Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

RETENSIO URIN

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Fadila Amalina Ariputri
22010116220289

Pembimbing Referat:
Dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Fadila Amalina Ariputri

NIM : 22010116220289

Judul Referat : Retensio Urin


Pembimbing Referat : dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp.B

Batang. November 2017


Pembimbing Referat,

dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp.B

2
DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................. i


Daftar Gambar ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Saluran Kemih ............................................................................. 2
2.1.1 Ginjal Vesica urinaria ..................................................................... 2
2.1.2 Ureter ............................................................................................... 3
2.1.3 Vesica urinaria ................................................................................ 4
2.1.4 Uretra .............................................................................................. 4
2.2 Fisiologi Miksi (Berkemih) ........................................................................ 5
2.3 Retensi Urin ................................................................................................ 6
2.3.1 Definisi Retensi Urin ...................................................................... 6
2.3.2 Etiologi Retensi Urin ...................................................................... 6
2.3.3 Klasifikasi Retensi Urin ................................................................. 6
2.3.4 Patofisiologi Retensi Urin .............................................................. 7
2.3.5 Diagnosis Retensi Urin ................................................................... 8
2.3.6 Penatalaksanaan Retensi Urin ........................................................ 11
2.3.7 Komplikasi Retensi Urin ................................................................ 17
2.3.8 Prognosis Retensi Urin ................................................................... 17

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Saluran Kemih ..................................................................... 2


Gambar 2.2 Anatomi Ginjal ................................................................................... 3
Gambar 2.3 Anatomi Ureter, Vesica Urinaria, dan Uretra .................................... 4
Gambar 2.4 Kateterisasi ......................................................................................... 12
Gambar 2.5 Jenis Sistostomi Trokar ...................................................................... 13
Gambar 2.6 Memasukkan alat trokar ke dalam buli-buli ....................................... 14
Gambar 2.7 Melepaskan obturator ......................................................................... 14

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Fungsi normal
kandung kemih memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi
dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan
sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga
penyebab neurogenik dari gangguan kandung kemih dapat diakibatkan oleh lesi pada
berbagai derajat.
Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering
ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bilamana retensi urin tidak
ditangani sebagaimana mestinya, akan mengakibatkan terjadinya penyulit yang
memperberat morbiditas penderita yang bersangkutan. Pada dasarnya tidak
diperlukan peralatan maupun ketrampilan yang khusus untuk mendeteksi dan
menangani penderita dengan retensi urin, apapun yang menyebabkan terjadinya
kelainan tersebut.
Salah satu penyebab retensi urine adalah BPH. Benign Prostat Hyperplasia
merupakan penyakit yang sering diderita pada pria. Di klinik 50 % dijumpai
penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang menimbulkan gejala-gejala bladder outlet
obstruction. Pada wanita salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses
persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah retensi urin
postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir
data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah
dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam
pasca operasi sectio caesarea.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Saluran Kemih

Saluran kemih terdiri dari: ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli
(vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai lapisan otot
yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik.

Gambar 2.1 Anatomi Saluran Kemih

2.1.1 Ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen (retroperitoneal), terutama


didaerah lumbal kanan dan kiri columna vertebralis. Kedudukannya dari belakang
mulai ketinggian vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbal ke-3. Ginjal kanan
lebih rendah dari ginjal kiri. Bentuknya seperti kacang dengan warna coklat kemerah-
merahan. Satuan fungsional ginjal disebut “Nefron”, terdapat ± 1.000.000 nefron
dalam 1 ginjal. Setiap nefron terdiri dari glomerulus/badan malpighi. Glomerulus
merupakan anyaman pembuluh darah dalam kapsula bowman dimana pembentukan
urin berasal.

6
Gambar 2.2 Anatomi Ginjal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:


 Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
 Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).
 Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
 Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke
arah korteks
 Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah,
serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
 Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
 Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
 Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
 Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
Pielum (Pelvis Renalis) mengumpulkan air seni yang datang dari
apeks papilla. Mengecil menjadi ureter yang dilalui air seni dalam
porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung kemih. Kapasitas rata-rata
3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat sfingter kaliks

7
berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks, sfingter forniks,
berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks
berelaksasi. Lalu air seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni
dibuang dengan cepat oleh penutupan bergantian dari sfingter pelvis
dan kaliks.

2.1.1 Ureter
Ureter adalah sebuah saluran dengan panjang 22-30 cm dan diameter 1 mm –
1cm yang menghubungkan pelvis ginjal dan kandung kemih. Ureter terdiri atas
dinding luas yang fibrous, lapisan tengah yang berotot, dan lapisan mukosa sebelah
dalam. Ureter dimulai sebagai pelebaran hilum ginjal, dan letaknya menmurun dari
ginjal sepanjang bagian belakang dari rongga peritoneum dan di depan muskulus
psoas dan prosessus transversus dari vertebrae lumbal. Ureter berjalan menuju
kedalam pelvisdan dengan arah oblik bermuara ke kandung kemih melalui bagian
posterolateral. Pada radiografi, ureter dibagi menjadi tiga bagian yaitu 1/3 proksimal
(dari pelvis ginjal ke tepi atas sacrum), 1/3 medial (dari tepi atas ke tepi bawah
sacrum), dan 1/3 distal (tepi bawah sakrum ke kandung kemih). Ureter pun memiliki
3 daerah penyempitan anatomis, yaitu ureteropelvico junction (ureter bagian
proksimal mulai dari pelvis renalis hingga bagian ureter yang mengecil), pelvic brim
(persilanagan antara ureter dengan vasa iliaca), dan vesikouretero junction (ujung
ureter yang maswuk ke dalam vesika urinaria).

2.1.2 Vesika Urinaria


Kandung kemih adalah reservoir urin ekstraperitoneal yang terletak di
belakang simfisis pubis. Kandung kemih normal menjalankan koordinasi fungsi
muskuloskeletal, neurologis, dan psikologis yang memungkinkan pengisian dan
pengosongan isi kandung kemih. Efektor utama adalah relaksasi sinergis otot
detrusor dan kontraksi leher kandung kemih serta otot dasar panggul yang terjadi saat
pengisian kandung kemih dan penyimpanan urine.
Kandung kemih terdiri dari fundus, korpus, dan korteks. Dinding kandung
kemih terdiri dari lapisan peritoneum (sebelah luar), tunika muskularis (lapisan otot),
tunika submucosa, dan lapisan mukosa yang berbentuk lipatan yang disebut ruggae.

8
Kandung kemih dewasa normal menampung 300-600 mL urin. Respons sistem saraf
pusat biasanya dipicu saat volume mencapai 200 mL dan dianggap sebagai sensasi
penuhnya kandung kemih dan kebutuhan untuk miksi. Namun, buang air kecil dapat
dicegah dengan penekanan kortikal pada sistem saraf perifer atau dengan kontraksi
volunteer dari sfingter uretra eksterna.
Kandung kemih dewasa terletak di rongga pelvis anterior dan diselimuti oleh
lemak ekstraperitoneal dan jaringan ikat. Bagian fundus dan dinding posterior
kandung kemih diselimuti peritoneum, sedangkan dinding lateral dan anterior tidak
diselimuti peritoneum. Antara simfisis pubis dan kandung kemih terdapat suatu
prevesikal yang dikenal sebagai cavum Retzius atau cavum retropubik. Pada pria,
vesikula seminalis, duktus deferens, ureter, dan rektum membatasi aspek
inferoposterior kandung kemih dan prostat. Anterior kandung kemih adalah cavum
Retzius atau cavum retropubik, yang tersusun dari jaringan fibroadipose dan fasia
prevesica. Fundus dan dinding posterior kandung kemih ditutupi oleh peritoneum
parietal yang terletak di superior vesikula seminalis dan berlanjut sebagai peritoneum
rectalis anterior.
Pada wanita, refleksi peritoneal posterior berlanjut ke uterus dan vagina dan
disebut sebagai cavum cul-de-sac anterior atau excavatio vesicouterina. Sisi
inferoposterior dari kandung kemih terletak pada dinding anterior vagina anterior.
Karena posisi yang berdekatan dengan organ reproduksi dan terletak di belakang os.
pubis, leher kandung kemih dan uretra berisiko mengalami cedera langsung dan
hipoksia selama persalinan.
Kandung kemih diperkuat ikatannya terhadap dinding abdomen inferior oleh
ligamentum umbilicalis medianus (urachus), ligamentum umbilicalis medialis
(obliterasi dari a. umbilicalis), dan ligamentum umbilicalis lateralis (vasa epigastrica
inferior).
Leher kandung kemih berfungsi sebagai sfingter internal pada wanita. Pada
leher kandung kemih, dinding kandung kemih terdiri 3 lapisan otot yang berbeda
jenis beserta fungsinya. Lapisan muskulus longitudinalis internus darileher kandung
kemih bergabung dengan lapisan muskulus longitudinalis internus dari uretra.
Lapisan otot sirkuler medial yang paling menonjol di dekat leher kandung kemih,
bergabung dengan lapisan otot trigonum vesicae. Lapisan otot longitudinal eksterna

9
menyumbang beberapa serat anterior muskulus pubovesical yang berakhir pada
permukaan posterior os. pubis. Di posterior, lapisan otot longitudinal eksterna
berinterdigitasi dengan serat trigonum vesicae dan otot detrusor.
Diperkirakan bahwa kelompok serat otot yang berbeda berperan dalam
pembukaan leher kandung kemih saat berkemih dan penutupan kandung kemih saat
mengisi kandung kemih dan fase penyimpanan kandung kemih. Selain lapisan otot
ini, ligamentum pubourethral berfungsi untuk menyokong leher kandung kemih dan
uretra melalui pengikatan struktur ini ke sisi dorsal os. pubis. Pada pria, leher
kandung kemih bersebelahan dengan prostat dan keduanya berfungsi bersamaan
sebagai sfingter uretra interna. Prostat melekat pada pubis oleh ligamentum
puboprostatika.
Trigonum vesicae adalah bagian segitiga dari lantai kandung kemih yang
berbatasan dengan ostium uretra interna (pada sisi ventral) dan orificium ureter kanan
dan kiri (pada sisi dorsolateral. Batas superior atau dorsal trigonum adalah daerah
yang disebut plica interureterica, yang menghubungkan satu meatus ureter ke yang
lain yang berjarak sekitar 2-3 cm dengan ketebalan ureter intramural masing-masing
berdiameter 1,5 cm.
Pasokan darah kandung kemih terutama berasal dari arteri iliaka interna (a.
hipogastrika). Cabang ini masuk ke arteri umbilikalis, yang menperdarahi beberapa
cabang vesikalis superior dan arteri vesikalis inferior, yang menjadi cabang a. iliaka
interna pada pria atau dari arteri vagina pada wanita. Pasokan arteri kandung kemih
juga didapatkan sebagian dari arteri obturator dan arteri glutealis inferior. Pada
wanita, ini melalui arteri uterina dan arteri vaginalis. Aliran vena kandung kemih
umumnya paralel dengan arteri baik dalam topografi maupun namanya. Sebagian
besar aliran vena dari kandung kemih mengalir ke vena iliaka interna.

10
Gambar 2.3 Anatomi ureter, vesica urinaria, dan uretra

2.1.3 Uretra
2.1.3.1 Uretra Laki-laki
Uretra laki-laki adalah tuba fibromuskular sempit yang mengalirkan urin dari
kandung kemih dan semen dari duktus ejakulatorius. Uretra laki-laki berasal dari
leher kandung kemih dan berakhir pada meatus uretra eksterna pada glans penis.
Panjangnya kira-kira 15-25 cm pada orang dewasa dan membentuk kurva "S" jika
dilihat dari bidang sagital dalam posisi tegak lurus. Uretra laki-laki dibagi menjadi 3
segmen berdasarkan struktur di dalamnya: uretra pars prostat, uretra pars
membranacea, dan uretra pars spongiosa (atau penis). Sistem lain untuk menamai
bagian uretra juga dijelaskan, yaitu dibagi menjadi uretra anterior dan posterior.
Uretra pars prostatika adalah bagian uretra yang melintasi prostat. Ini berasal
dari daerah leher kandung kemih, kira-kira 2,5 cm inferior, dan berakhir pada uretra
membranosa yang terletak pada lokasi retropubik dan dibatasi secara superior oleh
kandung kemih dan didukung oleh m. sfingter uretra eksterna dan membran
perineum (sebelumnya disebut diafragma urogenital).
Uretra berjalan melalui prostat secara eksentrik, dengan sebagian besar
jaringan prostat berada di lokasi posterior dan inferior. Uretra pars prostatika
dikelilingi oleh lapisan sirkuler di bagian dalam dan lapisan longitudinal di luar otot
polos. Segmen proksimal bagian ini dikelilingi oleh sfingter uretra interna yang

11
bersifat involunteer. Area ini juga merupakan area yang paling sering terkena
hiperplasia prostat jinak (BPH).
Bagian uretra yang terpendek dan paling tidak terbentak adalah uretra pars
membranosa. Daerah ini membentang dari ujung distal prostat hingga bulbus penis.
Uretra ini terdapat pada otot sfingter uretra eksterna dan membran perineum yang
mengikat urertra ke rami iskium dan rami pubis inferior, menjadikan bagian uretra
ini rentan terhadap gangguan pada fraktur panggul.
Uretra pars spongiosa adalah uretra yang membentang sepanjang korpus
spongiosum penis. Ini terbagi menjadi uretra pars pendularis, uretra yang bulbosa
(bulbar), dan bagian fossa navicularis. Uretra pars pendularis terdapat di dalam
korpus spongiosum penis, sedangkan pars bulbosa hanya terbenam dalam bulbus
penis.
Uretra wanita adalah struktur tubular yang berfungsi mengalirkan urinedari
kandung kemih ke meatus uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 4 cm dengan
diameter ± 8 mm dimulai darikandung kemih dan berakhir di ruang anterior
vagina.Uretra wanita diperkuat oleh ligamen urethropelvic dengan 2 sisinya (sisi
ventral menjadi fascia endopelvic dan sisi dorsal menjadi fascia periuretra). Uretra
wanita menembus diafragma pelvis dan membran perineum yang berada di posterior
simfisis pubis

2.2 Fisiologi Miksi (Berkemih)


Dalam keadaan normal kandung kemih dan uretraberhubungan secara
simultan dalam penyimpanan dan pnegeluaran urin. Selama penyimpanan, leher
kandung kemih dan uretra proksimal menutup, dan tekanan intra uretra berkisar
antara 20-50cmH2O. Sementara itu otot detrussor berelaksasi sehingga tekanan
kandung kemih sehingga tekanan kandung kemih tetap rendah.
Pada dasarnya proses berkemih dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase
penyimpanandan fase pengosongan. Fase penyimpanan ialah fase di mana kandung
kemih terisi oleh urin hingga mencapai nilai ambang batas. Setelah nilai ambang
tersebut dicapai, maka akan masuk ke dalam fase kedua yaitu fase pengosongan atau
disebut dengan refleks mikturisi. Refleks ini dikendalikan oleh sistem saraf otonom
tetapi dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat saraf di korteks serebri atau

12
batang otak. Kedua proses tersebut melibatkan struktur dan fungsi komponen saluran
kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan. Persarafan kandung kemih
dikendalikan oleh saraf-saraf pelvis, berhubungan dengan pleksus sakralis terutama
segmen S-2 dan S-3. Perjalanan impuls melalui dua jalur, sensorik dan motorik.
Peregangan yang terjadi pada dinding kandung kemih akan dibawa oleh
saraf sensorik kemudian diteruskan ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
saraf subkortikal menyebabkan dinding kandung kemih semakin meregang sehingga
menunda desakan untuk segera berkemih. Sedangkan, pusat saraf kortikal akan
memperlambat produksi urin. Sehingga, proses berkemih dapat ditunda. Gangguan
pada pusat saraf tersebut menurunkan kemampuan seseorang untuk menunda
berkemih.
Peregangan otot di vesika (M. detrussor vesicae) urinaria saat terisi urine
mengaktifkan impuls afferent menuju ke N. sphlancnicus pelvicus dan masuk ke
segmen sacralis 2-4 medula spinalis. Impuls afferent segmen sacralis 2-4 medula
spinalis kemudian menuju serabut saraf preganglioner parasimpatis (N. sphlancnicus
pelvicus dan plexus hypogastricus inferior) menuju dinding vesika urinaria yang
menyebabkan kontraksi m. Detrusor vesicae dan relaksasi musculus sphincter
urethrae interna serta apabila tidak ada penghambatan dari pons, maka serabut
motoric dari n. pudendus akan menyebabkan spincter uretra eksterna relaksasi dan
proses berkemih terjadi.

2.3 Retensio Urin


2.3.1 Definisi
Retensi urin adalah keadaan dimana penderita tidak dapat mengeluarkan
urin yang terkumpul didalam buli-buli. Definisi lain retensi urin adalah
ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau
dorongan terhadap hal tersebut. Normalnya, residu urin pasca miksi < 10 ml,
tetaapi pada retensio urin residu yang dihasilkan dapat > 100 ml.

2.3.2 Etiologi

13
Etiologi dari retensio urin dapat diklasifikasikan dalam 5 kelompok, yaitu
obstruktif, infeksi maupun inflamasi, agen farmakologi, neurologic, dan lain-
lain.
Tabel 1. Kelainan Obstruktif, Inflamasi/Infeksi, dan Lain-lain Penyebab Retensio
Urin
Penyebab Laki-laki Perempuan Keduanya
Obstruktif Benign prostatic Organ prolapse Aneurysmal
hyperplasia; (cystocele, dilation; bladder
meatal stenosis; rectocele, calculi;
paraphimosis; uterine prolapse); bladder
penile pelvic mass neoplasm; fecal
constricting (gynecologic impaction;
bands; malignancy, gastrointestinal or
phimosis; uterine retroperitoneal
prostate cancer fibroid, ovarian malignancy/mass;
cyst); retroverted urethral
impacted gravid strictures,
uterus foreign bodies,
stones, edema
Infeksi maupun Balanitis; Acute Bilharziasis;
inflamaasi prostatic vulvovaginitis; cystitis;
abscess; vaginal lichen echinococcosis;
Prostatitis planus; vaginal Guillain-Barré
lichen sclerosis; syndrome; herpes
vaginal simplex
pemphigus virus; Lyme
disease;
periurethral
abscess;
transverses
myelitis;
tubercular
cystitis;
urethritis;
varicella-zoster
virus
Lain-lain Penile trauma, Postpartum Disruption of
fracture, or complication; posterior urethra
laceration urethral and bladder

14
sphincter neck in pelvic
dysfunction trauma;
(Fowler’s postoperative
syndrome) complication;
psychogenic

Tabel 2. Agen Farmakologi Penyebab Retensio Urin


Kelas Obat
Antiaritmia Disopyramide(Norpace); rocainamide
(Pronestyl); quinidine
Antikolinergik Atropine (Atreza); belladonna
alkaloids; dicyclomine (Bentyl);
flavoxate (Urispas); glycopyrrolate
(Robinul); hyoscyamine (Levsin);
oxybutynin (Ditropan); propantheline
(Pro-Banthine); scopolamine
(Transderm Scop)
Antidepresan Amitriptyline (Elavil); amoxapine;
doxepin (Sinequan); imipramine
(Tofranil); maprotiline (Ludiomil);
nortriptyline (Pamelor)
Antihistamin Brompheniramine (Brovex);
chlorpheniramine (Chlor-Trimeton);
cyproheptadine (Periactin);
Diphenhydramine (Benadryl);
hydroxyzine (Atarax)
Antihipertensi Hydralazine; nifedipine (Procardia)
Antiparkinson Amantadine (Symmetrel);
benztropine (Cogentin);
bromocriptine (Parlodel); levodopa
(Larodopa)†; trihexyphenidyl
(Artane)
Antipsikotik Chlorpromazine (Thorazine);
fluphenazine (Prolixin); haloperidol
(Haldol); prochlorperazine
(Compazine); thioridazine (Mellaril);
thiothixene (Navane)
Agen hormonal Estrogen; progesterone; testosterone
Muscle relaxant Baclofen (Lioresal); cyclobenzaprine
(Flexeril); diazepam (Valium)

15
Simpatomimetik (alfa adrenergic) Ephedrine; phenylephrine (Neo-
Synephrine); phenylpropanolamine‡;
pseudoephedrine (Sudafed)
Simpatomimetik (beta-adrenergik) Isoproterenol (Isuprel);
metaproterenol (Alupent); terbutaline
(Brethine)
Lainnya Amphetamines; carbamazepine
(Tegretol); dopamine (Intropin);
mercurial diuretics; nonsteroidal
antiinflammatory drugs (e.g.,
indomethacin [Indocin]); opioid
analgesics (e.g., morphine
[Duramorph]); vincristine (Vincasar
PFS)

Tabel 3. Kelainan Neurologik Penyebab Retensio Urin


Tipe lesi Penyebab
Otonom atau saraf perifer Autonomic neuropathy; diabetes
mellitus; Guillain-Barré
syndrome; herpes zoster virus; Lyme
disease; pernicious
anemia; poliomyelitis; radical pelvic
surgery; sacral
agenesis; spinal cord trauma; tabes
dorsalis
Otak Cerebrovascular disease; concussion;
multiple sclerosis;
neoplasm or tumor; normal pressure
hydrocephalus;
Parkinson’s disease; Shy-Drager
syndrome
MEdula spinalis Dysraphic lesions; invertebral disk
disease; meningomyelocele;
multiple sclerosis; spina bifida
occulta; spinal cord
hematoma or abscess; spinal cord
trauma; spinal stenosis;
spinovascular disease; transverse
myelitis; tumors or masses
of conus medullaris or cauda equine

16
2.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi retensi urin berdasarkan waktu terjadinya:
a. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih yang tiba-tiba
dan disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Kondisi yang terkait
adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba,
disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Jika
tidak dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter.

b. Retensi urin kronik


Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri yang disebabkan
oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Misalnya lama-lama tidak
bisa kencing. Pada pembesaran prostat, pembesaran sedikit-sedikit, bisa kencing
sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan
lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih
dapat berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak
dapat mengosongkan kandung kemih dengan sempurna. Retensi urin kronik
tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis yang
serius di kemudian hari.

2.3.4 Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urin dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan
dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal
penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan
somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap
kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi
saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh

17
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen
2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat
aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul
kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urin dengan resistensi saluran yang minimal. Retensi
postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan,
disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan
forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat
dari dis-sinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak
sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria
biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.

2.3.5 Diagnosis
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, pengukuran volume residu urin, sangat
dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat
digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan
voiding cystourethrography.
a. Anamnesis
o Tidak bisa kencing atau kencing menetes/sedikit-sedikit
o Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
o Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas
tulang belakang.

18
o Pada kasus kronis, keluhan uremia
b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi:
1. Penderita gelisah
2. Benjolan/massa perut bagian bawah
3. Tergantung penyebab: batu di meatus eksternum,
pembengkakan dengan atau tanpa fistula didaerah penis dan
skrotum akibat striktura uretra, perdarahan uretra pada
robekan akibat trauma.
 Palpasi dan perkusi:
1. Teraba benjolan/massa kistik kenyal (undulasi) pada perut
bagian bawah.
2. Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis
atau menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat
mengganggu.
3. Terdapat bunyi redup pada perkusi.

Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli


yang penuh, dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus.
Tergantung penyebab:
 Teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.
 Teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang
panjang
 Teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.
 Teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total
uretra posterior.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos abdomen dan genitalia:
 Terlihat bayangan buli-buli yang penuh dan membesar.
 Adanya batu (opaque) di uretra atau orifisium internum.
2. Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra,
tumor uretra.

19
3. Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu,
adanya pembesaran kelenjar prostat.
4. Pada retensi urin kronik, pemeriksaan yang diperlukan adalah:
 Urinalisis: untuk melihat adanya infeksi
 Sistoskopi yaitu penggunaan kamera fiberoptik pada uretra.
Dengan sitoskopi dapat dilihat penyebab striktur, letaknya,
dan karakter dari striktur.
 PSA (Prostate-Spesific Antigen) adalah tumor marker yang
paling penting saat ini untuk deteksi dini, menentukan staging,
dan monitoring pada penderita kanker prostat. PSA terdiri dari
protein yang diproduksi oleh sel prostat untuk menjaga
viskositas cairan semen.
 Urodinamik adalah suatu perangkat pemeriksaan obyektif
untuk mengetahui fungsi kandung kemih dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang cukup akurat untuk
menentukkan jenis dan penyebab gangguan pada saluran
kemih bagian bawah, seperti inkontinensia urin (beser kemih)
atau retensi urin ( kesulitan berkemih). Pemeriksaan
urodinamika simpel meliputi: Uroflowmetry,
Cystometrography dan pengukuran volume residual urin.
Dengan memasukan kateter berisi transduser untuk mengukur
tekanan ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter
tersebut ddihubungkan dengan komputer. Kemudian
memasukan cairan steril ke dalam kandungan kemih. Selama
fase pengisian tersebut komputer akan memberikan informasi
mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks
kandungan kemih dan kapasitas kandungan kemih. Setelah
kandung kemih penuh, semua perlengkapan dilepas dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan uroflowmetry, dimana pasien
berkemih dan ditampung pada sebuah alat khusus untuk
mengukur laju pancaran urine. Dan terakhir sisa urin yang
masih tersisa di kandung kemih diukur volumennya.

20
Rangkaian pemeriksaan ini relatif tidak lama, hanya
memerlukan waktu ± 30 menit.

Cystometrography. Tes dengan sinar-X ini untuk memeriksa


kandung kemih dan uretra setelah penyuntikan cairan kontras
khusus melalui kateter pada kandung kemih. Cairan kontras
berisi sifat-sifat khusus yang dapat dilihat melalui sinar-X
yang diambil pada orang dalam berbagai posisi. Sinar-X juga
diambil pada akhir tes selama urinasi.

2.3.6 Penatalaksanaan
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar,
penatalaksanaan ditetapkan berdasarkan masalah yang berkaitan dengan
penyebab retensi urin.

1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli
melalui uretra. Syarat-syarat:
 Dilakukan dengan prinsip aseptik
 Digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar jenis foley
 Diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
 Diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.
 Diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 x saja
(biasanya tidak diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap
dipertahankan sesingkat mungkin, hanya sepanjang masih dibutuhkan.

21
Gambar 2.4 Kateterisasi

Teknik kateterisasi:
 Kateter Foley steril, untuk orang dewasa ukuran 16-18 F.
 Desinfeksi dengan desinfektans yang efektif, tidak mengiritasi kulit
genitalia (tidak mengandung alkohol)
 Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4%
yang dimasukkan dengan semperit 20cc serta "nipple uretra" diujungnya.
Jelly tersebut sekaligus berperan sebagai pelicin. (Pada batu atau striktura
uretra, akan dirasakan hambatan pada saat memasukkan jelly tersebut)
 Kateter yang diolesi jelly K-Y steril dimasukkan kedalam uretra. Pada
penderita wanita biasanya tidak ada masalah. Pada penderita pria, kateter
dimasukkan dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah
dan warna/aspek urin), kemudian balon dikembangkan sebesar 5-10 ml.
 Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong
penampung steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.
 Kateter di fiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atau didaerah
inguinal dan diusahakan agar penis mengarah kelateral, hal ini untuk
mencegah terjadinya nekrosis akibat tekanan pada bagian ventral uretra
di daerah penoskrotal.

2. Sistostomi suprapubik

22
Suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan kencing melalui lubang
yang dibuat di supra pubik untuk mengatasi retensi urin dan menghindari
komplikasi. Macam sistostomi: trokar dan sistostomi terbuka.
a. Sistostomi Trokar
Indikasi:
 Kateterisasi gagal: striktura, batu uretra yang menancap (impacted).
 Kateterisasi tidak dibenarkan: robek uretra pasca trauma. Sebagian
ahli berpendapat bahwa sistostomi pada pria lebih aman daripada
kateter tetap karena penyulit akibat pemakaian kateter pada uretra
dapat ditiadakan (uretritis, striktura, fistula)

Syarat-syarat:
 Retensi urin dan buli-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan
jarak antara simfisis-umbilikus.
 Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (<- >
20F)

23
Gambar 2.5 Jenis Sistostomi Trokar

Langkah-langkah Sistostomi Trokar:


1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan lidocaine 2% mulai dari
kulit, subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling
cembung  1 cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit
10 cc untuk memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya
tahanan dari fasia dan otot-otot detrusor.

Gambar 2.6 Memasukkan alat trokar ke dalam buli-buli

7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-
buli akan keluar urin memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator
(penusuk) dan sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan
bagian slot kateter setengah lingkaran tetap ditinggalkan.

24
Gambar 2.7 Melepaskan obturator dan slot kateter setengah
lingkaran ditinggalkan
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah
lingkaran, kemudian balon dikembangkan dengan memakai
aquadest 10 cc. Setelah balon dipastikan berada di buli-buli, slot
kateter setengah lingkaran dikeluarkan dari buli-buli dan kateter
dihubungkan dengan kantong penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi
ditutup dengan kain kasa steril.

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan
alat trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini
tidak dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter
yang digunakan adalah NG tube nomer 12 F. Kateter ini setelah
dimasukkan ke dalam buli-buli pangkalnya harus dipotong untuk
mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.

b. Sistostomi Terbuka
Indikasi:
 Bila sistostomi trokar gagal
 Bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di
dalam bull-buli, evaluasi gumpalan darah, memasang "drain" di
rongga retzii, dan sebagainya.
 Jika terdapat jaringan sikatriks/bekas operasi di daerah
suprasimfisis, pasca trauma di daerah panggul yang menciderai

25
uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang
tidak mungkin dilakukan tindakan per uretra.

Langkah-langkah Sistostomi Terbuka:


1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.
2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan
simfisis dan umbilicus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba
yang merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus
rektus kiri dan kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan
sehingga terlihat jaringan lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-
buli dapat dikenali karena warnanya putih dan banyak terdapat
pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk
memudahkan memegang buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang
telah difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau
tajam hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar
dengan klem. Urin yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya: tumor, batu,
adanya perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda
dengan luka operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-
muskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi
lapis. Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan
difiksasikan ke kulit dengan benang sutra.

26
Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan
maupun setelah pemasangan kateter sistotomi adalah:
1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat menc cederai prostat.
2. Mencederai rongga/organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang
baik akan menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu
saluran kemih, degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi
refluks vesiko-ureter.

2.3.7 Komplikasi
1. Tegangan dari dinding buli-buli terus meningkat sampai tercapai batas
toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami
dilatasi sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya,
maka kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun.
2. Akibat residu urin yang tidak keluar secara tuntas akan menimbulkan
kecenderungan untuk terbentuknya batu kandung kemih akibat kristalisasi
dari urin.
3. Retensi urin yang berkepanjangan, terjadi peningkatan tekanan intra
vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi saluran kemih bagian atas (sistitis, pielonefritis,
urosepsis).
4. Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam
lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi
hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.

2.3.8 Prognosis
Prognosis pada penderita dengan retensi urin akut akan bonam jika
retensi urin ditangani secara cepat.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Retensi urin merupakan ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin


yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Retensi urin memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya
kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada
rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada
suprapubik saat berkemih.
Penanganan retensi urin dengan mengevakuasi urin dari kandung kemih. Urin
dapat dikeluarkan dengan cara kateterisasi atau sistostomi buli-buli bila
fasilitas/sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tersedia.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih.http//www.scribd.com/doc/38991454/anatomi-


Fisiologi-Ginjal

Ganong. Review of medical Phisiologi. USA. McGraw-Hill companies. 2003

Guyton & Hall. Textbook of medical Phisiologi. 2003.

Price, Sylvia dkk. Patofisiologi konsep klinis proses penyakit volume I1 2006.

Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaannya. Widjoseno Gardjito Lab/UPF


Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Schwartz, Seymour I. 2009. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed 6. EGC Jakarta.

Suyono S, 2007, Buku Ajar Ilmur Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai