Disusun oleh:
Kaylin Wijdani Albar
(200131205)
Chairunnisa Siregar
(200131239)
PEMBIMBING:
Dr. dr. Bintang Yinke Magdalena Sinaga, M.Ked(Paru),
Sp.P(K)
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1
1.2 TUJUAN PENULISAN.................................................................................2
1.3 MANFAAT PENULISAN.............................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3
2.1. Definisi dan Etiologi.................................................................................3
2.2. Epidemiologi.............................................................................................3
2.3. Patogenesis................................................................................................4
2.4. Gejala Klinis..............................................................................................5
2.5. Diagnosis...................................................................................................6
2.6. Penatalaksanaan.......................................................................................13
BAB III..................................................................................................................18
KESIMPULAN......................................................................................................18
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1........................................................................................................7
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.......................................................................................................14
Tabel 1.2.......................................................................................................15
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
920.000 orang yang hidup dengan HIV (ODHA) mengembangkan
penyakit tuberkulosis pada tahun 2017, mewakili 9% dari 10 juta kasus
kejadian tuberkulosis secara global. Koinfeksi TB-HIV memiliki dampak
besar pada hasil kesehatan korban karena percepatan perkembangannya.
Secara umum, orang yang terkena HIV 20 kali lebih berisiko terinfeksi
TB dibandingkan dengan orang yang tidak terkena HIV, dengan angka
kematian kasus 16–35%, hampir 4 kali lebih tinggi dibandingkan ODHA.
Insiden koinfeksi ditentukan oleh banyak faktor termasuk merokok,
keluarga, stadium klinis HIV, penggunaan terapi antiretroviral (ART),
penggunaan narkoba suntik dan anemia.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Epidemiologi
8
2.3. Patogenesis
9
Diabetes diketahui mempengaruhi proses kemotaksis, fagositosis,
aktivasi, dan presentasi antigen M. tuberculosis oleh sel fagosit tersebut.
Makrofag alveolar berfungsi sebagai antigen precenting cell untuk
menginisiasi aktivasi limfosit. Diabetes juga dapat mempengaruhi
produksi interferon gamma oleh sel T, pertumbuhan, fungsi, dan
proliferasi sel T yang diketahui berperan penting dalam proses imunitas
seluler tubuh. Interferon gamma membantu dalam mekanisme
penghancuran intraseluler makrofag terhadap kuman TB, sehingga
defisiensi kemoktan ini akan menurunkan fungsi imun dalam
penghancuran kuman tuberkulosis.
Peningkatan insiden TB aktif pada orang yang terinfeksi HIV dapat
dikaitkan dengan setidaknya dua mekanisme: peningkatan reaktivasi
TB laten atau peningkatan kerentanan terhadap infeksi M. tuberculosis.
Peningkatan risiko TB aktif di antara orang yang terinfeksi HIV pada
awalnya terutama dikaitkan dengan peningkatan risiko reaktivasi infeksi
laten. Peningkatan produksi TNF diduga menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap TB aktif. Selain itu Selama infeksi HIV, produksi
IFN-c menurun secara progresif sejalan dengan penurunan kadar CD4+ T-
limfosit, yang akhirnya mengarah pada peningkatan risiko yang nyata
untuk mengembangkan reaktivasi atau reinfeksi oleh M. tuberculosis pada
pasien ini. Mekanisme ini telah ditunjukkan dalam konteks individu yang
secara alami menghasilkan peningkatan kadar TNF sebagai respons
terhadap infeksi M. tuberculosis. Infeksi HIV telah terbukti merusak
apoptosis makrofag yang dimediasi TNF pada infeksi M. tuberculosis.
Penurunan apoptosis dan peningkatan nekrosis makrofag yang terinfeksi
telah terbukti membantu infeksi dan menunda pembentukan respons imun
spesifik antigen. Sejalan dengan itu dapat dipertimbangkan bahwa aktivasi
umum sistem kekebalan, karakteristik infeksi HIV, membuat penderita
akan lebih rentan untuk terkena TB aktif.
Berdasarkan kedua keadaan komorbiditas pasien tuberculosis dapat
disimpulkan bahwa penurunan imunitas yang terjadi pada pasien dengan
10
komorbiditas (diabetes melitus dan HIV) dapat meningkatkan
progresivitas penyakit TB.
2.4.Gejala Klinis
1. Gejala utama
• Batuk berdahak ≥ 2 minggu
2. Gejala tambahan
• Batuk darah
• Sesak napas
• Badan lemas
• Penurunan nafsu makan
• Penurunan berat badan yang tidak disengaja
• Malaise
• Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
• Demam subfebris lebih dari satu bulan
• Nyeri dada
Gejala klinis pada pasien tuberkulosis dengan AIDS tidak spesifik.
Terdapat gejala konstitusional (demam, keringat malam, lemah, nafsu
makan, dan berat badan menurun) keadaan umum yang cepat
memburuk, dan cepat berubah menjadi bentuk milier. Selain itu juga
terdapat batuk, ekspektorasi, batuk darah, nyeri dada, atau sesak napas.
11
2.5 Diagnosis Tuberculosis
A. Pemeriksaan Fisik
12
Gambar 1.1 Paru: Apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
B. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan pemeriksaan
13
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Untuk pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali. Bahan
pemeriksaan hasil BJH (Biopsi Jarum Halus) dapat dibuat menjadi sediaan
apus kering di gelas objek.
Untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0.9%
3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi
anatomi.
Mikroskopis
Biakan
d. Pemeriksaan mikroskopis
14
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Uji tes cepat molekular (TCM) dapat mengidentifikasi MTB dan secara
bersamaan melakukan uji kepekaan obat dengan mendeteksi materi
genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang umum digunakan
adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk Rifampisin). Saat ini
mulai umum dikenal uji TCM lain meskipun belum dikenal secara luas.
Tes cepat molekular harus digunakan sebagai tes diagnostik awal pada
pasien yang dicurigai dengan HIV ko-infeksi TB.
15
C. Pemeriksaan Radiologi
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau
penebalan pleura
16
Gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik
terutama pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan foto toraks infiltrat
umumnya terdapat di apeks, namun pada pasien TB-HIV infiltrat
seringkali ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut.
Gambaran TB milier cukup sering ditemukan.
Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi
tuberculosis. Ambang batas hasil positif berbeda tergantung dari
riwayat medis pasien. Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada pasien
dengan HIV, riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB
aktif, pasien dengan gambaran khas TB pada foto toraks, pasien
dengan imunosupresi, pasien dengan terapi kortikosteroid jangka
panjang, pasien dengan gagal ginjal stadium akhir.
17
palsu. Pada perjalanan awal HIV dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/
mm3 ditemukan uji tuberkulin positif.
2.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana Tuberculosis
Tujuan pengobatan TB yaitu menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian atau kecatatan
akibat penyakit TB atau efek selanjunya, mencegah kekambuhan,
menurunkan risiko penularan TB, mencegah terjadinya resistensi terhadap
obat anti tuberculosis (OAT) serta penularannya. Pada tahap awal atau fase
intensif, OAT diberikan setiap hari. Pemberian OAT pada tahap awal
bertujuan untuk menurunkan secara cepat jumlah kuman TB yang terdapat
dalam tubuh pasien dan meminimalisasi risiko penularan. Jika pada tahap
awal OAT dikonsumsi secara teratur dengan dosis yang tepat, risiko
penularan umumnya sudah berkurang setelah dua minggu pertama tahap
awal pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk memperkecil pengaruh
sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah resisten terhadap OAT
sejak sebelum dimulai pengobatan. Durasi pengobatan tahap awal pada
pasien TB sensitif obat (TB-SO) adalah dua bulan. Pengobatan dilanjutkan
dengan tahap lanjutan. Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk
membunuh sisa kuman TB yang tidak mati pada tahap awal sehingga
dapat mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar antara 4 – 6
bulan.
18
Tabel 1.1 Jenis OAT Lepasan Lini Pertama Untuk Pengobatan TB Sensitive Obat
19
Tabel 1.1 Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan KDT
20
TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien
TB tanpa HIV. Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis
sehingga mudah terjadi efek samping obat yang bersifat hepatotoksik.
21
Kotrimoksazol diberikan pada semua pasien TB HIV tanpa
mempertimbangkan nilai CD4 sebagai pencegahan infeksi oportunistik
lain. Pada ODHA tanpa TB, pemberian profilaksis kotrimoksazol
direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 < 200 sel/mm3.
Pemberian kotrimoksazol pada pasien HIV dapat menurunkan mortalitas.
Tatalaksana TB dengan DM
Prinsip pengobatan TB DM sama dengan TB tanpa DM, selama kadar
gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka
lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati-hati dengan
penggunaan etambutol, karena pasien DM sering mengalami komplikasi
pada mata. Pemberian INH dapat menyebabkan neuropati perifer yang
dapat memperburuk atau menyerupai diabetik neuropati maka sebaiknya
diberikan suplemen Vitamin B 6 atau piridoksin selama pengobatan. Perlu
diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetes (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan
monitoring kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti
diabetik lainnya seperti insulin yang dapat meregulasi gula darah dengan
baik tanpa mempengaruhi efektifitas OAT.
22
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan slaah satu penyakit
multi organ yang dapat mempengaruhi paru-paru, sistem gastrointestinal
(GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem
muskuloskeletal, sistem reproduksi, dan hati. Tuberculosis dapat hadir
dengan beberapa penyakit komorbid, dua diantaranya ada HIV dan
Diabetes Melitus. Kedua penyakit ini dapat mempengaruhi penderita TB
dengan mekanisme yang berbeda, salah satu yang paling utama adalah
menurunnya imunitas secara progresif. Terdapat perbedaan dalam
penatalaksaan penderita TB dengan komorbid dibandingkan dengan
penderita TB tanpa komorbid.
23
DAFTAR PUSTAKA
Tulu, B., Amsalu, E., Zenebe, Y., Abebe, M., Fetene, Y., Agegn, M.,
Abate, A., Ponpetch, K., Bekana, T., Gumi, B., & Ameni, G. (2021).
Diabetes mellitus and HIV infection among active tuberculosis
patients in Northwest Ethiopia: health facility-based cross-sectional
24
study. Tropical Medicine and Health, 49(1).
https://doi.org/10.1186/s41182-021-00358-4
25