PAPER
Oleh :
Pembimbing
DEPARTEMEN RADIOLOGI
MEDAN
2020
GAMBARAN RADIOLOGI OBSTRUKTIF JAUNDICE
Oleh :
Pembimbing
DEPARTEMEN RADIOLOGI
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan berkat dan penyertaan-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Obstruktif Jaundice”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Program Pendidikan Dokter di Departemen Radiologi , Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................... iii
DAFTAR SINGKATAN......................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................ 3
1.3 Manfaat Penulisan ......................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi......................................................................... 4
2.1.1 Anatomi................................................................................. 4
2.1.2 Fisiologi................................................................................. 6
2.2 Metabolisme Bilirubin......................................................................... 8
2.3 Obstruktif Jaundice............................................................................. 9
2.3.1 Definisi.................................................................................. 9
2.3.2 Etiologi.................................................................................. 9
2.3.3 Faktor Risiko......................................................................... 10
2.3.4 Patofisiologi.......................................................................... 11
2.3.5 Diagnosis............................................................................... 12
2.3.6 Diagnosis Banding................................................................ 50
2.3.7 Tatalaksana............................................................................ 52
2.3.8 Prognosis............................................................................... 53
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
2.16 Gambaran ultrasonografi adanya batu pada empedu (a) 27
dileher (b) di badan (c) fundus dari kandung empedu
2.17 Posisi potongan normal pada abdomen CT Scan 31
iv
2.30 Koledokolitiasis: pada pemeriksaan MRI abdomen + 42
MRCP tampak adanya batu pada kandung empedu yang
menyebabkan terjadinya dilatasi
2.31 Klatskin tumor: pada pemeriksaan MRCP potongan 42
coronal menunjukkan adanya dilatasi pada duktus bilier
intrahepatik disertai dengan striktur atau penyempitan
pada bagian proksimal dari duktus bilie komunis
(CBD). Tidak ada kelainan pada duktus pankreas.
2.32 Karsinoma kandung empedu : pada pemeriksaan 43
coronal T2 tampak dialtasi kandung empedu dan
intrahepatic biliary tree karena karsinoma yang
melibatkan bagian leher, cysict duct dan duktus bilier
2.33 Gambaran endoskopi ultrasound menunjukkan 47
pelabaran duktus bilier komunis dan masa pada kaput
pankreas
2.34 Gambaran dari dilatasi duktus bilier komunis dan massa 48
yang menginfiltrasi pada duktus pankreas
2.35 Gambaran dari pembesaran dan stenosis pada duktus 48
bilier komunis
2.36 Gambaran dari stenosis duktus biliary komunis 49
2.37 Gambaran distal periampular terinfiltrasi pada duktus 49
bilier komunis dimana tnda panah tersebut
menunjukkan adanya penebalan pada papila menuju
CBD
v
DAFTAR SINGKATAN
AFP : Alpha-Fetoprotein
USG : Ultrasonography
G6PD : Glucose-6-Phospate-Dehydrogenase
IgG : Immunoglobulin G
IgG4 : Immunoglobulin 4
IgM : Immunoglobulin M
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Didapatkan bahwa pada penderita penyakit ini memiliki beberapa gejala
nyeri perut (73.33%), dispepsia (60%), gatal dan feses seperti tanah liat (53%).
Selain itu juga dijumpai melena pada 10% penderita dengan risiko meningkat 36
kali untuk keganasan. Kantung empedu teraba juga signifikan secara statistik
untuk etiologi malignan.(Prabakar & Raj, 2016).
2
Risiko didapatkan bahwa wanita melebihi jumlah pria dengan rasio 1,3: 1.
Pasien dengan ikterus obstruktif maligna lebih tua dari pada tipe jinak. Ca
pankreas adalah penyebab maligna tersering dari ikterus sedangkan
koledocholitiasis adalah penyebab jinak tersering. Ultrasonografi abdomen adalah
satu-satunya pencitraan diagnostik yang dilakukan pada semua pasien dan
menunjukkan duktus intra dan ekstrahepatik yang melebar, batu empedu umum
dan massa abdomen masing-masing pada 56,2%, 78,9%, 58,1% dan 72,4% kasus.
Sebanyak 110 kasus (94,8%) pasien menjalani perawatan bedah dan sisanya 6
kasus (5,2%) pasien tidak layak untuk operasi. Tingkat komplikasi adalah 22,4%
terutama infeksi di tempat pembedahan (Chalya et al 2011).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hepar memiliki 4 lobus. Dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas
terlihat adalah lobus kanan yang berukuran lebih besar, sedangkan lobus kiri
berukuran lebih kecil dan berbentuk baji (Waugh & Grant, 2011). Diantara kedua
lobus tersebut terdapat vena portae hepatis, jalur masuk dan keluarnya pembuluh
darah, saraf, dan duktus. Lobus kanan terbagi menjadi lobus kuadratus dan lobus
kaudatus karena adanya vesikal biliaris, fisura untuk ligamentum teres hepatis,
vena kava inferior, dan fisura untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau
porta hepatis terdapat pada permukaan posteroinferior dan terletak di antara
lobus kaudatus dan lobus quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus
melekat pada pinggir porta hepatis dan terdapat duktus hepatikus dekster dan
sinister, vena porta, serabut saraf simpatik dan parasimpatik, serta beberapa
kelenjar limfe hepar (Junqueira & Carneiro, 2012).
4
Gambar 2.1 Anatomi hepar (Maulina, 2018).
5
Sistem porta membawa darah dari pankreas, limpa, dan usus. Nutrien
terakumulasi dan diubah dalam hepar, dan zat toksik dinetralkan dan dihilangkan
di tempat tersebut. Vena porta bercabang-cabang menjadi venula pendistribusi
kecil yang berjalan di tepi setiap lobulus dan berujung ke dalam sinusoid
(Junqueira & Carneiro, 2012).
2.1.2 Fisiologi
Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang sangat
bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan empedu
ke dalam saluran intestinal, berperan pada berbagai metabolisme yang
berhubungan dengan karbohidrat, lipid dan protein, menyaring darah,
menyingkirkan bakteri dan benda asing yang masuk ke dalam darah (Snell, 2012).
Hepar mensekresi cairan empedu sekitar 500 sampai 1000 mL setiap hari
(Price & Wilson, 2012). Cairan empedu dialirkan ke dalam saluran empedu yang
terdiri dari pigmen empedu dan asam empedu. Bilirubin dan biliverdin merupakan
pigmen empedu yang memberi warna tertentu pada feses, sedangkan asam
empedu yang dibentuk dari kolesterol membantu pencernaan lipid. Pengeluaran
empedu dari hepar dan vesica biliaris terutama diatur oleh hormon. Aliran empedu
meningkat jika kolesistokinin dikeluarkan oleh sel enteroendokrin mukosa yang
dirangsang ketika lemak makanan dalam kimus masuk ke duodenum. Hormon ini
menyebabkan konstraksi otot polos di dinding vesika biliaris dan relaksasi
sfingter, sehingga empedu dapat masuk ke duodenum (Eroschenko, 2012).
6
Garam empedu yang terdapat di dalam empedu mengemulsi lemak di
duodenum. Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter oddi,
yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu pencernaan
makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan
oleh hepar dialihkan balik ke vesika biliaris. Empedu tidak diangkut langsung dari
hepar ke vesika biliaris. Empedu disimpan dan dipekatkan di vesika biliaris
diantara waktu makan. Empedu masuk ke duaodenum akibat kombinasi
pengosongan vesika biliaris dan peningkatan sekresi empedu oleh hepar
(Sherwood, 2012).
7
Sebagai organ detoksifikasi, hepar berperan dalam melindungi tubuh dari
berbagai racun dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dengan merubah
semua bahan-bahan asing atau toksin dari luar tubuh. Bahan-bahan asing atau
toksin tersebut dapat berupa makanan, obat-obatan dan bahan lainnya, dapat juga
bahan dari dalam tubuh sendiri yang menjadi bahan yang tidak aktif. Kemampuan
detoksifikasi ini terbatas, sehingga tidak semua bahan yang masuk dapat di
detoksifikasi dengan sempurna, tetapi ditimbun dalam darah dan dapat
menimbulkan kerusakan hepatosit. Dalam melakukan fungsi detoksifikasi,
senyawa yang memiliki sifat meracuni sel-sel tubuh dirubah oleh enzim hepatosit
melalui oksidasi, hidrolisis, atau konjugasi (Price & Wilson, 2012) menjadi
senyawa yang tidak lagi bersifat toksik, dan kemudian dibawa oleh darah ke ginjal
untuk diekskresi (Junquiera & Carneiro, 2012).
8
2.3 Obstruktif Jaundice
2.3.1 Definisi
Penyakit kuning adalah manifestasi yang sering terjadi dari gangguan saluran
empedu. Penyakit kuning obstruktif secara tegas didefinisikan sebagai suatu
kondisi yang terjadi karena pemblokiran di jalur antara situs konjugasi empedu di
dalam sel hati dan masuknya empedu ke dalam duodenum melalui ampula.
Pemblokiran tersebut mungkin bisa saja terjadi secara intrahepatik atau
ekstrahepatik di saluran empedu (Prabakar & Raj, 2016).
2.3.2 Etiologi
9
2.3.3 Faktor Risiko
Ikterus obstruktif merupakan kondisi klinis umum yang sebagian besar tidak
dilaporkan, terutama dikarenakan terbatasnya sumber daya seperti yang dimiliki di
mana hal itu merupakan tantangan utama bagi ahli bedah karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Agbo & Oboirien, 2017). Didapatkan faktor risiko
berdasarkan gender, 54 pria (39,1%) dan 84 sisanya (60,9%) adalah wanita. Rasio
pria dan wanita adalah 1: 1,6. Dan berdasarkan usia berkisar dari 14 hingga 84
tahun dengan usia rata-rata 58 tahun. Usia rata-rata penderita penyebab jinak
adalah 40 tahun (kisaran 16-52 tahun), sedangkan penderita penyebab ganas
adalah 62 tahun (kisaran 47-84 tahun). Rasio pria dan wanita untuk ikterus
obstruktif jinak adalah 1: 2,4, sedangkan untuk ikterus obstruktif ganas 1: 1,6
(Mabula et al, 2013).
Ada hubungan antara penyebab dan usia , ini menunjukkan bahwa prevalensi
ikterus obstruktif meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu juga didapatkan
ada hubungan yang signifikan antara temuan sonografi dan jenis kelamin. Telah
diamati bahwa penyebab ikterus obstruktif menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan (Gameraddin et al, 2015).
Obstruksi parsial atau lengkap dari duktus dapat dihasilkan oleh karsinoma
pankreas. Faktor risikonya adalah merokok dan konsumsi alkohol. Itu terjadi
dalam dekade keenam hingga kedelapan. Kurangnya pencitraan diagnostik yang
canggih dan karena fasilitas terapeutik tidak tersedia di sebagian besar pusat di
negara berkembang, hasil pengobatan ikterus obstruktif mungkin buruk. Penyebab
obstruksi dan faktor terkait mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan ikterus obstruktif. Hal tersebut telah terungkap bahwa ikterus obstruktif
terus dikaitkan dengan signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas terlepas dari
kemajuan terbaru keduanya dalam diagnosis pra operasi dan perawatan pasca
operasi. Jadi, memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien ini akan memfasilitasi sesuai manajemen
dan mengarah pada peningkatan kelangsungan hidup (Kurian et al, 2017).
10
2.3.4 Patofisiologi
2.3.5 Diagnosis
1. Anamnesis
3. Pemeriksaan penunjang
- Darah lengkap
- Bilirubin total
- Fraksi bilirubin
- Alkalin fosfat
- Viral hepatitis serologi
- Level antibodi antimitokondria
- Antibodi antinuclear
- Tumor marker (CA19-9, CEA, AFP).
b. Pemeriksaan urin
13
Pemeriksaan bilirubin urin
c. Pemeriksaan feses
d. Pemeriksaan radiologi
14
Gambar 2.4 Foto polos abdomen posisi errect(Aprilia, 2013)
Gambar 2.5 Foto polos abdomen posisi left lateral decubitis(Aprilia, 2013)
15
abdomen untuk memperlihatkan batas cairan. Jejenum mengalami dilatasi
bila diameternya >3,5 cm, usus halus pertengahan mengalami dilatasi bila
diameternya >3 cm dan ileum dilatasi bila diameter yang terdilatasi
terdapat plika sirkularis atau lipatan yang menyilang diameter jejunum
secara transversal. Bila kolon tampak dilatasi, haustra harus ditemukan
untuk memastikan bahwa kolon tersebut mengalami dilatasi. Haustra
tampak saling mengunci (interdigitasi) dan tidak menyilang diameter
kolon, berbeda dengan plika sirkulasi (valvulae coniventes) di jejunum.
Kolon mengalami dilatasi bila diameter kolon transversum >3,5 cm atau
diameter sekum pada dasarnya >8 cm. Bayangan psoas diperiksa secara
bilateral: seharusnya simetris dengan tepi lateral sedikit konkaf. Periksa
bayangan ginjal, seharusnya memiliki panjang normal 10-12 cm atau
panjang longitudinal sepanjang 3,5 vertebra. Bayangan hati dan limpa.
Tepi inferior hati berbatas tegas, khususnya di bagian lateral.
Cairan adanya pengumpulan atau cairan bebas intraperitoneum. Garis
lemak (fat line) properitoneal bergeser kearah lateral oleh cairan bebas.
Cari adanya batu radioopak dan kalsifikasi di daerah kandung empedu,
ginjal dan ureter. Hati-hati dengan phlebolith vena pelvis yang dapat
menyerupai batu. Phlebolith berbentuk oval, halus dan terdapat bayangan
lusen kecil di dalamnya. Batu tampak padat dengan tepi tidak teratur.
Kalsifikasi pancreas berbentuk titiktitik dan aksis oblik. Kalsifikasi
vascular sering ditemukan di aorta pada pasien usia lanjut, penderita
diabetes dan penderita aortitis yang disebabkan oleh penyakit Takayashu.
Carilah adanya massa jaringan lunak dan gas ekstraluminal. Udara
akan terlihat hitam karena meneruskan sinar-x yang dipancarkan dan
menyebabkan kehitaman pada film sedangkan tulang dengan elemen
kalsium yang dominan akan menyerap seluruh sinar yang dipancarkan
sehingga pada film akan tampak putih. Diantara udara dengan tulang
misalnya jaringan lunak akan menyerap sebagian besar sinar X yang
dipancarkan sehingga menyebabkan keabu-abuan yang cerah bergantung
dari ketebalan jaringan yang dilalui sinar X. Udara akan terlihat relatif
16
banyak mengisi lumen lambung dan usus besar sedangkan dalam jumlah
sedikit akan mengisi sebagian dari usus kecil. Sedikit udara dan cairan
juga mengisi lumen usus halus dan air fluid level yang minimal bukan
merupakan gambaran patologis. Air fluid level juga dapat djumpai pada
lumen usus besar, dan tiga sampai lima fluid levels dengan panjang kurang
dari 2,5 cm masih dalam batas normal serta sering dijumpai di daerah
kuadran kanan bawah. Dua air fluid level atau lebih dengan diameter lebih
dari 2,5 cm panjang atau kaliber merupakan kondisi abnormal dan selalu
dihubungkan dengan pertanda adanya ileus baik obstruktif atau paralitik.
Banyaknya udara mengisi lumen usus baik usus halus dan besar
tergantung banyaknya udara yang tertelan seperti pada keadaan banyak
bicara, tertawa, merokok dan lain sebagainya. Pada keadaan tertentu
misalnya asma atau pneumonia akan terjadi peningkatan jumlah udara
dalam lumen usus halus dan usus besar secara dramatik sehingga untuk
pasien bayi dan anak kecil dengan keluhan perut kembung sebaiknya juga
difoto kedua paru sekaligus karena sangat besar kemungkinan penyebab
kembungnya berasal dari pneu-monia di paru. Beberapa penyebab lain
yang mempunyai gambaran mirip dengan ileus antara lain pleuritis,
pulmonary infarct, myocardial infact, kebocoran atau diseksi aorta
torakalis, payah jantung, perikarditis dan pneumotoraks.
Selain komponen traktus gastrointestinal, juga dapat terlihat kontur
kedua ginjal dan muskulus psoas bilateral. Adanya bayangan yang
menghalangi kontur dari ginjal atau m.psoas dapat menujukkan keadaan
patologis di daerah retroperitoneal. Foto radiografi polos abdmen biasa
dikerjakan dalam posisi pasien terlentang (supine). Apabila keadaan pasien
memungkinkan akan lebih baik lagi bila ditambah posisi berdiri. Untuk
kasus tertentu dilakukan foto radiografi polos tiga posisi yaitu posisi
supine, tegak dan miring kekiri (left lateral decubitus). Biasanya posisi
demikian dimintakan untuk memastikan adanya udara bebas yang
berpindah-pindah bila difoto dalam posisi berbeda.
17
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) adalah alat pemeriksaan dengan
menggunakan ultrasound (gelombang suara) yang dipancarkan oleh
transduser. Suara merupakan fenomena fisika untuk mentransfer energi
dari satu titik ke titik yang lainnya sehingga mendapatkan gambaran yang
jelas hampir semua bagian tubuh, kecuali bagian tubuh yang dipenuhi
udara atau ditutupi tulang.(Solution, 2016)
Ultrasonografi sangat berperan dalam men diagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis. pemeriksaan USG sangat mudah melihat
pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat
mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi.
Apabila terjadi sumbatan daerah duktus bilkiaris yang paling sering adalah
bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan
cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.
2.1 Jenis-jenis Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)(Solution, 2016)
1. USG 2D
USG ini menghasilkan gambar “datar” yang tidak terlalu jelas karena
terlihat hanya dari satu sisi dan biasanya sulit dipahami oleh pasien.
USG 2D ini dapat digunakan untuk melihat organ-organ internal,
melihat gerakan bayi, mengukur panjang dan berat janin, bahkan bisa
untuk mendeteksi kelainan sebesar 80– 90%. Namun, jika dokter
menemukan kecurigaan kelainan pada bayi, biasanya dokter akan
menyarankan Anda untuk melakukan USG dengan dimensi yang lebih
tinggi. Gambar hasil USG ini hanya bisa di-print. Biaya untuk USG ini
paling murah dibanding dengan USG 3D dan 4D.
2. USG 3D.
USG ini menghasilkan gambar tiga dimensi yang lebih detail sehingga
mudah dipahami oleh pasien. USG 3D dapat digunakan untuk melihat
anatomi tubuh janin dan mendeteksi kondisi kelainan pada janin,
seperti kelainan bibir sumbing atau bayi terlilit tali pusar. Gambar
yang dihasilkan dengan USG 3D dapat disimpan dalam CD format jpg
18
dan dilihat di komputer. Biaya USG ini lebih mahal dibanding dengan
USG 2D.
3. USG 4D
USG 4D ini biasa disebut juga sebagai SD live atau real time. USG ini
paling canggih karena dapat menghasilkan gambar tiga dimensi, lebih
detail, akurat, dan tampak seperti aslinya, sehingga seperti sebuah
film. Pasien dapat melihat dengan jelas bentuk anggota tubuh, gerakan
janin, dan ekspresi wajahnya, seperti bentuk hidung bayi, gerakan
sedang mengisap jempol, atau menggerakan kaki . USG 4D ini dapat
mendeteksi kelainan pada janin dengan lebih jelas, seperti kelainan
plasenta atau kehamilan ektopik. Gambar yang dihasilkan dengan
USG 4D dapat disimpan dalam format jpg dan video serta dilihat di
komputer. Biaya USG ini paling mahal dbanding dengan USG 2D dan
3D.
19
Asites
Metastasis yang dicurigai di hati
Massa hati yang dicurigai
Nyeri perut kanan atas
Skrining untuk Echinococcosis Endemik
Hempedu
Nyeri di perut kanan atas: dugaan batu empedu dan / atau
kolesistitis
Penyakit kuning
Massa perut kanan atas teraba
Gejala ulkus peptikum berulang
Prexia yang tidak diketahui asalnya
Pankreas :
Nyeri perut bagian atas, akut atau kronis
Penyakit kuning
Massa perut bagian atas
Demam terus menerus, terutama dengan nyeri perut bagian atas
Penyakit maglinant yang dicurigai
Pankreatitis kronis berulang
Dugaan komplikasi pankreatitis akut, terutama pseudokista atau
abses
Ginjal Polikistik: kista di limpa hati
Trauma perut langsung, terutama pada anak-anak
Limfa :
Spleenomegali (limpa membesar)
Massa perut kiri
Trauma perut tumpul
Nyeri perut bagian atas kiri
Abses subphrenic dicurigai
penyakit kuning dikombinasikan dengan anemia
20
enchinococcosis
Asites atau cairan intra abdominal terlokalisasi
dugaan maglignansi, terutama limfoma atau leukemia
Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan / atau retroperitoneal
harus dilakukan jika ada alasan medis yang valid.
21
Antara tranducer (probe) dengan kulit tidak dapat kontak dengan
baik(interface) sehingga bias terjadi artefak sehingga perlu diberi
jelly sebagai penghantar ultrasound.3)
Bila ada celah dan ada udara, gelombang suara akan dihamburkan.
Tidak 100% akurat
Perlu diketahui, akurasi/ketepatan pemeriksaan USG tidak 100%,
melainkan 80%
22
1. Anatomi / varian normal dari organ dan struktur perut termasuk
penampilan yang berkaitan dengan usia setiap organ di setidaknya
dua bidang. (Ini harus mencakup penilaian ukuran, garis besar dan
ultrasound karakteristik);
2. Temuan patologis termasuk proses fokal dan difus serta temuan
hemodinamik terkait (penilaian sebelum dan sesudah operasi);
3. Adanya cairan intraabdomen, kumpulan cairan fokal, atau massa;
4. bila relevan secara klinis: anatomi vaskular termasuk posisi, jalur,
dan lumen pembuluh darah yang relevan (pengamatan
hemodinamik termasuk ada / tidaknya aliran, arah, kecepatan dan
Bentuk gelombang Doppler).
Gambar 2.8 Mencitrakan struktur tubuh yang sama dari posisi dan sudut
transduser yang berbeda. Kiri: hanya kutub atas ginjal yang terlihat dengan baik.
Kanan: kutub atas kabur, tapi bagian ginjal lainnya terlihat jelas (Palmer, 2003)
23
Gambar 2.9 Gambaran oblique (atas) dan transversal (bawah) yang menunjukkan
portal dan vena hepatik serta vena kava inferrior (Palmer, 2003)
Gambar 2.10 Gambaran Transverse : abses hati yang multipel (amoebic) (Palmer,
2003)
24
Gambar 2.12 Gambaran longitudinal : Terlihat batu hempedu multiple (kiri), 2 batu
hempedu berukuran besar (kanan) (Palmer, 2003)
Gambar 2.13 Gambaran dari ultrasonografi dari traktus bilier intrahepatic; kanan
dan kiri traktus bilier bertemu pada duktus bilier (Serafino et al, 2018).
25
Gambar 2.14 Gambaran anekoik pada duktus bilier adanya kista pada
duktus bilier (Serafino et al, 2018).
26
Gambar 2.16 Gambaran ultrasonografi adanya batu pada empedu (a) dileher (b) di
badan (c) fundus dari kandung empedu (Serafino et al, 2018).
27
Evaluasi kecurigaan metastasis
Evaluasi patensi vaskular
Evaluasi penyakit hati kronis, seperti hemokromatosis,
hemosiderosis, atau steatosis
Evaluasi adanya sirosis hati
Evaluasi patensi vaskular
Evaluasi adanya infeksi
Evaluasi respon tumor terhadap obat
Evaluasi kelainan kongenital
- Pankreas :
Karakterisasi lesi tak tentu dan / atau pembesaran tak
terjelaskan yang terdeteksi dengan modalitas pencitraan lain
Identifikasi penyebab obstruksi saluran pankreas, termasuk
batu, striktur, atau massa
Deteksi dan penilaian pra operasi neoplasma pankreas
Deteksi dan karakterisasi anomali saluran pankreas
Evaluasi kumpulan cairan atau fistula pankreas atau
peripankreas
Evaluasi pankreatitis kronis, termasuk penilaian fungsi
eksokrin pankreas
Perawatan pasca operasi / tindak lanjut setelah operasi
pankreas
- Limfa :
Deteksi dan karakterisasi dugaan kelainan difus limpa
Evaluasi kecurigaan pada jaringan limpa aksesori
Karakterisasi lesi tak tentu yang terdeteksi dengan modalitas
pencitraan lain
28
Karakterisasi dan stadium neoplasma ganas retroperitoneal
Identifikasi penyebab obstruksi saluran kemih
Evaluasi kelainan ureter
Mendeteksi tumor pada ginjal
Evaluasi dugaan fibrosis retroperitoneal dan lesi jinak lainnya
29
- Efek samping
1. Radiasi peng-ion
CT abdomino-pelvis adalah pemeriksaan dengan dosis
radiasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan CT dada dan
kepala, karena banyaknya organ radiosensitif.
CT abdomen dan pelvis memberikan dosis 6-10 mSv untuk
pasien dewasa. Ahli radiologi memiliki tanggung jawab untuk
menjaga dosis radiasi dan paparan pada pasien, namun
meskipun demikian masih mendapatkan gambar yang dapat
diinterpretasikan sehingga memungkinkan diagnosis yang
tepat.
Tindakan pencegahan harus diambil, terutama pada anak-
anak dan pasien wanita, yang lebih rentan terhadap efek yang
merugikan; anak-anak mungkin sepuluh kali lebih sensitif
terhadap radiasi dibandingkan orang dewasa. Risiko relatif
karsinogenesis adalah 3 kali lebih tinggi pada anak-anak di
bawah usia 10 tahun dibandingkan pada orang dewasa.
2. Media kontras
Alergi adalah kelemahan utama dari pemberian media
kontras CT. Alergi terhadap media kontras jarang terjadi
dengan hanya 0,6% pasien yang mengalami reaksi alergi.
Reaksi alergi yang parah memiliki insiden yang lebih rendah,
terjadi pada 0,04% pasien. Hampir semua reaksi yang
mengancam jiwa terhadap media kontras terjadi di 20 pertama
menit setelah injeksi media kontras. Riwayat alergi
sebelumnya terhadap media kontras beryodium dianggap
sebagai kontraindikasi relatif yang kuat terhadap pemberian
media kontras.
Penggunaan CT scan abdomen umumnya dievaluasi
dengan arah transversal; pasien dilihat dari kaki ke atas
30
sebagaimana adanya. Abdomen juga dapat dilihat dari arah
koronal dan sagital. CT scan abdomen digunakan untuk
menggambarkan organ, jaringan dan pembuluh darah di perut.
Selain itu, saat melakukan CT scan dengan agen kontras
intravena, fase di mana pemindaian dilakukan juga relevan.
(Verdult, 2017) :
31
rendah daripada parenkim hati normal. Agen kontras iodin
intravena cenderung meningkatkan koefisien atenuasi
parenkim hati di sekitarnya. Dilatasi common hepatic dan
common bile duct dapat diidentifikasi sebagai struktur
hipodens bulat atau agak oval yang terlihat di daerah hilus hati
atau kepala pankreas (Padmalatha et al, 2015).
Gambar 2.18 Gambaran normal CT abdomen pada fase vena portal. Pasien
meminum agen kontras oral yang positif. (Verdult, 2017)
32
Gambar 2.19 Gambaran perbadingan bile duct normal dan dilatasi
intrahepatic bile duct. (Verdult, 2017).
Gambar 2.20 Gambaran dilatasi common bile duct. (Foo et al, 2007).
33
Gambar 2.21 Gambaran dilatasi duktus pankreas (Kim et al, 2017).
Gambar 2.22 Gambaran adanya batu multiple pada kantung empedu (Alharthi et al,
2012).
34
Gambar 2.23 Potongan axial gambaran ctscan yang terlihat adanya
karsinoma dibagian caput pankreas pada fase vena portal dimana
menunjukkan adanya “double duct sign” (arrow putih) yaitu adanya
dilatasi pada duktus bilier dan pankreas (radiopedia.org).
Gambaran 2.24 Gambaran abses hepar piogenik pada fase vena porta
dimana terdapat lesi berdensitas cairan yang tidak beraturan dengan
pening lesi bagian tepi dalam dengan cincin bagian luar” yang
hipoatenuasi “double target membentuk “cluster sign” ada beberapa lesi
yang lebih kecil di perifer yang menyatu yang sign” (radiopedia.org).
35
Gambar 2.25 Gambaran potongan coronal CT scan terlihat massa
pada periampular duodenum dan tidak ditemukan dilatasi pada CBD .
massa ini menunjukkan adanya adenoma ampularis (Raman, 2014).
4.1.1 Definisi
36
kondisi saluran empedu termasuk batu empedu, penyempitan akibat
inflamasi (bekas luka), kebocoran (dari trauma dan operasi) dan
kanker. ERCP dapat digunakan untuk alasan diagnostik dan terapi.
Ikterus obstruktif
Batu saluran empedu
Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas
Pankreas dan kista pankreas
Divertikel duodenu sekitar papil
Metastasis tumor ke sistem bilier dan pankreas
Batu empedu dan pankreatitis
Oral dan intravena cholecystography gagal
Trauma terapeutik atau iatrogenic saluran empedu
Disfungsi sfingter Oddi
Tumor pankreas
4.1.4 Kontraindikasi pemeriksaan ERCP
Infark miokard
Alergi zat radiokontras
Penyakit kardiopulmonal
Stenosis pylorus dapat menghalangi endoskopi
Pankreatitis akut
Glaucoma
Pseudokista (Mustika S, 2020)
37
Gambaran Normal pada Pemeriksaan ERCP
38
Gambar 2.28 Pankreatitis kronis: tampak gambaran pankreatitis dengan
dengan cabang yang menebal (bulky). Duktus pankreatikus utama normal
dan tidak ditemukan adanya penyempitan ataupun batu pada salurannya
(Conway et al, 2018)
4.2.1 Definisi
Pemeriksaan MRCP adalah teknik untuk mencitrakan traktus
biliary dan duktus pankreatikus. Traktus dan duktus tersebut berisi
slow moving fluid dan potongan yang digunakan dalam pemeriksaan
MRCP adalah potongan coronal dan axial. Informasi citra anatomi
39
yang baik adalah dengan memakai MRI dengan Tesla yang tinggi
yaitu lebih dari 1,5 T. Penggunaan Tesla yang tinggi maka visualisasi
dari traktus dan duktus pada sistem biliari dan pankreas akan jelas
MRCP adalah sebuah modalitas non-invasif, cepat, sederhana, tidak
menimbulkan rasa sakit, dan tidak bergantung pada keahlian dari
operator serta memiliki resiko yang rendah dan menjadi alternatif
menggantikan pemeriksaan Endoscopy Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) yang bersifat invasive. MRCP
secara luas telah banyak menggantikan ERCP sebagai gold stamdard
untuk diagnosis koledokolitiasis (Kartikasari Y et al, 2016).
4.2.2 Indikasi pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography
40
4.2.3 Kontraindikasi pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography
a. Kontraindikasi absolut
Penggunaan pace maker jantung
Penggunaan klip pada aneurisme serebral
Implan koklea
Benda asing pada ocular
b. Kontraindikasi relatif
41
Gambaran Patologi pada Pemeriksaan MRCP
42
Gambar 2.32 Karsinoma kandung empedu : pada pemeriksaan coronal
T2 tampak dialtasi kandung empedu dan intrahepatic biliary tree karena
karsinoma yang melibatkan bagian leher, cysict duct dan duktus bilier
(Radswiki, 2020).
MRCP non invasif, tanpa radiasi dilakukan pada pasien rawat jalan
tanpa analgesik atau premedikasi dan tidak menyebabkan resiko
terjadinya pankreatitis akut
Resolusi MRCP untuk duktus utama mendekati ERCP
43
MRCP dapat dilakukan pada pasien yang endoskopi tidak berhasil
seperti dengan operasi gaster atau pankreas sebelumnya, obstruksi
jalan keluar gaster atau transplantasi pankreas
MRCP dapat dikombinasikan dengan konvensional MR abdomen
atas untuk penelitian yang menyeluruh dari hati, pankreas dan
struktur vaskular yang berdekatan
Pasien dengan oklusi total duktus pankreatikus utama, MRCP
menunjukkan anatomi bagoan proksimal
MRCP dapat menunjukkan kista atau koleksi cairan yang
berdekatan dengan pankreas yang tidak berhubungan dengan
duktus pankreatikus dan tidak tampak sebagai bayangan opak pada
ERCP (Soetikno, 2007).
44
Untuk Mendeteksi Kanker Esofageal
Pada kanker esofageal, Endoskopi Ultrasonografi lebih superior
dibandingkan CT scan pada staging lokal. Endoskopi
Ultrasonografi sangat penting digunakan dalam mengevaluasi aksis
celiaca nodus limfa dan biasanya menunjukkan staging metastasis
disekitarnya.Ini akan membantu pasien dalam dalam terapi
neoadjuvant kemoradiasi.
45
dalam mendeteksi perubahan struktural paada pankreas kronis
yang mungkin akan absen pada transabdominal ultrasound,
CT, MRI, atau ERCP. Sering sulit untuk mendeteksi
perubahan pankreas pada pankreatitis kronis sesuai usia.Sering
sulit untuk mendeteksi dan menginterpretasi dalam
membdakan fokal kronik pankreatitis.
Choledokolitiasis
Pada pasien dengan penyakit batu empedu, Endoskopi
Ultrasonografi memiliki sensitivitas lebih dari 90 % dalam
mendeteksi batu pada duktus bilier komunis. Endoskopi
Ultrasonografi dapat dibandingkan dengan ERCP dalam
diagnosis batu dalam kandung empedu
46
mendeteksi nodus limfa medastinum adalah 88-96%, dan juga
mampu untuk diferensiasi tuberkulosi,sarkoidosis dan limfoma
menggunakan Ultrasounografi Endoskopi dengan Fine Needle
Aspiration dan trukut biopsi.
47
Gambar 2.34 Gambaran dari dilatasi duktus bilier komunis dan massa yang
menginfiltrasi pada duktus pankreas(Nugraha et al,2019)
48
Gambar 2.36 Gambaran dari stenosis duktus biliary komunis (Nugraha et
al,2019)
49
Diagnosis Banding
1. Hiperbilirubinemia Nonhemolitik Familial
Konidisi hiperbilirubinemia nonhemilitik familial disebut juga
sebagai hiperbilirubinemia primer, disebabkan oleh meningkatnya
produksi bilirubin di sumsum tulang akibat pemecahan prematur sel
darah normal abnormal (sintesis eritrosit tidak efektif). Pemecahan
eritrosit di perifer normal. Keadaan ini biasanya bersifat familial.
Terdapat beberapa sindrom yang menunjukkan seseorang menderita
hiperbilirubinemia nonhemolitik familial, yaitu:
a. Sindrom Gilbert
Sindrom ini adalah bentuk hiperbilirubin indirek dimana kadar
bilirubin serum 1-5 mg/dl yang bukan disebabkan oleh hemolitik,
dengan pemeriksaan fungsi hati, dan histologi hati normal. Bersifat
familial sebagai autosomal dominan. Sindrom ini disebabkan oleh
penurunan 70-75% aktivitas glukoronidasi oleh enzim uridine-
diphosphate-glucuronosyltransferaseisoform 1A1 (UGT1A1). Biasanya
sindrom ini diketahui secara kebetulan ketika dilakukan pemeriksaan
darah, misalnya saat pemeriksaan hepatitis virus. Gejala klinis berupa
ikterus ringan yang bersifat hilang timbul (intermitten) disertai rasa
mual dan perasaan tidak enak di hati. Ikterus bertambah bila ada infeksi
atau dalam kondisi puasa atau kelelahan. Tes diagnostik dengan
memberikan diet 400 kalori selama 24 jam, akan terjadi kenaikan
bilirubin serum dilanjutkan pemberian fenobarbital 60 mg tiga kali
sehari akan menurunkan bilirubin serum. Prognosis baik.
b. Sindrom Crigler-Najjar
Ini merupakan penyakit yang jarang, diperkirakan 0,6-1,0 per satu
juta kelaihiran. Bentuk ikterus ini disertai dengan kadar bilirubin
indirek serum yang sangat tinggi disebabkan oleh tidak ditemukannya
ekspresi UGT1A1 pada jaringan hati sehingga konjugasi bilirubin
sangat rendah. Tidak ditemukan adanya respon dengan pengobatan
fenobarbital, dimana obat ini akan menginduksi enzim UGT1A1.
Diperlukan flebotomi dan plasmafaresis untuk menurunkan bilirubin
50
serum dan selalu berhasil.
c. Sindrom Dubin-Johnson
Ikterus pada sindrom ini bersifat kronik, benigna dan hilang
timbul dengan kenaikan kadar bilirubin direk dan indirek serta adanya
biliruin ditemukan di urin. Kadar bilirubin serum dapat mencapai 25
mg/dl. Sindrom Dubin Johnson mempunyai gangguan dalam sekresi
empedu dan peningkatan sekresi metabolit leukotrien dalam urin.
Secara makroskopi hati berwarna hitam-kehijauan (black-liver
jaundice) dan secara mikroskopik terdapat pigmen coklat pada pada sel
hati yang tidak mengandung besi ataupun empedu, diperkirakan pigmen
tersebut merupakan melanin. Gejala ikterus tampak jelas pada pasien
selama hamil atau minum obat kontrasepsi karena keduanya
mengurangi fungsi ekskresi hati (Taroeno & Elia, 2014).
2.3.6 Tatalaksana
Terapi spesifik kolestasis sangat bergantung dari penyebab dan tipe
kolestasis. Salah satu terapi yang sering dilakukan pada kolestasis obstruksi
adalah dekompresi bilier. Tata laksana kolestasis intrahepatik
(hepatoseluler) dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab dan gejala
yang muncul merupakan tata laksana yang tepat. Tata laksana dengan
dekompresi bilier pada batu saluran empedu yaitu sfingterotomi endoskopi
dengan atau tanpa pemasangan stent dapat mengurangi obstruksi. Demikian
juga pada striktur common bile duct (CBD) jinak, dilatasi striktur dan
pemasangan stent dapat meredakan obstruksi. Pada obstruksi maligna,
tergantung pada stadium penyakit, reseksi bedah pada lesi obstruksi lebih
disukai (Shah, 2020).
1. Asam ursodeoksikolat
2. Kolestramin
52
Merupakan resin pengikat asam empedu dimana membentuk kompleks
yang tidak dapat diserap oleh usus, menghambat reuptake enterohepatik
dari garam empedu usus dan meningkatkan ekskresinya. Obat ini dapat
digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi sirkulasi
enterohepatik. Dosis yang diberikan 0,25-0,5 g/kgbb/hari.
3. Barbiturat
4. Antibiotik
Agen antituberkular seperti Rifampin akan merangsang enzim hati dan
mengurangi pruritus pada kolestasis.
2.3.7 Prognosis
53
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi, diantaranya sentral
rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis.
Pada sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi, pasien mempunyai prognosis
yang lebih baik dibandingkan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal
akibat metabolik maupun genetik. Angka kesembuhan kolestasis
intrahepatik berkisar 60-80% (Cochran, 2020
54
BAB III
KESIMPULAN
55
Terapi spesifik sangat bergantung pada penyebab dan tipe kolestasis.
Terapi yang umum dilakukan adalah dekompresi bilier. Untuk
medikamentosa dapat diberikan asam ursodeoksilat, kolestramin, barbiturat,
dan antibiotik. Angka kesembuhan kasus kolestasis intrahepatik berkisar
60%-80%. Kesembuhan sangat bergantung pada jenis kolestasis tersebut.
56
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha, D., Neogi, T., Silman, A.J., et al. 2010. ‘2010 Rheumatoid Arthritis
Classification Criteria’. ACR, pp 2569-2581
Alharthi, S., Bernon, M., Krige, J.E. 2012, ‘Case Report : Beware The Left Sided
Gallbladder’, SAJS., 50(3), pp. 88-89.
Arnson, Y., Shoenfeld, Y., Amital, H. 2010. ‘Effects of Tobacco Smoke on Immunity,
Inflammation and Autoimmunity’, J. Autoimmun., 34(3), pp. 258-265
Aprilia, F. 2013. ‘Teknik Pemeriksaan Intravena Pyelografi Pada Kasus
Hidronephrosis Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Salatiga’, Tersedia dari
https://www.slideshare.net/mobile/BayuDwiSeptian/ivp-fera-49314650.
Atelaha, D., Smolen, J,S. 2018, ‘Diagnosis and Management of Rheumatoid
ArthritisA Review’, JAMA, pp. 1363.
Bicke I et al. 2020, Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography. [diakses
tanggal 26 Desember 2020]. Tersedia dari
https://radiopaedia.org/articles/endoscopic-retrograde-
cholangiopancreatography
Bottini, N., Firestein, G.S. 2013, ‘Epigenetics in Rheumatoid Arthritis: A Primer For
Rheumatologists’, Curr. Rheumatol. Rep., 15(11), pp. 372
Bonheur JB. 2019. Biliary Obstruction Workup. Medscape. [diakses tanggal 26
Desember 2020). Tersedia dari
https://emedicine.medscape.com/article/187001-workup#c5
Caraiani, C., Petresc, B., Yi, D., et.al. 2019. ‘Contraindication and Adverse Effects in
Abdominal Imaging’, J. Ultrason, 21(4), pp. 456-463.
Caraiani, C., Yi, D., Petresc, B., et.al. 2020. ‘Indication for Abdominal Imaging :
When and What to Choose’, J. Ultrason, 20(80), pp. e43-e54.
Carbone, F., Bonaventura, A., Liberale, L., et al. 2020, ‘Atherosclerosis in
Rheumatoid Arthritis: Promoters and Opponents’, Clin. Rev. Allergy Immunol.,
58(1), pp. 1-14
Chauhan, K., Jandu, J.S., Goyal, A., et al. 2020, ‘Rheumatoid Arthritis’, StatPearls
[Internet], StatPearls Publishing.
57
Cochard,L.R., Goodhartz,L.A., Harmath,C.B., et.al. 2012, ‘Netter’s Introduction To
Imaging’, Elsevier, Canada, pp.176-181.
Colebatch,A.N., Edwards, C.J., Østergaard, M. 2013, ‘EULAR recommendations for
the use of imaging of the joints in the clinical management of rheumatoid
arthritis’, Ann Rheum Dis, pp.805.
Conway et al. 2018. Cystic Fibrosis Presenting as Acute Pancreatitis and Obstructive
Azoonspermia in Young Adult Male with a Novel Mutation in the CFTR
Gene. Reseacrh gate. 34: 491-495.
Cross, M., Smith, E., Hoy, D., et al. 2014, ‘The Global Burden of Rheumatoid
Arthritis: Estimates From The Global Burden of Disease 2010 Study’,Ann.
Rheum. Dis., 73, pp. 1316-1322
da Mota, L.M., Laurindo, I.M., dos Santos Neto, L.L., et al. 2012. ‘Imaging Diagnosis
of Early Rheumatoid Arthritis’, Rev. Bras. Rheumatol., 52(5), pp. 757-766
Das S, Padhan P. (2017). An Overview of the Extraarticular Involvement in
Rheumatoid Arthritis and its Management. J Pharmacol Pharmacother, pp 81-
86.
Deane, K.D., Demoruelle, M.K., Kelmenson, L.B., et al. 2017. ‘Genetic and
Environmental Risk Factors For Rheumatoid Arthritis’, Best Pract. Res.
Clin. Rheumatol., pp. 3-18
England, B. R., Mikuls, T.R. 2020. ‘Clinical Features of Rheumatoid Arthritis’, in:
Firstein, G. S., Budd, R.C, Gabriel, S.E., et al, editors, Firestein and Kelley’s
Textbook of Rheumatology, 11th edn, pp 1476
Frisell, T., Holmqvist, M., Källberg, H., et al. 2013, ‘Familial Risks and Heritability
of Rheumatoid Arthritis: Role of Rheumatoid Factor/Anti Citrullinated Protein
Antibody Status, Number and Type of Affected Relatives, Sex and Age’,
Arthritis Rheum., pp. 2773-2782
Foo, F.J., Gill, U., Verbeke, C.S., et.al. 2007, ‘Ampullary Carcinoma Associated With
an Annular Pancreas’, JOP., 8(1), pp. 50-54.
Garrow, D., Miller, S., Sinha, D., et al. 2007, ‘Endoscopic Ultrasound: A Meta-
analysis of Test Performance in Suspected Biliary Obstruction’, J. Clinical
Gastroenterology and Hepatology .5, pp.616-623.
Gibofsky, A. 2014 Epidemiology, pathophysiology, and diagnosis of rheumatoid
arthritis: A Synopsis. Am J Manag Care, pp 28-35.
Giles, J.T. 2019, ‘Extra-articular Manifestations and Comorbidity in Rheumatoid
58
Arthritis: Potential Impact of Pre-Rheumatoid Arthritis Prevention’, Clin.
Ther., pp. 1246-1255
Grant, L.A., Griffin, N. 2019, ‘Diagnostic Radiology Essentials’, 2nd edn,
Elsevier,China, pp.618.
Gunawan, H., Haryati, N. S., Suwarsa, O. 2017. Swan Neck Deformity Mimicking
Claw Hand Caused by Arthritis in Leprosy. Case Reports in Dermatology, pp
231–235.
Guo, Q., Wang, Y., Xu, D., et al. 2018, ‘Rheumatoid Arthritis: Pathological
Mechanisms and Modern Pharmacologic Therapies’, Bone Res., 6, pp. 1- 14
Herring, W. 2016, ‘ Recognizing Joint Disease : An Approach to Arthritis ’, in
Learding Radiology Recognizing the Basic, 3rd edn, Elsevier, America,
pp.261.
Hill, J.A., Southwood, S., Sette, A., et al. 2003, ‘Cutting Edge: The Conversion of
Arginine To Citrulline Allows for A High-Affinity Peptide Interaction with
The Rheumatoid Arthritis-Associated HLA-DRB1*0401 MHC Class II
Molecule’, J. Immunol., pp. 538-541
Hiraga, M. (2016) Ultrasound Examination of the Abdomen, Nihon Hoshasen Gijutsu
Gakkai zasshi. doi: 10.6009/jjrt.2016_JSRT_72.11.1185.
Hu, Y., Costenbader, K.H., Gao, X., et al. 2014, ‘Sugar Sweetened Soda Consumption
And Risk of Developing Rheumatoid Arthritis in Women’, Am. J. Clin. Nutr.,
100(3), pp. 959-967
J Jeffrey et al, 2018. Cholangiography and Pancreatography. [diakses tanggal 26
Desember 2020]. Tersedia dari
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978032341509500049
Jonas, B.L., Roubey R.A.S. 2009. ‘Rheumatoid Arthritis’, in: Runge, M.S., Greganti,
M.A, editors, Netter’s Internal Medicine, 2nd edn, pp 1056
Kartikasari Y, Jeffry A, Ary LF. 2016. Perbedaan Informasi Citra Anatomi Magnetic
Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) Coronal pada Sekuen T2
FRFSE (Fast Recovery Fast Spin Echo) antara Penggunaan ARC dengan tanpa
ARC. JImeD. 4(2): 105-111.
Kaushik, P., Kaushik, R. 2008, 'Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis',
American Journal of Medicine, vol. 121, no. 6, pp. 1245–1252. doi:
10.1016/j.amjmed.2007.11.026.
Kgoebane, K., Ally, M.M.T.M., Duim-Beytell, M.C., Suleman, F.E. 2018, ‘The Role
59
of Imaging in Rheumatoid Arthritis’, SA. J. Radiol., 22(1), pp. 1316
Khalidi, N.A., O’Neill, J. 2015, ‘Arthritis :A Diagnostic Approach’, in : O’Neill,J,
editor, Essential Imaging in Rheumatology, Springer, New York, pp.37- 41.
Kim, S.W., Kim, S.H., Lee, D.H., et.al. 2017, ‘Isolated Main Pancreatic Duct
Dilatation : CT Differentiation Between Benign and Malignant Causes’, AJR.,
209, pp. 1046-1055.
Kłodziński, Ł., Wisłowska, M. 2018, ‘Comorbidities in Rheumatoid Arthritis’,
Reumatologia, 56(4), pp. 228-233
Langenegger, T., Michel, B. A. 1999, 'Drug treatment for rheumatoid arthritis',
Clinical Orthopaedics and Related Research, no. 366, pp. 22–30. doi:
10.1097/00003086-199909000-00004.
Larche, M.J. 2015, ‘ Inflammatory Arthritidies’, in : O’Neill,J, editor, Essential
Imaging in Rheumatology, Springer, New York, pp.110-118
Littlejohn, E. A., Monrad, S. U. 2018. Early Diagnosis and Treatment of Rheumatoid
Arthritis. Primary Care: Clinics in Office Practice, 45(2), p 237–255.
Llapis, E., Kroon, H.M., Acosta, J., Bloem, J.L. 2017, ‘ Conventional Radiology in
Rheumathoid Arthritis’, Radiol Clin N Am, pp. 3-23.
Makky H. 2020. Primary sclerosing cholangitis. [diakses tanggal 26 desember 2020].
Tersedia dari https://radiopaedia.org/cases/primary-sclerosing-
cholangitis?lang=us
McQueen, F.M. 2012, ‘Bone Marrow Edema and Osteitis in Rheumatoid Arthritis:
The Imaging Perspective’, Arthritis Res. Ther., 14(5), pp. 224
Michou, L., Croiseau, P., Petit-Teixeira, E., et al. 2006, ‘Validation of The Reshaped
Shared Epitope HLA-DRB1 Classification in Rheumatoid Arthritis’, Arthritis
Res. Ther., 8(3), pp. 79
Mustika S. 2020. Teknik Mutakhir untuk Diagnosis hingga Pengangkatan Batu
Saluran Empedu. Yayasan Gastroenterologi Indonesia. [diakses tanggal 26
desember 2020). Tersedia dari http://ygi.or.id/ercp-teknik-mutakhir-untuk-
diagnosis-hingga-pengangkatan-batu-saluran-empedu/
Muzio BD. 2020. Choledocholithiasis. [diakses tanggal 26 Desember 2020]. Tersedia
dari https://radiopaedia.org/cases/choledocholithiasis-18?lang=us
Narváez García, J.A. 2010, ‘Evaluation Through Imaging of Early Rheumatoid
Arthritis’, Reumatol. Clin., 6(2), pp. 111-114
NICE. National Institute for Health and Care Excellence. 2018, Rheumatoid arthritis
60
in adults: management, NICE clinical guideline.
Nieuwenhuis, W.P., van Steenbergen, H.W., Stomp, W., et al. 2016, ‘The Course of
Bone Marrow Edema in Early Undifferentiated Arthritis and Rheumatoid
Arthritis: A Longitudinal Magnetic Resonance Imaging Study at Bone Level’,
Arthritis Rheumatol., 68(5), pp. 1080-1088
Nugraha, E.S.,Girawan, D., Agustanti, N., et al. 2019, ‘Role of Radial Endoscopic-
ultrasound (EUS) to Establish Diagnosis of Undetermined Causes of
Obstructive Jaundice: A Case Series’,J. Indonesian Gastroenterology,
Hepatology and Digestive Endoscopy, pp.93-99.
Østergaard,M., Lambert, G.W., Jen, H. 2017, ‘Imaging in Rheumatic Disease’, in:
Friesten,G.S.,Budd,R.C.,Gabriel,S.E., et.al., editors, Textbook of
Rheumatology,Elsevier, Philadelphia, pp.619.
Otón, T., Carmona, L. 2020, ‘The Epidemiology of Established Rheumatoid Arthritis’,
Best Practice and Research Clinical Rheumatology, 101477, pp. 1-10.
Padmaltha, M., Jojireddy, O., Gafoor, J.A. 2015, ‘Radiological Evaluation of
Obstructive Jaundice by Ultrasound and CT’, J. Evidance Based Med.
Hlthcare. 2(44), pp. 7829-7846.
Palmer, P. E. . (2003) ‘Manual Diagnostic of Ultrasound’, p. 325.
Petrescu, I., Bratu, A.M., Petrescu, S., et.al. 2017, ‘CT vs MRCP in Choledocholitiasis
Jaundice’, J. Med. Life, 8(2), pp.226-231.
Prado, A,D., Staub, H.l.,Bisi,M.C., et.al. 2018, ‘Ultrasound and its clinical use in
rheumathoid arthritis : where do we stand?’, Advances in Rheumatology, pp.5.
Prete, M., Racanelli, V., Digiglio, L., et al. 2011, ‘Extra-Articular Manifestations of
Rheumatoid Arthritis: An Update’, Autoimmun., 11, pp. 123-131
Radswiki. 2020. Gallbladder carcinoma. [diakses tanggal 26 Desember 2020].
Tersedia dari https://radiopaedia.org/cases/gallbladder-
adenocarcinoma?lang=us
Raman, S., P.,Fishman,K., E. 2014, ‘Abnormalities of Distal Common Bile Duct and
Ampulla, Diagnostic Approach And Differentil Diagnosis Using Multiplanar
Reformations and 3D Imaging’, AJR.,203, pp. 17-28. Reddy, Y., and Willert,
R.P., 2009. ‘Endoscopic Ultrasound: What Is It And When Should It Be Used
?’, J. Royal College of Physicsians.
Raychaudhuri, S., Sandor, C., Stahl, E.A, et al. 2012, ‘Five Amino Acids in Three
HLA Proteins Explain Most of The Association Between MHC and
61
Seropositive Rheumatoid Arthritis’, Nat. Genet., 44(3), pp. 291-296 Serafino,
M.,D. 2019,‘Diagnostic Accuracy of MRCP as Compared to Ultrasound/CT in
Patients with Obstructive Jaundice’, Journal of Ultrasound
Rosch, T. 2003. ‘Endoscopic Ultrasonography: Imaging And Beyond’, BMJ., 52(8),
pp.1220-1226.
Rubin. 2014. ‘Computed Tomography : Revolutionizing the Practice of Medicine for
40 Years’. Radiology, 273(2), pp S45-S74.
Šenolt, L., Grassi, W., Szodoray, P. 2014, ‘Laboratory Biomarkers or Imaging in The
Diagnostics of Rheumatoid Arthritis?’, BMC Med., 12, pp. 49
Shah,. 2013, “Rheumathoid Arthritis’, in : Longo, D.L., Kasper, D.L., Jameson, J.L.,
et.al. , editors, Harrison’s Principle od Internal Medicine, 18th edn,
,pp.2746.
Sidhu, H. S., Bhatnagar, G., Bhogal, P., et .al. 2011, ‘ Imaging Features of the
Pleuropulmonary Manifestations of Rheumathoid Arthritis :Pearls and
Pitfalls’,Journal of Clinical Imaging Science, pp.5.
Singh, J. A., Saag, K. G., Bridges, S. L, et al. 2016, '2015 American College of
Rheumatology Guideline for the Treatment of Rheumatoid Arthritis', Arthritis
Care & Research, vol. 68, no. 1, pp. 1–25. doi: 10.1002/acr.22783.
Smolen, J. S., Aletaha, D., McInnes, I. B. 2016. Rheumatoid arthritis. The Lancet,
388(10055), pp 2023–2038.
Smolen, J. S., Landewé, R. B. M., Bijlsma, J. W. J., et al. 2020, 'EULAR
recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic
and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2019 update', Annals of
the Rheumatic Diseases, vol. 79, no. 6, pp. 685–699. doi:
10.1136/annrheumdis-2019-216655.
Soetikno RD. 2007. Imaging pada Ikterus Obstruksi. Bagian/UPF Radiologi : Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin.
Solution, W. (2016) ‘Ultrasonografi (usg)’, Integra Newsletter, pp. 1–2.
Sommer, O. J., Kladosek, A., Wailer, V., et al. 2005, ‘Rheumatoid Arthritis: A
Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and
ClinicalImplications’, RSNA, pp.381.
Sparks, J.A. 2019, ‘Rheumatoid Arhtritis: Risk Factors, Diagnosis, Treatment’,
ACP
Stanford, S.M., Bottini, N. 2014, ‘PTPN22: The Archetypal Non-HLA Autoimmunity
62
Gene’, Nat. Rev. Rheumatol., 10(10), pp. 602-611
Stolt, P., Yahya, A., Bengtsson, C., et al. 2010, ‘Silica Exposure Among Male Current
Smokers is Associated with A High Risk of Developing ACPA- Positive
Rheumatoid Arthritis’, Ann. Rheum. Dis., 69(6), pp. 1072-1076
Thomson, N. et al. (2015) ‘Guidelines For Professional Ultrasound Practice Society
And College Of Radiographers And British Medical’, Medical, B., & Society,
U. (2015). Guidelines For Professional Ultrasound Practice Society And
College Of Radiographers And British Medical. December., Revision
1(December).ent document.
Verdult, J. 2017, ‘CT Abdomen General’, StartRadiology [Internet], StartRadiology
Publishing.
Wallenius, M., Skomsvoll, J.F., Irgens, L.M., et al. 2010, ‘Postpartum Onset of
Rheumatoid Arthritis and Other Chronic Arthritides: Results From a Patient
Register Linked to A Medical Birth Registry’, Ann. Rheum. Dis., 69(2), pp.
332-336.
Williams, K., Terrono, A. L. 2011. Treatment of Boutonniere Finger Deformity in
Rheumatoid Arthritis. The Journal of Hand Surgery, 36(8), p 1388–1393.
Yamau, K., Bathia, V., Mizuno, N., et al.2009. Interventional Endoscopic
Unltrasonography, J.gastroenterology and Hepatology., 24(4), pp.509-519.
Yusmaidi, Rafie,R.,permatasari, A.2020.’Karakteristik Pasien Ikterus Obstruktif Et
Causa Batu Saluran Empedu’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Husada ,11(1)
63
64