Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

PENURUNAN KESADARAN EC MENINGITIS TB DENGAN TB MILIER


DALAM TERAPI DAN GIZI BURUK

Oleh:
Zehan Afifa Yusran 1910311061

Preseptor:
dr. Nice Rachmawati, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR M DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023

I
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis


ucapkan atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan ilmu, akal, pikiran, dan waktu,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Case Report Session “Penurunan
Kesadaran ec Meningitis Tuberkulosis disertai TB Milier dan Gizi Buruk”. Makalah
Case Report Session ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan tahap
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nice Rachmawati, Sp.A(K),
sebagai preseptor yang telah membimbing penulis dalam penulisan makalah Case
Report Session ini.
Tentunya penulisan makalah Case Report Session ini sangat jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, Oktober 2023

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……..………………………………………………… II


DAFTAR ISI ………..……..………………………………………………… III
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………. 1
1.2 Batasan Masalah ………………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………. 2
1.4 Metode Penulisan …………………………………………………………. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 3


2.1 Meningitis Tuberkulosis …………………………………………………… 3
2.1.1 Definisi …………………………………………………………... 3
2.1.2 Epidemilogi …………………………………………………. ….. 3
2.1.3 Etiologi …………………………………………………………... 3
2.1.4 Patofisiologi ……………………………………………………… 4
2.1.5 Manifestasi Klinis ………………………………………………... 4
2.1.6 Diagnosis …………………………………………………………. 5
2.1.7 Tatalaksana ……………………………………………………….. 7
2.1.8 Komplikasi ……………………………………………………….. 7
2.1.9 Prognosis …………………………………………………………. 8
2.2 TB Milier …………………………………………………………………… 9
2.2.1 Etiologi …………………………………………………………… 8
2.2.2 Manifestasi Klinis ……………………………………………….. 9
2.2.3 Diagnosis …………………………………………………………. 9
2.2.4 Tatalaksana ………………………………………………………. 10
2.3 Gizi Buruk …………………………………………………………………. 11
2.3.1 Definisi ……………………………………………………………. 11
2.3.2 Klasifikasi ………………………………………………………… 11
2.3.3 Tatalaksana ……………………………………………………….. 12

BAB III LAPORAN KASUS ………………………………………………….. 13


BAB IV DISKUSI ……………………………………………………………… 21
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………... 23

III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi
juga megenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis) bahkan
bisa menyebar ke medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur
hipokampus, diduga sebagai penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten
pada pasien yang sembuh dari meningitis bacterial.1
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada
penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru.2
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan
3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai
25% pada bayi). Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari kompleks primer, yang biasanya
terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering dalam 3 bulan pertama, setelah infeksi
awal. Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia <2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB
mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier
juga dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru
primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi
kuman yang dorman.3
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuman M. tuberculosis
(jumlah dan virulensi) dan status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik).
Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan
timbulnya TB milier, salah satunya malnutrisi.3 Gizi buruk adalah suatu bentuk
malnutrisi dengan tampilan klinis tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh tubuh atau data antropometri BB/TB(PB) < -3 SD
(standar deviasi).4 Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber
daya manusia karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seseoarang.
Status gizi anak dinilai menurut empat indeks, yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB) dan LILA menurut Umur (LILA/U).5 Gizi buruk merupakan salah satu
masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian. Tujuan dari penulisan
laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai penurunan kesadaran ec
meningitis tuberculosis diseetai tb milier dan gizi buruk.

1
1.2 Batasan Masalah
Laporan kasus ini membahas mengenai Penurunan Kesadaran ec Meningitis
Tuberkulosis disertai TB Milier dan Gizi Buruk.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan untuk mengetahui mengenai Penurunan Kesadaran ec Meningitis
Tuberkulosis disertai TB Milier dan Gizi Buruk

1.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini ditulis dengan mungganakan metode tinjauan Pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis Tuberkulosis


2.1.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen,
tapi juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis)
bahkan bisa menyebar ke medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada
struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab potensial defisit
neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis bacterial.1
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering
muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru
dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh
di luar paru.2

2.1.2 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis merupakan penyebab ketujuh dari kematian dan
kecacatan pada seluruh dunia. Pada tahun 1997, meningitis tuberkulosis adalah
bentuk kelima tersering dari tuberkulosis. WHO memperkirakan sepertiga dari
penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Pada tahun 2005 kasus baru
tuberkulosis di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8,8 juta dengan 7,7 juta
kasus berasal dari Asia dan Afrika. 1,6 juta meninggal akibat tuberkulosis
termasuk 195.000 pasien dengan HIV.6
Meningitis tuberkulosis sering terjadi pada anak-anak terutama yang
berusia di bawah 5 tahun. Tidak ada perbedaan insidens antara laki-laki dan
perempuan. Tingkat mortalitas mencapai 10-20 % sementara morbiditas berupa
gejala sisa neurologik permanen mencapai 82%.6
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak
menyebabkan kematian atau kecacatan dibanding dengan meningitis bakterialis
akut, perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan
atau kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu hebat.6

2.1.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah basil gram positif, hidup secara
obligat aerob, tidak berspora, dan tidak bergerak. Panjangnya 2-4 um. Memiliki
dinding sel kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan antibodi dan
komplemen. Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk mengisolasi

3
bakteri dari spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen. Uji sensitivitas obat
membutuhkan 4 minggu tambahan. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam
yaitu kemampuan membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila
diwarnai dengan pewarna arilmetan dan mempertahankan warnanya walau
dicuci dengan etanol.7

2.1.4 Patofisiologi
Banyak gejala, tanda dan sekuele dari meningitis TB (TBM) merupakan
hasil reaksi inflamasi akibat infeksi. TBM berkembang dalam 2 tahap. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis memasuki host melalui droplet inhalasi dan
infeksi terlokalisasi pada paru. Infeksi lokal meningkat di paru dan menyebar
ke kelenjar getah bening regional sehingga menghasilkan kompleks primer.
Selama tahap ini, bakteremia dapat membentuk basil tuberkel ke organ lain.8
Pada orang yang mengalami TBM, basil di meninges atau parenkim
otak akan membentuk fokus subpial atau subependymal dari metastasis lesi
caseous yang disebut “rich foci”, setelah studi patologis asli Rich. Tahap kedua
dalam perkembangan TBM adalah peningkatan ukuran foci sampai pecah ke
ruang subarachnoid. Lokasi tuberkel yang meluas menentukan jenis
keterlibatan SSP. Tuberkel yang pecah ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan meningitis, jika mengenai bagian yang lebih dalam di otak atau
parenkim sumsum tulang belakang menyebabkan tuberkuloma atau abses.8
Eksudat gelatin yang tebal menginfiltrasi pembuluh darah kortikal atau
meningeal sehingga menghasilkan peradangan, obstruksi, atau infark.
Meningitis basal merupakan penyebab disfungsi saraf kranial (CN) III, VI, dan
VII yang pada akhirnya menyebabkan hidrosefalus obstruktif akibat obstruksi
basilar. Patologi neurologis berikutnya dihasilkan oleh 3 proses umum:
pembentukan adhesi, vaskulitis obliteratif, dan ensefalitis atau myelitis.8

2.1.5 Manifestasi Klinis


Faktor risiko yang harus dicurigai MTB pada anak adalah adanya
riwayat infeksi TB paru dan infeksi HIV. Sekitar 60% anak dengan MTB
menunjukkan bukti radiologi terinfeksi TB paru. Insiden tertinggi MTB pada
anak terjadi pada usia 2-4 tahun.9 Pada fase prodromal dapat dijumpai gejala
berupa demam ringan (sub-febris), malaise, sakit kepala, pusing, muntah
muntah dan/atau delirium, penurunan kesadaran, perubahan kepribadian yang
menetap selama beberapa minggu. Kemudian pasien dapat menunjukkan gejala
sakit kepala yang memberat, penurunan kesadaran dan kejang. Kejang
merupakan gejala klinis yang sering terjadi pada anak anak sampai mencapai
50% kasus. Gejala klinis yang klasik seperti kaku kuduk dan demam dapat saja

4
tidak muncul. Pemeriksaan neurologis menunjukkan kaku kuduk dan/atau
tanda Kernig positif, Brudzinki I dan II positif. Jika tidak diberikan terapi OAT
maka dapat terjadi koma dan kematian.10
Presentasi klinis yang klasik dari penyakit meningitis sub-akut sulit
dibedakan dari penyebab meningoencephalitis lainnya. Saat gejala neurologis
penyakit yang telah lanjut muncul (seperti koma, kejang, peningkatan
tekanan intrakranial serta hemiparesis), diagnosis terlihat jelas namun
prognosisnya buruk. Gangguan motorik dapat muncul setelah infark basal
ganglia dan muncul sebagai tremor, korea, ballismus atau myoclonus. Pada
beberapa anak dapat datang dengan ensefalopati tuberkulosis dengan
disseminated tuberculosis namun tanpa bukti meningitis secara klinis ataupun
pada cairan serebrospinal. Pada MTB dengan keterlibatan spinal,
menunjukkan gejala paraplegi dan muncul pada <10% kasus. Tuberkulosis
vertebral (Pott’s disease) menyumbang sebanyak seperempat pasien dengan
MTB spinal dan dapat berhubungan dengan abses paravertebral atau gibbus.
MTB diklasifikasikan ke dalam tiga tingkat keparahan berdasar British
Medical Research Council TBM :11
• Tingkat 1 MTB didefinisikan dengan Glasgow coma score (GCS) 15
dengan tanpa defisit neurologi fokal.
• Tingkat 2 MTB dengan GCS 15 dan defisit neurologi fokal, atau GCS
11- 14.
• Tingkat 3 MTB dengan GCS ≤10

2.1.6 Diagnosis
Riwayat demam yang lama/kronis dan dapat juga berlangsung akut,
Kejang, deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval) kesadaran setelah
kejang. Penurunan kesadaran-Penurunan berat badan (BB), anoreksia, muntah,
sering batuk dan pilek. Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa dan
riwayat imunisasi BCG.Manifestasi klinis dibagi menjadi 3 stadium:12
Stadium I
Pasien tampak apatis ,iritabel, nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia,
mual dan muntah. Belum tampak manifestasi kelainan neurologi.
Stadium II
Pasien tampak mengantuk, disorientasi, ditemukan tanda rangsang
meningeal, kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan
involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
Stadium III

5
Stadium II disertai dengan kesadaran semakin menurun sampai koma,
ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi,
pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh, dan ekstremitas spastis.
Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah dan gula
darah. Leukosit, darah tepi sering meningkat (10.000 – 20.000 sel/mm3). Sering
ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon
yang tidak adekuat.Pungsi lumbal didapatkan hasil liquor serebrospinal (LCS)
jernih, cloudy atau santokrom. Jumlah sel meningkat antara 10–250 sel/mm3
dan jarang melebihi 500 sel/mm3, hitung jenis predominan sel limfosit
walaupun pada stadium awal dapat dominan polimorfonuklear. Protein
meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun di bawah 35 mg/dl,
rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal.12
Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M. Tbc tetap dilakukan,
jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan
dapat memperkuat diagnosis dengan interval dua minggu.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), enzyme-linked
immunosorbentassay (ELISA) dan latex particle agglutination dapat
mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila
memungkinkan).
Pemeriksaan pencitraan (computed tomography (CT Scan)/magnetic
resonance imaging/(MRI) kepala dengan kontras) dapat menunjukkan lesi
parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus.
Pemeriksaan ini dilakukan jika ada indikasi, terutama jika dicurigai terdapat
komplikasi hidrosefalus.
Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit tuberkulosis.
Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis. Elektroensefalografi (EEG)
dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan perlambatan gelombang
irama dasar.12

Gambar 2.1 Perbedaan gambaran analisis CSS antara meningitis


tuberkulosis (MTB) dan infeksi lain.

6
2.1.7 Tatalaksana
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American
Academy of Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2
bulan, dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut :12
• Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
• Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari

Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari.

Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau
streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema
serebral. Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kg/hari selama 6–8 minggu.
Adanya peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat diberikan
deksametason 6 mg/m2 setiap 4–6 jam atau dosis 0,3–0,5 mg/kg/hari.
Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate Antidiuretic
Hormone (SIADH). Diagnosis SIADH ditegakkan jika terdapat kadar natrium
serum yang <135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg,
osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30
mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli
merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis,
terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat
dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali normal.

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah
gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik,
kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat
berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada
koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan
kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat
streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.12
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada
pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien
yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan
terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon
pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.

7
2.1.9 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien
yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk
daripada pasien yang lebih tua usianya.12

2.2 TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan
3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai
25% pada bayi). Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari kompleks primer, yang biasanya
terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering dalam 3 bulan pertama, setelah infeksi
awal. Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia <2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB
mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier
juga dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru
primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi
kuman yang dorman.3

2.2.1 Etiologi
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuman M.
tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan status imunologis pasien (nonspesifik
dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi
perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya paparan
sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan
alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi.3

2.2.2 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada
banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai
adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya
anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa

8
demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak
napas.3
Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa
demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat
dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Pada lebih
kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali
akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan
berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau
disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal. Beberapa
minggu kemudian, hampir di semua organ, terbentuk tuberkel difus multipel,
terutama di paru, limpa, hati, dan sumsum tulang. Gejala klinis biasanya timbul
akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak
napas disertai ronki atau mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul
sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernapasan,
hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga terjadi
gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa
tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid ditemukan
pada 13−87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat
spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier. Maka, pada TB milier perlu
dilakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid.
Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20−40% pasien
yang berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah
terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi lumbal.
Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran abdomen.3

2.2.3 Diagnosis
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2−3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu
berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1−3 mm). Lesi-
lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang
membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1−2 minggu setelah timbulnya penyakit,
pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju.
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat
kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran
klinis, gambaran radiologis yang khas, serta uji tuberkulin yang positif. Uji
tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak.
Uji tuberkulin yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau

9
penyakit TB, atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif terjadi pada lebih dari 40%
TB diseminata. Di bagian Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 80 kasus TB
milier yang dilaporkan sejak bulan Januari 1981 hingga bulan Desember 1984,
sebanyak 43 pasien (53,70%) memiliki hasil uji tuberkulin (-), 23 kasus diantara
43 kasus tersebut memiliki hasil biakan M. tuberculosis (+). Pada ulangan uji
tuberkulin, sebanyak 24 kasus menjadi positif setelah adanya perbaikan klinis.
Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur M. tuberculosis
tetap penting dilakukan. Pemeriksaan M. tuberculosis akan menunjukkan hasil
positif pada 30−50% pasien. Akan tetapi, untuk diagnosis dini, pemeriksaan
sputum atau bilas lambung kurang sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan
bakteriologis dan histologis dari biopsi hepar atau sumsum tulang.
Untuk menentukan diagnosis meningitis TB, sebaiknya dilakukan
pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier walaupun belum timbul kejang atau
penurunan kesadaran.3

2.2.4 Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4−5 macam
OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin
selama 6−10 bulan sesuai dengan perkembangan klinis.
Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB,
perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan
dengan dosis 1−2 mg/kg BB/hari selama 2−4 minggu, kemudian diturunkan
perlahan-lahan (tappering off) selama 2−6 minggu.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam
setelah 2−3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas
hidup sehari-hari, dan peningkatan BB. Gambaran milier pada foto toraks
biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur
menghilang dalam 5−10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan
hingga beberapa bulan.3

2.3 Gizi Buruk


2.3.1 Definisi
Gizi buruk adalah suatu bentuk malnutrisi dengan tampilan klinis
tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh atau data antropometri BB/TB(PB) < -3SD.4

2.3.2 Klasifikasi
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu13

10
Marasmus
Marasmus adalah salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering
ditemukan pada balita. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat
kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel meskipun setelah makan,
kulit keriput yang disebabkan oleh berkurangnya lemak di bawah kulit, perut
cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur
dan keriput (baggy pant)”.

Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan
protein yang inadekuat.9 Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak
sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh,
pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala gastrointestinal,
rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit penderita biasanya kering
dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar, sering
ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati serta anemia
ringan. Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan
perlemakan hati dan edema”.

Marasmiks-Kwashiorkor
Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan menurut umur (BB/U)
<60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak mencolok.

Gizi buruk berdasar dengan ada ataupun tidaknya bahaya, yang dikelompokkan
menjadi 5, yaitu

- Kondisi I yaitu apabila ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah atau


diare atau dehidrasi.
- Kondisi II yaitu apabila ditemukan letargis dan muntah atau diare atau
dehidrasi.
- Kondisi III yaitu apabila ditemukan muntah dan atau diare atau dehidrasi.
- Kondisi IV yaitu apabila ditemukan letargis
- Kondisi V yaitu apabila tidak ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah
dan atau diare atau dehidrasi.

2.3.3 Tatalaksana

11
Anak yang dideteksi mempunyai gizi buruk harus dilakukan
pemeriksaan klinis keseluruhan dahulu untuk informasi ada yang
memungkinkan komplikasi. Kemudian, nafsu makan anak juga butuh
diidentifikasi. Jika anak mempunyai nafus makan yang baik, maka anak bisa
dirawat jalan. Sedangkan jika terjadi komplikasi, nafsunya semakin buruk maka
anak akan dirawat inap, dipisah keruangan yang hangat (25-30oC).4

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa penatalaksanaan gizi


buruk dilakukan melalui dua fase yaitu fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Kiansi Dessianaurul
No. MR : 01.19.22.52
Umur/TTL : 5 Tahun 11 Bulan / 12-11-2017
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ibu Kandung : Yesi
Alamat : Koto Aro, Siulak, Kerinci Jambi
Tanggal Masuk : 7 Oktober 2023
Tanggal Pemeriksaan : 12 Oktober 2023

Anamnesis
Alloanamnesis (diberikan oleh ayah kandung pasien)
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
• Kejang 3 minggu yang lalu, kejang umum, kaku seluruh tubuh, lama kejang
kurang dari 5 menit, setelah kejang pasien tidak sadar
• Penurunan kesadaran sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya
anak terlihat banyak mengantuk dan tidak dapat berkomunikasi
• Batuk sejak 5 minggu yang lalu, berdahak berwarna kuning, batuk terus
menerus terutama pada malam hari, batuk tidak dipengaruhi cuaca atau
makanan, tidak disertai sesak nafas
• Demam sejak 5 minggu yang lalu, demam naik turun, demam tidak terlalu
tinggi, demam terutama pada malam hari disertai keringat, disertai mengigil,
dan tidak disertai kejang
• Terdapat penurunan berat badan dalam waktu 5 minggu dari 14 kg menjadi 9
kg
• Terdapat penurunan nafsu makan sejak 5 minggu yang lalu
• Tidak ada mual dan muntah
• BAB konsistensi normal, frekuensi normal
• BAK warna jerih, Frekuensi normal
• Anak rujukan dari RS Unand Padang, selama rawatan di RS Unand anak tidak
kejang, anak tampak kaku sejak 3 minggu yang lalu

13
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak Pernah sakit seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


• Ayah pasien minum Obat Anti-Tuberkulosis selama 6 bulan pada tahun 2010
• Anggota keluarga lain yang menderita Tuberkulosis dan batuk-batuk lama
disangkal

Riwayat Persalinan:
Lama Hamil : 34-35 minggu
Cara Lahir : Spontan
Berat Lahir : 2700 gr
Ditolong oleh : Bidan
Indikasi : Kurang bulan
Panjang Lahir : 39 cm
Saat lahir langsung menangis : Kuat/Lemah/Biru
Kesan: Lahir kurang bulan, berat bayi lahir rendah, dan menangis kuat

Riwayat Makanan dan Minuman


Bayi
ASI : 0-1 Bulan
Susu Formula : 1 bulan – 2 tahun
Biskuit : 6 bulan
Bubur Susu : 6 bulan
Nasi Tim : 6 bulan

Anak
Makanan utama : 3x sehari, menghabiskan 1/2 porsi
Daging :-
Ikan :-
Telur : 7-8x/minggu
Sayur : 1-2x/minggu
Buah : 1-2x/minggu
Kesan: Kuantitas kurang, Kualitas kurang

14
Riwayat Imunisasi

Kesan: Imunisasi tidak lengkap

Riwayat Perkembangan

Kesan: Imunisasi tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Kesan: Pertumubuhan dan perkembangan motorik kasar, bahasa, motorik halus, dan
personal sosial terlambat

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Yeki Yesi
Umur 35 tahun 27 tahun
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Petani Petani

15
Penghasilan - -
Perkawinan Cerai Cerai
Penyakit yang diderita TB -
Tinggi Badan 167 cm 155 cm

Saudara Kandung
Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang
Perempuan 5 tahun Pasien
Laki-laki 3 tahun Sehat

Riwayar Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : Air yang dimasak
Buang air besar : Di sungai
Pekarangan : Sempit
Sampah : Dibakar
Kesan: Hygiene dan sanitasi kurang

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Sakit berat
Kesadaran : GCS 8 (E3M4V1)
Tekanan darah : 105/70 mmHg
Frekuensi nadi : 107x/menit
Frekuensi napas : 26x/menit
Suhu : 36,80C
BB : 9 kg
TB : 98 cm
BB/U : 45% (sangat kurang)
TB/U : 85% (kurang)
BB/TB : 60%
Status gizi : Gizi buruk
Ikterus : Tidak ada
Anemia : Ada
Sianosis : Tidak ada
Kulit : Ada anemis, tidak ikterik, dan tidak sianosis
Kepala : Lingkar kepala 46 cm (mikrocephal), Ubun-ubun tertutup
Rambut : Tidak ada rambut
Mata : Konjungtiva anemis, skera ikterik, pupil isokor diameter

16
3mm/3mm, reflek cahaya +/+
Telinga : Tidak ada sekret
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Tenggorok : Sulit dinilai
Gigi dan mulut : Bibir pucat dan kering
Leher : Kaku kuduk ada, tidak teraba perbesaran KGB servikal
Toraks
Paru
Inspeksi : Normochest, tidak terdapat retraksi, terdapat iga gambang
Palpasi : Sulit dinilai
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Air entry kanan = kiri, Suara nafas vesikuler, rhonki tidak
terdengar, wheezing tidak terdengar
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di LMCS RIC IV
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1-2 reguler, bising tidak tedengar
Abdomen
Inspeksi : Tidak distensi
Palpasi : Supel, heapar tidak teraba, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Punggung : Tidak terdapat kelainan
Genitalia : Dalam batas normal
Eksremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Spastik, Reflek bisep +/+, reflek
trisep +/+, Reflek patella ++/++, Reflek archilles ++/++, Reflek babinsky -/-, reflek
chaddock -/-, reflek Oppenheim -/-, reflek Gordon -/-

17
Pemeriksaan Laboratorium

Darah rutin Hitung jenis


Hemoglobin : 7,3/dl Basofil 0

Leukosit : 7.4403/mm3 Eosinofil 0


Neutrofil batang 0
Trombosit : 459.0003/mm3
Neutrofil segmen 74
Eritrosit : 2,87 x 106/ul
Limfosit 19
Monosit 7
Kimia klinik LCS
Natrium : 128 mmol/L Kekeruhan: bening
Kalium : 3,5 mmol/L Leukosit PMN: 0-1/LPB
Klorida : 79 mmol/L
Kultur LCS: Tidak ditemukan
Kalsium : 8,8 mg/dL
pertumbuhan kuman (aerob)
Albumin : 3,7 g/dL
Bilirubin Total : 0,6 mg/dL
Bilirubin Direk : 0,4 mg/dL
Bilirubin Indirek : 0,2 mg/dL
SGOT : 83 U/L
SGPT : 64 U/L
Ureum Darah : 28 mg/dL

Kesan: Anemia, Limfopenia, Trombositosis, Hipoalbuminemia, Hiponatremia,


hipokalsemia, hipokloremia, SGOT dan SGPT meningkat

Pemeriksaan Penunjang
Rontgen Thoraks

18
Kesan: TB Milier

Daftar Masalah
• Penurunan kesadaran
• Kejang
• Batuk
• Demam
• Penurunan berat badan
• Penurunan nafsu makan

Diagnosis Kerja
• Penurunan kesadaran ec meningitis tb
• TB Milier dalam terapi
• Gizi buruk tipe marasmik kondisi IV

Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan
O2 Nasal Kanul 2 lpm

2. Tatalaksana nutrisi/diurietik
F135 8x100 cc/ NGT
IVFD Kaen IB

3. Tatalaksana medikamentosa
- Clonazepam 1x0,3 mg (PO)
- INH 1x90 mg (PO)
- Rifampisin 1x90 mg (PO)
- Pirazinamid 1x135 mg (PO)
- Etambutol 1x135 mg (PO)
- Prednison 3x5 mg (1,6 mg/kgbb/hari) (PO)
- Fenobarbital 2x20mg (PO)
- Vit Bcomplex 1x1 tab (PO)
- Amikasin 1x135 mg (IV)
- Paracetamol 4x135 mg (IV)

4. Edukasi
Edukasi keluarga terkait kondisi pasien untuk minum obat secara teratur dan
tidak putus pengobatan

19
Follow Up
12 Oktober 2023
S/ Pasien post VP Shunt 2 hari yang lalu, ada spastik, intake perNGT, tidak ada
kejang, tidak ada demam, BAB dan BAK normal
O/ KU: Sakit berat, GCS 9 E3M4V2, TD 105/70 mmHg, HR 107x/menit, RR
26x/menit, T 36,8oC, BB 9kg, status gizi buruk
Mata: konjungtiva anemis, sklera ikterik
Thorax: tidak ada retraksi, air entry kanan = kiri, tidak terdengar rhonki dan wheezing
Abdomen: tidak distensi, supel, bising usus (+) normal
Eksremitas: spastik, akral hangat, crt < 2 detik
A/ Post VP Shunt
Penurunan kesadaran ec hidrosefalus ec menigitis tb
TB Milier dalam terapi
Gizi buruk tipe marasmik kondisi IV
P/ Observasi dan pemberian medikamentosa

13 Oktober 2023
S/ Pasien post VP Shunt 3 hari yang lalu, ada spastik, intake perNGT, tidak ada
kejang, tidak ada demam, BAB dan BAK normal
O/ KU: Sakit berat, GCS 9 E3M4V2, TD 110/68 mmHg, HR 116x/menit, RR
24x/menit, T 37,1oC, BB 9kg, status gizi buruk
Mata: konjungtiva anemis, sklera ikterik
Thorax: tidak ada retraksi, air entry kanan = kiri, tidak terdengar rhonki dan wheezing
Abdomen: tidak distensi, supel, bising usus (+) normal
Eksremitas: spastik, akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Post VP Shunt
Penurunan kesadaran ec hidrosefalus ec menigitis tb
TB Milier dalam terapi
Gizi buruk tipe marasmik kondisi IV
P/ Pantau tekanan darah dan pemberian medikamentosa

20
BAB IV
DISKUSI

Pasien anak perempuan usia 5 tahun 11 bulan dengan diagnosis penurunan


kesadaran ec meningitis TB disertai tb milier dan gizi buruk. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien
merupakan rujukan dari RS Unand dengan diagnosis penurunan kesadaran ec
meningitis TB disertai tb milier dan gizi buruk dan telah dilakukan pemeriksaan
penunjang dan telah mendapatkan terapi.
Pada anamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah penurunan kesadaran
sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. infeksi pada meningen menyebabkan
terjadinya penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluhkan demam, kejang, penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan yang merupakan salah satu manifestasi klinis
akibat Mycobacterium tuberculosis pada fase prodromal (stadium 1). Demam
merupakan respon tubuh terhadap adanya pirogen endogen maupun eksogen.
Pada infeksi pirogen yang dihasilkan patogen menyebabkan pelepasan IL- 1
dan TNF α dan merangsang pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Kejang terjadi
karena pelepasan muatan listrik yang dipicu oleh paroxysmal depolarization shift
(PDS) yang akan mempengaruhu sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik
sehingga terjadi hipereksitabilitas neuron otak. Pasien ini mengalami kejang yang
didahului demam, akan tetapi pasien sudah berusia 5 tahun 11 bulan sehingga diagnosis
kejang demam dapat disingkirkan, sehingga kejang pada pasien perlu di curigai akibat
infeksi SSP berupa ensefalitis dan meningitis. Demam dan nafsu makan menurun
merupakan manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien somnolen dengan GCS 8
(E3M4V1). Pada pasien didapatkan status gizi buruk dengan BB 9kg, TB 98 cm. Hal
ini merupakan factor risiko infeksi pada pasien. Pada pemeriksaan neurologis
ditemukan reflek fisiologis normal, reflek patologis negatif, dan tanda rangsangan
meningeal berupa kaku kuduk (+). Kaku kuduk merupakan tanda peradangan pada
selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri.
Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya
terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini mengarahkan diagnosis
meningitis tuberkulosis. Pada pasien terdapat keluhan batuk berdahak disertai demam
pada malam hari dan gambaran rontgen toraks berupa tb milier dan pada pemeriksaan
fisik ditemukan tanda rangsangan meningeal positif .
Untuk menegakkan diagnosa pasti dari meningitis tuberkulosis ini kita harus
melakukan lumbal punksi dan pada pasien ini hasil Lumbal pungsi sesuai dengan
meningitis tuberkulosis yaitu warna jernih, leukosit PMN 01/LPB. Lumbal pungsi

21
merupakan gold standar dalam menegakkan diagnosa meningitis sehingga pada pasien
ini sudah bisa ditegakkan diagnosanya berupa meningitis tuberkulosis.
Pemeriksaan rontgen di temukan bercak/infiltrat noduler halus difus di kedua
lapang paru. Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British
Medical Research Council. Meningitis tuberkulosis derajat 1 ditandai dengan GCS 15
tanpa kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai dengan GCS 15 dengan defisit
neurologis fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai dengan GCS ≤10. Dari hasil
pemeriksaan GCS (8) makan pasien ini diklasifikasikan menjadi meningitis tuberklosis
derajat 3.
Terapi kepada pasien ini pada awalnya diberikan terapi O2 nasa kanul 2 lpm,
IVFD KAEN 1B 52 cc/jam. Pemberian obat antipiretik juga dianjurkan diberikan pada
pasien ini dengan pemberian paracetamol 4x135 mg (iv). Pemberian antibiotik
spektrum luas diberikan pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi sistem saraf
pusat berupa Amikasin dengan dosis 5mg/kgBB/hari. Tatalaksana pada meningitis
tuberculosis, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, dilanjutkan
dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dosis obat antituberkulosis
adalah sebagai berikut; Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300
mg/hari, Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, Pirazinamid
15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari, Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari,
dosis maksimal 1000 mg/hari atau streptomisin IM -20 – 30 mg/kg/hari dengan
maksimal 1 gram/hari.
Peran kortikosteroid pada terapi meningitis tuberkulosis bertujuan untuk
menurunkan proses inflamasi dan edem pada serebri. Kortikosteroid yang diberikan
prednisolone 1-2 mg/kbb/hari selama 6-8 minggu lalu ditappering off. Respon jaringan
terhadap inflamasi pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat inflamasi mendorong
struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh darah di daerah ini. Penggunaan
antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi kerusakan jaringan yang terjadi.
Pasien diberikan antikejang berupa clonazepam yaitu golongan benzodiazepine
dengan dosis 0,01 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 jadwal konsumsi dan fenobarbital yang
merupakan antibiotic spektrum luas dengan dosisi 5mg/kgbb/hari dibagi dalam 2
jadwal konsumsi. Untuk pemenuhan nutrisi pasien diberikan F135 8x100cc/NGT

22
DAFTAR PUSTAKA
1. AH R, RH B. Adam and Victor’s Principles of Neurology. New York: McGraw-
Hill. 2015;8th ed.
2. Mycobacterium tuberculosis. Microbiology Bytes. 2020.
3. Universitas Airlangga. Tuberculosis. Buku Pegangan Pembimbing [Internet].
2017;1360-1372p. Available from: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS13_TB-Paru-Q.pdf
4. Indonesia KKR. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Direktorat Bina
Gizi; 2020.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil pemantauan status gizi (PSG)
dan penjelasannya. Direktorat Gizi Masyarakat, editor. Jakarta; 2017.
6. R K, SN S, N K. A diagnostic rule for managing tuberculous meningitis
(review). Arch DIs Child. 2015;221–4.
7. K P, MB S, H R. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis (review).
Cochrane Database Syst Rev. 2017;
8. TS R. Medscape: Tuberculous Meningitis [Internet]. 2017. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1166190
9. R VT, R S. Update on the diagnosis and management of tuberculous meningitis
in children. Semin Pediatr Neurol. 2018;12–8.
10. GE M, ED C. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment Overview.
Tuberc Res Treat. 2017;1–9.
11. Mahalini. Update diagnosis meningitis tuberkulosis pada anak. Fak Kedokt
UDayana. 2019;
12. IDAI. Pedoman Pelayanan medis. In Ikatan DOkter Anak Indonesia; 2009.
13. Anorital, S S, F S, H S, Mulyadi, DI S. Kinerja dua tahun kementrian kesehatan
Republik Indonesia tahun 2009- 2011:menuju masyarakat sehat yang mandiri
dan berkeadilan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai