Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara pluralisme, dimana terdapat berbagai macam suku yang
tersebar di Indonesia. Suku-suku tersebut tentunya memiliki aturan atau yangbiasa disebut
dengan hukum adatmereka masing-masing. Hukum tersebut hidup dan dipatuhi dalam
masyarakat adat yang tersebar diIndonesia. Bahkan tak jarang dari mereka lebih mematuhi
hukum adat dari pada hukum yang dibuat oleh pemerintah, padahal dalam Pasal 1Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan: “Tiadasuatu perbuatan yang dapat dipidanaselain
berdasarkan kekuatan ketentuanperundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Andi Hamzah dalam bukunya memberikan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari
pasal tersebut. Pertama, jika suatu perintah maupun larangan ingin dibuat menjadi sesuatu yang
dapat dipaksakan dan dapat diancam dengan pidana, maka larangan atau perintah tersebut harus
dicantumkan dalam undangundang pidana. Kedua, hukum tersebut tidak boleh berlaku surut
(Hamzah, 2008: 40). kedudukan hukum adat? Apakah hukum adat mengikat atau tidak? Dan
hukum manakah yang ia pilih ketika seseorang harus bertanggung jawab secara pidana, namun
dirinya Asas Legalitas vs Hukum Adat : Eksistensi Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia Siti Romlah ISSN : 2338 4638 Volume 1 Nomor 12d (2017) sendiri terikat
dengan hukum adat ? Apakah ia harus dihukum menggunakan hukum konvensional ataukah
menggunakan hukum adat yang berlaku.
Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip oleh Septa Candra mengatakan “pada prinsipnya
setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali
ada sebabsebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan
(exemptions from liability)” (Candra, 2013 : 40). Konstitusi Indonesia pun mengamini adanya
hukum yang hidup di masyarakat adat tersebut, sebagaimana termaktub dalam pasal 18 B
Undang Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang akan dibahas dan menjadi rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam konstitusi ?
2. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan Rumusan Masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Agar kami dapat mengetahui hukum adat dalam konstitusi
2. Agar kami dapat mengetahui hukum adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Hukum Adat dalam Konstitusi


Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita
pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan
: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pun dalam hal ini konstitusi kita tidak secara eksplisit menunjukkan kepada kita
pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada
sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan
kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang
disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang
secara tradisional diakui dalam hukum adat. Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan
bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus
menyebut aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukum itu Selanjutnya dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan
demikian hakim harus menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yang
senantiasa berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS
1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di
dalamnya hukum adat.
Merujuk pendapat Soepomo hukum adat terbagi menjadi dua karakter :
1. Hukum adat memiliki karakter bersifat netral, dan
2. Hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan
nilai-nilai relegius

3
Pembedaan ini penting untuk dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yang
akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral-hukum lalu lintas adalah hukum yang relative
longgar kaitannya dengan nilai nilai religius susunan masyarakat adat hal ini berakibat,
perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum
dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Sedangkan hukum
adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegiu karena itu relative tidak mudah disatukan
secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui
yurisprudensi.
Sebagaimana yang terjadi dalam perkara tindak pidana perzinahan di Palu tahun 2010, di
mana  majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak semata-mata yang ada
dalam KUHP, tetapi juga ‘makna menurut hukum adat’. Pertimbangan hakim merujuk pada
yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya menyebutkan delik adat zina adalah
perbuatan terlarang lepas dari apakah perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas
dari apakah salah satu pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal 284 KUHP.
Overspel adalah perbuatan tercela yang beberapa kali disidangkan di pengadilan, dan
hakim tak semata merujuk pada rumusan Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar juga
pernah menghukum seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat yaitu persetubuhan
di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa. Hakim memutus demikian karena
perbuatan itu tidak ada bandingannya dalam KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP,
maka hakim mencari ke hukum adat (Putusan No. 427/Pid/2008/PT.MKS Tahun 2009).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra
Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga
pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak
diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan dalam praktek peradilan.
Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, menurut Prof. Nyoman Serikat, adalah
putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini, majelis hakim
menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat
oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka
tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.

4
Kedua putusan itu, menurut Prof. Nyoman, menunjukkan bahwa MA “mengakui
eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat
Indonesia”. Ia menyebut kedua yurisprudensi MA itu di depan peserta Pelatihan Hukum
Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, pertengahan Mei lalu.
Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2.2 Kedudukan Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan


Berbicara bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu kita tidak dapat melepaskan
keberadaan nilai, norma, kaedah, maupun pedoman berprilaku yang hidup di tengah
masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan bentuk kekayaan bangsa Indonesia yang sudah sedari
lama hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Sehingga bisa
dikatakan bahwa nilai, norma, kaedah serta pedoman berprilaku tersebut yang bisa dikatakan
terakomodir dalam suatu hukum yang umumnya tidak tertulis dimana dikenal secara luas dengan
istilah hukum adat.
Berbicara Indonesia sebagai Negara hukum, maka keberadaan hukum adat ini juga diatur,
dilindungi, dan diakomodir pula oleh konstitusi. Merujuk kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 mengatur ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Merujuk kepada ketentuan tersebut ada beberapa hal penting yang bisa ditarik
pemahaman sehubungan dengan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia.
Hal ini sejalan dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014
tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini mengatur
sehubungan tentang tahapan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat untuk
memperoleh kepastian hukum atas hak-hak tradisionalnya. Di dalam ketentuannya tersebut
masysarakat adat harus melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara berjenjang untuk
mendapatkan legalisasi pengakuan atas masyarakat hukum adat itu sendiri dimana dalam hal ini

5
tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan
validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka
dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan
tersebut.
Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal
yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta
kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Lebih lanjut
sehubungan dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial
pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah
adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem
pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu
daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah
diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri
walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah.
Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga
masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan
pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Era sekarang
memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya
berbagai kebijaksanaan maupun keputusan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu
pengkajian dan pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum
nasional dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

7
DAFTAR PUSTAKA

Wulansari, C. D., & Gunarsa, A. (2016). Hukum adat Indonesia: suatu pengantar. Refika
Aditama

Hartono, S. (1994). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1. Alumni,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai