Disusun oleh :
1102017169
Pembimbing :
JAKARTA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................... i
BAB I ................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
BAB II .............................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 2
1. Tuberkulosis (TB) ........................................................................................... 2
1.1 Definisi................................................................................................ 2
1.2 Epidemiologi ....................................................................................... 2
1.3 Klasifikasi ........................................................................................... 2
1.4 Patogenesis .......................................................................................... 9
1.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 12
1.6 Diagnosis........................................................................................... 14
1.7 Tatalaksana ....................................................................................... 21
1.8 Pencegahan ....................................................................................... 26
2. Pneumonia ..................................................................................................... 31
2.1 Definisi.............................................................................................. 31
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 31
2.3 Etiologi.............................................................................................. 31
2.4 Klasifikasi ......................................................................................... 33
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 34
2.6 Diagnosis........................................................................................... 36
2.7 Tatalaksana ....................................................................................... 40
2.8 Komplikasi ........................................................................................ 42
3. Asma ............................................................................................................... 43
3.1 Definisi.............................................................................................. 43
3.2 Epidemiologi ..................................................................................... 43
3.3 Klasifikasi ......................................................................................... 45
3.4 Patogenesis dan Patofisiologi ........................................................... 47
3.5 Diagnosis dan diagnosis banding ...................................................... 54
3.6 Tatalaksana ....................................................................................... 57
3.7 Pencegahan ....................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 89
i
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem kekebalan tubuh atau imunitas pada anak belum terbentuk dengan sempurna.
Maka dari itu anak mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri.
Penyakit yang paling sering menyerang anak2 salah satunya adalah penyakit pada saluran
pernapasan. Beberapa penyakit pada saluran pernapasan yang akan di bahas yaitu
tuberkulosis, pneumonia, dan asma.
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial2. Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Menurut survei kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia1.
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi 20,6 per
juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per juta.
Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang tua
>65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita 5.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis
1.1 Definisi
1.2 Epidemiologi
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010
adalah 9,4%. kemudian menjadi 8.5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012 7,9% pada
tahun 2013: 7,16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar
provinsi dari 1.2% sampai 17.3% Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas
yang beroeda antara provinsi tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak
pada level provinsi3.
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada umumnya
tergantung dari tingkat penularan lama pajanan, dan daya tahan tubuh. Pasien TB dengan
BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif. Pasien TB dengan BTA negatif masih nemiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat perularan pasien TB BTA positif adalan 65% pasien TB
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto toraks positif adalah 17%3.
1.3 Klasifikasi
a. Klasifikasi pasien TB
Terduga TB anak adalah anak yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung
TB.
Pasien TB anak:
a. Pasien TB anak terkonfirmasi bakteriologis adalah anak yang terdiagnosis dengan
hasil pemeriksaan bakteriologis positif.
b. Pasien TB anak terdiagnosis secara klinis adalah anak yang tidak memenuhi kriteria
terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB oleh dokter, dan
diputuskan untuk diberikan pengobatan TB3.
2
Selain pengelompokan pasien berdasarkan definisi tersebut di atas, pasien juga
diklasifikasikan menurut:
1) Lokasi anatomi dari penyakit
2) Riwayat pengobatan sebelumnya
3) Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
4) Status HIV
a) adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB milier dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b) Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
c) Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
a) Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
b) Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis.
c) Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28
dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT
selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien
yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal
sebagai
3
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui: adalah pasien TB yang
tidak masuk dalam kelompok (a) atau (b).
Gejala yang umum ditemukan adalah demam lama, sakit kepala, diikuti kejang dan
kesadaran menurun. Apabila ditemukan gejala gejala tersebut, anak harus segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Gejala TB meningitis timbul lambat selama
beberapa minggu dan dapat dibagi menjadi 3 stadium.
a. Stadium 1 berlangsung 1-2 minggu dengan gejala tidak spesifik seperti panas badan,
sakit kepala, mengantuk, dan malaise, tidak terdapat gangguan neurologis (glasgow coma
scale/GCS: 15).
4
b. Stadium 2 dengan gejala timbul tiba-tiba, seperti penurunan kesadaran, kejang, kaku
kuduk, muntah, hipertoni, gangguan saraf otak, Brudzinski dan Kernig (+), serta gejala
neurologi lainnya (GCS 11-14).
c. Stadium 3 terdapat gangguan kesadaran yang lebih dalam (GCS <10), hemiplegi atau
paraplegi, hipertensi, deserebrasi, dan sering menimbulkan kematian.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti analisis cairan
serebrospinal, dan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI bila ditemukan tanda
peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah- muntah dan edema papil, defisit
neurologis, untuk menentukan adanya hidrosefalus atau tuberkuloma.
Uji kulit tuberkulin negatif pada 50% kasus dan foto toraks normal ditemukan pada 20-
50% kasus. Pemeriksaan dan kultur cairan serebrospinal sangat penting untuk diagnosis
TB meningitis. Analisis cairan serebrospinal menunjukkan jumlah leukosit 10-500
sel/mm3 (pada awal penyakit dominasi oleh PMN, namun umumnya dominasinya adalah
limfosit), kadar glukosa <40 mg/dL namun jarang yang <20 mg/dL, kadar protein cairan
meningkat (400-5.000 mg/dL). Pemeriksaan BTA dari cairan serebrospinal positif pada
30% kasus dan kultur positif pada 50-70% kasus. Dibutuhkan bahan pemeriksaan 5-10 ml
cairan serebrospinal untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BTA dan kultur juga dapat
diperiksa dari cairan lambung.
2. Tuberkulosis Tulang/Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan bentuk TB ekstra paru yang mengenai tulang
atau sendi. Insidensi TB sendi berkisar 1-7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena
adalah: tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut
(gonitis).
Gejala dan tanda spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan
dan sering ditemukan setelah trauma. Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika
pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan
di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot
paha dan betis. Pada TB spondylitis dapat ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang
belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan.
Warna benjolan sama dengan kulit di sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan
abses dingin.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan dan MRI. Perlu
dilakukan pemeriksaan bakteriologis dari spesimen yang dapat diambil melalui
pembedahan atau tindakan lain.
Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau
tulangnya. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada
kelainan yang sudahlanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu
mobilitas pasien.
5
3. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula, merupakan
bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada
kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6-9 bulan setelah infeksi awal M.
tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi
pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
4. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu
etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah TB.
Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang
paling banyak dijumpai (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang
gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik. Pleuritis TB sering
terjadi pada anak, biasanya terjadi dalam 3-9 bln pertama setelah terjadi TB primer.
Gejala awal meliputi demam akut yang disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada
(78%). Pasien juga sering datang dalam keadaan sesak napas yang hebat. Pemeriksaan
foto toraks dapat dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi biasanya unilateral (95%) dan
hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
Untuk diagnosis definitif dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk. Penunjang diagnostik
yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah analisis cairan pleura, tes ADA (adenosin
deaminase), jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura. Karakteristik cairan pleura
pada pleuritis TB yaitu: cairan berwarna kuning, protein meningkat, pH 1,012-1.025
(<7,3), kadar glukosa 20-40 mg/dL, kadar protein >30 g/L, lactate dehydrogenase (LDH)
>200 U/L., dan peningkatan adenosin deaminase (ADA)>40 U/L. Jumlah sel ratusan
sampai ribuan dengan limfositosis, namun pada awal penyakit dapat ditemukan
predominan sel polymorphonuclear (PMN). Kultur M. tuberculosis cairan pleura positif
pada 25-30% kasus, kultur material biopsi/FNA meningkatkan kejadian positif sampai
12%.
6
Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak. Penebalan pleura
sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
5. Skrofuloderma
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB di kulit yang paling sering dijumpai pada anak,
terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma adalah sama dengan gejala umum TB pada anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher atau di tempat yang mempunyai kelompok
kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah
lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh,
yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras,
berwarna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat
kemudian meluas/membesar dan menjadi padat kenyal. Selanjutnya mengalami
pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus
berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan
tepi bergaung, berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang sedikit
lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut berupa pita/benang fibrosa padat, yang
membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada
pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus
yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.
Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana lokal/topikal
dengan kompres atau higiene yang baik.
6. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB
peritonitis), usus, omentum, dan mesentrium. M tuberculosis sampai ke organ tersebut
dapat secara hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk
TB anak yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1-5% dari kasus TB anak. Umunya terjadi
pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu
kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di
daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat
7
membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena
dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB pada
anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya
asites. Kadang kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen
didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada
obstruksi usus dan asites.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa pemeriksaan
lanjutan yang akan dilakukan adalah USG abdomen, foto polos abdomen, analisis cairan
asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu
dilakukan tindakan operasi. Pada USG abdomen dapat ditemukan penebalan mesenterium
dan pembesaran kelenjar limfe dan asites.
7. TB sistem retikuloendotelial
Sistem retikuloendotelial (RES) TB pada anak jarang dilaporkan. Pada anak dapat
mengenai hati, sumsum tulang, atau lien yang umumnya merupakan bagian dari TB
diseminata. Manifestasi klinis dapat berupa panas badan, hepatomegali dan splenomegali,
serta anemia. Gejala lain meliputi ikterik, anoreksia, dan nyeri perut. Dapat timbul abses
tunggal maupun multiple. Pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan dapat membantu
diagnosis untuk melihat lesi intrahepatik. Pemeriksaan BTA, kultur dan histopatologi dari
bahan pemeriksaan yang didapat dari FNA/biopsi hati dilakukan pada abses atau
granuloma yang besar.
8. Tuberkulosis Ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang terjadi karena masa inkubasinya bertahun-tahun. TB
ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil berkembang di
parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan
terbentuk dekat dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke
dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter, prostat, atau
epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria
yang steril dan hematuria mikroskopis. uria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan
hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut,
dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striktur
ureter dapat memperberat penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi
intravena (PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling defect
kecil yang multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit
terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT
scan.
8
9. Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB, tetapi hanya
0,5-4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibat invasi kuman secara
langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri dada jarang
timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan
pulsus paradoksus. Terdapat cairan perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau
hemoragik. Basil Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur
dapat positif pada 30-70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi perikardium yang tinggi
dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan
juga kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikard3.
1.4 Patogenesis
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm) akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik.
Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag Selanjutnya, kuman TBmembentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular.
9
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin
positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsondasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas sclular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa. dan
10
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak,
hati, tulang ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup,
tetapi tidak aktif tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks
paru disebut dengan fokus Simon yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan
terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar
ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread3.
11
* Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2) dan limfadenitis regional
(3)
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi-komplikasinya 4. TB pasca primer
terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi
sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type
TB)3.
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan
12
turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut
sering diangap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian,
sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah
diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam,
antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk
masalah berat badan)3.
1. Gejala sistemik/umum
a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh
(failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu
1-2 bulan.
b. Demam lama (22 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak
membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
a. Tuberkulosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher (regio colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) tidak nyeri, konsistensi kenyal, multiple dan
kadang saling melekat (konfluens).
3) Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas bukan
hanya teraba.
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan discharge
13
Gambar 1.1 Limfadenitis TB
d. Tuberkulosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
1.6 Diagnosis
Anamnesis
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas3.
- Nafsu makan kurang.
14
- Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan masalah gizi sebagai
penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata laksana yang adekuat selama minimal 1
bulan).
- Demam subfebris berkepanjangan (etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan
bulan).dahulu, seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus, atau malaria).
- Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal, atau tempat lain.
- Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri dada.
- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku atau perut membesar karena cairan atau teraba massa dalam perut.
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ ekstrapulmonal, seperti:
- Benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang, atau pembengkakan sendi.
- Bila mengenai susunan saraf pusat (SSP), dapat terjadi gejala iritabel, leher kaku,
muntah-muntah, dan kesadaran menurun.
- Gambaran kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma.
- Limfadenopati multipel di daerah colli, aksila, atau inguinal.
- Lesi flikten di mata.
Pemeriksaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
- Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi di
daerah bawah atau di bawah P5.
- Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ tertentu.
- TB vertebra: gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.
- TB koksae atau TB genu: jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut.
- Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens
(saling menyatu).
- Meningitis TB: kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain.
- Skrofuloderma: Ulkus kulit dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah leher, aksila,
atau inguinal.
- Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di limbus kornea yang sangat nyeri.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis
TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan
pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas.
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler
pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada
15
anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB resistan obat dan
TB HIV, saat ini pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang
seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai fasilitas
pengambilan sputum bakteriologis.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Pemeriksaan biakan sputum
dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk pemeriksaan
biakan yaitu: 1) Media padat: hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih mahal3.
16
2. Uji tuberkulin
Uji tuberculin dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD secara intra
kutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal).
Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan
dalam mm berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi sama
sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi <5 mm dinyatakan negatif,
sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang, dan jarak dengan waktu
minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan
kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya
bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji
tuberkulin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB2.
3. Foto toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB pada
anak. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Efusi pleura
4) Milier
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Kalsifikasi dengan infiltrate
8) Tuberkuloma
5. Pemeriksaan serologi TB (misalnya Ig G TB, PAP TB, ICT TB, MycoDOT, dsb) tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan
Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari
2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB3.
Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien
TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.
17
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak (Tabel 3.1). Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem skoring ini
diharapkan dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai sarana untuk melakukan uji
tuberkulin dan foto toraks yang merupakan parameter pada sistem skoring. Oleh karena
itu pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses yang
sulit untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB pada anak dapat
ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring seperti pada alur diagnosis TB anak
(Gambar 3.2).
Alur diagnosis TB ini digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada anak yang bergejala
TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak yang tidak bergejala tetapi kontak
dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata laksananya menggunakan alur investigasi
kontak.
Jadi, pintu masuk alur ini adalah anak dengan gejala TB. Pada fasilitas pelayanan
kesehatan dengan sarana yang lengkap, semua pemeriksaan penunjang scharusnya
dilakukan, termasuk pemeriksaan sputum.
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum:
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi ( BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang
tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak dapat
diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberculin dan foto toraks:
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat didiagnosis
TB dan diberikan OAT.
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2 4 minggu. Bila pada
follow up gejala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor total
menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total > 6 diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat diagnosis TB
dan obati dengan OAT
3) Jika skor total 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat observasi
gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau
rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi 3.
18
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas
19
Penjelasan:
20
Parameter Sistem Skoring:
1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.
2. Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien dating (moment opname).
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia
< 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak usia > 6 tahun
merujuk pada standar WHO 2005 yaitu grafik IMT/U.
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2 bulan.
1.7 Tatalaksana
Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)3.
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama
pemberian obat anti TB sebagai berikut:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang
21
B. Kombinasi dosis tetap ( KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)
22
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan
sebaiknya dirujuk ke RS.
2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan saat itu.
3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan ideal (sesuai umur).
4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus).
5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan.
7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.
1. Kortikosteroid
23
2. Piridoksin
C. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status
gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan
dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda
malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam menghilang
dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan berat badan meningkat. Jika respon
pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan dan pasien dirujuk ke
sarana yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan resistansi obat, komplikasi,
komorbiditas, atau adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak dengan hasil BTA
positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga tidak perlu
dilakukan Foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier setelah
pengobatan 1 bulan dan cfusi pleura setelah pengobatan 24 minggu. Demikian pun
pemeriksaan uji tuberkulin karena uji tuberkulin yang positif akan tetap positif.
Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan. Pemberian OAT dihentikan
setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi pleura).
24
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan
pengobatan3.
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi dan
meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan gejala TB,
perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan
cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring.
Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan.
Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan
25
sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB,
tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang3.
Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Pemberian
etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak menimbulkan gejala efek
samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang dosis yang direkomendasi.
Efek samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh
isoniazid, rifampisin atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu
dilakukan secara rutin pada anak yang akan memulai pengobatan TB.
Pada keadaan peningkatan enzim hati ringan tanpa gejala klinis (kurang dari 5 kali nilai
normal) bukan merupakan indikasi penghentian terapi obat anti TB.
Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan pengukuran kadar
enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah penyebab hepatitis lain
harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali jika fungsi hati kembali normal, diberikan
dengan dosis yang lebih kecil yang masih masuk dalam rentang terapi, dengan tetap
memonitor kadar enzim hati. Konsultasi ke ahli hepatologi diperlukan untuk tata laksana
lebih lanjut3.
1.8 Pencegahan
Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) adalah pengobatan yang diberikan
kepada kontak yang terbukti tidak sakit TB. Tujuan pemberian PPINH adalah untuk
menurunkan beban TB pada anak. Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien
dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB dan kira-kira 10% dari paru dewasa
jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak balita dan anak dengan
infeksi HIV berisiko tinggi menjadi TB berat ( misalnya TB meningitis atau TB milier).
Oleh karena itu prioritas pemberian PPINH adalah anak balita dan anak dengan infeksi
HIV positif semua usia.
Keputusan pemberian PPINH untuk anak kontak ditentukan oleh Dokter, sedangkan
pelaksana pemberian PP INH bisa dokter, petugas TB atau petugas DOTS. Obat PP INH
dapat diberikan di semua tingkat layanan, termasuk di praktik swasta.
Risiko berkembangnya penyakit TB lebih tinggi dalam kurun waktu 2 tahun sejak
terjadinya infeksi. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan observasi timbulnya gejala
selama setidaknya 2 tahun sejak terjadinya kontak, pada semua kontak anak baik yang
mendapat PP INH atau tanpa PP INH3.
26
1. Indikasi
Pencegahan dan Pengobatan dengan INH diberikan kepada anak kontak yang terbukti
tidak sakit TB dengan kriteria berikut:
a. Usia kurang dari 5 tahun
b. Anak dengan HIV positif
c. Anak dengan kondisi imunokompromais lain (misalnya gizi buruk, diabetes mellitus,
keganasan, mendapatkan steroid sistemik jangka panjang).
27
4. Pemantauan dan evaluasi saat control
Beberapa hal yang perlu dievaluasi pada saat anak kontrol:
a. Ketaatan dan keteraturan minum obat
b. Efek samping
c. Evaluasi munculnya gejala TB
28
Kebijakan tatalaksana kontak anak bervariasi di berbagai negara, mulai dari observasi
ketat hingga pemberian pengobatan pencegahan dengan pilihan paduan obat yang
beragam. Penelitian mengenai manfaat pengobatan pencegahan dan efektivitas paduan
obat yang dipilih masih terbatas namun terus dikembangkan. WHO belum mengeluarkan
rekomendasi pengobatan pencegahan pada kontak pasien TB RO karena keterbatasan
bukti yang ada. Tetapi mengingat beratnya risiko kesakitan pada pasien TB RO, maka
semakin banyak pakar dan klinisi yang beranggapan bahwa pengobatan pencegahan
penting bagi anak yang berkontak dengan pasien TB RO.
Pertemuan panel pakar dari 19 negara atas prakarsa The Harvard Medical School Center
for Global Health Delivery di Dubai pada tahun 2015 merekomendasikan pengobatan
pencegahan berbasis florokuinolon pada kontak pasien TB RO yang terbukti tidak sakit
TB selama setidaknya 6 bulan. Pengobatan diberikan setiap hari dengan pengawasan
PMO.
Unit Kelompok Kerja Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di tahun 2016
merekomendasikan investigasi kontak pada anak kontak pasien TB RO. Jika anak terbukti
tidak sakit TB, maka tindakan selanjutnya ditentukan oleh dokter spesialis anak, berupa
observasi atau pemberian pengobatan pencegahan. Pengobatan pencegahan untuk anak
idealnya berdasarkan resistensi OAT kasus indeks. Paduan yang dapat diberikan adalah
Levofloxacin dan Etambutol selama 6 - 9 bulan.
Risiko berkembangnya penyakit TB pada anak yang berkontak dengan sumber penularan
paling tinggi pada 1-2 tahun pertama sejak terjadinya infeksi. Oleh sebab itu, semua
kontak anak yang tidak bergejala TB, baik yang mendapatkan maupun yang tidak
mendapatkan pengobatan pencegahan, harus diobservasi setiap bulan selama 2 tahun
untuk memantau timbulnya gejala.
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada
bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG
mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier
dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
29
ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dirujuk.
Vaksinasi BCG dilakukan sesuai alur tata laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB
atau ibu sakit TB.
3. Limfadenitis BCG
Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi BCG yang paling sering. Definisi
limfadenitis BCG adalah pembengkakan kelenjar getah bening satu sisi setelah vaksinasi
BCG. Limfadenitis BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24 bulan setelah penyuntikan
vaksin BCG (sering timbul 2-4 bulan setelah penyuntikan), terdapat 2 bentuk limfadenitis
BCG, yaitu supuratif dan non supuratif. Tipe non supuratif dapat hilang dalam beberapa
minggu. Tipe supuratif ditandai adanya pembekakan disertai kemerahan, edem kulit di
atasnya, dan adanya fluktuasi. Kelenjar getah bening yang terkena antara lain
supraklavikula, servikal, dan aksila, dan biasanya hanya 1-2 kelenjar yang membesar.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening sisi yang sama
dengan tempat penyuntikan vaksin BCG tanpa penyebab lain, tidak ada demam atau
gejala lain yang menunjukkan adenitis piogenik. Limfadinitis tuberkulosis sangat jarang
terjadi hanya di aksila saja. Pemeriksaan sitopatologi dari sediaan aspirasi BCG
limfadenitis tidak berbeda dengan limfadenitis tuberkulosis.
30
2. Pneumonia
2.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia merupakan suatu
keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk membuat suatu definisi tunggal yang
universal. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya
berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi
pernapasan2.
2.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada anak <5 tahun di
negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada
anak balita di negara berkembang2.
2.3 Etiologi
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus, jamur, dan
bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia bakterial pada semua
kelompok umur.Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory
Syncytial Virus (RSV) merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3
tahun. Pada umur yang lebih muda, adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza virus
juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia, lebih sering
ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan penyebab tersering yang ditemukan
pada anak lebih dari 10 tahun. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus
pneumonia dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan pada apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan2.
Beberapa faktor meningkatkan risiko kejadian dan derajat pneumonia, antara lain defek
anatomi bawaan, defisit imunologi, polusi, GER (gastroesophageal reflux), aspirasi, gizi
buruk, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI), imunisasi tidak
lengkap, adanya saudara serumah yang menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu
padat penghuninya2.
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan
dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil
berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas
sp. atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
31
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae1.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang
bersumber dari data di negara maju dapat dilihat pada Tabel 5.10.1. Spektrum etiologi
tersebut tentu saja tidak dapat begitu saja diekstrapolasikan pada Indonesia atau negara
berkembang lainnya, oleh karena faktor risiko pneumonia yang tidak sama. Di negara
maju, pelayanan kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan sangat baik. Vaksinasi
dengan vaksin konyugat Hib dan vaksin konyugat Pneumokokus telah mempunyai
cakupan yang luas. Selain menurunkan morbiditas dan mortalitas, hal-hal tersebut juga
mengubah spektrum etiologi pneumonia pada anak1.
32
2.4 Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta
untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria
tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping
dengan gejala malaria2.
33
Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):
Bayi kurang dari 2 bulan
- Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
- Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler2.
Anak umur 2 bulan-5 tahun
- Pneumonia ringan: napas cepat.
- Pneumonia berat: retraksi.
- Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis, malnutrisi 2.
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS1.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif,
etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok
usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-
beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia1.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak
ditemukan kelainan1.
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang berhubungan
dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu,
misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Infeksi dapat
berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital-acquired pneumonia),
misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain; atau dari alat kedokteran, misalnya
penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi dengan
sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired pneumonia) 1.
34
Spektrum etiologi pneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B, Chlamydia
trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E. colli, Pseudomonas, atau Klebsiela;
disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu, pengobatannya
meliputi antibiotik yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri tersebut, misalnya
kombinasi antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai adanya infeksi
Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibotik beta-laktam1.
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan
apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah. tidak mau minum,
takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi
hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis. Sepsis
pada pneumonia neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama. Angka
mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20-50%. Angka kematian di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap
kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2 bulan
harus segera dirawat di RS1.
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan dapat menyebabkan
pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya bayi mendapat infeksi dari ibu
pada masa persalinan. Port d' entrée infeksi meliputi mata, nasofaring, saluran respiratori, dan
vagina. Gejala baru timbul pada usia 4-12 minggu, pada beberapa kasus dilaporkan terjadi
pada usia 2 minggu, tetapi jarang terjadi setelah usia 4 bulan. Awitan gejala timbul perlahan-
lahan, dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu. Gejala
umumnya berupa gejala infeksi respiratori ringan-sedang, ditandai dengan batuk staccato
(inspirasi diantara setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah, umumnya pasien
tidak demam. Pada pasien seperti ini, panduan tatalaksana adalah berobat jalan dengan terapi
makrolid oral dan observasi yang ketat. Lebih kurang 30% dari infeksi Chlamydia
trachomatis berkembang menjadi pneumonia berat, dikenal juga sebagai sindrom
pneumonitis, dan memerlukan perawatan. Gejala klinis meliputi ronki atau mengi, takipnea,
dan sianosis. Gambaran feto rontgen toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda-tanda
hiperinflasi bilateral dengan berbagai bentuk infiltrat difus, seperti infiltrat intersisial,
retikulonoduler, atelektasis, bronkopneumonia, dan gambaran milier. Antibiotik pilihan
adalah makrolid intravena1.
35
Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar
2.6 Diagnosis
Anamnesis
- Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen bahkan bisa
berdarah
- Sesak napas
- Demam
- Kesulitan makan/minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi imunokompromais,
kelainan anatomi bronkus, atau asma2.
Pemeriksaan Fisis
-Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat awal
pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel.
-Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan/minum.
-Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan
penurunan suara paru
-Demam dan sianosis
36
-Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang klasik. Pada
anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada
bayi muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea 2.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm' dengan predominan PMN. Leukopenia
(<5.000/mm³) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm³)
hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan
bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydia pneumoniae
kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel
PMN berkisar antara 300-100.000/mm³, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah
daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED)
yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti1.
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya
belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel
yang rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada
infeksi bakteri profunda. C-reactive protein kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respons
terapi antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk
diagnosis empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respons pengobatan. Dari 38 kasus
empiema yang diselidiki, ternyata sebelum pengobatan semua kasus mempunyai CRP yang
tinggi. Dengan pengobatan antibiotik, kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama
pengobatan. Hanya empat pasien yang CRPnya tidak kembali normal pada saat pulang dari
RS. Meskipun demikian, secara umum CRP belum terbukti secara konklusif dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri 1.
Uji serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A
dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O. streptozim,
37
atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk
konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen (paired sera) 1.
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik.
Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta
beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B,
dan Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali
pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen
dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,pungsi pleura,
atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat rendah
sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30%
ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun
untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25
leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pembesaran kecil. Spesimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen
bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mikoplasma dan Klamidia, oleh karena itu tidak rutin
dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih; di samping tidak
selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis pasti 1.
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan
pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak
selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak bercak sudah ditemukan
pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto
rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak
lanjut. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Lynch dkk.
mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks
AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan
seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah1.
38
- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai
lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu
tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
- Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan
di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan
penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Beberapa faktor teknis radiologis dan faktor noninfeksi dapat menyebabkan gambaran yang
menyerupai pneumonia pada foto rontgen toraks.
Faktor noninfeksi:
- bayangan timus
- bayangan payudara
- gambaran atelektasis.
Gambaran atelektasis sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto rontgen toraks.
Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus
(malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskular, web, atau ring) dan
obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, edema, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis,
tumor, dan sumbatan mukus). Di samping itu, penyakit paru noninfeksi dapat juga
menyebabkan atelektasis, misalnya penyakit membran hialin atau edema paru.
Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu,
39
dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, infiltrat
intersisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya.
Meskipun tidak terdapat gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila terdapat
gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi
Mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground-glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang konfluens,
patut dipertimbangkan adanya infeksi Mikoplasma. Gambaran radiologis pneumonia
Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia Mikoplasma.
Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, secara umum gambaran
foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti anatar pneumonia virus, bakteri,
Mikoplasma, atau campuran mikroorganisme tersebut 1.
Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan
pulse oxymetry2.
2.7 Tatalaksana
Anak:
- Saturasi oksigen <92%, sianosis
- Frekuensi napas >50 x/menit
- Distres pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
40
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan B2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen
Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun karena
efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin
- M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun
- Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai sebagai penyebab
- Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat mungkin sebagai
penyebab.
- Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi flucloxacillin
dengan amoksisilin
-Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat per
oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
- Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
- Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotik intravena2.
41
Rekomendasi UKK Respirologi
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik
golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya 2.
Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang
terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik 2.
Kriteria pulang
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan per oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah 2
2.8 Komplikasi
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan
meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim1.
42
3. Asma
3.1 Definisi
Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang diterima secara
universal. Definisi asma yang ada pada beberapa pedoman memasukkan gejala klinis dan
karakteristiknya, serta mekanisme yang mendasari dengan rincian yang berbeda antara
satu pedoman dengan lainnya. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma
sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran
respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran
respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu
maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International
Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiper
responsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak
napas yang berulang5.
Asma merupakan penyakit respiratori kronik yang heterogen dengan dasar inflamasi
kronik yang bervariasi luas dalam manifestasi klinis, mekanisme inflamasi, patogenesis,
dan perjalanan alamiah dengan banyak sekali faktor yang berperan. Berbagai definisi
asma yang ada saat ini sifatnya deskriptif, menggambarkan gejala kinis dan polanya,
disertai patofisiologi dan patologi dengan derajat rincian yang bervariasi. Perkembangan
pemahaman tentang hal tersebut menyebabkan definisi asma bersifat dinamis dan berubah
dari waktu ke waktu. Pedoman ini menggunakan definisi asma menurut UKK Respirologi
IDAI sebagai berikut:
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat
pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
3.2 Epidemiologi
a. Prevalens asma anak di Indonesia
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun
1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner
yang dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto, Rosmayudi,
Dahlan). Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan
berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari studi ISAAC.
Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun.
43
Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota menunjukkan hasil
yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB)
sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada
kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan tertinggi di
Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang dibandingkan
dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta(12,5%), hampir 2 kali lipat; diduga
disebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung
Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2
kali lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di daerah
rural kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma
sebesar 9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasamita dkk).
Selain prevalens asma, penting pula untuk mengetahui serangan asma tahun lalu,
kunjungan ke gawat darurat, dan perawatan rumah sakit. Menurut Martinez pada tahun
2001, serangan di tahun sebelumnya dialami oleh 63,1% pasien yang didiagnosis asma,
angka ini tidak berubah di tahun 2001-2004. Untuk kunjungan ke gawat darurat terjadi
peningkatan antara tahun 1992 dan 1995 sebanyak 57,3 menjadi 71% per 100.000 orang.
Set itu tidak jelas peningkatan yang terjadi yaitu rata-rata 59,8% pada 2001 menjadi
68,0% pada tahun 2002. Laju perawatan asma di rumah sakit dalam 12 bulan terakhir
juga mengalami penurunan bermakna dari 6% pada tahun 1980 ke 3,4% di tahun 1995,
angka tersebut stabil pada tahun 2001 dan 20045.
b. Mortalitas
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi 20,6
per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per
juta. Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada
orang tua >65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita 5.
44
c. Faktor risiko
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-genetik.
Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok,
makanan cepat saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah
yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian
yang dilakukan di Padang memberikanhasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk
memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah
atau ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat
parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan kontak dengan unggas merupakan faktor
protektif terhadap kejadian asma5.
3.3 Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas dasar
itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
Asma bayi-baduta (bawah dua tahun)
Asma balita (bawah lima tahun)
Asma usia sekolah (5-11 tahun)
Asma remaja (12-17 tahun)
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam
aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
Asma tercetus infeksi virus
Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
Asma tercetus allergen
Asma terkait obesitas
Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
45
Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata
laksana.
Dalam pedoman ini, klasifikasi berdasarkan umur dibedakan menjadi asma anak dan asma
balita, sementara klasifikasi berdasarkan fenotip tidak digunakan untuk kepentingan tata
kelola. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien.
Klasifikasi ini sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. Ini
berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma
episodik sering, dan asma persisten5.
46
Keterangan:
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma dan
dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6
minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata laksana dapat
dilakukan sesuai klasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka
panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam klasifikasi
lebih berat5.
Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak usia
dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan sehingga
upaya dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk
pencegahan. Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut antara lain infeksi,
pajanan mikroba, alergen, stres, polusi, dan asap tembakau. Perkembangan alergen-IgE
spesifik, terutama jika terjadi pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting
berkembangnya asma, terutama di negara-negara maju.
Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas saluran
respiratori dan menyebabkan terbatasnya aliran udara. Hiperreaktivitas ini merupakan
predisposisi terjadi penyempitan saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai macam
rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori. Perubahan ini
dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut
secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan
proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran
respiratori. Proses tersebut menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratori, dikenal dengan istilah remodeling5.
A. Patogenesis
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4' telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi interleukin-3
(IL-3) dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama
memproduksi IL-2, IF-y dan TNF-ß. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh
47
Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell
mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel
T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk
jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian,
sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit.
Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang
sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naive-Th0 menuju
Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33
(IL-4 genecluster). Bagan patogenesis asma tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global Strategy
for Asthma management and prevention. National Institute of Health. National Heart, Lung,
and Blood Institute; 2002)
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopi
dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangat
penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh ditemukannya sel yang
48
mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopi. IL-5 merupakan sitokin yang
penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran respiratori
pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil 5.
Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin,
leukotrien sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi oleh alergen melalui reseptor
IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik (misalnya bronkokontriksi yang
diinduksi oleh olahraga). Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran respiratori
dapat dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran respiratori.
Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang
dapat merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growthfactor dan
airwayremodeling.
Sel dendritik, menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori lalu bermigrasi ke
kelenjar getah bening regional. Di kelenjar getah bening, mereka berinteraksi dengan sel T
regulator dan akhirnya menstimulus produksi sel Th2 dari sel T naif.
Makrofag, jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi oleh alergen melalui
reseptor IgE yang berafinitas rendah untuk memproduksi mediator inflamasi dan sitokin yang
memperkuat respons inflamasi.
Neutrofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak pasien dengan asma berat
dan pasien asma yang merokok, namun peranan patofisiologi dari sel ini masih belum jelas
dan peningkatannya dapat pula disebabkan oleh terapi steroid.
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons alergi fase
cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi cepat
dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE-spesifik terutama sel mast
dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya
asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial
yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik,
dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan
oksigen reaktif. Bersama sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya,
mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi
saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.
49
Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme
inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama berlangsung pajanan alergen,
aktivasi sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan
merangsang lepasnya leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari
sumsum tulang ke dalam sirkulasi.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma
dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian
besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan
spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma
mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. (Gambar
3.2)
50
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya lama (lebih
dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan 5.
Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai mediator
bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan mekanisme utama dari penyempitan
saluran respiratori dan sebagian besar normal kembali dengan bronkodilator.
Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal ("mucus plugging") dan merupakan
produk dari peningkatan sekresi mukus dan eksudat inflamasi.
B. Patofisiologi
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan
hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan
aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan
fungsional yang terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak,
51
wheezing, dan hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk
sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh
mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala
asma yang ditemukan. (Gambar 3.3)
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab
utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi
oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat,
dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori
diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel
sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran
respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus,
dan debris selular.
52
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus
(airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai
faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga menimbulkan respons
hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas
menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang
berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat
terjadi.
53
memunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi
dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada
saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan
penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%5.
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan
sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis5.
a. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas
sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough
(batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma.
Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
b. Pemeriksaan fisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak ditemukan
kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik
yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu,
perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat
pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran. napas akibat obstruksi,
hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien.
54
Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan
peakflowmeter.
Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil
sputum.
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastro esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi
respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
55
Diagnosis banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain
sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding5.
56
Pembesaran kelenjar getah bening Aspirasi benda asing
Vascularring, laryngeal web
Disfungsi pita suara
Malformasi kongenital saluran respiratori
Patologi bronkus
Displasia bronkopulmonal
Bronkiektasis
Diskinesia silia primer
Fibrosis kistik
3.6 Tatalaksana
Tatalaksana Medikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali asma
serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).
Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi
dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah serangan
asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik,
sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus
dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan
responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid
anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis ß2 kerja
panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E5.
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik inhalasi
sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus
disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga
mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyaman penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis
terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena
memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak,
risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak
57
dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Tabel 5.1 memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia, namun
pemilihannya sesuai dengan kemampuan.
Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring). Hal ini
menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang
baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat
MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering/Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler,
swinghaler, turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini
dianjurkan untuk anak usia sekolah.
a. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting
dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma
yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per hari
dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma.
Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk
mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak
yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid
inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi
virus.
Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan
densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan
cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur
58
tersebut. Pada anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan
(persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun.
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek
sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid
inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal melainkan
selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi
steroid- agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila
steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid
agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik
dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian
penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas.
59
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk
mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat
sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat berfungsi
sebagai obat pereda5.
c. Antileukotrien
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul
dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih
rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien
dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise
induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat
mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid
inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif
dari pemberian steroid inhalasi5.
d. Teofilin lepaslambat
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat
tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5
tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma
dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat
teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi
dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu
sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek
samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi,
takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul
pada pemberian dosis tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari5.
e. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
60
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di
bawah pengawasan dokter spesialis.
Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang
dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan
kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE
membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah
dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang
(di atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan
jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata
laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan,
teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk
menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti pada Tabel 4.3.1.
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum
berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu
enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang
61
sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka
panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk
menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis
derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus
dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami
serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat pereda asma >3 kali dalam satu
minggu, terbangun karena serangan asma 1 kali dalam satu minggu 5.
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6 8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8 12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek aspek penghindaran, penyakit
penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab.
62
Jenjang 1
Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya
mengalami gejala ringan ≤2 kali/minggu dan di antara serangan pasien tidak mengalami
gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat
pereda berupa inhalasi agonis B2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai
alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis B2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromida, agonis 32 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma
dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma
melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali asma.
Pada tata laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai berdasarkan
pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma.
Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi
dosis rendah.
Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah,
sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien
asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang
menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena
efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping.
Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi
steroid dosis rendah-agonis ß2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis
steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan
spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring dan
mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-
antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas lambat.
Jenjang 4
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk
kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien
asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama pada
jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis $2 kerja panjang.
Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit
perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedang-
agonis ß2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah
kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis
tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan anti
imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan
karena alergi.
63
Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi
anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana pada
jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian
steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang
timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan
pengobatan.
Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien, derajat asma,
dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan
pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat dan
kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya penghindaran faktor
pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan
setiap 8-12 minggu dengan penurunan dosis sebesar 25-50%5.
SERANGAN ASMA
Definisi
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka
panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bermacam-macam,
mulai dari serangan ringan sedang hingga serangan yang disertai ancaman henti napas 5.
Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di unit gawat
darurat (UGD). Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah, setidaknya dapat
dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif5. Tujuan tata laksana serangan asma
antara lain sebagai berikut:
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori secara
luas, yang disebabkan oleh kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena
inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi secara merata di
seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Perubahan tahanan
saluran respiratori yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus menyebabkan tidak padu
padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).Ventilasi (V) sangat
64
berkurang, sedangkan perfusi (Q) tetap berlangsung yang mengakibatkan rasio V/Q sangat
rendah, biasanya kurang dari 0,1.
Ventilasi-perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja
napas menyebabkan perubahan pada gas darah. Pada awal erangan, untuk mengompensasi
hipoksia terjadi hiperventilasi si sehingga kadar PaCO, akan turun dan dijumpai alkalosis
respiratori. Selanjutnya p ya pada obstruksi saluran respiratori yang berat. akan terjadi
kelelahan otot respiratori dan hipoventilasi alveolar sehingga terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratori. Karena itu, jika ar PaCO, yang cenderung naik walau nilainya masih dalam
dijumpai kadar P rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman
gagal napas (respiratory failure). Selain itu, dapat terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan dan produksi asam laktat oleh otot respiratori.
65
Penilaian derajat serangan asma
66
Tahapan tata laksana serangan asma
The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana serangan asma
menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes)/RS.
67
Tata laksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini
dapat dilakukan oleh pasien yang memunyai pendidikan yang cukup dan sebelumnya telah
menjalani terapi dengan teratur. Pada panduan pengobatan di rumah, terapi awal berupa
inhalasi agonis ß2 kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian, pasien atau
keluarganya diminta untuk melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan,
yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Akan tetapi, untuk kondisi di negara kita,
pemberian terapi awal di rumah cukup riskan dan kemampuan melakukan penilaian juga
masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila setelah dilakukan inhalasi dua
kali tidak memunyai respons yang baik, maka dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di
klinik atau rumah sakit5.
Jika tidak ada keadaan seperti pada Kotak 6.1, berikan inhalasi agonis ß2 kerja
pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer (Kotak 6.2), sebagai berikut:
68
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis ß2 kerja pendek via nebulizer belum membaik, segera
bawa ke fasyankes.
Alur tata laksana serangan asma di fasyankes primer ditunjukkan di Gambar 6.2.
Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan
bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus
dicatat di rekam medis. Jika pasien menunjukkan tanda serangan berat atau mengancam
nyawa, segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Anamnesis
69
dipakai, ketaatan, peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan yang
dipakai saat ini.
Pemeriksaan fisis
- Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi: derajat kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu
kalimat, retraksi dinding dada dan wheezing
- Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks
- Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres respirasi (misalnya
tanda gagal jantung, inhalasi benda asing, obstruksi saluran napas atas)
Pemeriksaan penunjang
Jika tersedia, periksa saturasi oksiden dengan pulse oximetry. Saturasi oksigen <92%
merupakan tanda serangan berat yang memerlukan tindakan yang agresif.
70
71
72
Keterangan tata laksana asma di fasilitas pelayanan kesehatan
* Bila pulse oximetry tidak tersedia, oksigen tetap diberikan dengan monitor gejala dan tanda
distres respirasi, termasuk derajat kesadarannya.
Tindak lanjut
Bila pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan, obat yang dibawakan pulang
adalah agonis ß2kerja pendek (bila tersedia sangat dianjurkan pemberian inhalasi
daripada pemberian preparat oral) dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa
dilanjutkan sampai 3-5 hari lalu dapat dihentikan langsung tanpa tappering-off.
Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali. Apabila pasien
sebelumnya sudah diberi obat pengendali, lalu evaluasi dan sesuaikan ulang dosisnya.
Informasi lebih lengkap lihat di tata laksana jangka panjang.
Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan
teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
Kontrol ulang ke fasyankes 3-5 hari kemudian.
Alur yang ditunjukkan dalam bagian lanjutan Gambar 6.2 ini menunjukkan tata
laksana pasien dengan serangan asma berat atau serangan asma dengan ancaman henti napas
yang dirujuk dari fasyankes primer. Sebagai langkah awal, nilai airway, breathing,
circulation, serta derajat kesadaran pasien.
Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres respirasi berat, dengan
penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau gelisah), dan suara paru tak terdengar, segera
siapkan untuk perawatan PICU. Sambil menunggu persiapan tersebut, beri inhalasi agonis β2
kerja pendek via nebulizer, oksigen dan siapkan intubasi jika perlu5.
73
Untuk serangan asma berat:
1. Berikan inhalasi agonis ß2 kerja pendek dan ipratropium bromida via nebulizer
2. Pasang jalur parenteral
3. Berikan steroid sistemik (prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari, maksimum 40
mg/hari)
4. Berikan oksigen
5. Rontgen toraks
6. Rawat inap
Sambil menunggu persiapan rawat inap, pemberian inhalasi agonis ß2 kerja pendek
dan ipratropium bromida dapat diberikan ulang, sesuai dengan kondisi pasien. Anamnesis
yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan harus dilakukan bersamaan
dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam
medis.
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
- Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi: derajat kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuansi napas, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu
kalimat, retraksi dinding dada, dan wheezing
- Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis, pneumonia, atelektasis,
pneumotoraks)
- Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres respirasi (misalnya tanda
gagal jantung, inhalasi benda asing, obstruksi saluran napas atas)
Pemeriksaan penunjang
- Saturasi oksigen
Pemeriksaan ini tidak rutin diperlukan dan hanya dipertimbangkan jika FEV1 <50%
prediksi, atau pada pasien dengan serangan asma berat, atau pasien yang menetap atau
memburuk dengan terapi awal. Hasil Pa0, <60 mmHg (8 kPa) dan PaCO, normal atau
meningkat (khususnya >45 mmHg, 6kPa) merupakan petanda gagal napas.
- Rontgentoraks
Pemeriksaan rontgen toraks tidak rutin dilakukan pada pasien dengan serangan asma.
Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada serangan berat atau jika dicurigai terjadi komplikasi
(misalnya pneumotoraks) atau ada kondisi lain (misalnya pneumonia atau inhalasi benda
asing) yang menyertai dan/atau ada ancaman henti napas yang tidak membaik dengan terapi.
Kecurigaan ini perlu diperhatikan pada anak yang disertai demam, tidak ada riwayat keluarga
dengan asma, dan wheezing unilateral5.
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di UGD, langsung dinilai derajat
serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa
pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral
dalam penilaian tata laksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Akan tetapi,
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat di Indonesia.
Tata laksana awal pada pasien adalah pemberian agonis β2 secara nebulisasi.
Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian
ketiga, ipratropium bromida ditambahkan ke dalam nebulisasi. Tata laksana awal ini dapat
juga berfungsi sebagai penapis, yaitu untuk menentukan derajat serangan, karena penilaian
derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang dalam serangan berat yang jelas, langsung
berikan nebulisasi agonis β2 dikombinasikan dengan ipratropium bromida. Pasien dengan
serangan berat yang disertai dengan dehidrasi dan asidosis metabolik mungkin akan
mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi
agonis β2. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali, kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena dan diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
75
Saat ini pelaksanaan terapi inhalasi yang dianjurkan untuk asma adalah MDI dibantu
spacer. Inhaler dosis terukur ( metered dose inhaler, MDI) merupakan alat inhalasi yang
paling sulit penggunaannya dibandingkan dengan inhaler bubuk kering (dry powder inhaler,
DPI) apalagi dibandingkan dengan nebulizer. Kesulitan pemakaian MDI utamanya karena 2
faktor, pertama derasnya arus semprotan akan menyebabkan impaksi dan sebagian besar obat
terdeposisi di orofaring. itan kedua adalah jurus (manuever) pemakaiannya kompleks
terutama untuk anak kecil yang belum mampu mengkoordinasikan hirup-tekan-hirup
panjang. Kesulitan ini dapat diatasi dengan relatif mudah yaitu menggunakan spacer, suatu
tabung yang memberi jarak atau ruang (space) antara alat dan mulut pasien.
Ada 2 macam spacer yaitu holding chamber yang mempunyai 2 katup di ujung
hirupan, dan extension device yang tanpa katup. Jika tersedia, alat holding chamber lebih
dianjurkan dibanding extension device, karena dapat mengatasi kesulitan pemakaian MDI
dengan lebih baik. Antar-muka (interface) spacer seperti halnya alat nebulizer, ada dua
macam yaitu mouth piece atau masker. Jika anaknya sudah mampu bernapas lewat mulut,
mouth piece lebih dianjurkan karena obat yang terhirup akan lebih banyak dibanding
memakai masker. Jika spacer tidak dapat atau sulit diperoleh, dapat dibuat pengganti
sederhana menggunakan botol atau gelas plastik dengan volume sekitar 400 mL yang bagian
dasarnya dilubangi sesuai bentuk dan ukuran mouthpiece alat MDI5.
Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma ringan sedang,
sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis ß2 kerja pendek lewat nebulisasi atau MDI
dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan untuk
menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik
pasien dapat dipulangkan. Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan
keadaan darurat, sejak di UGD pasien yang diobservasi sebaiknya langsung dipasangkan jalur
parenteral.
Pasien dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6
jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang
76
sama keefektifannya. Penambahan ipratropium bromida selain agonis β2 dapat diberikan
apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut pada serangan yang
lebih berat. Pada serangan asma ringan sedang diberikan steroid sistemik (oral) berupa
prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering
off, maksimal pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan
cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep
tambahkan keterangan 'do not iter'. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat
jalan dalam waktu 3-5 hari untuk direevaluasi tata laksananya. Selain itu, jika sebelum
serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan5.
Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma berat
harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis β2
dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal
termasuk pada saat nebulisasi.Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan
rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah
pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial di UGD, di RRS
diteruskan dengan nebulisasi agonis β2 dan ipratropium bromida setiap 2 jam. Kemudian,
berikan steroid sistemik oral berupa prednison atau prednisolon. Pemberian steroid ini
dilanjutkan hingga 3-5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan
dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan sedang yang dipulangkan dari klinik/UGD5.
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat inap:
- Pemberian oksigen diteruskan.
- Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya.
- Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
- Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida dengan
oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi
perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
- Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion
pump atau mikroburet.
Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis
rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
77
Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5
mg/kg/jam).
Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-
20 mcg/ml.
Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah
mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan
aritmia, hipotensi, dan kejang.
- Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai
24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral.
- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
agonis ß2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain
itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari
untuk reevaluasi tatalaksana.
Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman
henti napas (sesuai Tabel 6.1), langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit,
ICU).
Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
- Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
- Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar
Pa0, <60 mmHg dan/atau PaCO, >45 mmHg, meskipun tentu saja gagal napas dapat
terjadi pada kadar PaCO, yang lebih tinggi atau lebih rendah). Penggunaan ventilator
tidak dibahas dalam pedoman ini.
Pada serangan asma, agonis ß2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat
DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan
respons pasien. Agonis ß2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi
78
terkecil, yaitu hanya bila diperlukan, penggunaan berlebihan atau seringnya pemakaian
menandakan kendali asma yang buruk. Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang
menggunakan agonis ß2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya kemudian efek tersebut
cepat ditoleransi.
Ipratropium bromida
Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau dengan
ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal inhalasi agonis ß2 dan
steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis ß2 dan steroid)
meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah
nebulisasi dan lama rawat inap.
Perlu diingat bahwa rentang keamaan aminofilin sempit dan efek samping yang sering
adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,
hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang
tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau
secara ketat.
Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB
diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam.
Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi
yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdosediberikan5.
Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara
intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian
secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian
79
secara intravena direkomendasikan bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu
sesak, muntah atau pasien memerlukan intubasi).
Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-
2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan.
Lama pemberian 3 5 hari tanpa tapperingoff5.
Adrenalin
Magnesium sulfat
Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh sebagai alternatif, apabila
pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa
pemberian magnesium sulfat (MgSO,) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang
dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian
agonis ß2. Pemberian MgSO, ini dapat meningkatkan FEV, dan mengurangi angka perawatan
di RS.
MgSO, yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat diberikan dengan bolus,
bolus diulang, drip kontinu, dan inhalasi. Cara bolus berulang serta inhalasi jarang digunakan.
Pemberian lewat drip kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan sediaan
dalam larutan dekstrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml lalu diberikan
dengan kecepatan 10-20 mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4 mg/dL. Untuk
pemberian dengan cara bolus, dosis yang dianjurkan adalah 20-100 mg/kgBB (maksimum 2
gram) diberikan selama 20 menit, sedangkan untuk pemberian dengan cara bolus berulang
dosis MgSO, yang dianjurkan 20-50 mg/kgBB/dosis setiap 4 jam.
Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO, pada pasien dengan serangan asma berat
yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu jam pemberian terapi
awal dengan dosis maksimal (agonis ß2 kerja pendek dan steroid sistemik) 5.
Steroid inhalasi
80
diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasien-
pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik 5.
Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi harus berhati-hati
pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati pemberian mukolitik pada bayi
dan anak di bawah usia 2 tahun. Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek
yang signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya
bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotik dapat
diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya
sinusitis yang menyertai asma. Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya suatu
penyulit antara lain pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka
diberikan antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolid.
Obat sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan.
Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak memunyai efek yang
bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.
3.7 Pencegahan
Program KIE
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat penting
tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE adalah memberi
informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan keluarganya untuk meningkatkan
pengetahuan atau pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala
serangan asma, mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam
menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan terhadap rencana
pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya mampu meningkatkan kemandirian
dalam tata laksana asma yang lebih baik.
Dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa komponen penting yang harus
diperhatikan oleh seorang dokter/petugas kesehatan yang memberi pelayanan, antara lain:
81
- Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
- Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE selalu
diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien
- Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan penatalaksanaannya
- Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obat-obatan
- Harapan akan tercapai kendali asma
- Meredam ketakutan dan kekhawatiran
Penerapan program KIE sudah dimulai saat pertama kali diagnosis ditegakkan dan
berlangsung terus menerus dan terintegrasi ke dalam setiap langkah tata laksana asma.
Program ini juga dilakukan di semua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, unit
gawat darurat, sekolah, rumah, dan pusat-pusat keramaian. Selain anak dan orangtua, KIE
juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru,kelompok bermain, keluarga dan
masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan melalui ceramah, komunikasi/nasehat saat berobat,
supervisi, diskusi, serta video presentasi, brosur, chart, dan mendemonstrasikan penggunaan
PFM (peak flow meter), spirometer, alat terapi inhalasi, dan spacer. Dalam melakukan KIE
hendaklah selalu menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat komunikatif.
82
83
Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP)
Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam bentuk Rencana Aksi
Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP) yang dibuat secara tertulis dan diisi oleh anak atau
orangtua. Rencana ini berisi tentang instruksi kapan meningkatkan dosis pengobatan,
bagaimana caranya, lamanya pengobatan dinaikkan, serta penentuan kapan harus mencari
pertolongan medis sehingga memberi keleluasaan pada anak dalam menentukan sendiri
perubahan paduan pengobatan berdasarkan gejala dan penilaian PFM.
84
Dalam pelaksanaannya, RAA berisi catatan harian asma yang diisi setiap hari untuk
memonitor keadaaan tidur malam, gejala asma, aktivitas, dahak, peak flow rate (PFR),
pemakaian obat harian, dan penggunaan inhaler. Pemantauan harian ini mempergunakan tiga
zona warna:
- Zona hijau menunjukkan 80-100% dari nilai terbaik anak, biasanya tanpa gejala dan
mengisyaratkan tetap menggunakan obat pengendali asma.
- Zona kuning menunjukkan Asthma of Physical Effort (APE) 50 80%, gejala sudah
tampak seperti batuk, wheezing, pilek/selesma, napas berat dan cepat, gelisah, serta
mengurangi aktivitas bermain. Ini mengisyaratkan penggunaan obat pereda sebagai
tambahan obat.
- Zona merah yang menunjukkan APE <50%, gejala asmanya semakin berat meskipun
sudah diberi pengobatan 'zona kuning', kesulitan makan, berbicara, berjalan dan
bermain, serta gelisah sampai penurunan kesadaran merupakan keadaan gawat darurat
dan harus segera menghubungi dokter atau rumah sakit.
Penerapan RAA ini terutama ditujukan pada pasien asma persisten, anak dengan kendali
asma yang buruk, serta adanya riwayat eksaserbasi asma.
Program KIE di sekolah diterapkan dalam bentuk Kartu Aksi Asma (KAA) berisi
identitas anak dan nomor telepon untuk dapat dihubungi bila terjadi kekambuhan, rencana
tata kelola asma harian dan rencana saat darurat.
Rencana darurat diperlukan apabila timbul gejala atau nilai peak flow rate menurun.
Langkah-langkah tindakan pada episode serangan asma:
1. Berikan pengobatan mengikuti petunjuk yang tercatat di kartu
2. Siswa tetap sekolah jika keadaan anak dapat dikendalikan
3. Hubungi orang tua jika anak tidak dapat mengikuti pelajaran
4. Meminta perawatan medis darurat jika tidak ada perbaikan klinis selama 15-20 menit
setelah pengobatan, nilai PFR rendah, sulit bernapas, gangguan berjalan atau bicara dan tidak
dapat beraktivitas kembali, serta bibir atau kuku terlihat biru
Dengan pelaksanaan program KIE yang benar diharapkan angka kesakitan dan
kematian akibat asma akan menurun, semakin sedikit anak yang dibatasi aktivitas fisisnya,
dan semakin banyak anak yang meningkat kualitas hidupnya. Kita tidak dapat mengharapkan
perubahan perilaku pasien dan keluarga, kecuali mereka dapat diyakinkan sepenuhnya.
Mengkomunikasikan edukasi asma yang layak merupakan kerjasama yang berlangsung terus
menerus, membutuhkan tenaga medis, peralatan dan material edukasi. Peralatan seperti
85
booklet, diagram, kaset audio, spirometri, peralatan inhalasi, spacer dan material lain sangat
diperlukan pada klinik asma.
Penghindaran pencetus
Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak, tetapi ada dua
faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik hampir tak dapat dimodifikasi lagi dalam tata laksana
penghindaran pencetus. Sedangkan faktor lingkungan dalam hal ini diklasifikasikan dalam
beberapa kategori, antara lain alergen hirupan (indoor dan outdoor), iritan, kondisi komorbid,
dan faktor lain.
Anggapan bahwa asma dapat disembuhkan atau dikendalikan hanya dengan obat-
obatan akan membuat penyakit asma semakin parah karena penghindaran faktor pencetus ini
merupakan upaya utama dalam tata laksana asma. Dengan penghindaran pencetus yang
adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau terkadang tanpa obat asma. Sedemikian
pentingnya penghindaran pencetus hingga Dolovich J. dkk. (1983) mengemukakan: "Thus,
strategies to avoid offending substances are potentially 'curative' and require the dedicated
attention of the therapist."
Peranan pajanan alergen dalam perjalanan perkembangan asma melalui dua proses
bertingkat, yaitu pajanan yang menyebabkan terjadinya sensitisasi dan pajanan pada individu
yang telah tersensitisasi akan menyebabkan berkembangnya asma. Gambaran patologi asma
terutama oleh karena sensitisasi alergen dan inflamasi atopi di antaranya perubahan fibrotik
jaringan di sekitar lumen jalan napas, hipertrofi dan hiperplasia otot polos, hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus, dan kerusakan epitel jalan napas. Paparan ini juga mampu
menyebabkan terjadinya sensitisasi alergen, hiperresponsif jalan napas, dan gambaran
remodeling (hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membrana basalis, dan
kerusakan epitel).
Walaupun pada beberapa hasil penelitian terakhir yang dilakukan bahkan dengan
meta-analisis menilai penghindaran alergen termasuk di antaranya tungau debu rumah dan
binatang peliharaan tidak memberi manfaat dalam pengendalian asma, namun beberapa
penelitian lain justru menyimpulkan bahwa penghindaran alergen masih merupakan tindakan
yang sangat bermanfaat5.
86
87
88
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2008). Buku Ajar Respirologi anak, edisi
pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:
IDAI.
89