Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS ANTERIOR SINISTRA

Pembimbing :
dr. H. ERIE TRIJONO, Sp.THT-KL

Disusun oleh :
MINATUL AINI
(21704101030)

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TELINGA
HIDUNG DAN TENGGOROK
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
MALANG
2018
i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Atas izin dan kehendak Allah, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul EPISTAKSIS ANTERIOR SINISTRA.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada dr. Erie Trijono, Sp.THT-KL selaku kepala
SMF Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok (THT) yang telah
membimbing saya dalam penulisan laporan kasus ini. Laporan kasus ini dibuat untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok
dan meningkatkan keilmuan dibidang kesehatan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Kritik dan saran diharapkan guna menyempurnakan penulisan kedepannya. Semoga laporan
kasus ini memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Blitar, 16 November 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................i


DAFTAR ISI ..........................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .........................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................1
1.3 TUJUAN ............................................................................2
1.4 MANFAAT .........................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI ...........................................................................3
2.2.EPIDEMIOLOGI................................................................3
2.3 ETIOLOGI..........................................................................3
2.4 KLASIFIKASI....................................................................6
2.5 PATOFOSIOLOGI..............................................................7
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS..............................................8
2.7 PENATALAKSANAAN.....................................................9
2.8 KOMPLIKASI....................................................................16
2.9 PROGNOSIS ......................................................................16
BAB III DATA PASIEN..........................................................................17
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................29
BAB V KESIMPULAN ........................................................................31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................32
iii

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN
GAMBAR 1 PERBEDAAN EPISTAKSIS ANTERIOR DAN POSTERIOR.....7
GAMBAR 2 PEMBULUH DARAH RONGGA HIDUNG..................................8
GAMBAR 3 PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR.....................................10
GAMBAR 4 PEMASANGAN TAMPON BELLOCQ.......................................11
GAMBAR 5 BALLOON TAMPONADE...........................................................12
GAMBAR 6 MEKANISME KERJA CARBAZOCHROME SODIUM
SULFONATE (EPINEFRIN)........................................................13
GAMBAR 7 MEKANISME KERJA ASAM TRANEKSAMAT.......................14
GAMBAR 8 PERAN VITAMIN K PADA SISTEM KOAGULASI.................15
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung.
Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis
bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak
segera ditangani.
Etiologi epistaksis multifaktor, oleh sebab itu riwayat penyakit dan pemeriksaan
diperlukan untuk identifikasi penyebab. Penyebab epistaksis dapat diklasifikasikan
berdasarkan faktor lokal, faktor sistemik dan faktor lingkungan. Anamnesis dan
pemeriksaan THT maupun pemeriksaan secara menyeluruh harus dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebabnya. Terdapat berbagai macam tindakan dalam
penatalaksanaan epistaksis seperti penekanan lokal dengan tangan, tampon anterior
dan posterior hidung, kauter dengan bahan kimia atau elektrik, embolisasi, dan ligasi
pembuluh darah. Penatalaksanaan ini dilakukan dengan memperhatikan masing-
masing gejala dan etiologinya.
Oleh sebab itu, laporan kasus tentang epistaksis sangat penting untuk dipelajari
mengingat seringnya kejadian kasus ini pada masyarakat secara umum.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana definisi epistaksis ?
2. Bagaimana epidemiologi epistaksis ?
3. Apa saja etiologi epistaksis ?
4. Apa saja klasifikasi epistaksis ?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya epistaksis ?
6. Bagaimana penegakan diagnosa epistaksis ?
7. Bagaimana penatalaksanaan epistaksis ?
8. Apa saja komplikasi epistaksis ?
9. Bagaimana prognosis epitaksis ?

1.2 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui dan memahami definisi epistaksis
2. Untuk mengetahui dan memahami epidemiologi epistaksis
3. Untuk mengetahui dan memahami etiologi epistaksis
4. Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi epistaksis
5. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi terjadinya epistaksis
6. Untuk mengetahui dan memahami a penegakan diagnosa epistaksis
2

7. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan epistaksis


8. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi epistaksis
9. Untuk mengetahui dan memahami prognosis epitaksis

1.3 MANFAAT PENULISAN


1. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis terkait epistaksis
2. Sebagai pembelajaran bagi Dokter Muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung yang dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau bagian posterior rongga hidung.
Epistaksis dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Kebanyakan ringan
3

dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak
segera ditangani 1.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman
Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach
merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh
darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis 1.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi
atau arteriosclerosis. Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya adalah sama,
dan distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia < 20 tahun dan > 40
tahun. Sekitar 10% dari episode epistaksis adalah perdarahan posterior. Perdarahan
posterior paling sering berasal dari arteri. Hal ini menunjukkan besarnya risiko
membahayakan jalan pernapasan, aspirasi dan kesulitan dalam mengendalikan
perdarahan3.

2.3. ETIOLOGI
Etiologi epistaksis multifaktor, oleh sebab itu riwayat penyakit dan pemeriksaan
diperlukan untuk identifikasi penyebab. Penyebab epistaksis dapat diklasifikasikan oleh
2.3.1. Faktor Lokal
Faktor lokal yang menjadi penyebab epistaksis antara lain :
1) Kelainan atau anomali pembuluh darah
2) Infeksi hidung
3) Trauma
4) Iatrogenic
5) Neoplasma
6) Benda asing.
Trauma lokal mengorek hidung merupakan fakor penyebab utama
epistaksis pada anak-anak. Pada epistaksis yang rekuren dan pada kasus yang
berat sangat penting untuk mengetahui penyebab perdarahan, lokal, atau
sekunder akibat sistemik koagulopati bawaan. Penyebab epistaksis pada anak–
anak lebih unik dari pada dewasa, sehingga perlu identifikasi penyebab untuk
penatalaksanaan oleh spesialis THT dan spesialis hematologi anak5.
Fathy dan kawan kawan dalam penelitiannya menemukan faktor lokal pada
anak-anak, 80% rhinitis bakterial, sepertiga kasus terlihat krusta dan ekskoriasi
bagian anterior septum akibat mengorek hidung yang merupakan kebiasaan pada
anak-anak. Stafilokokus aureus kelihatannya memunyai peranan dalam proses
ineksi, kolonisasi bakteri ini dalam rongga hidung menghasilkan inflamasi kronik
yang menyebabkan neovaskuarisasi septum yang mudah berdarah bila dikorek
sehingga terjadi epistaksis rekuren. Pada sepertiga kasus ditemukan adanya benda
asing di hidung. Rhinitis alergika ditemukan pada 8% kasus, terdapat bersin,
4

gatal, dan hidung tersumbat Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan insiden


pembesaran adenoid sebanyak 4%, walaupun tidak ada laporan pada
kepustakaan, obstruksi hidung menyebabkan aliran turbulen pada hidung di
depan obstruksi akibat adenoid yang membesar, sehingga kekeringan meningkat,
dapat menyebabkan disrupsi mukosa dan epistaksis5
Epistaksis yang rekuren dapat merupakan gejala adanya massa lokal di
hidung atau nasofaring seperti polip atau tumor jinak maupun ganas.
Angiofibroma nasofaring juvenile menyebabkan epistaksis yang rekuren. Faktor
lokal, Sengupta (2010), mengatakan laki-laki lebih banyak mengalami epistaksis.
Epistaksis anterior lebih sering ditemukan pada anak - anak dan dewasa muda,
sedangkan epistaksis posterior lebih sering pada dewasa yang lebih tua dengan
hipertensi dan arteriosklerosis2 .
Pada sebagian besar epistaksis anak-anak perdarahan spontan hampir selalu
berasal dari venosa daerah Little’s, di depan sekat rongga hidung dimana terdapat
anyaman pembuluh darah( Kiesselbach’s Plexus) yang terletak di bawah mukosa
yang tipis. Perdarahan tersering terjadi pada saat daerah ini terekspos udara
kering atau trauma kecil, krusta yang terjadi menyebabkan rasa gatal sehingga
dapat terjadi trauma minor dengan menggosok atau mengorek. Epistaksis rekuren
yang berulang pada anak yang idiopatik biasanya dihubungkan dengan adanya
krusta, vestibulitis, dan atau trauma digital, sekalipun pada banyak kasus bukan
merupakan penyebab langsung. Staphylococcus aureus kemungkinan memegang
peranan dalam hal ini, kolonisasi kuman ini dalam rongga hidung menyebabkan
inflamasi yang rendah dan lama menyebabkan neovaskularisasi di septum
bersama dengan adanya iritasi dan trauma digital, hal ini dapat menerangkan
terjadinya epistaksis berulang2.
2.3.2. Faktor Sistemik
Faktor lokal yang menjadi penyebab epistaksis antara lain :
1) Hipertensi (tersering)
Tekann darah yang tinggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah
hidung, sehingga terjadi perdarahan.
2) Arterioskerosis
Akumulasi plak pada arteriosklerosa pembuluh darah menggantikan
dinding otot pembuluh darah, sehingga kemampuan pembuluh darah untuk
konstriksi.
3) Penyakit Gangguan Koagulasi
Dalam sebuah penelitian tentang epistaksis yang rekuren ditemukan
faktor tendensi gangguan pendarahan yang herediter, sehingga epistaksis
berulang / rekuren dapat menjadi tanda adanya gangguan koagulasi. Oleh
karena itu selain riwayat penyakit, pemeriksaan lokal THT, juga diperlukan
pemeriksaann faktor koagulasi seperti waktu perdarahan, dan protrombin
time2.
4) Hereditary hemorrhagic teleangiactasia/ Osler Rendu Weber disease
5

Penyakit merupakan salah satu penyebab sistemik yang mempengaruhi


pembuluh darah hidung. Penyakit autosomal dominan non–seks ini
menyebabkan hilangnya elemen kontraktil dalam pembuluh darah
menyebabkan dilatasi pembuluh darah venulae, kapiler, dan malformasi
arteriovenosa yang dikenal sebagai teleangiektasia. Perdarahan dari
teleangiektasia sulit dikontrol.
5) Infeksi virus seperti Dengue Fever
Pada penyakit ini tejadi juga epistaksis karena jumlah trombosit
menurun. Trombosit yang sedikit tidak akan cukup untuk membentuk
sumbata pada pembuluh darah, sehingga mudah terjadi perdarahan.
6) Obat-obatan
Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin)
dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel)
2.3.3. Faktor Lingkungan
Selain faktor lokal dan sistemik, faktor lingkungan seperti kelembapan
udara dan alergi harus diperhatikan2.

2.4. KLASIFIKASI
2.4.1. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior merupakan perdarahan rongga hidung bagian anterior,
dimana sumber perdarahannya berasal plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior
lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
2
dibandingkan epistaksis posterior . Epistaksis anterior merupakan jenis
epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya
dapat berhenti sendiri. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha
inferior. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan2.

2.4.2. Epistaksis Posterior


Epistaksis posterior merupakan perdarahan rongga hidung bagian
posterior, dimana sumber perdarahannya berasal plexus Woodruuf. Epistaksis
posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Tidak ada yang tahu secara spesifik kondisi atau faktor
risiko yang berhubungan dengan perdarahan hidung posterior2.
6

GAMBAR 1. PERBEDAAN EPISTAKSIS ANTERIOR DAN EPISTAKSIS


POSTERIOR

Untuk mengetahui perbedaan klasifikasi epistaksis ini sebaiknya memahami


tentang anatomi pembuluh darah rongga hidung. Pembuluh darah utama di hidung
berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis eksterna (AKE). Arteri
optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang
posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk
mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung2.
AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior. Arteri
maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki
rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum
dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari
arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior
(cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area. Pada
posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus
Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior
dan faringeal asendens2.

GAMBAR 2. ANATOMI PEMBULUH DARAH RONGGA HIDUNG

2.5. PATOFISIOLOGI
Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaksis anterior dan posterior.
90% epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding
7

rongga hidung. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung
banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan
melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap
pengaruh dari luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan
bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan
udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk
mencegah pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan,
iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan
epistaksis.
Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari
bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin
ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien
menderita hipertensi. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior,
diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-
nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri
Mekanisme terjadinya epistaksis pada pasien hipertensi adalah sebagai berikut.
Nakada, et al. membuktikan terjadinya apoptosis pembuluh darah mikro pada pasien
dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi menyebabkan penebalan pada
dinding pembuluh darah dan menyebabkan peningkatan terjadinya apoptosis yang
merupakan usaha tubuh untuk meregresi terjadinya penebalan pada dinding pembuluh
darah. Teori ini diduga semakin menyakinkan terjadinya mekanisme spontan epistaksis.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Faktor degeneratif karena usia juga berpengaruh terhadap terjadinya epistaksis.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan
perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.
Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma

2.6. PENENGAKAN DIAGNOSIS


Penegakan diagnosis epistaksis meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik hidung.
1). Anamnesis
Beberapa hal yang penting ditanyakan saat anamnesis antara lain :
 Riwayat perdarahan sebelumnya
 Lokasi perdarahan, apakah bila pasien duduk tegak darah mengalir ke
tenggorok (posterior) ataukah keluar dari depan depan (hidung).
 Lama perdarahan dan frekuensinya
 Kecenderungan perdarahan
 Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
8

 Riwayat penyakit lain (hipertensi, diabetes melitus, penyakit hati/hematemesis,


penyakit jantung, dll)
 Riwayat penggunaan obat-obatan (antikoagulan, NSAID, fenilbutazon, dll)
 Riwayat trauma (terutama pada hidung).

2). Pemeriksaan THT


Pemeriksaan khusus THT yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan rinoskopi
anterior dan posterior.
3). Pemeriksaan Fisik Secara Umum
 Keadaan Umum
Tujuannya adalah untuk menilai kondisi pasien, apakah terjadi syok
karena perdaraha atau tidak, karena jika terjadi syok maka yang paling utama
adalah mengatasi syoknya daripada epistaksisnya.
 Tekanan darah
Tujuan pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi apakah penyebab
epistaksis hipertensi atau bukan. Selain itu tekanan darah juga bisa untuk
melihat status hemodinamik pasien, sehingga bisa mengetahui jika pasien
mengalami syok karena perdarahan.
4). Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Hal-hal yang harus dievaluasi antara lain darah lengkap, hapusan darah,
faal hemostasis, LFT, RFT, dan lain-lain.
 Pemeriksaan Radiologis
Modalitas yang bisa dipilih antara lain foto rontgen, CT Scan dan MRI.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengevaluasi trauma dan hubungannya
dengan penyakit lain3.

2.7. PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang
datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah
dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah
harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera
diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan
hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi
9

kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi PRC
disamping penggantian cairan.
1). Epistaksis Anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian depan. Pasien diposisikan duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dab
mudah membatukkan darah dari tenggorokan. Apabila tidak berhenti dengan
sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan
dengan menekan cuping hidung dari luar selama 5-10 menit. Bila perdarahan
masih berlangsung maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi
salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat
tampon dilepas.
Adapun cara pemasangan tampon anterior sebagai berikut :
 Hidung yang berdarah dibuka dengan spekulum hidung
 Tampon diberi salep kloramphenikol 10 %
 Tampon anterior dimasukkan melalui rongga hidung depan, dipasang secara
berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung.
 Fiksasi tampon dengan plester diluar rongga hidung depan

GAMBAR 3. PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR

2). Epistaksis Posterior


Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior atau tampon
Bellocq, bolloon tamponade, ligasi arteri dan embolisasi.
Adapun cara pemasangan tampon posterior adalah sebagai berikut :
 Masukkan kateter lewat hidung yang perdarahannya sedikit, lidah ditekan
dengan spatel lidah, dan tarik kateter yang tampak di faring dengan klem
bengkok.
 Tampon Bellocq diikatkan pada ujung kateter, dan kateter ditarik perlahan
keluar hidung untuk ambil tali Bellocq (tali Bellocq harus benang tebal, agar
tidak membuat laserasi mukosa cavum nasi, sehingga tidak menambah
bleeding).
 Hal yang agak sulit : secara bersamaan bola kasa yang dipegang diujung
telunjuk dan jari tengah kanan dimasukkan ke nasofaring melewati belakang
uvula, bersamaan tali Bellocq dihidung ditarik bersamaan. Kemudian tekan
bola kasa secara optimal ke nasofaring dengan ujung jari telunjuk kanan.
 Pasang tampon yang telah diberi salep kloramphenikol 10% dari rongga
hidung dengan sepadat mungkin.
10

 Tali Bellocq diikat dengan diganjla kasa, agar bola kasa tidak melorot ke
faring, kemudian langsung diplester.
 Tali yang dimulut hari eprtama diplester pada sudut mulut kiri (tali agak
kendor, untuk mengunyah makanan halus), hari kedua dipindahkan ke sudut
mulut kanan dan seterusnya bergantian agar tidak terjadi laserasi pada sudut
mulut.
 Tampon anterior dilepas bertahap pada hari kelima, dan tampon Bellocq
dilepas pada hari keenam 11.
Di bawah ini merupakan gambar cara pemasnagan tampon psterior.

GAMBAR 4. PEMASANGAN TAMPON BELLOCQ

Foley kateter atau Baloon tamponade sudah jarang digunakan, karena


dianggap tidak efektif menekan keseluruhan mukosa rongga hidung, sehingga tidak
efektif menghentikan perdarahan. Pemasangan baloon tamponade dilakukan dnegan
memasukkan kateter ke dalam rongga hidung, kemudian baloon yang berada di
rongga hidung belakang diisi air 30 ml, sedangkan baloon di rongga hidung depan
diisi air 10 ml.
11

GAMBAR 5. BALOON TAMPONADE

Adapun penatalaksanaan epistaksis secara medikamentosa adalah sebagai berikut


:
a). Hemostatik
Obat hemostatik adalah obat yang bekerja untuk menghentikan perdarahan.
Adapun beberapa contoh obat hemostatik adalah sebagai berikut :
 Carbazochrome Sodium Sulfate
Carbazohrome Sodium Sulfonat merupakan senyawa hasil proses oksidasi
adrenalin (epinephrine). Di dalam tubuh manusia juga terdapat hormon
epinefrin yang merupakan golongan hormon katekolamin. Obat ini berfungsi
menghentikan aliran darah dengan cara memicu terjadinya agregasi dan adhesi
platelet di dalam darah membentuk sumbat trombosit. Mekanisme ini didasari
dengan interaksi carbazochrome (epinefrin) yang berikatan dengan α-
adrenoreceptors yang ada pada permukaan platelet. Ikatan ini akan
menyebabkan stimulasi phospolipase yang selanjutnya mengaktivasi platelet
dan agregasi plateler. Dalam bentuk garamnya, yaitu Carbazochrome sodium
sulfonate menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan memperkuat
resistensi kapiler 6,7,12.
Beberapa obat yang memiliki kandungan asam traneksamat antara lain
bernama dagang sebagai berikut : Adona (AC-17), Crome, Chromazol,
Saldona, Adrome, Velchrome. Obat ini biasa diberikan secara drip dengan
cairan infus 500 ml.
Di bawah ini merupakan gambar mekanisme kerja Carbazochrome
Sodium Sulfonate yang merupakan senyawa epinefrine.
12

GAMBAR 6. MEKANISME KERJA CARBAZOCHROME


SODIUM SULFONATE (EPINEFRINE) 12

 Asam traneksamat
Asam Trenaxamat merupakan salah satu agen anti-fibrinolisis derivat
sintetis dari asam amino lisin, atau lebih dikenal dengan lisin analog. Asam
traneksamat secara struktur mirip dengan lisin sehingga mampu menghambat
tempat ikatan lisin-plasminogen pada fibrin. Obat ini merupakan golongan
antifibrinolitik yang bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat
aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat bekerja
menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada meingkatnya aktivitas
pembekuan darah 8,9.
Beberapa obat yang memiliki kandungan asam traneksamat antara lain
bernama dagang sebagai berikut : Kalnex, Asam Traneksamat, Asamnex,
Clonex 250, Clonex 500, Ethinex, Haemostop, Intermic, Lexatrans, Lunex,
Nexa, Plasminex, Pytramic 500, Quanex, Ronex, Tramix, Tranec, Tranexamid
Acid, Tranexid, Transamin, Tranxa dan Traxcid. Obat ini bisa diberikan injeksi
IV 3x500 mg, dan bisa juga diberikan secara drip dengan cairan infus.

Di bawah ini merupakan gambar mekanisme kerja asam traneksamat.


13

GAMBAR 7. MEKANISME KERJA ASAM TRANEKSAMAT

 Vitamin K
Pada dasarnya Vitamin K diperlukan hati untuk pembentukan protrombin
dan kekurangan vitamin K dan ganggaun hati dapat menyebabkan perdarahan.
Vitamin K terdapat dalam bentuk obat dan berfungsi sebagai koenzim dari
karboksilase dependent K yang berguna pada sintesis protein pembekuan
darah. Secara farmakodinamik vitamin K berguna untuk meningkatkan
biosintesis beberapa faktor pembekuan darah yaitu protrombin, faktor II, faktor
VII (prokonvertin), farktor IX (faktor Christmas) dan faktor X (faktor Stuart)
yang berlangsung di hati. Dengan adanya mekanisme ini maka vitamin K
dibutuhkan dalam kejadian perdarahan untuk membantu menghentikan
perdarahan 10.
Vitamin K yang biasa digunakan untuk perdarahan adalah Vitamin K1
atau nama lainnya phytomenadione. Nama dagang vitamin K yang biasa
dipakai antara lain : Phytomenadione I.M/S.K, Phytodone I.V/I.M, Kenadion
I.V/I.M, Vitadion I.M/S.C. Dosis injeksi vitamin K adalah 3x1.

Di bawah ini merupakan gambaran peran vitamin K


14

GAMBAR 8. PERAN VITAMIN K PADA SISTEM KOAGULASI

CATATAN :
Adona (Carbazochrome Sodium Sulfonate) tidak boleh diberikan bersamaan
dengan Asam Traneksamat karena bersifat kompetitif, sehingga justru menyebabkan
efek yang tidak maksimal dalam menghentikan perdarahan. Adona dan Asam
Traneksamat sama-sama boleh diberikan bersmaan dengan Vitamin K.

b). Antibiotik
Antibiotik yang bisa digunakan pada kasus epistaksis antara lain Amoksisilin 3x500
mg. Antibiotik diberikan karena tampon merupakan benda asing yang berpotensi
menyebabkan infeksi walaupun pada tampun sudah ada salep koramphenikol 10 %.
c). Analgesik
Analgesik yang bisa digunakan pada kasus epistaksis antara lain Asam Mefenamat
3x500 mg.
d). Antihipertensi
Obat ini diberikan pada pasien epistaksis dengan penyebab hipertensi. Obat yang
bisa digunakan antara lain Captopril 3x25 mg.

Selain terapi medikamentosa, perlu juga dilakukan pemeberian transfusi jika Hb < 8
g/dl. Transfusi yang biasanya diberikan adalah Pack Red Cell (PRC). Tujuan pemberian
transfusi adalah untuk mencegah komplikasi anemia berat karena perdarahan epistaksis.

2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi
darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal
ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi,
hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan secepatnya3.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septicemia,
atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
15

pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
berlanjut dipasang tampon baru3.

2.9. PROGNOSIS
Prognosis epistaksis pada dasarnya dubia ad bonam, akan tetapi bervariasi. Dengan
terapi yang adekuat dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak
mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan
tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih
agresif. Namun ada beberapa kejadian rekurensi pada pasien tertentu 3.

BAB III
DATA PASIEN

N
I
NO. NAMA KANDIDAT : MINATUL AINI K L
TANGGAL UJIAN : 29 November 2018 L/ A
L I
I. ACTUAL MARK / PENILAIAN KOMPETENSI
1. Kemampuan Anamnesis : 3
A. Identitas : Nama, Umur, Alamat, Pekerjaan, dst.
- Nama : Tn. S
16

- Usia : 46 tahun
- Alamat : Srengat , Blitar
- Pekerjaan : Swasta (mekanik/mengelas)
- Suku : Jawa
- Agama : Islam
- Status : Menikah
- Pendidikan terakhir : SMA
B. Keluhan Utama : Telinga / Hidung / Tenggorok.
- Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung kiri
- RPS :
Pasien mengeluh keluar darah dari hidung kiri tadi malam, dengan jumlah
kira-kira sebanyak 1 gelas (250 cc). Darah juga dirasakan masuk
tenggorokan. Warna darah merah segar dan encer. Dua hari sebelumnya
pasien juga mengalami hal yang sama dengan jumlah perdarahan yang
lebih banyak, kurang lebih dua aqua botol sedang (1.200 ml). Saat itu
pasien dibawa ke IGD dan dipasang tampon anterior. Setelah diobservasi 2
jam perdarahan berhenti, sehingga tampon dilepas dan pasien rencana akan
dipulangkan. Akan tetapi, 20 menit kemudian terjadi perdarahan hidung
kembali dan kemudian dipasang tampon untuk kedua kalinya. Pasien
kemudian dirawat inapkan. Setelah perdarahan berhenti, tampon dilepas
hingga saat ini. Pasien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat trauma
hidung atau penyakit pada hidung.
C. Kronologis Keluhan Lain dari Telinga / Hidung / Tenggorok yang
berhubungan. Anamnesis semua keluhan Telinga / Hidung / Tenggorok
akan menambah nilai.
TELINGA :
Otorea ka./ki. -/-
Lamanya -/-
Terus-terus / kadang-kadang -/-
Pendengaran ka./ki. -/-
Tinnitus ka./ki. -/-
Nyeri -/-
Sakit kepala -/-
Pusing -/-
Mau jatuh ke ka./ki. -/-
Muka miring ke ka./ki. -/-
Panas -/-
Keluhan lain -/-

HIDUNG
Pilek ka./ki. : - /-
Lamanya: - / -
17

Terus-menerus/kadang-kadang
Buntu ka./ki. :
Lamanya:
Terus-menerus / kadang-kadang
Sekret encer/kental/tidak bisa keluar
Berbau - / -
Bercampur darah -/-
Bersin-bersin -/-
Epistaksis ka/ki : -/+, sisa darah kering -/+.
Anosmia -/-
Sakit kepala -/-
Sakit di hidung - / -
Keluhan lain:

TENGGOROK :
Sakit menelan lamanya -/-
sering-sering -/-
yang terakhir -/-
Trismus -/-
Ptialismus -/-
Panas sering-sering -/-
yang terakhir -/-
Sakit kepala -/-
Rasa ngganjel -/-
Rasa mukus -/-
Keluhan lain :

LARING :
Sakit menelan -/-
Parau / serak lamanya -/-
terus-terus / kadang-kadang
Sesak -/-
Rasa ngganjel -/-
Keluhan lain -/-

D. RPD : HT, DM, Gastritis, Alergi Obat tertentu, Alergi Terhadap bahan-
bahan lain dan riwayat alergi di keluarga.
- RPD :
18

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung, stroke,


penyakit hati, DM, gastritis maupun penyakit lainnya.
- RPK :
Tidak ada riwayat penyakit serupa pada keluarga
Riwayat penyakit lain pada keluarga juga disangkal
- R. Pengobatan :
Sebelum dibawa ke IGD pasien dibawa ke bidan, oleh bidan langsung
dirujuk ke RSD Mardi Waluyo. Tidak ada pengobatan tertentu oleh bidan.
Tindakan yang sudah dilakukan oleh keluarga adalah menyumbat hidung
dengan daun sirih saat mimisan pertama kali di rumah.
- R. Alergi : Tidak ada riwayat alergi obat, suhu, debu dan makanan.
- R. Kebiasaan :
Kebiasaan makan dan minum pasien baik dan teratur. Pasien tidak
merokok. Minum kopi kadang-kadang saja. Kebiasaan olahraga sangat
jarang.
Pekerjaan sehari-hari pasien mengelas dan sering terpapar panas dari mesin
las.
2. Kemampuan Pemeriksaan Fisik : 3
A. Cuci tangan sebelum memeriksa pasien.
B. Vital Signs : Tensi, Nadi, Respiratory Rate, Suhu, Berat Badan dan Tinggi
Badan.
- Keadaan Umum : Baik, Tampak sakit ringan, Kesadaran CM (GCS
456)
- Vital Sign : TD (120/80 mmHg), RR (18x/menit), Suhu (36,5oC) dan
Nadi (78x/menit). BB 60 kg.
C. Cara Duduk Kandidat Saat Melakukan Pemeriksaan Pada Pasien THT.
- Cara duduk yang baik adalah kaki kiri pasien dan kaki kiri pemeriksa
berimpitan dan saat melakukan pemeriksaan hanya kepala pasien yang
bergerak / menoleh ke kiri dan kanan.
D. Pemeriksaan Telinga : Cara Memegang Auricula, Otoscopy, Tes Bisik, Tes
Garpu Tala Batas Atas dan Batas Bawah, Rinne Test, Weber Test dan
Schwabach Test.

TELINGA :
LIANG TELINGA LUAR (Meatus Akustikus Externus) :
Bau Busuk : -/-
Sekret : tak ada / sedikit / banyak
Granulasi / polip : tak ada / sedikit / banyak
Dinding belakang atas : turun / tidak
Fistula : -/-
Gejala fistula pre aurikularis : -
Gejala intracranial : -
19

Gejala labirin : -
Saraf fasialis / N.VII : Parese / Paralise : -
Udem / abses aurikularis : -
Fistel retro aurikularis : -
Nyeri tekan : -

MEMBRANA TIMPANI :
Intak + / +

Retraksi

Bombans

Perforasi

Tes Telinga Sisi Kanan Kiri


Tes Bisik 1 meter : 9/10 9/10
Tes Garpu Tala Frekuensi :
- 1024 Hz + +
- 952 Hz + +
- 512 Hz + +
- 426 Hz + +
- 341 Hz + +
- 286 Hz + +
Rinne Test + +
Schwabach Test Normal Normal
Weber Test Lateralisasi ke Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Test Bisik dan Garpu Tala:


 Normal / Tuli konduksi / persepsi D
 Normal / Tuli konduksi / persepsi S

Semua Pemeriksaan Telinga Kesan dalam batas normal.

E. Pemeriksaan Hidung : Rinoskopi Anterior, Nyeri Tekan Fossa Canina (-),


Trans-iluminasi sinus paranasalis (Diaphanoscopy) yaitu Sinus Maxillaris
dan Sinus Frontalis.

HIDUNG (pemeriksaan tanggal 08-11-18) :


Keadaan luar : bentuk normal, deformitas (-), odem (-), hiperemia (-),
epistaksis -/+, sisa darah kering -/+, darah segar -/-.
Rhinoskopia anterior :
20

Vestibulum nasi : sekret -/-, krusta -/-, bisul -/-, darah kering -/+
Dasar kavum nasi : sekret -/- (minimal), darah kering -/+
Meatus nasi inferior : dBN/dBN
Konka nasi inferior : hiperemia -/-
Meatus nasi media : mukopus purulen (-).
Konka nasi media : hiperemia -/-
Fisura olfaktoria : deviasi septum -/-
Septum nasi : -/-
Benda asing :-
Fenomena Palatum Molle : -
Rinoskopia posterior : Tidak dilakukan
Koana :-
Kauda konka nasi :-
Nasofaring : - Atap :-
- Dinding posterior :-
- Dinding lateral :-
Ostium tubae :-
Torus tubarius :-
Fosa rosenmuller : -
Transiluminasi : - Sinus Frontalis : Terang / Terang
- Sinus Maksilaris : Terang / Terang
Gejala lain :
- Dorsum nasi : krepitasi (-), deformitas (-)
- Regio Frontalis : nyeri tekan -/-
Regio Maksilaris: nyeri tekan fossa kanina -/-

- Pemeriksaan Rhinoscopy anterior dilakukan menggunakan speculum


hidung yang di operasikan menggunakan tangan kiri pemeriksa dan tangan
kanan mengoperasikan instrument lain yang diperlukan sehingga dapat
dievaluasi kelainan yang ada dalam cavum nasi. Hasil : berdasarkan
inspeksi luar tidak ditemukan deviasi septum nasi (-), oedema (-), saddle
nose (-), lorgnette nose (-), vulnus (-), maserasi bibir (-), eritema sekitar
nares anteriores (-), krusta (-), posisi septum nasi baik ditengah. Ditemukan
sisa darah kering S. Pemeriksaan dengan Spekulum : Vestibulum nasi
tampak darah kering S, cavum nasi S bagian bawah tampak ada
darah kering, tanpa pembengkakan konka atau penyempitan meatus
nasalis inferior. Fenomena palatum molle (-), pemeriksaan cavum nasi S
bagian atas tampak darah kering, tidak tampak kelainan secret (-), pus (-),
polip (-) dan septum nasi tidak tampak kelainan.
21

- Pemeriksaan Sinus : Penekanan Fossa canina sinistra (-), Pemeriksaan


Diaphanoscopy (Trans-illuminasi) : Tidak dilakukan
F. Pemeriksaan Mulut dan Tenggorok : Cara Pegang dan Masukkan Spatel
Lidah, dilakukan sebagai berikut :
1. Tangan kiri memegang spatel, tangan kanan memegang senter
2. Penderita diminta untuk membuka mulut lebar-lebar dan diminta untuk
menjulurkan lidah dan mengucapkan “aaa”
3. Penderitan diminta bernapas ( tidak boleh menahan nafas, tidak boleh
bernafas keras-keras, tidak boleh ekspirasi atau mengucap “ch”
4. Lidah ditekan dengan spatula ke arah anterior dari tonsil, hingaa
kelihatan pola bawah tonsil.

TENGGOROK :
Bibir : kering (-), ulkus (-), stomatitis angularis (-)
Mulut : trismus (-), ptialismus (-), gerakan bibir dan sudut mulut dBN
Gusi : hiperemia (-), ulkus (-), odem (-)
Lidah : stomatitis aftosa (-), atrofi (-), tumor/massa (-)
Palatum durum : Torus palatinus - / -
Palatum mole : hiperemia (-), ulkus (-)
Uvula : bentuk : dBN
posisi : Selalu menunjuk ke bawah
tumor : -

Arkus anterior : posisi : dBN


radang : -
tumor :-
Arkus posterior : posisi : dBN
radang : -
tumor :-

Tonsil :
Kanan T 1 Kiri T 1
Besar: normal
Warna: Merah Muda
Udem: -/-
Kripte melebar: -/-
Detritus: -/-
Membran: -/-
22

Ulkus: -/-
Tumor: -/-
Mobilitas: dBN
Faring :
warna : Merah muda
udem :-
granula :-
lateral band : dBN
secret :-
reflex muntah :+
lain – lain : tidak ditemukan
Kelenjar getah bening :
warna kulit : sama dengan kulit sekitar
soliter / multiple : -/-
ukuran :-
konsistensi : -/-
nyeri tekan : -/-
mobilitas : -/-

PEMERIKSAAN LAIN-LAIN :
- Laringoskopi direk (tidak dilakukan)
- Laringoskopi indirek (Tidak Dilakukan)
Epiglotis ( - )

Aritenoid ( - )

Plica Ventrikularis ( - )
- Pemeriksaan Mulut : Tidak didapatkan kelainan pada bagian mukosa, lidah
maupun ginggiva.
- Pemeriksaan rongga tenggorok tidak tampak kelainan yang bermakna yaitu
Tonsilla palatina (T1/T1), arkus faring posterior hiperemis (-/-),
granula-granula multiple (-), lesi (-).
G. Cuci Tangan Setelah Memeriksa Pasien.
3. Melakukan Tes / Prosedur Klinik / Interpretasi Data Untuk Menunjang 3
Diagnosis Banding / Diagnosis Utama :
A. Audiogram bila diperlukan.
Tidak dilakukan
B. Hasil Laboratorium
Tanggal 06/11/2018
Hb : 13,6 g/dl (dBN)
Leukosit : 7.430 /cmm (dBN)
Trombosit : 266.000/Cmm (dBN)
Eritrosit : 4.970.000 /Cmm(dBN)
PPT : 10.9 detik (dBN)
23

INR : 1.01 (dBN)


APTT : 22,9 detik (dBN)
Tanggal 08/11/2018
Hb : 9,70 g/dl (menurun dari nilai sebelumnya)
Leukosit : 14.500 /cmm (meningkat dari nilai sebelumnya)
Trombosit : 272.000/Cmm (dBN)
Eritrosit : 3.430.000 /Cmm(dBN)
PPT : 10.5 detik (dBN)
INR : 0,97 (dBN)
APTT : 19,8 detik (dBN)
C. Swab tonsil bila diperlukan.
Tidak dilakukan
D. Foto Roentgen apa saja jika diperlukan.
- Tidak dilakukan
E. Prick Test ( Untuk Rhinitis Alergi ).
Tidak dilakukan.
F. Biopsi Nasofaring pada pasien Suspect Carcinoma Nasofaring.
Tidak dilakukan.
4. Penegakan Diagnosis / Diagnosis Banding :
A. Diagnosis Utama : Epistaksis Anterior Sinistra
B. Diagnosis Sekunder : Anemia
C. Diagnosis Banding :
1. Epistaksis Posterior Sinistra
2. Ca Nasofaring
3. Hemoptisis
4. Ruptur Varises Esofagus
5. Perdarahan Basis Cranii
5. Tatalaksana Non-Farmakologis / Tindakan :
- Pemasangan tampon anterior selama 3 hari
- Kompres air dingin diatas hidung
- Puasa bicara
- Diet TKTPRG lunak lalu bertahap menjadi kasar
- Latihan mobilisasi posisi tidur dan duduk
Sandaran ditegakkan dengan sudut 70° (setengah duduk) selama 5
menit, kemudian sandaran diluruskan lagi (posisi tidur normal). Hal ini
diulang lagi 40 menit kemudian.
- Banyak mengkonsumsi jus wortel
6. Tatalaksana Farmakologis : tulis 4 resep rasional dengan lengkap dan benar 3
meliputi:
A. Tepat Indikasi.
B. Tepat Dosis ( mg, gr, cc ).
C. Tepat Sediaan ( untuk berapa hari ).
D. Tepat Cara Pemberian ( Cara minum sebelum / sesudah makan, cara oles salep,
cara pemberian tetes telinga / hidung) dan
E. Tepat Harga ( tulis resep generic bila ada resep generiknya ).
Disingkat : I DO SEDIA CA-HAR
- Terapi Farmakologis
 Kausatif :
Hemostatik :
1). Drip Adona 10 cc dalam RL : D5%, 1:1
24

2). Injeksi Vit K 3 x 1


 Simptomatik :
1). Antibiotik : Amoxicillin tablet 3 x 500 mg
2). Analgesik : Asam Mefenamat tablet 3 x 500 mg
3). Dekongestan nasal : Iliadin 0,05% nose drops 3gtt2 NDS
4). Antihistamin : Biolergy tablet 3 x 1
5). Antasida syrup 3 x C1
6). Vitamin B Complex tablet 3 x 1

dr. Minatul Aini


SIP 21704101030
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang
Alamat Praktik : Jl. Batam No.1

R/ Adona 10 cc ampul No. I


R/ Vit K ampul No. III
R/ RL flash 500 cc No. I
R/ D5% flash 500 cc No. I
R Spuit 10 cc No.II
S imm

R/ Amoxicillin 500 mg tab No. IX


S 3 dd 1 pc

R/ Asam Mefenamat 500 mg tab No. IX


S 3 dd 1 pc

R/ Iliadin 0,05% nose drop No. I


S 3 dd gtt 2 NDS

R/ Biolergy tab No. IX


S 3 dd 1 pc

R/ Vit B complex tab No. IX


S 3 dd 1 pc

R/ Antasida Syr No. I


S 3 dd C1 ac
7. Komunikasi dan Atau Edukasi Pasien meliputi : 3
A. KIE ( Komunikasi Informasi dan Edukasi ) : Posisi pasien tidur miring
Pro : Nn, A
ke kanan,
Usia Larangan
: 18 Tahun makan, manfaat olah raga apa saja, dll.
Alamat : Kuningan, Blitar
 Memberikan KIE tentang penyakit pasien, penyebab dan proses
pengobatannya
 Memberikan KIE tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab
epistaksis, sehingga bisa mencegah epistaksis kembali
 Memberikan KIE tentang cara melakukan kompres dingin
 Memberikan KIE tentang cara mobilisasi posisi tidur
 Memberikan KIE tentang makanan yang harus dihindari dan
makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh pasien sebagai diet
25

nutrisi yang baik.


 Memberi KIE kepada pasien untuk istirahat cukup dengan serta
menjaga daya tahan tubuh dengan olah raga agar kondisinya cepat
membaik.
 Edukasi untuk taat minum obat yang diberikan
 Edukasi untuk mengkonsumsi cukup cairan, terutama air putih
B. Komplikasi yang akan terjadi jika penyakit tersebut tidak diobati dengan
baik dan benar.
 Anemia Berat
 Syok Hipovolemik
C. Kirim atau Rujuk ke Dokter Spesialis yang Bersangkutan sesuai Bidang
Keahlian.
 Rujukan ke dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorok.
D. Komunikasi dua arah antara kandidat dengan pasien.
 Dilakukan
8. Perilaku Profesional : 3
Melakukan tahap-tahap point 1-7 secara sistematis ( berurutan dan tidak
lompat-lompat ) serta tegas dalam menyampaikan informasi kepada pasien.
Juga menilai apakah kandidat telah :
 Menunjukkan rasa hormat kepada pasien dan memperhatikan
kenyamanan pasien.
 Melakukan tindakan sesuai proritas.
 Melakukan setiap tindakan dengan berhati-hati dan teliti, sehingga
tidak membahayakan pasien dan diri sendiri.

Kriteria Penilaian :
0 = Tak Menanyakan atau Tak Melakukan Apapun
1 = Melakukan 1 Item dari 3 Item Penting
2 = Melakukan 2 Item dari 3 Item Penting
3 = Melakukan 3 Item dari 3 Item Penting

II. GLOBAL RATING / PENILAIAN UMUM dari 5 Item antara lain : S


Kerapian, Kesopanan, Manajemen Waktu, Komunikasi dan Sistematis. U
Tidak Lulus (Tampilkan 2 Item) P
Border Line (Tampilkan 3 Item) E
Lulus (Tampilkan 4 Item) R
Superior (Tampilkan 5 Item) I
O
R
26

KETERANGAN : KL = KURANG LENGKAP, L = LENGKAP


Dokumen Medik THT ini dibuat untuk : Laporan Kasus / Ujian Pasien. (*Coret yang tidak
perlu)

Blitar, 29 November 2018


Dokter Muda:
Penguji:

( dr. ERIE TRIJONO, Sp. THT ) (MINATUL AINI)


NIP. 19610923 198901 1 002 NIM. 21704101030

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. DASAR PENEGAKAN DIAGNOSIS


Pada kasus ini penegakan diagnosis berdasarkan dari anamnesa kepada pasien
dan keluarga, pemeriksaan THT dan pemeriksaan fisik head to toe. Pada anamnesis
didapatkan keluar darah dari kedua hidung 2 jam sebelum dibawa ke IGD RS. Keluar
hidung selama 2 kali, dengan jumlah banyak dan warna merah segar. Dari pemeriksaan
fisik saat di ruangan didapatkan bekas sisa darah kering di kedua hidung. Dari
anamnesis dan pemeriksaan hidung tersebut diagnosa pasien adalah epistaksis.
27

Untuk menentukan jenis epistaksis dan sumber perdarahan pasien diobservasi


setelah dilakukan pemasangan tampon anterior di IGD. Setelah pemasangan tampon
anterior perdarahan berhenti, maka diperkirakan sumber perdarahan berasal dari rongga
hidung anterior atau Pleksus Kiesselbach. Pada kasus ini bukan epistaksis posterior
karena biasanya pada epistaksis posterior perdarahan tetap terjadi walaupun sudah
dipasang tampon anterior. Selain itu penyebab tersering epistaksis posterior adalah
hipertensi dan aterosklerosis. Pada pasien ini tidak ada hipertensi, karena tekanan darah
pasien adalah 120/80 mmHg. Pasien ini juga tidak ada riwayat penyakit jantung
koroner atau stroke, dimana kedua penyakit ini erat berhubungan dengan
aterosklerosis.

4.2. DASAR PENATALAKSANAAN DAN TERAPI


Pada kasus ini penatalaksanaan awal pada pasien adalah pemasangan tampon
anterior. Setelah itu pasien di observasi selama 3 jam di IGD. Setelah 3 jam perdarahan
berhenti dan tampon dilepas dan rencana di pulangkan. Akan tetapi tidak berselang
lama (kurnag lebih 30 menit) pasien mengalami epistaksis kembali, sehingga pasien
dirawat inapkan.
Selain pemasangan tampon, di IGD juga diperiksan keadaan umum pasien
meliputi pemriksaan tanda-tanda vital untuk penilaian awal terjadinya syok
hipovolemik, karena jumlah perdarahan banyak. Dari permeriksaan tanda-tanda vital
dalam batas normal, konjungtiva tidak anemis, pasien tidak pucat dan sianosis,
sehingga dikatakan stasus hemodinamik pasien dalam batas normal. Tekanan darah
yang normal pada pasien ini juga menunjukkan bahwa penyebab epistaksis bukan
hipertensi.
Pada pasien dengan perdarahan banyak rentan terjadi anemia, oleh sebab itu pada
pasien ini juga dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium
tanggal 06/11/2018 hasil darah lengkap dalam batas normal dan pasien ini tidak terjadi
anemia. Selain untuk mengetahui adanya anemia, pemeriksaan laboratorium juga
bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab epistaksis, yaitu dengan melihat jumlah
trombosit dan protrombin time. Pada pasien ini jumlah trombosit dan protrombin time
dalam nilai normal, sehingga diperkirakan penyebab epistaksis bukan penyakit dengan
trombositopenia (penyakit dengue hemorrhagic fever, Idiopatic Trombositopenia
Purpura). Penyebab epistaksis pada pasien ini juga bukan penyakit dengan gangguan
koagulasi, karena nilai protrombin time nya normal.
Pada pasien ini diberikan terapi hemostatik, meliputi Adona dan Vitamin K.
Ketiga obat ini bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Selain itu pada pasien ini
diberikan antibiotik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada
hidung akibat pemasangan tampon, karena tampon merupakan benda asing. Pada
28

pasien ini juga diberikan analgesik yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri akibat
tekanan hidung oleh tampon. Pemberian nasal dekongestan bertujuan untuk
menurunkan permeabilitas vaskular hidung sehingga juga mengurangi perdarahan dan
mencegah produksi sekret hidung. Pemberian antihistamin pada pasien ini bertujuan
untuk menekan sensasi gatal yang timbul akibat aadanya tampon. Pemberian Antasida
pada pasien ini bertujuan untuk mencegah iritasi mukosa lambung akibat konsumsi
analgesik, karena pasien mengeluhkan nyeri perut setelah mengkonsumsi obat
analgesik. Pada pasien ini juga diberikan vitamin B complex yang bertujuan sebagai
penambah vitamin yang dikonsumsi. Infus yang diberikan pada pasien ini adalah
RL:D5%, 1:1. Infus yang dipilih adalah RL karena variasi elektrolitnya lebih banyak
dan pada pasien ini juga tidak ada Hipertensi dan CKD.
Pada saat diruangan dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang untuk
mengetahui nilai Hb, karena pasien mengalami epistaksis lagi. Hasil lab tanggal
08/11/2018 Hb pasien 9,70 g/dl (sebelumnya tanggal 06/11/2018 13,6 g/dl). Oleh sebab
itu pada pasien ini diberikan transfusi PRC 2 labu. Tujuan transfusi PRC ini adalah
untuk meningkatkan jumlah Hb mencapai normal. Pack Red Cell merupakan
komponen darah dengan volume 150 250 ml eritrosit dengan jumlah plasma yang
minimal dan diindikasikan untuk penggantian eritrosit pada anemia.

BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosa pada kasus ini adalah epistaksis anterior. Dasar diagnosa ini adalah
dari anamnesa, pemeriksaan THT dan pemeriksaan fisik secara umum.
2. Etiologi pada kasus ini kemungkinan adalah pekerjaan pasien sebagai pengelas.
Paparan panas yang terus menerus akibat mesin las dapat mempengaruhi
mukosa hidung dan pembuluh darah lebih rapuh, sehingga mudah terjadi
perdarahan.
29

3. Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu perbaikan keadaan umum pasien


(resusitasi cairan infus), menghentikan perdarahan dengan pemasangan tampon
anterior, terapi medikamentosa dan non medikamnetosa.
4. Terapi medikamentosa meliputi obat hemostatik, antibiotik, analgesik, nasal
dekongestan, antihistamin dan vitamin.
5. Terapi medikamentosa meliputi diet TKTPRG lunak hingga kasar, kompres
dingin pada hidung, latihan mobilisasi untuk mengurangi pusing akibat tidur
lama dan konsumsi jus wortel untuk memperkuat mukosa hidung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nwaorgu OGB. Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine 2004;


1(2): 32-7.
2. Budiman, BJ dan Al Hafiz. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya?. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2012. 1(2). 75-79.
3. Marbun, Erna M. Etiologi Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Jurnal Kedokteran
Meditek. 2017. 23 (62). 71-76.
4. Thompson J . Epistaxis, and the means of arresting it. British medical journal 1867 : 498 .
30

5. Parajuli R. Role of coagulation profile in the management of patient with epistaxis.


Journal of Chitwan Medical College 2014; 4 ( 9) : 32-3 .
6. Sendo T, Itoh Y, Aki K, Oka M, Oishi R: Carbazochrome sodium sulfonate (AC-17)
reverses endothelial barrier dysfunction through inhibition of phosphatidylinositol
hydrolysis in cultured porcine endothelial cells. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol.
2003. 368(3):175-80. Epub 2003 Aug 20. [PubMed:12928765]
7. Ghareeb H, Karaman R. 6. In Commonly Used Drugs: Uses, Side Effects, Bioavailability
and Approaches to Improve It (1st ed., pp. 210). Nova Science Pub Inc; UK ed. edition.
2015. [ISBN:9781634638289 ]
8. Kalbemed CDK. Asam Traneksamat Bermanfaat Mengurangi Perdarahan Operatif Bedah
Total Knee dan Total Hip Arthroplasty. 2014. 41 (2).
9. Alatas, Anas. Keefektifan Metode Pemberian Asam Traneksamat pada Operasi Jantung
Terbuka Dewasa dalam Mengurangi Pendarahan Pascaoperasi. Tesis FK PPDS Anestesi
dan Reanimasi FKUI. 2014.
10. Hanifa, R, Iskandar S dan Yusri DJ. Gambaran Perdarahan Intrakranial pada Perdarahan
akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK) di RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas.
2017. 6(2). 379-385.
11. Trijono, Erie. 2016. Materi Ujian Skill Tahun 2016.
12. Farre, AL, Javier M dan Leon Z. Effects of hormones on platelet aggregation. Journal of
Horm Mol Biol Clin Invest 2014; 18(1): 27–36.

Anda mungkin juga menyukai