Anda di halaman 1dari 19

Delik Adat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Abstrak

Delik adat (tindak pidana adat) dalam kedudukannya di sistem hukum


pidana Indonesia sampai sekarang masih belum diatur secara ekplisit. Namun
dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa delik adat masih hidup dalam
masyarakat Indonesia sejalan dengan hidupnya hukum adat yang didalmnya
mencakup hukum pidana adat di tiap-tiap daerahnya. Tujuan Penelitian: Tujuan
penulisan ini untuk mengetahui kedudukan delik adat dalam sistem hukum pidana
di Indonesia dan mengetahui bagaimana proses penanganan tindak pidana
menggunakan hukum pidana adat. Metode Penelitian: Metode penelitian dalam
penulisan ini menggunakan jenis penelitian normatif atau studi kepustakaan dan
kemudian disajikan dengan menggunakan teknik penelitian deskriptif yaitu
menganalisis dan menjelsakan temuan-temuan dari studi pustakan yang ada.
Hasil Penelitian: Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah pertama,
dalam sistem hukum pidana di Indonesia memang belum mengatur delik pidana
secara jelas, namun dalam berbagai aturan masih Nampak pengakuan yang
diberikan kepada hukum adat yang mana tidak dapat dilepaspisahkan dari hukum
pidana adat yang mengatur mengenai delik adat itu sendiri. Kedua proses
penanganan tindakan yang dianggap sebagai delik adat diselesaikan oleh kedua
belah pihak yang berkonflik serta tokoh-tokoh adat menggunakan cara damai
namun tetap dengan dijatuhkannya sanksi adat yang diberikah atas kesepakatan
kedua belah pihak yang didasarkan atas hati Nurani dan pertimbangan lainnya.

1. Pendahuluan
Sebelum Indonesia merdeka dan bahkan sebelum secara formal
menggunakan system hukum nasional, bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku tadi sudah mempunyai adat istiadat sendiri yang termasuk di
dalamnya adalah budaya, tradisi, system pemerintahan adat dan bahkan
perangkat aturan adat juga ada di dalamnya.1 Istilah hukum adat dipakai
sebagai nama untuk menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak
dikodifikasi2. Christian Snouck Hurgronje di dalam bukunya yang berjudul "De

1
Rini Apriyani, “Keberadaan Sanksi Adat Dalam Penerapan Hukum Pidana Adat,” Jurnal
Hukum PRIORIS 6, no. 3 (2018): 227–46, https://doi.org/10.25105/prio.v6i3.3178.

2
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, trans. A. Soehardi (Bandung: Mandar
Maju, 2006), hlm. 8.
Atjehers", menyatakan bahwa "Hukum Adat adalah adat yang mempunyai
sanksi (reaksi) sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi (reaksi) adalah
merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang berwujud sebagai tingkah
laku yang berlaku di dalam masyarakat. Pada kenyataannya antara Hukum
Adat dengan Adat Kebiasaan itu batasnya tidak jelas.”3
Meskipun dalam KUHP tidak menyebutkan adanya hukum adat
tersebut, Tetapi banyak aturan yang mengakui serta menghormati eksistensi
dari hukum adat. Contoh yang dapat dilihat yaitu dari hirarki peraturan yang
paling tinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tepatnya pada pasal 18B ayat ayat (2) yang berbunyi: “Negara mengakui
dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.”
Contoh lain dapat dilihat dari Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960
(lampiran A Paragraf 402) dalam keputusan TAP MPR tersebut telah membuat
hukum adat sebagai hukum yang dipatuhi, ditaati serta dipertahankan oleh
rakyat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan hukum adat timbul dari keseluruhan
tingkah laku, kesusilaan dan kebiasaan bangsa Indonesia sehari-hari. Itulah
mengapa TAP MPR tersebut lahir. Secara singkat, kesimpulan yang dapat
diambil ialah bahwa hukum adat tersebut juga merupakan hukum rakyat
Indonesia.4
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Pasal 5 ayat (1)); Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil Pasal 5 Ayat (3)

3
Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan) (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm. 8.

4
I G N Sugangga, “Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional
Indonesia” (Semarang, 1999).
Huruf b; dan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Eksistensi dari hukum adat sendiri tidak dapat dilepaspisahkan dari
keberadaan masyarakat hukum adatnya. Masyarakat hukum adat mempunyai
sistem hukum adat mereka sendiri dan bahkan saat terjadi pelanggaran, mereka
mempunyai aturan hukum berkaitan dengan sanksi yang bisa diterapkan
kepada anggota masyarakat hukum adat yang melakukan pelanggaran hukum
adat sehingga bisa dikenakan sanksi pidana adat. Akan tetapi, sebagaimana
sebagian besar dari aturan hukum adat yang ada di Indonesia, aturan hukum
adat yang berkaitan dengan hukum pidana adat terlebih khusus berkaitan
dengan penerapan sanksi adat, tersampaikan secara lisan dan tidak termuat
dalam bentuk tertulis atau unwritten law.5
Hal ini juga serupa dengan yang terjadi di kabupaten Manokwari,
Provinsi Papua Barat. Di kabupaten Manokwari yang notabenenya merupakan
ibu kota Provinsi Papua Barat, tidak dapat dipungkiri bahwa masih memiliki
satuan masyarakat adat yang sampai sekarang masih tetap eksis dengan
kebudayaan dan juga hukum adatnya. Satuan masyarakat adat tersebut juga
terdiri dari banyak suku yang hidup di wilayah kabupaten Manokwari.
Mengingat eksistensi masyarakat adat di Manokwari tersebut, dalam hal
penyelesaian sebuah permasalahan khususnya di kabupaten Manokwari masih
banyak masalah-masalah yang terjadi baik di bidang perdata adat maupun
bidang pidana yang Dimana penyelesaiannya kerap menggunakan ketentuan-
ketentuan dari hukum yang masih hidup dalam kehidupan bermasyarakatnya
(hukum adat). Penyelesaian seacara adat sering digunakan oleh masyarakat
dikarenakan dianggap lebih adil dan lebih bisa menjawab permasalahan yang
terjadi karena keputusan yang diambil diputuskan dan ditetapkan oleh pihak-
pihak yang dianggap dituakan atau tokoh-tokoh adat dan telah disepakati oleh
kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan gesekan antar masyarakat juga.

5
Apriyani, “Keberadaan Sanksi Adat Dalam Penerapan Hukum Pidana Adat.” Op. Cit.
hlm. 230
Hukum adat di Manokwari sendiri eksistensinya telah dijamin dengan
adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Papua dimana dalam Undang-Undang tersebut mencakup berbagai aspek
termasuk dalam hal kebudayaan dalam hal ini mengenai penyelesaian sebuah
permaslaahan dengan menggunakan hukum adat dalam sebuah peradilan adat.
Berangkat dari hal tersebut terdapat permasalahan-permasalahan yang
merupakan delik pidana yang dapat di jatuhi hukuman sesuai dengan hukum
positif tetapi oleh masyarakat Papua Khususnya Manokwari lebih dianggap
sebagai delik adat yang penyelesaiannya harus menggunakan hukum adat
(hukum pidana adat).

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Jenis penelitian ini adalah penelitian
normatif (penelitian perpustakaan). Penelitian normatif adalah penelitian yang
dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder yang berupa,
buku-buku, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori-teori
hukum dan pendapat sarjana hukum terkemuka 6. Tipe penelitian yang dipakai
ialah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah tipe penelitian dengan
menganalisis dan menjelaskan temuan-temuan dari studi pustaka yang ada.7

3. Hasil Dan Pembahasan


3.1 Sistem Hukum Pidana Adat di Indonesia
Keberadaan hukum adat di Indonesia berjalan seiring dengan masih
hidupnya masyarakat adat ataupun masyarakat yang masih mematuhi
hukum adat tersebut di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Eksistensi
hukum adat sendiri di Indonesia masih tetap dihargai serta diakui oleh
negara melalui berbagai ketentuan yang ada. Contoh yang dapat dilihat

6
Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 13.

7
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.
1.
dari UUD NRI 1945 dalam Pasal 18 B ayat (2). Contoh lainnya terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi
Manusia pada Pasal 6 ayat (1).
Hukum adat sendiri tidak dapat dilepaspisahkan dengan hukum
pidana adat. Dimana keberadaan hukum pidana adat ada sebagai alat
dalam masyarakat untuk menangani perbuatan-perbuatan yang dianggap
sebagai perbuatan-perbuatan yang melanggar maupun yang diamggap
sebagai sebuah kejahatan dalam masyarakat tersebut.
Hilman Hadikusumah mengatakan bahwa hukum pidana adat mempunyai
beberapa sifat, yaitu:
1) Menyeluruh dan menyatukan
Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana adat bersifat menyeluruh
dan menyatukan karena latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis,
dimana yang satu dianggap bertautan atau dipertautkan dengan yang
lain maka yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.8
2) Ketentuan yang terbuka
Manusia tidak akan mampu meramalkan masa datang, maka ketentuan
hukum adat tidak bersifat pasti. Sifat dan ketentuannya selalu terbuka
untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang
penting dijadikan ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan
menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan
keadaan, waktu dan tempat.9
Memang hukum ketentuan adat itu didasarkan pada tradisi yang
menurut hukum adat berlaku, tetapi dalam cara penyelesaiannya akan
selalu terbuka dan selalu dapat menerima segala sesuatu yang baru,
oleh karenanya akan selalu tumbuh ketentuan-ketentuan yang baru.10
3) Membeda-bedakan permasalahan
8
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 22.

9
Ibid.

10
Ibid.
Apabila terjadi pelanggaran maka yang dilihat bukan semata-mata
perbuatan dan akibatnya, tetapijuga dilihat apa yang menjadi latar
belakang dan siapa pelakunya. Dengna alam pikiran demikian itu,
maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan
hukum terhadap sesuatu peristiwa menjadi berbeda-beda.11
4) Peradilan dengan permintaan
Untuk melakukan peradilan dalam memeriksa dan menyelesaikan
perkara pelanggaran sebagian besar didasarkan pada adanya
permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak
yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil. Oleh karena
pemerintahan adat tidak mengkhususkan adanya jabatan kepolisian,
kejaksaan dan kehakiman. Walaupun di lingkungan masyarakat adat
ada tugas penjaga keamanan, fungsi dan perantaraannya tidak sama
dengan jabatan penegak hukum dalam sistem kehakiman yang
terpisah-pisah.12
5) Tindakan reaksi dan koreksi
Dalam hal petugas hukum adat melakukan tindakan reaksi dan koreksi
dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang telah mengganggu
keseimbangan masyarakat dengan maksud mengembalikan
keseimbangan sebagaimana semula, tidak saja dapat bertindak
terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungjawaban
terhadap keluarga atau kerabat pelaku atau juga mungkin diperlukan
membebankan kewajiban kepada masyarakat bersangkutan atua
seluruhnya untuk mengembalikan keseimbangan dengna jalan
mengadakan upacara selamatan desa dan lain-lain.13
Tindakan reaksi atau koreksi yang diberikan terhadap berbagai
peristiwa pelanggaran di lingkungan msyarakat hukum adat di Indonesia,
11
Ibid. hlm. 23

12
Ibid. hlm. 24.
13
Rini Apriyani, Op .Cit., hlm. 239.
sebagaimana disampaikan Soepomo, dapat berupa tindakan sebagai
berikut:
1) Pengganti kerugian immaterial dalam pelbagai rupa seperti paksaan
menikahi gadis yang telah dicemarkan,
2) Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda
yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani,
3) Selamatan untuk membersihkan masyareakat dari segala kotoran gaib,
4) Penutup malu, permintaan maaf,
5) berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati,
6) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata
hukum.14
Menurut Van Vollenhoven dalam Imam Sudiyat, terdapat
perbedaan pokok aliran antara sistem hukum pidana nasional dengan
sistem hukum delik adat dengan penerapan sanksi adatnya (HDA) 15
Perbedaan tersebut yaitu:
1) Dari segi yang dapat dipidana Hukum pidana nasional hanya dapat
menghukum badan pribadi berupa manusia atau orang atau person
artinya sanksi pidana dalam hukum pidana nasional hanya
diberlakukan kepada seseorang yang memang melakukan perbuatan
pidana tersebut. Sedangkan dalam hukum pidana adat atau delik adat,
seringkali yang diwajibkan untuk menerima sanksi pidana adat
terutama bila berkaitan dengan tindakan reaksi atau koreksi yang
berwujud pembayaran denda atau ganti rugi adalah kerabat yang
melakukan perbuatan pelanggaran adat tersebut.
2) Dari segi dolus dan culpa Hukum pidana nasional menyatakan bahwa
seseorang hanya dapat dipidana bila melakukan suatu perbuatan
pidana dengan sengaja atau dolus atau karena kelalaian atau culpa dan

14
Ibid. hlm. 25.
15
Imam Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981),
hlm. 181-187.
mempunyai kesalahan. Sedangkan dalam hukum pidana adat dengan
penerapan sanksi pidana adatnya terkadang ada jenis pelanggaran
yang memang hanya dapat dilakukan dengan sengaja dan tidak
mungkin ada culpa di dalamnya seperti incest atau pencurian serta
terkadang ada pelanggaran hukum adat yang tidak memerlukan
pembuktian akan adanya suatu kesalahan dari perbuatan pelanggaran
tersebut.
3) Dari segi kepentingan yang dilanggar Hukum pidana nasional
menyatakan bahwa semua tindakan atau perbuatan pidana atau delik
merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang
dibuat oleh Negara sehingga setiap delik adalah suatu persoalan yang
dialami oleh Negara dan harus diatasi oleh Negara bukan persoalan
orang perorangan yang terlibat dan menjadi korban dari perbuatan
pidana tersebut.
4) Dari segi pertanggungjawaban Hukum pidana nasional akan
memberikan sanksi pidana hanya kepada pelaku tindak pidana yang
memang dapat dipertanggungjawabkan saja. Sedangkan dalam hukum
pidana adat, walaupun pelaku pelanggaran adat tidak dapat
dipertanggungjawabkan terkadang ada beberapa sanksi pidana adat
yang akan dijatuhkan kepada pelaku perbuatan pelanggaran adat.
5) Dari segi posisi social Penerapan hukum pidana nasional dijatuhkan
kepada semua orang tanpa ada perbedaan. Sedangkan dalam hukum
pidana adat, terkadang besar atau kecilnya sanksi pidana adat akan
dilihat dari status atau kedudukan si pelaku di dalam masyarakat.
6) Dari segi menghakimi sendiri Hukum pidana nasional melarang orang
untuk melakukan tindakan main hakim sendiri dalam menindak
pelaku tindak pidana melainkan harus menyerahkan kepada aparat
petugas hukum. Sedangkan hukumpidana adat dalam penerapannya
terkadang mengizinkan pihak yang menjadikorban untuk memberikan
sanksi pidana adat secara langsung kepada pelakupelanggaran adat.
7) Dari segi penilaian barang Hukum pidana nasional tidak memberikan
perbedaan atas nilai suatu barang sehingga secara teori pencurian
terhadap setangkai bunga sama beratnya dengan mencuri sepotong
perhiasan emas. Sedangkan dalam hukum pidana adat, pencurian yang
dilakukan terhadap harta atau barang yangmerupakan warisan leluhur
apalagi barang adat maka sanksi pidana adatnya akan lebih berat
disbanding mencuri barang biasa.
8) Dari segi penyertaan dalam delik Hukum pidana nasional memang
memberikan sanksi pidana kepada semua pelaku tindak pidana yang
terlibat. Akan tetapi sanksi yang diterima para pelaku akan berbeda-
beda tergantung dari peranan si pelaku dalam tindak pidana tersebut.
Sedangkan dalam hukum pidana adat, sanksi pidana yang diterima
semua pelaku yang terlibat dalam pelanggaran adat adalah sama
9) Dari segi percobaan yang dapat dipidana Hukum pidana nasional
memberikan sanksi terhadap perbuatan percobaan melakukan tindak
pidana. Sedangkan hukum pidana adat tidak memberikan sanksi
pidana adat kepada percobaan melakukan pelanggaran adat. Karena
sanksi pidana adat hanya akan dijatuhkan jika terjadi akibat yang
dapat menimbulkan gangguan keseimbangan masyarakat.
10) Dari perbedaan-perbedaan antara hukum pidana nasional dan hukum
delik adat tersebut yang telah dijabarkan di atas maka dapat dapat
dilihat mengapa delik adat itu sendiri tetap memiliki kedudukan di
Indonesia.
Pelaksanaan penegakan hukum delik adat di daerah-daerah di
Indonesia dilaksanakan oleh para kepala dan pemuka-pemuka adat, selain
pemuka adat juga terdapat lembaga-lembaga adat yang menanungi jika
terjadi permasalahan adat, dan tidak jarang terdapat peradilan adat yang
memiliki wewenang untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara baik
pidana maupun perdata adat yang terjadi di daerahnya serta telah dijamin
keberadaannya oleh perundang-undangan. Contoh yang dapat dilihat
yaitu peradilan adat di daerah Papua maupun Papua Barat yang dimana
peradilan tersebut dinaungi olehUndang-Undang Otonomi Khusus
Provinsi Papua.
3.2 Pemberlakuan Hukum Pidana Adat dalam Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pengaturan mengenai
pemberlakuan Hukum (pidana) Adat dalam Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1952 Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil dapat dilihat pada Pasal 5 Ayat (3) Huruf b. Dalam pasal
ini dapat dilihat dengan jelas bahwa terdapat pengakuan terhadap
keberadaan dari hukum perbuatan pidana adat dengan penyebutan “yang
menurut hukum yang hidup” serta dengan dipertimbangkannya
perbuatan-perbuatan yang “harus dianggap pidana”. Maka jika
disimpulkan suatu perbuatan jika menurut hukum yang hidup merupakan
sebuah pidana akan dijatuhi hukuman sebagaimana yang tercantum
dalam bunyi pasal tersebut.
Selain Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tindakan-
Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil pengaturan mengenai
hukum pidana adat juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus)
Di Indonesia mengenal apa yang disebut dengan otonomi khusus.
Otonomi khusus ini diberikan kepada daerah tertentu saja, salah satunya
Provinsi Papua dan Papua Barat.
Hal ini ditetapkan dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001.
Dalam Undang-Undang Provinisi Papua dan Papua Barat diberikan
kekhususan dalam menjalankan Pemerintahannya demi memenuhi
kebutuhan masyarakat Papua sendiri hal ini tercantum dalam Bab I Pasal
1 huruf b. Istilah otonomi dalam otonomi khusus harus diartikan sebagai
kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri,
sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab
untuk ikut serta mendukung penyelenggaraanpemerintahan pusat dan
daerah lain di Indonesia. Hal lain adalah kebebasan untuk menentukan
strategi pembangunan nasional, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai
dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi
alam dan kebudayaan orang Papua.16
Undang-undang ini dapat dilihat dipertahankannya budaya dalam
hal ini hukum adat terkhususnya hukum pidana adat setempat dengan
diberlakukannya pasal-pasal mengenai perlindungan masyarakat adat dan
adanya pasal mengenai peradilan adat. Yang dapat dilihat dalam pasal
Pasal 43 ayat (1), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 51 ayat (3), Pasal 51 ayat (4), Pasal 51 ayat (6) dan Pasal 51 ayat
(8). Dengan diberlakuannya pasal-pasal diatas menjadi sebuah wujud dari
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hukum adat dalam
kehidupan masyarakat khususnya di wilayah Papua dan Papua Barat.
3.3 Proses Penanganan Delik Pidana yang Menggunakan Delik Pidana
Adat oleh Masyarakat Manokwari
Menurut Nader dan Todd, ada beberapa cara atau tahapan yang biasa
dilakukan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan, konflik atau
sengketa yang dihadapi, yaitu:17
1) Membiarkan saja (lumping it)
2) Mengelak (avoidance),
3) Paksaan (coercion).
4) Perundingan (negotiation),

16
Dyah Irawati and Hinijati Widjaja, Eksistensi Sosial-Politik Dewan Adat Papua Dalam
Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Dewan Adat Sentani Di Sentani, Kabupaten Jayapura)
(Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press, 2006), hlm. 86.

17
T O Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001), hlm. 210-21
5) Mediasi (mediation),
6) Arbitrase,
7) Peradilan (adjudication).
Sama halnya dengan yang dikemukakan di atas mengenai pola
dalam penyelesaiannya permaslahan yang umum terjadi, di Manokwari
juga terdapat pola penyelesaian yang sama. Namun dalam kasus-kasus
yang diketahui terjadi lebih sering menggunakan pola penyelesaian
permasalahan seperti perundingan, mediasi, arbiterase dan peradilan
(dalam hal ini peradilan adat). Mengingat banyaknya suku yang hidup di
Manokwari dengan menggunakan cara penyelesaian menggunakan
kekerasan atau membiarkan saja masalah tersebut justru akan
menimbulkan masalah baru atau dapat membuat konflik baru yang dapat
terjadi dalam masyarakat khususnya antar suku.
Adapun beberapa proses penyelesaian masalah yang terdapat di
manokwari:
1) Tingkat kekeluargaan
Biasanya pada tahap ini sebuah permasalahan diselesaikan antar kedua
belah pihak sendiri dengan menggunakan bantuan mediator dalam hal
ini ketua adat, kepala suku ataupun orang-orang yang dituakan oleh
para pihak yang bersengketa. Penyelesaian di tingkat ini biasanya
ditempuh karena kedua belah pihak tidak menginginkan adanya
penyelesaian yang rumit dan penyelesaian ini diharapkan tertutup bagi
kedua belah pihak saja atau tidak ingin dibesar-besarkan.
2) Tingkat Kepolisian, Polres Manokwari (Satuan Bina Masyarakat)
Pada tingkat kepolisian biasanya permasalahan yang terjadi akan
melalui prosedur sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Namun
seiring berjalannya waktu jika salah satu pihak memilih
menyelesaikan sebuah perkara menggunakan hukum adatnya maka
prosedur penyelesaian berpindah pada Satuan Bina Masyarakat.
Dimana dalam hal ini ketua Satuan Bina Masyarakat (Kasat Bimas)
akan beralih fungsi menjadi mediator yang akan memfasilitasi kedua
belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara adat.
Dimulai dari akan dikeluarkannya surat panggilan untuk pertemuan
antara kedua belah pihak guna penyelesaian permasalahan, kemudian
Kasat Bimas akan berintegrasi dengan orang-orang yang dianggap
berwenang dalam penyelesaian sengketa secara adat contohnya seperti
ketua adat maupun kepala suku dan orang-orang yang dianggap
mengerti mengenai hukum adat para pihak yang yang sedang
bersengketa.
3) Tingkat Dinas pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak
Dalam hal penyelesaian permasalahan di Dinas Perempuan
pemberdayaan dan perlindungan anak ini tidak jarang masalah-
masalah yang dilaporkan juga dibawa untuk diselesaikan dengan
menggunakan hukum adat. Dengan alasan-alasan bahwa setelah
melakukan masalah pihak terlapor harus bertanggung jawab secara
adat kepada keluarga korban yang notabenenya juga merupakan
masyarakat adat.
4) Dewan Adat Papua (Peradilan Adat)
Dewan Adat Papua dibentuk atas dasar mandat masyarakat Papua,
diamana selain menjalankan tugas-tugas untuk mengurusi berbagai
bidang menyangkut kesejahteraan dan pengembagan kehidupan
masyarakat Papua Khususnya Orang Asli Papua, tugas lain dari dewan
adat ini juga sebagai wadah penyelesaian permasalahan yang terjadi
tanah Papua baik itu permasalahan yang dilakukan oleh sesama
masyarakat adat (Orang Asli Papua) atau masyarakat adat dengan
orang orang non Papua. Oleh sebab itu Dewan Adat hadir dengan
Peradilan Adatnya yang bertujuan dapat menangani permasalahan-
permasalahan yang terjadi agar berujung damai dan tidak
menimbulkan gesekan baru dalam masyarakat.
Adapun Proses atau tahapan dalam Peradilan Adat Papua yakni:
a) Proses Pelaporan
Pada tahap ini masyarakat akan datang untuk melaporkan
permasalahan ke kantor Dewan Adat Papua untuk nantinya akan
diproses di bagian Peradilan Adat.
b) Proses pemanggilan
Tahap selanjutnya Peradilan Adat Papua akan mengelurkan surat
undangan dalam rangka penyelesaian masalah terhadap kedua
belah pihak baik terlapor maupun pelapor serta undangan tersebut
juga diberikan kepada ketua adat, kepala suku atau orang-orang
yang dirasa sebagai orang yang dituakan atayu dalam hal ini orang-
orang yang dianggap berwenang menyelesaikan permasalahan para
pihak yang bersengketa. Dalam surat undangan tersebut berisi
meengenai waktu tempat, dan agenda siding yang nantinya akan
dilaksanakan.
c) Proses sidang
Pada tahap ini agenda sidang akan dilakukan dengan para pihak
yang bersengketa maupun para hakim yang telah ditunjuk untuk
melakukan proses persidangan. Penunjukan hakim dalam sebuah
persidangan di Peradilan Adat Papua biasanya diberikan kepada
ketua-ketua adat, kepala suku dan juga ketua Dewan Adat Papua
sendiri.
Proses ini juga akan dihadirkan alat-alat bukti dan barang-barang
bukti untuk nantinya akan menjadi petunjuk dalam rangka
pengungkapan kasus dan untuk menuju pada penyelesaian
permasalahan. Lamanya proses persidangan atau banyaknya jumlah
persidangan yang akan dilakukan sendiri tergantung dari
bagaimana pembahasan yang terjadi dalam persidangan. Dalam
proses ini juga akan dilakukan pembahasan terkait kesepakatan
mengenai sanksi adat apa yang akan dijatuhkan dan juga nantinya
akan dibahas mengenai kapan sanksi adat tersebut harus dijatuhkan
atau dilaksanakan.
d) Proses sidang (penyelesaian)
Dalam tahap ini akan persidangan ditujukan untuk kepada pihak
pelakuu untuk memenuhi kesepakatan pada sidang sebelumnya
dalam hal ini untuk melaksanakan atau memenuhi sanksi adat yang
telah disepakati untuk dijatuhkan.
Dalam proses penyelesaian sebuah delik adat maka sanksi adat
nerupakan satu hal yang tidak dapat dilepaspisahkan. Dari perspektif
tujuan penjatuhan pidana, diakui bahwa pemberian sanksi berupa pidana
(adat) oleh lembaga atau petugas adat bertujuan melindungi kepentingan
masyarakat dari berbagai gangguan, baik yang dilakukan oleh anggota
masyarakat di dalam lingkungan mereka sendiri, maupun oleh orang di
luar lingkungan masyarakat.18
Di Manokwari sendiri penjatuhan sanksi adat ini akan dilakukan
oleh orang-orang yang dianggap “berwenang” dalam hal ini seperti
ketua-ketua adat, kepala-kepala suku ataupun orang-orang yang dituakan
atau dalam hal ini mengerti mengenai hukum adat dari para pihak yang
bersengketa tersebut. Sosok-sosok seperti ketua adat, kepala suku
maupun orang-orang yang dituakan ini hadir agar proses penyelesaian
permasalahan hingga penjatuhan sanksi adat itu sendiri nantinya dapat
diterima dengan baik dan damai oleh para pihak maupun masyarakat. Hal
tersebut dikarenakan besarnya rasa percaya masyarakat adat di
Manokwari terhadap para tokoh-tokoh tersebut dalam penyelesaian
sebuah permasalahan.
Sanksi adat di Manokwari yang akan didapat oleh pelaku
pelanggaran terhadap hukum adat itu sendiri (delik adat) didasarkan dari
tuntutan yang diminta oleh pihak pelapor terhadap pihak terlapor. Terkait
patokan sanksi adat yang harus dijatuhkan terhadap sebuah delik adat
sendiri masih belum ada dikarenakan semua sanksi yang diberikan masih
berdasarkan tuntutan korban atau pihak pelapor.

18
Reimon Supusepa, “Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Di Maluku Tengah,” Mimbar Hukum 24, no. 1 (2012): 41–54
Sanksi adat di manokwari biasanya diberikan kepada pihak yang
melaporkan permasalahan yang dilakukan oleh pihak terlapor. Biasanya
sanksi adat yang diberikan berkaitan dengan diberikannya sesuatu yang
dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang telah dibuat
oleh pihak terlapor. Adapun jenis-jenis sanksi yang ada dalam
masyarakat manokwari:
a) Ganti rugi berupa pembayaran sejumlah uang
Salah satu jenis sanksi yang dituntut oleh pihak korban yaitu
pembayaran sejumlah uang. Dalam beberapa contoh kasus yang telah
ditangani terjadi, ditemukan bahwa kisaran uang yang diminta sebagai
representasi sanksi itu sendiri berada dikisaran Rp. 10.000.000,00 ke
atas. Bahkan untuk beberapa kasus mengenai masalah perempuan
seperti kasus melarikan anak perempuan jumlah uang yang diminta
dalam tuntutan bisa menjadi semakin tinggi. Adapun kasus lain seperti
menghamili perempuan diluar nikah namun dalam kasus ini tidak di
nikahkan tuntutan dari pihak pelapor biasanya tuntutan sejumlah uang
juga berisi mengenai pembiayaan terhadap hidup anak yang sedang
dikandung oleh perempuan tersebut dari pihak pelaku. Biasanya untuk
permasalahan mengenai perempuan seperti pada contoh di atas uang
yang menjadi tuntutan pihak korban disebut sebagai “uang malu”.
b) Pemberian sejumlah Barang
Dalam adat papua terkenal dengan barang-barang atau benda-benda
yang harus ada dalam sebuah upacara seperti contohnya piring adat
maupun kain-kain khas Papua. Hal ini tidak jauh berbeda dalam
penyelesaian sebuah delik adat Dimana tak jarang isi tuntutan pihak
korban meminta sanksi adat yang dijatuhkan berupa diberikannya
sejumlah piring-piring adat maupun kain-kain khas Papua. Di
Manokwari sendiri contoh dari piring-piring adat tersebut berupa
piring hias, piring bunyi, piring bareton dan sebagainya. Adapun kain
khas Papua yang sering diminta dalam tuntutan keluarga korban yaitu
kain Timur, dimana kain Timur sendiri memiliki kisaran harga jutaan
rupiah. Namun dalam beberapa kasus adapun barang-barang lain yang
diminta sebagai isi tuntutan seperti contohnya satu unit mobil.
Permintaan sejumlah barang ini juga sering dimintakan dalam tuntutan
baik bagian dari tuntutan itu sendiri maupun dimintakan untuk
memenuhi kekurangan dalam pembayaran tuntutan sejumlah uang.
c) Ganti rugi dengan diberikannya satu ekor hewan atau lebih.
Selain sejumlah uang dan barang, dalam adat yang ada dalam
masyarakat Papua khususnya di manokwari tak jarang dalam
penyelesaian masalah dalam hal ini tuntutan yang menjadi sanksi adat
yaitu diberikannya satu atau beberapa ekor hewan. Hewan yang
banyak diminta dalam isi tuntutan penyelesaian sebuahmasalah yaitu
babi.

4. Kesimpulan
Meskipun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengatur
mengenai delik adat, namun dalam sistem hukum pidana sendiri masih
mengakui adanya delik adat di dalam masyarakat sehingga kedudukan hukum
adat dalam hal ini hukum pidana adat untuk menyelesaikan delik-delik adat
masih sangat diperlukan, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia, yang sebagaimana diketahui masih sangat kental dengan hukum
adat di berbagai daerahnya masing-masing. Pengakuan dari delik adat ini juga
dilihat dari pengakuan terhadap eksistensi hukum adat di Indonesia yang
terdapat di berbagai aturan yang ada di Indonesia mulai dari aturan dasar
negara (UUD NRI) sampai pada aturan turunan lainnnya.
Di Papua sendiri dapat dilihat kedudukan delik adat dengan melihat
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dimana mengatur tentang adanya
peradilan adat. Penyelesaian permasalahan menganai delik adat di Manokwari
dilakukan dengan cara mempertemukan kedua belah pihak yang memiliki
konflik, kemudian pihak-pihak tersebut di dudukan dengan kepala-kepala adat,
kepala suku serta orang-orang yang dianggap mengerti tentang hukum adat
pihak yang sedang. Setelah didudukan Bersama kemudian dilakukan
pembahasan mengenai delik adat yang terjadi apakah memang telah terjadi
delik adat ataukah tidak. Jika diketahui dan terbukti telah terjadi delik adat
tersebut maka selanjutnya akan dibahas mengenai apa yang menjadi isi
tuntutan korban terhadap pelaku yang selanjutnya disebut dengan sanksi adat.
Sanksi adat yang dijatuhkan juga tetap memperhatikan kesanggupan dari pihak
pelaku. Hal-hal yang biasanya menjadi isi dari tuntutan (sanksi adat) yaitu
berupa diberikannya sejumlah uang, barang, maupun satu ekor hewan atau
lebih.

Daftar Referensi
Apriyani, Rini. “Keberadaan Sanksi Adat Dalam Penerapan Hukum Pidana Adat.”
Jurnal Hukum PRIORIS 6, no. 3 (2018): 227–46.
https://doi.org/10.25105/prio.v6i3.3178.

Dijk, R. Van. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Translated by A. Soehardi.


Bandung: Mandar Maju, 2006.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni, 1984.

Ihromi, T O. Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2001.

Irawati, Dyah, and Hinijati Widjaja. Eksistensi Sosial-Politik Dewan Adat Papua
Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Dewan Adat Sentani Di
Sentani, Kabupaten Jayapura). Jakarta: Universitas Kristen Indonesia
Press, 2006.

Setiadi, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan).


Bandung: Alfabeta, 2009.

Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu


Tinjauan Singkat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Jakarta: Rajawali
Pers, 2015.

Sudiyat, Imam. Hukum Adat: Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Sugangga, I G N. “Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional


Indonesia.” Semarang, 1999.
Supusepa, Reimon. “Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Di Maluku Tengah.” Mimbar Hukum 24,
no. 1 (2012): 41–54.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,


2002.

Anda mungkin juga menyukai