Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TUBERKULOSIS DENGAN HIV DAN DM

Disusun oleh:
Kaylin Wijdani Albar
(200131205)
Chairunnisa Siregar
(200131239)

PEMBIMBING:
Dr. dr. Bintang Yinke Magdalena Sinaga, M.Ked(Paru),
Sp.P(K)

KEPANITERAAN KLINIK RS PENDIDIKAN USU


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN
RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Pembimbing

Dr. dr. Bintang Yinke Magdalena Sinaga, M.Ked (Paru),


Sp.P(K)

ii
DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1
1.2 TUJUAN PENULISAN.................................................................................2
1.3 MANFAAT PENULISAN.............................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3
2.1. Definisi dan Etiologi.................................................................................3
2.2. Epidemiologi.............................................................................................3
2.3. Patogenesis................................................................................................4
2.4. Gejala Klinis..............................................................................................5
2.5. Diagnosis...................................................................................................6
2.6. Penatalaksanaan.......................................................................................13
BAB III..................................................................................................................18
KESIMPULAN......................................................................................................18

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1........................................................................................................7

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.......................................................................................................14
Tabel 1.2.......................................................................................................15

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
multi organ yang dapat mempengaruhi paru-paru, sistem gastrointestinal
(GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem
muskuloskeletal, sistem reproduksi, dan hati. Sampai saat ini penyakit TB
masih menjadi beban besar baik secara morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia. Menurut data WHO pada tahun 2017 sebagian besar beban
global infeksi baru dan kematian tuberkulosis dimiliki oleh negara-negara
berkembang dengan 6 negara, India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan,
dan Afrika Selatan, menyumbang 60% dari kematian TB pada tahun 2015.

Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) adalah dua kondisi


berbeda yang sangat penting bagi kesehatan masyarakat yang ada selama
berabad-abad. TB secara tradisional diidentikkan dengan kemiskinan
sedangkan DM dianggap sebagai entitas yang terkait dengan kemakmuran.
Saat ini TB adalah salah satu penyakit menular yang paling umum dan
tersebar luas, tetapi tidak terbatas pada kelompok ekonomi rendah. DM di
sisi lain mempelopori kelompok penyakit tidak menular kronis yang
mempengaruhi orang di semua strata sosial ekonomi. Berdasarkan data
WHO sekitar 15% kasus TB di dunia memiliki hubungan atau
komorbiditas yang erat dengan DM. Diabetes Melitus seringkali dikaitkan
dengan peningkatan TB aktif dan kekambuhan TB yang keduanya
mungkin akibat efek langsung dari komorbiditas penyakit diabetes.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Tuberkulosis (TB) adalah


penyakit beban ganda dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa

6
920.000 orang yang hidup dengan HIV (ODHA) mengembangkan
penyakit tuberkulosis pada tahun 2017, mewakili 9% dari 10 juta kasus
kejadian tuberkulosis secara global. Koinfeksi TB-HIV memiliki dampak
besar pada hasil kesehatan korban karena percepatan perkembangannya.
Secara umum, orang yang terkena HIV 20 kali lebih berisiko terinfeksi
TB dibandingkan dengan orang yang tidak terkena HIV, dengan angka
kematian kasus 16–35%, hampir 4 kali lebih tinggi dibandingkan ODHA.
Insiden koinfeksi ditentukan oleh banyak faktor termasuk merokok,
keluarga, stadium klinis HIV, penggunaan terapi antiretroviral (ART),
penggunaan narkoba suntik dan anemia.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan makalah ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan


pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap


penulis dan pembaca, terutama yang terlibat dalam bidang medis, dan
juga memberikan wawasan kepada masyarakat umum agar lebih
mengetahui serta memahami tentang tuberkulosis dengan HIV dan DM.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan


oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara.

2.2. Epidemiologi

Secara epidemiologi diperkirakan bahwa 10 juta orang menderita


Tuberkulosis (TB) setiap tahun di seluruh dunia. TB selalu menjadi 10
besar penyebab kematian secara global dengan India menjadi rumah bagi
jumlah pasien TB terbesar di dunia. Salah satu faktor utama yang
menyebabkan hal ini adalah adanya penyakit penyerta seperti Diabetes
Melitus dan HIV/AIDS. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020
yang diterbitkan oleh WHO, diperkirakan pada tahun 2019 terdapat
insidens kasus: 10 juta (8,9 – 11 juta) dengan kasus meninggal (HIV
negatif): 1,2 juta (1,1 – 1,3 juta) dan kasus meninggal (HIV positif):
208.000 (177.000- 242.000). Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio
Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan regio Pasifik Barat (18%). Di
Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000 (770.000
– 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya
merupakan kasus TB-HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000 kematian
pada kasus TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV
positif.

8
2.3. Patogenesis

Tuberkulosis adalah penyakit yang menular lewat udara (airborne


disease), melalui droplet nuklei yang dapat bertahan di udara hingga
beberapa jam tergantung dari kondisi lingkungan. Droplet nuklei memiliki
sifat aerodinamis yang memungkinkannya masuk ke dalam saluran napas
melalui inspirasi hingga mencapai bronkiolus respiratorius dan alveolus.
Jika jumlah droplet nuclei yang teinhalasi sedikit, kuman TB akan segera
difagosit oleh makrofag. Namun jika jumlah kuman TB yang terdeposit
melebihi kemampuan makrofag untuk memfagosit dan mencerna, kuman
TB dapat bertahan dan berkembang biak secara intraseluler di dalam
makrofag hingga menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang terlokalisasi.
Kuman yang berkembang biak di dalam makrofag ini akan keluar saat
makrofag mati. Sistem imun akan merespon dengan membentuk barrier
atau pembatas di sekitar area yang terinfeksi dan membentuk granuloma.
Jika respon imun tidak dapat mengontrol infeksi ini, maka barrier ini dapat
ditembus oleh kuman TB. Kuman TB, dengan bantuan sistem limfatik dan
pembuluh darah, dapat tersebar ke jaringan dan organ yang lebih jauh
misalnya kelenjar limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan tulang.
DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan beberapa komplikasi
seperti penyakit vaskular, neuropati, dan meningkatnya risiko infeksi.
DM meningkatkan risiko penyakit tuberkulosis melalui beberapa
mekanisme, baik secara langsung oleh karena kondisi hiperglikemia dan
insulinopenia seluler, maupun secara tidak langsung, yaitu menurunkan
fungsi makrofag dan limfosit dalam menghancurkan atau memfagosit
kuman tuberkulosis. Kondisi hiperglikemia dalam tubuh penderita
diabetes memfasilitasi cepatnya pertumbuhan bakteri oleh karena
banyaknya sumber nutrisi dalam darah yang tidak masuk ke dalam sel
tubuh.
Sel-sel yang berperan penting dalam penghancuran kuman TB adalah sel-
sel fagosit seperti makrofag alveolar, monosit prekursornya, dan limfosit.

9
Diabetes diketahui mempengaruhi proses kemotaksis, fagositosis,
aktivasi, dan presentasi antigen M. tuberculosis oleh sel fagosit tersebut.
Makrofag alveolar berfungsi sebagai antigen precenting cell untuk
menginisiasi aktivasi limfosit. Diabetes juga dapat mempengaruhi
produksi interferon gamma oleh sel T, pertumbuhan, fungsi, dan
proliferasi sel T yang diketahui berperan penting dalam proses imunitas
seluler tubuh. Interferon gamma membantu dalam mekanisme
penghancuran intraseluler makrofag terhadap kuman TB, sehingga
defisiensi kemoktan ini akan menurunkan fungsi imun dalam
penghancuran kuman tuberkulosis.
Peningkatan insiden TB aktif pada orang yang terinfeksi HIV dapat
dikaitkan dengan setidaknya dua mekanisme: peningkatan reaktivasi
TB laten atau peningkatan kerentanan terhadap infeksi M. tuberculosis.
Peningkatan risiko TB aktif di antara orang yang terinfeksi HIV pada
awalnya terutama dikaitkan dengan peningkatan risiko reaktivasi infeksi
laten. Peningkatan produksi TNF diduga menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap TB aktif. Selain itu Selama infeksi HIV, produksi
IFN-c menurun secara progresif sejalan dengan penurunan kadar CD4+ T-
limfosit, yang akhirnya mengarah pada peningkatan risiko yang nyata
untuk mengembangkan reaktivasi atau reinfeksi oleh M. tuberculosis pada
pasien ini. Mekanisme ini telah ditunjukkan dalam konteks individu yang
secara alami menghasilkan peningkatan kadar TNF sebagai respons
terhadap infeksi M. tuberculosis. Infeksi HIV telah terbukti merusak
apoptosis makrofag yang dimediasi TNF pada infeksi M. tuberculosis.
Penurunan apoptosis dan peningkatan nekrosis makrofag yang terinfeksi
telah terbukti membantu infeksi dan menunda pembentukan respons imun
spesifik antigen. Sejalan dengan itu dapat dipertimbangkan bahwa aktivasi
umum sistem kekebalan, karakteristik infeksi HIV, membuat penderita
akan lebih rentan untuk terkena TB aktif.
Berdasarkan kedua keadaan komorbiditas pasien tuberculosis dapat
disimpulkan bahwa penurunan imunitas yang terjadi pada pasien dengan

10
komorbiditas (diabetes melitus dan HIV) dapat meningkatkan
progresivitas penyakit TB.

2.4.Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


gejala utama dan gejala tambahan:

1. Gejala utama
• Batuk berdahak ≥ 2 minggu
2. Gejala tambahan
• Batuk darah
• Sesak napas
• Badan lemas
• Penurunan nafsu makan
• Penurunan berat badan yang tidak disengaja
• Malaise
• Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
• Demam subfebris lebih dari satu bulan
• Nyeri dada
Gejala klinis pada pasien tuberkulosis dengan AIDS tidak spesifik.
Terdapat gejala konstitusional (demam, keringat malam, lemah, nafsu
makan, dan berat badan menurun) keadaan umum yang cepat
memburuk, dan cepat berubah menjadi bentuk milier. Selain itu juga
terdapat batuk, ekspektorasi, batuk darah, nyeri dada, atau sesak napas.

Manifestasi klinis infeksi tuberkulosis pada pasien dengan DM


memiliki beberapa perbedaan dengan pasien TB yang tidak
berkomorbid dengan diabetes. Pada pasien TB dengan diabetes melitus
klinis yang lebih sering terlihat adalah demam dan hemoptisis.

    

11
2.5 Diagnosis Tuberculosis

A. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari


organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara
lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah
kasar/halus, dan/atau tanda- tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi ditemukan suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess”.

12
Gambar 1.1 Paru: Apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

B. Pemeriksaan Bakteriologis

a. Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan bakteri tuberkulosis


mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

13
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Untuk pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali. Bahan
pemeriksaan hasil BJH (Biopsi Jarum Halus) dapat dibuat menjadi sediaan
apus kering di gelas objek.

Untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0.9%
3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi
anatomi.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan


pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, feses, dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara:

 Mikroskopis
 Biakan

d. Pemeriksaan mikroskopis

 Mikroskopis biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen.


 Mikroskopis fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO).

• Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung


Disease):

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.


- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah basil
yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).

14
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Pemeriksaan bakteriologis pada ODHA sering memberikan hasil negatif


pada pemeriksaan mikroskopis dahak, maka penegakan diagnosis TB
diutamakan menggunakan Tes Cepat Molekular (TCM) yang dilakukan
dalam waktu yang bersamaan dengan pemeriksaan sediaan dahak
mikrobiologis di fasyankes yang mempunyai fasilitas TCM.

TB paru disertai DM memiliki jumlah basil yang lebih tinggi dalam


sputumnya. Pasien TB yang menderita DM menunjukkan kultur M.TB
positif

e. Pemeriksaan biakan bakteri TB


Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas (gold standard) dalam
mengidentifikasi M.tuberculosis. Biakan bakteri untuk kepentingaan klinis
umum dilakukan menggunakan dua jenis medium biakan, yaitu:
• Media padat (Lowenstein-Jensen).

• Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT)

f. Tes Cepat Molekular

Uji tes cepat molekular (TCM) dapat mengidentifikasi MTB dan secara
bersamaan melakukan uji kepekaan obat dengan mendeteksi materi
genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang umum digunakan
adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk Rifampisin). Saat ini
mulai umum dikenal uji TCM lain meskipun belum dikenal secara luas.
Tes cepat molekular harus digunakan sebagai tes diagnostik awal pada
pasien yang dicurigai dengan HIV ko-infeksi TB.

15
C. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks dengan


proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi klinis
misalnya foto toraks proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat menghasilkan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus


atas paru dan segmen superior lobus bawah.
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:

 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau

penebalan pleura

Luluh paru (destroyed lung):

 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru


yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran
radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan
aktivitas proses penyakit.

16
Gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik
terutama pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan foto toraks infiltrat
umumnya terdapat di apeks, namun pada pasien TB-HIV infiltrat
seringkali ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut.
Gambaran TB milier cukup sering ditemukan.

Secara radiologis, TB paru pada penderita DM sering


menunjukkan gambaran dan distribusi radiografi yang atipikal; pada
penderita TB tanpa DM kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada
lobus atas, sedangkan pada penderita TB paru disertai DM, lapangan
paru bawah lebih sering terlibat.

D. Pemeriksaan Penunjang Lain

Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi
tuberculosis. Ambang batas hasil positif berbeda tergantung dari
riwayat medis pasien. Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada pasien
dengan HIV, riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB
aktif, pasien dengan gambaran khas TB pada foto toraks, pasien
dengan imunosupresi, pasien dengan terapi kortikosteroid jangka
panjang, pasien dengan gagal ginjal stadium akhir.

Indurasi ≥10 mm dianggap positif pada pasien yang tinggal di atau


datang dari (kurang dari 5 tahun) negara dengan prevalensi TB
tinggi, pengguna obat suntik, pasien yang tinggal di tempat dengan
kepadatan yang tinggi (misal penjara), staf laboratorium
mikrobiologi, pasien dengan risiko tinggi (misalnya diabetes, gagal
ginjal, sindrom malabsorpsi kronik), dan balita. Indurasi ≥15 mm
dianggap positif pada semua pasien. Pada pasien dengan malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif

17
palsu. Pada perjalanan awal HIV dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/
mm3 ditemukan uji tuberkulin positif.

2.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana Tuberculosis
Tujuan pengobatan TB yaitu menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian atau kecatatan
akibat penyakit TB atau efek selanjunya, mencegah kekambuhan,
menurunkan risiko penularan TB, mencegah terjadinya resistensi terhadap
obat anti tuberculosis (OAT) serta penularannya. Pada tahap awal atau fase
intensif, OAT diberikan setiap hari. Pemberian OAT pada tahap awal
bertujuan untuk menurunkan secara cepat jumlah kuman TB yang terdapat
dalam tubuh pasien dan meminimalisasi risiko penularan. Jika pada tahap
awal OAT dikonsumsi secara teratur dengan dosis yang tepat, risiko
penularan umumnya sudah berkurang setelah dua minggu pertama tahap
awal pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk memperkecil pengaruh
sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah resisten terhadap OAT
sejak sebelum dimulai pengobatan. Durasi pengobatan tahap awal pada
pasien TB sensitif obat (TB-SO) adalah dua bulan. Pengobatan dilanjutkan
dengan tahap lanjutan. Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk
membunuh sisa kuman TB yang tidak mati pada tahap awal sehingga
dapat mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar antara 4 – 6
bulan.

18
Tabel 1.1 Jenis OAT Lepasan Lini Pertama Untuk Pengobatan TB Sensitive Obat

Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa


Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama
2 bulan dilanjutkan dengan pemberian Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
selama 4 bulan pada fase lanjutan. Pemberian obat fase lanjutan diberikan
sebagai dosis harian (RH) sesuai dengan rekomendasi WHO. Pasien
dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama.

Seiring perkembangan waktu, dikombinasikan OAT lini pertama


menjadi obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT), untuk menunjang kepatuhan
berobat pasien. Satu tablet KDT RHZE pada fase intensif berisi
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol
275 mg. Sedangkan untuk fase lanjutan yaitu KDT RH yang berisi
Rifampisin 150 mg dan Isoniazid 75 mg yang diberikan setiap hari. Jumlah
tablet KDT yang diberikan, disesuaikan dengan berat badan pasien

19
Tabel 1.1 Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan KDT

Keuntungan pengobatan TB dengan KDT, yaitu:


 Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal
 Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien
dengan penurunan kesalahanpengobatan yang
tidak disengaja
 Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benardan standar
 Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
 Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan
terjadinya resistensi obatakibat penurunan penggunaan
monoterapi.

Jika pasien yang diterapi menggunakan KDT mengalami efek samping


yang serius, harus segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru
atau fasilitas yang mampu menangani. Pengobatan B paru kasus gagal
pengobatan, dirujuk ke dokter spesialis paru sedangkan kasus TB resisten
obat, dirujuk ke pusat rujukan TB-RO.

Tatalaksana TB dengan HIV


Penatalaksanaan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama seperti pasien

20
TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien
TB tanpa HIV. Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis
sehingga mudah terjadi efek samping obat yang bersifat hepatotoksik.

Dosis OAT dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Prinsip


pengobatan pasien TB/HIV mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV dimulai sesegera mungkin setelah OAT dapat ditoleransi dalam 2-8
minggu pengobatan fase awal tanpa mempertimbangkan nilai CD4.
Apabila nilai CD4 kurang dari 50 sel/mm3, maka pemberian ARV dapat
dimulai pada 2 minggu pertama pemberian OAT fase awal dengan
pemantauan, sedangkan pada TB meningitis pemberian ARV diberikan
setelah fase intensif selesai. Pada pemberian OAT dan ARV perlu
diperhatikan interaksi obat, tumpang tindih efek samping obat, sindrom
pulih imun (SPI) atau immune-reconstitution inflammatory syndrome
(IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.

Pada pengobatan ARV lini 1, Efavirenz (EFV) merupakan golongan


NNRTI yang baik digunakan untuk paduan ARV pada ODHA dalam
terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi
dengan rifampisin yang lebih ringan dibanding nevirapin. Pengobatan
HIV lini 2 menggunakan paduan obat yang mengandung
Lopinavir/Ritonavir (LPV/r), yang mempunyai interaksi sangat kuat
dengan rifampisin, karena rifampisin mengaktifkan enzim yang
meningkatkan metabolisme LPV/r sehingga menurunkan kadar plasma
LPV/r lebih rendah dari minimum inhibitory concentration (MIC). Pada
kondisi seperti ini, pilihannya adalah mengganti rifampisin dengan
streptomisin. Jika rifampisin tetap akan digunakan bersama LPV/r,
terutama pada meningitis TB, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis
LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal.
Kedua obat tersebut bersifat hepatotoksik, maka perlu dipantau fungsi hati
dengan lebih intensif. Apabila ODHA mempunyai kelainan hati kronis
maka pemberian kombinasi tersebut tidak direkomendasi.

21
Kotrimoksazol diberikan pada semua pasien TB HIV tanpa
mempertimbangkan nilai CD4 sebagai pencegahan infeksi oportunistik
lain. Pada ODHA tanpa TB, pemberian profilaksis kotrimoksazol
direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 < 200 sel/mm3.
Pemberian kotrimoksazol pada pasien HIV dapat menurunkan mortalitas.

Tatalaksana TB dengan DM
Prinsip pengobatan TB DM sama dengan TB tanpa DM, selama kadar
gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka
lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati-hati dengan
penggunaan etambutol, karena pasien DM sering mengalami komplikasi
pada mata. Pemberian INH dapat menyebabkan neuropati perifer yang
dapat memperburuk atau menyerupai diabetik neuropati maka sebaiknya
diberikan suplemen Vitamin B 6 atau piridoksin selama pengobatan. Perlu
diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetes (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan
monitoring kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti
diabetik lainnya seperti insulin yang dapat meregulasi gula darah dengan
baik tanpa mempengaruhi efektifitas OAT.

22
BAB III

KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan slaah satu penyakit
multi organ yang dapat mempengaruhi paru-paru, sistem gastrointestinal
(GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem
muskuloskeletal, sistem reproduksi, dan hati. Tuberculosis dapat hadir
dengan beberapa penyakit komorbid, dua diantaranya ada HIV dan
Diabetes Melitus. Kedua penyakit ini dapat mempengaruhi penderita TB
dengan mekanisme yang berbeda, salah satu yang paling utama adalah
menurunnya imunitas secara progresif. Terdapat perbedaan dalam
penatalaksaan penderita TB dengan komorbid dibandingkan dengan
penderita TB tanpa komorbid.

23
DAFTAR PUSTAKA

Activity, C. E. (2012). Continuing Education Activity. 3–5.

Bates, M., Marais, B. J., & Zumla, A. (2015). Tuberculosis


comorbidity with communicable and noncommunicable
diseases. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5(11),
1–15. https://doi.org/10.1101/cshperspect.a017889

Chowdhury, S., & Chakraborty, P. pratim. (2017). Universal health


coverage - There is more to it than meets the eye. Journal of
Family Medicine and Primary Care, 6(2), 169–170.
https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc

Gammons, H. F. (2021). Active Tuberculosis. The Boston Medical and


Surgical Journal, 180(1), 8–9.
https://doi.org/10.1056/nejm191901021800102

Kansal, H. M., Srivastava, S., & Bhargava, S. K. (2015). Diabetes mellitus


and tuberculosis. Journal International Medical Sciences Academy,
28(1), 58–60. https://doi.org/10.1378/chest.8.7.209

Qolbi, odhy hasanul. (2021). Guideline Tuberkulosis PDPI. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia, 001(2014), 1–78.

Teweldemedhin, M., Asres, N., Gebreyesus, H., & Asgedom, S. W.


(2018). Tuberculosis-Human Immunodeficiency Virus (HIV) co-
infection in Ethiopia: A systematic review and meta-analysis. BMC
Infectious Diseases, 18(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12879-018-
3604-9

Tulu, B., Amsalu, E., Zenebe, Y., Abebe, M., Fetene, Y., Agegn, M.,
Abate, A., Ponpetch, K., Bekana, T., Gumi, B., & Ameni, G. (2021).
Diabetes mellitus and HIV infection among active tuberculosis
patients in Northwest Ethiopia: health facility-based cross-sectional

24
study. Tropical Medicine and Health, 49(1).
https://doi.org/10.1186/s41182-021-00358-4

Wijaya, I. (2015). CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Cdk-229,
42(6), 412–417.

25

Anda mungkin juga menyukai