Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

FARINGITIS

Di susun oleh:

Chairunnisa Siregar

170100243

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul ’’Faringitis”. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Dalam proses penyusunan laporan kasus ini, penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-
KL(K) selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis
selama proses penyusunan makalah. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi
penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, 18 September 2021

Chairunnisa Siregar
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal

Nilai

Penguji

Prof. Dr. dr. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL(K)


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada sebagian besar orang
adalah faringitis. Faringitis muncul dengan gejala bervariasi, diantaranya nyeri
tenggorokan tiba-tiba, demam, sakit kepala, limfadenitis, dan kadang-kadang nyeri
perut, mual, kelelahan, dan atau ruam. Tanda penyakit tersebut meliputi demam yang
bisa mencapai > 38,5°C dan tampilan hiperemis pada dinding saluran nafas. Gejala
atipikal yang sering muncul pada anak-anak, seperti sakit perut atau muntah.
Beberapa diagnosis banding harus diperhatikan untuk mengetahui penyebab penyakit
tersebut, mulai dari infeksi, inflamasi, traumatik, atau neoplastic.
Namun, sebagian besar gejala ini berasal dari virus atau bakteri. Faringitis
akut sudah mencapai angka kejadian sekitar 2% dari keluhan pasien dewasa dan 6%
untuk pasien anak-anak setiap tahunnya (lebih dari 1 juta visitasi). Group A β-
hemolytic streptococcus (GABHS) adalah patogen yang paling sering ditemui, dan
menyebabkan faringitis akut mencapai 5-15% pada orang dewasa serta 15-36% pada
anak-anak1.
Faringotonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A adalah infeksi
bakteri paling umum pada orofaring dan terutama menyerang anak-anak antara 5-15
tahun2. Faringitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau jamur. Infeksi
streptokokus grup A dapat memiliki komplikasi yang mengancam jiwa dalam waktu
yang lebih singkat. dari 0,015% pasien anak dan 0,05% pasien dewasa. Ini dapat
dipisahkan menjadi nonsupuratif (demam rematik akut, glomerulonefritis, gangguan
neuropsikiatri autoimun pediatrik terkait dengan infeksi streptokokus) dan supuratif
(abses peritonsillar, tromboflebitis vena jugularis septik, Vincent angina) komplikasi
yang memerlukan intervensi medis atau bedah yang mendesak3,4.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami
faringitis juga penanganannya, selain itu penyusunan makalah ini juga dilakukan
untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Tlinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN


Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan
kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang faringitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat
disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan
lain-lain. Faringitis akut dapat terjadi pada semua umur, sering terjadi pada
anak usia 5-15 tahun dan jarang pada anak usia di bawah 3 tahun, insiden
meningkat seiring bertambahnya usia, mencapai puncaknya pada usia 4-7
tahun dan berlanjut sepanjang akhir masa anak hingga dewasa5.

2.2 ETIOLOGI
Radang tenggorokan (faringitis) termasuk penyakit infeksi saluran
pernapasan yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pyogenes atau
dikenal dengan Streptococcus beta hemoliticus group A. Bakteri
Streptococcus pyogenes merupakan spesies dari streptococcus yang paling
patogen pada manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan berbagai masalah
klinis, mulai dari faringitis hingga infeksi invasif parah karena memiliki
berbagai protein eksotoksin, superantigens dan protein pada dinding sel serta
berbagai faktor virulensi lain6,7. Pada faringitis viral itu dikenal dengan
Epstein-Barr Virus, Coxsakie virus, adenovirus, rhinovirus, retrovirus,
respiratory syncytical virus (RSV), influenza, parainfluenza virus. Pada
faringitis fungal umumnya adalah Candida Sp8 .

2.3 PATOFISIOLOGI
Penularan terjadi melalui droplet dengan faringitis menular, bakteri atau virus
dapat langsung menyerang mukosa faring, menyebabkan respon inflamasi
lokal.  Virus lain, seperti rhinovirus dan coronavirus, dapat menyebabkan
iritasi mukosa faring akibat sekret hidung9. Infeksi streptokokus ditandai
dengan invasi lokal dan pelepasan toksin ekstraseluler dan protease.  Selain
itu, fragmen protein M dari serotipe tertentu GAS mirip dengan antigen sarkolema
miokard dan terkait dengan demam rematik dan kerusakan katup jantung
berikutnya.  Tingkat prevalensi serotipe GAS ini telah menjadi lebih jarang
selama beberapa tahun terakhir. Glomerulonefritis akut dapat terjadi akibat
deposisi kompleks antibodi-antigen di glomeruli10. Bakteri maupun virus
dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan
melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah
terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan
lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi
Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin
ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA
terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan
dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek,
yaitu 24−72 jam11.

2.3 GEJALA KLINIS


Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala
yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri
kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat
mencapai suhu 40°C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala
seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita rinitis juga dapat ditemukan
pada anamnesis. Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis
akut Streptokokus menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema
pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil. Faringitis
streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis.
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole.
Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis
Streptokokus, karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis
yang lain. Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka
kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus: - usia di bawah 3 tahun -
awitan bertahap - kelainan melibatkan beberapa mukosa - konjuntivitis, diare,
batuk, pilek, suara serak - mengi, ronki di paru - eksantem ulseratif. Tanda
khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas
anterior tonsil hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula. Pada faringitis
akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding faring
serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada
faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam,
berlangsung 4-10 hari (self limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi,
dan memiliki prognosis yang baik11.

2.4 DIAGNOSA

Anamnesis
Pasien faringitis umumnya mengeluhkan nyeri tenggorokan. Keluhan demam,
batuk kering ataupun berdahak serta pilek juga bisa ditemukan.

Faringitis yang diakibatkan oleh Group A Streptococcus β-


haemolyticus (GAS) seringkali dialami anak usia 4- 7 tahun dengan onset mendadak.
Pasien cenderung tidak mengeluhkan gejala batuk atau rhinorrhea yang biasanya
didapati pada kasus faringitis akibat infeksi virus. Selain itu adanya riwayat
kontak dengan penderita GAS atau demam reumatik, walaupun bukan berarti
jika tidak ada kontak dengan penderita menghilangkan kemungkinan diagnosis
faringitis akibat GAS. Riwayat demam reumatik sangat penting untuk
ditanyakan karena dapat berulang.

Faringitis harus dibedakan dengan infeksi difteri dimana nyeri tenggorokan


disertai keluhan sesak dan pembengkakan leher.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik rongga mulut akan didapatkan faring hiperemis,
palatum petechiae, atau lesi vesikular. Perlu juga dilakukan pemeriksaan tonsil
untuk menilai ada tidaknya eksudat dan pembesaran tonsil.

Pada kasus faringitis akibat infeksi virus seringkali juga ditemukan rhinorrhea,
konjungtivitis, stomatitis, dan suara serak. Oleh karena itu, pemeriksaan
telinga, hidung, dan mata juga perlu dilakukan. Limfadenopati juga dapat
ditemukan.

Sistem Skoring

Pada kasus faringitis akibat GAS terdapat kriteria yang dapat digunakan untuk
membantu penegakan diagnosis, yakni kriteria Centor dan skoring McIsaac.

Kriteria Centor terdiri atas 4 poin yaitu:

1. Demam
2. Limfadenopati cervical anterior
3. Eksudat tonsillar
4. Tidak ada gejala batuk.

Masing-masing komponen bernilai satu poin. Skor 4 mengindikasikan


kemungkinan GAS faringitis, sedangkan skor 0-1 mengindikasikan
kemungkinan penyebab lain selain infeksi GAS.

Skoring McIsaac hampir mirip dengan kriteria Centor. Skoring terdiri atas 4
kriteria berikut.

 Tidak ada gejala batuk (+1)


 Limfadenopati koli anterior (+1)
 Suhu > 38 derajat Celsius (+1)
 Usia

- 3-14 tahun   (+1)

- 15-44 tahun (0)

- ≥45 tahun (-1)
Studi pada salah satu rumah sakit di Palembang menunjukkan skor McIsaac
dengan nilai ≥4 mempunyai sensitivitas dan spesifisitas paling baik yaitu
84,6% dan 68,7%. Oleh karena itu pada pasien dengan skor ≥4
direkomendasikan dilakukan pemeriksaan Rapid Antigen Detection
Test (RADT) atau apusan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan pada kasus faringitis yang
dicurigai akibat infeksi virus. Tetapi jika dicurigai ada infeksi GAS atau jika
pasien tidak respon dengan pengobatan, maka pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan12.

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan darah rutin tidak dapat membedakan etiologi viral atau bakteri
pada faringitis. Tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding lain, misalnya pada pasien yang dicurigai demam
dengue13,16.

Rapid Antigen Detection Test (RADT)

Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan tes diagnostik untuk


membantu penegakan faringitis GAS. Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya
karbohidrat Streptococcus group A pada swab tenggorok. Pemeriksaan hanya
membutuhkan waktu sebentar dengan nilai spesifisitas yang tingggi. Nilai
spesifisitas tes ini mencapai 98% dan sensitivitas 70%17.

Apus Tenggorok

Apus tenggorok memiliki sensitivitas yang tinggi 90-99% untuk mendiagnosis


faringitis GAS. Pemeriksaan ini memerlukan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37
C sebelum hasil bisa didapatkan.

Rontgen Leher Lateral

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran anatomi jalan napas untuk


menilai gangguan jalan napas maupun epiglotitis.

CT Scan Jaringan Lunak Leher

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus abses atau infeksi leher dalam14,15.
2.5 DIAGNOSIS BANDING

Mononukleosis

Gejala mononukleosis berupa nyeri tenggorokan, demam, dan malaise. Pada


pemeriksaan fisik tampak faring hiperemis disertai eksudat serta limfadenopati
colli posterior. Selain itu kadang terjadi pembesaran hepar dan limpa18.

Difteri

Pada difteri, gejala berupa nyeri tenggorokan, demam tidak terlalu tinggi
disertai adanya pseudomembran pada tonsil yang dapat meluas ke palatum,
uvula, faring, hingga menutupi jalan napas. Pada pemeriksaan apusan
enggorok akan ditemukan koloni Corynebacterium difteri18.

Demam Scarlet

Demam scarlet ditandai dengan faringitis akibat infeksi S.pyogenes, demam,


dan ruam kulit. Biasanya ruam berbentuk papul eritema dengan penampakan
“sandpaper” mulai hari pertama atau kedua dan dapat menetap hingga enam
sampai sembilan hari.

Gastroesophageal Reflux Disease

Faringitis merupakan salah satu komplikasi ekstraesofageal yang mungkin


timbul pada gastroesophageal reflux disease (GERD). Refluks isi gaster (asam
lambung dan pepsin) hingga ke area faring dapat mengakibatkan kerusakan
mukosa yang menimbulkan nyeri tenggorok19.

Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa non limfomatous pada


jaringan mukosa nasofaring. Keluhan tersering yang dialami oleh pasien
adalah pembengkakan pada leher dan otitis serosa unilateral. Diagnosis
ditegakkan melalui pemeriksaan endoskopi dan imaging. Kemudian, diagnosis
definitif melalui gambaran histopatolog

2.6 PENATALAKSANAAN
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan
hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat ini
masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut.
Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis
akut Streptokokus, dan memberikan antibiotik karena khawatir dengan salah satu
komplikasinya, berupa demam reumatik. Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut
Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU
(BB30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang
lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih
enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari,
efektivitasnya sama dengan Penisilin V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi
penisilin dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat
20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali per hari selama 10 hari; atau
dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10
mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan sefalosporin generasi
I dan II dapat juga memberikan efek yang sama, tetapi pemakaiannya tidak
dianjurkan, karena selain mahal risiko resistensinya juga lebih besar. Kegagalan terapi
adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah terapi selesai. Hal ini terjadi pada
5−20% populasi, dan lebih banyak pada populasi dengan pengobatan penisilin oral
dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya dapat karena komplians yang kurang,
infeksi ulang, atau adanya flora normal yang memproduksi -laktamase. Kultur ulang
apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko tinggi, misalnya pada
pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi Streptokokus yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua,
dengan pilihan obat oral klindamisin 20–30 mg/kgBB/hari selama 10 hari;
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau
injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB <30kg)
atau 1.200.000 IU (BB >30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap
positif, kemungkinan pasien merupakan pasien karier, yang memiliki risiko ringan
terkena demam reumatik. Golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan11.

2.7 KOMPLIKASI
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri
dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi
sinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau
parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen Streptokokus β-
hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau
artritis septik ,sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik
dan glomerulonefritis11.

2.8 PROGNOSIS

Sebagian besar kasus faringitis sembuh secara spontan dalam 10 hari, tetapi
penting bagi dokter untuk menyadari potensi komplikasi yang tercantum di
atas.  Kegagalan pengobatan sering terjadi dan terutama disebabkan oleh
kepatuhan yang buruk, resistensi antibiotik, kontak dekat yang tidak diobati,
status karier, dan supresi terkait antibiotik atau kopatogenik dari imunitas
inang dan flora yang diperlukan20,21. Sebagai catatan, resistensi GAS
terhadap penisilin TIDAK BUKAN.  dianggap sebagai alasan kegagalan
pengobatan dengan penisilin.  Pasien harus mengharapkan perbaikan gejala
pada faringitis streptokokus sensitif penisilin dalam waktu 24 jam setelah
memulai pengobatan.  Menular dan sering demam juga berkurang menjadi 1
hari.  Perlu dicatat bahwa obat nyeri dan penggunaan steroid untuk faringitis
sangat efektif untuk memperbaiki gejala faringitis22.

BAB III
KESIMPULAN

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh


virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Radang
tenggorokan (faringitis) termasuk penyakit infeksi saluran pernapasan yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pyogenes atau dikenal dengan
Streptococcus beta hemoliticus group A. Penularan terjadi melalui droplet dengan
faringitis menular, bakteri atau virus dapat langsung menyerang mukosa faring,
menyebabkan respon inflamasi lokal. Faringitis streptokokus sangat mungkin jika
dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis.
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V
oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM
dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB30 kg).

DAFTAR PUSTAKA
1. Triadi, D. A., & Sudipta, I. M. (2020). Karakteristik kasus faringitis akut di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar periode Januari – Desember
2015. Intisari Sains Medis, 11(1), 245.

2.  Romero V.J., Rubio A.M., Corral O., Pacheco S., Agudo E., Picazo J.J.
Estudio de las infecciones respiratorias extrahospitalarias. Enferm Infecc
Microbiol Clin. 1997;15:289–298. 

3. ESCMID Sore Throat Guideline Group. Pelucchi C, Grigoryan L, Galeone C,


Esposito S, Huovinen P, et al. Guideline for management of acute sore
throat. Clin Microbiol Infect. 2012;18(Suppl 1):1–28.

4.  Sigra S, Hesselmark E, Bejerot S. Treatment of PANDAS and PANS: a


systematic review. Neurosci Biobehav Rev. 2018;86:51–65. Epub 2018 Jan 6.

5. Sari Dian, Effendi Sofjan, Theodorus.2014. Uji Diaknostik Skoring Centor


Modifikasi pada Penderita Faringitis Akut Streptokokus Beta Hemolitikus Group
A. MKS, Th. 46, No. 1, Januari

6. Sumarya, I.M., Suarda, I.W. and Sudaryati, N.L.G., Aktivitas Antibakteri


Loloh (Obat Tradisional Bali) Air Perasan dan Air Rebusan Daun Sirih terhadap
Bakteri Streptococcus pyogenes Penyebab Radang Tenggorokan. Jurnal Kimia
Sains dan Aplikasi, 22(5), pp.173-178

7. Terao, Y. (2012). The virulence factors and pathogenic mechanisms of


Streptococcus pyogenes. Journal of Oral Biosciences, 54(2), 96-100.

8. Cindya Klarisa, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014; jilid 2; 1057-1058.

9. Twefik TL, Al Garni M. Tonsillopharyngitis: Clinical highlights. J of


Otolaryngology. 2005. 34:
10. Mostov PD. Treating the immunocompetent patient who presents with an
upper respiratory infection: pharyngitis, sinusitis, and bronchitis. Prim Care.
2007 Mar. 34(1):39-58. [Medline].

11.Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2017). Rinotonsilofaringitis (virus). 1119–1134.

12. Damayanti E, Iraini Y, Yuwono. Ketepatan Skoring McIsaac untuk


Mengidentifikasi Faringitis Group A Streptococcus pada Anak. Sari Pediatri.
2014; 15(5):301-6.
13. Acerra JR, Taylor JP. Pharyngitis. Medscape. 2018
14. Kociolek LK, Shulman ST. In the clinic pharyngitis. Annals of Internal
Medicine. 2012:1-16
15. Wessel MR. Pharyngitis and scarlet fever. In: Ferretti JJ, Stevens DL,
Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes : Basic Biology to Clinical
Manifestations. 2016:1-19.
16. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan
RI. 2013:65-66.
17. Tanz RR, Gerber MA, Kabat W, Rippe J, Seshadri R, Shulman ST.
Performance of a rapid antigen-detection test and throat culture in community
pediatric offices: implications for management of pharyngitis. Pediatrics.
2009;123:437–44.
18. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. Am Fam Physician.
2004;69(6):1465-70.
19. Chait MM. Gastroesophageal reflux disease: Important considerations for the
older patients. World J Gastrointest Endosc. 2010; 2(12): 388-396.
20. Pichichero ME, Casey JR. Systematic review of factors contributing to
penicillin treatment failure in Streptococcus pyogenes pharyngitis.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2007 Dec. 137(6):851-857. [Medline].
 
21. Rick AM, Zaheer HA, Martin JM. Clinical Features of Group A
Streptococcus in Children With Pharyngitis: Carriers versus Acute Infection.
Pediatr Infect Dis J. 2020 Feb 7. [Medline].

22. Hayward G, Thompson MJ, Perera R, Glasziou PP, Del Mar CB, Heneghan
CJ. Corticosteroids as standalone or add-on treatment for sore throat.
Cochrane Database Syst Rev. 2012 Oct 17. 10:CD008268. [Medline].

Anda mungkin juga menyukai