari kebudayaan umum yang membahas perihal sistem
hukum).

Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem

hukum tersebut Friedman dengan menarik dan jelas sekali membuat sebuah

ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu "proses produksi"

dengan menempatkan mesin sebagai "struktur", kemudian produk yang

dihasilkan sebagai "substansi hukum", sedangkan bagaimana mesin ini

57
-----------------------------, American Law and Intoduction,2nd Edition, Terjemahan Wishnu
Basuki, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001. halaman 7.
58
Ibid , halaman 24.

48
digunakan merupakan representasi dari elemen "budaya hukum". Dalam

bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut:

"Another way to visualize the three dements of law is to imagine legal


"structure" as a kind of machine. "Substance" is what the machine
manufactures or does. The "legal structure" is whatever or whoever decides
to turn the machine on and off, and determines how it will be used".59 (Cara
lain untuk memvisualisasikan tiga elemen hukum adalah untuk
membayangkan suatu “struktur” selayaknya suatu mesin. “Substansi”
adalah hal yang diolah oleh suatu mesin. “Struktur hukum” adalah apapun
atau segala jenis bentuk yang memutuskan dimatikan atau dihidupkannya
mesin tersebut dan bagaimana cara penggunaannya).

d. Teori Kontrol Sosial

Teori kontrol sosial merupakan suatu teori tentang penyimpangan yang

disebabkan oleh kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini

dibangun atas pandangan yang mana pada dasarnya manusia memiliki

kecenderungan untuk tidak patuh pada hukum serta memiliki pula dorongan

untuk melawan hukum. Oleh sebab itu didalam teori ini menilai bahwa perilaku

menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan dari seseorang untuk

menaati hukum yang ada. Teori kontrol sosial membahas isu-isu tentang

bagaimana masyarakat memelihara atau menambahkan kontrol sosial dan cara

memperoleh konformitas atau kegagalan meraihnya dalam bentuk

penyimpangan.60

Travis HIrchi yang merupakan pelopor dari teori ini mengatakan bahwa

“Perilaku criminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok social

59
Ibid. halaman 36-37.
60
Frank E. Hagan,Pengantar Kriminologi Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Jakarta :
Kencana Prenadamedia Group, 2013

49
konvensional seperti; keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau

terikat dengan individu”61

Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan

merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini

dibangunnya berdasarkan pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk

tidak patuh terhadap hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan

pelanggaran hukum. Oleh karena itu, para ahli teori kontrol menilai perilaku

menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk

mentaati hukum. Dalam konteks ini, teori kontrol sosial sejajar dengan teori

konformitas. Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Travis

Hirschi. Ia mengajukan beberapa proposisi teoretisnya, yaitu:62

1. Segala bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari

kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak

teratur terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

2. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan

bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat

individu agar tetap teratur, seperti: keluarga, sekolah atau departemen

pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya.

3. Setiap individu seharusnya belajar untuk teratur dan tidak melakukan

tindakan penyimpangan atau kriminal.

4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.

61
Yesmil Anwar. KRIMONOLOGI. Bandung : PT. Refika Aditama, 2013. Halaman 78.
62
J. Narwoko Dwi, dan Suyanto, Bagong., Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta
: Kencana, 2013. Halaman 96-97.

50
Lebih lanjut Travis Hirschi memetakan empat unsur utama di dalam

kontrol sosial internal yang terkandung di dalam proposisinya, yaitu attachment

(kasih sayang), commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan atau

partisipasi), dan believe (kepercayaan atau keyakinan). Empat unsur utama itu

di dalam peta pemikiran Trischi dinamakan social bonds yang berfungsi untuk

mengendalikan perilaku individu. Keempat unsur utama itu dijelaskan sebagai

berikut:63

1. Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari

hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya (misalnya: keluarga),

sehingga individu memiliki komitmen yang kuat untuk patuh terhadap

aturan.

2. Commitment atau tanggung jawab yang kuat terhadap aturan dapat

memberikan kerangka kesadaran mengenai masa depan. Bentuk komitmen

ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila

ia melakukan tindakan menyimpang.

3. Involvement atau keterlibatan akan mendorong individu untuk berperilaku

partisipatif dan terlibat di dalam ketentuanketentuan yang telah ditetapkan

oleh masyarakat. Intensitas keterlibatan seseorang terhadap aktivitas-

aktivitas normatif konvensional dengan sendirinya akan mengurangi

peluang seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum.

4. Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan terhadap norma-norma

sosial atau aturan masyarakat akhirnya akan tertanam kuat di dalam diri

63
Ibid, Halaman 99

51
seseorang dan itu berarti aturan sosial telah self-enforcing dan eksistensinya

(bagi setiap individu) juga semakin kokoh.

e. Efektivitas Penegakan Hukum

1. Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa lnggris yaitu effective yang berarti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah

populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna

atau menunjang tujuan.

Efektivitas di definisikan oleh para pakar dengan berbeda-beda

tergantung pendekatan yang digunakan oleh masing-masing pakar. Berikut

ini beberapa pengertian efektivitas dan kriteria efektivitas organisasi

menurut para ahli sebagai berikut:

1) Drucker mendefinisikan efektivitas sebagai melakukan pekerjaan yang

benar (doing the rights things).

2) Chung & Megginson mendefinisikan efektivitas sebagai istilah yang

diungkapkan dengan cara berbeda oleh orang-orang yang berbeda pula.

Namun menurut Chung & Megginson yang disebut dengan efektivitas

ialah kemampuan atau tingkat pencapaian tujuan dan kemampuan

menyesuaikan diri dengan lingkungan agar organisasi tetap survive

(hidup).

3) Pendapat Arens and Lorlbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi

Jusuf, mendefinisikan efektivitas sebagai berikut: "Efektivitas mengacu

kepada pencapaian suatu tujuan, sedangkan efisiensi mengacu kepada

52
sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan itu". Sehubungan

dengan yang Arens dan Lorlbecke tersebut, maka efektivitas merupakan

pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya.

Menurut Supriyono pengertian efektivitas, sebagai berikut:

"Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung


jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar konstribusi
daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran
tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut".64

Gibson dkk memberikan pengertian efektivitas dengan

menggunakan pendekatan sistem yaitu (1) seluruh siklus input- proses-

output, tidak hanya output saja, dan (2) hubungan timbal balik antara

organisasi dan lingkungannya.


Menurut Cambel J.P, Pengukuran efektivitas secara umum dan

yang paling menonjol adalah:65

a) Keberhasilan program

b) Keberhasilan sasaran

c) Kepuasan terhadap program

d) Tingkat input dan output

e) Pencapaian tujuan menyeluruh

Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan

komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat

sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara

64
Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, Semarang: Universitas Diponegoro, 2000,
Halaman 29.
65
Cambel, Riset dalam Evektivitas Organisasi,Terjemahan Salut Simamora, Jakarta: Erlangga,
1989, Halaman 121.

53
meningkatnya, cara mengatur dan bahkan cara menentukan indicator

efektivitas, sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi bagaimana cara

mengevaluasi tentang efektivitas.

Dari beberapa uraian definisi efektivitas menurut para ahli tersebut,

dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan taraf sampai sejauh mana

peningkatan kesejahteraan manusia dengan adanya suatu program tertentu,

karena kesejahteraan manusia merupakan tujuan dari proses pembangunan.

Adapun untuk mengetahui tingkat kesejahteraan tersebut dapat pula di

lakukan dengan mengukur beberapa indikator spesial misalnya:

pendapatan, pendidikan, ataupun rasa aman dalam mengadakan

pergaulan.66

Beberapa pendapat dan teori efektivitas yang telah diuraikan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam mengukur efektivitas suatu

kegiatan atau aktifitas perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu:67

1) Pemahaman program

2) Tepat sasaran

3) Tepat waktu

4) Tercapainya tujuan

5) Perubahan nyata

Dari deskripsi di atas tentang efektivitas, dapat disimpulkan bahwa

efektivitas mengacu kepada pencapaian tujuan, yaitu pengukuran dalam

66
Soerjono, Soekanto, Evektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja, Karyawan,
Bandung:1989, halaman 185.
67
Sutrisno, Edi, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Kencana, 2007, halaman 125.

54
arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Dimana tujuan awal pemerintah mengeluarkannya kebijakan pembatasan

penggunaan kantong plaastik ini adalah untuk mengurangi volume sampah.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat sampai sejauh mana efektivitas

kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik (kantong plastik

berbayar). Efektivitas tersebut dibangun atas lima indikator, yaitu 1)

Pemahaman program, 2) Tepat sasaran, 3) Tepat waktu, 4) Tercapainya

tujuan, 5) Perubahan nyata.

2. Efektivitas Hukum

Peraturan perundang-undangan baik yang tingkatannya lebih rendah

maupun lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak

hukumdapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang

dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law), namun dalam

realitasnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering

dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektinya undang-

undang bisa disebabkan karena undang-undangnya kabur atau tidak jelas,

aparatnya yang tidak kosisten dan atau masyarakatnya tidak mendukung

pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Apabila undang-undang itu

dilaksanakan dengan baik maka undang-undang itu dikatakan efektif.

Dikatakan efektif karena bunyi undang-undangnya jelas, dan tidak perlu

55
penafsiran, aparatnya menegekan hukum secara konsisten dan masyarakat

terkena aturan tersebut.

Anthony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum, bahwa:68

"hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan
kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang dapat diwujudkan, jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksakan atau
menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan
menyelesaikannya"

Konsep Anthony Allot ini difokuskan pada perwujudannya. Hukum

yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat

diwujudkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kedua pandangan diatas

hanya menyajikan tentang konsep efektivitas namun tidak mengkaji konsep

teori efektivitas hukum. Dengan melakukan sintesis terhadap dua pandangan

tersebut maka dapat dikemukakan konsep tentang teori efektivitas hukum.

Teori Efektivitas hukum adalah:

"teori yang mengkaji dan menganalisisi tentang keberhasilan, kegagalan dan


faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum".

Ada tiga fokus dalam kajian teori ini, yang meliputi:

1) Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum.

2) Kegagalan didalam melaksakannya, dan

3) Faktor-faktor yang mempengaruhinya

68
Hs, salim dan Erlies Septiana nurbani, Penerapan teori Hukum pada
penelitian desertasi dan tesis, Jakarta: Raja grafindo persada, 2013. Halaman 59.

56
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:69

1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau

perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode

deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain

pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang

teratur. Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga

hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang

sama, yang mempunyai tujuan tertentu.

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui

apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal

mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya

berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan

tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan

disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu

69
Sarjono, Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, Halaman 8.

57
upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah

hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut

bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah

menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau

melakukan tindakan yang terpuji.

Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum

mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-

kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat

dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh

karena sikap merupakan suatu kesiapan mental sehingga seseorang

mempunyai kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau

buruk, yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.

Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-

masalah yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka

akan dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh

sama sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan

oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga

mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan konflik.

f. Kerangka Konseptual

a. Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial

"For the purpose of understanding the law of today I am content with a


picture of satisfying as much of the whole body of human wants as we may
as the least sacrifice. I am content to think of law as a social institution to
satisfy social wants-the claims and demands involved in the existence of
civilized society-by giving effect as much as we may with the last sacrifice,
so far as such wants may be satisfied or such claims given effect by an

58
ordering of human conduct through politically organized society. For
present purposes I am content to see in legal history the record of a
continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or
desires through social control; a more embracing an more effective securing
of social interest; a continually more complete and effective elemination of
waste and precluding of friction in human enjoyment of the goods of
existence-in short, a continually more efficacious social engineering."70 -
Roscoe Pound

Terjadinya perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat

yang baru, baru hukum yang datang mengesahkan perubahan tersebut, di sini

perubahan bersifat pasif, kemudian bentuk yang kedua ialah hukum adalah alat

untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik (hukum sebagai alat

rekayasa sosial), dalam hal ini perubahan merupakan suatu hasil rencana yang

diharapkan sedemikian rupa, adapun aspek yang mempengaruhi perubahan

hukum ialah adanya globalisasi, kemajuan llmu pengetahuan dan teknologi,

berkembangnya kebutuhan, dan juga aspek supremasi hukum.71

Dalam konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial sebagaimana yang

dikemukakan oleh Roscoe Pound, hukum harus menjadi penggerak ke arah

perubahan sosial masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.72 Fungsi hukum

pada masyarakat ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk

menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap

perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial.

Teori-teori pembaharuan hukum juga dikawal atau berhubungan

dengan teori utilitarisme, teori sociological jurisprudence, teori pragmatic

70
Pound Roscoe, An Introduction To The Philosophy Of Law, New Haven: Yale University Press.
71
Manan Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana, Jakarta, 2009. halaman 10-11.
72
Pound Roscoe, Pengantar Filsafat dan Hukum, Bhratara, Jakarta, 1972. halaman 42.

59
legal realism, teori hukum pembangunan, teori pengayoman, teori perubahan

sosial, dan teori sosiologi fungsional. Usaha untuk pembaharuan hukum,

konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial telah mengilhami pemikirin

Mochtar Kusutaatmadja sebagai “bapak Pembangunan Hukum di Indonesia”

untuk mengembangkan pembaharuan hukum di Indonesia.

Perubahan hukum yang dilaksanakan baik melalui kedua konsep

tersebut mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem

hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar

1945. Perubahan hukum itu juga mempunyai tantangan tersendiri dengan

adanya kemajemukan tata hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kaitan ini,

Ismail Saleh mengemukakan bahwa dalam rangka pembaharuan hukum

Nasional, ada tiga dimensi yang harus dilaksanakan, yakni dimensi

pemeliharaan, dimensi pembaruan, dan dimensi penciptaan.73 Konsepsi hukum

sebagai sarana pembaruan masyarakat mempunyai peranan sebagai

pembimbing kearah yang dicita-citakan, yaitu masyarakat adil dan makmur,

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Walaupun tidak semua ahli yang dikemukakan pendapatnya secara

langsung menyebut alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum,

namun dapat dimaklumi, jika fungsi ini juga tercakup dalam rumusan yang

dikemukakan para ahli dimaksud. Untuk lebih meyakinkan akan adanya fungsi

73
Supriayanto, Eddy, Konsep Hukum sebagai Sarana Pembaruan Masyarakat dalam
Kehidupan Berencana, dalam Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung : CV Remaja
Karya, 1989, halaman 216.

60
hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, perlu diketengahkan pendapat Rusli

Effendi, yang menegaskan bahwa

“Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis.


Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada
masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of
engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah
masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti”.

Penegasan Rusli Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum

sebagai alat rekayasa sosial sangat diperlukan dalam proses perubahan

masyarakat yang di manapun senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi

kemajuan yang menuntut perlunya perubahan-perubahan yang relatif cepat.

Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini pada prinsipnya merupakan

fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam

suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi

sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan

lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu

kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi

masyarakat, maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih

sesuai, atau dapat mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap

lebih baik dari sebelumnya. Sejalan dengan ini, Soleman B. Taneka mengutip

pendapat Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa:

“Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi, sosial engineering,


menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-
pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan
juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki,
menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi,
menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya”.

61
Teori hukum sebagai alat rekayasa sosial dikembangkan oleh oleh

Muhtar Kusuma Atmadja. Kata ”tool” diartikannya sebagai sarana. Langkah

yang diambil dalam sosial engineering bersifat sistematis dimulai dari

identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya yaitu:

1) Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk didalamnya

mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari

penggarapan tersebut.

2) Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam

hal rekayasa sosial itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-

sektor kehidupan majemuk, seperti: tradisional, modern dan perencanaan.

Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.

3) Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk

bisa dilaksanakan.

4) Mengikuti jalannnya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.

Langkah-langkah ini dapat dijadikan arah bagi menjalankan fungsi

hukum sebagai alat rekayasa sosial. Bagaimana upaya hukum dapat merombak

pemikiran, kultur maupun sikap ataupun cara hidup seseorang agar dapat

bertindak dan berbuat sesuai tuntutan kehidupan. Bagaimana hukum dapat

merubah orang yang selama ini “tertidur”, setelah ada hukum menjadi “terjaga”.

Mereka yang selama ini menebangi hutan secara liar setelah adanya hukum

mereka tidak lagi berbuat demikian. Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini

terlibat dalam fungsinya sebagai independen variabel dimana masyarakat

berfungsi sebagai dependent variabel. Masyarakatlah yang dipengaruhi hukum

agar terbentuk dalam suatu wujud terbangun masyarakat. Jika demikian halnya,

62
maka perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang dikehendaki.

Pencapaian kepada bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui

arah kebijaksanaan yang ditetapkan melalui peraturan hukum.

b. Teori Restorative Justice

Applied theory dalam penelitian ini menggunakan teori restorative

justice. Munculnya gagasan restorative justice pada dasarnya didasarkan pada

ketidakpuasan penggunaan cara pandang positivistik dalam penegakan hukum

karena seringkali dirasa gagal memenuhi keadilan. Sekalipun diakui bahwa

hukum yang berdimensi positivistik bermanfaat guna menjamin kepastian

hukum, tapi karena sifat dasarnya yang kaku, hukum yang demikian berpotensi

mengabaikan masyarakat tempat hukum itu hidup.

Atas dasar keprihatinan ini, Satjipto Rahardjo menggagas suatu ide

tentang hukum progresif. Asumsi dasar yang diajukannya adalah Hukum

progresif memiliki prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan

sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum itu tidak untuk dirinya

sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar, yaitu untuk

nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan umat

manusia.74

Keadilan Restoratif adalah upaya penyelesaian perkara pidana yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Menurut

74
I Gede Wiranata, Membedah Hukum Progresif , Jakarta : PT Kompas Media Nusantara,
2006, halaman 114.

63
Muladi, keadilan restoratif adalah teori yang menekankan pemulihan kerusakan

yang disebabkan atau ditimbulkan oleh tindakan kriminal. Memulihkan

kerugian ini akan dicapai melalui proses kerja sama yang mencakup semua

pihak yang berkepentingan.75 Definisi restorative justice menurut Muladi

tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan definisi yang dirumuskan

oleh Prison Fellowship International berikut ini:76

Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm


caused by criminal behaviour. It is best accomplished when the
partiesthemselves meet cooperatively to decide how to do this. This can lead
to transformation of people, relationships and communities.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi terselenggaranya restorative

justice antara lain adalah:77

1. Identifikasi korban

2. Kesukarelaan korban untuk berpartisipasi

3. Adanya pelaku yang berkeinginan untuk bertanggungjawab atas tindak

pidana yang dilakukannya

4. Tidak ada paksaan pada pelaku

Terkait dengan hal tersebut, Mackay merumuskan sejumlah prinsip

yang harus ditaati dalam penyelenggaraan program yang meliputi prinsip yang

melekat pada para pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat, sistem

peradilan, serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan restoratif. Inti dari

prinsip yang melekat pada pihak tersebut adalah:

75
Yunus Yutirsa, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Dalam Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 2, Agustus
2013, halaman234.
76
ibid
77
Simatupang Nursani dan Faisal. Hukum Perlindungan Anak, Medan: Pustaka Prima,
2018, halaman 166.

64
1. Voluntary participation and informed concent

Prinsip ini pada dasarnya mensyaratkan adanya unsur kerelaan dari semua

pihak untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari suatu sengketa yang

terjadi dalam masyarakat. Hal ini penting karena atas landasan prinsip inilah

yang menjadi pembeda dengan sistem peradilan pidana konvensional

dimana unsur paksaan merupakan pangkal dari upaya penegakan hukum.

Para pihak diminta untuk menjaga kerahasiaan apabila di dalam proses yang

terjadi terdapat hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan atau nama baik

dari pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah perkara.

2. Non discrimination, irrespective of the nature of the case

Prinsip non diskriminasi harus diterjemahkan bahwa prinsip equality before

the law merupakan prinsip yang menjadi fondasi baik dalam sistem

peradilan pidana konvensional, maupun dalam konsep keadilan restoratif.

Kekhawatiran akan terjadinya diskriminasi dalam prosesini mengemukakan

manakala perspektif paternalistik masyarakat mewarnai proses penanganan

tindak pidana dalam masyarakat utamanya masyarakat adat.

3. Accessibility to relevant helping agencies (including restorative practice

agencies)

Pendekatan keadilan restoratif sangat membuka peluang bagi penggunaan

berbagi upaya positif sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan, asas-asas

umum dalam hukum dan hak asasi manusia untuk mencari jalan terbaik

dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Apabila para pihak yang terlibat

dalam proses tersebut merasa dibutuhkan suatu lembaga lain untuk

membantu pencapaian suatu hasil penyelesaian perkara pidana, maka dalam

65
prinsip ini hendaknya akses lembaga terkait untuk berpatisipasi dibuka

seluas-luasnya.

4. Protection of vulnerable parties in process

Dalam proses penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan restoratif tentunya ada kemungkinan menemukan kendala.

Dibutuhkan upaya khusus untuk menempatkan setiap pihak yang terlibat

dalam penyelesaian perkara dalam posisi yang sama atau sejajar. Asas non

diskriminasi harus dijunjung tinggi, sehingga para pihak dapat

berpartisipasi secara langsung dalam proses yang berjalan. Bagi para pihak

yang terkait yang memerlukan bantuan atau pendampingan dapat diberikan

bantuan berupa alat khusus atau pendampingan khusus agar dapat

membantu mereka menjalankan hak dan kewajibannya serta peranannya

dalam proses yang berjalan.

5. Maintaining accesbility to conventional methods of dispute/case resolution

(including court)

Pilihan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

dapat menjadi bingkai bagi pekerjanya sistem peradilan pidana

konvensional. Pada dasarnya proses penyelesaian perkara pidana dengan

menggunakan pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu proses dalam

rangka mencari bentuk terbaik dari suatu penyelesaian atas sengketa yang

terjadi dalam masyarakat, apabila dilaksanakan secara mandiri oleh

masyarakat atau dengan melibatkan sistem peradilan pidana.

6. Privilege should apply to information disclosed before trial (subject to

public interest qualification)

66
Terdapat kendala administratif dalam suatu proses penyelesaian perkara

pidana dilakukan di luar pengadilan. Hal itu tentunya berkaitan dengan hal-

hal tehknis, dimana dibutuhkan izin dariperadilan untuk melaksanakan

suatu hal seperti membuka surat yang bersifat rahasia. Dalam penyelesaian

perkara pidana menggunakan pendekatan keadilan restoratif, sifat

kerahasiaan mungkin menjadi relatif, tergantung kepada para pihak yang

terkait dan berkepentingan.

7. Civil right and dignity of individual should be respected

Nilai hak asasi manusia adalah bagian penting dan harus dihormati dalam

suatu proses penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan keadilan

restoratif. Nilai tersebut adalah hak akan kebebasan pribadi dalam kaitannya

dengan kebebasan pribadi. Yaitu kebebasan untuk mengungkapkan

perasaan atau pendapat serta kebebasan untuk memperjuangkan

kepentingan pribadi menjadi prasyarat yang harus dipenuhi manakala

proses penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan restoratif yang dilakukan.

8. Personal safety to be protected

Di samping perlindungan atas kebebasan pribadi, perlindungan atas rasa

aman menjadi pra syarat dalam pendekatan keadilan restoratif.

Perlindungan keamanan dari berbagai pihak yang menjadi bagian dari

proses yang berjalan, menjadi bagian yang menentukan apakah proses itu

dapat berjalan dengan baik atau tidak. Segala persyaratan akan menjadi

percuma bila tidak adanya perlindungan keamanan dari para pihak.

67
Ada 5 (lima) prinsip dalam pelaksanaan restorative justice, yaitu:78

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus.

Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam

perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain

itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa

terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk

bersama memecah persoalan ini.

2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan

menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau

pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya.

3. Restorative justice memberikan rasa tanggungjawab yang utuh bagi pelaku

untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan

rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya serta menyadari

bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain.

4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga

masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak

pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban

dan pelaku serta mengintegrasikan kembali keduanya harus dibebaskan dari

masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah.

5. Restorative justice memberikan kekuatan pada masyarakat untuk mencegah

supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan

kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi

78
Ibid, halaman 171.

68
pembelajaran bagi masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen

lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu

sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya, dan bukan bersumber dari

diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan

untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan

fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam praktek keadilan restoratif di beberapa negara terdapat beberapa

hal penting yang harus menjadi perhatian, yaitu:79

1. Keterikatan pada sistem peradilan pidana yang ada menyebabkan

pembentuk kebijakan dan masyarakat sangat terikat dengan mekanisme

penyelesaian perkara melalui sistem yang ada. Kesulitan untuk keluar dari

arus yang sudah mapan dan terbentuk bertahun- tahun menyebabkan

keadilan restoratif mau tidak mau harus berintegrasi ke dalam sistem yang

ada. Oleh karenanya, kebanyakan program yang dibentuk adalah program

yang meletakannya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dan sifatnya

hanya merupakan alternatif pilihan dari berbagai tujuan pemidanaan yang

ada.

2. Penerjemahan kehadiran korban dan masyarakat dalam suatu penyelesaian

perkara pidana dimaknai secara luas. Dua faktor ini dapat hadir dalam

bentuk lain yang sifatnya penunjang dan bukan penentu dalam proses

pemulihan pelaku.

3. Bahwa kebanyakan program ini (keadilan restoratif) baru berjalanuntuk

tindak pidana yang dilakukan anak, atau tindak pidana ringan. Meskipun di

79
ibid, halaman 173.

69
beberapa negara tindak pidana yang berat diperkenankan, bentuk program

dibuat secara khusus dan keterlibatan korban dan masyarakat dibatasi.

4. Terkait dengan evaluasi penyelesaian perkara di luar sistem peradilan

pidana, khususnya oleh lembaga adat, tantangan memberdayakan lembaga

peradilan adat adalah meletakkannya dalam mekanisme sistem yang

berlaku.

Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek

utama keadilan restoratif sebagai berikut:80

1. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima

kekalahan, tundingan atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan.

2. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal

memikul tanggungjawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan

sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung,

antara korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi mengubah cara

berhubungan satu sama lain.

3. Reintegrasi, pada tingkat yang terluas, memberikan arena tempat anak dan

orang tuanya dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka

belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami

dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

Terkait sistem Restoratif Justice di Indonesia terbagi pada beberapa

Instansi terkait atau kelembagaan dibidang Hukum yang berlaku di Indonesia

yakni pada kelembagaan Peradilan , Kejaksaan dan kepolisian Repubik

Indonesia. Yang perlu di dalami yaitu sistem atau tata cara untuk melaksanakan

80
ibid, halaman 176.

70
sistem keadian Restoratif tersebut. Pada dasarnya di atur dalam perundang-

undangan atau sistem hukum masing-masing yang tentunya tidak boleh bertolak

belakang dengan legal standing Hukum yang berlaku di Indonesia.

Prinsip keadilan Restoratif dalam ruang lingkup Peradilan Pidana yang

berupa Hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku bertujuan untuk

semaksimal mungkin mengembalikan keadaan korban tindak pidana sebelum

terjadinya peristiwa pidana. Dalam sistem peradilan pidana sebaiknya

diterapkan prinsip keadilan restoratif. Selama ini pidana penjara dijadikan

sebagai sanksi utama pada pelaku kejahatan yang terbukti bersalah di

pengadilan. Padahal yang diperlukan masyarakat adalah keadaan yang

semaksimal mungkin seperti sebelum terjadinya tindak pidana.

Dalam peraturan Mahkamah Agung dan Surat daran Mahkamah Agung

yakni :

1. Perturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012

tentang penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah Denda

dalam KUHP.

2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2014

tentang pedoman pelaksanaan Diversi dalam sistem peradilan Pidana Anak.

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 2 tahun 2017

tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesa nomor 4 tahun 2014

tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaag dan pecandu

Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

71
5. Surat Edaran ketua mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3 tahun

2011 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika di dalam

lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

6. Surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Mentri Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia,

Mentri Sosial Republik Indonesia dan Mentri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia noor

166A/KMA/SKB/XII/2009, 148A/A/JA/12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-

08 HM.03.02 tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan

PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum.

7. Nota Kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

131/KMA/SKB/X/2012, nomor M.HH-07.HM.03.02 tahun 2012, Nomor

KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012

tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan

dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan

Retoratif ( Restorative Justice ).

8. Peratran bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesi, Mentri

Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, Mentri Kesehatan

Republik Indonesia, Mentri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonsia, Kepala

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia nomor

72
01/PB/PB/MA/III/2014, nomor 03 tahun 2014, nomor 11 tahun 2014,

nomor 03 tahun 204 nomor Per-005/A/JA/03/2014 nomor 1 tahun 2014,

nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika

dan korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

Dari beberapa penjelasan yang terkait dengan keadilan Restoratif di atas

yang di keluarkan oleh beberapa lembaga terkait dibidang hukum yang berlaku

di Indonesia ada pengecualian dalam penerapan tersebut terutama keterkaitan

dalam lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak semua

perkara-perkara Pidana yang bisa diselesaikan dalam sistem peradilan ini yakni

perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada

perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379,

384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal

ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda

Rp 2,5 juta rupiah. Dan ini telah diatur dalam Perpol No 8 tahun 2021 tentang

Penanganan Tindak Pidana berdasarkan keadilan Restoratif.

Konsep asli praktek keadilan restoratif berasal dari praktik

pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori (Penduduk asli

suku di Selandia Baru), bilamana timbul konflik, praktik restoratif akan

menangani pihak pelaku, korban dan para stakeholders81

Jeff Chistian, seorang pakar lembaga pemasyarakatan Internasional

dari Kanada mengemukakan bahwa sesungguhnya peradilan restoratif telah

dipraktekkan banyak masyarakat ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya

81
Supeno Hadi, Kriminalisasi Anak, tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: Gramedia, 2010, halaman 196.

73
hukum negara yang formalitas seperti sekarang yang kemudian disebut hukum

modern.82

Pada dasarnya restorative justice mengutamakan makna pertemuan

antar pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode sesudahnya, seperti

dikemukakan oleh Achmad Ali yang mengutip pendapat Howard Zher seorang

perintis keadilan restoratwe justte di Amerika Serikat, mengartikan restorative

justice adalah suatu proses yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan

dari sebuah pelanggaran khusus dan secara bersama-sama mengidentifikasi

kerugian serta memenuhi kewajiban dan kebutuhan serta menempatkan

pembahan sebagai hak yang harus diterima.83

Restorative Justice atau Keadilan Restoratif merupakan sebuah sistem

peyelesaian tindak pidana yang mengedepankan sistem perdamaian atau

penyelesaian dengan menguntungkan kedua belah pihak dan berakhir dengan

win-win solution. Dasar terbentuknya Konsep Restorative Justice berasal dari

pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar pengadilan tradisional yang

dilakukan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation yang

dimulai pada tahun 1970 an di Canada.

Konsep Keadilan Restoratif adalah suatu metode yang secara

filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik

yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang

ditimbulkan dari konflik tersebut. Sedangkan menurut laman resmi Mahkamah

Agung, prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum

82
Ibid, halaman 198.
83
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009, halaman 100.

74
dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan

sudah dilaksanakan oleh MA.

Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan

putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

Prinsip utama dalam keadilan restoratif adalah penegakan hukum yang selalu

mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan

mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam

menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman,

pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang

menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.

Menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal

Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang

bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang

masalah korban84.

Masih adanya beberapa kelemahan terkait penerapan keadilan

Restorative berupa kurangnya koordinasi dari beberapa Instansi terkait atau

lembaga-lembaga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan sistem

peradilan Restoratif tersebut. Diaharapkan melalui penelitian ini dapat

menjawab permasalahan yang ada.

Pada kerangka konseptual ini keadilan restoratif yang mengacu kepada

hukum sebagai sebagai alat rekayasa sosial terlibat dalam fungsinya sebagai

84
Yayasan Jurnal Perempuan, Paradigma Restorative Justice Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, Online, (https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-
restorative-justice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia), 2019.

75
independen variabel dimana masyarakat berfungsi sebagai dependent variabel.

Masyarakatlah yang dipengaruhi hukum agar ia terbentuk dalam suatu wujud

terbangun masyarakat. Jika demikaian halnya, maka perlu ada perencanaan

tentang bentuk masyarakat yang dikehendaki. Pencapaian kepada bentuk

masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui arah kebijaksanaan yang

ditetapkan melalui peraturan hukum. Pada konsep teori keadilan restoratif

sebagai instrumen utama hukum ini, peran "rekayasa" dari hukum itu sendiri

terletak di antara peran "memperbaiki keadaan" dan "mengubah masyarakat",

sehingga aspek rekayasa sosial dari hukum dapat dicapai sebagaimana

mestinya.

Seringkali peraturan-peraturan itu tidak dapat mewujudkan ketertiban

yang diinginkan oleh masyarakat, karena perkembangan masyarakat yang

lebih cepat daripada peraturan-peraturan tersebut sehingga peraturan-peraturan

itu tidak dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul. Yang

lebih ironis adalah, peraturan-peraturan yang telah disusun tersebut membuat

masyarakat yang diaturnya sengsara dan tidak bahagia.85

Berbicara mengenai konsepsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka

kita juga tidak akan terlepas dari kaitan eratnya dengan teori hukum progresif.

Hukum progresif dimulai dari suatu asumsi dasar, hukum adalah institusi yang

bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahterah dan

membuat manusia bahagia. Hukum tersebut tidak mencerminkan hukum

85
A. Qodri Azizy, Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, dalam Ahmad Gunawan BS dan
Mu'amar Ramadhan (ed) et. al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, halaman x.

76
sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan ditentukan oleh

kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.86

Menurut Ufran,87 Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang

paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini. Hal ini menarik

dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat keberadaan hukum

modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini. Hukum

hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab

perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani

kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari

sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.88

Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian

hukum hanyalah sebagai "alat" untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera

dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum

bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Hukum

progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi

yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa

institusi hukum adalah dalam keadaan menjadi.

Berangkat dari hal inilah, saya mengajukan "Keadilan Restoratif

Dalam Penegakan Hukum Pidana Ditinjau Dari Perspektif Hukum Sebagai

Alat Rekayasa Sosial" di mana dilakukan pendalaman terhadap tujuan

86
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), halaman 1.
87
Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, halaman v.
88
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru
mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif
, Jakarta: Kompas, 2006, halaman ix.

77
pemidanaan progresif berdasarkan konsep keadilan restoratif dengan double

track system yang mengakomodir relatif dan pemidanaan retributif. Double

track system adalah sistem dua jalur tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu

jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi

pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan

sanksi tindakan bersumber pada ide dasar "untuk apa diadakan pemidanaan

itu". Sehingga sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,

sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan

tersebut.

Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah

dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelakunya menjadi

jera, adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi

pertolongan pada pelaku agar berubah. Sehingga sanksi pidana lebih

menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan menekankan kepada

perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.

Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan adalah sanksi

pidana menerapkan unsur pencelaan, bukan kepada ada tidaknya unsur

penderitaan, sedangkan sanksi tindakan menerapkan unsur pendidikan yang

tidak membalas dan semata-mata melindungi masyarakat dari ancaman yang

dapat merugikan kepentingan masyarakat.

c. Kerangka Pemikiran

o UUD 1945 pasal 28D ayat 1


o Peraturan KAPOLRI No. 6 Tahun 2019
o Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020
o Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012
o Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif.
o Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA RI No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
78 Pemberlakuan Pedoman Penerapan
Keadilan Restoratif
o Terdapat perbedaan dan kelemahan yang ada pada aturan di tiap institusi yang
berkaitan dengan aturan-aturan penerapan pendekatan restoritve justice.
o Terdapat permasalahan berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang
berlandaskan retributive justice, yang mana dalam hal ini masih meninyisahkan
kekecewaan, ketidakadilan dan dendam. Sehingga diperlukan suatu terobosan baru
dalam paradigma penyelesaian hukum dalam hal ini pendekatan restorative justice
o Belum adanya pedoman yang ada di dalam KUHAP terkait peraturan dari
pendekatan restorative justice

Bagaimanakah Bagaimanakah penerapan


Bagaimanakah konsep
hakikat keadilan prinsip keadilan restoratif
keadilan restoratif
restoratif dalam dalam penegakan hukum di
yang ideal dalam
peraturan hukum Indonesia dari perspektif
peraturan hukum
pidana yang berlaku hukum sebagai alat rekayasa
pidana di Indonesia
di Indonesia sosial

o Grand Theory: Teori Tujuan


o Middle Range Theory: Teori Penegakan Hukum
o Apply Theory: Teori Restorative Justice

Terwujudnya pembaharuan penegakan hukum pidana dengan mengedepankan keadilan


restorative sebagai alat dalam rekayasa sosial untuk terciptanya keamanan dan ketertiban
masyarakat dengan berlandaskan kepastian hukum

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

79
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan, yaitu penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti pustaka atau data sekunder.1 Penelitian hukum normatif disebut juga

penelitian hukum dokrinal. Hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap

pantas.

B. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan

berkaitan dengan penelitian ini, penulis melakukan tiga pendekatan yaitu

pendekatan perundang-undangan (state approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach).

1. Pendekatan perundang-undangan (state approach)

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan ini dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum dalam penelitian.2 Beberapa peraturan perundang-undangan sebagai

dasar hukum penelitian ini antara lainnya adalah Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Kapala

1
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 35.

77
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan

Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2020

tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan

Keputusan Direktur jenderal Badan Peradilan umum Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang

Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Pendekatan ini sering juga menggunakan istilah pendekatan juridis-

normatif. Pendekatan ini pada dasarnya dilakukan dengan menelaah semua

peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan

(issu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan ini merupakan penelitian yang

mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan

sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan perundang-

undangan ini biasanya digunakan untuk meneliti peraturan perundang-

undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah

menyuburkan praktik-praktik penyimpangan, baik dalam tataran teknis atau

dalam pelaksanaanya di lapangan.

2. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach)

Merupakan jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan

sudut pandang analisis penyelesaian permasalahan-permasalahan dalam

penelitian hukum dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang

melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai yang terkandung

78
dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang

digunakan. Sebagian besar jenis pendekatan ini dipakai untuk memahami

konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu perundang-

undangan apakah telah sesuai denga ruh yang terkandung dalam konsep-konsep

hukum yang mendasarinya.

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu pengetahuan hukum, konsep-

konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dalam membangun suatu argumentasi

hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.3

Selanjutnya dipertegas oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa pendekatan

konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang

ada. Hal itu dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum

untuk masalah yang dihadapi. Mungkin saja peneliti ingin melakukan penelitian

mengenai konsep hukum yang berasal dari sistem hukum tertentu yang tidak

bersifat universal.4

Dalam pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk pada prinsip-prinsip

hukum seperti contoh yang dikemukakan Budiono Kusumohamijoyo, antara

lain :5

3
Ibid. Hal. 147 – 148.
4
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Op.Cit. halaman 178.
5
Budiono Kusumohamijo, 2016, teori hukum : Dilema antara Hukum dan Kekuasaan,
Bandung: Yrama Widya, Halaman 196 – 201.

79
a. Prinsip keberlakukan yang umum (general validity) adalah prinsip yang

menyatakan suatu norma hukum yang diakui benar dan berlaku umum

untuk semua subjek dalam sistem hukum yang bersangkutan. Prinsip ini

mencegah terjadinya praktik dalam diskriminasi hukum, baik terhadap

individu (subjek hukum), kelompok tertentu dalam masyarakat,

masyarakat, bangsa dan negara. Juga memberi penguatan pada pentingnya

moralitas hukum diperbaiki dan ditegakkan sebagai dasar penerapan

hukum.

b. Prinsip memaksa. Hukum yang memaksa sifatnya adalah prinsip, jika

tidak diwujudkan, membuat hukum itu bukan lagi hukum, melainkan apa

saja yang bukan hukum. Prinsip memaksa ini, memang dapat saja

diwujudkan, karena dia tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung dari

kekuatan untuk mengatasi perlawanan terhadap pemaksaan hukum.

c. Prinsip konsistensi. Prinsip ini penting agar masyarakat dapat

mengandalkan hukum sebagai mekanisme yang normatif, hukum itu harus

memiliki kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya bila

penyelenggarannya memperlihatkan suatu kinerja yang konsisten.

d. Prinsip efektivitas. Prinsip ini merupakan parameter bagi daya kinerja dari

suatu yang memperlihatkan hubungan antara tujuan yang memang tercapai

dibandingkan dengan tujuan yang semula dirumuskan dan alih-alih hendak

dicapai.

e. Prinsip kepastian hukum (legal centainly). Kepastian hukum merupakan

prinsip dalam ruang hukum nasional maupun internasional yang

80
menyatakan bahwa subjek hukum memiliki kejelasan mengenai apa yang

menjadi hak dan kewajibannya dalam berhubungan dengan subjek-subjek

hukum lainnya. Hal ini mengigatkan pikiran Gustav Radbruch bahwa

kepastian hukum bersama dengan keadilan sebagai pilar dari sebuah

negara hukum (rechsstaat).

3. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah

merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan, berkekuatan

hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah

pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan, sehingga dapat

digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.6

Pendekatan kasus (Case approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam

penelitian hukum normatif dimana peneliti mencoba membangun argumentasi

hukum dalam perspektif kasus konkret yang terjadi di lapangan.

Untuk itu, biasanya jenis pendekatan ini tujuannya adalah mencari nilai

kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa hukum yang terjadi

sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Pendekatan ini dilakukan dengan

melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang

dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus-kasus yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada tiap putusan

tersebut adalah peritmbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan,

6
Ibid. halaman 138.

81
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum

yang dihadapi.7

Untuk mencegah kekeliruan, diingatkan oleh Peter Mahmud Marzuki

bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Didalam

pendekatan kasus (case approach), beberapa kasus ditelaah untuk menjadi

referensi bagi suatu isu hukum. Sebaliknya, studi kasus (case study) merupakan

suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum.8

Pada intinya, pendekatan kasus dilakukan melalui proses menelaah kasus-

kasus terkait dengan permasalahan penelitian yang sedang dikaji, dan

sebaliknya putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat

berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi

kajian pokok didalam pendekatan kasus adalah rasio decidiendi atau reasoning,

yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan yang secara

praktis atau akademis merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam

pemecahan isu hukum.9

Pendekatan kasus merupakan pendekatan dalam penelitian hukum yang

digunakan dengan merujuk pada beberapa penyelesaian perkara pidana oleh

penegak hukum yang berdasarkan keadilan restoratif.

C. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder. Data sekunder

terdiri atas:

7
Ibid.
8
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Op. Cit. Hal. 134.
9
Irwasnyah, 2020, Op.Cit. hal. 139.

82
1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim. 10 Bahan hukum primer dalam penelitian

ini yaitu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, Peraturan Kapala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana

Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan

Restoratif, dan Keputusan Direktur jenderal Badan Peradilan umum Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang

Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini berupa buku literatur, jurnal, hasil penelitian,

serta hal-hal lain termasuk narasumber yang relevan.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberikan arti atau

makna kata dan/atau kalimat tertentu pada bahan hukum primer maupun

10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 35.

83
sekunder. Bahan hukum tersier ini diperoleh dan dikumpulkan melalui kamus-

kamus dan ensiklopedia.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu

dengan menggunakan dua cara;

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan terhadap bahan hukum primer maupun naham

hukum sekunder dan tersier, dengan cara mencari dan mengumpulkan berbagai

macam peraturan, literatus, kamus serta bahan hukum lainnya yang bekaitan

dengan prinsip keadilan restoratif.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung

kepada narasumber dengan menggunakan panduan daftar pertanyaan yang telah

dipersiapkan sebagai pedoman wawancara. Metode pengumpulan data melalui

wawancara ini hanya sebagai pengamatan untuk menguatkan kajian yang

berkaitan dengan penegakan hukum dengan prinsip keadilan restoratif pada

sistem peradilan pidana di wilayah Sulawesi Utara.

E. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan cara mengolah

secara sistematis bahan-bahan penelitian dengan membuat klasifikasi terhadap

bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penglasifikasian bahan hukum tersebut

dilakukan untuk mempermudah dalam proses analisis.

84
Argumentasi hukum yang dibangun didasarkan pada bahan hukum yang

bersifat sekunder, sebagaimana umumnya pada penelitian disertasi, analisis ini

dominan digunakan untuk memastikan bahwa konsep yang diuji dalam penelitian

dapat dibuktikan dengan lahirnya pandangan baru yang disusun berdasarkan

sejumlah pendekatan dan juga interpretasi.11

11
Irwasnyah, Op.Cit. 2020, halaman 172.

85
DAFTAR PUSTAKA

Afthonul Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.

Atmasasmita Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana

Prenada Media Grup, 2010.

A. Qodri Azizy, Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, dalam Ahmad Gunawan BS

dan Mu'amar Ramadhan (ed) et. al., Menggagas Hukum Progresif

Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman x.Satjipto Rahardjo,

Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2006.

Bernard. L. Tanya. Dkk, Genta Teori Hukum, Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang

dan Generasi, Yogyakarta : Publishing, 2010.

Budiono Kusumohamijo, 2016, teori hukum : Dilema antara Hukum dan

Kekuasaan, Bandung: Yrama Widya.

Cambel, Riset dalam Evektivitas Organisasi,Terjemahan Salut Simamora, Jakarta:

Erlangga, 1989.

Didik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma dan Realita, Jakarta: Raja Grafindo, 2008

Dimyati Khudzaifah. Dkk, Hukum & Moral, Basis Epistimologi Paradigma

Rasional H.L.A. Hart, Yogyakarta: Genta Publishing, 2017.

89
Donald Albert Rumokoy, Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:

Rajawali Pers, 2014

Friedman, Lawrence M., The Legal Sysytem A Social Science Perspective, Russel

Sage Foundation, New York. 1975.Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian

Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

__________________, American Law and Intoduction,2nd Edition, Terjemahan

Wishnu Basuki, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001.

Frank E. Hagan,Pengantar Kriminologi Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal,

Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2013.

H. Yacob Djasmani, Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial Dalam Berhukum di

Indonesia, Jurnal MMH, Jilid 40, No. 3, Juli 2011

H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah),

Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.

Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar

Maju, 2014.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel,

1973.

Hs, salim dan Erlies Septiana nurbani, Penerapan teori Hukum pada

penelitian desertasi dan tesis, Jakarta: Raja grafindo persada, 2013Huijbers

Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kansius, 1986.

I Gede Wiranata, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2006.

90
Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan

Hukum dalam Konteks Hukum Nasional, Yogyakarta: Kanwa Publisher,

2011.Kusuma Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi

Paradigmatik bagi Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: AntonyLib-

, 2009.Marian Liebman, Restorative Justice, How it Work, London and

Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher, 2007

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Jakarta: Pradnya Paramita,

2009.

M. Friedman Lawrence, The Legal System, A Social Science Perspective, New

York: Russell Sage Faundation, 1975.

Manan Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana, Jakarta, 2009.

Manan Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Yogyakarta: FH UII

Press, 2005.

Mentokusumo Sudikno, dan A. Pitlo, Bab Bab Tentang Penemuan Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Mudzakkir, Viktimologi (Studi Kasus di Indonedia). Makalah dalam Seminar

Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Ke XI, Surabaya, 2005.

Narwoko J. Dwi, dan Suyanto, Bagong., Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan.

Jakarta : Kencana, 2013.

Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media

Group, 2008.

91
Pound Roscoe, An Introduction To The Philosophy Of Law, New Haven: Yale

University Press.

Pound Roscoe, Pengantar Filsafat dan Hukum, Bhratara, Jakarta, 1972.

Prasetyo Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusamedia,

2011.Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis,

Yogyakarta : Genta Publishing, 2009

Purnadi Purbacaraka & M. Chidir Ali. Disiplin Hukum, Bandung: Alumni

Rasyidi Lilik dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2004.

Reksodipuro Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi

Universitas Indonesia, 1997.

Salman Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2013.

Sarjono, Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

______________, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,

Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

______________, Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru

mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Lihat, Satjipto Rahardjo,

Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2006.

92
Simatupang Nursariani dan Faisal. Hukum Perlindungan Anak, Medan: Pustaka

Prima, 2018.

Soekanto Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Jakarta PT. Raja Grafindo, 2011.

Soerjono, Soekanto, Evektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja, Karyawan,

Bandung:1989.

Sudarsono, ADR Konstruksi Penyelesaian Masalah dan Sengketa Melalui Proses

Restorative Justice Model Dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana, Jakarta:

Mulya Angkasa, 2009.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty

2008.

Supeno Hadi, Kriminalisasi Anak, tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak

Tanpa Pemidanaan, Jakarta: Gramedia. 2010.

Supriayanto, Eddy, Konsep Hukum sebagai Sarana Pembaruan Masyarakat dalam

Kehidupan Berencana, dalam Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,

Bandung : CV Remaja Karya, 1989.

Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, Semarang: Universitas Diponegoro,

2000.

Sutrisno, Edi, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Kencana, 2007.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kansius

W. Friedmann, Legal Theory Susunan I, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat

Hukum oleh Muhammad Arifin, Jakarta: CV. Rajawali, 1990.

93
Waluyo Bambang, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Sinar

Grafika. 2011.

Yahya M. Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2004.

Yesmil Anwar. KRIMONOLOGI. Bandung : PT. Refika Aditama, 2013.

Yunus Yutirsa, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Dalam Jurnal Rechtsvinding,

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013.

Sumber Lainnya:

Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik,

Bahan Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang

diselenggarakan oleh DPP Patai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta,

8 Januari 2009.

Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor 99/PUU-VII/2009 Tentang UU

Pemilihan Presiden & Wakil Presiden “Larangan Quick Count Pada Pilpres,

Online,

(https://www.mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara

%2099%20quick%20count%20pilpres.pdf). Diakses Pada Tanggal 11

Februari 2023, Pukul 22.00 Wita.

Yayasan Jurnal Perempuan, Paradigma Restorative Justice Dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Indonesia, Online,

(https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-restorative-

94
justice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia), 2019. Diakses Pada

Tanggal 10 Febaruari 2023, Pukul 09.00 Wita

95

Anda mungkin juga menyukai