NEUROLOGI
REFERAT
Meningoensefalitis Bakterialis
OLEH
Imam Fadhlullah Pratama
H1A 015 032
PEMBIMBING
dr. Herpan Syafi’I Harahap, M.Biomed, Sp.S
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Meningitis merupakan inflamasi pada meningen terutama bagian araknoid
dan piamater karena invasi patogen ke dalam ruang subaraknoid. Meningitis yang
diikuti dengan inflamasi pada parenkim otak disebut dengan istilah
meningoensefalitis. Reaksi inflamasi yang melibatkan sistem saraf pusat mampu
menginduksi penurunan kesadaran, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan
infark iskemik.1,2
Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis terbagi menjadi 2 kategori,
yaitu meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik (Gambar 2.1).
Meningoensefalitis Bakterialis (MEB) merupakan proses inflamasi sekunder pada
meningeal secara akut akibat infeksi bakteri yang merekruitmen leukosit ke dalam
Cairan Serebrospinal (CSS). Meningoensefalitis aseptik merupakan inflamasi
meningeal yang tidak diakibatkan oleh infeksi bakteri, seperti infeksi virus, jamur,
atau penyakit kronik lainnya.1,3
Gambar 2.1. Klasifikasi Meningitis (Meningoensefalitis) berdasarkan
Etiologinya. Meningoensefalitis bekterial disebabkan oleh proses inflamasi
sekunder dari infeksi bakteri, sedangkan meningoensefalitis aseptik disebabkan
oleh etiologi selain infeksi bakteri. Meningoensefalitis aseptik terbagi lagi
menjadi infeksi non-bakterial dan non-infeksi. Meningoensefalitis infeksi non-
bakterial yaitu meningoensefalitis dikarenakan oleh infeksi virus, jamur,
tuberkulosis, sifilis, dan penyakit Lyme. Sedangkan meningoensefalitis non-
infeksi dapat disebabkan oleh obat-obatan, tumor, dan penyakit sistemik lainnya
(seperti sarkoidosis).3
2.2 Etiologi
Tabel 2.1. Penyebab Umum MEB berdasarkan Usia dan Faktor Risiko.1,2,5
2.3 Epidemiologi
Insidensi rerata MEB ialah 2-6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya
dengan puncak kejadian pada kelompok neonatus maupun bayi. Insidensi MEB
pada neonatus dapat mencapai 400 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya
sedangkan pada bayi ≤2 tahun dapat mencapai 20 kasus per 100.000 penduduk per
tahunnya.1,3 Sejak tahun 1990 hingga tahun 2013 telah terjadi penurunan jumlah
insidensi MEB yaitu penurunan sebesar 43% kasus pada neonatus, 54% kasus
pada anak kurang dari 5 tahun, dan 2,7% kasus populasi >5 tahun. Penurunan ini
dikarenakan adanya vaksin yang mampu mencegah infeksi bakteri penyebab
MEB.6
Bagian otak yang terlibat dalam MEB ialah bagian parenkim otak dan
meningens (Gambar 2.2). Anatomi otak merupakan struktur yang kompleks dan
rumit karena fungsi organ ini sebagai pusat kendali dengan menerima,
menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh.
Parenkim otak secara umum terbagi menjadi beberapa lobus, yaitu lobus frontalis,
lobus temporalis, lobus parietalis, dan lobus oksipitalis. Parenkim otak dilindingi
oleh selaput yang terdiri dari jaringan ikat yang disebut meningens. Meningens
memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan duramater, araknoid, dan piamater.3
Gambar 2.2. Anatomi Sistem Saraf Pusat yang Terlibat dalam MEB. Selaput
otak (meningens) memiliki 3 lapisan yaitu duramater yang merupakan lapisan
paling luar, araknoid, dan piamater. Diantara araknoid dan piamater terdapat
ruang subaraknoid yang merupakan tempat perembesan CSS menuju aliran darah.
CSS akan melewati berbagai ventrikel di intrakranial.3
a. Duramater
Duramater dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional
duramater terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, namun pada tempat-
tempat tertentu terpisah. Pada pemisahan dua lapisan duramater ini,
diantaranya terdapat sinus venosus yang menerima darah dari drainase
vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Lapisan
endosteal merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater
yang sebenarnya atau disebut dengan cranial duramater. Lapisan ini
melanjutkan diri menjadi menjadi duramater spinalis setelah melewati
foramen magnum yang berakhir pada segmen kedua dari os sacrum.7
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri karotis interna, a. maxillaris, a. pharyngeus
ascendens, a. occipitalis, dan a. vertebralis. Pada duramater terdapat
banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan
sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan
sakit kepala yang hebat.7
b. Araknoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater.
Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu
spatium subdurale dan dari piamater oleh kavum subaraknoid yang berisi
cairan serebrospinal. Pada daerah tertentu araknoid menonjol ke dalam
sinus venosus membentuk vili araknoidales. Agregasi vili araknoid
disebut sebagai granulations arachnoidales. Vili araknoidales ini
berfungsi sebagai tempat perembesan cairan serebrospinal ke dalam
aliran darah. 7
c. Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan mengikuti tiap
sulkus dan girus. Piamater merupakan lapisan dengan banyak pembuluh
darah. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang
berakhir sebagai end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-
glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang
merugikan ke dalam sistem saraf pusat.7
Gambar 2.3.
Mekanisme Masuknya
Bakteri ke Sistem Saraf
Pusat. Bakteri melakukan
kolonisasi nasofaring
dengan berikatan pada sel
epitel menggunakan vili
adhesive dan membran
protein. Komponen
polisakarida pada kapsul
bakteri membantu bakteri
tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan
immunoglobulin A (IgA)
pada mukosa nosofaringeal.
Bakteri yang telah
berkolonisasi kemudian
melewati sel epitel
(endotelium) ke dalam
ruang intravaskuler dimana
bakteri relatif terlindungi
dari respons humoral
komplemen karena kapsul
polisakarida atau enzin
protease yang dimilikinya.
Bakteri melewati sawar
darah otak dan memasuki
ruang subaraknoid serta
cairan serebrospinal (CSS)
melalui pleksus koroid.
Perpindahan bakteri terjadi
melalui kerusakan endotel
yang disebabkannya.
Bakteri kemudian akan
memicu respon inflamasi
berupa rekruitmen
neutrofil.1,3
Tanda rangsang meningeal yang paling mungkin terlihat adalah kaku kuduk,
namun kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien koma, sopor, ataupun
lansia. Tanda rangsang meningeal lainnya seperti Kernig’s sign dan Brudzinski
memiliki signifikansi ke arah MEB yang sama dengan kaku kuduk, hanya saja
tanda ini lebih sulit ditemukan. Kernig’s sign dan Brudzinski hanya dapat
ditemukan pada sekitar 50% penderita MEB dewasa.1,3
Berdasarkan usianya, MEB pada anak maupun dewasa memiliki gejala yang
sama berupa demam, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, dan jarang disertai dengan
kejang generalisata dan gangguan kesadaran.2 Kaku kuduk pada usia dewasa atau
lebih tua tidak hanya mengindikasikan ke arah iritasi meningeal, melainkan dapat
mengarah ke diagnosis spondilosis servikal, parkinsonism, atau rigiditas
paratonik. Kaku kuduk akibat iritasi meningeal umumnya ditandai dengan tahanan
pada fleksi leher namun dapat menoleh ke segala sisi secara pasif.4 MEB pada
nenonatus memiliki gejala berupa nyeri kepala yang ditandai dengan sikap
neonatus yang sering memegang kepala atau menangis, demam, penurunan
kesadaran, muntah, kejang, dan bulging fontanel sebagai tanda terjadinya iritasi
meningeal. Tanda rangsang meningeal atau kaku kuduk pada nenonatus sangat
jarang ditemui dan umumnya ditemui pada MEB onset lanjut.4
2.7 Diagnosis
Diagnosa standar pada MEB ialah pungsi lumbal untuk menganalisa Cairan
Serebrospinal (CSS). Namun sebelum dilakukannya pungsi lumbal, perlu
dilakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan kontraindikasi relatif pungsi
lumbal, yaitu massa otak, hidrosefalus, dan edema serebri. Gambaran CT scan
kepala pada MEB dapat dilihat pada Gambar 2.5. Apabila CT scan tidak dapat
dilakukan, pungsi lumbal tidak boleh dilakukan pada penderita dengan gangguan
kesadaran, keadaan imunokompromise, riwayat penyakit sistem saraf pusat
(massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik fokal, dan papil edema yang
merupakan tanda herniasi.1 Algoritma diagnosa MEB dapat dilihat pada Gambar
2.6.
Gambar 2.5. Hasil CT-scan Kepala pada MEB. Tampak infark lakunar pada
pasien MEB di daerah lobus frontoparietal kiri disertai infark lakunar pada basal
ganglia kanan dan efusi subdural bilateral (gambar kiri). CT-scan tanpa kontras
menunjukkan MEB akut dengan ventrikulomegali ringan dan hilangnya sulkus
(gambar kanan).8
Gambar 2.6. Algoritma Diagnosa MEB. Apabila pada pemeriksaan fisik dan
anamnesis sudah mengarah ke kecurigaan MEB, lakukan CT scan kepala segera
dan evaluasi apakah terdapat kontraindikasi pungsi lumbal. Jika tidak ada
ditemukan kontraindikasi, lakukan kultur darah dan pungsi lumbal segera. Namun
apabila ditemukan kontraindikasi ataupun defisit neurologik fokal, kejang, riwayat
penyakit neurologis dengan massa intrakranial, lakukan kultur darah saja. Apabila
analisa CSS pada pungsi lumbal sudah mengarah ke MEB, segera lakukan
pewarnaan gram dan kultur CSS agar mengetahui bakteri spesifik penyabab
MEB.1
Terdapat beberapa perbedaan karakter CSS pada meningoensefalitis
berdasarkan patogennya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Perbedaan Karakter CSS pada Jenis Patogen yang Berbeda.
Karekteristik CSS yang membedakan patogen penyebab meningoensefalitis ialah
warna CSS, tekanan intrakranial, jumlah sel leukosit, kadar glukosa dan protein
pada CSS. Pada MEB warna CSS umumnya keruh atau purulen, sedangkan
patogen lainnya menyebabkan warna CSS masih tetap jernih. Tekanan
intrakranial pada meningoensefalitis dapat meningkat atau normal, namun
dikatakan pada MEB dan meningoensefalitis tuberkulosa hampir selalu
meningkat. Peningkatan sel leukosit pada meningoensefalitis juga berbeda
kadarnya. Pada MEB leukosit yang dominan ialah sel polimorfonuklear,
sedangkan meningoensefalitis dengan patogen lainnya dominan sel mononuklear.
Kadar glukosa dan protein pada meningoensefalitis dapat rendah, normal, ataupun
meningkat sesuai dengan patogennya.1,5,6
2.8 Penatalaksanaan
Terapi utama pada MEB ialah antibiotik. Sembari menunggu hasil kultur
CSS untuk menentukan bakteri penyebab MEB, penderita dapat diberikan terapi
antibiotik empirik terlebih dahulu. Terapi antibiotik empirik didasarkan pada
epidemiologi bakteri tersering yang menginfeksi sesuai dengan karakteristik
penderita. Sesuai dengan epidemiologi di Indonesia, pilihan terapi antibiotik
empirik dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Terapi Antibiotik Empiris pada MEB. Gambar diatas
menjelaskan bahwa penderita terbagi menjadi beberapa golongan karakter dan
golongan karakter masing-masing memiliki etiologi tersering yang berbeda-beda
berdasarkan epidemiologinya. Hal itu yang membuat pilihan terapi antibiotik
empirisnya juga hampir berbeda.1
Setelah hasil kultur keluar, antibiotik empirik dapat diganti dengan
antibiotik spesifik seperti pada Gambar 2.9. Durasi pemberian antibiotik berbeda-
beda tergantung patogennya. Berdasarkan rekomendasi WHO, meningoensefalitis
meningokokal dan haemofilus memerlukan terapi antibiotik minimal 5 hari pada
situasi non-epidemik, namun pada beberapa negara disarankan minimal 7 hari.
Untuk meningoensefalitis pneumokokal dianjurkan terapi antibiotik spesifik
minimal 10-14 hari.1 Berdasarkan literatur lain, meningoensefalitis yang
disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitides memerlukan terapi antibiotik
minimal 7 hari, S. pneumoniae 10-14 hari, L. monocytogens dan Sterptokokus
grup B 14-21 hari, dan basil gram negatif (selain H. influenzae) minimal 21 hari.2
Gambar 2.9. Terapi Antibiotik Spesifik pada MEB. Gambar diatas
menjelaskan terapi antibiotik utama dan alternatif pada MEB berdasarkan patogen
spesifik yang menginfeksi.1,5
Selain mendapatkan terapi antibiotik, penderita MEB juga mendapatkan
terapi kortikosteroid berupa deksametason. Pemberian ini masih sangat
kontroversial, namun mengingat efek positif yang signifikan terhadap MEB,
terapi ini masih digunakan. Sejumlah pakar berpendapat pemberian deksametason
harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MEB bukan H.
influenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan
pemberian deksametason apapun etiologinya.1
Deksametason dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid
yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan
tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron.
Deksametason diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg atau 0,15 mg/kgBB
setiap 6 jam secara intravena.1,2 Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi
suportif dan simptomatik. Terapi suportif yang dimaksud ialah terapi untuk
mempertahankan penderita pada posisi homeostasis dengan status normoglikemia
dan normovolemia. Apabila penderita mengalami kejang, maka dapat diberikan
terapi kejang sebagai terapi simptomatik. Penderita juga perlu diberikan Proton
Pump Inhibitor (PPI) untuk mencegah stress-induced gastritis akibat permberian
kortikosteroid IV.1
Saat ini telah berkembang terapi profilaksis pada MEB. Individu yang
mengalami kontak dengan pasien terinfeksi meningokokal harus diberi antibiotik
profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofloxacin 500 mg
dosis tunggal atau rifampisin 2x600 mg selama 2 hari. Profilaksis tidak
dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus infeksi meningokokal sudah lebih
dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan N. meningitidis
diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna. Apabila tinggal
dengan anak >4 tahun dan memiliki vaksinisasi H. influenza yang tidak lengkap,
dianjurkan mengonsumsi antibiotik profilaksis yaitu rifampisin 20mg/kgBB/hari
selama 4 hari. Pada streptokokus grup B terutama yang sering menginfeksi ibu
hamil dengan risiko, diperlukan profilaksis berupa Penisilin G dengan dosis inisial
5 juta unit intravena kemudian 2,5-3 juta unit setiap 4 jam selama periode
intrapartum.1,5
2.9 Komplikasi
KESIMPULAN