THOMMY ARUAN
20203108011
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara yang besar, negara yang telah berdiri
kepulauan dengan beragam suku dan bahasa tantunya harus memiliki sebuah
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana diantarnya untuk
perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Untuk
memenuhi cita-cita dan harapan para pendiri bangsa itulah maka negara ini
membutuhkan sebuah instrument yang dapat kita sebut sebagai sebuah hukum
dipaksakan oleh badan yang berwenang.1 Ungkapan yang terkenal: ubi societas, ibi
ius atau dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Karenanya, sering dikatakan
1
Donald Albert Rumokoy, Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers, 2014, halaman 3.
1
bahwa jika tidak ada masyarakat maka hukum juga tidak diperlukan. Dengan
bertitik tolak dari adanya masyarakat, maka jawaban atas pertanyaan tentang alasan
keberadaan hukum juga terkait erat dengan apa yang menjadi tujuan hukum.2
demikian alasan keberadaan hukum yaitu adanya ketertiban dan ketentraman (onde
lain, yaitu norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama, tidak mencukupi dalam
kesusilaan dan agama, tetapi memerlukan perlindungan juga. Tidak ada norma
kesopanan kesusilaan dan agama yang menuntut bahwa orang harus berlalu di
2. Kepentingan-kepentingan yang telah diatur oleh ketiga norma yang lain itu,
Tujuan dari diadakannya sebuah hukum selain dari pada yang di atas,
hukum di dalam suatu negara juga dapat bertujuan untuk memenuhi dan menjamin
adanya suatu rasa kepastian hukum dengan berlandaskan pada rasa keadilan. Hal
masyarakat yang aman, tertib dan damai. Sehingga segala perilaku masyarakat
dapat di kontrol dengan adanya aturan atau hukum yang berlaku. Kita ketahui
2
Ibid, halaman 47.
3
Ibid, halaman 47-48.
2
bersama, bahwa suatu negara bila mana di dirikan tanpa adanya sebuah aturan atau
hukum yang mengatur tentang keberlangsungan hidup dan cara bergaul antar
mana hal tersebut bisa saja tidak dapat terhindar dan bahkan terselesaikan. Dengan
adanya sebuah hukum, maka berbagai permasalahan yang mungkin dapat terjadi
didalam kehidupan bersosial dapat teratasi atau terselesaikan. Hal ini juga sejalan
menuju pada sasaran yang hendak dicapai, bahkan jika diperlukan hukum dapat
diperlukan untuk merekayasa perilaku atau sikap serta tindak tanduk masyarakat
agar dapat mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang akan terus
membawa masyarakat Indonesia untuk ikut andil didalamnya. Hal ini juga
1945 yang lebih spesifik lagi pada Pasal 28D ayat (1) yang bebunyi “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
4
H. Yacob Djasmani, Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial Dalam Praktek Berhukum di
Indonesia, Jurnal MMH, Jilid 40 No. 3, Juli 2011
5
Ibid, hal 366
3
perlakuan yang sama dihadapan hukum” dan kemudian dari pada Undang-Undang
bernegara yang idealnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak dipandang dari
kalangan apapun dan tidak mementingkan salah satu ras, agama ataupun golongan
Negara ini dari berbagai penjabaran hukum yang ada, baik dikeluarkan
Indonesia.
pidana yang melibatkan satu pihak dengan pihak lainnya di masyarakat. Rasa
keadilan yang diharapkan dari penegakan hukum belum bisa dinikmati masyarakat
di negara ini. Apalagi seperti diketahui sistem peradilan pidana di Indonesia tidak
Proses peradilan pidana saat ini masih berorientasi kepada retributif justice
orang yang melanggar hukum pidana dan tidak kepada orang yang terlanggar
4
haknya, sebagai pihak yang menderita atau dirugikan secara langsung akibat
baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, dirasa lebih banyak
6
Mudzakkir, Viktimologi (Studi Kasus di Indonedia), Makalah dalam Seminar Nasional
Hukum Pidana dan Kriminologi Ke XI, Surabaya, 2005, halaman 20.
7
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hal : 25.
5
Pidna terutama menitikberatkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau
terdakwa.8
dengan proses hukum ligitatif (law enforcement process), pada umumnya akan
proses ligitatif tersebut hanya akan berujung pada pemidanaan pelaku atas
perbuatannya, sementara pemulihan aspek hak-hak korban serta kerugian fisik dan
psikis yang diderita korban akibat peristiwa tersebut belum dapat dipenuhi. Bentuk
pemidanaan yang digunakan saat ini juga dapat dikatakan tidak memberikan efek
jera bagi para pelanggar hukum . Farouk Muhammad dalam buku ADR Konstruksi
Sistem peradilan pidana yang selama ini ditopang dengan doktrin dan teori
efek jera (deterence effect) sudah tidak efektif lagi untuk digunakan dalam
proses penyelesaian masalah, keadaan tersebut mendorong penanganan
masalah melalui mekanisme informal (misdeamenor) dengan melibatkan
pihak ketiga sebagai fasilitator guna melakukan victim-offender
Reconsiliation dan atau Alternative Dispute Resolution lebih dirasakan
manfaat oleh berbagai pihak yang bersangkutan.
Pada akhir-akhir ini terlihat seolah-olah hanya pengadilan saja tempat yang
paling baik untuk menyelesaikan masalah (konflik) hukum dan mencari keadilan.
8
Ibid
9
Sudarsono Teguh, ADR Konstruksi Penyelesaian Masalah dan Sengketa Melalui Proses
Restorative Justice Model Dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana , Jakarta : Mulya Angkasa,
2009, halaman 39.
6
menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan
tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pengadilan
suatu peradilan pidana, pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim,
terdakwa, dan penasihat hukum serta sakisi-saksi. Pihak korban diwakili oleh
dijadikan saksi (korban).10 Namun hal tersebut belum memberikan dampak atau
menyelesaikan konflik yang ada dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena
ketidakpuasan dan frustasi terhadap penerapan hukum pidana yang ada selama ini,
serta penerapan sistem peradilan pidana (Criminal justice System) yang tidak
memberikan manfaat kepada masyarakat. Akibat dari system peradilan pidana yang
selama ini cenderung pada offender oriented maka viktomologi sebagai studi yang
yang dilaksanakan di luar system peradilan. Restoratif justice sendiri menurut Tony
F. Marshall “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in
a particular offence come toghether to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice
10
Waluyo Bambang, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: SinarGrafika,
2011, halaman 8.
7
adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran
sebuah kritik terhadap system peradilan pidana yang melihat kejahatan sebagai
pelanggaran terhadap aturan negara sehingga dalam hal ini negara dipandang
memiliki hak untuk menghukum para pelaku pelanggar tersebut. Sedangkan pada
sisi yang lain penderitaan korban dianggap selesai apabila negara telah membuat
pelaku menderita dengan hukumannya. Akan tetapi hal tersebut yang merupakan
konsep warisan kolonial tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menekan
dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus-kasus pidana.
Memang pendekatan ini dalam praktek masih mengalami perdebatan secara teori,
hukum (legal policy) dan praktik penegakan hukum di beberapa negara. Restorative
justice dianggap sebagai bentuk pemikiran baru yang dapat digunakan untuk
peradilan pidana pada saat ini. Oleh karena itu, untuk sebuah negara yang besar dan
11
Marian Liebman, Restorative Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers, 2007), hal : 26
12
Afthonul Afif, 2015, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, Pustaka Pelajar,
Yogakarta
8
bercita-cita menjadi sebuah negara yang maju dirasa perlu melakukan sebuah
pidana.
menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana
yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki
makna keadilan yang merestorasi, adapun restorasi disini memiliki makna yang
lebih luas dari apa yang dikenal dalam proses peradilan pidana konvensional
Hal ini berangkat dari pandangan bahwa dalam suatu peristiwa kejahatan,
penderitaan orang yang telah menjadi korban tidak saja berakibat pada orang itu
berdampak pada masyarakat dan negara dalam lingkup yang lebih luas. Dalam
praktik peradilan pidana, korban hanya diperlukan atau diposisikan sebagai saksi
(korban), tanpa berhak untuk ikut serta berperan aktif dalam sidang pengadilan.
rangka membantu mereka untuk menghukum atau menjatuhkan pidana bagi pelaku,
tanpa pernah berlanjut pada apa yang mereka berikan untuk kepentingan korban.
hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan
atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
9
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelakupun diberi
terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam
Sebagai sebuah contoh kasus pelanggaran tindak pidana yang terdapat kota
medan yang diambil dari penelitian yang di lakukan oleh Yohana Anastasia
dengan melakukan mediasi antara para pihak yang terkait baik pelaku, korban dan
penegak hukum dalam hal ini Polsek Medan. Dalam penyelesaian perkara tersebut
antara kedua belah pihak sehingga dalam hal ini tercipta rasa keadilan yang dapat
Hasil yang berbeda bisa saja terjadi bila mana kasus tersebut dilaksanakan
dengan cara pendekatan retributive (pembalasan) atau restitutive (ganti rugi), yang
Dari contoh kasus diatas, kita dapat meliihat bahwa pendekatan yang
13
Simanullang, Y, A, 2018, Penerapan Asas Restorative Justice Dalam Kasus Pencurian
Ringan (Pasal 364 KUHP) (Studi di Polsek Medan Sunggal), Universitas HKBP Nommensen,
Medan
10
kedua belah pihak baik dari korban dan tersangka mendapatkan keadilan dan rasa
kepuasan masing-masing, sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan tidak ada yang
merasa dirugikan baik dari pihak korban maupun tersangka dan dengan terjadinya
dalam hal ini dapat dikatakan seluruh masyarakat dengan tetap berlandaskan pada
rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, hal itu juga di perkuat
Dari permasalahan diatas dan di dukung oleh beberapa dasar hukum yang
merupakan sebuah mekanisme pendekatan yang sangat baik. Pendekatan ini juga
sampai sejauh ini, negara kita belum memiliki suatu aturan yang pasti yang termuat
di dalam KUHAP terkait dengan restorative justice itu sendiri sehingga hal tersebut
tersebut. Di lain sisi, restorative justice merupakan suatu hal yang baru dikalangan
14
Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor 99/PUU-VII/2009 Tentang UU
Pemilihan Presiden & Wakil Presiden “Larangan Quick Count Pada Pilpres, Online,
(https://www.mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara%2099%20quick%20co
unt%20pilpres.pdf)
11
masyarakat sehingga perlu adanya pemahaman dan sosialisasi terkait penyelesaian
Indonesia semakin berkembang dalam satu dekade terakhir, hal tersebut diawali
dijauhkan dari sanksi pidana, sehingga dalam tindak pidana yang pelakunya adalah
Hukum dan HAM Republik Indonesia telah mengadopsi prinsip restoratif justice
sebagai salah satu cara untuk menyelesaiakan suatu perkara pidana. Pada Tahun
Agung republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa
15
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No.11
Tahun 2012, ps. 1.
12
KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang
13
Namun meskipun sudah ada peraturan yang menjadi pedoman dari tiap-tiap
intitusi penegak hukum, hal tersebut menurut penulis dirasa belum cukup
dikarenakan dari aturan-aturan yang ada dari tiap institusi memiliki beberapa
perbedaan dan kelemahan, sehingga dianggap perlu adanya aturan hukum terpusat
untuk memperbaiki hal tersebut sekaligus menjadi pedoman dasar dari tiap-tiap
yang mana pada Pasal tersebut menekankan bahwa yang dapat dikenakan
pidana denda atau diancam dengan penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Hal ini bertolak belakangan dengan aturan yang terdapat di dalam Peraturan
demikian, sehingga dari aturan-aturan yang ada dapat menyebabkan persepsi yang
saling bertolak belakang antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya.
membantu dari tiap-tiap aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi terhadap
dengan aturan yang ada. Dimana bila kita beranjak dengan pendekatan penegakan
14
dari proses pelaporan perkara tersebut harus tetap dilanjutkan hingga pada tahap
beberapa kasus yang dianggap masih dapat diselesaikan diluar jalur pengadilan,
dibuatkan kebijakan khusus berdasarkan hati nurani dari penegak hukum dengan
tetap mendasari pada kepentingan umum, keadilan dan rasa kemanusiaan. Perkara
tersebut pun acap kali mendapatkan hasil yang positif walaupun diselesaikan diluar
pengadilan. Namun hal tersebut pun sering menjadikan aparat hukum dalam situasi
dilema, karena berdasarkan aturannya apa yang dilakukan oleh penegak hukum
tersebut telah bertentangan dengan aturan yang ada. Disisi yang lain, meskipun
perkara tersebut telah diselesaikan oleh kedua belah pihak baik korban dan pelaku,
status tersangka meskipun perkara tersebut tidak pernah dilanjutkan lagi baik dari
pihak korban maupun aparat yang berwenang. Dengan adanya Perpol No. 15 Tahun
Namun tetap saja masih menyisahkan kelemahan baik dari segi aturan yang
dikeluarkan dari tiap-tiap institusi tersebut. Dari hal diatas, dapat memperlihatkan
bahwa sampai sejauh ini belum terdapat kepastian hukum yang jelas berkaitan
dengan Restoratif Justice ini sendiri sehingga dipandang perlu untuk dibuat suatu
15
melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya,
hukum.17
Penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau
untuk merealisasikan tujuan hukum. Oleh karena itu, maka penegakan hukum tidak
bekerja dalam ruang hampa dan kedap pengaruh, melainkan selalu berinteraksi
16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2009, halaman7.
17
Ibid, halaman 12.
18
Ibid, halaman 24.
16
dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna
lebih mendalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan
spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh
konteks ini adalah melihat hukum secara lebih menyeluruh dan tajam jika
tidak hanya melihat hukum sebagai kumpulan peraturan saja, namun jauh
melampaui peraturan, yaitu memandang hukum pada tataran yang lebih luas
2. Berada dalam konteksfaktisitas hukum serta pilihan nilai yang coba dicapai
hukum sebagai bagian dari realitas sosial yang kompleks, hukum tidak steril
tajam dengan menggunakan ilmu bantu lain seperti sosiologi hukum, psikologi,
dan solusi yang ditawarkan pada akhirnya tidak bertumpu pada peraturan ad
19
Ibid, halaman xiii
20
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi
Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: antony Lib, 2009, halaman 185.
17
hoc, namun lebih luas dari itu dengan mempertimbangkan variabel-variabel lain
menjawab permasalahan yang ada serta dapat memberikan pandangan yang lebih
luas sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Keadilan
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
sosial.
18
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
E. Originalitas Penelitian
19
yang relevan denan penelitian yang akan di teliti saat ini. Hal tersebut dapat terlihat
Substansi Fokus
No Nama Peneliti Judul Peneitian
Penelitian Penelitian
dari perspektif
filsafat hukum
bersifat Normatif
dengan
menggunakan
statue approach
sebagai data
sekunder. Penelitian
ini menghasilan
temuan Pertama,
keadilan restorative
20
dalam hukum
pidana Islam
dikenal dengan
Islah. Perbuatan
memaafkan dan
perdamaian dari
korban atau
keluarganya
dipandang sebagai
baik. Korban
mendapatkan
perbaikan dari
sanksi yang
perananan korban
proses peradilan
pidana.
Kedua,hukum
menganjurkan
penyelesaian
21
perkara dengan cara
perdamaian. Ketiga,
nilai-nilai keadilan
restorative
memberikan
pelaku. Otoritas
untuk menentukan
terutama korban
Restoratif Justice
dalam hukum
berimplikasi pada
efektifitas
penegakan hukum
di Indonesia.
Kejahatan akan
berkurang, penjara
capacity serta
22
terciptanya
keamanan dan
ketentraman dalam
masyarakat.
islam sebagai
sumber materiil
merupakan corak
yang menekankan
aspek substansi,
bukan legal
formalnya.
Ketentuan qisas-
23
diyat dapat
dikontribusikan ke
dalam hukum
pidana nasional
untuk
menyempurnakan
RUU KUHP.
Rumusannya tidak
namun esensinya
sama, yaitu
memberikan hak
menentukan sanksi
pembunuhan dan
penganiayaan
sebagai bentuk
perhatian dan
perlindungan
ahli warisnya.
24
penelitian ini juga
merekomendasikan
islam dijadikan
sumber materiil
dalam
pembangunan
hukum pidana
nasional, ketentuan
qisas-diyat
ditransformasikan
ke dalam RUU
KUHP dan
pendekatan
restorative justice
berbasis qisas-diyat
dapat dirumuskan
dengan
penyelesaian diluar
proses melalui
lembaga pemafaan
yang masih
terintegrasi dalam
25
system peradilan
sebagai pintu/kamar
tersendiri.
26
BAB II
A. Kerangka Teori
dan dalam penerapannya memerlukan tinjauan yang spesifik dan sesuai dengan
pemanfaatan dari penerapan hukum tersebut baik secara logis maupun konrkrit
Grand theory dalam disertasi ini adalah teori tujuan hukum, yaitu : teori
tujuan hukum Barat dan teori tujuan hukum Timur13 yang akan jabarkan sebagai
berikut:14
Dalam Konsep teori ini mengacu kepada kepastian Hukum, Keadilan dan
Teori ini berbeda dengan teori bara, bangsa-bangsa timur masih memakai
budaya hukum asli yang ada di tanah mereka, yang mana teori tentang
13
Teori Timur ini dapat diterjemahkan sebagai hukum adat yang tumbuh, hidup, dipelihara
dan berlaku pada masyarakat lokal atau apa yang disebut dengan hukum adat.
14
Achmad Ali, op cit. halaman 212.
15
Acmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori peradilan
(judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-undang (legisprudence). Kencana Perdana Media
Group. Cetakan ke-1. Agustus, Jakarta. Hal.212
27
Sebagaimana menurut Notohamidjojo bahwa: “Hukum yang pertama
bertujuan mewujudkan keadilan; dimana itu tidak mungkin, hukum mengejar: daya
hukum sebagai salah satu faset yang terpenting dari pada daya guna.17
yang tidak berat, seperti pencurian, dapat dilakukan perdamaian antara pelaku
kantor polisi, dimana disana sudah tersedia formulir khusus untuk perdamaian.
Syaratnya jika perdamaian itu antara pencuri dan korbannya, adalah bahwa pencuri
ketentuan formal dari hukum acara pidana di Jepang, identik dengan hukum acara
pidana Barat dan Indonesia, yaitu menganut asas “tidak ada perdamaian dalam
dapat ditempuh dengan cara lain melalui pribadi dan atau keluarga yang
bersangkutan, atau ditangani kepala kerabat, kepala adat, kepala desa, ketua
16
Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, halaman
33.
17
ibid, halaman 35.
28
perkumpulan organisasi (instansi) dan alat negara”. Cara penyelesaian yang
Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat, ditempat pekerjaan,
satu pihak antara keluarga bersangkutan, atau ditempat pekerjaan oleh para
pihak bersangkutan dan teman – teman sekerja, atau antara tetangga dalam
tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain
kepala kerabat atau kepala adat dari kedua pihak, maka yang mengadakan
Apabila penyelesaian delik adat dilakukan oleh kepala kerabat atau kepala
adat kekerabatan yang tidak termasuk kewenangan kepala desa, atau juga
18
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
2014, halaman 17.
29
bersifat ketetanggaan, atau yang penduduknya campuran, dilaksanakan
kepala desa.
4) Penyelesaian Keorganisasian
organisasi bersangkutan”.
nomenklatur Hukum yaitu mengadopsi Hukum Formal barat yang mana konsep
tujuan hukumnya yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sistem Eropa
Continental menjadi hal yang dominan dalam pemakain sistem hukum di Indonesia,
yang substansialnya dari segi hukum memiliki corak pemikiran yang sangat
Legalistic.
Salah satu tokoh yang bernama Achmad Ali mengemukakan pada bukunya
bahwa Negara Indonesia sebagai bangsa Timur yang mengalami penjajahan dari
bangsa barat selama ratusan tahun lamanya, dan kemungkinan ini yang membuat
sebagai contoh dalam sistem hukum Belanda yang tersirat dan bahkan dijadikan
30
sebuah buku yang bernama KUHP dan KUHAP yang mana kedua buku tersebut
bukan sebuah pilihan akan tetapi sengaja menjadi peninggalan dari bangsa barat
yang pernah menjajah atau menginjakan kaki di negeri Indoensia ini. Adapun
hingga saat ini dan bisa saja termaktub di dalam sistem hukum dari landasan teori
Menurut teori ini tujuan hukum tidak lain untuk mewujudkan keadilan
(justice). Teori ini dikenalkan oleh Aristoteles seorang filosof Yunani dalam
Van Apeldoorn yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “ Inleiding tot
de studie van het Nederlandse recht ” bahwa tujuan hukum ialah mengatur
19
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2008, halaman 77.
20
Purnadi Purbacaraka & M. Chidir Ali. Disiplin Hukum, Bandung: Alumni, 1981,
halaman 12.
31
a) Keadilan Distributif (Justitia Distributia)
mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya (suum cuique tribuere),
Keadilan ini adalah keadilan yang didapatkan oleh setiap orang sama
sosial.
21
Achmad Ali, op. cit halaman 278
32
Definisi “adil” oleh Rawls secara sederhana dijelaskan dalam suatu
oleh otoritas yang berdaulat secara penuh. Keadilan bagi Rawls adalah
keadilan yang bijak pada setiap individu. Keadilan yang setara berarti
yang terbaik dari sebuah kompetisi. Dari kedua pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut teori etis ini tidak lain untuk
1.3 Teori Utilistis adalah tujuan hukum tidak lain hanya untuk merealisasikan
hukum yang diilhami oleh karya David Hume (1711-1776) yang merupakan
seorang pemikir yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana
22
Bernard.L. Tanya. Dkk, Genta Teori Hukum, Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta : Publishing, 2010, halaman 89.
33
Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest Happines
akan dinilai sebagai undang-undang yang baik, oleh karena itu diharapkan
aliran utiliti ini berupa numerik jadi selama sudah ada sebagian besar
tidak masalah jika ada sebagiab kecil yang dikorbankan haknya, padahal
hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya dalam bentuk sebuah
eksistensinya sebagai individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada
23
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung:
PT. Refika Aditama, 2010, halaman 44.
24
Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bhakti, 2004, halaman 64.
34
melindungi sampai pada pihak yang paling lemah sekalipun demikian
1.4 Teori Legalistik-Positivistik yakni tujuan hukum menurut teori ini adalah
pertama kali dipergunakan oleh Saint Simon (1760 – 1825) yang lahir dari
hukum adalah pengajaran ilmiah tentang hukum.26 Hukum itu harus dapat
dikenal adanya dua aliran, yaitu Aliran hukum positif analitis yang dikenal
hukum positif murni yang dikenal dengan teori hukum murni (pure theory
25
Khudzaifah Dimyati. Dkk, Hukum & Moral, Basis Epistimologi Paradigma Rasional
H.L.A. Hart, Yogyakarta : Genta Publishing, 2017, halaman 1.
26
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kansius, 1986,
halaman 128-129.
27
Khudzaifah Dimyati. Dkk, op. cit, halaman 3.
35
1.5 Aliran hukum positif analitis
tetap dan tertutup (closed logic system). Ini berarti bahwa aturan dikurangi
politik dan moral.28 Hukum benar benar terpisah dari keadilan dan
1) hukum yang dibuat oleh Allah untuk manusia (hukum Allah) yang tidak
kepercayaan,
2) hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (human law), terdiri
atas; Pertama, hukum aktual yang dipegang oleh kekuatan politik yang
ditegakkan oleh orang, secara pribadi. Hukum ini yang sebenarnya tidak
disebut oleh Austin sebagai "moralitas positif" saja. Hukum positif atau
28
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2013, halaman 80-81.
29
W. Friedmann, Legal Theory Susunan I, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat
Hukum oleh Muhammad Arifin, Jakarta: CV. Rajawali, 1990, halaman 149.
30
W. Friedmann, ibid, halaman 150.
36
keempat unsur, maka tidak dapat diartikan sebagai hukum positif, hanya
Penerapan teori ini yang termaktub dalam General theory of law and state,
kehendak seseorang dalam bentuk imperatif bahwa orang lain harus bertindak
dengan cara tertentu, seorang individu yang objeknya adalah tindakan dari
individu lain. Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa seorang individu dapat
memiliki, atau yakin memiliki, kekuatan tertentu atas individu lain, ketika dia,
atau berpikir dia berada dalam posisi yang membutuhkan kepatuhan. Sebuah
perintah baru dapat disebut norma jika itu mengikat individu kepada siapa itu
diarahkan, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diminta perintah.
tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan
31
Hans Kelsen, General Theory of Law and State. New York : Russel and Russel, 1973,
halaman 31.
37
kehendaknya. Suatu perintah mengikat, bukan disebabkan individu yang
memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang lebih tinggi, tetapi perintah itu
mengikat oleh karena individu tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan
berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat,
oleh Kelsen:32
dan menjawab pertanyaan, apa hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang
yang nyata dan mungkin, bukan hukum yang benar, oleh karena itu, menurut
Kelsen, diskusi tentang keadilan harus dikecualikan dari ilmu hukum, karena
Teguh Prasetyo bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum adalah
32
Hans Kelsen, ibid, halaman 31-32.
33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, halaman 272.
34
ibid, halaman 34.
38
keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan itu sudah pasti ada pula kepastian
dan selalu saja diperoleh manfaat”,35 Geny adalah salah satu ahli yang juga
tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga
dari pengertian keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.37 Tujuan
rasionalisasi yang tepat bahwa kalau keadilan yang dikejar maka kepastian dan
kepastian adalah bagian dari keadilan itu sendiri. Jadi pada hakikatnya kepastian
hukum akan tetapi sebagai sarana untuk mencapai keadilan itu sendiri. Maka
sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus.” yang artinya: Akan tetapi
35
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2010, halaman 133.
36
Sudikno Mertokusumo, op.cit., halaman 77.
37
L.J. van Apeldoorn, op. cit, halaman 16.
39
hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena
sebaliknya. Diantara ketiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi
benturan, maka harus ada yang dikorbankan. Maka dari itu, asas prioritas yang
a) Keadilan Hukum;
b) Kemanfaatan Hukum;
c) Kepastian Hukum.
konflik internal yang kerap akan terjadi dengan kemungkinan persentase yang
cukup tinggi.
dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dngan kasus yang dihadapi
dan ingin dipecahkan.Tokoh aliran ini antara lain adalah Gustav Radbruch.
Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dari Jerman yang mengajarkan
konsep tiga ide dasar hukum. Gustav Radbruch mengajarkan bahwa ada tiga ide
dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum,
38
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), op. cit, halaman 89.
39
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum. Raja Grafindo, Jakarta. 2012, Hal. 123
40
juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit),
b) Kemanfaatan Hukum yakni Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik,
Sehingga tak ada satupun ada para ahli menyatakan bahwa teori
Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.
terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan
40
Achmad Ali, op cit, halaman 3.
41
Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan
Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Patai
HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.
41
berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum.
tuntunan utama terhadap hukum ialah, supaya hukum menjadi positif, dalam
artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum
yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan sifatnya tetap
sering kali bunyi bahkan sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-
ada ungkapan: lex duras sed tamen scripta, yang artinya undang-undang
adalah keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya. Hukum
harus memiliki kepastian, untuk itu maka hukum harus berupa peraturan
teks tersebut tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud kaidah
42
Lili Rasjidi dan I. B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993. Hal. 79-80.
43
Sudikno Mentokusumo, dan A. Pitlo, Bab Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 53.
44
Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum
dalam Konteks Hukum Nasional, Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011, halaman 2.
42
tepat”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidak pastian, jadi makin
tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti
summum ius, summa iniura,45 atau lebih sering kita dengar dengan
pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Di dalam
45
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Jakarta: Pradnya Paramita, 2009,
halaman 13.
46
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008, halaman 139.
47
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta PT.
Raja Grafindo 2011, halaman 5.
48
Ibid, halaman 6.
43
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu
penegakan hukum secara abstrak oleh legislatif. Tahap ini juga bisa disebut
tahap legislatif. Tahap kedua aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana
oleh petugas penegak hukum dari polisi ke pengadilan. Tahap kedua ini juga
bisa disebut tahap kebijakan peradilan. tahap ketiga eksekusi adalah tahap
penerapan hukum pidana secara konkrit oleh aparat pelaksana hukum pidana.
bahwa:
dilakukan oleh badan administrasi negara seperti imigrasi dan bea cukai.
49
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, halaman
24.
50
Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusamedia, 2011,
halaman 111.
44
2. Penegakan hukum bukan hanya tentang "orang" (polisi, jaksa, hakim).
yaitu:
penegakan hukum pidana dimulai dari badan legislatif, badan legislatif yang
dan larangan. Hukum yang dibuat oleh badan legislatif ini dapat mencerminkan
ada atau tidak adanya nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan
hukum pidana juga dilakukan oleh pengadilan. Yaitu penerapan hukum pidana
dalam bentuk hukum oleh aparat penegak hukum baik dari tingkat kepolisian
karena keadilan telah ditegakkan dan para pelaku telah dihukum dan para
51
Manan Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Yogyakarta: FH UII
Press, 2005, halaman 14.
45
lagi.52 Penegakan hukum pidana oleh lembaga peradilan adalah suatu sistem
yang berkaitan dengan sistem hukum yang diajukan oleh Friedman meliputi
dapat dilaksanakan secara total karena penegak hukum sangat dibatasi dalam
hukum acara pidana dan hukum pidana substantif, oleh karena itu penegakan
pidana adalah sebagai berikut: Sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai
dan peradilan pidana sebagai sistem adalah hasil interaksi antara hukum dan
peraturan, praktik administrasi dan sikap atau perilaku sosial. Memahami sistem
52
Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997,
halaman 12-13.
53
M. Friedman, Lawrence, The Legal System, A Social Science Perspective, New York :
Russell Sage Faundation, 1975, halaman 14-15.
54
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2010, halaman 2.
46
berlandaskan“diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai
masing-masing”.55
sebelumnya, maka teori sistem hukum dapat dijadikan sebagai landasan dalam
Lawrence M. Friedman terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur hukum
(legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal
culture).56
"The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number
and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and
how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also
means how the legislature is organized, how many memberis sit on the
Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what
procedures the t police department follows, and so on". (Struktur dari suatu
sistem hukum terdiri atas hal-hal sebagai berikut, diantaranya : jumlah dan
kapasitas peradilan, yurisdiksi, dan pola banding dari satu peradilan
keperadilan lainnya. Struktur pun menjelaskan pengaturan legislasi, jumlah
anggota yang duduk pada Kamar Dagang, batas wewenang dan keabsahan
tindakan suatu pimpinan, prosedur yang dijalankan Kepolisian dan
sebagainya).
55
Yahya M. Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika : Jakarta, 2004, halaman 90.
56
Friedman, Lawrence M., The Legal Sysytem A Social Science Perspective, Russel Sage
Foundation, New York. 1975.Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001,
halaman 125
47
"By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people
inside the system. This is, first of all, "the law" in the popular sense of the
term-the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can
be sent to prison, that 'by law' a pickle maker has to list his ingredients on the
label of the jar".57 (Hal tersebut diartikan sebagai peraturan yang nyata,
norma, dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Hal ini utamanya
hukum dalam pengertian umum, sebagai suatu bentuk batasan kecepatan 50
mil per/jam, bahwa penjahat dapat dijebloskan kepenjara, dan demi hukum
setiap pembuat acara harus menjelaskan bahan-bahan dalam setiap
toplesnya).
dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai
sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang
"By this we mean people's attitudes toward law and the legal system-their
beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the
general culture which concerns the legal system".58 (Dengan ini kami
mengartikan perilaku masyarakat terhadap hukum dan kepercayaan terhadap
sistem hukum, tata nilai, gagasan dan ekspektasi. Dengan kata lain, ini
merupakan bagian dari kebudayaan umum yang membahas perihal sistem
hukum).
hukum tersebut Friedman dengan menarik dan jelas sekali membuat sebuah
57
-----------------------------, American Law and Intoduction,2nd Edition, Terjemahan Wishnu
Basuki, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001. halaman 7.
58
Ibid , halaman 24.
48
digunakan merupakan representasi dari elemen "budaya hukum". Dalam
kecenderungan untuk tidak patuh pada hukum serta memiliki pula dorongan
untuk melawan hukum. Oleh sebab itu didalam teori ini menilai bahwa perilaku
menaati hukum yang ada. Teori kontrol sosial membahas isu-isu tentang
penyimpangan.60
Travis HIrchi yang merupakan pelopor dari teori ini mengatakan bahwa
59
Ibid. halaman 36-37.
60
Frank E. Hagan,Pengantar Kriminologi Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal, Jakarta :
Kencana Prenadamedia Group, 2013
49
konvensional seperti; keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau
merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini
pelanggaran hukum. Oleh karena itu, para ahli teori kontrol menilai perilaku
mentaati hukum. Dalam konteks ini, teori kontrol sosial sejajar dengan teori
konformitas. Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Travis
61
Yesmil Anwar. KRIMONOLOGI. Bandung : PT. Refika Aditama, 2013. Halaman 78.
62
J. Narwoko Dwi, dan Suyanto, Bagong., Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta
: Kencana, 2013. Halaman 96-97.
50
Lebih lanjut Travis Hirschi memetakan empat unsur utama di dalam
partisipasi), dan believe (kepercayaan atau keyakinan). Empat unsur utama itu
di dalam peta pemikiran Trischi dinamakan social bonds yang berfungsi untuk
berikut:63
1. Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari
aturan.
ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila
sosial atau aturan masyarakat akhirnya akan tertanam kuat di dalam diri
63
Ibid, Halaman 99
51
seseorang dan itu berarti aturan sosial telah self-enforcing dan eksistensinya
1. Pengertian Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa lnggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah
(hidup).
52
sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan itu". Sehubungan
ditentukan sebelumnya.
output, tidak hanya output saja, dan (2) hubungan timbal balik antara
a) Keberhasilan program
b) Keberhasilan sasaran
64
Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, Semarang: Universitas Diponegoro, 2000,
Halaman 29.
65
Cambel, Riset dalam Evektivitas Organisasi,Terjemahan Salut Simamora, Jakarta: Erlangga,
1989, Halaman 121.
53
meningkatnya, cara mengatur dan bahkan cara menentukan indicator
efektivitas, sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi bagaimana cara
pergaulan.66
1) Pemahaman program
2) Tepat sasaran
3) Tepat waktu
4) Tercapainya tujuan
5) Perubahan nyata
66
Soerjono, Soekanto, Evektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja, Karyawan,
Bandung:1989, halaman 185.
67
Sutrisno, Edi, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Kencana, 2007, halaman 125.
54
arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat sampai sejauh mana efektivitas
2. Efektivitas Hukum
dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law), namun dalam
dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektinya undang-
55
penafsiran, aparatnya menegekan hukum secara konsisten dan masyarakat
"hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan
kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang dapat diwujudkan, jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksakan atau
menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan
menyelesaikannya"
yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat
68
Hs, salim dan Erlies Septiana nurbani, Penerapan teori Hukum pada
penelitian desertasi dan tesis, Jakarta: Raja grafindo persada, 2013. Halaman 59.
56
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:69
menerapkan hukum.
diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang
hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang
apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal
berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan
disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu
69
Sarjono, Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, Halaman 8.
57
upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah
bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah
kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat
masalah yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka
sama sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan
oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga
f. Kerangka Konseptual
58
ordering of human conduct through politically organized society. For
present purposes I am content to see in legal history the record of a
continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or
desires through social control; a more embracing an more effective securing
of social interest; a continually more complete and effective elemination of
waste and precluding of friction in human enjoyment of the goods of
existence-in short, a continually more efficacious social engineering."70 -
Roscoe Pound
yang baru, baru hukum yang datang mengesahkan perubahan tersebut, di sini
perubahan bersifat pasif, kemudian bentuk yang kedua ialah hukum adalah alat
untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik (hukum sebagai alat
rekayasa sosial), dalam hal ini perubahan merupakan suatu hasil rencana yang
perubahan sosial masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.72 Fungsi hukum
70
Pound Roscoe, An Introduction To The Philosophy Of Law, New Haven: Yale University Press.
71
Manan Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana, Jakarta, 2009. halaman 10-11.
72
Pound Roscoe, Pengantar Filsafat dan Hukum, Bhratara, Jakarta, 1972. halaman 42.
59
legal realism, teori hukum pembangunan, teori pengayoman, teori perubahan
adanya kemajemukan tata hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kaitan ini,
langsung menyebut alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum,
namun dapat dimaklumi, jika fungsi ini juga tercakup dalam rumusan yang
dikemukakan para ahli dimaksud. Untuk lebih meyakinkan akan adanya fungsi
73
Supriayanto, Eddy, Konsep Hukum sebagai Sarana Pembaruan Masyarakat dalam
Kehidupan Berencana, dalam Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung : CV Remaja
Karya, 1989, halaman 216.
60
hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, perlu diketengahkan pendapat Rusli
Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini pada prinsipnya merupakan
fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam
sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan
lebih baik dari sebelumnya. Sejalan dengan ini, Soleman B. Taneka mengutip
61
Teori hukum sebagai alat rekayasa sosial dikembangkan oleh oleh
penggarapan tersebut.
2) Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam
hal rekayasa sosial itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-
Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
bisa dilaksanakan.
hukum sebagai alat rekayasa sosial. Bagaimana upaya hukum dapat merombak
pemikiran, kultur maupun sikap ataupun cara hidup seseorang agar dapat
merubah orang yang selama ini “tertidur”, setelah ada hukum menjadi “terjaga”.
Mereka yang selama ini menebangi hutan secara liar setelah adanya hukum
mereka tidak lagi berbuat demikian. Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini
agar terbentuk dalam suatu wujud terbangun masyarakat. Jika demikian halnya,
62
maka perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang dikehendaki.
hukum, tapi karena sifat dasarnya yang kaku, hukum yang demikian berpotensi
progresif memiliki prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum itu tidak untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar, yaitu untuk
manusia.74
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
74
I Gede Wiranata, Membedah Hukum Progresif , Jakarta : PT Kompas Media Nusantara,
2006, halaman 114.
63
Muladi, keadilan restoratif adalah teori yang menekankan pemulihan kerusakan
kerugian ini akan dicapai melalui proses kerja sama yang mencakup semua
1. Identifikasi korban
yang harus ditaati dalam penyelenggaraan program yang meliputi prinsip yang
melekat pada para pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat, sistem
peradilan, serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan restoratif. Inti dari
75
Yunus Yutirsa, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Dalam Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 2, Agustus
2013, halaman234.
76
ibid
77
Simatupang Nursani dan Faisal. Hukum Perlindungan Anak, Medan: Pustaka Prima,
2018, halaman 166.
64
1. Voluntary participation and informed concent
Prinsip ini pada dasarnya mensyaratkan adanya unsur kerelaan dari semua
pihak untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari suatu sengketa yang
terjadi dalam masyarakat. Hal ini penting karena atas landasan prinsip inilah
Para pihak diminta untuk menjaga kerahasiaan apabila di dalam proses yang
terjadi terdapat hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan atau nama baik
the law merupakan prinsip yang menjadi fondasi baik dalam sistem
agencies)
umum dalam hukum dan hak asasi manusia untuk mencari jalan terbaik
dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Apabila para pihak yang terlibat
65
prinsip ini hendaknya akses lembaga terkait untuk berpatisipasi dibuka
seluas-luasnya.
dalam penyelesaian perkara dalam posisi yang sama atau sejajar. Asas non
berpartisipasi secara langsung dalam proses yang berjalan. Bagi para pihak
(including court)
rangka mencari bentuk terbaik dari suatu penyelesaian atas sengketa yang
66
Terdapat kendala administratif dalam suatu proses penyelesaian perkara
pidana dilakukan di luar pengadilan. Hal itu tentunya berkaitan dengan hal-
suatu hal seperti membuka surat yang bersifat rahasia. Dalam penyelesaian
Nilai hak asasi manusia adalah bagian penting dan harus dihormati dalam
restoratif. Nilai tersebut adalah hak akan kebebasan pribadi dalam kaitannya
proses yang berjalan, menjadi bagian yang menentukan apakah proses itu
dapat berjalan dengan baik atau tidak. Segala persyaratan akan menjadi
67
Ada 5 (lima) prinsip dalam pelaksanaan restorative justice, yaitu:78
Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam
itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa
dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau
78
Ibid, halaman 171.
68
pembelajaran bagi masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen
lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya, dan bukan bersumber dari
diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan
penyelesaian perkara melalui sistem yang ada. Kesulitan untuk keluar dari
keadilan restoratif mau tidak mau harus berintegrasi ke dalam sistem yang
yang meletakannya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dan sifatnya
ada.
perkara pidana dimaknai secara luas. Dua faktor ini dapat hadir dalam
bentuk lain yang sifatnya penunjang dan bukan penentu dalam proses
pemulihan pelaku.
tindak pidana yang dilakukan anak, atau tindak pidana ringan. Meskipun di
79
ibid, halaman 173.
69
beberapa negara tindak pidana yang berat diperkenankan, bentuk program
berlaku.
sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung,
3. Reintegrasi, pada tingkat yang terluas, memberikan arena tempat anak dan
orang tuanya dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka
Indonesia. Yang perlu di dalami yaitu sistem atau tata cara untuk melaksanakan
80
ibid, halaman 176.
70
sistem keadian Restoratif tersebut. Pada dasarnya di atur dalam perundang-
undangan atau sistem hukum masing-masing yang tentunya tidak boleh bertolak
yakni :
dalam KUHP.
71
5. Surat Edaran ketua mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3 tahun
Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung
72
01/PB/PB/MA/III/2014, nomor 03 tahun 2014, nomor 11 tahun 2014,
yang di keluarkan oleh beberapa lembaga terkait dibidang hukum yang berlaku
perkara-perkara Pidana yang bisa diselesaikan dalam sistem peradilan ini yakni
perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada
perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal
ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda
Rp 2,5 juta rupiah. Dan ini telah diatur dalam Perpol No 8 tahun 2021 tentang
dipraktekkan banyak masyarakat ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya
81
Supeno Hadi, Kriminalisasi Anak, tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: Gramedia, 2010, halaman 196.
73
hukum negara yang formalitas seperti sekarang yang kemudian disebut hukum
modern.82
dikemukakan oleh Achmad Ali yang mengutip pendapat Howard Zher seorang
yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang
Agung, prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum
82
Ibid, halaman 198.
83
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009, halaman 100.
74
dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan
Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan
putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.
Prinsip utama dalam keadilan restoratif adalah penegakan hukum yang selalu
pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang
masalah korban84.
hukum sebagai sebagai alat rekayasa sosial terlibat dalam fungsinya sebagai
84
Yayasan Jurnal Perempuan, Paradigma Restorative Justice Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, Online, (https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-
restorative-justice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia), 2019.
75
independen variabel dimana masyarakat berfungsi sebagai dependent variabel.
sebagai instrumen utama hukum ini, peran "rekayasa" dari hukum itu sendiri
mestinya.
kita juga tidak akan terlepas dari kaitan eratnya dengan teori hukum progresif.
Hukum progresif dimulai dari suatu asumsi dasar, hukum adalah institusi yang
85
A. Qodri Azizy, Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, dalam Ahmad Gunawan BS dan
Mu'amar Ramadhan (ed) et. al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, halaman x.
76
sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan ditentukan oleh
paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini. Hal ini menarik
modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini. Hukum
Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian
hukum hanyalah sebagai "alat" untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera
dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum
yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa
86
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), halaman 1.
87
Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, halaman v.
88
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru
mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif
, Jakarta: Kompas, 2006, halaman ix.
77
pemidanaan progresif berdasarkan konsep keadilan restoratif dengan double
track system adalah sistem dua jalur tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu
jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi
sanksi tindakan bersumber pada ide dasar "untuk apa diadakan pemidanaan
tersebut.
jera, adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi
Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan adalah sanksi
c. Kerangka Pemikiran
79
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
cara meneliti pustaka atau data sekunder.1 Penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum dokrinal. Hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas.
B. Pendekatan Penelitian
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
1
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 35.
77
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang
(issu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan ini merupakan penelitian yang
78
dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang
undangan apakah telah sesuai denga ruh yang terkandung dalam konsep-konsep
konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.
konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang
ada. Hal itu dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum
untuk masalah yang dihadapi. Mungkin saja peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai konsep hukum yang berasal dari sistem hukum tertentu yang tidak
bersifat universal.4
lain :5
3
Ibid. Hal. 147 – 148.
4
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Op.Cit. halaman 178.
5
Budiono Kusumohamijo, 2016, teori hukum : Dilema antara Hukum dan Kekuasaan,
Bandung: Yrama Widya, Halaman 196 – 201.
79
a. Prinsip keberlakukan yang umum (general validity) adalah prinsip yang
menyatakan suatu norma hukum yang diakui benar dan berlaku umum
untuk semua subjek dalam sistem hukum yang bersangkutan. Prinsip ini
hukum.
tidak diwujudkan, membuat hukum itu bukan lagi hukum, melainkan apa
saja yang bukan hukum. Prinsip memaksa ini, memang dapat saja
d. Prinsip efektivitas. Prinsip ini merupakan parameter bagi daya kinerja dari
dicapai.
80
menyatakan bahwa subjek hukum memiliki kejelasan mengenai apa yang
hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah
Pendekatan kasus (Case approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam
Untuk itu, biasanya jenis pendekatan ini tujuannya adalah mencari nilai
kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa hukum yang terjadi
melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada tiap putusan
6
Ibid. halaman 138.
81
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum
yang dihadapi.7
bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Didalam
referensi bagi suatu isu hukum. Sebaliknya, studi kasus (case study) merupakan
sebaliknya putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat
berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi
kajian pokok didalam pendekatan kasus adalah rasio decidiendi atau reasoning,
yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan yang secara
C. Sumber Data
terdiri atas:
7
Ibid.
8
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Op. Cit. Hal. 134.
9
Irwasnyah, 2020, Op.Cit. hal. 139.
82
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang
digunakan dalam penelitian ini berupa buku literatur, jurnal, hasil penelitian,
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberikan arti atau
makna kata dan/atau kalimat tertentu pada bahan hukum primer maupun
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 35.
83
sekunder. Bahan hukum tersier ini diperoleh dan dikumpulkan melalui kamus-
1. Studi Kepustakaan
hukum sekunder dan tersier, dengan cara mencari dan mengumpulkan berbagai
macam peraturan, literatus, kamus serta bahan hukum lainnya yang bekaitan
2. Wawancara
E. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan cara mengolah
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penglasifikasian bahan hukum tersebut
84
Argumentasi hukum yang dibangun didasarkan pada bahan hukum yang
dominan digunakan untuk memastikan bahwa konsep yang diuji dalam penelitian
11
Irwasnyah, Op.Cit. 2020, halaman 172.
85
DAFTAR PUSTAKA
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Peradilan (Judicial
Publishing, 2006.
Bernard. L. Tanya. Dkk, Genta Teori Hukum, Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang
Erlangga, 1989.
Didik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
89
Donald Albert Rumokoy, Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Friedman, Lawrence M., The Legal Sysytem A Social Science Perspective, Russel
Maju, 2014.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel,
1973.
Hs, salim dan Erlies Septiana nurbani, Penerapan teori Hukum pada
Nusantara, 2006.
90
Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Jakarta: Pradnya Paramita,
2009.
Press, 2005.
Narwoko J. Dwi, dan Suyanto, Bagong., Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008.
91
Pound Roscoe, An Introduction To The Philosophy Of Law, New Haven: Yale
University Press.
Rasyidi Lilik dan Ira Thania Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Salman Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
92
Simatupang Nursariani dan Faisal. Hukum Perlindungan Anak, Medan: Pustaka
Prima, 2018.
Bandung:1989.
2008.
2000.
93
Waluyo Bambang, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Sinar
Grafika. 2011.
Yunus Yutirsa, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam
Sumber Lainnya:
Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik,
Bahan Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang
8 Januari 2009.
Pemilihan Presiden & Wakil Presiden “Larangan Quick Count Pada Pilpres,
Online,
(https://www.mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara
(https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-restorative-
94
justice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia), 2019. Diakses Pada
95