Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI PERADILAN ADAT DI INDONESIA

(Antara Norma Dan Realita )

Oleh :

Benediktus Sulistyo Hardiyanto / 215214466

Backoryan Marpuratak Sihotang / 215214467

Abstrak, Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya memiliki bermacam-macam


suku,budaya dan masyarakat adat yang beragam. Dalam keberagaman masyarakat adat ini
banyak sekali aturan dan lembaga-lembaga adat yang mengatur kehidupan masyarakat. Peradilan
adat merupakan institusi peradilan yang hidup dalam masyarakat yang di landasi adat istiadat
setempat. Keanekaragaman peradilan adat di identikkan dengan karakteristik masing-masing
wilayah. Keberadaan peradilan adat telah hidup sejak lama dan saat ini di kuatkan dengan
berbagai macam regulasi kebijakan. Pasca Indonesia merdeka, peradilan adat tetap hidup
berdampingan dengan peradilan lainnya. Meskipun secara formal lembaga peradilan adat belum
termasuk dalam lingkup peradilan umum, namun dalam kenyataannya dilapangan mekanisme ini
menjadi alternatif lain yang kerap di tempuh para pencari keadilan terutama dalam masyarakat
yang masih berbasis kepada pola kehidupan tradisional dengan norma-norma yang menjadi
tatanannya. Rasa keadilan yang tidak terpenuhi oleh sistem hukum formal, kadang justru dapat
dipenuhi oleh mekanisme peradilan adat. Metode penelitian menggunakan metode yuridis
normatif dengan pendekatan kepustakaan. Adapun kesimpulan dari penlitian ini adalah bahwa
Eksistensi Peradilan Hukum Adat dalam sistem Hukum di Indonesia sangat penting untuk
memberikan penyelesaian terkait masalah hukum secara umum yang bersinggungan dengan
kepentingan pemangku masyarakat Adat dan Masyarakat Adat itu sendiri. Dasar keberadaan
Peradilan Adat telah di akui eksistensinya dalam Sistem Hukum di Indonesia yang dapat di
telusuri keberadaannya dari beberapa peraturan perundang - undangan yang telah ada.
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah sebuah negara hukum (rechtsaat), di mana setiap ketentuan yang
berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang berlaku secara nasional. 1
Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan
atas keperibadian bangsa Indonesia terus di lakukan. Di awal kemerdekaannya, Indonesia
yang belum stabil masih belum mampu membuat peraturan perundang – undangan yang
lengkap untuk mengatur segala aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka
agar tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat berakibat kekacauan, hukum yang
berlaku pada masa pemerintahan kolonial Belanda masih tetap di berlakukan dengan
mengacu pada Pasal II Aturan Peralihan Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, serta Pasal 142
Undang - Undang Dasar Sementara 19502. Dengan di sahkannya Undang - Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka bangsa Indonesia mempunyai dasar-dasar
daripada tertib hukum baru, hukum yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia
untuk mengatur tata tertib hidup bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia baru.

Dari waktu ke waktu pembanguan dan perkembangan hukum di Indonesia terus


mengalami dinamika sesuai dengan kebijakan dan politik hukum yang di terapkan oleh
Pemerintah, dan terus menyesuaikan dengan tuntutan beberapa pihak untuk menciptakan
hukum yang lahir dari nila-nilai keperibadian bangsa Indonesia. Berbagai macam
persoalan yang di hadapi Negara Indonesia menuntut hukum untuk terus bergerak maju
sebagai pengendali sosial dan menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat
yang tertib, maju, dan sejahtera.

Sejak bergulirnya era reformasi, gaung tuntutan masyarakat untuk membentuk hukum
yang bersumber dari nlai-nilai yang hidup dalam masayarakat terus bergema,terutama

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) , hlm. 69
2
Abdul Jamali , Pengantar Hukum Indonesia , (Jakarta : CV. Raja Wali, tt.) , hlm. 65 - 70.
mengenai aturan yang bersifat konstusional dan perundang - undangan agar
mengakomodir hukum adat sebagai hukum tidak tertulis yang tercermin dari nilai
keadilan dan norma yang hidup dan tumbuh di masyarakat, atau setidaknya harus di
jadikan sumber hukum yang harus di gali, diperhatikan dan dihormati terutama dalam
praktik penegakan hukum 3, termasuk dalam hal ini peraturan perundang - undangan yang
berkaitan dengan sistem peradilan di Indonesia demi tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam pasal Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, telah
mengatur sistem penyelenggaraan peradilan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di atur
dalam undang - undang.4

Peradilan Adat merupakan lembaga organik yang merupakan dari kesatuan sistem
hukum adat. Karena sifatnya yang memang organik lahir dari suatu sistem adat maka
penerimaan atas putusan pengadilan adat akan lebih mudah untuk di terima.

Tidak di akuinya keberadaan Peradilan adat oleh negara dapat menimbulkan


ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap teguh menggunakan hukum adat
dalam kehidupan sehari hari. Dalam konteks masyarakat hukum adat, hukum yang
berlaku dalam kehidupan sehari hari adalah norma-norma masyarakat hukum adat
setempat. Hukum positif memandang hubungan suami istri antara wanita dan pria yang
bukan suami istri atas dasar suka sama suka sebagai tindakan yang legal, tapi bisa jadi
perbuatan sebagaimana tersebut merupakan tindakan yang tercela dan merusak norma-

3
Pasal 5 jo. Pasal 10 ayat (2) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
4
Pasal 24 Undang - Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen.
norma dan ketertiban umum dalam masyarakat hukum adat sehingga para pelakunya di
beri sanksi adat karena melawan norma-norma sosial masyarakat hukum adat. Ini dapat
terjadi karena standar nilai yang di gunakan masyarakat hukum adat yang sifatnya lokal
dan terbatas, lebih kompleks daripada hukum nasional yang harus mengakomodir semua
jenis kepentingan dan norma.

            Di sisi lain putusan pengadilan adat yang telah dit erima oleh para pihak yang
bersengketa kadangkala tidak di indahkan aparatur penegak hukum pemerintah. Kejadian
seperti ini terutama terjadi pada kasus-kasus yang mencakup perbuatan pidana.
Contohnya adalah kasus-kasus seperti pembunuhan yang telah di selesaikan dengan
putusan pengadilan adat. Kasus ini masih dapat di bawa oleh polisi ke jalur litigasi
dengan dalil hukum yang di langgar adalah hukum publik. Padahal, kedua pihak sudah
menerima putusan Peradilan adat tersebut. Hal seperti ini dapat menyebabkan rasa tidak
tenang masyarakat karena sewaktu waktu perkaranya bisa di ajukan lagi ke pengadilan
negarawalaupun kenyataannya sudah di selesaikan melalui mekanisme peradilan adat.
Oleh karena itu negara harus mengakui dan memberikan status yang jelas terhadap
perdilan adat di Indonesia demi terwujudnya kepastian hukum.

Berdasarkan ketentuan pasal 24 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, membuka peluang adanya peradilan-peradilan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dan badan-
badan di bawahnya yang meliputi, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
Peradilan Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi seperti yang di sebutkan
dalam pasal 24 ayat (2) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka peradilan-peradilan lain yang berbasis pada peradilan adat menjadi terbuka,
sepanjang di atur dalam Undang - Undang5.

Dalam prakteknya, peradilan adat kerap di benturkan dengan hukum formal, di mana
fakta sejarah menunjukan bahwa kolonialsme pada masa lalu menyebabkan hukum Eropa
mendominasi sistem hukum di banyak negara bekas jajahan termasuk di antaranya

5
Ketut Sudantra, Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Bali: Udayana University
Press, 2004), hlm. 7, dalam Laodi Munawir, (Malang, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya :
2018).
Indonesia. Namun demikian, meskipun secara formal lembaga ini tidak di akui, namun
dalam kenyataannya di lapangan, mekanisme ini menjadi alternatif lain yang kerap di
tempuh para pencari keadilan terutama dalam masyarakat yang masih berbasis kepada
pola kehidupan tradisional dengan norma-norma yang menjadi tatanannya. Rasa keadilan
yang tidak terpenuhi oleh sistem hukum formal, kadang justru dapat di penuhi oleh
mekanisme peradilan adat yang dalam kerangka sistem hukum yang berlaku adalah
peradilan informal. I Ketut Suardana menyatakan bahwa Peradilan Adat adalah fakta
karena masih hidup dan di praktekkan dalam realita hidup masyarakat. Namun realita
tersebut tidak mendapat pengakuan yang semestinya dalam hukum negara, khususnya
dalam undang - undang yang mengatur masalah peradilan. Kebutuhan akan mekanisme
peradilan adat bukan hanya di sebabkan bahwa untuk menjangkau sistem formal
sebagaimana yang di gariskan aturan perundang - undangan terdapat kendala geografis
(misalnya bagi masyarakat pedalaman) akan tetapi juga alasan normatif mekanisme
penyelesaian dan sanksi yang kadang tidak atau belum bisa di nyatakan berkeadilan,
belum lagi panjangnya proses yang harus di lalui.

Dalam perjalanan sejarah kemudian mengubah posisi lembaga adat dan peradilan
adat melalui Perubahan kedua Undang - undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
pada tahun 2000 pada Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) yang pada intinya
menyatakan: pertama, mengakui dan menghormati eksistensi kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya; kedua, menghormati identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak azasi manusia yang harus
mendapat perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan dari negara, terutama
pemerintah. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak–hak kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dalam Undang – Undang Dasar 1945 dapat di maknai secara
filosofis dan yuridis. Secara filosofis, pengakuan dan penghormatan tersebut merupakan
penghargaan dari negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Secara
yuridis, ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional bagi arah politik hukum
pengakuan hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat.

Akan tetapi hak konstitusional ini tidak serta merta di tindak lanjuti dengan aturan
perundnag - undangan lainnya. Meskipun di sisi lain Pasal 28 Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 04 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan kewajiban
kepada Hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Namun ketentuan ini tidak serta merta mengakui
keberadaan lembaga Pengadilan adat. Dalam perkembangannya pada tahun 2013,
terdapat Rancangan Undang - Undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang salah
satu ketentuannya yaitu Pasal 8 1) Peradilan adat merupakan bagian dari lembaga adat. 2)
Peradilan adat mempunyai kewenangan untuk mengadili semua perkara yang terjadi yang
di lakukan oleh anggota masyarakat adat dan di wilayah adat yang bersangkutan. 3)
Keputusan dari peradilan adat sebagaimana di maksud pada ayat (2) bersifat mengikat
dan final. 4) Dalam hal suatu perkara terjadi di dalam suatu wilayah adat dari suatu
masyarakat adat dimana salah satu pihak bukan merupakan anggota dari masyarakat adat
yang bersangkutan, maka penyelesaian perkara di maksud di lakukan melalui lembaga
peradilan sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Ketentuan-
ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan suatu bentuk keinginan dari para pembentuk
undang - undang untuk melakukan revitalisasi terhadap lembaga peradilan adat,
meskipun merujuk kepada sistem hukum formal saat ini mengharuskan suatu formulasi
lebih lanjut.

Jika di kaji dari perspektif Undang - Undang Nomor 1 dart Tahun 1951 di mana
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih di kenal eksistensinya Pengadilan Adat.
Akan tetapi, setelah di kodefikasikan Undang - Undang tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1970), yang
kemudian di rubah dengan Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang - Undang
Nomor 35 Tahun 1999, jis Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004, Undang - Undang
Nomor 48 Tahun 2009) tidak di kenal lagi eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran
kebijakan legislasi walaupun untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi
Pengadilan Adat masih di terapkan dan di kenal dengan istilah Peradilan Gampong atau
Peradilan Damai.
Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut
Hardjito Notopuro Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri
khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan
dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan. Soepomo, Hukum Adat adalah
sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup
sebagai konvensi di badan-badan negara (parleman, dewan Provinsi, dan sebagainya),
hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang di pertahankan dalam pergaulan
hidup, baik di kota maupun di desa - desa. Menurut Cornelis van Vollennhoven Hukum
Adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan Timur Asing
pada suti pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada
dalam keadaan tidak di kodifikasikan (karena adat).6

Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma
yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa di taati dan di
hormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat definisi di atas, dapat
di simpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak
di kodifikasikan, namun tetap di taati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi
tertentu bila tidak di taati. Dari pengertian Hukum Adat yang di ungkapkan di atas,
bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara
hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak
ada hukum selain yang di tuliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian
hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum
tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup
dalam masyarakat. Di akui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam
Sistem Hukum Nasional di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
6
Dewi C Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 3- 4.
1. Bagaimana Eksistensi dan masa depan pengadilan adat ?

C. PEMBAHASAN
Peradilan Adat merupakan lembaga organik yang merupakan dari kesatuan sistem
hukum adat. Karena sifatnya yang memang organik lahir dari suatu sistem adat maka
penerimaan atas putusan pengadilan adat akan lebih mudah untuk di terima. Masyarakat
Hukum Adat (MHA) karena menggunakan standar nilai local yang hidup dalam suatu
kelompok adat / masyarakat. Hal ini sejalan dengan adagium yang di katakan oleh Sicero,
“Ubi Societis Ibi Ius” yang artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Dalam
hubungan yang terjadi di antara individu maupun kelompok, ada kalanya terjadi
pelanggaran terhadap hukum adat. Maka dalam keadaan seperti ini, pengadilan adat
masuk mengisi ketidakmampuan negara dalam menyediakan access to justice negara di
wilayah masyarakat hukum adat. Secara material, pengakuan terhadap Masyarakat
Hukum Adat (MHA) telah di amanatkan oleh para pembentuk konstitusi dalam Pasal 18
B ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam undang
- undang.”.
Putusan peradilan adat merupakan hasil keputusan musyawarah dalam rangka
mencari solusi serta kedamaian di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Keputusan
bisa berupa sanksi yang di mulai dari sanksi ringan sampai dengan sanksi yang paling
berat.. Pada saat mencapai satu keputusan perlu di garis bawahi bahwa kedua belah pihak
wajib menyetujui secara bebas dan mandiri sanksi atau hukuman yang akan di berikan.
Ada beberapa contoh hukuman atau sanksi yang berlaku dalam hukum adat. Salah
satunya sebagaimana tertulis dalam Qanun Aceh No . 9 Tahun 2008. Dalam Qanun
tersebut di sebutkan bahwa jenis sanksi yang dapat di jatuhkan dalam penyelesaian
sengketa adat adalah nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam, diyat, denda, ganti
kerugian, di kucilkan oleh masyarakat gampong (desa) atau nama lain, di keluarkan dari
masyarakat gampong atau nama lain, pencabutan gelar adat, dan bentuk sanksi lainnya
yang sesuai dengan adat setempat.7
Dalam pelaksanaan sanksi adat sangat bervariatif, di mana pelaksanaan sanksi adat
akan segera di laksanakan setelah putusan di sampaikan oleh kepala gampong (Keuchik),
terutama terhadap sanksi adat yang berupa nasehat, peringatan dan permintaan maaf.
Untuk sanksi ganti rugi pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu, tergantung kepada
kemampuan ekonomi pelanggar untuk menyediakan ganti rugi tersebut. Demikian juga,
dalam hal sanksi adat yang berupa pengusiran dari gampong, namun pelaksanaannya
tidak di lakukan segera setelah putusan tersebut, melainkan, kepada pelanggar norma adat
itu akan di berikan waktu secukupnya untuk bersiap siap meninggalkan gampong
tersebut.
Putusan wajib tertulis di mana pemantauan terhadap putusan tersebut akan lebih
mudah di awasi. Salinan putusan tersebut akan di sampaikan kepada yang bersangkutan
(para pihak sengketa), lembaga mukim dan pihak kepolisian setempat. hal ini di lakukan
bertujuan agar mereka mengetahui bahwa suatu perkara telah di selesaikan di tingkat
peradilan gampong. Keputusan tertulis tersebut akan menjadi bukti penting dalam
penentuan perkara, apabila di kemudian hari akan di mintakan banding. Setelah putusan
di dokumentasikan, termasuk penandatanganan oleh semua pihak, setiap detail dan data
kasus yang di tangani harus di catat dalam buku Induk Registrasi Kasus. Putusan
pengadilan menguatkan putusan peradilan adat dan semakin memberikan kekuatan
hukum bahwa putusan peradilan adat tersebut merupakan sah dan mengikat para pihak.
Contoh yang berkaitan dengan pengadilan adat beserta perkara yang di tanganinya
salah satunya pernah terjadi di Babaki, Timor Timur. Gugatan yang di layangkan adalah
terhadap pelanggaran hukum adat “Pualaeu Manleu”. Pualaeu Manleu adalah suatu acara
di mana di bicarakan tentang besarnya belis/mas kawin yang harus di bayarkan calon
pengantin laki-laki yang di tentukan oleh belis yang di terima oleh ibu calon pengantin
perempuan. Awal mula kasusnya terjadi ketika seorang pemuda di Amanuban Barat,
Kabupaten Kefamenanu menjalin hubungan cinta dengan seorang gadis di Kecamatan
Biboki, Timor Timur. Ketika bertemu, si pemuda meminta hubungan seksual dengan janji
akan segera mengawininya. Karena janji tersebut dan tahap Pualaeu Manleu sudah

7
Qanun Aceh, Bab VII, Pasal 16 tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat
mereka lakukan, si gadis kemudian menjadi percaya lalu bersedia di gauli. Ketika si gadis
hamil dan menuntut untuk segera dikawaini, si pemuda menolak dengan berbagai alasan.
Orangtua si gadis menghubungi orang pemuda untuk bermusyawarah menyelesaikan
permasalahan kehamilan. Namun pada waktu hari musyawarah yang di tentukan yang di
hadiri oleh Kepala Desa dan Kepala Kecamatan, pemuda dan orangtuanya tidak datang.
Keluarga si gadis mengajukan gugatan perdata pelanggaran hukum adat Pualaeu Manleu
dan meminta hakim menjatuhkan sanksi adat. Hakim Kasasi mengadili dan menyatakan
si pemuda telah melakukan perbuatan atau melanggar hukum adat Pualaeu Manleu dan
menjatuhkan sanksi membayar sanksi adat secara tanggung renteng bersama orangtuanya
berupa 5 ekor sapi dan uang Rp 1.000.000,-. Dengan kata lain, putusan hakim
menyatakan bahwa perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum adat dan
para tergugat di hukum untuk melaksanakan dan membayar sanksi adat secara tanggung
renteng.8
Dari putusan tersebut, di simpulkan bahwa dalam menghadapi kasus gugatan
perdata yang fundamentum petendi dan petitumnya berdasar pada pelanggaran hukum
adat dan penegakan ‘sanksi adatnya’ bila dalam persidangan Pengugat dapat
membuktikan dalil gugatannya, maka Hakim harus menerapkan hukum adat mengenai
masalah tersebut yang masih berlaku di daerah yang bersangkutan setelah mendengar
Tetua Adat setempat. Perselingkuhan suami isteri yang di mana sanksi adat hapuskan
tuntutan jaksa. Sebagai contoh, pernah terdapat kasus perselingkuhan antara pria yang
sudah beristeri dan perempuan yang sudah bersuami. Amutayo, seorang lelaki beristeri
berselingkuh dengan Enta, perempuan bersuami. Mereka adalah anggota suku adat
Pamona. Kemudian suami enta, Rolex mengetahuinya dan menyerahkan persoalan ini
kepada Dewan Adat. Rolex tidak melaporkan istrinya, Enta karena ia masih mencintainya
dan mereka masih memiliki anak anak yang masih butuh bimbingan orang tua.
Dewan Adat menjatuhkan reaksi adat yang mengharuskan keduanya membayar tiga
ekor sapi, dengan rincian dua ekor di serahkan kepada desa dan seekor di serahkan
kepada Rolex. Namun isteri Amutayo tidak bisa menerima, dan melaporkannya ke
Kepolisian dengan sangkaan tindak pidana perzinahan yang di atur dalam Pasal 284 Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim tingkat pertama menyatakan

8
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.
keduanya terbukti bersalah melanggar Pasal 284 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan di pidana selama 3 bulan penjara. Hakim Banding memutuskan Amutayo di
pidana penjara 3 bulan karena tidak mentaati hukum adat untuk membayar denda, dan
tidak menghukum Enta karena telah membayar denda Adat. Sedangkan Hakim Kasasi
berpendapat sanksi denda tersebut muncul dari satu peristiwa yang sama, sehingga jika
sudah di kenakan sanksi adat, maka tidak dapat di lakukan penuntutan.9
Dari kasus ini abstrak hukum adalah: Perbuatan perselingkuhan suami-isteri 
dengan pihak lain yang selama ini di kenal dengan kualifikasi delik perzinahan Pasal 284
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dari kasus ini ternyata bahwa bilamana
pelaku (dader) telah di jatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh pemangku
Dewan Adat, di mana hukum adat masih di hormati dan hidup subur di dalam masyarakat
adat yang bersagkutan, maka penuntutan jaksa terhadap para pelaku (dader) Pasal 284
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) secara yuridis harus di nyatakan tidak
dapat di terima. (Putusan MA No.984.K/Pid/1996, tanggal 15 Nopember 1996).
Tidak dapat di hukum ganda. Contoh kasusnya pernah di lakukan oleh seorang
remaja laki-laki di rumah temannya setelah mereka bermain bersama. Di tengah malam,
ia terbangun untuk buang air kecil. Di kamar sebelah yang berpenutup kain, ia melihat
ibu temannya sedang tidur. Ia mematikan pelita dan menindih si ibu. Si Ibu terbangun dan
terjadi keributan. Kepala Adat Tolake menetapkan reaksi adat berupa Prohala yaitu
membayar seekor kerbau dan satu lembar kain. Terdakwa telah memenuhi sanksi adat
tersebut. Namun, Kepolisian mengusut dan menyerahkannya kepada Kejaksaan dengan
dakwaan primair Pasal 285 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) , subsidair
281 ayat (1) dan dakwaan subsidair lagi pasal 5 ayat 3 sub b Undang – Undang Darurat
1/1951.
Hakim Pertama memutuskan dakwaan primair dan subsidair tidak terbukti, dan
terbukti atas dakwaan subsidair lagi yaitu Tindak Pidana Adat: Memperkosa dan di
pidana 4 bulan penjara. Hakim Banding menilai delik adat tersebut sepadan dengan
kejahatan kesusilaan (Pasal 281 s/d Pasal 297 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP)) dan mengkualifikasikan sebagai “Perbuatan Pidana Adat Siri”. Sedangkan
Hakim Kasasi menilai terdakwa di jatuhi pidana ganda yaitu sanksi adat dan sanksi

9
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.
pidana Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) , dan judex facti tidak
menghormati hukum adat yang masih hidup dan masih berlaku serta masih di taati
pelaksanaannya. Hukuman adat yang telah di penuhi terdakwa di nilai sepadan dengan
perbuatannya. Karenanya Hakim Kasasi membatalkan putusan tingkat pertama dan
banding. Dari uraian di atas, nampak bahwa penerapan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang -
Undang Darurat 1/1951 di terapkan kepada kasus-kasus ingkar janji kawin, dan pelecehan
seksual. Maka, menurut penulis pengalaman penerapannya tersebut seharusnya yang di
normakan sebagai tindak pidana tersendiri.
Sedangkan terkait perumusal Pasal 2 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (KUHP) tidak dapat di lepaskan dari kesejarahan pembentukan Pasal 5 ayat 3 sub
b Undang - Undang Darurat 1/1951 yang bisa di nilai sejaman dengan tahapan awal
perumusan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan penerapannya sendiri.
Yaitu yang di maksud hukum yang hidup bersifat terbatas dan terukur yaitu hukum
pidana adat, berlaku hanya untuk masyarakat di mana hukum adat masih berlaku, dan
perbuatan melawan hukumnya tidak ada padanannya dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana (KUHP) ataupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan
rumusan terbatas dan terukur akan mencegah penyalahgunaan wewenang negara atas
penafsiran perbuatan melawan hukum adat.10
Penerapan Hukum Pidana Adat di Peradilan Adat Suku Amungme dan Upaya
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di tinjau dari Asas Legalitas Materiil
a. Penerapan Hukum Pidana Adat di Peradilan Adat Suku Amungme Penerapan hukum
pidana adat tercermin dari penyelesaian sengketa hukum adat yang juga mempunyai
mekanisme sebagai hukum acara pidana adat. Secara garis besar mekanisme
penyelesaian sengketa adat terbagi atas:
1) Penyelesaian sengketa adat antar sesama adat Terdapat tahapan dalam mekanisme
penyelesaian sengketa antar sesama adat, yang di awali dengan laporan/pengaduan
para pihak atau tertangkap tangan, baik oleh anggota masyarakat atau pihak yang
berwajib lainnya, sampai dengan pelaksanaan putusan. Berikut tahapan-tahapan dalam
penyelesaian sengketa dalam peradilan adat Suku Amungme Kabupaten Mimika,
yaitu:

10
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.
a) Menerima Pelaporan atau Pengaduan Dalam hal terja di pelaporan atau
pengaduan terhadap pelanggaran adat, maka Ketua adat akan melakukan
pengamanan terhadap kejadian melalui tindakan penahanan dalam bentuk
perlindungan kepada kedua belah pihak yang bertikai, dengan jalan memisahkan
kedua belah pihak dan mengkondusifkan suasana, terutama bagi pihak keluarga
yang di rugikan.
b) Persiapan Musyawarah Perangkat lembaga adat akan melakukan investigasi
penyelidikan dan penyidi kan terhadap kejadian sebenarnya yang terjadi di
lapangan untuk mencari dan menemukan serta mengumpulkan bukti guna
membuat terang benderangnya perkara kejadian.
c) Pemeriksaan Duduk Perkara Pemanggilan kedua belah pihak untuk di minta
keterangan tentang sengketa yang terjadi. Pemanggilan kedua belah pihak di
lakukan secara terpisah, kecuali dalam perkembangan sudah memungkinkan di
hadirkan kedua pihak secara bersamaan biasanya pada pemeriksaan lanjutan dan
kedua belah pihak dalam sikap yang sudah tenang. Jika upaya-upaya
menenangkan suasana telah berhasil, dan data- data pembuktian sudah lengkap,
barulah para pihak, wakil keluarga beserta pihak di bawa ke sidang musyawarah.
Proses persidangan musyawarah di lakukan dengan mendengarkan pembelaan
masing-masing pihak secara formal dalam persidangan di hadapan lembaga adat
yang berwenang menyelesaikan sengketa .
d) Keputusan Sidang Musyawarah Keputusan hasil musyawarah mufakat sangat
bergantung terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak. Bila hasil
pemeriksaan duduk perkara telah selesai, maka di lakukan sidang awal
pengambilan keputusan untuk menentukan biaya ganti kerugian kepada korban.

2) Penyelesaian sengketa adat antar lembaga adat.


Mekanisme penyelesaian sengketa antar sesama adat mempunyai perbedaan dengan
penyelesaian sengketa adat antar lembaga adat, hal ini di sebabkan karena adanya dua
suku yang saling terlibat pertikaian. Pada prinsipnya sengketa adat antar lembaga adat
di awali dengan persiapan bakar batu sampai dengan pembayaran bayar kepala
sebagai ganti kerugian untuk mengakhiri permasalahan. Berikut tahapan-tahapan
dalam penyelesaian sengketa antar lembaga adat :11
a) Persiapan Bakar Batu Para Kepala Perang (Waemum) terlebih dahulu saling
menenangkan kelompoknya masing-masing dan bersama keluarga yang terlibat
perang/permasalahan masing–masing bertemu di tempat yang telah di tentukan
untuk mencari kesepakatan perdamaian, Setelah tercapai kesepakatan damai
kemudian masing–masing kubu/kelompok melalui kepala Perang (Waemum)
menentukan hari untuk bakar batu.
b) Proses Acara Bakar Batu/ Keputusan Musyawarah Pelaksanaan kesepakatan
damai di mulai dari kedua kubu yang bertikai melakukan pemanahan terhadap
seekor babi yang telah di sepakati bersama. Usai di lakukan panah babi, ritual
selanjutnya biasanya di lakukan dengan patah panah dan busur yang berarti
mengakhiri konflik atau peperangan yang selama ini terjadi. Kemudian
penandatangan kesepakatan perdamaian akan di lakukan bersama. Usai melewati
prosesi itu semua. Babi yang tadi di panah dan telah mati, langsung bisa di potong
dan di bakar dengan cara barapen, bersama dengan umbi-umbian dan sayur
mayur, serta hasil kebun lainnya yang akan di santap bersama, antara kedua kubu
yang bertikai.
c) Pelaksanaan kesepakatan damai Setelah proses adat selesai kemudian di akhiri
dengan pembayaran bayar kepala sebagai ganti kerugian sebagai akhir
penyelsaian persoalan. Penerapan hukum pidana yang berdasarkan peradilan adat
memiliki posisi dan kedudukan yang sangat penting, masyarakat adat di Suku
Amungme wilayah Meepago (Kabupaten Mimika) lebih menginginkan jika ada
permasalahan maka bentuk penyelesaiannya akan menggunakan model
penyelesaian dengan adat sebagai bentuk hukum tidak tertulis (kebiasaan) yang di
taati akan tetapi jika gagal dalam penyelesaian secara adat maka akan
menyerahkan kepada system peradilan nasional.
b. Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Di tinjau dari Asas Legalitas Materiil
Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas legalitas sebagaimana di atur

11
Elminius Mom, Pelanggar Hukum Adat di Wilayah Adat Kwamki Narama Kab. Mimika, wawancara pada tanggal
12 September 2020.
dalam kententuan Pasal 1 ayat (1) dan (2) Rancangan Undang – Undang Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tersebut yaitu:
1) Asas legalitas dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang - Undang Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) merupakan asas legalitas formal
sedangkan dalam asas legalitas materiil di atur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1).
2) Pada asas legalitas formal, dasar patut di pidana suatu perbuatan adalah undang-
undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut di lakukan. Kemudian, asas legalitas
materiil menentukan bahwa dasar patut di pidana suatu perbuatan adalah hukum yang
hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat.
3) Dalam menetapkan adanya tindak pidana di larang mempergunakan analogi (Pasal 1
ayat (2) Rancangan Undang - Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) .
4) Asas legalitas formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang - Undang
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tidak dapat di berlakukan secara
mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana di atur dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2) Rancangan Undang - Undang Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) .
5) Adanya pembatasan bahwa asas legalitas formal tidak di terapkan secara absolut dan
adanya keseimbangan monodualistik sehingga polarisasi pemikiran pembentuk
Rancangan Undang - Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
menganut pula secara implisit ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif.
Dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktikbperadilan ajaran sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi positif di artikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan
tersebut di anggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya
dalam kehidupan masyarakat.

D. Kesimpulan
Peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan negara sekaligus sebagai
institusi terdepan dalam menangani perkara yang dihadapi oleh masyarakat. Karena itu,
biasanya ia membutuhkan legalisasi apakah itu melalui peraturan daerah, keputusan ketua
pengadilan atau dengan kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum.
Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata cara
dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai dan tata
cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat mengikuti
standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal, misalkan berkaitan dengan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) maupun persamaan dihadapan
hukum (equality before the law) yang umum dikenal dalam praktik peradilan.
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat
suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat
yang telah di wariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh
karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak
dapat di pungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas
adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam
masyarakat.
Hukum Adat adalah hukum yang benar benar hidup dalam kesadaran hati nurani
warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-
istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Era sekarang memang dapat di sebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat
yang di tandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan. Namun yang
tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan pengembangan lebih jauh dengan
implikasinya dalam penyusunan hukum nasional dan upaya penegakan hukum yang
berlaku di Indonesia.
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil
karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan identitas bagi
bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Subtansi hukum adat pun tidaklah sekomplek
dengan hukum modern sehinggga dalam merumuskannya secara tertulis memang
menjadi kesulitan sekarang ini yang terjadi di Indonesia, apalagi membuat dalam satu
kodifikasi, karena itu yurisprudensi yang lahir dari adanya putusan hakim dalam suatu
kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk menyelsaikan
kasus-kasus yang serupa dikemudia hari demikian dengan kesadaran hukum yang telah
ada dalam masyarakat dapat diterapkan dalam pengambilan putusan di pengadilan.

Daftar Pustaka
Buku:
Asshiddiqie, Jimly. 2006. “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”. Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.
Jamali, Abdul. “Pengantar Hukum Indonesia. CV. Raja Wali. Jakarta.
Mom, Elminius. 2020. Pelanggar Hukum Adat di Wilayah Adat Kwamki Narama. Wawancara.
Mimika.
Sudantra, Ketut. 2004. Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman.
Udayana University Press. Bali.
Wulansari, Dewi C. 2010. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. PT Refika Aditama.
Bandung.

Undang-undang:
Pasal 5 jo. Pasal 10 ayat (2) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Pasal 24 Undang - Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen.
Qanun Aceh, Bab VII, Pasal 16 tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat

Website:
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.
Website bahasan.id “ Hukum Adat dalam Berbagai Putusan Pengadilan ”, di akses 13 Juni 2022.

Anda mungkin juga menyukai