Anda di halaman 1dari 36

KEBERADAAN HUKUM ADAT DI DALAM PEMBANGUNAN HUKUM

DI SUSUN OLEH :

NAMA : NEWALDY FATIHA MUHAMAD NUR/ 21.01.0076.P-IH

PROGRAM STUDI: ILMU HUKUM


A. Pengertian dan Ruang Lingkup Masyarakat Hukum Adat

Pengertian adat adalah ”kebiasaan”. Istilah adat sendiri ada berbagai macam,

diantaranya adat (aceh), ngadat (gayo); lembaga/ adat lembaga (minang); adat

kebiasaan (minahasa/ maluku). Pengertian hukum adat menurut Ter Har, adalah

keputusan-keputusan para fungsionaris hukum. Sedangkan menurut Van V. Hoven,

hukum adat adalah aturan tingkah laku yang memiliki sanksi dan tidak

dikodifikasikan. Hukum adat merupakan hukum yang hidup (the lifing law), karena

aturan aturan yang berkembang tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya paksaan.

Pengertian masyarakat adalah suatu pergaulan hidup atau suatu kelompok manusia

atau kesatuan manusia yang hidup bersama menempati suatu wilayah, dan kehidupan

bersama itu merupakan suatu pergaulan hidup. Sedangkan pengertian masyarakat


hukum adalah sekelompok masyarakat yang hidup bersama, serta mempunyai tata

hukum yang sama, kewenangan atau otoritas hukum dan daya paksa. Menurut Ter

Har, masyarakat adalah kelompok masyarakat yang tetap dan teratur yang

mempunyai kekauasaan dan kekayaan sendiri serta dapat mengadakan hubungan

hukum dengan subyek hukum yang lain.

Pengertian masyarakat hukum adat, suatu kesatuan yang para anggotanya:

1. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar

2. Mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal. Di dalam masyarakatnya tidak ada

pikiran untuk membubarkan masyarakatnya tersebut.

3. Para warga menghormati kehidupan kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar.

Masyarakat hukum adat terbentuk secara alami (kodrat alam).

4. Mempunyai harta benda terpisah dari para warganya

5. Mempunyai kewibawaan dan daya paksa di dalam kreasi dan pembinaan

hukumnya (memiliki pranata dan sanksi).

B. Hak-hak Masyarakat Adat

Hak-hak masyarakat hukum adat adalah:


a. Hak perseorangan sebagai warga negara, sebagai warga negara, masyarakat hukum

adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya.

b. Hak kolektif sebagai Masyarakat hukum Adat. Sebagai suatu komunitas

antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya

baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturalnya maupun untuk

membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai

taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.

c. Hak atas Pembangunan. Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari hak-hak

atas pembangunan, yang menurut Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan,

1986 dan Konvensi ILO Tahun 1989 tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat

Hukum Adat di Negara Negara Merdeka. Yang secara menyeluruh terdiri dari:

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (rights of internal self determination)

2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation)

3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi. (rights to food,

health, habitat, and economic security)

4. Hak atas pendidikan (rights to education)


5. Hak atas pekerjaan (rights to work)

6. Hak anak (rights of children)

7. Hak pekerja (rights of workers)

8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat. (rights of minorities and indigenous

people)

9. Hak atas tanah (rights to land)

10. Hak atas persamaan (rights to equality)

11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection)

12. Hak atas pelayanan (rights to administrative due process)

13. Hak atas penegakan hukum (rights to the rule of law) .

Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan yang hal ini

berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau dirumuskan

berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga berkembang sehingga

menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat setempat.

Hukum Adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah.

Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari

beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.


Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang

menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati kesatuan

masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup serta sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI atau Negara Kesatuan

Republik Indonesia, seperti halnya yang diatur di dalam undang-undang.

Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika dibandingkan

dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena telah dilakukan secara

turun temurun oleh masyarakatnya.

Hukum adat lahir bersamaan dengan adanya manusia sebagai pembuatnya. Dimana

ada masyarakat disitu ada hukum (Ibi Ius Ibi Societas). Hukum hadir karena kodrat

manusia yang selalu hidup bersama atau berkelompok, sebagaimana yang dikemukan

oleh Aristoteles dalam karya ilmiah Muh Ruslan Afandy, yang menyatakan bahwa:1

Adanya hukum adat sebagai fondasi penting dari suatu sistem hukum pada

hakikatnya merupakan kesatuan atau himpunan dari berbagai cita-cita dan cara-cara

manusia yang berusaha untuk mengatasi masalah nyata maupun potensial yang

timbul dari pergaulan sehari-hari yang menyangkut kedamaian masyarakat itu sendiri.

Semakin kompleks susunan suatu masyarakat semakin luas dan mendalam pengaruh

hukum adat dalam mengatur kehidupan manusia. Pandangan Aristoteles tentang

hukum yang lahir bersamaan dengan adanya manusia sebagai pembuatnya dalam

konteks hukum adat dapat diartikan bahwa hukum adat tumbuh dan berkembang di

tengah-tengah masyarakat erat kaitannya dengan sistem-sistem nilai-nilai budaya, dan


tradisi masyarakat sebagai pembuatnya. Sehingga, hukum adat menjadi cita-cita

bersama demi menjaga kelangsungan hidup masyarakat yang menjamin ketentraman

dan demi melindungi kepentingan bersama.

Hukum adat menjadi indentitas bangsa Indonesia, hukum adat lahir bersamaan

dengan adanya nenek moyang bangsa Indonesia hingga masuknya kolonialisme

bangsa Eropa. Hukum adat tidak dapat tergoyahkan dengan munculnya hukum-

hukum baru yang lebih rasional akan pengaturannya dan lebih spesifik menjamah

segalah aspek kehidupan. Dominasi hukum positif membuat hukum adat kian

terpinggirkan. Namun, karena peran dan fungsinya masih dianggap penting sebagai

instrumen kontrol sosial, maka negara sebagai organisasi tertinggi tidak juga serta

merta mengesampingkan hukum adat begitu saja. Hukum adat tetap diakui negara

sebagai kontrol sosial masyarakat yang sangat penting dan nomor satu untuk

mengantisipasi dan mencegah konflik sosial yang ada di masyarakat. Untuk itu,

esensi dari pengertian hukum adat adalah membentuk masyarakat untuk saling

berinteraksi secara baik dan benar dan sebagai alat mengantisipasi benturan-benturan

sosial yang dapat melahirkan konflik. Keberadaan hukum adat tidak terlepas dari

konsensus bersama masyarakat yang diikuti dan dan ditaati secara bersama-sama.

Demi memahami bentuk hukum adat sebagai konsensus bersama, Dominikus Rato

mengemukakan pendapatnya tentang hukum adat sebagai konsensus bersama dan

juga sebagai ketaatan atau loyalitas masyarakatnya, dengan menyatakan bahwa,

Dalam menyelesaikan konflik yang timbul itulah mereka (masyarakat) secara


konsensus membentuk hukum adat dan menaatinya sebagi bentuk ketaatan mereka

atau loyalitas mereka terhadap solidaritas sosial. Kesadaran sosial memaksa mereka

untuk tunduk dan menerima, karena dalam hubungannya yang bersifat timbal balik

selalu saling membutuhkan satu terhadap yang lainnya sebagai bentuk perwujudan

masyarakat hukum adat. Ciri dari masyarakat hukum adat adalah bagaimana mereka

menaati dan loyal terhadap hukum yang mereka buat sendiri sebagai sarana untuk

mencegah konflik dan mempertahankan solidaritas sosial. Hukum adat membentuk

adanya hubungan timbal balik antar masyarakat, dan membentuk tingkat kesadaran

masyarakat agar hidup saling berdampingan satu dengan lainnya berdasarkan nilai-

nilai luhur budaya dan tradisi yang dianutnya. Eksistensi hukum adat memberi

pengaruh lebih dalam menyikapi persoalan bangsa. Oleh sebab itu, hukum adat

diartikan sebagai kaidah atau norma sosial yang mempunyai nilai-nilai luhur yang

berlaku dalam masyarakat yang kental dengan budaya dan tradisinya. Dapat pula

dikatakan bahwa, hukum adat itu merupakan pencerminan nilai-nilai luhur budaya

dan tradisi masyarakatyang menjadi pedoman atau rujukan untuk bertindak dalam

aktivitas sosial. Pada hakekatnya, hukum adat memiliki peran dan fungsi yang sama

seperti hukum positif. Hukum adat mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang

ada secara tuntas dengan sanksi-sanksi adatnya. Hukum adat mampu memfilter dan

menjadi sarana dalam menghambat setiap tindak pidana yang timbul dan yang akan

timbul. Dalam tataran implementasi, hukum adat dapat memberikan sanksi pidana

yang mengutamakan tujuan tercapainya kebersamaan dan menjunjung tinggi asas

kekeluargaan, daripada memegang teguh suatu ketentuan yang telah ditentukan olah
pemerintah dengan hukum positifnyayang cenderung mengabaikan kebersamaan dan

asas kekeluargaan.

Asas Legalitas dan Latar Belakang Pemberlakuan Hukum Pidana Adat

Asas legalitas merupakan bagian terpenting dari konsep hukum yang menjamin

kepastian hukum di dalam penerapan hukum itu sendiri. Asas legalitas menjadi dasar

yang menentukan sesorang dapat atau tidaknya dikenai sanksi pidana apabila

perbuatannya tersebut mengganggu ketentraman dan melahirkan konflik di tengah

masyarakat serta perbuatannya tersebut menyimpang dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Konsepasas legalitas merupakan suatu pengertian yuridis

yang memberi definisi di dalam penerapannya, seperti rumusan dalam pasal 1 ayat (1)

Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP), “tiada suatu perbuatan dapat

dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah

ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Rumusan pasal tersebut dimaksudkan untuk

memberi batasan-batasan penerapan hukum pidana, apakah perbuatan seseorang

tersebut dianggap menyimpang, namun belum ada pengaturannya di dalam peraturan

perundang-undangan, maka ia tidak dapat dipidana karena perbuatannya tersebut

belum diatur sebelumnya. Asas legalitas juga menjamin kebebasan individu untuk

bertindak di lingkungan sosialnya, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak

boleh dilakukan. Asas legalitas juga tidak hanya memberi batasan bertindak kepada

masyarakat, namun dapat melindungi masyarakat dari tindakan penguasa atau

pemerintah yang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak represif terhadap


masyarakat. Apabila aktivitas sosial di lingkungan masyarakat dianggap cakap dan

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka tidak dianggap

melakukan kejahatan atau pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai

derajat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukannya. Definisi lainnya adalah

selama perbuatan tersebut tidak ada hukum yang memberi label jahat atau melanggar,

maka kita memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas sosial kita di dalam

kehidupan masyarakat. Memahami asas legalitas atas tindakan atau perbuatan yang

dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan. Maka, sebagaimana yang dikemukakan oleh von Feurbach dalam bukunya

Moeljatno tentang “Asas-asas Hukum Pidana”, dengan menyatakan bahwa

Perumusan asas legalitas dalam bahasa latin berhubungan dengan teori “vom

psychologischen Zwang”, yaitu menganjurkan suapaya dalam menentukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja macamnya perbuatan yang

harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang

diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang melakukan perbuatan

yang dilarang tadi terlebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhi

kepadanya jika perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, di dalam batinnya, dalam

psychennya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau ia melakukan

perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai suda

disetujuinya sendiri. Jadi pendirian mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong

absolute (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution). Biasanya asas

legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum

dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; 2. Untuk menentukan adanya

perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias); dan 3. Aturan-aturan hukum

pidana tidak berlaku surut. Berdasarka ketiga makna asas legalitas yang dikemukakan

oleh von Feurbach, menjadi dasar untuk mengklasifikasikan perbuatan seseorangyang

dapat dijatuhi hukuman atau tidak. Apabila perbuatannya tersebut menyimpang dari

ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana, maka sangat patut untuk

sesorang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran wajib

mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Untuk itu, yang tidak boleh

dilupakan dari tujuan asas legalitas adalah untuk memperkuat kepastian hukum,

menciptakan keadilan bagi masyarakat dan memberi batasan bagi penguasa atau

pemerintah (aparat penegak hukum) dan memberi kedudukan yang sama atau

keseimbangan bagi siapapun.

Asas legalitas yang menjadi dasar dalam penerapan hukum entah itu dalam konteks

hukum pidana nasional atau pidana adat, maka berlakulah asas legalitas secara formil

yang bmenghendaki adanya aturan tertulis (perundang-undangan) untuk menentukan

suatu perbuatan sebagai tindak pidana (delik), sehingga atas dasar itu pula orang

dapat dihukum karena telah melakukan tindak pidana. Penganutan asas legalitas

secara formil mengandung implikasi untuk tidak memberi tempat bagi berlakunya

hukum pidana adat, sebab hukum pidana adat tidak tertulis dalam perundang-

undangan. Oleh karena itu orang tidak dapat dihukum oleh pengadilan karena telah
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana adat apabila perbuatan

tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana (delik) dalam undang-undang.

Dengan dalih ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat menjadi tidak tersalurkan dengan baik, bahkan ditolak. Kondisi seperti itu

dirasakan sebagai sesuatu yang sangat memprihatinkan, nilai-nilai hukum adat telah

“dibunuh” oleh bangsanya sendiri dengan “senjata” yang diperoleh dari sistem

hukum negara yang pernah menjajahnya. Namun di tengah berlakunya asas legalitas,

hukum pidana adat masih tetap menampakkan sosok dan eksistensinya sebagai

hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Aturan-aturan hukum pidana

adat di beberapa wilayah masih diikuti dan ditaati oleh masyarakat adatnya.

Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana adat masih dipandang sebagai sesuatu

yang dapat menimbulkan kegoncangan dan mengganggu keseimbangan kosmis

masyarakat. Penjelasan Elwi Danil tidak terlepas dari asas legalitas. Asas legalitas

menjadi sangat penting bagi penerapan hukum entah itu di dalam rana hukum adat

maupun hukum positif, hal tersebut dikarenakan asas legalitas mencakup aspek

hukum yang mampu menghadirkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum di

tengah masyarakat. Esensi lain dari penjelasan Elwi Danil dalam hal penerapan

hukum adat adalah adanya nilai-nilai hukum adat yang dipertahankan karena

memiliki sanksi hukum pidana adat yang masih diikuti dan ditaati oleh masyarakat

adat sampai sekarang.


Kedudukan Hukum Pidana Adat dalam Sistem Hukum Indonesia

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law),

yang pada dasarnya diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus,

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib

tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dapat

mengganggu keseimbangan sosial di dalam masyarakat. Sistem hukum adat itu

sendiri bagi pelaku tindak pidana yang melakukukan kejahatan dan pelanggaran

diberikan reaksi adat serta koreksi adat oleh pemerintah desa dan lembaga adat secara

musyawarah mufakat. Ada tiga hal penting tentang pengertian hukum pidana adat

yaitu:

1. Rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat

adat yang bersangkutan; 2. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dapat

menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu keseimbangan sosial; dan

3. Perbuatan melanggar tata tertib bagi yang melakukan kejahatan atau pelanggaran

tersebut dapat dikenakan sanksi pidana adat oleh lembaga adat dan pemerintah desa

secara musyawarah mufakat di lingkup peradilan adat. Memahami hukum adat yang

dikaitkan dengan peran asas legalitas yang memberi batasan-batasan tertentu maka,

dalam Marco Manarisip menyatakan bahwa,Asas legalitas dengan jelas memberi

batasan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk

menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan

hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya

dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun hukum adat
juga mempunyai peran dalam sistem hukum Nasional di Indonesia. Dalam Undang-

undang Dasar pasal 11 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar, maka “Segala badan

negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang

baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Keberadaan hukum adat dalam tata hukum

nasional di Indonesia akan tetap eksis. Dalam hal ini Soepomo memberikan

pandangannya sebagai berikut:

1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai

masyarakat Indonesia;

2. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat

bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana

akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan KUHP pidana

baru untuk negara kita

3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi

sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak ditetapkan oleh undang-undang.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu

daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat

yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka; dan

4. Keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat

dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah

hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
Apa yang disampaikan oleh Soepomo seperti yang dikutip dalam Marco Manarisip

pada substansinya mengaitkan hukum adat yang selalu hidup di dalam kehidupan

masyarakat Indonesia dan hukum adat yang memberi bahan- bahan berharga dalam

pembentukan KUHP pidana baru bagi negara, dengan alasan bahwa suatu prodak

pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keadaan

masyarakatnya. Legalitas hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia secara jelas

mengakui hukum adat sebagai instrument kontrol sosial masyarakat. Pengakuan akan

hukum adat ini terdapat dalam rumusanpasal 18 B ayat (2) Undang- Undang Dasar

1945 yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang- undang”. Dengan adanya pengakuan dan

penghormatan dari negara terkait dengan hukum adat yang hidup disuatu masyarakat

dengan balutan aspek budaya dan tradisi yang begitu kental, menjadikan hukum adat

memiliki legalitas yang dapat dijadikan rujukan dalam sistem hukum Indonesia demi

pembangunan penegakan hukum dan pemenuhan hakikat hukum yang berkepastian,

berkemanfaatan dan berkeadailan. Aspek penting pengakuan hukum adat oleh negara

tadi bukan tanpa alasan maupun tujuan tertentu.Selain sebagai masukandan bahan-

bahan hukum yang berharga dalam pembentukan KUHP pidana baru bagi negara,

hukum adat juga sebagai dasar putusan perkara dalam hal ini seorang hakim yang

secara jelas dikatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan hakim selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan

perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis. Penemuan

nilai-nilai keadilan oleh hakim akan menjadi keyakiannya dalam memutus perkara

dengan melibatkan hukum adat tersebut menunjuhkan hukum adat ditempatkan oleh

negara sebagai salah satu alat untuk menemukan nilai dan tujuan keadilan yang

menjadi tujuan utama dalam praktik penegakan hukum demi menjaga kelangsungan

hidup masyarakat agar senantiasa tentram.

Peran Hukum Adat dalam Pembentukan Hukum Nasional

.Hukum adat telah terlebih dahulu eksis mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat

Indonesia dan tentu dalam batas yuridiksi masyarakat hukum adat tempat dimana

hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Hukumadat berkembang sebagai dualisme

hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh hukum sipil kolonial Belanda

merasuk jauh kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi itulah yang

kemudian dipulihkan kembali setelah Indonesia merdeka yang ditandai dengan

diakuinya keberadaan hukum adat dalam tatanan hukum Nasional. Dengan adanya
berbagai hukum yang mengatur kehidupan dalam masyarakat negara, maka skenario

pembangunan hukum dan bagaimana membentuk keharmonisasi hukum jelas

merupakan suatu masalah yang kompleks dan sangat berpengaruh pada efektifitas

hukum. Hukum adat sebagai salah satu wujud pluralisme hukum dalam memberikan

sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, permasalahan lebih

kompleks dibanding negara-negara lain. Ini terutama karena banyak ragamnya

komunitas masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing. Kalau pun

hukum-hukum adat itu akan diakamodir dalam hukumnasional. Selain

keberlakuannya sangat terbatas pada teritorial masyarakat adat itu sendiri. Dalam

hubungan itu tidaklah menjadikan hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai.

Eksistensi hukum adat disamping hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting

apabila hukum dipahami dalampengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses

pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang

secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk

masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-

mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana

pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospil, 1967:26; Bohannan,

1967:48). Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional Indonesia selamai ini pada

dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem

hukum barat, hukum adat dan sistem hukum islam, yang masing-masing menjadi

subsistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Apabila sistem hukum Barat

merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah
Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara

Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar- dasar alam pikiran bangsa Indonesia,

dan untuk dapat menyadari akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-

dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana telah

disinggung sebelumnya, bahwa hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat

pluralistik dan dengan memberikan pengertian hukum yang luas. Dalam hubungan ini

apa sebenarnya hukumadat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam

konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa pengertian hukum harus dibedakan

dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum

mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah

peraturan hukumyang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan

dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma

yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.

Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum,

tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti,

peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam

bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar

individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam

kehidupan masyarakat (1967:45). Sementara itu Pospisil (1967:25-41;1971:-95)

menyatakan, bahwa hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang

mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana

pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk


membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama

mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka

peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yang salah

satunya disebut dengan Atribut Otoritas (Attribute of Authority ), yaitu peraturan

hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan

sengketa atau ketegangan sosial dalammasyarakat, karena adanya ancaman terhadap

keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otoritas, atau ancaman

terhadap kepentingan umum. Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum

yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas

diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer),

yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-

keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang

tidak berkaitan dengan sengketa (I Nyoma Nurjaya, 30/7/11:4). Apa yang

dikemukakan di atas, tidaklah dimaksudkan untuk menyatakan hukum adat sebagai

hukum yang sempit, tetapi dalam suatu masyarakat yang pluralistik, untuk

mewujudkan suatu efektiftas hukum adalah bukan pekerjaan mudah. Hukum

nasional, tidak selamanya akan efektif ketika berhadapan dengan suatu lingkungan

masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum adatnya, sekalipun

bertentangan dengan hukum negara. Karena itu adakalanya hukum adat lebih efektif

mewujudkan pencapaian pembangunan sosial- budaya, ekonomi, politik dan

pemerintahan dibanding hukum nasional. Oleh sebab itu, pemberlakuan sentralisme

hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan
budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Pluralisme hukum merupakan suatu

keadaan yang tidak bisa ditolak di Indonesia oleh siapapun juga, termasuk oleh

pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya konstitusi justru memberikan jaminan akan

adanya keberagaman hukum itu di Indonesia dan memberikan pengakuan

konstitusional terhadap hak asasi masyarakat adat. Sejak Indonesia berdiri sebagai

negara berdaulat, hukum adat menempati perannya sendiri dan

dalamperkembangannya, hukum adat justru mendapat tempat khusus dalam

pembangunan hukum nasional. Dalambeberapa tahun belakangan dalam

pembentukan hukum negarapun , kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan local)

yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam

pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan undang-undang maupun dalam

pembentukan peraturan daerah. Konsep pluralisme hukum tidak lagi berkembang

dalam ranah dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan

sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi lain. Pada

tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi

dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma,

proses, dan institusi hukum dalam masyarakat (Riffeths, 1986:4). Dengan perspektif

hukum adat sebagai salah satu dari wujud pluralisme hukum dalam memberikan

sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia pluralisme dalam

perspektif hukum adat lebih menunjukkan persoalan, permasalahan lebih kompleks

dibandingkan dengan negara lain, untuk itu menarik untuk diungkapkan teori hukum

sebagai suatu sistem (the legal system) yang diintruksi friedman seperti berikut: 1.
Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur

sistem hukum(strukture of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-

undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan

dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak

hukum; (b) substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-

norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat

yang berada dibalik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture)

seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan,harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang

terwujud dalam perlaku masyarakat dalammepersepsikan hukum. 2. Setiap

masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah

substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah

sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah

hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan

(customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma- norma informal

(informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang

bersangkutan (1984:5-7). Dalam konteks Indonesia, hukum adat sesungguhnya

adalah sistem hukum rakyat (folk law) khas Indonesia sebagai pengejawantahan dari

the living law yang tumbuh dan berkembang berdampingan (co-existance) dengan

sistem hukum lainnya yang hidup dalam negara Indonesia. Walau pun disadari

hukum negara cenderung mendominasi dan pada keadaan tertentu terjadi juga, hukum

negara menggusur, mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat

lokal dan sistem hukum rakyat (adat) pada tatanan implementasi dan penegakan
hukum negara. Dengan memahami beberapa hal di atas dan dengan ada kebijakan

dalam pembentukan undang-undang di Indonesia yang harus memperhatikan kearifan

lokal, maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik

berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Sebenarnya dalam masyarakat adat di

Indonesia tidak dikenal istilah “hukum adat” dan masyarakat hanya mengenal kata

“adat” atau kebiasaan. Istilah “hukum adat” dikemukakan pertama kali oleh Cristian

Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang aceh),

yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul

“Het Adat Recht van Nederland Indie”. Pemerintah kolonial Belanda kemudian

mepergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun 1929 dalam

peraturan perundangan-undangan Belanda. Untuk melakukan kajian terhadap masa

depan hukum adat di Indonesia pasca reformasi, maka ada baiknya kita review

kembali apa yang dimaksud dengan hukum adat itu. Menurut B. Terhaar Bzn, hukum

adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari

kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Dalam konteks ini

Terhaar terkenal dengan teori “keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah

sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap

penguasa hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Bahkan, keberadaan

hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat

adat yang antara lain menyatakan: mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga

negara masyarakat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia

yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-
hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan

pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat adat mempunyai

hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda dibidang politik,

hukum, ekonomi, sosial dan institusiinstitusi budaya, seraya tetap mempertahankan

hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam

kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara. Oleh sebab itu, dalam upaya

melakukan reformasi hukum di Indonesia, tentu janganlah dilupakan terutama

berkaitan dengan menentukan paradigma pembaharuan konsepsi pembangunan

hukum ada nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat adat yang diakui secara

konstitusional dan dalam deklarasi PBB. Deklarasi PBB tersebut tidak terlepas dari

adanya indikasi, bahwa dibagian dunia banyak masyarakat hukum adat ini tidak dapat

menikmati hak-hak asasi mereka sederajat dengan penduduk lainnya di negara tempat

mereka tinggal, dan bahwa undang-undang, nilai-nilai, adat-istiadat, dan sudut

pandang mereka sering kali telah terkikis. Dalam konvensi masyarakat hukum adat

1989 itu dinyatakan pula, bahwa masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka

yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan dari penduduk yang

mendiami negara yang bersangkutan, atau berdasarkan wilayah geografis tempat

negara yang bersangkutan berada pada waktu penaklukan atau penjajahan atau

penetapan batas-batas negara saat ini dan yang tanpa memandang status hukum

mereka tetap mempertahankan beberapa atau institusi sosial, ekonomi, budaya dan

politik mereka sendiri. Artinya, dimasa depan eksistensi hukum adat tidak hanya

menjadi perhatian pembangunan hukum nasional, tetapi sekaligus akan menjadi


pertimbangan-pertimbangan dalam pergaulan dunia internasional. Karena itu di

dalam pembangunan hukum nasional, pemerintah harus memberikan tempat kepada

tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang baik. Dengan deklarasi masyarakat

hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi dasar bagi suatu negara, termasuk

Indonesia dalam menekan penetrasi internasional, pada saat mana hukum nasional

berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan dunia internasional. Bahkan

konvensi masyarakat hukum adat itu menegaskan, pemerintah mempunyai tanggung

jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang

bersangkutan, aksi yang terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak dari

masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka.

Bagaimana kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan

penegasan dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu terimplementasikan di

Indonesia, pada satu sisi selama ini hanya terlihat dalam beberapa peraturan

perundang-undangan dan belum ada suatu ketentuan yang mengharuskan adanya

kesadaran untuk memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat dalam setiap kali

terjadi pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan keika pembaharunan

hukum di Indonesia masih merupakan sub-sistemdari pembangunan politik, yang

dirasakan hukum cenderung sebagai alat kekuasaan. Berdasarkan ketentuan Undang-

undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan

setidaknya memberikan jaminan akan terpeliharanya nilai-nilai yang terdapat dalam

masyarakat hukum adat atau terpelihara hukum adat Indonesia. Dalam hubungan ini,

selain dalam pembentukan hukumnasional diintrodisirnya sejumlah asas-asas


pembentukan peraturan perundang-undang jelas akan mempengaruhi pembentukan

hukum di Indonesia di masa datang., termasuk dampaknya terhadap hukum adat.

Pembentukan undang-undang sebagai salah satu bagian dari sistem hukum, yang

berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, maka materi muatan peraturan perundang-

undangan mengandung beberapa asas yang antara lain adalah asas bhineka tunggal

ika. Asas materi muatan peraturan undang-undang ini, mengandung makna yang luas,

dan sekaligus mengisaratkan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Asas Bhineka

Tunggal Ika tersebut integral dengan asas hukum adat dapat dilaksanakan, dimana

setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas peraturan perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridis maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami, hukum negara

bisa jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan keberadaan hukum

adat suatu masyarakat. Dilain pihak, sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan

Otonomi Daerah, maka daerah dapat mengakomodir hukum-hukum adat yang

terdapat dalam wilayah teritorialnya dalam peraturan daerah. Setidaktidaknya

peraturan daerah memberi legitimasi tentang keberlakuan hukum adat dalam wilayah

teritorialnya baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Bahkan pada tingkat

pemerintanhan yang lebih kecil lagi seperti pemerintahan Nagari di Sumatera Barat,

pemeritahan Nagari dapat menuangkan hukum adatnya yang tidak tertulis kedalam

bentuk tertulis melalui Peraturan Nagari. Peraturan perundang-undang nasional yang

mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundang-undang ditingkat daerah

maupun pemerintahan paling bawah sangatlah terbuka dan akomodatif bagi


perkembangan dan pertumbuhan hukum adat dan tidak tertutup kemungkinan hukum

adat yang biasanya tidak tertulis akan berkembang secara perlahan-lahan secara

tertulis.

Dasar berlakunya Hukum Adat

a. Dasar Filosofis Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat

adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan

sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong

royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan

kristalisasi dari Hukum Adat. Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi

filosofis Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai

dengan perkembangan jaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila seperti juga yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 hanya

menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945

RI. Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-

pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah

Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi

hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat

menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan

mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero,

1983:14). Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang
berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa

Indonesia.

Dasar Sosiologis

Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem, artinya bahwa

hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri

dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya

(Mertokusumo, 1986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu

kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama

lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum

nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional.

Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu

sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan

lengkap. Dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat

dibedakan menjadi hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam

perundangundangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum

kebiasaan). Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi

hukum yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) dan

ada hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai

contoh Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis

yaitu dengan diundangkannya dalam lembaran negara. Hukum tertulis dibuat ada

yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the
living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat. Hukum tertulis yang

diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian

dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup

(the living law). Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan

dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak

dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law.

Salah satu contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil. Hukum

Adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya

seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh

masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan

sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan

dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah

untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu : People

law, Indegenous law, unwriten law, common law, customary law dan sebagainya.

. Dasar Yuridis

Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai

Peraturan Perundang- undangan. Mempelajari segi yuridis dasar berlakunya


Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di

Indonesia (Saragih, 1984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua

periode yaitu pada Jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan Jaman

Indonesia Merdeka[1]. 1. Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)

Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat

peraturan Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-

peraturan sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu

sebelum penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun

1925 diundangkan dalam Stb. No. 415 Jo. 577 berlaku mulai 1 Januari 1926

dimasukkan dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeleing) lengkapnya Wet Op

De Staatsinrichting Van Nederlands Indie. 2. Jaman Kemerdekaan Indonesia -

Ketentuan UUD 1945 Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar NRI

1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.

Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang memeperkuat

berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain: 1. Ketetapan

MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa:

- Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan

berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat

adil dan makmur. - Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat

diperhatikan kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam


pemyempurnaan UU hukum perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan

faktor-faktor agama, adat dan lain-lain. 2. UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang

tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan

acara pengadilan sipil.

. Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat

1. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh

bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada

Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan

timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam

pembinaan hukum.

2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum

Nasional pada dasarnya berarti : - Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas

hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang

memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka

membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan

Undang-Undang Dasar. - Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang

dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri

dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya. - Memasukkan konsep-konsep dan

azas-azas hukum adat ke dalam lembagalembaga hukum dari hukum asing yang

dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional,

agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


3. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan

salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum

kewarisan nasional merupakan intinya.

4. Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum

adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum

nasional.

Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita

pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat

disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya

mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang

memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa,

yang hidup dalam nilainilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Pada tataran praktis

bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak

Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan,

yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Ada 4 pokok pikiran dalam

pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal

ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok

pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda
dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik

dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan tuntutan dan

perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok

Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas

kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat

fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan

pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan

perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam

menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik.

Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin

publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran,

berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah:

negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita

hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia,

masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya

semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai

fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang

maha Esa. Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui

sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2)

yang menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup


dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional

Untuk mengetahui peranan hukum adat dalam pembentukan / pembangunan

hukum nasional, maka harus diketahui nilai-nilai sosial dan budaya yang menjadi

latar belakang hukum adat tersebut, serta perannya masing masing yaitu:

(Soerjono Soekanto,1976,h.200). 1. Nilai - nilai yang menunjang pembangunan

(hukum), nilai – nilai mana harus dipelihara dan diperkuat.

2. Nilai - nilai yang menunjang pembangunan (hukum ), apabila nilai-nilai tadi

disesuaikan atau diharmonisir dengan proses pembangunan.

3. Nilai - nilai yang menghambat pembangunan(hukum), akan tetapi secara

berangsur – angsur akan berubah karena faktor – faktor lain dalam pembangunan.

4. Nilai-nilai yang secara definitif menghambat pembangunan (hukum) oleh

karena itu harus dihapuskan dengan sengaja. Dengan demikian berfungsinya

Hukum Adat dalam proses pembangunan / pembentukan hukum nasional adalah

sangat tergantung pada tafsiran terhadap nilainilai yang menjadi latar belakang

hukum adat itu sendiri . Dengan cara ini dapat dihindari akibat negatif , yang

mengatakan bahwa hukum adat mempunyai peranan terpenting atau karena

sifatnya yang tradisional,maka Hukum Adat harus ditinggalkan. Dalam

kepustakaan memang dikemukakan adanya tiga golongan pendapat yang

menyoroti kedudukan hukum adat pada masa sekarang, yaitu:


1. Golongan yang menentang Hukum Adat, yang memandang Hukum Adat,

sebagai hukum yang sudah ketinggalan jaman yang harus segera ditinggalkan

dan diganti dengan peraturan – peraturan hukum yang lebih modern. Aliran ini

berpendapat bahwa hukum adat tak dapat memenuhi kebutuhan hukum di masa

kini, lebih – lebih untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan modern.

2. Golongan yang mendukung sepenuhnya terhadap hukum adat. Golongan ini

mengemukakan pendapat yang sangat mengagung-agungkan Hukum Adat ,

karena hukum adat yang paling cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia

sehingga oleh karenanya harus tetap dipertahankan terus sebagai dasar bagi

pembentukan Hukum Nasional.

3. Golongan Moderat yang mengambil jalan tengah kedua pendapat golongan

diatas. Golongan ini mengatakan bahwa hanya sebagian saja dari pada hukum

adat yang dapat dipergunakan dalam lingkungan Tata Hukum Nasional,

sedangkan untuk selebihnya akan diambil dari unsur - unsur hukum lainnya.

Unsur-unsur hukum adat yang masih mungkin dipertahankan terus adalah

berkenaan dengan masalah hukum kekeluargaan dan hukum warisan, sedangkan

untuk lapangan hukum lainnya dapat diambil dari unsur-unsur bahan – bahan

hukum yang berasal dari luar, misal hukum barat. Dari pendapat ketiga golongan

tersebut , kami menyetujui pendapat golongan yang ketiga (golongan moderat),

sebab memang dalam kenyataannya banyak ketentuan hukum adat yang tidak

sesuai dengan tuntutan jaman modern., akan tetapi yang perlu diperhatikan disini

ialah bahwa asas- asas Hukum Adat bersifat universal harus tetap mendasari
Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka menuju kepada tata hukum nasional

yang baru, walaupun asaa-asas dan kaidah-kaidah baru akan lebih mendominasi

hukum nasional, seperti apa yang dikatakan oleh Soetandjo Wignjosoebroto :

“Hukum Nasional tak hanya hendak merefleksi pilihan atas kaidahkaidah hukum

suku / lokal atau hukum tradisional untuk menegakkan tertib sosial masa kini,

akan tetapi juga hendak mengembangkan kaidah-kaidah baru yang dipandang

fungsional untuk mengubah dan membangun masyarakat baru guna kepentingan

masa depan. Maka kalau demikian halnya, asas – asas dan kaidah-kaidah hukum

baru akan banyak mendominasi hukum nasional”. Kemudian dalam meninjau

sumbangan Hukum Adat dalam pembentukan hukum nasional, perlu disimak

pula pandangan Paul Bohannan , yang menyatakan bahwa hukum itu timbul dari

pelembagaan ganda , yaitu diberikannya suatu kekuatan khusus, sebuah senjata

bagi berfungsinya pranata-pranata “adat istiadat “: perkawinan, keluarga, agama.

Namun ,ia juga mengatakan bahwa hukum itu tumbuh sedemikian rupa dengan

ciri dan dinamikanya sendiri. Hukum membentuk masyarakat yang memiliki

struktur dan dimensi hukum: hukum tidak menjadi sekedar pencerminan, tetapi

berinteraksi dengan pranata-pranata tertentu. Selanjutnya ia berpendapat bahwa

hukum secara istimewa berada diluar fase masyarakat , dan proses inilah yang

sekaligus merupakan gejala sebab dari perubahan sosial (Lihat. Mulyana W.

Kusumah dan Paul S. Baut, 1988,h.198). Pandangan Bohannan tersebut berguna

untuk menyangkal keunggulan peraturan hukum, untuk memahami sifat umum

dari masyarakat-masyarakat yang tidak stabil atau mengalami kemajuan.


Disamping itu juga merupakan abstraksi untuk merumuskan hakekat abadi

hukum itu dengan pengandaian kebenaran yang belum pasti . Hukum tidak

memiliki hakekat seperti itu tetapi mempunyai sifat historis yang dapat

dirumuskan .

Anda mungkin juga menyukai