Anda di halaman 1dari 24

KEPANITERAAN KLINIK

NEUROLOGI

REFERAT
Meningoensefalitis Bakterialis

OLEH
Imam Fadhlullah Pratama
H1A 015 032

PEMBIMBING
dr. Herpan Syafi’I Harahap, M.Biomed, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada
waktunya. Referat yang berjudul “Meningoensefalitis Bakterialis” ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Neurologi
RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.

1. dr. Herpan Syafi’I Harahap, M.Biomed, Sp.S selaku supervisor sekaligus


pembimbing
2. dr. Esther Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Neurologi RSUP NTB
3. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S, selaku Koordinator Pendidikan SMF Neurologi
RSUP NTB dan supervisor
4. dr. I Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku supervisor
5. dr. Muhammad Ghalvan Sahidu, Sp.N selaku supervisor
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan referat ini.

Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan


khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktik
sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, 17 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2

2.1 Definisi .......................................................................................... 2

2.2 Etiologi .......................................................................................... 3

2.3 Epidemiologi .................................................................................. 4

2.4 Anatomi Meningens dan Cairan Serebrospinal ............................. 5

2.5 Patofisiologi ................................................................................... 9

2.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 10

2.7 Diagnosis ....................................................................................... 12

2.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 15

2.9 Komplikasi ..................................................................................... 18

2.10 Prognosis ...................................................................................... 19

BAB IV KESIMPULAN ........................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningitis merupakan inflamasi pada meningen terutama bagian araknoid


dan piamater karena invasi patogen ke dalam ruang subaraknoid. Meningitis yang
diikuti dengan inflamasi pada parenkim otak disebut dengan istilah
meningoensefalitis. Inflamasi pada meningoensefalitis melibatkan Central
Nervous System (CNS) sehingga dapat menimbulkan gejala berupa penurunan
kesadaran, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark iskemik.1,2
Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis diklasifikasikan menjadi
meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik. Kasus
meningoensefalitis lebih banyak disebabkan oleh bakteri dengan insidensi sebesar
2-6 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya.1,3

Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) dapat menyerang semua usia dan


jenis kelamin. Puncak kejadian MB ialah pada neonatus maupun bayi dan lebih
sering menyerang pria.1,3 Faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian MEB,
antara lain ialah status immunocompromised, defek neuroektodermal kongenital,
trauma pada kranial, infeksi telinga tengah dan sinus paranasalis, infeksi paru,
maupun penyakit kronik. Transmisi bakteri pada MEB umumnya melalui droplet
respirasi sehingga bakteri akan mudah melakukan kolonisasi nasofaring yang
kemudian akan melewati epitel mukosa setempat untuk mencapai ruang
intravaskuler hingga mencapai ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS)
yang kemudian menginduksi terjadinya proses inflamasi.1,2,4

Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) memiliki trias klinik, yaitu demam,


nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk. Gejala klinik lainnya dapat berbeda-beda
tergantung dari bakteri patogen penyebabnya. Sebagai penunjang diagnosis,
diperlukan kultur darah dan pungsi lumbal untuk mengetahui bakteri patogen
penyebab. Terapi antibiotik spesifik pada MEB juga didasarkan oleh bakteri
patogen penyebab.1,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Meningitis merupakan inflamasi pada meningen terutama bagian araknoid
dan piamater karena invasi patogen ke dalam ruang subaraknoid. Meningitis yang
diikuti dengan inflamasi pada parenkim otak disebut dengan istilah
meningoensefalitis. Reaksi inflamasi yang melibatkan sistem saraf pusat mampu
menginduksi penurunan kesadaran, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan
infark iskemik.1,2
Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis terbagi menjadi 2 kategori,
yaitu meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik (Gambar 2.1).
Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) merupakan proses inflamasi sekunder pada
meningeal secara akut akibat infeksi bakteri yang merekruitmen leukosit ke dalam
Cairan Serebrospinal (CSS). Meningoensefalitis aseptik merupakan inflamasi
meningeal yang tidak diakibatkan oleh infeksi bakteri, seperti infeksi virus, jamur,
atau penyakit kronik lainnya.1,3
Gambar 2.1. Klasifikasi Meningitis (Meningoensefalitis) berdasarkan
Etiologinya. Meningoensefalitis bekterial disebabkan oleh proses inflamasi
sekunder dari infeksi bakteri, sedangkan meningoensefalitis aseptik disebabkan
oleh etiologi selain infeksi bakteri. Meningoensefalitis aseptik terbagi lagi
menjadi infeksi non-bakterial dan non-infeksi. Meningoensefalitis infeksi non-
bakterial yaitu meningoensefalitis dikarenakan oleh infeksi virus, jamur,
tuberkulosis, sifilis, dan penyakit Lyme. Sedangkan meningoensefalitis non-
infeksi dapat disebabkan oleh obat-obatan, tumor, dan penyakit sistemik lainnya
(seperti sarkoidosis).3

2.2 Etiologi

Secara umum, pembagian etiologi Meningoensefalitis Bakterialis (MEB)


pada usia dewasa ialah MEB akibat bakteri meningokokal dan pneumokokal.
Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) meningokokal biasanya disebabkan oleh
Neisseria meningitides, sedangkan MEB penumokokal biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae.1,2 Beberapa literatur mengelompokkan bakteri
penyebab tersering pada kasus MEB berdasarkan usia dan faktor risiko penderita.
Pengelompokan bakteri penyebab dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penyebab Umum MEB berdasarkan Usia dan Faktor Risiko.1,2,5

Karakteristik Bakteri penyebab


Neonatus (<3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria
monocytogenes
Bayi dan anak (>3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
Dewasa (<50 tahun) S. pneumonia; N. Meningitidis
imunokompeten
Dewasa (>50 tahun) S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
monocytogenes
Fraktur kranium/pasca Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus
bedah saraf aureus; bakteri gram negatif (Klebsiella,
Proteus, Pseudomonas, E. coli); Streptococcus
grup A dan D; S. pneumonia; H. infl uenzae
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefisiensi
Neutropenia Pseudomonas aeruginosa; Enterobacter; Listeria
(<1.000/mm ): Kemoterapi monocytogenes; E. Coli; Klebsiella pneumoniae;
3

& anemia aplastik S. aureus; and Coagulasenegative Staphylococci


Defisiensi imunoglobulin: S. pneumoniae; H. Influenzae; and N.meningitides
CLL, mieloma multipel, &
splenektomi
Defek limfosit-T dan Listeria monocytogenes
makrofag: AIDS &
transplantasi organ

2.3 Epidemiologi

Insidensi rerata MEB ialah 2-6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya
dengan puncak kejadian pada kelompok neonatus maupun bayi. Insidensi MEB
pada neonatus dapat mencapai 400 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya
sedangkan pada bayi ≤2 tahun dapat mencapai 20 kasus per 100.000 penduduk per
tahunnya.1,3 Sejak tahun 1990 hingga tahun 2013 telah terjadi penurunan jumlah
insidensi MEB yaitu penurunan sebesar 43% kasus pada neonatus, 54% kasus
pada anak kurang dari 5 tahun, dan 2,7% kasus populasi >5 tahun. Penurunan ini
dikarenakan adanya vaksin yang mampu mencegah infeksi bakteri penyebab
MEB.6

Berdasarkan patogennya, tingkat insiden tahunan (per 100.000) MEB paling


banyak diakibatkan oleh Streptococcus pneumonia dengan rincian sebagai berikut
Streptococcus pneumonia (1,1), Neisseria meningitidis (0,6), Streptococcus grup
B (0,3), Listeria monocytogenes (0,2), dan Haemophilus influenza (0,2).1,2

2.4 Anatomi Meningens dan Cairan Serebrospinal

Bagian otak yang terlibat dalam MEB ialah bagian parenkim otak dan
meningens (Gambar 2.2). Anatomi otak merupakan struktur yang kompleks dan
rumit karena fungsi organ ini sebagai pusat kendali dengan menerima,
menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh.
Parenkim otak secara umum terbagi menjadi beberapa lobus, yaitu lobus frontalis,
lobus temporalis, lobus parietalis, dan lobus oksipitalis. Parenkim otak dilindingi
oleh selaput yang terdiri dari jaringan ikat yang disebut meningens. Meningens
memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan duramater, araknoid, dan piamater.3
Gambar 2.2. Anatomi Sistem Saraf Pusat yang Terlibat dalam MEB. Selaput
otak (meningens) memiliki 3 lapisan yaitu duramater yang merupakan lapisan
paling luar, araknoid, dan piamater. Diantara araknoid dan piamater terdapat
ruang subaraknoid yang merupakan tempat perembesan CSS menuju aliran darah.
CSS akan melewati berbagai ventrikel di intrakranial.3

a. Duramater
Duramater dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional
duramater terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, namun pada tempat-
tempat tertentu terpisah. Pada pemisahan dua lapisan duramater ini,
diantaranya terdapat sinus venosus yang menerima darah dari drainase
vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Lapisan
endosteal merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater
yang sebenarnya atau disebut dengan cranial duramater. Lapisan ini
melanjutkan diri menjadi menjadi duramater spinalis setelah melewati
foramen magnum yang berakhir pada segmen kedua dari os sacrum.7
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri karotis interna, a. maxillaris, a. pharyngeus
ascendens, a. occipitalis, dan a. vertebralis. Pada duramater terdapat
banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan
sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan
sakit kepala yang hebat.7
b. Araknoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater.
Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu
spatium subdurale dan dari piamater oleh kavum subaraknoid yang berisi
cairan serebrospinal. Pada daerah tertentu araknoid menonjol ke dalam
sinus venosus membentuk vili araknoidales. Agregasi vili araknoid
disebut sebagai granulations arachnoidales. Vili araknoidales ini
berfungsi sebagai tempat perembesan cairan serebrospinal ke dalam
aliran darah. 7
c. Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan mengikuti tiap
sulkus dan girus. Piamater merupakan lapisan dengan banyak pembuluh
darah. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang
berakhir sebagai end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-
glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang
merugikan ke dalam sistem saraf pusat.7

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan yang melindungi otak dan


medulla spinalis terhadap benturan. Dalam keadaan normal, CSS berwarna jernih
dan hampir bebas protein. Volume cairan cerebrospinal ini pada orang dewasa
normal rata-rata 135 ml. Dari jumlah ini diperkirakan 80 ml berada dalam
ventrikel dan 55 ml terdapat di dalam rongga subaraknoid. Komposisi CSS terdiri
dari air, sejumlah kecil protein, gas dalam larutan (O 2 dan CO2), ion natrium,
kalium, kalsium, klorida, dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit) serta
bahan- bahan organik lainnya.7
Cairan serebrospinal (CSS) disekresi oleh pleksus koroidalis. Lapisan epitel
pleksus koroidalis merupakan bagian penting bagi pengangkutan transeluler zat
pelarut dan zat larut dari pembuluh koroid ke ventrikel. Setelah disekresi oleh
pleksus koroidalis pada ventrikel lateral, CSS mengalir melalui formaen
interventrikular dan masuk ke ventrikel tiga. Selanjutnya CSS mengalir melewati
aquaduktus Sylvii dan menuju ventrikel keempat dan kemudian memasuki ruang
subaraknoid dan sisterna melalui foramen magendi pada bagian medial dan
foramen luska pada bagian lateral. Dari sisterna ini sebagian besar CSS akan
mengalir ke bagian medial maupun lateral permukaan hemisfer serebri dan
menuju sinus sagitalis superior. Pada ruang subaraknoid, CSS merembes melalui
saluran-saluran pada granulasi araknoid untuk bersatu dengan darah vena di dalam
sinus sagitalis posterior. Sebagian kecil CSS mengalir ke bawah menuju ruang
subaraknoid medula spinalis. Vili araknoidalis merupakan tempat absorbsi CSS ke
dalam vena pada sinus venosus.7
2.5 Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat dapat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, ataupun embolisasi trombus yang terinfeksi. Pada MEB,
transmisi bakteri umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung dengan
karier.1 Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan
mekanisme yang kompleks dan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.
Mekanisme Masuknya
Bakteri ke Sistem Saraf
Pusat. Bakteri melakukan
kolonisasi nasofaring
dengan berikatan pada sel
epitel menggunakan vili
adhesive dan membran
protein. Komponen
polisakarida pada kapsul
bakteri membantu bakteri
tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan
immunoglobulin A (IgA)
pada mukosa nosofaringeal.
Bakteri yang telah
berkolonisasi kemudian
melewati sel epitel
(endotelium) ke dalam
ruang intravaskuler dimana
bakteri relatif terlindungi
dari respons humoral
komplemen karena kapsul
polisakarida atau enzin
protease yang dimilikinya.
Bakteri melewati sawar
darah otak dan memasuki
ruang subaraknoid serta
cairan serebrospinal (CSS)
melalui pleksus koroid.
Perpindahan bakteri terjadi
melalui kerusakan endotel
yang disebabkannya.
Bakteri kemudian akan
memicu respon inflamasi
berupa rekruitmen
neutrofil.1,3

Gambar 2.4. Perbedaan MEB Pneumokokal dan Meningokokal. Mekanisme


spesifik terkait cara transmisi bakteri ke CSS antara S. pneumoniae dan N.
meningitidis nampak berbeda namun kerugian yang dihasilkan hampir sama.6

2.6 Manifestasi Klinis

Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) memiliki trias klinik, yaitu demam,


nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk.1 Literatur lain menyebutkan bahwa trias
klinik MEB ialah demam, kaku kuduk, dan perubahan kesadaran. Terdapat 4
tanda dan gejala utama MEB, yaitu demam, kaku kuduk, perubahan kesadaran
(GCS <14), dan nyeri kepala. Apabila terdapat minimal 2 tanda dan gejala
tersebut, dapat dicurigai ke arah MEB.3,5 Namun apabila hanya ditemukan tanda
demam dan nyeri kepala, diagnosa ke arah penyakit inflamasi pada daerah kepala
selain MEB juga memiliki kemungkinan yang besar.1,4 Pada sebagian kasus MEB
yang melibatkan sistem saraf pusat akan terjadi gejala berupa fotofobia, mual dan
muntah, kejang, dan gejala serebral fokal lainnya.5

Tanda rangsang meningeal yang paling mungkin terlihat adalah kaku kuduk,
namun kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien koma, sopor, ataupun
lansia. Tanda rangsang meningeal lainnya seperti Kernig’s sign dan Brudzinski
memiliki signifikansi ke arah MEB yang sama dengan kaku kuduk, hanya saja
tanda ini lebih sulit ditemukan. Kernig’s sign dan Brudzinski hanya dapat
ditemukan pada sekitar 50% penderita MEB dewasa.1,3

Gejala MEB dapat berbeda-beda tergantung dari patogen dan usia


penderitanya. Pada MEB meningokokal umumnya terjadi perburukan kondisi
yang sangat cepat, seperti kesadaran penderita menjadi delirium atau sopor dalam
kurun waktu beberapa jam. Selain itu, pada MEB meningokokal juga dapat
ditemukan kelainan kulit berupa ruam peteki atau purpura, syok sirkulasi, dan
pada lingkungan tinggal penderita sedang mengalami wabah lokal meningitis.
Pada MEB pneumokokal umumnya didahului oleh adanya infeksi paru, telinga,
sinus, ataupun katup jantung. MEB pneumokokal juga sering terjadi pada pasien
pasca splenektomi, lansia, anemia bulan sabit, fraktur basus kranium, dan
pengonsumsi alkohol berat. MEB yang disebabkan oleh H. influenzae biasanya
didahului oleh infeksi saluran nafas atas maupun telinga pada anak-anak.1,4

Berdasarkan usianya, MEB pada anak maupun dewasa memiliki gejala yang
sama berupa demam, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, dan jarang disertai dengan
kejang generalisata dan gangguan kesadaran.2 Kaku kuduk pada usia dewasa atau
lebih tua tidak hanya mengindikasikan ke arah iritasi meningeal, melainkan dapat
mengarah ke diagnosis spondilosis servikal, parkinsonism, atau rigiditas
paratonik. Kaku kuduk akibat iritasi meningeal umumnya ditandai dengan tahanan
pada fleksi leher namun dapat menoleh ke segala sisi secara pasif.4 MEB pada
nenonatus memiliki gejala berupa nyeri kepala yang ditandai dengan sikap
neonatus yang sering memegang kepala atau menangis, demam, penurunan
kesadaran, muntah, kejang, dan bulging fontanel sebagai tanda terjadinya iritasi
meningeal. Tanda rangsang meningeal atau kaku kuduk pada nenonatus sangat
jarang ditemui dan umumnya ditemui pada MEB onset lanjut.4
2.7 Diagnosis

Apabila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda rangsang


meningeal, terdapat beberapa diferensial diagnosis MEB (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Diferensial Diagnosis MEB.2

Penyakit Gejala Klinik Pemeriksaan Penunjang


Herpes simpleks Demam, bingung, CSS: limfositosis, eritrosit
virus ensefalitis perubahan perilaku, nyeri CT/MRI: peningkatan
kepala, kejang fokal atau intensitas T2 di lobus
generalisata, defisit temporal
neurologik fokal EEG: periodik spike dan
gelombang lambat di lobus
temporal
Massa-abses otak, Nyeri kepala sebagian atau CSS: lontraindikasi
subdural seluruh kepala, defisit CECT/CEMR: tampak
empiema/epidural fokal, kejang fokal atau massa
abses generalisata, dapat disertai
atau tanpa demam
Subaraknoid Nyeri kepala hebat, CSS: eritrosit,
hemoragik muntah, sinkop, kaku xanthochromia
kuduk, ophthalmoplegia, CT (non-kontras):
defisit fokal, penurunan perdarahan di sisterna
sensorium basalis
Meningitis fungal Demam, nyeri kepala, lesi CSS: limfositik
kulit, parese nervus kranial pleomorfosis, cryptococcal
antigen positif
Biopsi kelainan kulit
Sindrom Riwayat penggunaan anti CSS: normal
neuroleptikmaligna psikotik, demam, rigiditas, Serum CPK: meningkat
sensorium fluktuatif, TLC: 15.000 – 30.000
instabilitas autonomik sel/mm3
Penyakit Lyme Riwayat gigitan kutu
CSS: sel mononukelar
dan/atau erythema
pleositosis dan intra-thecal,
chronicum migrans, parese
produksi anti-borrelia
nervus fasialis burgdorferi antibodi
Serum: serologi Lyme
Infeksi riketsia Nyeri kepalam demam, Biopsi kelainan kulit
ruam peteki, penurunan
kesadaran
Meningitis Nyeri kepala, CSS: limfositik pleositosis
tuberkulosa meningismus, bingung, X-ray thoraks:
kejang, dan koma infiltrsdi/military mottling

Diagnosa standar pada MEB ialah pungsi lumbal untuk menganalisa Cairan
Serebrospinal (CSS). Namun sebelum dilakukannya pungsi lumbal, perlu
dilakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan kontraindikasi relatif pungsi
lumbal, yaitu massa otak, hidrosefalus, dan edema serebri. Gambaran CT scan
kepala pada MEB dapat dilihat pada Gambar 2.5. Apabila CT scan tidak dapat
dilakukan, pungsi lumbal tidak boleh dilakukan pada penderita dengan gangguan
kesadaran, keadaan imunokompromise, riwayat penyakit sistem saraf pusat
(massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik fokal, dan papil edema yang
merupakan tanda herniasi.1 Algoritma diagnosa MEB dapat dilihat pada Gambar
2.6.

Gambar 2.5. Hasil CT-scan Kepala pada MEB. Tampak infark lakunar pada
pasien MEB di daerah lobus frontoparietal kiri disertai infark lakunar pada basal
ganglia kanan dan efusi subdural bilateral (gambar kiri). CT-scan tanpa kontras
menunjukkan MEB akut dengan ventrikulomegali ringan dan hilangnya sulkus
(gambar kanan).8
Gambar 2.6. Algoritma Diagnosa MEB. Apabila pada pemeriksaan fisik dan
anamnesis sudah mengarah ke kecurigaan MEB, lakukan CT scan kepala segera
dan evaluasi apakah terdapat kontraindikasi pungsi lumbal. Jika tidak ada
ditemukan kontraindikasi, lakukan kultur darah dan pungsi lumbal segera. Namun
apabila ditemukan kontraindikasi ataupun defisit neurologik fokal, kejang, riwayat
penyakit neurologis dengan massa intrakranial, lakukan kultur darah saja. Apabila
analisa CSS pada pungsi lumbal sudah mengarah ke MEB, segera lakukan
pewarnaan gram dan kultur CSS agar mengetahui bakteri spesifik penyabab
MEB.1
Terdapat beberapa perbedaan karakter CSS pada meningoensefalitis
berdasarkan patogennya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Perbedaan Karakter CSS pada Jenis Patogen yang Berbeda.
Karekteristik CSS yang membedakan patogen penyebab meningoensefalitis ialah
warna CSS, tekanan intrakranial, jumlah sel leukosit, kadar glukosa dan protein
pada CSS. Pada MEB warna CSS umumnya keruh atau purulen, sedangkan
patogen lainnya menyebabkan warna CSS masih tetap jernih. Tekanan
intrakranial pada meningoensefalitis dapat meningkat atau normal, namun
dikatakan pada MEB dan meningoensefalitis tuberkulosa hampir selalu
meningkat. Peningkatan sel leukosit pada meningoensefalitis juga berbeda
kadarnya. Pada MEB leukosit yang dominan ialah sel polimorfonuklear,
sedangkan meningoensefalitis dengan patogen lainnya dominan sel mononuklear.
Kadar glukosa dan protein pada meningoensefalitis dapat rendah, normal, ataupun
meningkat sesuai dengan patogennya.1,5,6

2.8 Penatalaksanaan

Terapi utama pada MEB ialah antibiotik. Sembari menunggu hasil kultur
CSS untuk menentukan bakteri penyebab MEB, penderita dapat diberikan terapi
antibiotik empirik terlebih dahulu. Terapi antibiotik empirik didasarkan pada
epidemiologi bakteri tersering yang menginfeksi sesuai dengan karakteristik
penderita. Sesuai dengan epidemiologi di Indonesia, pilihan terapi antibiotik
empirik dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Terapi Antibiotik Empiris pada MEB. Gambar diatas
menjelaskan bahwa penderita terbagi menjadi beberapa golongan karakter dan
golongan karakter masing-masing memiliki etiologi tersering yang berbeda-beda
berdasarkan epidemiologinya. Hal itu yang membuat pilihan terapi antibiotik
empirisnya juga hampir berbeda.1
Setelah hasil kultur keluar, antibiotik empirik dapat diganti dengan
antibiotik spesifik seperti pada Gambar 2.9. Durasi pemberian antibiotik berbeda-
beda tergantung patogennya. Berdasarkan rekomendasi WHO, meningoensefalitis
meningokokal dan haemofilus memerlukan terapi antibiotik minimal 5 hari pada
situasi non-epidemik, namun pada beberapa negara disarankan minimal 7 hari.
Untuk meningoensefalitis pneumokokal dianjurkan terapi antibiotik spesifik
minimal 10-14 hari.1 Berdasarkan literatur lain, meningoensefalitis yang
disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitides memerlukan terapi antibiotik
minimal 7 hari, S. pneumoniae 10-14 hari, L. monocytogens dan Sterptokokus
grup B 14-21 hari, dan basil gram negatif (selain H. influenzae) minimal 21 hari.2
Gambar 2.9. Terapi Antibiotik Spesifik pada MEB. Gambar diatas
menjelaskan terapi antibiotik utama dan alternatif pada MEB berdasarkan patogen
spesifik yang menginfeksi.1,5
Selain mendapatkan terapi antibiotik, penderita MEB juga mendapatkan
terapi kortikosteroid berupa deksametason. Pemberian ini masih sangat
kontroversial, namun mengingat efek positif yang signifikan terhadap MEB,
terapi ini masih digunakan. Sejumlah pakar berpendapat pemberian deksametason
harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MEB bukan H.
influenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan
pemberian deksametason apapun etiologinya.1
Deksametason dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid
yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan
tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron.
Deksametason diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg atau 0,15 mg/kgBB
setiap 6 jam secara intravena.1,2 Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi
suportif dan simptomatik. Terapi suportif yang dimaksud ialah terapi untuk
mempertahankan penderita pada posisi homeostasis dengan status normoglikemia
dan normovolemia. Apabila penderita mengalami kejang, maka dapat diberikan
terapi kejang sebagai terapi simptomatik. Penderita juga perlu diberikan Proton
Pump Inhibitor (PPI) untuk mencegah stress-induced gastritis akibat permberian
kortikosteroid IV.1
Saat ini telah berkembang terapi profilaksis pada MEB. Individu yang
mengalami kontak dengan pasien terinfeksi meningokokal harus diberi antibiotik
profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofloxacin 500 mg
dosis tunggal atau rifampisin 2x600 mg selama 2 hari. Profilaksis tidak
dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus infeksi meningokokal sudah lebih
dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan N. meningitidis
diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna. Apabila tinggal
dengan anak >4 tahun dan memiliki vaksinisasi H. influenza yang tidak lengkap,
dianjurkan mengonsumsi antibiotik profilaksis yaitu rifampisin 20mg/kgBB/hari
selama 4 hari. Pada streptokokus grup B terutama yang sering menginfeksi ibu
hamil dengan risiko, diperlukan profilaksis berupa Penisilin G dengan dosis inisial
5 juta unit intravena kemudian 2,5-3 juta unit setiap 4 jam selama periode
intrapartum.1,5

2.9 Komplikasi

Salah satu komplikasi dari MEB ialah Sydrome of Inappropriate ADH


secretion (SIADH). SIADH terutama terjadi pada anak-anak dengan insidensi 28-
88% dari kasus MEB pada anak-anak. Untuk meningkatkan perfusi serebral dan
mengurangi risiko terjadinya iskemia otak, tubuh mensekresi ADH agar volume
intravaskular meningkat. Efek peningkatan ADH ialah meningkatnya penyerapan
cairan di ginjal dan meningkatnya pelepasan natrium. Kriteria diagnosis SIADH
ialah hiponatremia (<135 mEq/l) dengan serum hipoosmolar, urin pekat, sodium
urin >25 mEq/l, dan tidak ada kelainan ginjal ataupun endokrin. Tatalaksana
primer SIADH ialah restriksi cairan menjadi setengah dari cairan normal atau
sekitar 800 - 1.000 ml/m2/24 jam.2

Komplikasi paling sering lainnya ialah hilangnya fungsi pendengaran


apabila struktur pada otak yang berhubungan dengan pendengaran mengalami
inflamasi. Selain itu dapat juga berupa kejang yang berlanjut, hidrosefalus, dan
penyebaran infeksi ke organ lain atau bahkan menyebabkan sepsis. Jenis MEB
pneumokokal dikatakan lebih sering menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan MEB meningokokal.6
2.10 Prognosis

Meningoensefalitis pneumokokal memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu


19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup pasca terkena MEB,
terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit
neurologik fokal lain yang menetap. Individu yang memiliki faktor risiko
memiliki prognosis yang buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas
65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi
pneumokokus. Beberapa literatur mengatakan bahwa penundaan pemberian
antibiotik >3 jam setelah pasien masuk rumah sakit dapat meningkatkan angka
mortalitas.1
BAB III

KESIMPULAN

Meningoensefalitis merupakan inflamasi pada meningen disertai parenkim


otak. Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis diklasifikasikan menjadi
meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik. Kasus
meningoensefalitis lebih banyak disebabkan oleh bakteri dengan insidensi sebesar
2-6 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya. Pembagian etiologi
Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) pada usia dewasa ialah MEB akibat bakteri
meningokokal dan pneumokokal. Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) memiliki
trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk. Gejala lainnya
dapat berupa perubahan kesadaran, mual dan muntah, kejang, dan defisit
neurologik fokal. Adanya tanda rangsang meningeal mengarahkan kecurigaan
lebih besar ke arah iritasi meningeal, yaitu meningoensefalitis.

Secara epidemiologi, kelompok karakter penderita MEB memiliki bakteri


tersering tersendiri sebagai penyebab MEB. Berdasarkan pengelompokan ini,
dapat ditentukan acuan penggunaan terapi antibiotik empiris pada MEB. Terapi
antibiotik empiris dilakukan sembari menunggu hasil kultur CSS. Pengambilan
CSS pada penderita MEB dilakukan dengan cara pungsi lumbal sebagai standar
diagnosa MEB. Ketika kultur CSS sudah selesai, tatalaksana antibiotik harus
sesuai dengan regimen patogen penyebab.
DAFTAR PUSTAKA

1. Meisadone G., Soebroto AD., Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana


Meningitis Bakterialis. Cermin Dunia Kedokteran. 2015. 42(1):15-19. [pdf]
Available from:
https://www.academia.edu/36857258/TINJAUAN_PUSTAKA_Diagnosis_da
n_Tatalaksana_Meningitis_Bakterialis [Accessed on May 2019].
2. Dhamija RM., Bansal J. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis): A
Review. Indian Academy of Clinical Medicine Journal. 2006. 7(3):225-235.
[pdf] Available from: http://medind.nic.in/jac/t06/i3/jact06i3p225.pdf
[Accessed on June 2019].
3. Mace SE. Acute Bacterial Meningitis. Emergency Medicine Clinics of North
America. 2008. 38(2008):281-317. [pdf] Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S073386270800028X?
via%3Dihub [Accessed on June 2019].
4. Ropper AH., Samuels MA., Klein JP. Adams and Victor’s: Principles of
Neurology, 10th edition. New York: McGraw-Hill. 2014; pp.698-708.
5. Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of
Meningitis. American Academy of Family Physicians. 2010. 82(12):1491-
1498. [pdf] Available from: https://www.aafp.org/afp/2010/1215/p1491.pdf
[Accessed on June 2019].
6. McGill F., Heyderman RS., Panagiotou S., Tunkel AR., Solomon T. Acute
Bacterial Meningitis in Adults. The Lancet. 2016. 388(10063): 3036-3047.
[pdf] Available from:
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)30654-
7/fulltext [Accessed on June 2019].
7. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011.
8. Incesu L. Bacterial Meningitis Imaging. Medscape. 2019. [online] Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/341971-overview [Accessed on
June 2019].

Anda mungkin juga menyukai