Anda di halaman 1dari 72

GAMBARAN RADIOLOGI OBSTRUKTIF JAUNDICE

PAPER

Oleh :

Clarita Sonia Siahaan 190131037


Hayatul Karimah 190131069
Mhd Khairi Akbar F. Siregar 190131106
Mhd Nazrul Bin Mohd Nasir 190131108
Rizky Cyntia Simamora 190131149

Pembimbing

dr. Dedy Dwi Putra, Sp. Rad

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
GAMBARAN RADIOLOGI OBSTRUKTIF JAUNDICE

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di

Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Clarita Sonia Siahaan 190131037


Hayatul Karimah 190131069
Mhd Khairi Akbar F. Siregar 190131106
Mhd Nazrul Bin Mohd Nasir 190131108
Rizky Cyntia Simamora 190131149

Pembimbing

dr. Dedy Dwi Putra, Sp. Rad

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan berkat dan penyertaan-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Obstruktif Jaundice”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Program Pendidikan Dokter di Departemen Radiologi , Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen


pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan makalah ini
sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi


positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi
maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai masukan dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat, akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Medan, 5 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................... iii
DAFTAR SINGKATAN......................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................ 3
1.3 Manfaat Penulisan ......................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi......................................................................... 4
2.1.1 Anatomi................................................................................. 4
2.1.2 Fisiologi................................................................................. 6
2.2 Metabolisme Bilirubin......................................................................... 8
2.3 Obstruktif Jaundice............................................................................. 9
2.3.1 Definisi.................................................................................. 9
2.3.2 Etiologi.................................................................................. 9
2.3.3 Faktor Risiko......................................................................... 10
2.3.4 Patofisiologi.......................................................................... 11
2.3.5 Diagnosis............................................................................... 12
2.3.6 Diagnosis Banding................................................................ 50

2.3.7 Tatalaksana............................................................................ 52
2.3.8 Prognosis............................................................................... 53

BAB III. KESIMPULAN........................................................................ 55


DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 57

ii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Anatomi hepar 5


2.2. Patofisiologi obstrukstif jaundice 11
2.3. Foto polos abdomen posisi supine 14

2.4. Foto polos abdomen posisi errect 15

2.5. Foto polos abdomen posisi left lateral decubitis 15

2.6. Cara pemeriksaan USG 22

2.7. Posisi Pasien Pemeriksaan USG 22

2.8. Mencitrakan struktur tubuh yang sama dari posisi dan 23


sudut transduser yang berbeda. Kiri: hanya kutub atas
ginjal yang terlihat dengan baik. Kanan: kutub atas
kabur, tapi bagian ginjal lainnya terlihat jelas
2.9. Gambaran oblique (atas) dan transversal (bawah) yang 24
menunjukkan portal dan vena hepatik serta vena kava
inferrior
2.10 Gambaran Transverse : abses hati yang multipel 24
(amoebic)

2.11 Gambaran Longitudinal : Normal, hempedu terlihat 24


normal

2.12 Gambaran longitudinal : Terlihat batu hempedu multiple 25


(kiri), 2 batu hempedu berukuran besar (kanan)

2.13 Gambaran dari ultrasonografi dari traktus bilier 25


intrahepatic; kanan dan kiri traktus bilier bertemu pada
duktus bilier
2.14 Gambaran anekoik pada duktus bilier adanya kista pada 26
duktus bilier
2.15 Gambaran ultrasound dari primary sclerosing 26
cholangitis dimana koleduktuktus bilier menjadi dilatasi
dengan diameter kurang lebih 9 mm

iii
2.16 Gambaran ultrasonografi adanya batu pada empedu (a) 27
dileher (b) di badan (c) fundus dari kandung empedu
2.17 Posisi potongan normal pada abdomen CT Scan 31

2.18 Gambaran normal CT abdomen pada fase vena portal. 32


Pasien meminum agen kontras oral yang positif.

2.19 Gambaran perbadingan bile duct normal dan dilatasi 33


intrahepatic bile duct.
2.20 Gambaran dilatasi common bile duct. 33
2.21 Gambaran dilatasi duktus pankreas 34
2.22 Gambaran adanya batu multiple pada kantung empedu 34

2.23 Potongan axial gambaran ctscan yang terlihat adanya 35


karsinoma dibagian caput pankreas pada fase vena portal
dimana menunjukkan adanya “double duct sign” (arrow
putih) yaitu adanya dilatasi pada duktus bilier dan
pankreas
2.24 Gambaran abses hepar piogenik pada fase vena porta 35
dimana terdapat lesi berdensitas cairan yang tidak
beraturan dengan pening lesi bagian tepi dalam dengan
cincin bagian luar” yang hipoatenuasi “double target
membentuk “cluster sign” ada beberapa lesi yang lebih
kecil di perifer yang menyatu yang sign”
2.25 Gambaran potongan coronal CT scan terlihat massa 36
pada periampular duodenum dan tidak ditemukan
dilatasi pada CBD . massa ini menunjukkan adanya
adenoma ampularis
2.26 Gambaran anatomi radiologi normal pada ERCP 38
2.27 Primary sclerosing cholangitis: pada pemeriksaan ERCP 38
tampak dilatasi pada duktus bilier komunis dan bilier
intrahepatik radikal dengan adanya dilatasi fokal dan
striktur
2.28 Pankreatitis kronis: tampak gambaran pankreatitis 39
dengan dengan cabang yang menebal (bulky). Duktus
pankreatikus utama normal dan tidak ditemukan adanya
penyempitan ataupun batu pada salurannya
2.29 Gambaran anatomi normal pada pemeriksaan MRCP. 41
Pemeriksaan MRCP potongan coronal. Tampak
lambung dan duodenum berisi cairan sehingga struktur
keduanya dapat terlihat jelas.

iv
2.30 Koledokolitiasis: pada pemeriksaan MRI abdomen + 42
MRCP tampak adanya batu pada kandung empedu yang
menyebabkan terjadinya dilatasi
2.31 Klatskin tumor: pada pemeriksaan MRCP potongan 42
coronal menunjukkan adanya dilatasi pada duktus bilier
intrahepatik disertai dengan striktur atau penyempitan
pada bagian proksimal dari duktus bilie komunis
(CBD). Tidak ada kelainan pada duktus pankreas.
2.32 Karsinoma kandung empedu : pada pemeriksaan 43
coronal T2 tampak dialtasi kandung empedu dan
intrahepatic biliary tree karena karsinoma yang
melibatkan bagian leher, cysict duct dan duktus bilier
2.33 Gambaran endoskopi ultrasound menunjukkan 47
pelabaran duktus bilier komunis dan masa pada kaput
pankreas
2.34 Gambaran dari dilatasi duktus bilier komunis dan massa 48
yang menginfiltrasi pada duktus pankreas
2.35 Gambaran dari pembesaran dan stenosis pada duktus 48
bilier komunis
2.36 Gambaran dari stenosis duktus biliary komunis 49
2.37 Gambaran distal periampular terinfiltrasi pada duktus 49
bilier komunis dimana tnda panah tersebut
menunjukkan adanya penebalan pada papila menuju
CBD

v
DAFTAR SINGKATAN

AFP : Alpha-Fetoprotein

AHAI : Anemia Hemolitik Autoimun

CA19-9 : Cancer Antigen 19-9

CEA : Carcinoembrionic antigen

CYP450 : Cytocrome P450

USG : Ultrasonography

ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

G6PD : Glucose-6-Phospate-Dehydrogenase

IgG : Immunoglobulin G

IgG4 : Immunoglobulin 4

IgM : Immunoglobulin M

MDR 3 : Muti Drug Resistance 3

MRCP : Magnetic Resonance Cholangiopancreatography

PBC : Primary Biliary Cholangitis

PFIC : Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis

PSC : Primary Sclerosing Cholangitis

PTC : Percutaneous Transhepatic Cholangiograph

UGT1A1: Uridine- diphosphate glucuronosyltransferaseisoform 1A1

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ikterus (Jaundice) adalah manifestasi gangguan saluran empedu yang kerap
dan penilaian dan pengurusan penyakit kuning obstruktif adalah masalah yang
biasa dihadapi oleh pakar bedah umum. Ikterus obstruktif didefinisikan dengan
tegas sebagai keadaan yang berlaku disebabkan oleh sekatan jalan antara lokasi
konjugasi hempedu dalam sel hati dan masuknya hempedu ke dalam duodenum
melalui ampula. Blok tersebut mungkin intrahepatik atau ekstrahepatik pada
saluran empedu (Prabakar & Raj, 2016)
Ikterus berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain ikterus
adalah “jaundice” yang berasal dari bahasa Perancis “jaune” yang juga berarti
kuning. Dalam hal ini menunjukan peningkatan pigmen empedu pada jaringan
dan serum. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sklera, mukosa dan kulit yang
disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan > 2 mg /
100 ml serum (Wulandary, 2013)
Obstruktif Jaundice adalah salah satu jenis penyakit kuning yang paling
umum terjadi. Ia dapat dirawat setelah penyebabnya dapat dipastikan. Memahami
fisiologi metabolisme bilirubin dan struktur saluran empedu ekstrahepatik sangat
penting untuk penilaian diagnostik yang mencukupi penyakit kuning obstruktif
Ikterus adalah salah satu gejala yang paling sering terjadi pada gangguan
hepatobilier. Sifat penyakit kuning mungkin berbeda dari hepatoselular hingga
corak obstruktif. Dalam beberapa kasus, ia mungkin bersifat hemolitik. Mengenal
dan memastikan jenisnya sangat penting untuk tindakan lebih lanjut. Gabungan
penyelidikan hematologi dan radiologi tidak hanya memberikan hasil mengenai
keparahan dan kesan penyakit kuning obstruktif pada berbagai sistem organ tetapi
juga membantu dalam menentukan prognosis. Endoskopi juga dapat memberikan
diagnostik dan manfaat terapi dalam penyakit kuning obstruktif (Vagholkar,
2020).

1
Didapatkan bahwa pada penderita penyakit ini memiliki beberapa gejala
nyeri perut (73.33%), dispepsia (60%), gatal dan feses seperti tanah liat (53%).
Selain itu juga dijumpai melena pada 10% penderita dengan risiko meningkat 36
kali untuk keganasan. Kantung empedu teraba juga signifikan secara statistik
untuk etiologi malignan.(Prabakar & Raj, 2016).

Ikterus obstruktif disebabkan oleh 2 golongan besar yaitu dari intrahepatik


dan ekstrahepatic. Umumnya untuk konfirmasi diagnosis klinis dilakukan dengan
pencitraan USG. Dimana USG dengan mudah dapat membedakan penyebab dari
saluran empedu (akurasi 90%). Metode biopsi hanya untuk mengevaluasi ikterus
intrahepatik. Pada kasus tertentu, tidak mudah untuk memastikan baik ikterus
ekstrahaptik obstruktif maupun intrahepatik, karena saluran empedu sering
terlihat jelas pada pemeriksaan USG, yaitu untuk memastikan sisi obstruktif
karena bagian distal saluran empedu sulit untuk dilihat. terlihat pada 30% -50%
kasus sampai biopsi hati berkurang. Sedangkan gambaran histopatologi ikterus
ekstrahepatik ditandai dengan perubahan klasifikasi yang dikenal dengan reaksi
duktuler yaitu adanya edema jaringan ikat, proliferasi duktular dan infiltrasi
neutrofil (Sherly et al, 2006)
Penyebab penyakit kuning obstruktif yang paling umum adalah
koledokolitiasis, striktur saluran empedu, kolangiokarsinoma, karsinoma
pankreas, pankreatitis, parasit, dan kolangitis sklerosis primer. Diagnosis ini
didasarkan pada pemeriksaan klinis, temuan laboratorium, pencitraan dan
pemeriksaan endoskopi. Selain itu, obstruksi tersebut menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang dominan. Ikterus obstruktif dapat menjadi
rumit dengan disfungsi ginjal, gangguan hemostasis, disfungsi hati, peningkatan
permeabilitas usus, dan komplikasi lainnya. Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) adalah alat diagnostik dan terapeutik yang
cocok untuk penyakit pankreatikobiliaris termasuk koledokolitiasis. Meskipun
begitu, pemeriksaan lain seperti Magnetic Resonance Cholangiopancreatography
(MRCP) secara bertahap menjadi alat diagnostik alternatif dan dianggap sebagai
teknik diagnostik non-invasif pada penyakit bilier. Pada pasien, di mana batu
kantung empedu dikaitkan dengan batu saluran empedu, tidak ada kesepakatan
apakah pendekatan laparoskopi atau endoskopi harus menjadi pengobatan
pertama (Fekaj et al 2017).

2
Risiko didapatkan bahwa wanita melebihi jumlah pria dengan rasio 1,3: 1.
Pasien dengan ikterus obstruktif maligna lebih tua dari pada tipe jinak. Ca
pankreas adalah penyebab maligna tersering dari ikterus sedangkan
koledocholitiasis adalah penyebab jinak tersering. Ultrasonografi abdomen adalah
satu-satunya pencitraan diagnostik yang dilakukan pada semua pasien dan
menunjukkan duktus intra dan ekstrahepatik yang melebar, batu empedu umum
dan massa abdomen masing-masing pada 56,2%, 78,9%, 58,1% dan 72,4% kasus.
Sebanyak 110 kasus (94,8%) pasien menjalani perawatan bedah dan sisanya 6
kasus (5,2%) pasien tidak layak untuk operasi. Tingkat komplikasi adalah 22,4%
terutama infeksi di tempat pembedahan (Chalya et al 2011).

1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:


1. Memahami teori mengenai gambaran radiologi pada obstruksi jaundice
2. Dapat mengaplikasikan teori gambaran radiologi pada obstruksi jaundice
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

1.3 MANFAAT PENULISAN

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan


pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami
mengenai gambaran radiologi pada obstruktif jaundice.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi
Hepar atau hati merupakan organ atau kelenjar terbesar di dalam tubuh,
memiliki berat sekitar 1-2,3 kg (Waugh & Grant, 2011) atau sekitar 2,5% dari
berat badan. Hepar memiliki struktur yang halus, lunak dan lentur, serta terletak
di bagian atas rongga abdomen yang menempati bagian terbesar regio
hipokondrium (Snell, 2012). Sebagian besar hepar terletak di bawah arcus
costalis kanan dan diaphragma setengah bagian kanan, memisahkan hepar dari
pleura, paru-paru, perikardium dan jantung. Hepar merupakan organ yang mudah
diraba dengan melakukan palpasi dinding abdomen di bawah arkus kostalis
kanan, yaitu dengan memeriksa pada waktu inspirasi dalam sehingga tepi bawah
hepar dapat teraba (Maulina, 2018).
Hepar dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis yang tidak elastis yang disebut
kapsula fibrosa perivaskularis dan sebagian tertutupi oleh lapisan peritoneum.
Lipatan peritoneum membentuk ligamen penunjang yang melekatkan hepar pada
permukaan inferior diaphragma (Waugh & Grant, 2011). Dalam keadaan segar,
hepar bewarna merah tua atau kecoklatan yang disebabkan oleh adanya darah
yang sangat banyak dalam organ ini (Maulina, 2018).

Hepar memiliki 4 lobus. Dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas
terlihat adalah lobus kanan yang berukuran lebih besar, sedangkan lobus kiri
berukuran lebih kecil dan berbentuk baji (Waugh & Grant, 2011). Diantara kedua
lobus tersebut terdapat vena portae hepatis, jalur masuk dan keluarnya pembuluh
darah, saraf, dan duktus. Lobus kanan terbagi menjadi lobus kuadratus dan lobus
kaudatus karena adanya vesikal biliaris, fisura untuk ligamentum teres hepatis,
vena kava inferior, dan fisura untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau
porta hepatis terdapat pada permukaan posteroinferior dan terletak di antara
lobus kaudatus dan lobus quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus
melekat pada pinggir porta hepatis dan terdapat duktus hepatikus dekster dan
sinister, vena porta, serabut saraf simpatik dan parasimpatik, serta beberapa
kelenjar limfe hepar (Junqueira & Carneiro, 2012).
4
Gambar 2.1 Anatomi hepar (Maulina, 2018).

Lobulus-lobulus hepatis adalah penyusun hepar. Vena sentralis pada masing-


masing lobus bermuara ke vena hepatika dan di antara lobulus-lobulus terdapat
kanalis hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatika, vena porta, dan
sebuah cabang dari duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteri dan vena
berjalan di antara sel hepatosit melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis
(Snell, 2012).

Ligametum falsiforme memisahkan lobus dekster dan lobus sinister dan


diantara kedua lobus ini terdapat porta hepatis, yang merupakan jalur masuk dan
keluar antar pembuluh darah, saraf, dan duktus (Maulina,2018).

Vaskularisasi hepar didapatkan dari arteri hepatika propria, cabang arteria


koeliak (truncus koeliakus), vena porta, vena hepatika (tiga buah atau lebih)
muncul dari permukaan posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena kava
inferior. Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah
arteria hepatika propria (30%) dan vena porta (70%). Arteria hepatika propria
membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, dan vena porta membawa darah
yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang telah diabsorbsi dari traktus
gastrointerstinalis. Darah arteri dan vena dialirkan ke vena sentralis masing-
masing lobulus hepatis melalui sinusoid hepar. Vena sentralis mengalirkan darah
ke vena hepatika dekstra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan permukaan
posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena kava inferior (Snell, 2012).

5
Sistem porta membawa darah dari pankreas, limpa, dan usus. Nutrien
terakumulasi dan diubah dalam hepar, dan zat toksik dinetralkan dan dihilangkan
di tempat tersebut. Vena porta bercabang-cabang menjadi venula pendistribusi
kecil yang berjalan di tepi setiap lobulus dan berujung ke dalam sinusoid
(Junqueira & Carneiro, 2012).

Hepar banyak menghasilkan cairan limfe, sekitar sepertiga sampai setengah


dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan hepar dan
masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis.
Pembuluh eferen berjalan ke nodi cocliaci. Beberapa pembuluh limfe berjalan dari
area nuda hepatis melalui diaphragma ke nodi limfoid mediastinalis posterior.
Sistem persarafan hepar terdiri atas saraf simpatik dan para simpatik membentuk
pleksus koeliakus. Trunkus vagalis anterior mencabangkan banyak ramus
hepatikus yang berjalan langsung ke hepar (Snell, 2012).

2.1.2 Fisiologi
Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang sangat
bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan empedu
ke dalam saluran intestinal, berperan pada berbagai metabolisme yang
berhubungan dengan karbohidrat, lipid dan protein, menyaring darah,
menyingkirkan bakteri dan benda asing yang masuk ke dalam darah (Snell, 2012).

Hepar mensekresi cairan empedu sekitar 500 sampai 1000 mL setiap hari
(Price & Wilson, 2012). Cairan empedu dialirkan ke dalam saluran empedu yang
terdiri dari pigmen empedu dan asam empedu. Bilirubin dan biliverdin merupakan
pigmen empedu yang memberi warna tertentu pada feses, sedangkan asam
empedu yang dibentuk dari kolesterol membantu pencernaan lipid. Pengeluaran
empedu dari hepar dan vesica biliaris terutama diatur oleh hormon. Aliran empedu
meningkat jika kolesistokinin dikeluarkan oleh sel enteroendokrin mukosa yang
dirangsang ketika lemak makanan dalam kimus masuk ke duodenum. Hormon ini
menyebabkan konstraksi otot polos di dinding vesika biliaris dan relaksasi
sfingter, sehingga empedu dapat masuk ke duodenum (Eroschenko, 2012).

6
Garam empedu yang terdapat di dalam empedu mengemulsi lemak di
duodenum. Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter oddi,
yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu pencernaan
makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan
oleh hepar dialihkan balik ke vesika biliaris. Empedu tidak diangkut langsung dari
hepar ke vesika biliaris. Empedu disimpan dan dipekatkan di vesika biliaris
diantara waktu makan. Empedu masuk ke duaodenum akibat kombinasi
pengosongan vesika biliaris dan peningkatan sekresi empedu oleh hepar
(Sherwood, 2012).

Hepar berperan penting dalam metabolisme 3 mikronutrien, yaitu karbohidrat,


protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam hepar dalam bentuk glikogen (Price & Wilson, 2012). Glikogen
hepar merupakan timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar glukosa darah
menurun dibawah normal (Junqueira & Carneiro, 2012). Dari depot glikogen ini,
glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan
untuk menghasilkan panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam jaringan subkutan. Hepar juga mensintesis glukosa dari protein
dan lemak (glukoneogenesis) (Price & Wilson, 2012).

Peranan hepar dalam metabolisme sangat penting untuk kelangsungan hidup.


Semua protein plasma (kecuali gamaglobulin) disintesis oleh hepar, yaitu
albumin, yang diperlukan mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin,
fibrinogen, dan faktor pembekuan lain. Sebagian besar degradasi asam amino
dimulai dalam hepar melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amino
(NH2) (Price & Wilson, 2012). Hepar juga berperan penting dalam sistem imun.
Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma di lamina propria usus diserap dari darah
oleh hepatosit dan diangkut ke dalam kanalikulus dan empedu serta antibodi
masuk ke lumen usus, tempat zat ini mengontrol flora bakteri usus (Eroschenko,
2012). Hepar mensintesis heparin, sebuat zat antikoagulan dan mempunyai fungsi
detoksifikasi yang penting (Snell, 2012).

7
Sebagai organ detoksifikasi, hepar berperan dalam melindungi tubuh dari
berbagai racun dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dengan merubah
semua bahan-bahan asing atau toksin dari luar tubuh. Bahan-bahan asing atau
toksin tersebut dapat berupa makanan, obat-obatan dan bahan lainnya, dapat juga
bahan dari dalam tubuh sendiri yang menjadi bahan yang tidak aktif. Kemampuan
detoksifikasi ini terbatas, sehingga tidak semua bahan yang masuk dapat di
detoksifikasi dengan sempurna, tetapi ditimbun dalam darah dan dapat
menimbulkan kerusakan hepatosit. Dalam melakukan fungsi detoksifikasi,
senyawa yang memiliki sifat meracuni sel-sel tubuh dirubah oleh enzim hepatosit
melalui oksidasi, hidrolisis, atau konjugasi (Price & Wilson, 2012) menjadi
senyawa yang tidak lagi bersifat toksik, dan kemudian dibawa oleh darah ke ginjal
untuk diekskresi (Junquiera & Carneiro, 2012).

2.2 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme. Sekitar 80-85% bilirubin
terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit-makrofag. Masa
hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml
darah dan menghasilkan 250-350 mg bilirubin. Pada katabolisme hemoglobin
(terutama terjadi dalam limpa), globin mula-mula dipisahkan dari heme, setelah
itu heme diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk
dari biliverdin. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam tiga tahap :
1) Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang diberi simbol
sebagai protein Y dan Z, 2). Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat
dikatalisis oleh enzim glukoronil transferase dalam retikulum endoplasma.
Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air dan dapat
diekskresi dalam empedu dan urin, 3). Transpor bilirubin terkonjugasi melalui
membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak
terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu kecuali setelah proses foto
oksidasi atau fotoisomerasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi
menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat
ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami
siklus eneterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urin
(Anonymous, 2018).

8
2.3 Obstruktif Jaundice
2.3.1 Definisi

Penyakit kuning adalah manifestasi yang sering terjadi dari gangguan saluran
empedu. Penyakit kuning obstruktif secara tegas didefinisikan sebagai suatu
kondisi yang terjadi karena pemblokiran di jalur antara situs konjugasi empedu di
dalam sel hati dan masuknya empedu ke dalam duodenum melalui ampula.
Pemblokiran tersebut mungkin bisa saja terjadi secara intrahepatik atau
ekstrahepatik di saluran empedu (Prabakar & Raj, 2016).

Zat yang biasanya diekskresikan ke empedu akan menumpuk di sistem


pembuluh darah karena obstruksi dari cabang bilier dan ketidakmampuan untuk
mengeluarkan empedu menuju ke usus. Zat-zat ini, termasuk garam empedu,
memiliki efek toksik sistemik. Tidak diragukan lagi, koledokolitiasis adalah
penyebab utama obstruksi empedu, meskipun keganasan seperti
kolangiokarsinoma, kanker periampula dan pankreas, serta striktur jinak termasuk
pankreatitis kronis menjadi semakin umum (Wang & Yu, 2014).

2.3.2 Etiologi

Penyebab hiperbilirubinemia intrahepatik biasanya disebabkan oleh penyakit


hati parenkim, sehingga menyebabkan ketidakmampuan baik dalam
mengkonjugasi atau mengeluarkan bilirubin. Ini awalnya dapat menyebabkan
peningkatan sementara pada komponen yang terkonjugasi, diikuti oleh komponen
tidak langsung. Hal ini terlihat pada virus hepatitis, yang diinduksi obat dan
sirosis bilier primer. Pada pascahepatik menyebabkan terhambatnya aliran
empedu yang mungkin karena obstruksi sebagian atau seluruhnya dari saluran
empedu ekstrahepatik antara hati dan duodenum (Vagholkar, 2020).

Pada penderita yang memiliki penyebab ganas memiliki kemungkinan untuk


terjadinya ikterus obstruktif dibandingkan dengan penyebab jinak. Dalam
mengeksplorasi penyebab secara rinci, diantara penyebab ganas yaitu karsinoma
pankreas adalah penyebab tersering, bertanggung jawab atas sekitar 1/4 dari
keseluruhan penyebab perkembangan ikterus obstruktif. Di antara penyebab jinak,
koledokolitiasis (batu saluran empedu) adalah penyebab tersering, bertanggung
jawab atas hampir 1/3 dari keseluruhan penyebab ikterus obstruktif (Khan, 2019).

9
2.3.3 Faktor Risiko

Ikterus obstruktif merupakan kondisi klinis umum yang sebagian besar tidak
dilaporkan, terutama dikarenakan terbatasnya sumber daya seperti yang dimiliki di
mana hal itu merupakan tantangan utama bagi ahli bedah karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Agbo & Oboirien, 2017). Didapatkan faktor risiko
berdasarkan gender, 54 pria (39,1%) dan 84 sisanya (60,9%) adalah wanita. Rasio
pria dan wanita adalah 1: 1,6. Dan berdasarkan usia berkisar dari 14 hingga 84
tahun dengan usia rata-rata 58 tahun. Usia rata-rata penderita penyebab jinak
adalah 40 tahun (kisaran 16-52 tahun), sedangkan penderita penyebab ganas
adalah 62 tahun (kisaran 47-84 tahun). Rasio pria dan wanita untuk ikterus
obstruktif jinak adalah 1: 2,4, sedangkan untuk ikterus obstruktif ganas 1: 1,6
(Mabula et al, 2013).

Ada hubungan antara penyebab dan usia , ini menunjukkan bahwa prevalensi
ikterus obstruktif meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu juga didapatkan
ada hubungan yang signifikan antara temuan sonografi dan jenis kelamin. Telah
diamati bahwa penyebab ikterus obstruktif menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan (Gameraddin et al, 2015).

Obstruksi parsial atau lengkap dari duktus dapat dihasilkan oleh karsinoma
pankreas. Faktor risikonya adalah merokok dan konsumsi alkohol. Itu terjadi
dalam dekade keenam hingga kedelapan. Kurangnya pencitraan diagnostik yang
canggih dan karena fasilitas terapeutik tidak tersedia di sebagian besar pusat di
negara berkembang, hasil pengobatan ikterus obstruktif mungkin buruk. Penyebab
obstruksi dan faktor terkait mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan ikterus obstruktif. Hal tersebut telah terungkap bahwa ikterus obstruktif
terus dikaitkan dengan signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas terlepas dari
kemajuan terbaru keduanya dalam diagnosis pra operasi dan perawatan pasca
operasi. Jadi, memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien ini akan memfasilitasi sesuai manajemen
dan mengarah pada peningkatan kelangsungan hidup (Kurian et al, 2017).

10
2.3.4 Patofisiologi

Berdasarkan mekanismenya, ikterus obstruktif atau disebut kolestasis dibagi


menjadi 2 yaitu kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Hepatitis, keracunan
obat, penyakit liver karena alkohol, dan hepatitis autoimun merupakan penyebab
tersering yang mendasari mekanisme terjadinya kolestasis intrahepatik.
Sedangkan pada kolestasis ekstrahepatik, penyebab tersering yang mendasari
mekanisme terjadinya adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas
(Adithya, 2019) .
Kolestasis dapat terjadi baik dalam pola hepatoseluler dimana terdapat
gangguan pada sintesis empedu. Empedu adalah sesuatu yang sangat kompleks
dan larut dalam air. Pembentukan empedu mencakup berbagai mekanisme
konjugasi dengan regulasi yang bertingkat. Kandungan empedu diangkut dalam
kanalikulus melalui protein yang diangkut yang menciptakan gradien kimia dan
osmotik melalui mana air memasuki kanalikuli. Identifikasi kelainan dalam
beberapa protein transporter ini telah mengarah pada mekanisme pemahaman
penyakit tertentu yang lebih baik seperti kolestasis intrahepatik berulang jinak
(gen lokus F1C1) dan kolestasis intrahepatik familial progresif (gen lokus F1C2).
Kegagalan untuk mengangkut garam empedu ini menyebabkan penumpukannya
di dalam hati. Mekanisme kolestasis lainnya adalah obstruksi aliran empedu pada
saluran empedu ekstrahepatik. Empedu yang tertahan juga menyebabkan
hepatotoksisitas (Shah & John, 2019)

Gambar 2.2 Patofisiologi obstruksi jaundice (Shah & John, 2019).


11
Banyak cedera menyebabkan kolestasis yang mencakup etiologi bawaan dan
didapat. Frekuensi relatif tergantung pada populasi yang diteliti, sehingga pada
anak-anak, patofisiologi penting muncul dari sindrom kolestasis genetik
(misalnya, sindrom kolestasis intrahepatik familial progresif [PFIC], sindrom
Alagille), serta atresia bilier. Pada orang dewasa, kolestasis mencakup beragam
etiologi. Kolestasis genetik (misalnya, kolestasis berulang jinak, penyakit empedu
dari varian yang merusak pada gen MDR3) lebih jarang, dan paling sering
kolestasis bersifat akut, yaitu dalam konteks cedera hati akibat obat, kehamilan
(kolestasis kebidanan), sepsis, atau obstruksi bilier (intrinsik atau ekstrinsik ke
pohon bilier; baik jinak atau ganas). Ketika cedera kronis dan persisten,
penyebabnya kemungkinan besar berasal dari keluarga penyakit bilier autoimun,
seperti PBC, PSC, atau penyakit imunoglobulin G4 (IgG4). Kolestasis yang
berkepanjangan, parah dan kronis, terutama bila dikaitkan dengan kehilangan
saluran empedu (duktopenia), kemudian akan menyebabkan fibrosis dan sirosis.
Sindrom kolestatik yang berbeda juga dapat meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler atau kolangiokarsinoma, yang mungkin tidak terkait secara linier
dengan keparahan dan / atau durasi penyakit. Dampak dari hal ini pada penyakit
bilier kronis adalah ketika kolestasis berlangsung terus menerus, kapasitas
regenerasi terus menerus terganggu; ini kemudian menjadi faktor pendukung
dalam menentukan keseimbangan pembentukan fibrosis dan regresi (Onofrio &
Hirschfield, 2019).

2.3.5 Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis kita dapat menayakan klinis berdasakan etiologi yang


mendasari. Biasanya muncul klinis seperti penyakit kuning (sklera Ikterik), juga
ditemukan adanya tinja berwarna tanah liat atau seperti dempul, juga ditemukan
adanya urin berwarna gelap, ditemukan tinja berwarna tanah liat atau seperti
dempul dan juga ditemukan urin berwarna gelap. Pasien dapat mengalami
pruritis jika sudah lama tahap kronis dan mengalami nyeri perut kuadran kanan
atasdemam, mual dan muntah, serta penurunan berat badan . Timbulnya gejala
ini bisa bervariasi mulai dari gejala yang berkembang secara akut hingga
berbulan- bulan. Kita dapat menyakan durasi gejala, onset, riwayat keluarga dan
sosial sangat penting (Joseph & Samanth, 2020).
12
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang terperinci sangat penting dilakukan untuk


memeriksa tanda vital, melihat apakah ditemukan wajah pucat dan
ikterus skleral. Pemeriksaan abdomen kita dapat memeriksa apakah
adanya tenderness kuadran kanan atas (Murphy sign), hepatomegali
dan splenomegali. Pada pemeriksaan thoraks dilakukan pemeriksaan
pada jantung dan paru. Pada pemeriksaan jantung kita menilai tanda-
tanda gagal jantung kongestif dengan peningkatan tekanan vena
jugularis (TVJ) dan perpindahan suara jantung bisa sangat penting
untuk menentukan etiologi yang mendasari. Demikian pula
pemeriksaan paru-paru rinci untuk menilai efusi pleura, menentukan
satu sisi atau bilateral untuk membantu dalam menentukan etiologi
(Caucke et al, 2020). Pada obtruktf Jaundice didapati adanya sklera
yang ikterus urin berwarna gelap tua, feses berwarna pucat, nyeri
perut kanan atas, dan mual muntah (Yusmaidi et al, 2020).

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap

Beberapa rangkaian pemeriksaan darah lengkap yang dapat


dilakukan yaitu :

- Darah lengkap
- Bilirubin total
- Fraksi bilirubin
- Alkalin fosfat
- Viral hepatitis serologi
- Level antibodi antimitokondria
- Antibodi antinuclear
- Tumor marker (CA19-9, CEA, AFP).

b. Pemeriksaan urin

13
Pemeriksaan bilirubin urin

c. Pemeriksaan feses

Melihat ada atau tidak darah pada feses

d. Pemeriksaan radiologi

1. Pemeriksaan Foto Polos Abdomen

Pemeriksaan foto polos abdomen biasanya dipakai untuk


skrening dan melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga
abdomen. Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu
opak dikandung empedu atau di duktus kholedekus (Soetikno,
2007).
Pemeriksaan sinar X terhadap abdomen biasanya dilakukan
dengan pasien dalam posisi berbaring, proyeksi dengan posisi
tegak hanya dilakukan bila diagnosis klinis pasien dengan
abdomen akut.
Foto polos abdomen dilakukan dalam 3 posisi yaitu :
1. Supine, sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP)
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri jika
memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP
3. Left Lateral Decubitis, dengan sinar horizontal proyeksi AP
(Sandstrom, 2011)

Gambar 2.3 Foto polos abdomen posisi supine(Aprilia, 2013)

14
Gambar 2.4 Foto polos abdomen posisi errect(Aprilia, 2013)

Gambar 2.5 Foto polos abdomen posisi left lateral decubitis(Aprilia, 2013)

Intepretasi Foto Polos Abdomen Normal Penilaian Kualitas : Nama


pasien yang sebenanya, pajanan yang baik, tanpa rotasi dan penanda
anatomis (L atau R) pada foto. Foto telentang (AP) termasuk foto
abdomen yang rutin dilakukan. Foto tegak atau dekubitus abdomen
diperlukan untuk mendeteksi batas cairan (fluid level). Untuk medeteksi
udara bebas intraperitoneum dapat digunakan foto tegak thorak atau foto
dekubitus kiri abdomen. Penilaian gambaran gas usus: normalnya,
lambung dan usus besar mengandung gas. Satu-satunya gambaran batas
cairan yang normal terdapat didalam lambung dan kadang-kadang di
dalam duodenum proksimal. Tentukan posisi lambung di kuadran kiri atas
dan kolon yang membingkai tepi-tepi abdomen pada foto terlentang. Pada
foto tegak, kolon dilekatkan pada fleksura hepatic dan splenik oleh
ligamentum hepatokolikum dan frenikokolikum yang bersifat konstan.

Bila terdapat gas di dalam usus halus atau dicurigai terdapat


dilatasi usus halus, dianjurkan melakukan foto tegak atau dekubitus

15
abdomen untuk memperlihatkan batas cairan. Jejenum mengalami dilatasi
bila diameternya >3,5 cm, usus halus pertengahan mengalami dilatasi bila
diameternya >3 cm dan ileum dilatasi bila diameter yang terdilatasi
terdapat plika sirkularis atau lipatan yang menyilang diameter jejunum
secara transversal. Bila kolon tampak dilatasi, haustra harus ditemukan
untuk memastikan bahwa kolon tersebut mengalami dilatasi. Haustra
tampak saling mengunci (interdigitasi) dan tidak menyilang diameter
kolon, berbeda dengan plika sirkulasi (valvulae coniventes) di jejunum.
Kolon mengalami dilatasi bila diameter kolon transversum >3,5 cm atau
diameter sekum pada dasarnya >8 cm. Bayangan psoas diperiksa secara
bilateral: seharusnya simetris dengan tepi lateral sedikit konkaf. Periksa
bayangan ginjal, seharusnya memiliki panjang normal 10-12 cm atau
panjang longitudinal sepanjang 3,5 vertebra. Bayangan hati dan limpa.
Tepi inferior hati berbatas tegas, khususnya di bagian lateral.
Cairan adanya pengumpulan atau cairan bebas intraperitoneum. Garis
lemak (fat line) properitoneal bergeser kearah lateral oleh cairan bebas.
Cari adanya batu radioopak dan kalsifikasi di daerah kandung empedu,
ginjal dan ureter. Hati-hati dengan phlebolith vena pelvis yang dapat
menyerupai batu. Phlebolith berbentuk oval, halus dan terdapat bayangan
lusen kecil di dalamnya. Batu tampak padat dengan tepi tidak teratur.
Kalsifikasi pancreas berbentuk titiktitik dan aksis oblik. Kalsifikasi
vascular sering ditemukan di aorta pada pasien usia lanjut, penderita
diabetes dan penderita aortitis yang disebabkan oleh penyakit Takayashu.
Carilah adanya massa jaringan lunak dan gas ekstraluminal. Udara
akan terlihat hitam karena meneruskan sinar-x yang dipancarkan dan
menyebabkan kehitaman pada film sedangkan tulang dengan elemen
kalsium yang dominan akan menyerap seluruh sinar yang dipancarkan
sehingga pada film akan tampak putih. Diantara udara dengan tulang
misalnya jaringan lunak akan menyerap sebagian besar sinar X yang
dipancarkan sehingga menyebabkan keabu-abuan yang cerah bergantung
dari ketebalan jaringan yang dilalui sinar X. Udara akan terlihat relatif

16
banyak mengisi lumen lambung dan usus besar sedangkan dalam jumlah
sedikit akan mengisi sebagian dari usus kecil. Sedikit udara dan cairan
juga mengisi lumen usus halus dan air fluid level yang minimal bukan
merupakan gambaran patologis. Air fluid level juga dapat djumpai pada
lumen usus besar, dan tiga sampai lima fluid levels dengan panjang kurang
dari 2,5 cm masih dalam batas normal serta sering dijumpai di daerah
kuadran kanan bawah. Dua air fluid level atau lebih dengan diameter lebih
dari 2,5 cm panjang atau kaliber merupakan kondisi abnormal dan selalu
dihubungkan dengan pertanda adanya ileus baik obstruktif atau paralitik.
Banyaknya udara mengisi lumen usus baik usus halus dan besar
tergantung banyaknya udara yang tertelan seperti pada keadaan banyak
bicara, tertawa, merokok dan lain sebagainya. Pada keadaan tertentu
misalnya asma atau pneumonia akan terjadi peningkatan jumlah udara
dalam lumen usus halus dan usus besar secara dramatik sehingga untuk
pasien bayi dan anak kecil dengan keluhan perut kembung sebaiknya juga
difoto kedua paru sekaligus karena sangat besar kemungkinan penyebab
kembungnya berasal dari pneu-monia di paru. Beberapa penyebab lain
yang mempunyai gambaran mirip dengan ileus antara lain pleuritis,
pulmonary infarct, myocardial infact, kebocoran atau diseksi aorta
torakalis, payah jantung, perikarditis dan pneumotoraks.
Selain komponen traktus gastrointestinal, juga dapat terlihat kontur
kedua ginjal dan muskulus psoas bilateral. Adanya bayangan yang
menghalangi kontur dari ginjal atau m.psoas dapat menujukkan keadaan
patologis di daerah retroperitoneal. Foto radiografi polos abdmen biasa
dikerjakan dalam posisi pasien terlentang (supine). Apabila keadaan pasien
memungkinkan akan lebih baik lagi bila ditambah posisi berdiri. Untuk
kasus tertentu dilakukan foto radiografi polos tiga posisi yaitu posisi
supine, tegak dan miring kekiri (left lateral decubitus). Biasanya posisi
demikian dimintakan untuk memastikan adanya udara bebas yang
berpindah-pindah bila difoto dalam posisi berbeda.

17
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) adalah alat pemeriksaan dengan
menggunakan ultrasound (gelombang suara) yang dipancarkan oleh
transduser. Suara merupakan fenomena fisika untuk mentransfer energi
dari satu titik ke titik yang lainnya sehingga mendapatkan gambaran yang
jelas hampir semua bagian tubuh, kecuali bagian tubuh yang dipenuhi
udara atau ditutupi tulang.(Solution, 2016)
Ultrasonografi sangat berperan dalam men diagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis. pemeriksaan USG sangat mudah melihat
pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat
mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi.
Apabila terjadi sumbatan daerah duktus bilkiaris yang paling sering adalah
bagian distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan
cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian proximal.
2.1 Jenis-jenis Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)(Solution, 2016)
1. USG 2D
USG ini menghasilkan gambar “datar” yang tidak terlalu jelas karena
terlihat hanya dari satu sisi dan biasanya sulit dipahami oleh pasien.
USG 2D ini dapat digunakan untuk melihat organ-organ internal,
melihat gerakan bayi, mengukur panjang dan berat janin, bahkan bisa
untuk mendeteksi kelainan sebesar 80– 90%. Namun, jika dokter
menemukan kecurigaan kelainan pada bayi, biasanya dokter akan
menyarankan Anda untuk melakukan USG dengan dimensi yang lebih
tinggi. Gambar hasil USG ini hanya bisa di-print. Biaya untuk USG ini
paling murah dibanding dengan USG 3D dan 4D.
2. USG 3D.
USG ini menghasilkan gambar tiga dimensi yang lebih detail sehingga
mudah dipahami oleh pasien. USG 3D dapat digunakan untuk melihat
anatomi tubuh janin dan mendeteksi kondisi kelainan pada janin,
seperti kelainan bibir sumbing atau bayi terlilit tali pusar. Gambar
yang dihasilkan dengan USG 3D dapat disimpan dalam CD format jpg

18
dan dilihat di komputer. Biaya USG ini lebih mahal dibanding dengan
USG 2D.
3. USG 4D
USG 4D ini biasa disebut juga sebagai SD live atau real time. USG ini
paling canggih karena dapat menghasilkan gambar tiga dimensi, lebih
detail, akurat, dan tampak seperti aslinya, sehingga seperti sebuah
film. Pasien dapat melihat dengan jelas bentuk anggota tubuh, gerakan
janin, dan ekspresi wajahnya, seperti bentuk hidung bayi, gerakan
sedang mengisap jempol, atau menggerakan kaki . USG 4D ini dapat
mendeteksi kelainan pada janin dengan lebih jelas, seperti kelainan
plasenta atau kehamilan ektopik. Gambar yang dihasilkan dengan
USG 4D dapat disimpan dalam format jpg dan video serta dilihat di
komputer. Biaya USG ini paling mahal dbanding dengan USG 2D dan
3D.

2.2 Indikasi Pemeriksaan Abdominal USG


Indikasi untuk pemeriksaan USG abdomen dan / atau termasuk
retroperitoneum, tidak terbatas pada: (Palmer, 2003; Hiraga, 2016)
 Abdomen:
 Nyeri perut terlokalisasi dengan gambaran klinis tak terbatas
 Dugaan abses intraabdomen.
 Pyrexia yang tidak diketahui asalnya
 Massa abdomen nonspesifik
 Dugaan cairan intra-abdominal (asites)
 Trauma perut
 Hati :
 Hati Membesar (Hepatomegali)
 Abses hati yang dicurigai
 Penyakit kuning
 Trauma Perut

19
 Asites
 Metastasis yang dicurigai di hati
 Massa hati yang dicurigai
 Nyeri perut kanan atas
 Skrining untuk Echinococcosis Endemik
 Hempedu
 Nyeri di perut kanan atas: dugaan batu empedu dan / atau
kolesistitis
 Penyakit kuning
 Massa perut kanan atas teraba
 Gejala ulkus peptikum berulang
 Prexia yang tidak diketahui asalnya
 Pankreas :
 Nyeri perut bagian atas, akut atau kronis
 Penyakit kuning
 Massa perut bagian atas
 Demam terus menerus, terutama dengan nyeri perut bagian atas
 Penyakit maglinant yang dicurigai
 Pankreatitis kronis berulang
 Dugaan komplikasi pankreatitis akut, terutama pseudokista atau
abses
 Ginjal Polikistik: kista di limpa hati
 Trauma perut langsung, terutama pada anak-anak
 Limfa :
 Spleenomegali (limpa membesar)
 Massa perut kiri
 Trauma perut tumpul
 Nyeri perut bagian atas kiri
 Abses subphrenic dicurigai
 penyakit kuning dikombinasikan dengan anemia

20
 enchinococcosis
 Asites atau cairan intra abdominal terlokalisasi
 dugaan maglignansi, terutama limfoma atau leukemia
 Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan / atau retroperitoneal
harus dilakukan jika ada alasan medis yang valid.

2.3 Kontraindikasi Pemeriksaan Abdominal USG (Hiraga, 2016)


Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk melakukan USG
transabdominal. Seseorang harus berhati-hati untuk tidak memindai
luka atau sayatan untuk menghindari kontaminasi dan infeksi.
Warna dan pulsed Doppler tidak boleh diterapkan pada janin
karena secara teori berisiko radiasi pada janin.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Ultrasonografi (USG)


A. Kelebihan(Soetikno, 2007)
 Pasien dapat diperiksa langsung tanpa persiapan dan memberi hasil
yang cepat.
 Bersifat non invasif (tidak terjadi efek samping) sehingga dapat
dilakukan pula padaanak-anak. Aman untuk pasien dan operator,
karena tidak tergantung pada radiasiionisasi.
 Memberi informasi dengan batas struktur organ sehingga memberi
gambarananatomis lebih besar dari informasi fungsi organ
 Semua organ kecuali yang mengandung udara dapat ditentukan
bentuk, ukuran, posisi, dan ruang interpasial.
 Dapat membedakan jenis jaringan dengan melihat perbedaan
interaksi dengangelombang suara.
 Dapat mendeteksi struktur yang bergerak seperti pulsasi fetal
 Dapat juga mendeteksi kanker payudara.
B. Kekurangan
 Dapat ditahan oleh kertas tipis.

21
 Antara tranducer (probe) dengan kulit tidak dapat kontak dengan
baik(interface) sehingga bias terjadi artefak sehingga perlu diberi
jelly sebagai penghantar ultrasound.3)
 Bila ada celah dan ada udara, gelombang suara akan dihamburkan.
 Tidak 100% akurat
 Perlu diketahui, akurasi/ketepatan pemeriksaan USG tidak 100%,
melainkan 80%

Setiap pemeriksaan USG harus memberikan informasi tiga dimensi


tentang area yang diselidiki dan semua organ di sekitarnya. Ini akan
membutuhkan banyak pemindaian dalam proyeksi yang berbeda. sangat
jarang satu pemindaian dalam satu bidang memberikan informasi yang
cukup untuk memungkinkan diagnosis yang benar dibuat.

Gambar 2.6 Cara pemeriksaan USG(Palmer, 2003)

Gambar 2.7 Posisi Pasien Pemeriksaan USG(Palmer, 2003)

Selama pemeriksaan, praktisi ultrasound harus menunjukkan:


(Thomson et al., 2015)

22
1. Anatomi / varian normal dari organ dan struktur perut termasuk
penampilan yang berkaitan dengan usia setiap organ di setidaknya
dua bidang. (Ini harus mencakup penilaian ukuran, garis besar dan
ultrasound karakteristik);
2. Temuan patologis termasuk proses fokal dan difus serta temuan
hemodinamik terkait (penilaian sebelum dan sesudah operasi);
3. Adanya cairan intraabdomen, kumpulan cairan fokal, atau massa;
4. bila relevan secara klinis: anatomi vaskular termasuk posisi, jalur,
dan lumen pembuluh darah yang relevan (pengamatan
hemodinamik termasuk ada / tidaknya aliran, arah, kecepatan dan
Bentuk gelombang Doppler).

Praktisi ultrasound harus dapat menyesuaikan pemeriksaan sesuai


dengan presentasi klinis, dan penekanan pemeriksaan struktur perut dapat
diubah sesuai dengan skenario klinis dan riwayat pasien.

Gambar 2.8 Mencitrakan struktur tubuh yang sama dari posisi dan sudut
transduser yang berbeda. Kiri: hanya kutub atas ginjal yang terlihat dengan baik.
Kanan: kutub atas kabur, tapi bagian ginjal lainnya terlihat jelas (Palmer, 2003)

23
Gambar 2.9 Gambaran oblique (atas) dan transversal (bawah) yang menunjukkan
portal dan vena hepatik serta vena kava inferrior (Palmer, 2003)

Gambar 2.10 Gambaran Transverse : abses hati yang multipel (amoebic) (Palmer,
2003)

Gambar 2.11 Gambaran Longitudinal : Normal, hempedu terlihat normal (Palmer,


2003)

24
Gambar 2.12 Gambaran longitudinal : Terlihat batu hempedu multiple (kiri), 2 batu
hempedu berukuran besar (kanan) (Palmer, 2003)

Gambar 2.13 Gambaran dari ultrasonografi dari traktus bilier intrahepatic; kanan
dan kiri traktus bilier bertemu pada duktus bilier (Serafino et al, 2018).

25
Gambar 2.14 Gambaran anekoik pada duktus bilier adanya kista pada
duktus bilier (Serafino et al, 2018).

Gambar 2.15 Gambaran ultrasound dari primary sclerosing cholangitis dimana


koleduktuktus bilier menjadi dilatasi dengan diameter kurang lebih 9 mm
(radiopedia.org)

26
Gambar 2.16 Gambaran ultrasonografi adanya batu pada empedu (a) dileher (b) di
badan (c) fundus dari kandung empedu (Serafino et al, 2018).

3. Pemeriksaan Computed tomography CT

Computed tomography (CT) memiliki pengaruh yang besar


terhadap praktik kedokteran. Baik dalam aplikasi spektrum klinis
dan peran yang telah dimainkan CT meningkatkan pemahaman kita
tentang penyakit yang lebih mendalam. Dengan pemahaman yang
mendalam tentang anatomi, fisiologi, dan patologi, CT telah
memfasilitasi kemajuan penting dalam deteksi dan manajemen
penyakit (Rubin, 2014).
Pemeriksaan abdomen CT banyak berperan penting
dikarenakan memiliki kemampuan dan resolusi morfologis yang
sangat baik. Berikut beberapa indikasi dalam melakukan pemeriksaan
CT abdomen (Caraiani et al, 2020) :

3.1 Indikasi CT abdomen


- Hati :
 Karakterisasi lesi hati fokal, misalnya kista, lemak fokal,
hemangioma, dan malformasi vaskular, hepatoseluler
karsinoma (HCC), hepatoblastoma, metastasis,
kolangiokarsinoma, hiperplasia nodular fokal, dan adenoma
hati.
 Mendeteksi lesi hati fokal

27
 Evaluasi kecurigaan metastasis
 Evaluasi patensi vaskular
 Evaluasi penyakit hati kronis, seperti hemokromatosis,
hemosiderosis, atau steatosis
 Evaluasi adanya sirosis hati
 Evaluasi patensi vaskular
 Evaluasi adanya infeksi
 Evaluasi respon tumor terhadap obat
 Evaluasi kelainan kongenital

- Pankreas :
 Karakterisasi lesi tak tentu dan / atau pembesaran tak
terjelaskan yang terdeteksi dengan modalitas pencitraan lain
 Identifikasi penyebab obstruksi saluran pankreas, termasuk
batu, striktur, atau massa
 Deteksi dan penilaian pra operasi neoplasma pankreas
 Deteksi dan karakterisasi anomali saluran pankreas
 Evaluasi kumpulan cairan atau fistula pankreas atau
peripankreas
 Evaluasi pankreatitis kronis, termasuk penilaian fungsi
eksokrin pankreas
 Perawatan pasca operasi / tindak lanjut setelah operasi
pankreas

- Limfa :
 Deteksi dan karakterisasi dugaan kelainan difus limpa
 Evaluasi kecurigaan pada jaringan limpa aksesori
 Karakterisasi lesi tak tentu yang terdeteksi dengan modalitas
pencitraan lain

- Ginjal, ureter, dan retroperitoneum :

28
 Karakterisasi dan stadium neoplasma ganas retroperitoneal
 Identifikasi penyebab obstruksi saluran kemih
 Evaluasi kelainan ureter
 Mendeteksi tumor pada ginjal
 Evaluasi dugaan fibrosis retroperitoneal dan lesi jinak lainnya

- Saluran empedu dan kantung enpedu :


 Deteksi saluran empedu atau batu kandung empedu
 Evaluasi pelebaran dan / atau penyempitan saluran empedu
 Evaluasi dugaan kelainan kongenital kandung empedu atau
saluran empedu
 Deteksi, stadium dan tindak lanjut pasca perawatan kanker
saluran empedu dan kandung empedu
 Deteksi gambaran anatomi kebocoran empedu.

Penggunaan teknik pencitraan medis untuk
penggambaran dan tindak lanjut penyakit telah berkembang
pesat selama dua dekade terakhir. Tidak terkecuali pada
penyakit abdomen dan diagnosis, di bidang patologi abdomen,
sangat bergantung pada teknik pencitraan. Sayangnya, teknik
pencitraan tersebut dapat menghasilkan efek samping yang
berbahaya kepada pasien atau memiliki kontraindikasi yang
pada akhirnya dapat membatasi kapasitas dalam diagnostik
(Caraiani et al, 2019) :

3.2 Kontraindikasi dan efek samping


- Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk pemeriksaan CT,
walaupun terdapat risiko efek samping terhadap pasien akibat
paparan radiasi dan pemberian media kontras.

29
- Efek samping
1. Radiasi peng-ion
CT abdomino-pelvis adalah pemeriksaan dengan dosis
radiasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan CT dada dan
kepala, karena banyaknya organ radiosensitif.
CT abdomen dan pelvis memberikan dosis 6-10 mSv untuk
pasien dewasa. Ahli radiologi memiliki tanggung jawab untuk
menjaga dosis radiasi dan paparan pada pasien, namun
meskipun demikian masih mendapatkan gambar yang dapat
diinterpretasikan sehingga memungkinkan diagnosis yang
tepat.
Tindakan pencegahan harus diambil, terutama pada anak-
anak dan pasien wanita, yang lebih rentan terhadap efek yang
merugikan; anak-anak mungkin sepuluh kali lebih sensitif
terhadap radiasi dibandingkan orang dewasa. Risiko relatif
karsinogenesis adalah 3 kali lebih tinggi pada anak-anak di
bawah usia 10 tahun dibandingkan pada orang dewasa.
2. Media kontras
Alergi adalah kelemahan utama dari pemberian media
kontras CT. Alergi terhadap media kontras jarang terjadi
dengan hanya 0,6% pasien yang mengalami reaksi alergi.
Reaksi alergi yang parah memiliki insiden yang lebih rendah,
terjadi pada 0,04% pasien. Hampir semua reaksi yang
mengancam jiwa terhadap media kontras terjadi di 20 pertama
menit setelah injeksi media kontras. Riwayat alergi
sebelumnya terhadap media kontras beryodium dianggap
sebagai kontraindikasi relatif yang kuat terhadap pemberian
media kontras.
Penggunaan CT scan abdomen umumnya dievaluasi
dengan arah transversal; pasien dilihat dari kaki ke atas

30
sebagaimana adanya. Abdomen juga dapat dilihat dari arah
koronal dan sagital. CT scan abdomen digunakan untuk
menggambarkan organ, jaringan dan pembuluh darah di perut.
Selain itu, saat melakukan CT scan dengan agen kontras
intravena, fase di mana pemindaian dilakukan juga relevan.
(Verdult, 2017) :

Gambar 2.17 Posisi potongan normal pada abdomen


CT Scan (Verdult, 2017)

Pada kasus obstruksi jaundice CT scan dapat


memberikan detail tentang struktur dari sumbatan yang
memberikan diagnosis etiologi lithiasik atau obstruksi non-
litiasik, mampu memberikan gambaran sifat jinak atau ganas,
dam memberi gambaran informasi tentang lokasi atau regional
terkait (Petrescu et al, 2015).
Pada kasus obstruksi jaundice keakuratan CT dalam
menentukan keberadaan dan tingkat obstruksi masing-masing
81 sampai 94% dan 88 sampai 92%. Diltasi intrahepatik
mudah terlihat pada CT karena koefisien atenuasi mereka lebih

31
rendah daripada parenkim hati normal. Agen kontras iodin
intravena cenderung meningkatkan koefisien atenuasi
parenkim hati di sekitarnya. Dilatasi common hepatic dan
common bile duct dapat diidentifikasi sebagai struktur
hipodens bulat atau agak oval yang terlihat di daerah hilus hati
atau kepala pankreas (Padmalatha et al, 2015).

Prosedur pemeriksaan (Radiopaedia.org) :


 Periksa fungsi ginjal terlebih dahulu
 Pasien berbaring telentang pada meja CT
 Telusuri gambar untuk perencanaan selanjutnya
 Kontras IV disuntikkan melalui injeksi
 Tunggu 60 detik
 Lakukan scan mulai dari diafragma sampai simfisis pubis

Gambar 2.18 Gambaran normal CT abdomen pada fase vena portal. Pasien
meminum agen kontras oral yang positif. (Verdult, 2017)

32
Gambar 2.19 Gambaran perbadingan bile duct normal dan dilatasi
intrahepatic bile duct. (Verdult, 2017).

Gambar 2.20 Gambaran dilatasi common bile duct. (Foo et al, 2007).

33
Gambar 2.21 Gambaran dilatasi duktus pankreas (Kim et al, 2017).

Gambar 2.22 Gambaran adanya batu multiple pada kantung empedu (Alharthi et al,
2012).

34
Gambar 2.23 Potongan axial gambaran ctscan yang terlihat adanya
karsinoma dibagian caput pankreas pada fase vena portal dimana
menunjukkan adanya “double duct sign” (arrow putih) yaitu adanya
dilatasi pada duktus bilier dan pankreas (radiopedia.org).

Gambaran 2.24 Gambaran abses hepar piogenik pada fase vena porta
dimana terdapat lesi berdensitas cairan yang tidak beraturan dengan
pening lesi bagian tepi dalam dengan cincin bagian luar” yang
hipoatenuasi “double target membentuk “cluster sign” ada beberapa lesi
yang lebih kecil di perifer yang menyatu yang sign” (radiopedia.org).

35
Gambar 2.25 Gambaran potongan coronal CT scan terlihat massa
pada periampular duodenum dan tidak ditemukan dilatasi pada CBD .
massa ini menunjukkan adanya adenoma ampularis (Raman, 2014).

4. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) dan


Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

4.1 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

4.1.1 Definisi

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


merupakan perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi
untuk mendapatkan anatomi dari sistem traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram)
dengan bantuan media kontras positif dan menggunakan peralatan
fiber optic endoskopi untuk menegakkan diagnosis atau dapat
didefinisikan sebagai suatu teknik yang mengkombinasikan endoskopi
dan fluoroskopi untuk mendiagnosis dan menangani masalah yang
berkaitan dengan duktus biliaris dan duktus pankreatikus. Fluoroskopi
adalah aplikasi khusus pencritaan sinar-X

4.1.2 Tujuan pemeriksaan Endoscopic Retrograde


Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP digunakan untuk melihat secara langsung keadaan di dalam


saluran cerna bagian atas terutama untuk mendiagnosis dan mengobati

36
kondisi saluran empedu termasuk batu empedu, penyempitan akibat
inflamasi (bekas luka), kebocoran (dari trauma dan operasi) dan
kanker. ERCP dapat digunakan untuk alasan diagnostik dan terapi.

4.1.3 Indikasi pemeriksaan ERCP

 Ikterus obstruktif
 Batu saluran empedu
 Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas
 Pankreas dan kista pankreas
 Divertikel duodenu sekitar papil
 Metastasis tumor ke sistem bilier dan pankreas
 Batu empedu dan pankreatitis
 Oral dan intravena cholecystography gagal
 Trauma terapeutik atau iatrogenic saluran empedu
 Disfungsi sfingter Oddi
 Tumor pankreas
4.1.4 Kontraindikasi pemeriksaan ERCP

 Infark miokard
 Alergi zat radiokontras
 Penyakit kardiopulmonal
 Stenosis pylorus dapat menghalangi endoskopi
 Pankreatitis akut
 Glaucoma
 Pseudokista (Mustika S, 2020)

37
Gambaran Normal pada Pemeriksaan ERCP

Gambar 2.26 Gambaran anatomi radiologi normal pada ERCP (J Jeffrey et


al, 2018)

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography atau ERCP


merupakan endoskopi yang dilewatkan melalui mulut masuk ke duodenum
dan kemudian mengkanulasi ampula Vater, setelah itu kontras dapat
disuntikkan dan memberikan citra pada duktus biler, duktus pankreas dan
sekitarnya (Bickle I et al, 2020).

Gambaran Patologi pada Pemeriksaan ERCP

Gambar 2.27 Primary sclerosing cholangitis: pada pemeriksaan ERCP


tampak dilatasi pada duktus bilier komunis dan bilier intrahepatik radikal
dengan adanya dilatasi fokal dan striktur (Makky H, 2020).

38
Gambar 2.28 Pankreatitis kronis: tampak gambaran pankreatitis dengan
dengan cabang yang menebal (bulky). Duktus pankreatikus utama normal
dan tidak ditemukan adanya penyempitan ataupun batu pada salurannya
(Conway et al, 2018)

4.1.6 Kelebihan ERCP dibandingkan MRCP

 Untuk melihat anatomi duktus dan dengan ERCP dapat melihat


perubahan dini percabangan duktus
 ERCP dapat melihat secara langsung dari papilla dan struktur
anatomi yang berdekatan
 Sampel diagnostik cairan pankreas atau pengerokan untuk sitology
dapat diperoleh salama ERCP
 ERCP dapat digunakan untuk tindakan terapi seperti insersi stenting
atau papilotomi ( Soetikno, 2007).

4.2 Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

4.2.1 Definisi
Pemeriksaan MRCP adalah teknik untuk mencitrakan traktus
biliary dan duktus pankreatikus. Traktus dan duktus tersebut berisi
slow moving fluid dan potongan yang digunakan dalam pemeriksaan
MRCP adalah potongan coronal dan axial. Informasi citra anatomi

39
yang baik adalah dengan memakai MRI dengan Tesla yang tinggi
yaitu lebih dari 1,5 T. Penggunaan Tesla yang tinggi maka visualisasi
dari traktus dan duktus pada sistem biliari dan pankreas akan jelas
MRCP adalah sebuah modalitas non-invasif, cepat, sederhana, tidak
menimbulkan rasa sakit, dan tidak bergantung pada keahlian dari
operator serta memiliki resiko yang rendah dan menjadi alternatif
menggantikan pemeriksaan Endoscopy Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) yang bersifat invasive. MRCP
secara luas telah banyak menggantikan ERCP sebagai gold stamdard
untuk diagnosis koledokolitiasis (Kartikasari Y et al, 2016).
4.2.2 Indikasi pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography

a. Penderita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan


penyebabnya apakah sumbatan pada duktus biliaris intra hepatik
atau ekstra hepatik, seperti:
 Kelainan di kandung empedu
 Batu saluran empedu
 Struktur saluran empedu
 Sclerosing cholangitis
 Kista duktus koledokus
b. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan
pankreas serta untuk menentukan kelainan baik yang jinak maupun
ganas, seperti:
 Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas
 Pankreatitis kronis
 Tumor pankreas
 Metastasis tumor ke sistem biliaris atau pankreas (Soetikno,
2007).

40
4.2.3 Kontraindikasi pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography

a. Kontraindikasi absolut
 Penggunaan pace maker jantung
 Penggunaan klip pada aneurisme serebral
 Implan koklea
 Benda asing pada ocular
b. Kontraindikasi relatif

 Adanya katup prostetik jantung


 Penggunaan neurostimulator
 Adanya prosthesis logam (metal prosthetic)
 Implan penis (Bonheur JB, 2019)

Gambaran Radiologi dengan Magnetic Resonance


Cholangiopancreatography

Gambaran Normal pada Pemeriksaan MRCP

Gambar 2.29 Gambaran anatomi normal pada pemeriksaan MRCP.


Pemeriksaan MRCP potongan coronal. Tampak lambung dan duodenum
berisi cairan sehingga struktur keduanya dapat terlihat jelas.

41
Gambaran Patologi pada Pemeriksaan MRCP

Gambar 2.30 Koledokolitiasis: pada pemeriksaan MRI abdomen + MRCP


tampak adanya batu pada kandung empedu yang menyebabkan terjadinya
dilatasi (Muzio BD, 2020)

Gambar 2.31 Klatskin tumor: pada pemeriksaan MRCP potongan


coronal menunjukkan adanya dilatasi pada duktus bilier intrahepatik
disertai dengan striktur atau penyempitan pada bagian proksimal dari
duktus bilie komunis (CBD). Tidak ada kelainan pada duktus pankreas.

42
Gambar 2.32 Karsinoma kandung empedu : pada pemeriksaan coronal
T2 tampak dialtasi kandung empedu dan intrahepatic biliary tree karena
karsinoma yang melibatkan bagian leher, cysict duct dan duktus bilier
(Radswiki, 2020).

4.2.5 Perbandingan MRCP dengan ERCP

 Kelainan duktus pankreatikus utama dapat dilihat dengan MRCP


 Sensitivitas untuk dilatasi cukup tinggi tapi harus hati-hati dalam
menilai adanya striktur dengan kaliber duktus yang normal
 Sensitivitas dalam mendeteksi filing defek lebih tinggi
 Perubahan dari percabangan duktus pankreatikus kurang baik
dengan MRCP

4.2.6 Kelebihan MRCP dibandingkan ERCP

 MRCP non invasif, tanpa radiasi dilakukan pada pasien rawat jalan
tanpa analgesik atau premedikasi dan tidak menyebabkan resiko
terjadinya pankreatitis akut
 Resolusi MRCP untuk duktus utama mendekati ERCP

43
 MRCP dapat dilakukan pada pasien yang endoskopi tidak berhasil
seperti dengan operasi gaster atau pankreas sebelumnya, obstruksi
jalan keluar gaster atau transplantasi pankreas
 MRCP dapat dikombinasikan dengan konvensional MR abdomen
atas untuk penelitian yang menyeluruh dari hati, pankreas dan
struktur vaskular yang berdekatan
 Pasien dengan oklusi total duktus pankreatikus utama, MRCP
menunjukkan anatomi bagoan proksimal
 MRCP dapat menunjukkan kista atau koleksi cairan yang
berdekatan dengan pankreas yang tidak berhubungan dengan
duktus pankreatikus dan tidak tampak sebagai bayangan opak pada
ERCP (Soetikno, 2007).

5. Pemeriksaan Endoskopi Ultrasonografi

Endoscopic Ultrasonografi adalah modalitas paling sensitif untuk


mengidentifikasi ikterus obstruktif terkait lesi, terutama pada kurangnya
fasilitas radiologis resolusi tinggi (Nugraha et al , 2019)

Endoskopi Ultrasonografi adalah modalitas in-vasive minimal yang


muncul sebagai pencitraan sistem pancreaticobiliaris. EUS menggabungkan
endoskopi untuk pencitraan bilier tree . Pemeriksaan bilier dilakukan dengan
menelusuri saluran empedu dari hilus hati ke duodenum dan juga dapat
mengidentifikasi saluran di sepanjang saluran pankreas dan vena portal.
(Garrow et al, 2007).

5.1 Indikasi Endoskopi Ultrasonografi


 Untuk staging dari kanker gastrointestinal
Staging pada keganasan gastro intestinal sangat penting untuk
pengobatan pasien.Karena mampu untuk membedakan lapisan dari
dinding gastrointestinal, Endoskopi ultrasonografi sangat penting
dalam mengklasifikasi kanker gastrointestinal.

44
 Untuk Mendeteksi Kanker Esofageal
Pada kanker esofageal, Endoskopi Ultrasonografi lebih superior
dibandingkan CT scan pada staging lokal. Endoskopi
Ultrasonografi sangat penting digunakan dalam mengevaluasi aksis
celiaca nodus limfa dan biasanya menunjukkan staging metastasis
disekitarnya.Ini akan membantu pasien dalam dalam terapi
neoadjuvant kemoradiasi.

 Untuk Mendeteksi Kanker Lambung


Keakuratan mendeteksi kanker lambung tidak dapat dibandingkan
dengan kanker esofagus dalam mendiferensiasi antara subserosa
dan lapisan serosa. Dalam pencitraannya banyak studi yang
mengatakan bahwa Endoskopi Ultrasound lebih baik dari pada CT
scan Kedua modalitas berguna dalam melokalisasi kanker lambung
dini.

 Untuk Mendeteksi Kanker Pankreas


Resolusi Endoskopi Ultrasonografi dapat memvisualisasi duktus
pankreas dan parenkim yang sangat sensitif dalam mendeteksi
tumor kecil, kista, dan invasi vaskular. Endoskopi Ultrasonografi
lebih unggul dibanding CT, MRI, PET dalam mendeteksi tumor
pankreas dengan sensitivitas staging yang lebih dari 90%.

 Untuk Penyakit pancreaticobiliary


 Lesi Kistik pada pankreas
Dengan meningkatnya avabilitas dari ct scan akan membuat
angka dari lesi kistik dari pankreas dan Mayoritas dari lesi ini
adalah kecil dan 10 persen menunjukkan menjadi neoplasma
yang ganas Endoskopi Ultrasound bukan hanya memberikan
resolusi tinggi pada gambaran tapi juga berguna dalam
sampling dari isi kista dan nodus limfa lokal.
 Pankreatitis Kronis
Pada Endoskopi Ultrasound sangat sensitif sebagai modalitas

45
dalam mendeteksi perubahan struktural paada pankreas kronis
yang mungkin akan absen pada transabdominal ultrasound,
CT, MRI, atau ERCP. Sering sulit untuk mendeteksi
perubahan pankreas pada pankreatitis kronis sesuai usia.Sering
sulit untuk mendeteksi dan menginterpretasi dalam
membdakan fokal kronik pankreatitis.
 Choledokolitiasis
Pada pasien dengan penyakit batu empedu, Endoskopi
Ultrasonografi memiliki sensitivitas lebih dari 90 % dalam
mendeteksi batu pada duktus bilier komunis. Endoskopi
Ultrasonografi dapat dibandingkan dengan ERCP dalam
diagnosis batu dalam kandung empedu

 Untuk mendeteksi adanya lesi pada subepitelial

Endoskopi Ultrasound memiliki peran penting dalam mengevaluasi


subepitelial lesi pada traktus gastrointestinal subepitelial.
Endoskopi Ultrasonografi dapat mendeterminasi ukuran, margin
dan lapisan origin dan tekstur ekhon dan dapat mendeferensiasi
antara lesi ektramural dan intramural. Lesi subepitelial yang jinak
dapat diidentifikasi dengan Endoskopi Ultrasonografi termauk
limpoma, kista simple , kista duplikasi kongenital, dan jaringan
pankreas ektopik dan varises. Juga lesi subepithelial yang ganas
juga didiagnosis oleh Ultrasonografi Endoskopi termasuk
metastasis,limfoma dan tumor carsinoid .

 Untuk medeteksi limfadenopati Mediastinal

Endoskopi Ultrasound dapat rdengan tanggap untuk


mngidentifikasi nodus limfa pada aortapulmonal,subkarina,
paratrakeal, dan daerah para esofageal , Endoskopi Ultrasonografi
Fine Needle Aspiration mendiagnosis keakuratan dalam malignansi
untuk diagnosisnya mencegah mediastinoscopy atau
thorakoskopi.Kesensiivitaan Ultrasonografi Endoskopi dalam

46
mendeteksi nodus limfa medastinum adalah 88-96%, dan juga
mampu untuk diferensiasi tuberkulosi,sarkoidosis dan limfoma
menggunakan Ultrasounografi Endoskopi dengan Fine Needle
Aspiration dan trukut biopsi.

 Untuk mendeteksi staging dari kanker paru


Endoskopi Ultrasound berguna dalam menentukan staging dari
pasien kanker paru . Endoskopi Ultrasonografi memiliki
kemampuan identifikasi nodus mediastinal dengan sensitivitas 83%
dan spesifisitas 97%. ( Reddy dan Willert, 2009).
5.2 Komplikasi Endoskopi Ultrasound
Komplikasi dari Endoskopi ultrasound muncul 1-2%. Umumnya
komplikasi yang muncul adalah infeksi pada lesi kistik, perdarahan,
pankreatitis, dan perforasi duodenum. Pada kistik pankreas
memiliki resiko besar dalam komplikasi infeksi dibanding massa
padat pada pankreas.Pada beberapa penelitian juga ditemukan
metastasis liver, dan juga menyebabkan perdarahan dari gastro
intestinal. (Yamau et al, 2009).

Gambaran Obstruktive Jundice pada endoskopi ultasound

Gambar 2.33 Gambaran endoskopi ultrasound menunjukkan pelabaran


duktus bilier komunis dan masa pada kaput pankreas(Nugraha et al,2019)

47
Gambar 2.34 Gambaran dari dilatasi duktus bilier komunis dan massa yang
menginfiltrasi pada duktus pankreas(Nugraha et al,2019)

Gambar 2.35 Gambaran dari pembesaran dan stenosis pada duktus


bilier komunis (Nugraha et al,2019)

48
Gambar 2.36 Gambaran dari stenosis duktus biliary komunis (Nugraha et
al,2019)

Gambar 2.37 Gambaran distal periampular terinfiltrasi pada duktus


bilier komunis dimana tnda panah tersebut menunjukkan adanya
penebalan pada papila menuju CBD (Rosch, 2003)

49
Diagnosis Banding
1. Hiperbilirubinemia Nonhemolitik Familial
Konidisi hiperbilirubinemia nonhemilitik familial disebut juga
sebagai hiperbilirubinemia primer, disebabkan oleh meningkatnya
produksi bilirubin di sumsum tulang akibat pemecahan prematur sel
darah normal abnormal (sintesis eritrosit tidak efektif). Pemecahan
eritrosit di perifer normal. Keadaan ini biasanya bersifat familial.
Terdapat beberapa sindrom yang menunjukkan seseorang menderita
hiperbilirubinemia nonhemolitik familial, yaitu:

a. Sindrom Gilbert
Sindrom ini adalah bentuk hiperbilirubin indirek dimana kadar
bilirubin serum 1-5 mg/dl yang bukan disebabkan oleh hemolitik,
dengan pemeriksaan fungsi hati, dan histologi hati normal. Bersifat
familial sebagai autosomal dominan. Sindrom ini disebabkan oleh
penurunan 70-75% aktivitas glukoronidasi oleh enzim uridine-
diphosphate-glucuronosyltransferaseisoform 1A1 (UGT1A1). Biasanya
sindrom ini diketahui secara kebetulan ketika dilakukan pemeriksaan
darah, misalnya saat pemeriksaan hepatitis virus. Gejala klinis berupa
ikterus ringan yang bersifat hilang timbul (intermitten) disertai rasa
mual dan perasaan tidak enak di hati. Ikterus bertambah bila ada infeksi
atau dalam kondisi puasa atau kelelahan. Tes diagnostik dengan
memberikan diet 400 kalori selama 24 jam, akan terjadi kenaikan
bilirubin serum dilanjutkan pemberian fenobarbital 60 mg tiga kali
sehari akan menurunkan bilirubin serum. Prognosis baik.

b. Sindrom Crigler-Najjar
Ini merupakan penyakit yang jarang, diperkirakan 0,6-1,0 per satu
juta kelaihiran. Bentuk ikterus ini disertai dengan kadar bilirubin
indirek serum yang sangat tinggi disebabkan oleh tidak ditemukannya
ekspresi UGT1A1 pada jaringan hati sehingga konjugasi bilirubin
sangat rendah. Tidak ditemukan adanya respon dengan pengobatan
fenobarbital, dimana obat ini akan menginduksi enzim UGT1A1.
Diperlukan flebotomi dan plasmafaresis untuk menurunkan bilirubin

50
serum dan selalu berhasil.

c. Sindrom Dubin-Johnson
Ikterus pada sindrom ini bersifat kronik, benigna dan hilang
timbul dengan kenaikan kadar bilirubin direk dan indirek serta adanya
biliruin ditemukan di urin. Kadar bilirubin serum dapat mencapai 25
mg/dl. Sindrom Dubin Johnson mempunyai gangguan dalam sekresi
empedu dan peningkatan sekresi metabolit leukotrien dalam urin.
Secara makroskopi hati berwarna hitam-kehijauan (black-liver
jaundice) dan secara mikroskopik terdapat pigmen coklat pada pada sel
hati yang tidak mengandung besi ataupun empedu, diperkirakan pigmen
tersebut merupakan melanin. Gejala ikterus tampak jelas pada pasien
selama hamil atau minum obat kontrasepsi karena keduanya
mengurangi fungsi ekskresi hati (Taroeno & Elia, 2014).

2. Hiperbilirubinemia Hemolitik Non-Autoimun


Anemia hemolitik atau ikterus pre hepatik adalah kelainan yang
terjadi sebelum hepar, yakni disebabkan oleh berbagai hal disertai
meningkatnya proses hemolisis (pecahnya sel darah merah) yang
terdapat pada inkompatibilitas golongan rhesus, ABO, kelainan eritrosit
kongenital, talasemia, defisiensi G6PD, sferositosis dan malaria. Pada
ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti dengan
peningkatan urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan di
urin karena bilirubin tidak terkonjugasi sehingga tidak larut dalam air.

3. Hiperbilirubinemia Hemolitik Autoimun


Ikterus pre hepatik pada anemia Hemolitik Autoimun (AHAI)
merupakan sebuah kelainan yang dikarakteristikkan dengan adanya
reaksi autoantibodi yang diproduksi sistem imun tubuh sendiri yang
menyerang langsung sel darah merah sehingga mengalami lisis. AHAI
diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu tipe hangat (75%), tipe dingin
(15%) dan tipe campuran (5%). Sedangkan berdasarkan ada atau
tidaknya penyakit yang mendasari, AHAI dibagi menjadi dua yaitu
primer dan sekunder.

Manifestasi klinis dari AHAI umumnya akan terlihat dalam jangka


51
waktu beberapa bulan hingga tahun, tergantung pada keparahan anemia
yang diderita pasien. Manifestasi klinis juga dibedakan berdasarkan
adanya penyakit dasar dan derajat hemolisis yang bergantung pada tipe
autoantibodi. Pasien dengan tipe hangat (IgM dan IgG) cenderung
memiliki keparahan hemolisis yang tinggi dengan angka mortalitas
yang tinggi dibandingkan AHAI tipe dingin. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis sistematik mengenai adanya rasa lelah, mudah
mengantuk, sesak napas, cepat perlangsungan gejala, riwayat
pemakaian obat dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didapati pucat, ikterik, splenomegali dan hemoglobinuri. Pada
pemeriksaan serologis dijumpai adanya antibodi anti-eritrosit yang
dapat terdeteksi dengan Direct Antiglobulin Test atau Coomb’s test
(Gustia, 2020).

2.3.6 Tatalaksana
Terapi spesifik kolestasis sangat bergantung dari penyebab dan tipe
kolestasis. Salah satu terapi yang sering dilakukan pada kolestasis obstruksi
adalah dekompresi bilier. Tata laksana kolestasis intrahepatik
(hepatoseluler) dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab dan gejala
yang muncul merupakan tata laksana yang tepat. Tata laksana dengan
dekompresi bilier pada batu saluran empedu yaitu sfingterotomi endoskopi
dengan atau tanpa pemasangan stent dapat mengurangi obstruksi. Demikian
juga pada striktur common bile duct (CBD) jinak, dilatasi striktur dan
pemasangan stent dapat meredakan obstruksi. Pada obstruksi maligna,
tergantung pada stadium penyakit, reseksi bedah pada lesi obstruksi lebih
disukai (Shah, 2020).

Beberapa contoh tata laksana medikamentosa, yaitu:

1. Asam ursodeoksikolat

Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada


pruritus yang disebabkan kolestasis. Disamping itu pula, obat ini berfungsi
sebagai hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah 10-20
mg/kgBB/hari.

2. Kolestramin

52
Merupakan resin pengikat asam empedu dimana membentuk kompleks
yang tidak dapat diserap oleh usus, menghambat reuptake enterohepatik
dari garam empedu usus dan meningkatkan ekskresinya. Obat ini dapat
digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi sirkulasi
enterohepatik. Dosis yang diberikan 0,25-0,5 g/kgbb/hari.

3. Barbiturat

Merupakan obat antikonvulsan yang digunakan dalam terapi kolestasis


dimana obat ini mengganggu transmisi impuls dari talamus ke korteks
otak, mengakibatkan ketidakseimbangan mekanisme penghambatan
sentral. Obat ini menginduksi sistem CYP450 dalam pengobatan
hiperbilirubinemia neonatal dan menurunkan kadar bilirubin pada
kolestasis kronis.

4. Antibiotik
Agen antituberkular seperti Rifampin akan merangsang enzim hati dan
mengurangi pruritus pada kolestasis.

Terapi malabsorpsi lemak pada prinsipnya melibatkan substitusi


makanan. Pada pasien usia lanjut, diet yang kaya karbohidrat dan protein
dapat diganti dnegan diet yang mengandung trigliserida rantai panjang. Pada
bayi hal itu mungkin tidak dapat dilakukan, penggantian dengan trigliserida
rantai menengah akan meningkatkan penyerapan lemak dan nutrisi pada
bayi. Pada kolestasis kronis perlu diberikan perhatian lebih untuk mencegah
defisiensi vitamin yang larut dalam lemak terutama pada kasus anak-anak.
Pemberian formulasi suplemen vitamin A, D, E, K yang larut lemak perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan melancarkan
metabolisme dalam tubuh (Nazer, 2017).

2.3.7 Prognosis

Prognosis pasien penyakit kuning obstruktif atau kolestasis sangat


bergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk prognosis buruk adalah
ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja berwarna dempul,
riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapat
inflamasi hebat pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier, ada

53
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi, diantaranya sentral
rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis.
Pada sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi, pasien mempunyai prognosis
yang lebih baik dibandingkan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal
akibat metabolik maupun genetik. Angka kesembuhan kolestasis
intrahepatik berkisar 60-80% (Cochran, 2020

54
BAB III
KESIMPULAN

Hepar merupakan organ atau kelenjar terbesar didalam tubuh dengan


struktur halus, lunak dan lentur yang secara fisiologis salah satunya adalah
mensekeriskan cairan empedu ke saluran empedu yang terdiri dari pigmen
empedu dan asam empedu. Terjadinya sumbatan pada jalur diantara
konjugasi empedu didalam sel hepar serta masuknya empedu ke dalam
duodenum melalui ampula, dalam hal ini dapat merupakan awal dari
terjadinya obstruktif jaundice (kolestasis). Kolestastis bisa terjadi secara
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Penyebab tersering dijumpai pada
intrahepatik biasanya adalah penyakit hati parenkim, hepatitis autoimun,
penyakit liver karena alkohol, dan keracunan obat. Sedangkan pada
ekstrahepatik adalah terjadinya batu duktus koledokus dan kanker pankreas.
Diantara beberapa penyebab tersebut, batu saluran empedu
(koledokolitiasis) merupakan penyebab tersering terjadinya obstruktif
jaundice.
Dalam menegakkan diagnosis ini, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
biasanya didapatkan sklera ikterik, tinja berwarna seperti dempul, urin
berwarna gelap, demam, mual, muntah, penurunan berat badan,
hepatomegali, splenomegali serta adanya nyeri tekan sewaktu dilakukan
palpasi. Pemeriksaan radiologi memegang peran penting dalam
mendiagnosis dan manajemen obstruksi jaundice. Modalitas radiologi yang
digunakan dalam mendiagnosis penyakit ini meliputi ultrasound endoskopi,
CT scan, endoscopic retrograde cholangiopancreatograph (ERCP), dan
percutaneous transhepatic cholangiograph (PTC). Gambaran radiologis
yang dapat ditemukan pada pasien kolestasis diantaranya : tampak dua batu
empedu pada kantung empedu dengan gambaran berupa bayangan akustik
pada bagian superior, koleduktus bilier yang berdilatasi kurang lebih 9 mm,
gambaran double duct sign, serta adanya densitas pada jaringan ikat regio
ampulla vateri sampai ke duktus bilier.

55
Terapi spesifik sangat bergantung pada penyebab dan tipe kolestasis.
Terapi yang umum dilakukan adalah dekompresi bilier. Untuk
medikamentosa dapat diberikan asam ursodeoksilat, kolestramin, barbiturat,
dan antibiotik. Angka kesembuhan kasus kolestasis intrahepatik berkisar
60%-80%. Kesembuhan sangat bergantung pada jenis kolestasis tersebut.

56
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha, D., Neogi, T., Silman, A.J., et al. 2010. ‘2010 Rheumatoid Arthritis
Classification Criteria’. ACR, pp 2569-2581
Alharthi, S., Bernon, M., Krige, J.E. 2012, ‘Case Report : Beware The Left Sided
Gallbladder’, SAJS., 50(3), pp. 88-89.
Arnson, Y., Shoenfeld, Y., Amital, H. 2010. ‘Effects of Tobacco Smoke on Immunity,
Inflammation and Autoimmunity’, J. Autoimmun., 34(3), pp. 258-265
Aprilia, F. 2013. ‘Teknik Pemeriksaan Intravena Pyelografi Pada Kasus
Hidronephrosis Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Salatiga’, Tersedia dari
https://www.slideshare.net/mobile/BayuDwiSeptian/ivp-fera-49314650.
Atelaha, D., Smolen, J,S. 2018, ‘Diagnosis and Management of Rheumatoid
ArthritisA Review’, JAMA, pp. 1363.
Bicke I et al. 2020, Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography. [diakses
tanggal 26 Desember 2020]. Tersedia dari
https://radiopaedia.org/articles/endoscopic-retrograde-
cholangiopancreatography
Bottini, N., Firestein, G.S. 2013, ‘Epigenetics in Rheumatoid Arthritis: A Primer For
Rheumatologists’, Curr. Rheumatol. Rep., 15(11), pp. 372
Bonheur JB. 2019. Biliary Obstruction Workup. Medscape. [diakses tanggal 26
Desember 2020). Tersedia dari
https://emedicine.medscape.com/article/187001-workup#c5
Caraiani, C., Petresc, B., Yi, D., et.al. 2019. ‘Contraindication and Adverse Effects in
Abdominal Imaging’, J. Ultrason, 21(4), pp. 456-463.
Caraiani, C., Yi, D., Petresc, B., et.al. 2020. ‘Indication for Abdominal Imaging :
When and What to Choose’, J. Ultrason, 20(80), pp. e43-e54.
Carbone, F., Bonaventura, A., Liberale, L., et al. 2020, ‘Atherosclerosis in
Rheumatoid Arthritis: Promoters and Opponents’, Clin. Rev. Allergy Immunol.,
58(1), pp. 1-14
Chauhan, K., Jandu, J.S., Goyal, A., et al. 2020, ‘Rheumatoid Arthritis’, StatPearls
[Internet], StatPearls Publishing.

57
Cochard,L.R., Goodhartz,L.A., Harmath,C.B., et.al. 2012, ‘Netter’s Introduction To
Imaging’, Elsevier, Canada, pp.176-181.
Colebatch,A.N., Edwards, C.J., Østergaard, M. 2013, ‘EULAR recommendations for
the use of imaging of the joints in the clinical management of rheumatoid
arthritis’, Ann Rheum Dis, pp.805.
Conway et al. 2018. Cystic Fibrosis Presenting as Acute Pancreatitis and Obstructive
Azoonspermia in Young Adult Male with a Novel Mutation in the CFTR
Gene. Reseacrh gate. 34: 491-495.
Cross, M., Smith, E., Hoy, D., et al. 2014, ‘The Global Burden of Rheumatoid
Arthritis: Estimates From The Global Burden of Disease 2010 Study’,Ann.
Rheum. Dis., 73, pp. 1316-1322
da Mota, L.M., Laurindo, I.M., dos Santos Neto, L.L., et al. 2012. ‘Imaging Diagnosis
of Early Rheumatoid Arthritis’, Rev. Bras. Rheumatol., 52(5), pp. 757-766
Das S, Padhan P. (2017). An Overview of the Extraarticular Involvement in
Rheumatoid Arthritis and its Management. J Pharmacol Pharmacother, pp 81-
86.
Deane, K.D., Demoruelle, M.K., Kelmenson, L.B., et al. 2017. ‘Genetic and
Environmental Risk Factors For Rheumatoid Arthritis’, Best Pract. Res.
Clin. Rheumatol., pp. 3-18
England, B. R., Mikuls, T.R. 2020. ‘Clinical Features of Rheumatoid Arthritis’, in:
Firstein, G. S., Budd, R.C, Gabriel, S.E., et al, editors, Firestein and Kelley’s
Textbook of Rheumatology, 11th edn, pp 1476
Frisell, T., Holmqvist, M., Källberg, H., et al. 2013, ‘Familial Risks and Heritability
of Rheumatoid Arthritis: Role of Rheumatoid Factor/Anti Citrullinated Protein
Antibody Status, Number and Type of Affected Relatives, Sex and Age’,
Arthritis Rheum., pp. 2773-2782
Foo, F.J., Gill, U., Verbeke, C.S., et.al. 2007, ‘Ampullary Carcinoma Associated With
an Annular Pancreas’, JOP., 8(1), pp. 50-54.
Garrow, D., Miller, S., Sinha, D., et al. 2007, ‘Endoscopic Ultrasound: A Meta-
analysis of Test Performance in Suspected Biliary Obstruction’, J. Clinical
Gastroenterology and Hepatology .5, pp.616-623.
Gibofsky, A. 2014 Epidemiology, pathophysiology, and diagnosis of rheumatoid
arthritis: A Synopsis. Am J Manag Care, pp 28-35.
Giles, J.T. 2019, ‘Extra-articular Manifestations and Comorbidity in Rheumatoid
58
Arthritis: Potential Impact of Pre-Rheumatoid Arthritis Prevention’, Clin.
Ther., pp. 1246-1255
Grant, L.A., Griffin, N. 2019, ‘Diagnostic Radiology Essentials’, 2nd edn,
Elsevier,China, pp.618.
Gunawan, H., Haryati, N. S., Suwarsa, O. 2017. Swan Neck Deformity Mimicking
Claw Hand Caused by Arthritis in Leprosy. Case Reports in Dermatology, pp
231–235.
Guo, Q., Wang, Y., Xu, D., et al. 2018, ‘Rheumatoid Arthritis: Pathological
Mechanisms and Modern Pharmacologic Therapies’, Bone Res., 6, pp. 1- 14
Herring, W. 2016, ‘ Recognizing Joint Disease : An Approach to Arthritis ’, in
Learding Radiology Recognizing the Basic, 3rd edn, Elsevier, America,
pp.261.
Hill, J.A., Southwood, S., Sette, A., et al. 2003, ‘Cutting Edge: The Conversion of
Arginine To Citrulline Allows for A High-Affinity Peptide Interaction with
The Rheumatoid Arthritis-Associated HLA-DRB1*0401 MHC Class II
Molecule’, J. Immunol., pp. 538-541
Hiraga, M. (2016) Ultrasound Examination of the Abdomen, Nihon Hoshasen Gijutsu
Gakkai zasshi. doi: 10.6009/jjrt.2016_JSRT_72.11.1185.
Hu, Y., Costenbader, K.H., Gao, X., et al. 2014, ‘Sugar Sweetened Soda Consumption
And Risk of Developing Rheumatoid Arthritis in Women’, Am. J. Clin. Nutr.,
100(3), pp. 959-967
J Jeffrey et al, 2018. Cholangiography and Pancreatography. [diakses tanggal 26
Desember 2020]. Tersedia dari
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978032341509500049
Jonas, B.L., Roubey R.A.S. 2009. ‘Rheumatoid Arthritis’, in: Runge, M.S., Greganti,
M.A, editors, Netter’s Internal Medicine, 2nd edn, pp 1056
Kartikasari Y, Jeffry A, Ary LF. 2016. Perbedaan Informasi Citra Anatomi Magnetic
Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) Coronal pada Sekuen T2
FRFSE (Fast Recovery Fast Spin Echo) antara Penggunaan ARC dengan tanpa
ARC. JImeD. 4(2): 105-111.
Kaushik, P., Kaushik, R. 2008, 'Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis',
American Journal of Medicine, vol. 121, no. 6, pp. 1245–1252. doi:
10.1016/j.amjmed.2007.11.026.
Kgoebane, K., Ally, M.M.T.M., Duim-Beytell, M.C., Suleman, F.E. 2018, ‘The Role
59
of Imaging in Rheumatoid Arthritis’, SA. J. Radiol., 22(1), pp. 1316
Khalidi, N.A., O’Neill, J. 2015, ‘Arthritis :A Diagnostic Approach’, in : O’Neill,J,
editor, Essential Imaging in Rheumatology, Springer, New York, pp.37- 41.
Kim, S.W., Kim, S.H., Lee, D.H., et.al. 2017, ‘Isolated Main Pancreatic Duct
Dilatation : CT Differentiation Between Benign and Malignant Causes’, AJR.,
209, pp. 1046-1055.
Kłodziński, Ł., Wisłowska, M. 2018, ‘Comorbidities in Rheumatoid Arthritis’,
Reumatologia, 56(4), pp. 228-233
Langenegger, T., Michel, B. A. 1999, 'Drug treatment for rheumatoid arthritis',
Clinical Orthopaedics and Related Research, no. 366, pp. 22–30. doi:
10.1097/00003086-199909000-00004.
Larche, M.J. 2015, ‘ Inflammatory Arthritidies’, in : O’Neill,J, editor, Essential
Imaging in Rheumatology, Springer, New York, pp.110-118
Littlejohn, E. A., Monrad, S. U. 2018. Early Diagnosis and Treatment of Rheumatoid
Arthritis. Primary Care: Clinics in Office Practice, 45(2), p 237–255.
Llapis, E., Kroon, H.M., Acosta, J., Bloem, J.L. 2017, ‘ Conventional Radiology in
Rheumathoid Arthritis’, Radiol Clin N Am, pp. 3-23.
Makky H. 2020. Primary sclerosing cholangitis. [diakses tanggal 26 desember 2020].
Tersedia dari https://radiopaedia.org/cases/primary-sclerosing-
cholangitis?lang=us
McQueen, F.M. 2012, ‘Bone Marrow Edema and Osteitis in Rheumatoid Arthritis:
The Imaging Perspective’, Arthritis Res. Ther., 14(5), pp. 224
Michou, L., Croiseau, P., Petit-Teixeira, E., et al. 2006, ‘Validation of The Reshaped
Shared Epitope HLA-DRB1 Classification in Rheumatoid Arthritis’, Arthritis
Res. Ther., 8(3), pp. 79
Mustika S. 2020. Teknik Mutakhir untuk Diagnosis hingga Pengangkatan Batu
Saluran Empedu. Yayasan Gastroenterologi Indonesia. [diakses tanggal 26
desember 2020). Tersedia dari http://ygi.or.id/ercp-teknik-mutakhir-untuk-
diagnosis-hingga-pengangkatan-batu-saluran-empedu/
Muzio BD. 2020. Choledocholithiasis. [diakses tanggal 26 Desember 2020]. Tersedia
dari https://radiopaedia.org/cases/choledocholithiasis-18?lang=us
Narváez García, J.A. 2010, ‘Evaluation Through Imaging of Early Rheumatoid
Arthritis’, Reumatol. Clin., 6(2), pp. 111-114
NICE. National Institute for Health and Care Excellence. 2018, Rheumatoid arthritis
60
in adults: management, NICE clinical guideline.
Nieuwenhuis, W.P., van Steenbergen, H.W., Stomp, W., et al. 2016, ‘The Course of
Bone Marrow Edema in Early Undifferentiated Arthritis and Rheumatoid
Arthritis: A Longitudinal Magnetic Resonance Imaging Study at Bone Level’,
Arthritis Rheumatol., 68(5), pp. 1080-1088
Nugraha, E.S.,Girawan, D., Agustanti, N., et al. 2019, ‘Role of Radial Endoscopic-
ultrasound (EUS) to Establish Diagnosis of Undetermined Causes of
Obstructive Jaundice: A Case Series’,J. Indonesian Gastroenterology,
Hepatology and Digestive Endoscopy, pp.93-99.
Østergaard,M., Lambert, G.W., Jen, H. 2017, ‘Imaging in Rheumatic Disease’, in:
Friesten,G.S.,Budd,R.C.,Gabriel,S.E., et.al., editors, Textbook of
Rheumatology,Elsevier, Philadelphia, pp.619.
Otón, T., Carmona, L. 2020, ‘The Epidemiology of Established Rheumatoid Arthritis’,
Best Practice and Research Clinical Rheumatology, 101477, pp. 1-10.
Padmaltha, M., Jojireddy, O., Gafoor, J.A. 2015, ‘Radiological Evaluation of
Obstructive Jaundice by Ultrasound and CT’, J. Evidance Based Med.
Hlthcare. 2(44), pp. 7829-7846.
Palmer, P. E. . (2003) ‘Manual Diagnostic of Ultrasound’, p. 325.
Petrescu, I., Bratu, A.M., Petrescu, S., et.al. 2017, ‘CT vs MRCP in Choledocholitiasis
Jaundice’, J. Med. Life, 8(2), pp.226-231.
Prado, A,D., Staub, H.l.,Bisi,M.C., et.al. 2018, ‘Ultrasound and its clinical use in
rheumathoid arthritis : where do we stand?’, Advances in Rheumatology, pp.5.
Prete, M., Racanelli, V., Digiglio, L., et al. 2011, ‘Extra-Articular Manifestations of
Rheumatoid Arthritis: An Update’, Autoimmun., 11, pp. 123-131
Radswiki. 2020. Gallbladder carcinoma. [diakses tanggal 26 Desember 2020].
Tersedia dari https://radiopaedia.org/cases/gallbladder-
adenocarcinoma?lang=us
Raman, S., P.,Fishman,K., E. 2014, ‘Abnormalities of Distal Common Bile Duct and
Ampulla, Diagnostic Approach And Differentil Diagnosis Using Multiplanar
Reformations and 3D Imaging’, AJR.,203, pp. 17-28. Reddy, Y., and Willert,
R.P., 2009. ‘Endoscopic Ultrasound: What Is It And When Should It Be Used
?’, J. Royal College of Physicsians.
Raychaudhuri, S., Sandor, C., Stahl, E.A, et al. 2012, ‘Five Amino Acids in Three
HLA Proteins Explain Most of The Association Between MHC and
61
Seropositive Rheumatoid Arthritis’, Nat. Genet., 44(3), pp. 291-296 Serafino,
M.,D. 2019,‘Diagnostic Accuracy of MRCP as Compared to Ultrasound/CT in
Patients with Obstructive Jaundice’, Journal of Ultrasound
Rosch, T. 2003. ‘Endoscopic Ultrasonography: Imaging And Beyond’, BMJ., 52(8),
pp.1220-1226.
Rubin. 2014. ‘Computed Tomography : Revolutionizing the Practice of Medicine for
40 Years’. Radiology, 273(2), pp S45-S74.
Šenolt, L., Grassi, W., Szodoray, P. 2014, ‘Laboratory Biomarkers or Imaging in The
Diagnostics of Rheumatoid Arthritis?’, BMC Med., 12, pp. 49
Shah,. 2013, “Rheumathoid Arthritis’, in : Longo, D.L., Kasper, D.L., Jameson, J.L.,
et.al. , editors, Harrison’s Principle od Internal Medicine, 18th edn,
,pp.2746.
Sidhu, H. S., Bhatnagar, G., Bhogal, P., et .al. 2011, ‘ Imaging Features of the
Pleuropulmonary Manifestations of Rheumathoid Arthritis :Pearls and
Pitfalls’,Journal of Clinical Imaging Science, pp.5.
Singh, J. A., Saag, K. G., Bridges, S. L, et al. 2016, '2015 American College of
Rheumatology Guideline for the Treatment of Rheumatoid Arthritis', Arthritis
Care & Research, vol. 68, no. 1, pp. 1–25. doi: 10.1002/acr.22783.
Smolen, J. S., Aletaha, D., McInnes, I. B. 2016. Rheumatoid arthritis. The Lancet,
388(10055), pp 2023–2038.
Smolen, J. S., Landewé, R. B. M., Bijlsma, J. W. J., et al. 2020, 'EULAR
recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic
and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2019 update', Annals of
the Rheumatic Diseases, vol. 79, no. 6, pp. 685–699. doi:
10.1136/annrheumdis-2019-216655.
Soetikno RD. 2007. Imaging pada Ikterus Obstruksi. Bagian/UPF Radiologi : Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr.Hasan Sadikin.
Solution, W. (2016) ‘Ultrasonografi (usg)’, Integra Newsletter, pp. 1–2.
Sommer, O. J., Kladosek, A., Wailer, V., et al. 2005, ‘Rheumatoid Arthritis: A
Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and
ClinicalImplications’, RSNA, pp.381.
Sparks, J.A. 2019, ‘Rheumatoid Arhtritis: Risk Factors, Diagnosis, Treatment’,
ACP
Stanford, S.M., Bottini, N. 2014, ‘PTPN22: The Archetypal Non-HLA Autoimmunity
62
Gene’, Nat. Rev. Rheumatol., 10(10), pp. 602-611
Stolt, P., Yahya, A., Bengtsson, C., et al. 2010, ‘Silica Exposure Among Male Current
Smokers is Associated with A High Risk of Developing ACPA- Positive
Rheumatoid Arthritis’, Ann. Rheum. Dis., 69(6), pp. 1072-1076
Thomson, N. et al. (2015) ‘Guidelines For Professional Ultrasound Practice Society
And College Of Radiographers And British Medical’, Medical, B., & Society,
U. (2015). Guidelines For Professional Ultrasound Practice Society And
College Of Radiographers And British Medical. December., Revision
1(December).ent document.
Verdult, J. 2017, ‘CT Abdomen General’, StartRadiology [Internet], StartRadiology
Publishing.

Wallenius, M., Skomsvoll, J.F., Irgens, L.M., et al. 2010, ‘Postpartum Onset of
Rheumatoid Arthritis and Other Chronic Arthritides: Results From a Patient
Register Linked to A Medical Birth Registry’, Ann. Rheum. Dis., 69(2), pp.
332-336.
Williams, K., Terrono, A. L. 2011. Treatment of Boutonniere Finger Deformity in
Rheumatoid Arthritis. The Journal of Hand Surgery, 36(8), p 1388–1393.
Yamau, K., Bathia, V., Mizuno, N., et al.2009. Interventional Endoscopic
Unltrasonography, J.gastroenterology and Hepatology., 24(4), pp.509-519.
Yusmaidi, Rafie,R.,permatasari, A.2020.’Karakteristik Pasien Ikterus Obstruktif Et
Causa Batu Saluran Empedu’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Husada ,11(1)

63
64

Anda mungkin juga menyukai