PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang akan dibahas dan menjadi rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam konstitusi ?
2. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pembedaan ini penting untuk dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yang
akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral-hukum lalu lintas adalah hukum yang relative
longgar kaitannya dengan nilai nilai religius susunan masyarakat adat hal ini berakibat,
perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum
dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Sedangkan hukum
adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegiu karena itu relative tidak mudah disatukan
secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui
yurisprudensi.
Sebagaimana yang terjadi dalam perkara tindak pidana perzinahan di Palu tahun 2010, di
mana majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak semata-mata yang ada
dalam KUHP, tetapi juga ‘makna menurut hukum adat’. Pertimbangan hakim merujuk pada
yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya menyebutkan delik adat zina adalah
perbuatan terlarang lepas dari apakah perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas
dari apakah salah satu pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal 284 KUHP.
Overspel adalah perbuatan tercela yang beberapa kali disidangkan di pengadilan, dan
hakim tak semata merujuk pada rumusan Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar juga
pernah menghukum seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat yaitu persetubuhan
di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa. Hakim memutus demikian karena
perbuatan itu tidak ada bandingannya dalam KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP,
maka hakim mencari ke hukum adat (Putusan No. 427/Pid/2008/PT.MKS Tahun 2009).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra
Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga
pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak
diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan dalam praktek peradilan.
Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, menurut Prof. Nyoman Serikat, adalah
putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini, majelis hakim
menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat
oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka
tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.
4
Kedua putusan itu, menurut Prof. Nyoman, menunjukkan bahwa MA “mengakui
eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat
Indonesia”. Ia menyebut kedua yurisprudensi MA itu di depan peserta Pelatihan Hukum
Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, pertengahan Mei lalu.
Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
5
tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan
validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka
dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan
tersebut.
Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal
yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta
kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Lebih lanjut
sehubungan dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial
pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah
adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem
pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu
daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah
diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri
walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah.
Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga
masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan
pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Era sekarang
memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya
berbagai kebijaksanaan maupun keputusan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu
pengkajian dan pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum
nasional dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
7
DAFTAR PUSTAKA
Wulansari, C. D., & Gunarsa, A. (2016). Hukum adat Indonesia: suatu pengantar. Refika
Aditama
Hartono, S. (1994). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1. Alumni,
Bandung.