Anda di halaman 1dari 8

RESUME MATERI

PENYELESAIAN DELIK ADAT

Sejarah dalam Aspek historis menjadi suatu komponen penting dalam setiap
pembentukan suatu otonomi daerah dengan dipengaruhi oleh politik hukum yang
kuat, menjadikan setiap urusan yang diserahkan kepada suatu pemerintahan lokal
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri hanya bergantung pada
hukum positif yang ada.1 Kemudian, masih terekam jelas juga materi muatan
dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan oleh Moh. Yamin,
bahwa: “Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui
dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan
sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian
tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan
Dalam, Pangreh Praja.”2 Bahwa dalam proses pembentukannya suata
pemerintahan lokal atau daerah tidak perah terlepas dari jejak sejarah yang
bertumpu pada Pancasila sebagai tiang dan dasar untuk merumuskan hal tersebut.
Hal tersebut juga dibuktikan dengan faham sejarah yang membawa suatu
konsepsi, undang-undang, desa, dan penerapannya pada masa Orde Baru yang
berwatak otoritarianisme, sangat mempengaruhi struktur pemerintahan sampai
tingkat desa.3
Pancasila hadir tidak hanya sebagai simbol namun juga berfungsi sebagai
dasar negara dan pandangan hidup yang akan menjadi landasan filosofis
terbentuknya suatu aturan. Suatu aturan harus sesuai dengan Pancasila dan tidak
boleh bertentangan dengannya. Pancasila memiliki 2 (dua) fungsi pokok, yakni
sebagai dasar negara dan pandangan hidup. Dalam hal ini Pancasila sebagai dasar
negara. Fungsi kedua, yakni sebagai pandangan hidup bangsa. Fungsi Pancasila
sebagai pandangan hidup atau cara pandang adalah Bangsa Indonesia harus
berpedoman, menjadikan Pancasila sebagai petunjuk kehidupan sehari – hari.
Pancasila sebagai Way of Life, Westansehuung, pandangan hidup/pedoman hidup.
1
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Sarana
Press, 1987), hlm. 8.
2
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangannya, dan
Problematikanya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 1.
3
Zulman Barniat, Otonomi Desa: Konsepsi Teoritis dan Legal, Jurnal Analisis Sosial
Politik, Volume 5, Nomor 1, 2019, hlm. 20.
Segala bentuk tingkah laku penyelenggaraan negara perlu mengacu pada
Pancasila.4
Dalam perumusan sebuah Konstitusi juga tidak pernah terlepas dari
sumbangsi falsafah negara, Pancasila, untuk merumuskan ketentuan-ketentuan
yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh warga negara kepntingan yang
dimaksud salah satunya adalah kepentingan-kepentingan dari masyarakat hukum
adat yang masih terus eksis dalam lini masa kehidupan manusia. Konstitusi telah
membuktikan, bahwa keberadaan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia menjadi bukti yuridis bahwa Negara masih mengakui dan
menghargai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat untuk terus hadir dalam
satu kesatuan negara Indonesia.5 Masyarakat adat yang ada di Indonesia tersebar
tidak hanya di satu wilayah saja, melainkan masyarakat adat tersebar hampir
dibeberapa wilayah daerah di Indonesia. Masyarakat adat yang menetap di
Indonesia, hidup dalam kesatuan disuatu wilayah desa adat yang diberikan ruang
keberadaanya oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah.
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia memberikan sebuah
gambaran bahwa Indonesia hidup dikeberagaman. Tidak selamanya apa yang
menjadi keberagaman tersebut berakhir tidak ada masalah. Bahwa dalam
pelaksanaannya masalah akan dapat terjadi atau sebagai bentuk kekhilafan
manusia sebagai makhluk sosial. Salah satu masalah yang dapat terjadi dalam hal
ini adalah masalah tersebut dapat menimpa masyarakat hukum adat atau
masyarakat warga negara biasa yang melakukan tindak pidana terhadap
masyarakat adat dan/atau melakukan tindak pidana dalam ruang lingkup
masyarakat hukum adat. Hal tersebut diselesaikan tidak menggunakan hukum
nasional, melainkan menggunakan hukum pidana adat. Hukumpidana adat itu
sendiri sampat aat ini masih diakui dan dijadikan sebagai pedoman di Indonesia
dengan dasar Pasal 18B UUDNRI 1945.

4
Lukas Sugiharto, Masih Eksiskah Karakter Bangsa (Indonesia), (s.l.: s.h., s.a.), hlm. 4
5
Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, berbunyi: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Hukum pidana adat atau delik adat adalah mengatur mengenai tindakan
yang melanggar rasa keadilan dan kepatutan yang hidup ditengah masyarakat,
sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan
masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka
terjadi reaksi adat.6 Kemudian, dijelaskan oleh I Made Madyana yang
menyatakan bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang hidup atau living law
diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari satu generasi
ke generasi berikutnya.7 Subyek hukum dalam hukum adat dalam hal ini adalah
masyrakat hukum adat. Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah
badan hukum yang bersifat “Gemeenschaap” yaitu persekutuan hukum yang
terbentuk secara alamiah karena perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi
dan politik—bukan “verenigingen” yang terbentuk dengan sengaja untuk
kepentingan-kepentingan ekonomi an sich anggota-anggotanya.8 Sebagai Badan
Hukum, Masyarakat hukum adat mempunyai hak-hak (kewenangan) yang bersifat
publik. Dalam tindak pidana adat pada pokoknya terdapat empat unsur penting
yaitu ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan (artinya perbuatan tindak
pidana itu dilakukan oleh seseorang baik di luar masyarakat adat ataaupun di
dalam masyarakat hukum adat itu sendiri), kelompok atau pengurus adat sendiri
(termasuk ke dalam subyek hukum yang melakukan tindak pidana adat),
perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat (perbuatan yang
dilakukan memiliki unsur bertentangan dengan norma hukum adat), kemudian
perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat (perbuatan yang dilakukan menimbulkan
permasalahan di lingkungan masyarakat hukum adat), dan atas perbuatan itu
timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi/kewajiban adat (adanya akibat
hukum akibat dilaksanakan perbuatan tindak pidana tersebut).9
Penyelesaian delik adat pada umumnya dapat diselesaikan melalui tahapan
musyawarah antara korban dan pelaku, upaya perdamaian, upaya mediasi, dan
penyelesaian melalui lembaga adat (peradilan adat). Apabila dalam penyelesaian
6
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ersesco, 1990), hlm. 9.
7
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), hlm. 3.
8
Reimon Supesesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana di Maluku Tengah, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 1, 2012, hlm. 45.
9
Warih Anjari, Eksistensi Delik Adat dan Implementasi Asas Legalitas Hukum Pidana
Materiil Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 4, 2017, hlm. 330.
delik adat ternyata ada salah satu pihak yang menolak, maka penyelesaian
akhirnya adalah melalui peradilan formal (Pengadilan Negeri). Dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana keterlibatan korban masih belum nyata
kelihatan dalam menentukan dan mencari keadilan yang diinginkan dan diidam-
idamkan. Penyelesaian melalui konsep keadilan restoratif yang sudah dikenal oleh
masyarakat sejak lama seharusnya dapat diwujudkan dalam mencari keadilan di
setiap tahap peradilan pidana, yaitu dengan melibatkan seluruh pihak untuk dapat
secara terbuka didengar dan menentukan konsep penyelesaian dan pemberian
sanksi yang seadil-adilnya bagi kepentingan korban atau keluarganya. 10 Namun,
perlu dipahami bahwa penyelesaian melalui peradilan formal (Pengadilan Negeri)
umumnya masih dirasakan kurang memberikan rasa keadilan bagi korban, dan
seringkali masih menyimpan ketidakpuasan (dendam) dari korban (keluarga
korban) atas hukuman atau sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepada pelaku
oleh pengadilan. Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif dalam
penyelesaian delik adat secara musyawarah mufakat dalam bentuk perdamaian
adat masih menjadi primadona masyarakat dalam menyelesaikan delik adat yang
terjadi.11
Bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban dalam delik adat dalam hal
ini dilakukan secara kekeluargaan ataupun melalui lembaga peradilan adat ini
merupakan bentuk penyelesaian yang bertujuan mencari keadilan yang hakiki,
yang dalam kenyataannya mirip dengan konsep keadilan restotratif (restorative
justice).12 Konsep keadilan restoratif digagas oleh pelaku dan korban untuk
menyelesaikan persoalan secara damai dengan mengutamakan prinsip
musyawarah dan mufakat. Konsep keadilan restoratif ini sesunggguhnya sudah
lama diterapkan oleh masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia
dalam rangka penyelesaian delik adat yang terjadi atau dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana ringan. Namun konsep keadilan restoratif muncul kembali di
saat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan formal mulai luntur, putusan
pengadilan tidak lagi dapat memberikan rasa keadilan pada masyarakat,

10
Budiyanto, Penerapan Keadilan Restoartif Dalam Penyelesaian Delik Adat, Papua Law
Journal, Volume 1, Nomor 1, 2016, hlm. 82.
11
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 108.
12
Ibid.
penyelesaian yang tidak tuntas dan bahkan seringkali menimbulkan masalah baru
dalam masyarakat akibat putusan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan
masyarakat luas.13 Melalui penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian delik
adat, maka kepentingan korban yang selama ini oleh peradilan formal diabaikan,
menjadi lebih diperhatikan dalam pertemuan yang digelar oleh kedua belah
pihakm, dan dalam suasana kekeluargaan. Perdamaian yang ditempuh oleh para
pihak semata-mata bertujuan untuk mencari keadilan dan memulihkan keadaan
kembali seperti sediakala.14
Salah satu contoh delik adat yang ada di Indonesia dalam hal ini adalah
delik adat yang ada di dalam masyarakat hukum adat di Bali.Perbuatan-perbuatan
pidana yang dapat dikatakan melanggar delik dalam hal ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:15
1. Delik terhadap harta benda
2. Delik terhadap kepentingan orang banyak
3. Delik terhadap kehormatan seseorang
4. Delik terhadap kesusilaan.
Bahwa delik terhadap harta benda dapat diartikan sebagai benda-benda yang
berwujud dan juga diberikan makna tertentu, sehingga berdasarkan kepercayaan
masyarakat, benda tersebut memiliki nilai materiil ataupun immateriil. Sedangkan
pelanggaran adat terhadap kepentingan orang banyak, antara lain dalam hal
membawa mayat ke tempat suci, berkelahi, lebih-lebih akibat perkelahian tersebut
turut menimbulkan tetesan darah di tempat yang disucikan oleh umat hindu,
melakukan persetubuhan di tempat suci. Kemudian, pelanggaran adat terhadap
kehormatan seseorang, seperti memfitnah, memaki dengan kata-kata koror.
Pelanggaran adat yang berkaitan dengan masalah kesusilaan dalam hal ini delik
yang berupa laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita
diluar perkawinan atas dasar suka sama suka dengan janji akan mengawininya

13
Bambang Waluyo, Relevansi Doktrin Restorative Justice Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia (The Relevance of the Doctrine on Restorative Justice in the Indonesian Sentencing
System), Hassanuddin Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2015, hlm. 213.
14
Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jurnal Dinamika Hukum Volume 12, Nomor 3,
2012, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 411
15
I Ketut Rai Setiabudhi, Sekitar Delik Adat, Makalah Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 1996, hlm. 16.
apabila terjadi kehamilan, seorang istri yang masih dalam ikatan perkawinan
meninggalkan suaminya tanpa alasan, dan masih banyak lagi.
Umumnya dalam proses penyelesaian delik adat akan melibatkanketua-
ketua adat, orang yang dituakan, atau pihak-pihak yang memang ditunjuk untuk
menyelesaikan setiap permasalahan dalam hal delik adat. Bahwa perlu diketahui,
penyelesaian delik adat yang terjadi di masing-masing suku, dimasing-masing
daerah, dimasing-masing wilayah memiliki ciri khas dan juga ketentuan yang
berbeda-beda mekanisme dan cara yang dilakukan, tetapi pada umumnya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengembalikan keadaan kosmis yang
terganggu sehingga terciptanya kembali keharmonisan dan keserasian dalam
kehidupan masyarakat. Bahwa dalam proses penyelesaian delik adat perlu
ditekankan juga sanksi yang diberikan adalah sanksi adat yang berbeda dengan
sanksi nasional yang mana pertimbangan dalam pemberian sanksi adat tersebut
memberikan keadilan bagi para pihak. Hal tersebut berbeda dengan hukumpidana
nasional, sanksi tersebut berupa pidana dan denda yang masuk ke kas negara.
Sedangkan dalam proses penyelesaian delik adat selain mendapatkan sanksi atas
perbuatannya, maka dalam hal ini pelaku delik adat juga memiliki kewajiban
untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatannya.
Contohnya adalah jika seseorang mealkukan pencurian di wilayah hukum adat di
rumah masyarakat hukum adat, maka orang yang rumahnya dicuri tersebut berhak
menuntut ganti rugi atas perbuatan pencuriannya tersebut.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan penyelesaian delik
adat di Indonesia masih dilakukan sampai saat ini dan dapat diberikan kepada
siapapun. Proses, cara, penyelesaian yang berbeda-beda menunjukkan adanya
keberagaman dan juga tidak dapat dipersamakan atas setiap delik, sanksi,
mekanisme, ganti rugi, dan siapa yang berhak untuk mengeksekusinya. Tetatpi,
kebanyakan delik adat di selesaikan menggunakan musyawarah dan mufakat
terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan adat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: Media


Sarana Press, 1987).
Bambang Waluyo, Relevansi Doktrin Restorative Justice Dalam Sistem
Pemidanaan di Indonesia (The Relevance of the Doctrine on Restorative
Justice in the Indonesian Sentencing System), Hassanuddin Law Review,
Volume 1, Nomor 2, 2015.
Budiyanto, Penerapan Keadilan Restoartif Dalam Penyelesaian Delik Adat,
Papua Law Journal, Volume 1, Nomor 1, 2016.
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993).
I Ketut Rai Setiabudhi, Sekitar Delik Adat, Makalah Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 1996.
Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jurnal Dinamika
Hukum Volume 12, Nomor 3, 2012, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
Lukas Sugiharto, Masih Eksiskah Karakter Bangsa (Indonesia), (s.l.: s.h., s.a.).
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangannya, dan
Problematikanya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Reimon Supesesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana di Maluku Tengah, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 24,
Nomor 1, 2012.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013).
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ersesco, 1990).
Warih Anjari, Eksistensi Delik Adat dan Implementasi Asas Legalitas Hukum
Pidana Materiil Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46,
Nomor 4, 2017.
Zulman Barniat, Otonomi Desa: Konsepsi Teoritis dan Legal, Jurnal Analisis
Sosial Politik, Volume 5, Nomor 1, 2019.

Anda mungkin juga menyukai