Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

MENINGITIS

Pembimbing:
dr. Helda Juliani Siahaan Sp.S

Disusun Oleh
Rembran Ahmad
102121105

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT Hj. BUNDA HALIMAH
KOTA BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini dengan judul:
“Meningitis”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Syaraf di RS Hj. Bunda Halimah
Batam.
Penyelesaian referat ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada dr. Helda Juliani Siahaan,
M. Ked (Neu), Sp. S, teman sejawat, dan berbagai pihak lainnya yang tidak dapat saya sebut satu
per satu. Terima kasih saya ucapkan atas seluruh bimbingan dan pengarahan kepada penulis,
selama menimba ilmu di Stase Ilmu Penyakit Syaraf, RS Hj. Bunda Halimah Batam dan dalam
menyusun referat ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
saran dan kritik sangat diharapkan. Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga refrat ini dapat disetujui dan ada
manfaatnya dikemudian hari. Pada akhir kata, semoga referat ini dapat memperluas wawasan
pembaca serta teman-teman sejawat

Batam, 23 Februari 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1


DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6
A. DEFINISI .............................................................................................................. 6
B. FAKTOR RISIKO ................................................................................................ 7
C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ....................................................................... 8
D. EPIDEMIOLOGI ................................................................................................. 12
E. ANATOMI DAN FISIOLOGI ............................................................................. 14
F. PATOFISIOLOGI ................................................................................................ 21
G. MANIFESTASI KLINIS ...................................................................................... 24
H. PENEGAKAN DIAGNOSIS................................................................................ 26
I. PENATALAKSANAAN ....................................................................................... 34
J. DIAGNOSIS BANDING ...................................................................................... 40
K. KOMPLIKASI ...................................................................................................... 40
L. PROGNOSIS ......................................................................................................... 40
M. PENCEGAHAN MENINGITIS .......................................................................... 42
BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 46

3
BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula
spinalis yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis.
Meningitis juga merupakan kasus kegawatdaruratan dibidang neurology
sehingga diperlukan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin untuk
mengurangi angka kematian dan kecacatan. Pada umumnya meningitis
disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges melalui
pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa,
fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
Akan tetapi meningitis dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan
subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya.

Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras


kulit hitam lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih.
Pada sebagian besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak
dibawah usia 5 tahun dan orang tua diatas usia 60 tahun. Insidens rate
meningitis akibat bakteri di Amerika Serikat mengenai 3 per 100.000 penduduk
pertahun, sedangkan karena virus di Amerika Serikat 10 per
100.000 penduduk pertahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian
akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang
terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan
meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh
kematian akibat penyakit menular.
Infeksi SSP merupakan kesehatan serius yang perlu segera diketahui dan
diobati untuk meminimalkan gejala sisa neurologis yang serius dan
memastikan keselamatan pasien, salah satunya adalah meningitis. Meningitis
adalah infeksi pada selaput pelindung yang mengelilingi otak dan sumsum
tulang belakang (meninges). Selaput pelindung otak adalah selaput durameter,
arachnoid, dan piameter. Selain selaput, infeksi ini juga melibatkan cairan
4
serebrospinal yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Meningitis
dapat menjadi serius bila tidak ditangani dengan cepat. Hal ini menyebabkan
kerusakan permanen pada saraf dan otak. Meningitis disebabkan oleh bakteri,
virus, atau jamur. Infeksi pada meninges menunjukkan gejala kaku kuduk,
sakit kepala, demam, sedangkan bila parenkim otak yang terkena akan
memperlihatkan penurunan tingkat kesadaran, kejang, defisit neurologis fokal,
dan kenaikan tekanan intracranial. Meningitis dapat menyerang siapa saja,
tetapi paling sering terjadi pada bayi, anak- anak, remaja, dan dewasa muda.
Meningitis dibagi mejadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah kuman Mikobakterium tuberkulosa penyebab lainnya seperti virus,
Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia. Meningitis purulenta atau meningitis
bakterial adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat
berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Meningitis Neisseria meningitis (meningokokkus) merupakan meningitis
purulenta yang paling sering terjadi.

Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus


menjadi perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena
itu pemahaman yang baik tentang etiologi dan patofisiologi meningitis
merupakan bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga medis lainnya
dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Meningitis

Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan


medula spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus,
atau jamur) tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan
subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya.

Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk


durameter, arachnoid, dan piameter yang melapisi otak dan medulla spinalis
yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi dan dapat diidentifikasi oleh
peningkatan kadar leukosit dalam liquor cerebrospinal (LCS) (Dewanto
dkk, 2009).

Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang


ditandai dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang
melapisi otak dan sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak
dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:

1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.

2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip


sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak
yang mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut
leptomeninges. Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak
pembuluh darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada
meninges.
Susunan syaraf pusat dan selaput pembungkusnya yang terlindungi
dengan baik oleh tulang tengkorak dan tulang belakang oleh sebab tertentu
dapat mengalami inflamasi sehingga menyebabkan berbagai macam
manifestasi klinis. Inflamasi yang terjadi pada selaput otak dan sumsung
tulang belakang atau meninges disebut meningitis. Pada umumnya
6
meningitis disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi
meninges melalui pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus,
bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering
adalah virus dan bakteri tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia,
perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya. Membran yang
melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu
durameter, Arachnoid, Piameter. Gabungan antara lapisan arachnoid dan
piameter disebut leptomeninges. Ruang-ruang potensial pada meninges
dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting dalam
penyebaran infeksi pada meninges (Dewanto dkk, 2009).

B. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya meningitis :2


1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun

2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh

3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal

4. Infeksi HIV

5. Anemia sel sabit dan splenektomi

6. Alkoholisme,sirosish

7. Talasemia mayor

8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis

9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi

10. Ventriculoperitoneal shunt

7
C.Etiologi dan Klasifikasi Meningitis
1 Etiologi terjadinya meningitis, yaitu:

 Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun

 Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh

 Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal

 Infeksi HIV

 Anemia sel sabit dan splenektomi

 Alkoholisme, sirosis patis

 Talasemia mayor

 Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis

 Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi

Ventriculoperitoneal shunt (Johnson, 2010).

2 Klasifikasi terjadinya meningitis, yaitu:

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang


terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun
virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang
paling sering terjadi.
1. Berdasarkan perubahan yang teradi pada cairan otak:
 Meningitis Serosa
Meningitis Serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang
meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling
sering dijumpai adalah Mybacterium tuberculosa. Penyebab lainnya
Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

8
 Meningitis Purulenta
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis
yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Penyebabnya antara lain:
Diplococcus pneumonia (pneumokokus), Neisseria meningitis
(meningokokus), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella pneumniae,
Peudomonas aeruginosa (Mardjono dkk, 2013).

Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman


mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu :

11. Meningtis virus


12. Meningitis bakteri
13. Meningitis spiroketa
14. Meningitis fungus
15. Meningitis protozoa dan
16. Meningitis metazoa

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan


meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Agen infeksi
meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu,
yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh Escherichia Coli,
Streptococcus beta haemoyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan umur
dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus
dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus
Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan
Listeria. Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh
virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa
sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan
yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus, sedangkan Herpes
9
simplex, Herpes zoster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab
meningitis aseptik (viral).
a. Virus:
Meningitis virus tidak melibatkan jaringan otak pada proses
peradangan. Gejalanya ringan sehingga diagnosis meningitis virus
luput dibuat. Tetapi, pada lumbal fungsi ditemukan pleitosis limfositer.
Entero virus merupakan penyebab utama meningitis viral sedangkan
sebagian dari entero virus mengakibatkan enchepalitis. Maka
meningitis virus yang paling berat selalu merupakan komponen
meningioenchepalitis. Gejala-gejala beratnya sakit kepala dan nyeri
kuduk. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni:
 Virus Mumps
 Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, Herper simplexs,
Varicella-zoster, Measles, dan Influenza
 Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya
(Arboviruses) (Dewanto dkk, 2009).
b. Bakterial:
Bakteri meningitidis sangat serius dan dapat mematikan.
Kematian dapat terjadi hanya dalam beberapa jam. Namun banyak juga
pasien meningitis yang sembuh, cacat permanen seperti hilangnya
pendengaran, kerusakan otak, dan ketidakmampuan belajar akibat dari
infeksinya. Meningitis bakterial akut selalu bersifat purulenta.
Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari Otitis Media. Ada
beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan meningitis, seperti
streptococcus pneumonia, grup B Streptococcus, Neisseria
meningitidis, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes.
Sebagian besar kasus meningitis pada periode neonatus disebabkan
oleh flora dalam saluran genitalia ibu. Streptococcus grup B berkapsul
dan Escherichia coli, khususnya merupakan pathogen penting bagi
kelompok usia ini. Pada anak usia 6 bulan atau lebih. Haemophillus
influenza dahulu merupakan penyebab sebagian meningitis (Dewanto
dkk, 2009).

10
c. Jamur:
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari dua kelompok
yaitu, Jamur patogenik dan portunistik. Jamur patogenik adalah
beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi manusia normal setelah
inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan penyakit
kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang
infeksi jamur dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik
menyebabkan histoplasmosis, blastomicosis, coccidiodomicosis dan
paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah kelompok jamur
appostunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang buruk. Penyakit yang termasuk disini
adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis
(phycomycosis) dan nocardiosis (Dewanto dkk, 2009).
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan
meningitis akut, subakut dan kronik biasa pada anak dengan
imunosupresi terutama anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga
pada pasien yang imunokompeten. Streptococcus Neoformans dan
coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada
pasien imunokompeten. Meningitis Kripticoccus yang disebabkan oleh
jamur Kripticoccus. Jamur ini bisa masuk ke tubuh kita saat kita
menghirup debu atau tahi burung yang kering. Kripticoccus ini dapat
menginfeksi kulit, paru, dan bagian tubuh lain. Meningitis Kripticoccus
ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 dibawah 100.
Diagnosis: Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat di tes
untuk Kripticoccus dengan dua cara. Tes yang disebut “CRAG”
mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh Kripticoccus. Tes
biakan mencoba menumbuhkan jamur Kripticoccus dari contoh cairan.
Tes CRAG cepat dilakukan dan dapat memberi hasil pada hari yang
sama. Tes biakan membutuhkan waktu seminggu atau lebih untuk
menunjukan hasil positive. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat
di tes secara cepat bila diwarnai dengan tinta india (Dewanto dkk,
2009).

11
D. Epidemiologi

a. Orang/Manusia

Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya


meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.

Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di


negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan,
sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus
influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis
Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia < 5
tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan vaksin,
Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.00

b. Tempat

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-


ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp
tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA.6 Penyakit meningitis
banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada
negara maju.

Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African


Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai
ke Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara
sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000 penduduk dan diselingi
dengan KLB besar secara periodik. Di daerah Malawi, Afrika pada tahun
2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus
influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.

c. Waktu
12
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana
kasus- kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan
Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim
dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya
terjadi pada musim panas.

Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering


terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering
terpapar agen pengantar virus.

d. Agen Infeksi

Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus.


Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan meningitis
serosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosadanvirus

Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan


jemaah haji dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh
Neisseria meningitidis serogrup A, B, C, X, Y, Z dan W 135. Grup
A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan
Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama
sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah
meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama ibadah
haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup
W135 dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis
Meningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan oleh
serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A, B, dan C paling
banyak menimbulkan penyakit. Meningitis karena virus termasuk
penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakit flu biasa dan umumnya
penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi KLB Mumps,
virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B
merupakan penyebab dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus
dan Enterovirus merupakan penyebab dari 50% kasus.
13
E. Anatomi dan Fisiologi

a. Meninges

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti oleh meninges yang


berasal dari mesodermal. Fungsinya yang melindungi struktur saraf,
membawa pembuluh darah dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan
serebrospinal. Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri
dari jaringan ikat yang membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun
atas 3 lapis yaitu :

Gambar 1. Struktur Meninges (diambil dari kepustakaan 17)

Sumber: Chalik, Raimundus. (2016). Buku Anatomi Fisiologi Manusia.


14
Cetakan Pertama, Desember 2016. Hal: 57.
i. Dura Mater

Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah
sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan
luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari
mesenkim.

ii. Arachnoid

Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura


mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan
piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang
berisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang
ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma.
Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak. Arachnoid terdiri
atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel
selapis gepeng seperti dura mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih
sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada
beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk juluran-juluran
yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi
oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk
menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.

iii. Pia Mater

Terdiri dari lapisan-lapisan tipis mesodermal yang menyerupai


endothelium. Piameter menyelipkan dirinya ke dalam sulkus otak (Johnson,
2010).

Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia

15
tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen
neural terdapat lapisan tipis cabang- cabang neuroglia, melekat erat pada pia
mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat
yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri seluruh
lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak
tertentu bersama pembuluh darah. pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang
berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam
susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkusolehperluasancabangneuroglia

16
Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya (diambil dari
kepustakaan 11)

b. Sawar Darah Otak

Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah


masuknya beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin
bakteri dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini terjadi akibat
kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah jaringan saraf. Taut
kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini secara sempurna
merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak
bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel pinositotik di sini. Perluasan
cabang sel neuroglia yang melingkari kapiler ikut mengurangi
permeabilitasnya.Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal
serta cairan otak. Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran
kapiler jaringan, pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa
daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat berdifusi
dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah otak pada
umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida,

17
oksigen, dan sebagian besar zat larut lipid, seperti alkohol dan zat
anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti natrium, klorida, dan
kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap protein plasma dan banyak
molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid.

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak (diambil dari


Kepustakaan 12)

Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa


lumen kapiler darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh :12

i. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell),


disatukan oleh tight juction.
ii. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit

iii. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

18
Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (diambil dari
kepustakaan 12)

c. Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel
ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang
berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater,
dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki
karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid
adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit
bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis,
ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Ia penting untuk metabolisme
susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan
dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-
1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat
beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan
serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki

19
ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk
absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena.

Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan


aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan
disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.

Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal (diambil dari kepustakaan 11)

20
F. Patofisiologi

a. Meningeal Invasion

Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum


diketahui sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan pejamu, agen
infeksi dan faktor lingkungan. Pada bayi yang belum menghasilkan antibody
spesifik dapat mudah terkena meningitis oleh bakteri gram negatif,
sedangkan pada bayi yang agak besar telah kehilangan IgG yang
diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi meningokokus dan
H. Influenzae. Pada orang dewasa dengan gangguan sistem imun seperti
pada keganasan sistem retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi
susunan syaraf pusat. Konsentrasi kuman yang tinggi didalam darah akibat
suatu infeksi dibagian lain tubuh atau karena proses transmisi kuman karena
kontak antar individu dapat menyebabkan invasi kuman pada meninges.
Virus setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu dapat
bereplikasi dan menyebar yang kemudian menyebabkan destruksi sel
pejamu.

Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran


penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar
secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,
Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran
bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau
komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.

21
b. Induksi Inflamasi

Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses


inflamasi melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis
factor-α (TNF-α), interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation
factor (PAF) dan mediator lainnya. Mula-mula pembuluh darah meningeal
yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat
terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma.
Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat
makrofag.

c. Perubahan Sawar Darah Otak

Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang
datang dari lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya
perubahan permeabilitas dari kapiler otak yang sebelumnya kedap dan selektif
terhadap berbagai macam zat, menjadi permeabel sehingga terjadi kebocoran
plasma dan dapat menyebabkan kuman masuk kedalam cairan serebrospinal
dan ruang subarachnoid. Dengan demikian peradangan akan terus terjadi tidak
hanya pada pembuluh darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-
vena di korteks dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan
degenerasi neuron- neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural
yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kranialis. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.

d. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial

Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi


trombosis atau perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang

22
berperan dalam absorbsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan
hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang berfungsi untuk memproduksi
cairan serebrospinal jika terkena radang akan meningkatkan produksinya
sehingga timbul hidrosefalus komunikans. Jika terus berlanjut akan
menyebabkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga
terjadi kompresi pada otak dan pembuluh darah, menurunkan aliran suplai
nutrisi dan oksigen. Jika proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi
jaringan otak, defisit neurologis, berupa parese nervus kranialis dan
hemiparese, penurunan kesadaran dan bahkan kematian.

Bagan 1. Patofisiologi Meningitis


Sumber: Baehr dan Frothscher. Diagnosis Topik Neurologis DUUS Edisi 4.
Jakarta: EGC.2012:365-368.

23
Gambar 6. Gambaran Kapiler pada Edema Otak (diambil dari kepustakaan 12)

G. Manifestasi Klinis

Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44%


penderita meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut
:2

a. Demam

b. Nyeri kepala

c. Kaku kuduk.

Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas


mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot,
fotofobia, mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan
kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal(Baehr dan Frothscher, 2012).

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang


jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis
yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan
24
malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi
kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis

yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,


muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya
ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap
lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku
kuduk, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan,
kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu
ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang
44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan
gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri
punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan,
fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat Gelisah.

25
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu
dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala
yang hebat, gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada
bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi
parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat.

Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin


parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak
mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

H. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesa

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,


nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang
dan penurunan kesadaran. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.

Awitan gejala akut (<24 jam) disertai trias meningitis yaitu demam,
nyeri kepala hebat dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu mual, muntah,
fotofobia, kejang fokal atau umum, gangguan kesadaran. Mungkin dapat
ditemukan riwayat infeksi paru-paru, telinga, sinus, ataupun katup
jantung. Pada bayi atau neonates, gejala bersifat nonspesifik seperti
demam, iritabilitas, letargi, muntah, dan kejang (Mardjono dkk, 2013).

b. Pemeriksaan Fisik
26
Terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik

harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien. Dengan

penilaian keadaan umum ini dapat diperoleh kesan apakah pasien dalam

keadaan yang memerlukan pertolongan segera, atau pasien dalam

keadaan yang relative stabil sehingga pertolongan dapat diberikan

setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap (Mardjono dkk,

2013).

Pemeriksaan harus mencakup:

 Tanda Vital. Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan

sirkulasi. Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas.

Otak membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu, demikian glukosa.

Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu 5 menit. Karena itu,

harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan oksigen dan glukosa ke

otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah

adalah singkat.

 Kulit. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulit kepala,

hematoma disekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung.

 Thoraks, jantung, paru, abdomen, ekstremitas

(Mardjono dkk, 2013).

 Pemeriksaan Neurologis
 Perhatikan sikap penderita waktu berbaring apakah tenang
dan santai yang menandakan bahwa penurunan kesadaran tidak dalam.
Adanya gerakan menguap dan menelan menandakan bahwa turunnya
kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahang yang
tergantung didapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam.
a. GCS (Glasgow Coma Scale)
GCS digunakan untuk memperhatikan tanggapan (respons) penderita

27
terhadap rangsang dan memberi nilai pada respons tersebut.
Tanggapan/respons penderita yang perlu diperhatikan adalah: Membuka
mata, Respons Verbal (Berbicara), Respons Motorik (Gerakan)
(Mardjono dkk, 2013).

i. Pemeriksaan Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa


fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.

ii. Pemeriksaan Kernig

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul


kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

iii. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan


dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa
yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga
dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi
kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.

28
iv. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada
sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski
II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada
sendi panggul dan lutut kontralateral.

v. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III
positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
vi. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari
tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila
terjadi flexi involunter extremitas inferior.
vii. Pemeriksaan Lasegue

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.


Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam
keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan
sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada
lansia.

c.Pemeriksaan Penunjang

i. Pemeriksaan Pungsi Lumbal15

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel


dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan

29
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
1. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan

2. jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein


normal, kultur negatif.

3. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,


cairan keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis
lebih dari 1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen
infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology


Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific pathogen
meningitis demonstrated in 60%
>80% PMNs
of Gram stains and
80% of cultures

Viral 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR


meningitis reduced in may be assays
lymphocytes
LCM and slightly
mumps elevated

Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, < Elevated, Acid-fast bacillus


meningitis 40 stain, culture, PCR
lymphocytes >100
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,
meningitis cryptococcal antigen,
lymphocytes
culture
Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal but Negative findings on
meningitis may be workup
lymphocytes
slightly
elevated

Normal values 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on


workup
lymphocytes
LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =
polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi
30
(diambil dari kepustakaan 2

Pemeriksaan Darah2

Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED),


kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

4. Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB

5. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit


polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
6. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.

7. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap


glukosa pada cairan serebrospinal.
8. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
9. Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

ii. Kultur

Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal


pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab
seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari:
1. Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H.
Influenzae,S. Pneumoniae, N. Meningitidis.

2. Nasofaring

3. Sputum

4. Urin

5. Lesi kulit

iii. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala,


CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya
pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala

31
kemungkinan adanya penyakit pada mastoiddasinusparanasal.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan


diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis
dapat disingkirkan.

Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America


(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal
pungsi yaitu :

1. Dalam keadaan Immunocompromised

2. Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke,


infeksi fokal)
3. Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya

4. Papiledema

5. Gangguan kesadaran

6. Defisit neurologis fokal

Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,


enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula
ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

32
Gambar 7. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal
enhancement dan ventrikulitis (diambil dari kepustakaan 15 )

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced,


didapatkan leptomeningeal enhancement (diambil dari kepustakaan 15)

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif,


komplikatif dan suportif.

a. Meningitis Virus

Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan


umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik,
antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat
sembuh sendiri dan tidak ada obat yang spesifik, kecuali jika terdapat
hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin. Pemberian asiklovir
masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika
kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli
tidak menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat

33
ensefalitis. Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).

Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun


karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV
positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3
minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB
IV/24 jam.

b. Meningitis Bakteri

Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena


dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena
itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang
baik.

34
Age or Predisposing Feature Antibiotics
Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime
or an aminoglycoside

Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*

Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or


cefotaxime plus vancomycin*

Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime


or meropenem

Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone

Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone

Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or


CSF shunt meropenem

CSF = cerebrospinal fluid.

*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri


(diambil dari kepustakaan 2)

i. Neonatus-1 bulan

1. Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan


tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.

2. Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan


tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
ii. Bayi usia 1-3 bulan

1. Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)

2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)


Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)

Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/


12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

35
iii. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun

1. Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

2. Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12


jam, maksimal 4 g/hari)
iv. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun

1. Dosis anak

Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12


jam, maksimal 4 g/hari)

Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam

2. Dosis dewasa

Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam


Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15
mg/kgBB IV/ 12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak,20


mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai
infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).

v. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun

1. Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

2. Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

36
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam
atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika
dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).

Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan


kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam
selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial,
namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada
meningitis akibat H. Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala
neurologis sisa tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang


Dewasa (diambil dari kepustakaan 18)

37
c. Meningitis Sifilitika

Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua


dengan dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering
pula diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta
unit. Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta unit/hari
IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14 hari, diikuti
pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pasien
dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat diberikan yang serupa.
Oleh karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien dengan alergi
penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah dilakukan
pengobatan, pemeriksaan cairan serebrospinal harus dilakukan secara
teratur setiap 6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan untuk melihat
keberhasilan terapi.

d. Meningitis Fungal

Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial


amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine
(25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar dalam serum (40-
60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi, sebaiknya terapi
dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula diberikan sebagai
follow-up golongan azol seperti flukonazol dan itrakonazol.

e. Meningitis Tuberkulosa

Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama


dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut
:

i. Isoniazid 300 mg/hari


ii. Rifampin 600 mg/hari
iii. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
iv. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
v. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :
38
Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis (diambil dari kepustakaan 18)

Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah


mendapat obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan
tergantung kategori. Pemberian kortikosteroid diindikasikan pada
meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada
proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih
dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara
bertahapselama6minggu.

f. Meningitis Parasitik

Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif


seperti analgesia yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan
antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic dapat
menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah gejala klinis dan
bahkan menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan hebat
yang merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing.

Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah fatal.


Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau
mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.

J. Diagnosis Banding

Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini :


39
a. Abses serebral

b. Ensefalitis

c. Neoplasma serebral

d. Perdarahan Subarachnoid

K. Komplikasi Meningitis

Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status


mental, edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang,
empiema atau efusi subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit
sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut
dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang
menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis adalah
syok septik, disseminated intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi
hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat
menyebabkan kematian.

L. Prognosis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme


spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput
otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik.
Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis
yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian.
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik
atau mental atau meninggal tergantung:
1. Umur penderita
Distribusi proporsi penderita meningitis usia neonatus, anak-anak dan
dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat
menimbulkan cacat berat dan kematian.
2. Jenis kuman penyebab
Radang selaput otak akibat virus cenderung tidak berbahaya dibandingkan
yang disebabkan oleh bakteri. Meski begitu, beberapa kasus lainnya bisa
40
saja mengancam jiwa. Sementara itu, radang selaput otak akibat jamur
adalah jenis yang termasuk langka. Ini biasanya terjadi pada orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh lemah.
3. Berat ringan infeksi
Keluhan dan ciri penyakit yang dimiliki pasien saat pertama kali datang
ke rumah sakit perlu diperhatikan agar dapat menentukan seberapa berat
penyakit sudah menginvasi jaringan.
4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
Ketika meningitis kambuh lagi, ada kemungkinan penyebabnya adalah
pengobatan yang belum tuntas atau masalah yang tidak diperbaiki dengan
optimal.
5. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
Penyakit ini bisa berkembang sangat cepat dan membutuhkan pengobatan
antibiotik yang cepat untuk meningkatkan kemungkinan pemulihan.
6. Adanya penanganan penyakit
Menunda pengobatan meningkatkan resiko kerusakan otak permanen dan
komplikasi dari meningitis berbahaya lainnya.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan
mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta
mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan

gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami


kematian.

Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada


umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian
meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita
mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8
minggu

41
M. Pencegahan Meningitis

a.Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko


meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis


pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat
diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV),
Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia
2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti
DPT,
Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan
terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang
telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis
dengan interval satu bulan, bayi7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval
waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi
ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum
dapat membentuk antibodiMeningitis Meningococcus dapat dicegah dengan
pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau
hidup serumah dengan penderita.11 Vaksin yang dianjurkan adalah jenis
vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y

Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan


tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG.
Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded
(luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan
pencahayaan yang cukup.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak


langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan
42
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal.
Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene
seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

B,Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal,


saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat
menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat di
tingkatan dengan mendidik petugas kesehatan sertakeluarga untuk mengenali
gejala awal meningitis.

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan


fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test
darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .20 Selain itu juga dapat
dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah
penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara
dini.

a. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah


kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada
tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan
akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian
terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya
tuli atau ketidakmampuan
untuk belajar.12 Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
mencegah dan mengurangi cacat.

43
BAB IV

KESIMPULAN

Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi


pada selaput otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya
faktor resiko tertentu seperti pada usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih
dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit sistemik atau
penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis, atau
adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian meningitis
berhubungan dengan suatu wilayah dan musim tertentu. Misalnya pada afrika
ada suatu istilah yang disebut the african meningitis belt, yang menunjukkan
kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah tertentu.
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku, kesadaran menurun. Tanda Kernig's
dan Brudzinsky positif, demam yang tinggi, pilek, mual, muntah, kejang.
Setelah itu biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan
kaku, gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Meningitis
akibat virus biasanya dapat sembuh sendirinya, sementara meningitis karena
bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang
lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian.
Diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat
menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.

Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena


infeksi berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak
adalah virus dan bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh
dengan sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat gejala sisa
neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan diagnosis yang
segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat menghentikan perjalanan
penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Prognosis meningitis
tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen penyebab infeksi dan
respon pengobatan.
44
Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya
meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan
pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi
komplikasi dan gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap
menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-
pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas,
kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan secarasignifikaN
Prognosis meningitis tergantung pada umur penderita, jenis kuman
penyebab, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum mendapat pengobatan,
kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan, dan penanganan
penyakit.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

3. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at


http://www.who.int/topics/meningitis/en/
4. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
5. Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.

6. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial


Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal
438-443, Jakarta.
7. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection. Article.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199
8. Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada
University Press, Yogyakarta.
9. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition.
McGraw-Hill Companies, New York.
10. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.

11. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC,
Jakarta.
12. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal
Kedokteran. Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
13. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.

46
14. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi.html
15. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
16. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial
Meningitis. Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
17. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
18. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In
tech. Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
19. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.

20. Mansjoer, A.,dkk., 2016. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media
Aesculapius, Jakarta.
21. World Health Organization. (2016). Global Tuberculosis Report

22. Baehr dan Frothscher. Diagnosis Topik Neurologis DUUS Edisi 4. Jakarta:
EGC.2012:365-368
23. Chalik, Raimundus. (2016). Buku Anatomi Fisiologi Manusia. Cetakan Pertama,
Desember 2016. Hal: 57.
24. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. (2009). Panduan praktis diagnosis dan
tata laksana penyakit saraf. Cetakan Ke-1. Jakarta: EGC. hal.43-48.
25. Johnson,R.T. Viral Infections of the Nervous System. Raven Press. New York. 2010.
26. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition. McGraw-
Hill Companies, New York.
27. Lumbantobing SM. (2013). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta:Balai Penerbit FK UL.Hlm. 8-84.
28. Lumbantobing S.M. (2021). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
UI Publishing. Cetakan ke-21.

47

Anda mungkin juga menyukai