Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

BRONKOPNEUMONIA

Oleh :

Riska Dwi Febrian (0410070100025)


Nada Rizki Afifah (1510070100020)
M. Syahid Albanjariyah (1510070100074)

Preseptor :

dr. Lydia Aswati, Sp.A, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
ini dengan judul “Bronkopneumonia” dalam rangka untuk memenuhi tugas
kepanitraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan anak.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada


dr.Fitria Rhahmadani,Sp.A,M.Biomed selaku pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Senior.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca
untuk penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Bukittingi, 12 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2

1.3 Manfaat Penelitian.....................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3

2.1 Definisi......................................................................................................3

2.2 Epidemiologi.............................................................................................3

2.3 Etiologi......................................................................................................4

2.4 Faktor Risiko.............................................................................................4

2.4.1 Risiko Infeksi..........................................................................................4

2.4.2 Risiko Sakit........................................................................................5

2.5 Imunopatologi...........................................................................................5

2.6 Patogenesis................................................................................................7

2.7 Manifestasi Klinis....................................................................................10

2.7.1 Gejala sistemik/umum......................................................................10

2.7.2 Gejala Spesifik Terkait Organ..........................................................11

2.8 Pemeriksaan penunjang...........................................................................12

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium...................................................................14

ii
2.8.2 Radiologis........................................................................................15

2.8.3 Serologis...........................................................................................16

2.8.4 Patologi anatomik............................................................................16

2.8.5 Mikrobiologi....................................................................................16

2.8.5 Bakteriologis....................................................................................17

2.9 Penegakan Diagnosis...............................................................................17

2.10 Tatalaksana..........................................................................................19

2.11 Prognosis..............................................................................................27

2.12 Evaluasi Hasil Pengobatan..................................................................27

BAB IV..................................................................................................................27

ANALISA KASUS................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada
usia 0-14 tahun. Dinegara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.1

TB masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting di dunia.


Dalam beberapa tahun terakhir indonesia termasuk dalam 5 negara jumlah kasus
TB terbanyak.TB pada anak merupakan komponen paling penting dalam
pengandalian kasus TB oleh karena anak dibawah 15 tahun adalah 40-50% dari
jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia anak
menderita TB setiap tahunnya.1

Tuberkulosis paru anak di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun


2015 sebanyak 8,49% dibanding dengan tahun 2014 sebanyak 7,10% meskipun
jumlahnya relatif rendah dibanding dengan TB pada dewasa. Penderita TB secara
umum banyak diderita oleh laki-laki (1.082,7) per 100.000) daripada perempuan
(460.6 per 100.000). Hal ini terjadi karena faktor risiko yang buruk seperti
merokok dan tidak patuh minum obat yang mempermudah reaksi infeksi dalam
tubuh. Berbeda dengan penderita TB dewasa, jenis kelamin tidak terlihat berbeda
pada anak karena penderita TB anak lebih banyak ditularkan oleh orang terdekat
yang berkontak secara langsung.

Prevalensi TB pada anak usia <1 tahun sekitar 0,2%, usia 1–4 tahun 0,4%,
dan 5–18 tahun sekitar 0,3%.Sumber infeksi pada anak sebagian besar adalah
orang dewasa yang menularkan di lingkungan terdekat.Paparan ini mengarah pada
perkembangan lesi parenkim primer (fokus ghon) di paru dan dapat menyebar
melalui kelenjar getah bening. Respons imun berkembang sekitar 4–6 minggu

1
setelah infeksi primer. Dalam beberapa kasus, respons imun yang tidak cukup
kuat menahan infeksi dan penyakit terjadi dalam beberapa bulan. Risiko
berkembang menjadi penyakit meningkat ketika infeksi primer terjadi pada remaja
usia kurang dari 10 tahun, anak sangat muda (0–4 tahun), dan pada anak yang
mengalami gangguan sistem imun.

Salah satu permaasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosa.


Sejak tahun 2005 sistim diagnosa skoring anak disosialisasikan dan
direkomendasikan sebagai pendekatan diagnosis. Permasalahannya, tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan memiliki fasilitas uji tuberkulin dan pemeriksaan
foto thoraks yang merupakan 2 parameter skoring yang mengakibatkan banyak
dijumpai underdiagnosis TB anak.

Upaya pemerintah untuk mencegah penyakit TB dengan pemberian vaksin Bacille


Calmette-Guerin (BCG) yang memiliki efektivitas bervariasi antara 0–80%.13
Peningkatan strain baru di negara berkembang membuat efektivitas vaksin BCG
menurun sehingga belum mampu mengendalikan perkembangan penyakit TB,
tetapi hanya 70% efektif mencegah bentuk TB yang berat seperti TB milier, TB
paru berat, dan TB meningitis pada anak.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Memenuhi tugas kepanitraan klinik senior stase anak.


2. Menambah pengetahuan pembaca dan penulis khususnya mengenai TB
pada anak dari definisi sampai tatalaksana.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan dan kemampuan berpikir mengenai TB pada anak.


2. Memberikan informasi tentang definisi hingga pengobatan TB pada anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis biasanya
menyerang paru-paru tetapi juga dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh.Hal
ini menyebar melalui udara, ketika orang yang memiliki penyakit batuk, bersin,
atau meludah. Kebanyakan infeksi pada manusia dalam hasil infeksi, asimtomatik
laten, dan sekitar satu dari sepuluh infeksi laten pada akhirnya berkembang
menjadi penyakit aktif, yang jika dibiarkan tidak diobati membunuh lebih dari
setengah dari korban.3

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di


pisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan
sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum
obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan
terhadap jadwal pemberian obat, keykinan bahwa obat di minum, dan
sebagainya.4

2.2 Epidemiologi

Kasus TB di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari


15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.

Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun


2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun
2012, 7,9% pada ahun 2013, 7,16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun 2015.
Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi dari 12% sampai 17,3%. Variasi

3
proporsi ini mungkin menunjukkan endemis yang berbeda antara provinsi, tetapi
bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.

2.3 Etiologi

Agen tuberkulosis, mycobacterium tuberculosis, mycobacterium bovis dan


mycobacterium africanum. Basil tuberkel adalah batang lengkung, gram positif
lemah, pleomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2-4
µm. Mereka dapat tampak sendiri-sendiri atau dalam kelompok pada spesimen
klinis yang diwarnai atau media biakan. Mereka merupakan aerob obligat yang
tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan
garam amonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik
pada suhu 37-41°C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi.6

Mikobakterium tumbuh lambat, waktu pembentukkannya adalah 12-24


jam. Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan
waktu 3-6 minggu dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan.
Namun pertumbuhan dapat dideteksi dalam 1-3 minggu pada medium cairan
selektif.6

2.4 Faktor Risiko

2.4.1 Risiko Infeksi


Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap


orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bayi dari
seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB.
Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.

4
2.4.2 Risiko Sakit

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi
TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5
tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB
karena imunitas selularnya belum 4.1.2.2 Risiko sakit TB berkembang sempurna
(imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring
dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi
sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia
remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki risiko
lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB),
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB


adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama.
Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat
(kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut. Faktor risiko
berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko
lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes
melitus, dan gagal ginjal kronik.

2.5 Imunopatologi

Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa


kemungkinan.Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif
membunuh semua kumanTB, sehingga TBtidak terjadi. Kedua, segera setelah
infeksi terjadi multiplikasi,pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis,
yang dikenal sebagai TB primer.Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi
infeksi laten dengan uji tuberkulin positifsebagai satu-satunya manifestasi.

5
Keempat, kuman TB laten tumbuh dan muncul manifestasiklinis, disebut sebagai
reaktivasi TB (TB pasca-primer)2

Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan


hipersensitivitastipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+dan memproduksisitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang
dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+mempengaruhi limposit-T Th1untuk
mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untukmemproduksi sitokin lokal TNF
dan INF.Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesiα γTB dan
mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD4+
memproduksienzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya
nitrogen oksida dan Interleukin. Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh
TNF dan INF untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh M. TB yang
virulen. Peran imunitas seluler mengaktifkan makrfag dan menghancurkan basil
terutama pada jumlah basil yang sedikit. Kemampuan membunuh M. TB juga
bergantung pada jumlah makrofag setempat yangaktif.13,14

Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler,


yaituterjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD4+ dan limposit-T CD8+

6
sitotoksik serta selpembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan
sekitar dan perkijuan.Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif,
menyebabkan M. TB menjadidorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan
parut. Proses ini dapat merugikan tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian
pinggir daerah nekrosis dan membentuk hipersensitifitas tipe lambat kemudian
difagositosis oleh makrofag setempat.

Apabila makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka M. TB


dapat tumbuh dalam makrofagsampai hipersensitifitas tipe lambat merusak
makrofag dan menambah daerah nekrosis. Saat itu imunitas seluler menstimulasi
makrofag setempat untuk membunuh basil dan mencegahperkembangan penyakit.
Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan pada jumlah basil yang banyak dan
menyebabkan nekrosis jaringan. .Apabila M. TB masuk ke dalam aliran limfe atau
darah biasanya akan dihancurkan di tempat yang baru dengan terbentuknya
tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap antigen yang dihasilkan M. TB pada
limposit-T di darahdan jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan aktivasi
makrofag lebih cepat dandestruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil
dengan perkijuan yang minimal, cepatsembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya
penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringanlain.5,6

7
2.6 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei ) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme immunologik nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag
mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.2

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut masa inkubasi.

Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada penyakit lain yaitu
waktu yang diperlukan mulai dari masuknya kuman hingga timbulnya gejala.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut kuman tumbuh hingga
mencapai jumla 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon
imunitas seluler. Selama minggu-minggu awal infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB dinyatakan telah terjadi. Hal
tersebut ditandai ditandai dengan terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,

8
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.1

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jarinagn paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan encapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.2

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat


terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
meyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang
paling sering terjadi adlah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hematogenis spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk kolini kuman sebelum terbentuknya imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya. Setelah dibatasi oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini tidak langsung berlanjut
menjadi penyakit tetapi berpotensi menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial ini
disebut sebagai fokus Simon.1

Bentuk penyebaran hematogen lain adalah penyebarab hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata yang timbul 2-6 bulan setelah terjadi

9
infeksi. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskuler di dekatnya sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar dalam darah.2

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau scsuai
organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang terlihat adalah batuk persisten.
berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif.
Gejala-gejala tersebut sering diangap tidak khas karena juga dijumpai pada
penyakit lain.Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap
(lebih dari 2 minggu) walaupun diberikan terapi yang adekuat (misalnya
antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk
lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).

2.7.1 Gejala sistemik/umum


a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to develop) meskipun telah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
b. Demam lama (22 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 22 minggu, batuk bersifat tidak henti-hentinya (tidak pernah
reda atau semakin lama semakin parah) dan alasan lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau
obat asma (sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

2.7.2 Gejala Spesifik Terkait Organ


Pada TB ekstra paru dapat ditemukan gejala dan tanda klinis yang khas
pada organ yang terkena.

10
A. Tuberkulosis kelenjar

 biasanya di daerah leher (regio colli)


 Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi
kenyal.multiple dan kadang saling menempel (konfluens).
 Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat
jelas bukan hanya teraba.
 Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika.
 Bisa terbentuk rongga dan discharge.

B. Tuberkulosis sistem saraf pusat

 Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis yang sering disertai gejala akibat


keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
 Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang

C. Tuberkulosis sistem skeletal

 Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).


 Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
 Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
 Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

D. Tuberkulosis mata

 Konjungtivitis fliktenularis (konjungtivitis phlyctenularis)


 Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

E. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)

Ditandai adanya disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus.

F. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal; dicurigai


bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tapa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

11
2.8 Pemeriksaan penunjang

2.8.1 Uji Tuberkulin

Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu


yang terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat
dibutuhkan.Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam
menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux
karena dosis antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di
control.Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui
adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun dengan uji
tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak
menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.3,4

Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan


diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang penderita
akan mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil
positif. Faktor – factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda,
malnutrisi, immunosupresi karena penyakit atau obat – obat, infeksi virus, vaksin
virus hidup, dan tuberculosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak
yang terinfeksi dengan M.tuberculosis. Terapi kortikosteroid dapat menurunkan
reaksi erhadap tuberculin, dengan pengaruh yang sangat bervariasi.

Interpretasi hasil test Mantoux:

1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif

Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman


Mycobacterium tuberculosis.

2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan

Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan
Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi yang
atau
sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm lebih berarti infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau

12
BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain daritubeculosis yang jelas
maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis.4

3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.

Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.


Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh sensitisi silang
terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya
sementara selama beberapa bulan sampai beberapa tahundan menghasilkan
indurasi kurang dari 10 – 12 mm. Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat
menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang
mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan
reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun kemudian pada penderitayang pada
mulanya memiliki uji kulit positif.4

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:

1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.

2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.

3. Penyebaran milier.

4. Penyebaran bronkogen

5. Atelektasis

6. Pleuritis dengan efusi

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium


1. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadangkadang


meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan didapatkan sedikit

13
leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal
dan laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.4,5

2. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman


BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan, tetapi kadang – kadang tidak mudah untuk menemukan sputum
terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak – anak. Padapemeriksaan
sputum kurang begitu berhasil karena pada umumnya sputum langsung ditelan,
untuk itu dibutuhkan fasilitas laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang
berarti membutuhkan biaya yang banyak Adapun bahan – bahan yang digunakan
untuk.4,5

pemeriksaan bakteriologi adalah :

1. Bilasan lambung

2. Sekret bronkus

3. Sputum

4. Cairan pleura

5. Liquor cerebrospinalis

6. Cairan asites

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya ditemukan
tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam 1 ml sputum

14
Catatan:

 Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter


 Bila dijumpai skrofuloderma (tb pada kelenjar dan kulit), langsung
didiagnosis TB.
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
 Demam dan Batuk tidak memiliki respon terhadap terapi baku
 Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari setelah
penyuntikan), harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS.4,5

2.8.2 Radiologis
 Gambaran rontgen paru pada TB tidak khas
 Rontgen paru normal (tidak terdeteksi)tidak menyingkirkan diagnosis TB
jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung
 Pemeriksaan rontgen paru saja tidak dapat digunakan untuk mendianosis
tubekulosis
 Secara umum gambaran rontgen sugestif TB:(sebaiknya PA dan lateral)

15
 Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat
 Konsolidasi segmental/lobar
 milier
 kalsifikasi,atelektasis,kavitas
 Efusi pleura
 Bila ditemukan gambaran klinis ringan, namun gambaran radiologis berat,
harus dicurigai TB.6

2.8.3 Serologis
Pada anak, terutama anak kecil, sulit mendapatkan spesimen untuk untuk
pemeriksaan basil TB.Karena sulitnya maka dicari alternatif yang mudah
pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologis (pemeriksaan imunitas
humoral).Selain itu pada awalnya dengan pemeriksaan serologis diharapkan dapat
membedakan antara infeksi dan sakit TB.Namun sampai saat ini belum ada
satupun pemeriksaan serologis yang dapat memenuhi harapan itu. Beberapa
pemeriksaan serologis yang ada diantaranya PAP TB, mycobat, ICT dan lain-lain.
Semua pemeriksaan ini masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis
praktis.6

2.8.4 Patologi anatomik


Gambaran granuloma; perkijuan atau area nekrosis kaseosa ditengah
granuloma.Sel datia langhansSpesimen: limfadenopati kolli, dengan biopsi
aspirasi jarum halus/FNAB.Namun sulit dibedakan dengan infeksi M.atipik dan
limfadenitis BCG.7

2.8.5 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit


mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen.

16
Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan
belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin. Dalam pemeriksaan PCR harus
diperhatikan aspek pemilihan spesimen. Seperi kita ketahui, kuman TB ada
didalam darah hanya dalam waktu singkat selama dalam masa inkubasi, sehingga
pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermanfaat. Spesimen yang dapat
digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.7

2.8.5 Bakteriologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji
tuberkulin dan gambaran radiologis paru.Diagnosis pasti kalau ditemukan kuman
tuberkulosis pada pemeriksaan mikrobiologis.Pemeriksaan mikrobiologis yang
dilakukan terdiri dari 2 macam yaitu pemeriksaan mikroskopis hapusan langsung
untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan pemeriksaan biakan kuman
M.tuberkulosis.7

2.9 Penegakan Diagnosis

Pada uraian diatas terlihat bahwa tidak ada satupun data klinis maupun
penunjang selain pemeriksaan bakteriologis yang dapat memastikan diagnosis TB
perlu analisis kritis terhadap sebanyak mungkin fakta. Diagnosis TB tidak dapat
ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan fisis atau pemeriksaan penunjang
tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Karena sulitnya menegakkan
diagnosis TB pada anak, banyak usaha membuat pedoman diagnosis TB dengan
sistem skoring dan alur diagnostik.Misalnya pedoman yang dibuat oleh
WHO,Stegen and jones, dan UKK Pulmonologi PP IDAI.1

Jika dijumpai pasien dengan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura
pada foto rontgen, terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain, misalnya sesak napas; pasien
harus dirawat inap di rumah sakit. Sedangkan bila dijumpai gibbus dan koksitis,
pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak.4

Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem skoring


digunakan sebagai uji tapis. Setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang

17
lainnya, seperti bilasan lambung (BTA dan kultur M.tuberkulosis), patologik
anatomi, pungsi pleura, pungsi lumbal,CT-scan, funduskopi, serta foto Rontgen
tulang dan sendi.1

Tabel 2.6. Sistem nilai diagnosis TB anak1

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga BTA (+)


(BTA(-) atau
tidak jelas )
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif
(≥10mm/≥5mm
pada keadaan
imunosupresi)
Berat badan BB/TB < 90% Klinis gizi buruk
(status gizi) - atau BB/U < ( BB/TB < -
80% 70% atau BB/U
< 60%)

Demam tanpa
sebab yang jelas - ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran
kelenjar colli, - ≥ 1 cm, jumlah > - -
aksila, inguinal 1, tidak nyeri

Pembengkakan
tulang atau sendi - Ada - -
pembengkakan

Normal atau Gambaran - -


Foto thoraks kelainan tidak sugestif
jelas Tuberkulosis

Sistem skoring :

Penurunan BB merupakan gejala umum yg sering ditemui, yg disebut


penurunan BB adalah apabila terjadi penurunan2 bulan berturut-turut.Demam
lama: >/= 2 minggu, tanpa sebab yang jelas.1

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

18
 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
 Berat badan dinilai saat datang.
 Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
 Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan
infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam
skor karena diperlakukan secara khusus.
 Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,
maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.
 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
 Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal
13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan
kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat
inap di RS1.

2.10 Tatalaksana

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di


pisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan linkungan
sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum
obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan
terhadap jadwal pemberian obat, keykinan bahwa obat di minum, dsb.2

2.8.1. Medikamentosa

 Obat TB yang digunakan


Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisisn, INH,
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line)

19
adalah PAS, viomisisn, sikloserin, etionamid, kanamisin, dan
kpriomisisn, yang digunakan jika terjdi multridrug resistance (MDR).
Rifampisisn dan INH merupakan obat pilihan utama dan di tambah
dengan pirazinamid.Etambutol dan streptomisin.1
 Isoniozid (INH)
- Bakterisid dan bakterostatik
- Efektif pada intrasel dan ekstrael kuman
- Dapat melalui LCS, cairan pleura, asites, ASI
- Dosis 5-15 mg/kg/hari, maks 300 mg/hari, 1x pemberian bila
diberikan bersama rifampisin dosis maks 10 mg/kg/hari
- Efek toksik:hepatotoksik dan neuritis perifer.INH tidak
dilanjutkan bila kadar SGOT/SGPT > 3x normal atau
manifestasi klinis hepatitis(kuning, mual, muntah, sakit perut)
- INH di metabolisme malalui asetilasi di hati.
 Pirazinamid
- Bakterisid intrasel pada suasana asam
- Dapat melalui LCS, cairan dan jaringan tubuh
- efek samping; hepatotoksik, anoreksia, iritasi saluran cerna
- Dosis 15-30 mg/kg/hari, maks 2 gram/hari
 Etambutol
- Jarang diberikan pada anak, karena toksik pada mata
- EMB tidak diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan
pemeriksaan penglihatan
- EMB dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan resisten
obat lain
- dosis 15-20 mg/kg/hari, maks 1,25 gram/hari, dosis tunggal
 Streptomisin
- Bakterisid dan bakterostatik kuman ekstrasel pada keadaan
basa atau netral
- Jarang digunakan, namun penting pada resisten obat
- Dosis 15-40 mg/kg/hari, maks 1 gram/hari,IM

20
- Sangat baik melewati selaput otak yang meradang, namun tidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang
- Efek toksik:gangguan tinitus dan pusing.KI pada wanita hamil2

Tabel 2.3. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya1
Nama obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg)kg)hr) (mg)kg)hr)
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis,neuriti
s
perifer,hipersen
Rifampisin 10-20 600 sitifitas.

Gastrointestinal,
reaksi kulit,
hepatitis,
trombositopeni,
peningkatan
enzim hati,
Pirazinami 15-30 2000 cairan tubuh
d berwarna
merah oranye
kemerahan.
15-20 1250
Etambutol Toksisitas
hepar, atralgia,
gastrointestinal.

Neuritis optik,
ketajaman mata
steptomici 15-40 1000 berkurang, buta
n warna merah
hijau,
hipersensitivitas
,
gastrointestinal.

Ototoksik,
nfrotoksik.

21
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi
10mg/kgBB/hari.

** rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavaibilitas rifampisin

 Panduan obat TB
- Prinsip dasar pengobatan TB : minimal 2 macam obat, 6-12 bulan
- Pengobatan dibagi dalam 2 fase :
- Fase intensif (2 bulan pertama); RHZ
- Fase lanjutan;RH
- Pada TB berat (pulmonal/ekstrapulmonal);TB milier, Meningitis
TB, TB tulang dan lain-lain:
• Fase intensif minimal 4 macam obat; (RHZE/S)

• Fase lanjutan; RH selama 10 bulan


- Diberikan kortikosteroid (prednison) 1-2 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis
selama 2-4 minggu dosis penuh, dilanjutkan tappering off1-2 mgg.1

 Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk megatasi masalah ketidakpatuhan pasien untuk meminum
obat maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah
ditentukan.

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan adalah sebagai


berikut :

 Meyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan


resep

 Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien

22
 Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobatan
standar dengan tepat

 Mempermudah pengelolaan obat

 Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB

 Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya


kekambuhan

 Pengawasan minum obat menjadi lebih mudah dan cepat

 Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan.5

Tabel 2.4. Dosis OAT KDT Pada TB Anak5

Berat Badan Fase Intensif (2 Fase Lanjutan (4


(kg) bulan) bulan)
RHZ (75/50/150 RH (75/50 mg)
mg)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa

Catatan

• Bila BB > 33 kg dosis disesuaikan dengan tabel 5 (perhatikan dosis


maksimal)
• Bila BB < 5 kg sebaikny di rujuk ke RS

23
• Obat harus diberikan secara utuh.
 Evaluasi Hasil Pengobatan
- Dilakukan setelah 2 bulan
- Apabila respons baik; gejala klinis hilang, BB naik, obat diteruskan
- Apabila respons kurang baik; gejala masih ada, BB tetap, OAT
terus sambil merujuk ke sarana yang lebih tinggi atau konsulen
paru anak
 Evaluasi Efek samping pengobatan
- Efek samping jarang terjadi bial dosis INH tidak > 10 mg/kg/hari
dan rifampisin tidak > 15 mg/kg/hari
- Hepatotoksisitas; SGOT/SGPT ↑5X normal
- Bilirubin total > 1,5 mg/dl
- Peningkatan SGOT/SGPT berapapun, disertai anoreksia, ikterus,
nausea, muntah
- Bila peningkatan enzim transaminase >5x, OAT stop
• Cek ulang setelah 1 minggu penghentian
• OAT → Nilai laboratorium normal
 Multi-Drug Resistant (MDR-TB)
- MDR-TB:M.TB yang resisten terhadap 2 atau lebih OAT biasanya
INH dan Rifampisin
- Penyebab:
• Pemakaian obat tunggal
• Pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar
• Kurangnya kepatuhan minum obat5

2.8.2. Non-medikamentosa.

 Pendekatan DOTS

Hal yang paling penting pada tata laksana tuberculosis adalah


keteraturan minum obat.Pasien TB biasanya telah menunjukkan
perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan sehingga merasa telah
sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan.Lingkungan social dan

24
pengertian yang kurang mengenai tuberkulosis dari pasien serta
keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk minum obat.

Kepatuhan pasien dikatakan baik bila pasien minum obat sesuai


dengan dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan.Kepatuhan
pasien ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah
resistensi.Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah
dengan melakukan pengawasan langsung.1

Gambar 2.7. Strategi DOTS1

DOTS
Directly Observed Treatment Shortcourse

5 komponen strategi DOTS menurut WHO:


1. Komitmen politis pengambil keputusan, termasuk dana
2. Diagnosis TB dg pemeriksaan dahak scr mikroskopis*
3. Pengobatan dg OAT jangkapendej dg pengawasan langsung
PMO (pengawas minum obat)
4. Kesinambungan penyediaan OAT dg mutu terjamin
5. Pencatatan pelaporan baku utk mempermudah pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB
* pada anak dg skoring (DOTS modifikasi)

 Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus


dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular
TB.Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
melakukan kontak erat dengan anak tersebut.Pelacakkan dilakukan dengan
cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum.Selain itu perlu dicari pula
anak lain disekitarnya yang mungkin tertular dengan cara uji tuberkulin.1

25
Sebaliknya jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak di
sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi
tuberkulosis. Pelacakkan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.1

 Aspek Sosial Ekonomi


Keterkaitan TB dengan masalah sosial ekonomi sangatlah erat. Pengobatan TB
secara adekuat memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu diperlukan
penanganan gizi yang baik.
Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang
tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada
anak tidak ditularkan pada anak yang lain.2

 Pencegahan

1. BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan.Dosis untuk bayi


sebesar 0.05 ml dan untuk anak 0,10 ml diberikan intrakutan di daerah insersi otot
deltoid kanan .Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberculin lebih dulu.Insidens TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.BCG efektif untuk mencegah
milier, meningitis dan spondilitis TB pada anak.BCG memberikan perlindugan
terhadap milier TB, meningitis TB, TB tulang dan sendi dan kavitas sedikitnya
75%.BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat efektivitas perlindungannya hanya
40%.BCG relative aman, jarang ada efek samping serius, yang sering ditemukan
ulserasi local dan limfadenitis.Kontraindikasi pemberian imunisasi
BCG:defisiensi imun, infeksi berat, luka bakar6

2.Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB


pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi
sehingga anak tidak sakit.Pada kemoprofilaksis primer diberikan INH dengan
dosis 5-10 mg/kg/bb/hari, dosis tunggal, pada anak yang kontak dengan TB

26
menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi(uji
tuberkulin negatif).Obat dihentikan bila sumber kontak sudah tidak menular lagi
dan anak ternyata tetap tidak infeksi(setelah uji tuberkulin ulangan).6

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi


belum sakit, ditandai dengan uji tuberculin positif, klinis, dan radiologis
normal.Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita,
menderita morbili, varisela dan pertusis mendapat obat imunosupresif yang
lama(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja dan infeksi TB paru, konversi uji
tuberculin dalam waktu kurang dari 12 bulan.5

2.11 Prognosis

Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya mendapat


infeksi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini,
pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang
berulang dan lain-lain.5

2.12 Evaluasi Hasil Pengobatan

Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi


pengobatandilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaanLED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu menghilang atau membaiknyakelainan klinis yang sebelumnya ada pada
awal pengobatan, misalnya penambahan beratbadan yang bermakna, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi
radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasihasil
pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya menghilang dalam 1
bulan,kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin
saja belum adaperbaikan hingga beberapa bulan. 5

27
BAB IV
KESIMPULAN

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI.Petunjuk Teknis Manajemen Dan Tatalaksana TB Anak.


Jakarta: Kemenkes RI; 2016
2.
3. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak 2. Edisi 15. Buku
Kedokteran, EGC; 2012
4. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 20013.

29

Anda mungkin juga menyukai