Pembimbing :
dr. H. ERIE TRIJONO, Sp.THT-KL
Disusun oleh :
MINATUL AINI
(21704101030)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Atas izin dan kehendak Allah, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul EPISTAKSIS ANTERIOR SINISTRA.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada dr. Erie Trijono, Sp.THT-KL selaku kepala
SMF Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok (THT) yang telah
membimbing saya dalam penulisan laporan kasus ini. Laporan kasus ini dibuat untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok
dan meningkatkan keilmuan dibidang kesehatan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Kritik dan saran diharapkan guna menyempurnakan penulisan kedepannya. Semoga laporan
kasus ini memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .........................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................1
1.3 TUJUAN ............................................................................2
1.4 MANFAAT .........................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI ...........................................................................3
2.2.EPIDEMIOLOGI................................................................3
2.3 ETIOLOGI..........................................................................3
2.4 KLASIFIKASI....................................................................6
2.5 PATOFOSIOLOGI..............................................................7
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS..............................................8
2.7 PENATALAKSANAAN.....................................................9
2.8 KOMPLIKASI....................................................................16
2.9 PROGNOSIS ......................................................................16
BAB III DATA PASIEN..........................................................................17
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................29
BAB V KESIMPULAN ........................................................................31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................32
iii
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
GAMBAR 1 PERBEDAAN EPISTAKSIS ANTERIOR DAN POSTERIOR.....7
GAMBAR 2 PEMBULUH DARAH RONGGA HIDUNG..................................8
GAMBAR 3 PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR.....................................10
GAMBAR 4 PEMASANGAN TAMPON BELLOCQ.......................................11
GAMBAR 5 BALLOON TAMPONADE...........................................................12
GAMBAR 6 MEKANISME KERJA CARBAZOCHROME SODIUM
SULFONATE (EPINEFRIN)........................................................13
GAMBAR 7 MEKANISME KERJA ASAM TRANEKSAMAT.......................14
GAMBAR 8 PERAN VITAMIN K PADA SISTEM KOAGULASI.................15
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung yang dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau bagian posterior rongga hidung.
Epistaksis dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Kebanyakan ringan
3
dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak
segera ditangani 1.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman
Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach
merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh
darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis 1.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi
atau arteriosclerosis. Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya adalah sama,
dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia < 20 tahun dan > 40
tahun. Sekitar 10% dari episode epistaksis adalah perdarahan posterior. Perdarahan
posterior paling sering berasal dari arteri. Hal ini menunjukkan besarnya risiko
membahayakan jalan pernapasan, aspirasi dan kesulitan dalam mengendalikan
perdarahan3.
2.3. ETIOLOGI
Etiologi epistaksis multifaktor, oleh sebab itu riwayat penyakit dan pemeriksaan
diperlukan untuk identifikasi penyebab. Penyebab epistaksis dapat diklasifikasikan oleh
2.3.1. Faktor Lokal
Faktor lokal yang menjadi penyebab epistaksis antara lain :
1) Kelainan atau anomali pembuluh darah
2) Infeksi hidung
3) Trauma
4) Iatrogenic
5) Neoplasma
6) Benda asing.
Trauma lokal mengorek hidung merupakan fakor penyebab utama
epistaksis pada anak-anak. Pada epistaksis yang rekuren dan pada kasus yang
berat sangat penting untuk mengetahui penyebab perdarahan, lokal, atau
sekunder akibat sistemik koagulopati bawaan. Penyebab epistaksis pada anak–
anak lebih unik dari pada dewasa, sehingga perlu identifikasi penyebab untuk
penatalaksanaan oleh spesialis THT dan spesialis hematologi anak5.
Fathy dan kawan kawan dalam penelitiannya menemukan faktor lokal pada
anak-anak, 80% rhinitis bakterial, sepertiga kasus terlihat krusta dan ekskoriasi
bagian anterior septum akibat mengorek hidung yang merupakan kebiasaan pada
anak-anak. Stafilokokus aureus kelihatannya memunyai peranan dalam proses
ineksi, kolonisasi bakteri ini dalam rongga hidung menghasilkan inflamasi kronik
yang menyebabkan neovaskuarisasi septum yang mudah berdarah bila dikorek
sehingga terjadi epistaksis rekuren. Pada sepertiga kasus ditemukan adanya benda
asing di hidung. Rhinitis alergika ditemukan pada 8% kasus, terdapat bersin,
4
2.4. KLASIFIKASI
2.4.1. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior merupakan perdarahan rongga hidung bagian anterior,
dimana sumber perdarahannya berasal plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior
lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
2
dibandingkan epistaksis posterior . Epistaksis anterior merupakan jenis
epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya
dapat berhenti sendiri. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha
inferior. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan2.
2.5. PATOFISIOLOGI
Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior.
90% epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding
7
rongga hidung. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung
banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan
melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap
pengaruh dari luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan
bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan
udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk
mencegah pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan,
iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan
epistaksis.
Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari
bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin
ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien
menderita hipertensi. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior,
diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-
nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri
Mekanisme terjadinya epistaksis pada pasien hipertensi adalah sebagai berikut.
Nakada, et al. membuktikan terjadinya apoptosis pembuluh darah mikro pada pasien
dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi menyebabkan penebalan pada
dinding pembuluh darah dan menyebabkan peningkatan terjadinya apoptosis yang
merupakan usaha tubuh untuk meregresi terjadinya penebalan pada dinding pembuluh
darah. Teori ini diduga semakin menyakinkan terjadinya mekanisme spontan epistaksis.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Faktor degeneratif karena usia juga berpengaruh terhadap terjadinya epistaksis.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan
perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.
Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma
2.7. PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang
datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah
dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah
harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera
diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan
hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi
9
kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi PRC
disamping penggantian cairan.
1). Epistaksis Anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian depan. Pasien diposisikan duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dab
mudah membatukkan darah dari tenggorokan. Apabila tidak berhenti dengan
sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan
dengan menekan cuping hidung dari luar selama 5-10 menit. Bila perdarahan
masih berlangsung maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi
salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat
tampon dilepas.
Adapun cara pemasangan tampon anterior sebagai berikut :
Hidung yang berdarah dibuka dengan spekulum hidung
Tampon diberi salep kloramphenikol 10 %
Tampon anterior dimasukkan melalui rongga hidung depan, dipasang secara
berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung.
Fiksasi tampon dengan plester diluar rongga hidung depan
Tali Bellocq diikat dengan diganjla kasa, agar bola kasa tidak melorot ke
faring, kemudian langsung diplester.
Tali yang dimulut hari eprtama diplester pada sudut mulut kiri (tali agak
kendor, untuk mengunyah makanan halus), hari kedua dipindahkan ke sudut
mulut kanan dan seterusnya bergantian agar tidak terjadi laserasi pada sudut
mulut.
Tampon anterior dilepas bertahap pada hari kelima, dan tampon Bellocq
dilepas pada hari keenam 11.
Di bawah ini merupakan gambar cara pemasnagan tampon psterior.
Asam traneksamat
Asam Trenaxamat merupakan salah satu agen anti-fibrinolisis derivat
sintetis dari asam amino lisin, atau lebih dikenal dengan lisin analog. Asam
traneksamat secara struktur mirip dengan lisin sehingga mampu menghambat
tempat ikatan lisin-plasminogen pada fibrin. Obat ini merupakan golongan
antifibrinolitik yang bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat
aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat bekerja
menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada meingkatnya aktivitas
pembekuan darah 8,9.
Beberapa obat yang memiliki kandungan asam traneksamat antara lain
bernama dagang sebagai berikut : Kalnex, Asam Traneksamat, Asamnex,
Clonex 250, Clonex 500, Ethinex, Haemostop, Intermic, Lexatrans, Lunex,
Nexa, Plasminex, Pytramic 500, Quanex, Ronex, Tramix, Tranec, Tranexamid
Acid, Tranexid, Transamin, Tranxa dan Traxcid. Obat ini bisa diberikan injeksi
IV 3x500 mg, dan bisa juga diberikan secara drip dengan cairan infus.
Vitamin K
Pada dasarnya Vitamin K diperlukan hati untuk pembentukan protrombin
dan kekurangan vitamin K dan ganggaun hati dapat menyebabkan perdarahan.
Vitamin K terdapat dalam bentuk obat dan berfungsi sebagai koenzim dari
karboksilase dependent K yang berguna pada sintesis protein pembekuan
darah. Secara farmakodinamik vitamin K berguna untuk meningkatkan
biosintesis beberapa faktor pembekuan darah yaitu protrombin, faktor II, faktor
VII (prokonvertin), farktor IX (faktor Christmas) dan faktor X (faktor Stuart)
yang berlangsung di hati. Dengan adanya mekanisme ini maka vitamin K
dibutuhkan dalam kejadian perdarahan untuk membantu menghentikan
perdarahan 10.
Vitamin K yang biasa digunakan untuk perdarahan adalah Vitamin K1
atau nama lainnya phytomenadione. Nama dagang vitamin K yang biasa
dipakai antara lain : Phytomenadione I.M/S.K, Phytodone I.V/I.M, Kenadion
I.V/I.M, Vitadion I.M/S.C. Dosis injeksi vitamin K adalah 3x1.
CATATAN :
Adona (Carbazochrome Sodium Sulfonate) tidak boleh diberikan bersamaan
dengan Asam Traneksamat karena bersifat kompetitif, sehingga justru menyebabkan
efek yang tidak maksimal dalam menghentikan perdarahan. Adona dan Asam
Traneksamat sama-sama boleh diberikan bersmaan dengan Vitamin K.
b). Antibiotik
Antibiotik yang bisa digunakan pada kasus epistaksis antara lain Amoksisilin 3x500
mg. Antibiotik diberikan karena tampon merupakan benda asing yang berpotensi
menyebabkan infeksi walaupun pada tampun sudah ada salep koramphenikol 10 %.
c). Analgesik
Analgesik yang bisa digunakan pada kasus epistaksis antara lain Asam Mefenamat
3x500 mg.
d). Antihipertensi
Obat ini diberikan pada pasien epistaksis dengan penyebab hipertensi. Obat yang
bisa digunakan antara lain Captopril 3x25 mg.
Selain terapi medikamentosa, perlu juga dilakukan pemeberian transfusi jika Hb < 8
g/dl. Transfusi yang biasanya diberikan adalah Pack Red Cell (PRC). Tujuan pemberian
transfusi adalah untuk mencegah komplikasi anemia berat karena perdarahan epistaksis.
2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi
darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal
ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi,
hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan secepatnya3.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septicemia,
atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
15
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
berlanjut dipasang tampon baru3.
2.9. PROGNOSIS
Prognosis epistaksis pada dasarnya dubia ad bonam, akan tetapi bervariasi. Dengan
terapi yang adekuat dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak
mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan
tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih
agresif. Namun ada beberapa kejadian rekurensi pada pasien tertentu 3.
BAB III
DATA PASIEN
N
I
NO. NAMA KANDIDAT : MINATUL AINI K L
TANGGAL UJIAN : 29 November 2018 L/ A
L I
I. ACTUAL MARK / PENILAIAN KOMPETENSI
1. Kemampuan Anamnesis : 3
A. Identitas : Nama, Umur, Alamat, Pekerjaan, dst.
- Nama : Tn. S
16
- Usia : 46 tahun
- Alamat : Srengat , Blitar
- Pekerjaan : Swasta (mekanik/mengelas)
- Suku : Jawa
- Agama : Islam
- Status : Menikah
- Pendidikan terakhir : SMA
B. Keluhan Utama : Telinga / Hidung / Tenggorok.
- Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung kiri
- RPS :
Pasien mengeluh keluar darah dari hidung kiri tadi malam, dengan jumlah
kira-kira sebanyak 1 gelas (250 cc). Darah juga dirasakan masuk
tenggorokan. Warna darah merah segar dan encer. Dua hari sebelumnya
pasien juga mengalami hal yang sama dengan jumlah perdarahan yang
lebih banyak, kurang lebih dua aqua botol sedang (1.200 ml). Saat itu
pasien dibawa ke IGD dan dipasang tampon anterior. Setelah diobservasi 2
jam perdarahan berhenti, sehingga tampon dilepas dan pasien rencana akan
dipulangkan. Akan tetapi, 20 menit kemudian terjadi perdarahan hidung
kembali dan kemudian dipasang tampon untuk kedua kalinya. Pasien
kemudian dirawat inapkan. Setelah perdarahan berhenti, tampon dilepas
hingga saat ini. Pasien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat trauma
hidung atau penyakit pada hidung.
C. Kronologis Keluhan Lain dari Telinga / Hidung / Tenggorok yang
berhubungan. Anamnesis semua keluhan Telinga / Hidung / Tenggorok
akan menambah nilai.
TELINGA :
Otorea ka./ki. -/-
Lamanya -/-
Terus-terus / kadang-kadang -/-
Pendengaran ka./ki. -/-
Tinnitus ka./ki. -/-
Nyeri -/-
Sakit kepala -/-
Pusing -/-
Mau jatuh ke ka./ki. -/-
Muka miring ke ka./ki. -/-
Panas -/-
Keluhan lain -/-
HIDUNG
Pilek ka./ki. : - /-
Lamanya: - / -
17
Terus-menerus/kadang-kadang
Buntu ka./ki. :
Lamanya:
Terus-menerus / kadang-kadang
Sekret encer/kental/tidak bisa keluar
Berbau - / -
Bercampur darah -/-
Bersin-bersin -/-
Epistaksis ka/ki : -/+, sisa darah kering -/+.
Anosmia -/-
Sakit kepala -/-
Sakit di hidung - / -
Keluhan lain:
TENGGOROK :
Sakit menelan lamanya -/-
sering-sering -/-
yang terakhir -/-
Trismus -/-
Ptialismus -/-
Panas sering-sering -/-
yang terakhir -/-
Sakit kepala -/-
Rasa ngganjel -/-
Rasa mukus -/-
Keluhan lain :
LARING :
Sakit menelan -/-
Parau / serak lamanya -/-
terus-terus / kadang-kadang
Sesak -/-
Rasa ngganjel -/-
Keluhan lain -/-
D. RPD : HT, DM, Gastritis, Alergi Obat tertentu, Alergi Terhadap bahan-
bahan lain dan riwayat alergi di keluarga.
- RPD :
18
TELINGA :
LIANG TELINGA LUAR (Meatus Akustikus Externus) :
Bau Busuk : -/-
Sekret : tak ada / sedikit / banyak
Granulasi / polip : tak ada / sedikit / banyak
Dinding belakang atas : turun / tidak
Fistula : -/-
Gejala fistula pre aurikularis : -
Gejala intracranial : -
19
Gejala labirin : -
Saraf fasialis / N.VII : Parese / Paralise : -
Udem / abses aurikularis : -
Fistel retro aurikularis : -
Nyeri tekan : -
MEMBRANA TIMPANI :
Intak + / +
Retraksi
Bombans
Perforasi
Vestibulum nasi : sekret -/-, krusta -/-, bisul -/-, darah kering -/+
Dasar kavum nasi : sekret -/- (minimal), darah kering -/+
Meatus nasi inferior : dBN/dBN
Konka nasi inferior : hiperemia -/-
Meatus nasi media : mukopus purulen (-).
Konka nasi media : hiperemia -/-
Fisura olfaktoria : deviasi septum -/-
Septum nasi : -/-
Benda asing :-
Fenomena Palatum Molle : -
Rinoskopia posterior : Tidak dilakukan
Koana :-
Kauda konka nasi :-
Nasofaring : - Atap :-
- Dinding posterior :-
- Dinding lateral :-
Ostium tubae :-
Torus tubarius :-
Fosa rosenmuller : -
Transiluminasi : - Sinus Frontalis : Terang / Terang
- Sinus Maksilaris : Terang / Terang
Gejala lain :
- Dorsum nasi : krepitasi (-), deformitas (-)
- Regio Frontalis : nyeri tekan -/-
Regio Maksilaris: nyeri tekan fossa kanina -/-
TENGGOROK :
Bibir : kering (-), ulkus (-), stomatitis angularis (-)
Mulut : trismus (-), ptialismus (-), gerakan bibir dan sudut mulut dBN
Gusi : hiperemia (-), ulkus (-), odem (-)
Lidah : stomatitis aftosa (-), atrofi (-), tumor/massa (-)
Palatum durum : Torus palatinus - / -
Palatum mole : hiperemia (-), ulkus (-)
Uvula : bentuk : dBN
posisi : Selalu menunjuk ke bawah
tumor : -
Tonsil :
Kanan T 1 Kiri T 1
Besar: normal
Warna: Merah Muda
Udem: -/-
Kripte melebar: -/-
Detritus: -/-
Membran: -/-
22
Ulkus: -/-
Tumor: -/-
Mobilitas: dBN
Faring :
warna : Merah muda
udem :-
granula :-
lateral band : dBN
secret :-
reflex muntah :+
lain – lain : tidak ditemukan
Kelenjar getah bening :
warna kulit : sama dengan kulit sekitar
soliter / multiple : -/-
ukuran :-
konsistensi : -/-
nyeri tekan : -/-
mobilitas : -/-
PEMERIKSAAN LAIN-LAIN :
- Laringoskopi direk (tidak dilakukan)
- Laringoskopi indirek (Tidak Dilakukan)
Epiglotis ( - )
Aritenoid ( - )
Plica Ventrikularis ( - )
- Pemeriksaan Mulut : Tidak didapatkan kelainan pada bagian mukosa, lidah
maupun ginggiva.
- Pemeriksaan rongga tenggorok tidak tampak kelainan yang bermakna yaitu
Tonsilla palatina (T1/T1), arkus faring posterior hiperemis (-/-),
granula-granula multiple (-), lesi (-).
G. Cuci Tangan Setelah Memeriksa Pasien.
3. Melakukan Tes / Prosedur Klinik / Interpretasi Data Untuk Menunjang 3
Diagnosis Banding / Diagnosis Utama :
A. Audiogram bila diperlukan.
Tidak dilakukan
B. Hasil Laboratorium
Tanggal 06/11/2018
Hb : 13,6 g/dl (dBN)
Leukosit : 7.430 /cmm (dBN)
Trombosit : 266.000/Cmm (dBN)
Eritrosit : 4.970.000 /Cmm(dBN)
PPT : 10.9 detik (dBN)
23
Kriteria Penilaian :
0 = Tak Menanyakan atau Tak Melakukan Apapun
1 = Melakukan 1 Item dari 3 Item Penting
2 = Melakukan 2 Item dari 3 Item Penting
3 = Melakukan 3 Item dari 3 Item Penting
BAB IV
PEMBAHASAN
pasien ini juga diberikan analgesik yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri akibat
tekanan hidung oleh tampon. Pemberian nasal dekongestan bertujuan untuk
menurunkan permeabilitas vaskular hidung sehingga juga mengurangi perdarahan dan
mencegah produksi sekret hidung. Pemberian antihistamin pada pasien ini bertujuan
untuk menekan sensasi gatal yang timbul akibat aadanya tampon. Pemberian Antasida
pada pasien ini bertujuan untuk mencegah iritasi mukosa lambung akibat konsumsi
analgesik, karena pasien mengeluhkan nyeri perut setelah mengkonsumsi obat
analgesik. Pada pasien ini juga diberikan vitamin B complex yang bertujuan sebagai
penambah vitamin yang dikonsumsi. Infus yang diberikan pada pasien ini adalah
RL:D5%, 1:1. Infus yang dipilih adalah RL karena variasi elektrolitnya lebih banyak
dan pada pasien ini juga tidak ada Hipertensi dan CKD.
Pada saat diruangan dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang untuk
mengetahui nilai Hb, karena pasien mengalami epistaksis lagi. Hasil lab tanggal
08/11/2018 Hb pasien 9,70 g/dl (sebelumnya tanggal 06/11/2018 13,6 g/dl). Oleh sebab
itu pada pasien ini diberikan transfusi PRC 2 labu. Tujuan transfusi PRC ini adalah
untuk meningkatkan jumlah Hb mencapai normal. Pack Red Cell merupakan
komponen darah dengan volume 150 250 ml eritrosit dengan jumlah plasma yang
minimal dan diindikasikan untuk penggantian eritrosit pada anemia.
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosa pada kasus ini adalah epistaksis anterior. Dasar diagnosa ini adalah
dari anamnesa, pemeriksaan THT dan pemeriksaan fisik secara umum.
2. Etiologi pada kasus ini kemungkinan adalah pekerjaan pasien sebagai pengelas.
Paparan panas yang terus menerus akibat mesin las dapat mempengaruhi
mukosa hidung dan pembuluh darah lebih rapuh, sehingga mudah terjadi
perdarahan.
29
DAFTAR PUSTAKA