Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“EPISTAKSIS”
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
KMB III

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH : Dr. Tigor H.Situmorang, MH.,M.Kes

DISUSUN OLEH : KELOMPOK II


SRY DJULIANTY :201801088
NURAISYAH R. RADJAB : 201801075
JIHAN FAHIRA : 201801064
WIJRA RAMADHANI : 201801091

PROGAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa Atas berkat
dan rahmatnya makalah tentang epistaksis ini dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar.Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pembaca yang budiman dan
harapan kami atas selesainya makalah ini tak lain adalah agar para pembaca
mendapatkan pengetahuan yang baru dan informasi yang lebih luas khususnya
tentang EPISTAKSIS.

kami menyadari walaupun sudah berusaha sekuat kemampuan yang kami


miliki dalam menyusun makalah ini, masih banyak kekurangan, kelemahan, dan
ketidak sempurnaannya, baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam
penyusunan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan dalam makalah ini.

kamis, 05 November 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
COVER......................................................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Tujuan Penulisan............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................2


A. Konsep Medis ................................................................................................2
1. Definisi....................................................................................................5
2. Penyebab/Eiologi....................................................................................5
3. Patofisiologi ...........................................................................................7
4. Manefestasi Klinis ..................................................................................8
5. Komplikasi..............................................................................................8
6. Prognosis.................................................................................................9
7. Pemeriksaan diagnostik...........................................................................9
8. Penatalaksanaan .....................................................................................10
B. Proses Keperawatan.......................................................................................11
1. Pengkajian................................................................................................11
2. Diagnosa Keperawatan.............................................................................12
3. Intervensi Dan Rasional...........................................................................13
4. Implementasi ...........................................................................................16
5. Evaluasi....................................................................................................17
6. Discharge planning...................................................................................17
BAB III PENUTUP....................................................................................................18
A. KESIMPULAN..............................................................................................18
B. SARAN..........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung merupakan suatu keluhan
atau tanda, bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat
kelainan setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan
dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90%
dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang
dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat,
walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan
dapat berakibat fatal ,bila tidak segera ditolong.
Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan
anterior dan perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan
yang berasal dari septum bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis
anterior). Prevalensi yang sesungguhnya dari epistaksis tidak diketahui, karena
pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini tidak dilaporkan.
Epistaksis anterior dapat terjadi karena berbagai macam penyebab.
Secara umum penyebab epistaksis anterior dapat dibagi atas penyebab
lokal dan penyebab sistemik. Penyebab lokal yaitu trauma, benda asing, infeksi,
iatrogenik, neoplasma dan zat kimia. Penyebab sistemik antara lain yaitu
penyakit kardiovaskular, gangguan endokrin, infeksi sistemik, teleangiektasis
hemoragik herediter, kelainan hematologi, obat-obatan dan defisiensi vitamin C
dan K. Untuk menegakkan diagnosis dari epistaksis anterior dapat dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan pemasangan tampon yang
telah dibasahi dengan larutan pantokain 2% dan beberapa tetes adrenalin
1/10.000. Penatalaksanaan pada epistaksis anterior seharusnya mengikuti tiga
prinsip utama yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan
mencegah berulangnya epistaksis. 
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi Epistaksis
2. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari Epistaksis
3. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi Epistaksis
4. Mahasiswa mampu mengetahui menifestasi klinis Epistaksis
5. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi Epistaksis
6. Mahasiswa mampu mengetahui prognosis Epistaksis
7. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostikEpistaksis
8. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaanEpistaksis
9. Mahasiswa mampu mengetahui Asuhan keperawatanEpistaksis

C. Rumusan Masalah
Mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan Epistaksis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Medis
1. Definisi

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior


(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang
sfenopalatina.

Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa


perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah,
anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar
sehingga perdarahan lebih hebat.

2. Etiologi

Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu Lokal dan Sistemik


a. Lokal
Penyebab lokal terutama trauma, sering karena kecelakaan
lalulintas, olah raga,(seperti karena pukulan pada hidung) yang disertai
patah tulang hidung (seperti pada gambardi halaman ini), mengorek
hidung yang terlalu keras sehingga luka pada mukosa hidung, adanya
tumor di hidung, ada benda asing (sesuatu yang masuk ke hidung)
biasanya pada anak-anak, atau lintah yang masuk ke hidung, dan infeksi
atau peradangan hidung dan sinus (rinitis dan sinusitis) 
b. Sistemik 
Penyebab sistemik artinya penyakit yang tidak hanya terbatas
pada hidung, yang sering meyebabkan mimisan adalah hipertensi,
infeksi sistemik seperti penyakit demam berdarah dengue atau
cikunguya, kelainan darah seperti hemofili, autoimun trombositipenic
purpura.
Selain itu ada juga penyebab lainnya, diantaranya: 
a. Trauma, Perdarahan hidung dapat terjadi setelah trauma ringan,
misalnya mengeluarkan ingus secara tiba-tiba dan kuat, mengorek
hidung, dan trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh atau kecelakaan.
Selain itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas yang merangsang,
benda asing di hidung dan trauma pada pembedahan.
b. Infeksi, Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis
juga dapat menyebabkan perdarahan hidung.
c. Neoplasma, Hemangioma dan karsinoma adalah yang paling sering
menimbulkan gejala epitaksis.
d. Kongenital, Penyakit turunan yang dapat menyebabkan epitaksis adalah
telengiaktasis hemoragik herediter.
e. Penyakit kardiovaskular, Hipertensi dan kelainan pada pembuluh darah
di hidung seperti arteriosklerosis, sirosis, sifilis dan penyakit gula dapat
menyebabkan terjadinya epitaksis karena pecahnya pembuluh darah.
f. Kelainan Darah
g. Trombositopenia, hemophilia, dan leukemia
h. Infeksi sistemik
i. Demam berdarah, Demam tifoid, influenza dan sakit morbili
j. Perubahan tekanan atmosfer
k. Caisson disease (pada penyelam) 

3. Patofisiologi
Rongga hidung memiliki banyak  pembuluh darah. Pada rongga
bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga
bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah
yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
(maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit)
mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan
dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis
(gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior,
arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus
kiessel bach (little’s area). Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak,
darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui
lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang
arteri sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah,
anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar
sehingga perdarahan lebih hebat  dan jarang berhenti spontan.

4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada epistaksis dapat dibagi sesuai dengan sumber
perdarahannya, yaitu;
a. Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di septum
bagian anterior atau dari arteri  etmoidalis anterior. Darah
keluar dari hidung. Perdarahan pada septum anterior
biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau
kebiasaan m e n g o r e k h i d u n g d a n k e b a n y a k a n t e r j a d i
p a d a a n a k , s e r i n g k a l i b e r u l a n g d a n dapat berhenti sendiri.
b. Epistaksis posterior 
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan  biasanya lebih hebat dan jarang
dapat berhenti sendiri. Perdarahan dapat keluar  lewat mulut.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosclerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena pecahnya arteri sfenopalatina.

5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul:
a. Sinusitis
b. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung) 
c. Deformitas (kelainan bentuk) hidung 
d. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah) 
e. Kerusakan jaringan hidung 
f. Infeksi 

6. Prognosis
Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang
adekuat dan control penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak
mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat
sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang
memerlukan pengobatan yang lebih agresif.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur
dari anterior ke posterior.Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dankonkhainferior harus diperiksa dengan
cermat.
b. Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien denganepistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
d. Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karenahipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
e. Rontgen sinus: Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau
infeksi.
f. Skrining terhadap koagulopati: Tes-tes yang tepat termasuk waktu
protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,jumlah platelet dan
waktu perdarahan
g. Riwayat penyakit: Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan
setiap masalah kesehatan yangmendasari epistaksis.

Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan


pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan
pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
b. Fungsi hemostatis
c. EKG
d. Tes fungsi hati dan ginjal
e. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
f. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis tergantung pada lokasi tempat perdarahan.
Spekulum nasal atau head-ligth dapat digunakan untuk menentukan letak
perdarahan didalam rongga nasal. Sebagian perdarahan hidung berasal dari
bagian anterior hidung. Penanganan awal termasuk memberikan tekana
secara langsung. Pasien duduk tegak dengan kepala didongakkan  kearah
depan untuk mencegah tertelan dan aspirasi darah dan diarahkan untuk
memencet hidung kearah tengah septum selama 5-10 menit terus-menerus.
Jika tindakan ini tidak berhasil diperlukan tindakan tambahan. Pada
perdarahan hidung anterior, area mungkin diatasi dengan penggunaan
aplikator perak nitrat dan Gelfoam, atau dengan elektrokauteri.
Vasokonstriktor topikal seperti adrenalin (1:1000), kokain (0.5 %), dan
fenilefrin mungkin diresepkan.
Jika perdarahan terjadi dari region posterior, penyumbatan kapas yang
basah dengan larutan vasokonstriktor dapat dimasukkan kedalam hidung
untuk mengurangi aliran darah dan memperbaiki pandangan pemeriksa
kedalam letak perdarahan.  Atau tampon kapas mungkin digunakan untuk
mencoba menghentikan perdarahan .
Jika asal dari perdarahan belum dapat diidentifikasi, hidung mungkin
disumbat dengan kasa yang dicelupkan kedalam petrolatum, sprei anastesi
topikal dan dekongestan mungkin digunakan sebelum memasukkan sumbat
kasa atau mungkin juga digunakan balon kateter yang dikembangkan.
Sumbat tersebut dapat didiamkan selama 48 jam atau 5-6 hari jika
diperlukan untuk mengontrol perdarahan.

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan,,
b. Riwayat Penyakit sekarang :
1) Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas,
tenggorokan.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
2) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
3) Pernah menderita sakit gigi geraham
d. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang.
e. Riwayat spikososial
1) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
2) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
f. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat: Untuk mengurangi flu
biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek
samping
2) Pola nutrisi dan metabolism: biasanya nafsu makan klien berkurang
karena terjadi gangguan ada hidung
3) Pola istirahat dan tidur: selama inditasi klien merasa tidak dapat
istirahat karena klien sering pilek
4) Pola Persepsi dan konsep diri: klien sering pilek terus menerus dan
berbau menyebabkan konsep diri menurun
5) Pola sensorik; daya penciuman klien terganggu karena hidung
buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous,
mukopurulen).
g. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak).
2. Diagnosa keperawatan
a. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa
hidung yang rapuh.
b. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan nersihan jalan nafas tidak
efektif.
c. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
d. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung.

3. Rencana Keperawatan
a. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa
hidung yang rapuh. 
- Tujuan : meminimalkan perdarahan 
- Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis 
- Intervensi 
1) Monitor keadaan umum pasien 
2) Monitor tanda vital 
3) Monitor jumlah perdarahan psien 
4) Awasi jika terjadi anemia 
5) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan
perdarahan: pemberian transfusi, medikasi.
b. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif
- Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif 
- Kriteria : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan,
tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe
dan sianosis.
 
- Intervensi 
1) Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada R/
penurunan bunyi nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi
dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.
2) Catat kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif. R/
Sputum berdarah kental atau cerah dapat diakibatkan oleh
kerusakan paru atau luka bronchial.
3) Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi. R/ posisi
membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernafasan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea. R/ mencegah
obstruksi/aspirasi.
5) Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari
kecuali kontraindikasi. R/ Membantu pengenceran sekret.
6) Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran,
bronkodilator. R/ mukolitik untuk menurunkan batuk,
ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator
menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk
menurunkan ketidaknyamanan.
c. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
- Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
- Kriteria:
1) Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola
kopingnya.
2) Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang
dideritanya serta pengobatannya.
- Intervensi 
1) Kaji tingkat kecemasan klien. R/ menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien. R/
Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang
diberikan
3) Temani klien.
4) Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien)
5) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang
dideritanya perlahan, tenang serta gunakankalimat yang jelas,
singkat mudah dimengerti. R/ Meningkatkan pemahaman klien
tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga
klien lebih kooperatif
6) Singkirkan stimulasi yang berlebihan R/ dengan
menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan
meningkatkan ketenangan klien.
7) Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang.
8) Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan.
9) Observasi tanda-tanda vital. R/ Mengetahui perkembangan
klien secara dini.
10) Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis. R/ Obat dapat
menurunkan tingkat kecemasan klien.
d. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung. 
- Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
- Kriteria hasil :
1) Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau
hilang
2) Klien tidak menyeringai kesakitan.
- intervensi
1) Kaji tingkat nyeri klien. R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam
menentukan tindakan selanjutnya.
2) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya. R/
Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi
dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi. R/ Klien mengetahui
tehnik distraksi dan relaksasi sehinggga dapat
mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
4) Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien. R/ Mengetahui
keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
5) Kolaborasi dngan tim medis. R/ Menghilangkan /mengurangi
keluhan nyeri klien. Yaitu Terapi konservatif : obat
Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung.
4. Implementasi
     Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksanakan : melaksanakan
intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap
untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat
waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi
prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan,
memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan
mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan
lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan
merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya
5. Evaluasi
     Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian
hasil yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan
intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika
diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi
kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.

C. Discharge Planning
Penyuluhan saat pulang mencakup menelaah cara-cara untuk mencegah
epistaksis yaitu; menghindari menghembuskan hidung dengan amat kuat,
mengejan, tempat dengan amat kuat,dan trauma nasal(termasuk memencet
hidung). Humidifikasi (pelembaban) yang cukup dapat mencegah kekeringan
jalan udara nasal. Pasien diinstruksikan cara untuk memberikan tekanan langsung
pada hidung dengan ibu jari dan jari telunjuk selama 15 menit dalam perdarahan
hidung kambuh kembali. Jika perdarahan hidung kambuhan tidak dapat
dihentikan, pasien diinstruksikan untuk mencari bantuan medis tambahan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi
umum.Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal)
yaitu pada usia <10 >50 tahun.
Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan
anterior dan perdarahan posterior.Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang
dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).

B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah yang kami buat ini, maka kami sebagai
penulis menyadari bahwa banyaknya kesalahan dalam pembuatan makalah
ini.Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
para pembaca sekalian, agar dalam pembuatan makalah kami selanjutnya dapat
lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Price,Sylvia A. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:


EGC.

Smith-Temple, jean, dkk.(2010). Buku saku prosedur klinis keperawatan edisi 5.


Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyn, et al, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing Outcome Classification(NOC).


Mosby. Philadelpia

MC. Closky J. dan Bulaceck G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC).


Mosby. Philadelpia.

Anda mungkin juga menyukai