Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

CHOLECYSTOLITHIASIS

Disusun Oleh:

Calvin 190131033

Harriyo Utomo 190131068

Maghfirah Naziha Batubara 190131090

Maria A. Simbolon 190131091

Nicholas Prananda Sembiring 190131122

Pembimbing:

Dr. dr. Asrul, SpB-KBD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2022
CHOLECYSTOLITHIASIS
LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter
di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara

Pembimbing:

Dr. dr. Asrul, SpB-KBD

Calvin 190131033

Harriyo Utomo 190131068

Maghfirah Naziha Batubara 190131090

Maria A. Simbolon 190131091

Nicholas Prananda Sembiring 190131122

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas penyertaannya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Cholecystolithiasis” ini dengan baik. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu Bedah di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. dr. Asrul, SpB-KBD atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan
pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-
baiknya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut
membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna, baik
dari segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi
perbaikan laporan kasus ini di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat dan memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kesehatan.

Medan, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................iii
DAFTAR TABEL..............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Tujuan Makalah...........................................................................................1
1.3 Manfaat Makalah.........................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1 Kandung Empedu.......................................................................................3
2.1.1 Anatomi............................................................................................3
2.1.2 Fisiologi...........................................................................................5
2.2 Cholecystolithiasis / Kolelitiasis................................................................7
2.2.1 Definisi.............................................................................................7
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................7
2.2.3 Klasifikasi........................................................................................8
2.2.4 Faktor Risiko....................................................................................10
2.2.5 Patogenesis.......................................................................................12
2.2.6 Patofisiologi.....................................................................................13
2.2.7 Manifestasi Klinis............................................................................14
2.2.8 Diagnosis..........................................................................................15
2.2.9 Tatalaksana.......................................................................................16
2.2.10 Komplikasi......................................................................................17
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT....................................................................18
BAB 4 KESIMPULAN.....................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................24

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Kavitas Abdomen.............................................................3


Gambar 2.2 Anatomi Saluran Kandung Empedu................................................4
Gambar 2.3 Anatomi Kandung Empedu dan Gaster...........................................5
Gambar 2.4 Perbandingan Kolesterol, Lesitin dan Garam Empedu..................9

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Empedu...............................................................................7

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolelitiasis atau cholecystolithiasis atau batu empedu merupakan deposit
kristal padat yang terbentuk di kandung empedu dimana batu empedu dapat
bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat
mengancam jiwa (Stinton, 2012). Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20%,
sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di
Asia Tenggara (Lesmana, 2014).Di Indonesia, walaupun belum ada data
epidemiologis penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelitiasis relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara barat (Nurhadi, 2012).
Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi sebelumnya telah
mengindentifikasi jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan,
riwayat keluarga dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor
resiko dari batu empedu (Hung, 2011; Chen, 2014;Tsai, CH, 2014).Untuk
penatalaksaannya, jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan
menghindari atau mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika
batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan
kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak
menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).

1.2 Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan refarat ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas laporan kasus selama berada di kepaniteraan klinik
senior di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
2. Mengetahui segala informasi terkait dengan cholecystolithiasis.

1
2

1.3 Manfaat Makalah


Penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mengenai
cholecystolithiasis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kandung Empedu


2.1.1 Anatomi
Kandung empedu disebut juga vesika biliarisadalah kantung berbentuk pear di
permukaan visceral di lobus kanan hepar pada fossa yang terletak di antara lobus
kanan dan lobus kuadratus. Bagian bulat yaitu fundus kandung empedu mengarah
ke batas inferior hepar. Bagian utamanya yaitu korpus kandung empedu terletak
menyilang di colon transversum dan bagian superior duodenum. Bagian
sempitnya yaitu kolumna kandung empedu memiliki lipatan mukosa berbentuk
spiral. Panjang kandung empedu berkisar 7-10 cm (Moore et al., 2009; Gray,

2014).

Gambar 2.1 Anatomi kavitas abdomen (Gray, 2014)

3
4

Gambar 2.2 Anatomi Saluran Kandung Empedu (Gray, 2014)


Suplai arteri pada vesika biliaris dan duktus sistikus berasal dari arteri sistikus.
Arteri sistikusmuncul dari arteri hepatika dekstra pada segitiga di antara
duktushepatikuskomunis, duktus sistikus, dan permukaan viseral hepar, yang
disebut sebagai cystohepatic triangle (of calot). (Moore et al., 2009; Gray, 2014).
Aliran vena dari kolumnavesika biliaris dan duktussistikus mengalir melalui
vena sistikus. Vena kecil ini dan beberapa vena lain masuk ke hepar secara
langsung atau keluar melewati vena porta hepatis menuju hepar, setelah
bergabung dengan aliran vena duktus hepatikus dan duktus biliaris proksimal.
Vena dari fundus dan korpus vesika biliaris lewat secara langsung menuju
permukaan viseral hepar dan berjalan menuju sinusoid hepar (Moore et al., 2009;
Gray, 2014).
5

Gambar 2.3 Anatomi Kandung Empedu dan Gaster (Gray, 2014)


Aliran limfe vesika biliaris menuju ke limfenodi hepatika, seringnya menuju
ke limfenodi sistikus yang terletak dekat kolumnavesika biliaris. Lalu pembuluh
limfatik eferen ini menuju ke limfenodi koeliakus (Gray, 2014).
Nervus yang menuju vesika biliaris dan duktus sistikus, melewati sepanjang
arteri sistikusyaitu pleksus koeliakus (simpatetik dan sabut aferen viseral), nervus
vagus (parasimpatetik), dan nervus phrenicus dekstra (sebenarnya merupakan
sabut aferen somatik). Stimulasi parasimpatik menyebabkan kontraksi vesika
biliaris dan relaksasi dari sfingter pada ampullahepatopankreatik. Akan tetapi,
respon ini biasanya distimulasi oleh hormon kolesistokinin yangn diproduksi oleh
dinding duodenum (sebagai respon karena adanya makanan berlemak) dan
disirkulasi lewat aliran darah (Gray, 2014).

2.1.2 Fisiologi
Pembentukan Cairan Empedu
Organ yang mensekresi empedu adalah hepar, dimana setiap harinya
dihasilkan 600-1000 ml/hari. Fungsi empedu adalah untuk pencernaan dan
absorpsi lemak serta membantu mengabsorpsi produk akhir lemak yang sudah
dicerna oleh membran mukosa intestinal. Empedu juga mengekskresi hasil
perombakan darah, salah satunya adalah bilirubin. Bilirubin merupakan hasil
pemecahan hemoglobin dan kelebihan kolesterol (Guyton dan Hall, 2014).
6

Empedu disekresi oleh hepar melalui 2 tahap. Pertama, disekresi oleh sel
hepatosit, mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat organik.
Lalu akan dibawa menuju kanalikulus biliaris kecil yang terletak di antara sel
hepar. Kemudian empedu akan masuk septa interlobularis, mengosongkan
empedu ke dalam duktus biliaris terminalis, masuk ke duktus yang lebih besar dan
mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis. Nantinya empedu akan
dikeluarkan menuju ke duodenum langsung atau menuju kandung empedu melalui
duktus sistikus (Guyton dan Hall, 2014).
Pembentukan Garam Empedu
Empedu terdiri dari beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu yang
merupakan derivat kolesterol, listin, kolesterol, serta bilirubin dalam cairan
alkalis. Garam empedu membantu pencernaan lemak di usus dengan
mengemulsifikasikan lemak besar untuk menjadi butiran lemak kecil. Garam
empedu didaur ulang melalui siklus enterohepatik, yang nantinya diekskresi ke
dalam empedu lalu menuju duodenum kemudian diserap ileum melalui suatu
mekanisme transport aktif di ileum terminal. Nantinya garam empedu akan
kembali menuju sistem portal untuk diekskresikan kembali ke dalam empedu
(Sherwood, 2014).
Garam empedu terdiri dari 2 bagian yaitu bagian larut lemak dan larut air
sehinga dapat diserap oleh permukaan lemak. Gerakan usus memecah gumpalan
lemak besar menjadi lemak yang lebih kecil, dan dengan bantuan garam empedu
mencegah butiran kecil untuk membentuk gumpalan besar. Selain itu, garam
empedu juga membantu penyerapan lemak. Garam empedu akan bercampur
dengan kolesterol dan lesitin lalu membentuk misel (Sherwood, 2014).
Misel terdiri dari permukaan hidrofilik dan inti hidrofobik sehingga misel
dapat melarutkan senyawa tidak larut air. Pembentukan misel berpengaruh pada
homeostasis kolesterol. Jumlah kolesterol yang dapat diangkut dalam bentuk misel
bergantung pada jumlah garam empedu dan lesitin. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kolesterol dengan lesitin dan garam empedu, kolesterol akan
terakumulasi dalam empedu menjadi mikrokristal yang menggumpal sehingga
memicu terjadinya batu empedu (Sherwood, 2014).
7

Komposisi Empedu
Tabel 2.1 Komposisi Empedu (Guyton dan Hall, 2014)
Empedu Hati Empedu Kandung
Empedu
Air 97.5 g/dL 92 g/dL
Garam kolesterol 1.1 g/dL 6 g/dL
empedu
Bilirubin 0.04 g/dL 0.3 g/dL
Kolesterol 0.1 g/dL 0.3-0.9 g/dL
Asam Lemak 0.12 g/dL 0.3-1.2 g/dL
Lesitin 0.04 g/dL 0.3 g/dL
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L

K+ 5 mEq/L 12 mEq/L

Ca2+ 5 mEq/L 23 mEq/L


Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L

2.2 Cholecystolithiasis/ Kolelitiasis


2.2.1 Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit kandung empedu dimana terdapat endapan yang
terbentuk di dalam kandung empedu atau saluran empedu. Kolelitiasis dapat
terjadi karena adanya ketidakseimbangan unsur kimiawi empedu yang
menghasilkan pengendapan satu atau lebih komponen. Pembentuk batu bervariasi
dalam ukurannya dari yang kecil dengan ukuran kurang dari 1mm hingga 50mm
(Dooley, 2011).

2.2.2 Epidemiologi
Sebanyak 20 juta orang Amerika Serikat (15% dari populasi) memiliki
kolelitiasis. Berdasarkan Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) menunjukkan prevalensi Mexican American lebih banyak daripada
Non Hispanic. Prevalensi kolelitiasis paling banyak terjadi pada ras American
8

Indian. (Stinton, 2010) Park Js dkk menjelaskan bahwa di Korea Utara terdapat
31% pasien pria dan 34% wanita terdiagnosa kolelitiasis. (Park JS, dkk, 2015).
Selain itu, prevalensi kolelitiasis asimtomatik di China sebanyak 12.12% (Qiao et
al., 2017).

2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Kolelithiasis berdasarkan komponen pembentukannya:
1 Batu Kolesterol
Mengandung terutama monohidrat plus, kalsium karbonat, fosfat,
bilirubinat, palmitat, fosfolipid, glikoprotein, dan mukopolisakarida
(Hawkey, 2012). Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam hidrofobik
misel, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Hal ini dinyatakan oleh grafik segitiga, dimana
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu,
lesitin, dan kolesterol (Hunter, 2014). Proses fisik pembentukan batu
kolesterol terjadi dalam empat tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
b. Pembentukan Nidus
c. Kristalisasi / presipitasi
d. Pertumbuhan batu oleh agregrasi / presipitasi lamellar kolesterol dan
senyawa lain yang membentuk matriks batu.
9

Gambar 2.4 Perbandingan kolesterol, lesitin dan garam empedu dalam hal kelarutan (Hunter,
2014)
2 Batu Pigmen Hitam
Mengandung bilirubin indirek, kalsium fosfat, karbonat. Batu pigmen
hitam sering ditemukan pada penyakit sirosis, hemolisis kronis, dan
penyakit Chron‟s (Hawkey, 2012). Komponen utama dari batu pigmen
hitam yaitu derivat bilirubin yang terpolimerasi. Batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (Doherty,
2015).
3 Batu Pigmen Cokelat
Mengandung kalsium bilirubinat, palmitat, dan stearate. Batu pigmen
coklat sering ditemukan pada infeksi kandung empedu (Hawkey, 2012).
Batu pigmen coklat biasanya ditemukan di populasi Asia Tenggara dan
biasanya tidak ditemukan pada orang di Negara Amerika Serikat. Faktor
resiko untuk batu pigmen coklat adalah adanya statis intraduktal dan
kolonisasi empedu yang lama disertai dengan bakteri (Tanaja J dan Meer J,
2017).
10

2.2.4 Faktor Risiko


Faktor resiko utama pada kolelitiasis dikenal sebagai 4F yang terdiri dari female,
forty, fat, dan fertilization. Selain itu terdapat beberapa faktor resiko yang dapat
meningkatkan kejadian kolelitiasis.
1. Genetik
ABCG8 D19H genotipe heterozigot dan homozigot meningkatkan resiko
terjadinya kolelitiasis secara signifikan, dengan meningkatkan penyerapan
kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis
kolesterol di hepar, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin.
Kerentanan seseorang terhadap terjadinya kolelitiasis dipengaruhi oleh gen
Mucin polymorphisms atau FGFR4 polymorphism (Ciaula, 2013).
2. Usia
Penyakit kolelitiasis sering terjadi pada orang usia 50-70 tahun, dan jarang
ditemui pada usia remaja. Semakin bertambahnya usia, semakin besar
resiko kolelitiasis. (Gyedu, 2015). Usia dapat menjadi faktor resiko
terjadinya kolelitiasis, disebabkan oleh peningkatan saturasi empedu
karena terjadi penurunan aktivitas 7α hidroksilase yang merupakan enzim
limiting rate untuk biosintesis kolesterol (Njeze, 2013).
3. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Hal ini dikarenakan oleh hormon esterogen
yang berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Pada kehamilan, terjadi peningkatkan kadar esterogen juga dapat
meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitis pengosongan kandung empedu (Njeze,
2013).
4. Penurunan berat badan yang cepat
Kolelitiasis terjadi pada 10%-25% pasien selama beberapa bulan setelah
menjalani program menguruskan badan.Hal ini karena hepar mensekresi
kolesterol tambahan sebagai respon perpindahan kolesterol dari
11

penyimpanan jaringan adiposa (Njeze, 2013).The National Heart, Lung,


and Blood Institue (NHLBI)merekomendasikan bahwaideal penurunan
berat badan ideal yaitu 0.5 – 1kg per minggu. Pada puasa
mengakibatkanpenurunan kontraksi kandung empedu sehingga dapat
menyebabkan kolelitiasis.Sementara puasa jangka pendek dapat
meningkatkan saturasi kolesterol empedu dan puasa jangka panjang
menyebabkan stasis kandung empedu yang nantinya menimbulkan
endapan dan terbentuklah batu empedu (Njeze, 2013).
5. Diet
Asupan tinggi lemak dan karbohidrat, dan penurunan kadar serat
merupakan faktor resiko kolelitiasis. Diet kalsium dapat menurunkan
saturasi kolesterol empedu dengan mencegah reabsorpsi asam empedu
sekunder di usus besar. Asam askorbat dan vitamin c mempengaruhi
aktivitas dari enzim 7α hidroksilasepada empedu. Sementara kopi dapat
merangsang pelepasan hormon kolesistokinin (Njeze, 2013).
6. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemi akibat gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau
keduanya (Punthakee, Goldenberg and Katz, 2018). Prevalensi penyakit
kolelitiasis pada penderita Diabetes Melitus cukup tinggi. Diabetes dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu, dimana kondisi ini
disebut “diabetic neurogenic gallbladder syndrome”. Diabetes melitus juga
berhubungan dengan terjadinya peningkatan saturasi kolesterol di kandung
empedu (Gyedu, 2015).
7. Gaya hidup dan olahraga
Pola makan yang teratur serta olahraga dapat membantu mencegah
terjadinya batu empedu. Olahraga yang kurang serta pola makan yang
kurang baik dapat menyebabkan obesitas yang berhubungan dengan
sindrom metabolik dan dislipidemia (Njeze, 2013).
12

8. Dislipidemia
Dislipidemia adalah keadaan profil lipid yang tidak normal. Pada penderita
obesitas, dapat terjadi peningkatan kadar asam lemak trigliserida, Low
Density Lipoprotein, dan penurunan High Density Lipoprotein yang
meningkatkan resiko terjadinya kolelitiasis. Pada penelitian yang
dilakukan di Taiwan, dislipidemia dapat menyebabkan peningkatan
terjadinya kolelitiasis (Smelt, 2010).
9. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko terbesar pada penyakit kolelitiasis.
Obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol akibat peningkatan sintesis
kolesterol hepatik dan kolesterol hepatobiliaris. Selain itu obesitas dapat
mencegah pongosongan kandung empedu tidak komplit dan menyebabkan
stasis cairan empedu (Das, 2015).

2.2.5 Patogenesis
Terdapat 3 jalur utama pembentukan batu empedu kolesterol, yaitu
supersaturasi kolesterol, nukleasi atau pembentukan inti empedu, dan penurunan
kontraksi dari kandung empedu (Longo, 2013).
1. Supersaturasi kolesterol
Empedu dapat menguraikan sejumlah kolesterol yang dieksresi oleh hepar
secara normal. Apabila hepar memproduksi kolesterol lebih dari
kemampuan empedu untuk menguraikan, kelebihan dari kolesterol tersebut
dapat mengalami pengkristalan. Kristal ini terjebak di mukus kandung
empedu, menyebabkan endapan pada saluran kandung empedu.
Seriringnya waktu, kristal dapat bertumbuh menjadi batu dan menyumbat
duktus yang dapat menyebabkan penyakit kolelitiasis (Tanaja J dan Neer,
2017).
2. Bilirubin yang berlebihan
Bilirubin adalah pigmen kuning yang merupakan hasil pemecahan sel
darah merah, yang disekresikan ke dalam empedu oleh sel hepar. Beberapa
kondisi hematologis dapat menyebabkan bilirubin diekskresi terlalu
banyak
13

melalui pemecahan hemoglobin sehingga bilirubin yang berlebihan dapat


menyebabkan kolelitiasis (Tanaja J dan Neer, 2017).
3. Hipomotilitas atau gangguan kontraktilitas kandung empedu
Apabila kandung empedu tidak dapat mengosongkan isinya secara efektif,
empedu dapat menjadi terkonsentrasi dan membentuk batu empedu
(Tanaja J dan Neer, 2017).

2.2.6 Patofisiologi
Bentuk dari batu empedu bervariasi (kecil maupun besar, halus maupun
kasar), terutama yang berbentuk kasar dan tajam dapat menimbulkan iritasi atau
trauma pada epitel kandung atau saluran empedu. Iritasi ini mengakibatkan
pelepasan prostaglandin dan fosfolipase A2 oleh epitel kandung atau saluran
empedu. Fosfolipase mengakibatkan pemecahan fosfotidilkolin menjadi
lisolesitin. Prostaglandin yang dilepaskan ini akan menstimulasi set point
hipotalamus yang akan mengakibatkan timbulnya gejala demam pada pasien batu
empedu (Silbernagl, 2009).
Iritasi yang berkepanjangan pada kandung empedu ini dapat mengakibatkan
perforasi kandung empedu dan juga mengakibatkan inflamasi yang dapat disebut
oleh kolesistitis akut. Penyebab kolesistitis akut ini biasanya karena terdapat
infeksi bakteri, seperti Escherichia coli, Klebsiella, Streptococcus spp., dan
Clostridium spp. Gejala dari kolesistits akut adalah nyeri memberat dan
memanjang lebih dari
5 jam di perut kanan atas, dapat disertai demam, mual, dan muntah. Pada
pemeriksaan fisik, dapat ditemukan nyeri tekan di perut kanan atasdan Murphy’s
Sign, yaitu pasien merasakan nyeri pada inspirasi saat dilakukan palpasi di bawah
batas akhir kosta kanan (Dooley, 2011).
Pada pemeriksaan penunjang, sering menyebabkan kelainan berupa
leukositosis dan dapat juga terjadi kenaikan ringan faal hati dikarenakan dampak
dari kompresi lokal pada saluran empedu. Komplikasi kolesistitis adalah akibat
tertutupnya duktus sistikus oleh batu sehingga mengakibatkan kandung empedu
mengalami penambahan volume atau edema kandung empedu. Edema ini
menyebabkan iskemia dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang
menuju nekrosis dan
14

perforasi. Awalnya kolesistitis hanya berupa peradangan steril, tetapi jika dibiarkan
dapat menjadi infeksi bakteri (Dooley, 2011).

2.2.7 Manifestasi Klinis


1. Asimtomatis
Batu empedu terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatis). Gejala yang muncul dapat berupa nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronis berulang ataupun dispepsia,
dan mual (Lesmana, 2014). Berdasarkan penelitian, 50% dari semua
penderita dengan batu empedu tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatis. (Hunter, 2015).
2. Simtomatis
Gejala yang timbul dari batu empedu adalah nyeri kolik atau kolik bilier.
Nyeri ini dapat terjadi di abdomen kanan atas atau epigastrium dan dapat
menyebar ke punggung yaitu di regio interskapular dan skapula kanan. Nyeri
ini yang mengakibatkan perut mulas bersifat konstan atau stabil (persisten),
derajat berat, durasi nyerinya bersifat lama yaitu sekitar 15-30 menit hingga
beberapa jam, dan dimulai tiba-tiba serta berhenti atau mereda secara
bertahap atau cepat. Kolik bilier ini dapat dipicu oleh makan makanan
berlemak, bisa saat konsumsi besar setelah periode puasa yang lama atau bisa
saat konsumsi normal(Sudoyo, 2009).
Nyeri kolik bilier disebabkan karena batu menyumbat duktus sistikus atau
duktus biliaris komunis. Sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraluminal, serta peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran
empedu. Kedua hal ini akan menstimulasi persarafan sehingga menyebabkan
nyeri visceral di daerah yang dihambat oleh batu empedu (Wang dan Afdhal,
2012).
Selain itu, kontraksi peristaltik dari saluran empedu ini bersifat berulang.
Empedu akan terus merespon saluran empedu untuk terus melakukan
kontraksi peristaltik untuk mengeluarkan batu dari saluran empedu. Kontraksi
yang berulang ini bisa mengakibatkan distensi viskus saluran empedu, bahkan
dapat
15

mengakibatkan overdistensi. Akibatnya terjadi stimulasi nervus vagal


sehingga pada pasien batu empedu ditemukan gejala mual dan muntah (Wang
dan Afdhal, 2012).

2.2.8 Diagnosis
1. Ultrasonography (USG)
Ultrasonography abdomen kuadran kanan atas merupakan metode
diagnosis pilihan untuk batu empedu. Ultrasonography memiliki lebih dari
95% untuk sensitifitasnya mendeteksi batu empedu. Ciri khasnya
ditemukan fokus echogenic yang mobildengan acoustic shadow di dalam
lumen kandung empedu pasien. USGmembantu memberikan informasi
mengenai ukuran kandung empedu, ketebalan dinding kandung empedu,
dan cairan perikolesistik(tanda dari kolesititis akut). Komplikasi seperti
perforasi di kavitas abdomen dapat terdeteksi (Greenberger, 2016).
2. Computed tomography (CT)
CT biasanya berguna untuk mendeteksi batu empedu, terutama batu
kalsifikasi, tetapi kurang sensitif dan lebih mahal dari pada USGdan
menggunakan paparan radiasi. CTberguna untuk visualisasi sistem bilier
apabila diduga terdapat obstruksi bilier (Greenberger, 2016).
3. Magnetic resonance imaging (MRI)dan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP)
MRI tidak direkomendasikan untuk menskrining batu empedu. MCRP
berguna untuk melihat duktus pankreatikus dan duktus biliaris dan
memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi dilatasi duktus
pankreatikus dan duktus biliaris (Greenberger, 2016).
4. Endoscopic ultrasound
Merupakan metode diagnosis paling sensitif untuk mendeteksi batu
ampuler (Greenberger, 2016).
16

5. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ECRP)


ECRP tidak bermanfaat untuk mendeteksi batu empedu di kandung
empedu tetapi merupakan metode pilihan untuk deteksi batu di duktus
biliaris (Greenberger, 2016).

2.2.9 Tatalaksana
Terapi Surgikal
1. Asimtomatis
Tidak direkomendasikan apabila pasien asimtomatis karena dapat
menyebabkan komplikasi seperti kolik bilier, kanker kandung empedu, dan
lain sebagainya. Kolesistektomi dilakukan pada pasien dengan batu
empedu kecil (≤ 5mm). Kolesistektomi diindikasikan untuk pasien
asimtomatis dengan peningkatan resiko kanker kandung empedu. Pada
pasien Diabetes dengan batu kandung empedu tidak boleh dilakukan terapi
surgikal apapun. Pada pasien asimtomatis bisa diberikan obat litolitik
untuk mearutkan batu dengan asam ursodeoksikolat (Greenberger, 2016)
2. Simtomatis
Pasien simtomatis harus segera diberikan terapi. Selain terapi analgesik,
terapi simtomatis dan medikal harus diberikan. Koleksistektomi elektif
laparoskopi merupakan metode koleksistektomi standard untuk pasien
simtomatis. Terapi ini dapat menyembuhkan secara permanen. Pasien
dengan sirosishatidan hipertensi portal lebih baik dilakukan
koleksistektomi laparoskopi daripada koleksistektomi terbuka. Apabila
terdapat kanker kandung empedu, koleksistektomi laparoskopi tidak boleh
dilakukan (Greenberger, 2016).
Terapi Non Surgikal
1. Larutan Asam Empedu Oral
Pada pasien simtomatis tanpa komplikasi dan nyeri bilier jarang serta
ringan, dapat dilakukan pelarutan batu dengan asam ursodeoksikolat.
Asam ursodeoksikolat menurunkan saturasi kolesterol asam empedu.
Terapi asam ursodeoksikolat sukses dilakukan pada pasien dengan batu
radiolusen
17

berukuran 5-10mm dengan fungsi kandung empedu yang baik. Dosis asam
ursodeoksikolat yaitu 10-15 mg/kg/hari. Batu dengan ukuran lebih dari
15mm susah untuk dilarutkan, sementara batu pigmen tidak merespon
pengobatan dengan asam ursodeoksikolat(Greenberger, 2016).
2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
Terapi ini dilarang karena meningkatkan resiko berulangnya batu empedu
sebanyak 11-29% selama 2 tahun, dan 60-80% selama 10 tahun
(Greenberger, 2016).
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis yang sering terjadi adalah kolesistitis. Kurang
lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis akut.
Komplikasi yang dapat timbul adalah kolangitis dan pankreatitis akut. Pada
kolangitis akut dapat dikenal gejala Trias Charcot, terdiri dari nyeri persisten,
demam dan ikterus. Diagnosis dini dari komplikasi ini adalah dengan USG atau
MRCP. Terapinya mencakup terapi suportif dan kolesistektomi apabila sudah
gawat darurat (Dooley, 2011).
BAB 3

STATUS ORANG SAKIT

2.2 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. D
RM : 02.42.22
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 54 tahun
Alamat : Manggar
Pekerjaan : IRT

.2 AUTOANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas


Telaah :
Pasien datang ke RSUD dengan keluhan nyeri perut kana atas. Nyeri
tersebut dirasakan sejak 2 tahun yang lalu, nyeri dirasakan menjalar sampai ke
belakang bahu dan pinggang. Nyeri mulai muncul dan memburuk jika
mengkonsumsi makanan berlemak, dan bersifat hilang timbul. Keluhan ini juga
disertai dengan mual dan muntah. Keluhan muntah darah disangkal. Keluhan
penurunan berat badan disangkal. Keluhan perut kembung disangkal. Keluhan
konstipasi maupun diare disangkal. Keluhan kekuningan disangkal. Keluhan
BAB hitam tidak dijumpai. BAB cair dijumpai 1 kali, tidak berlendir, tidak
berdarah. BAB dempul dijumpai hilang timbul, dan jarang.

18
19

RPT : DM tipe 2 dan Hipertensi


RPK : Tidak jelas
RPO : tidak jelas
Riwayat kebiasaan : Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum minuman
beralkohol, dan menggunakan narkoba

.3 PEMERIKSAAN FISIK STATUS PRESENS


Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 133/82 mmHg
HR : 73 x/menit
RR : 20 x/menit
Temperatur : 36,5oC
VAS 2
BB: 80 kg, TB 162 cm, IMT: 30,4

STATUS GENERALISATA
Kepala
Wajah : dalam batas normal
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cekung (-/-),sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3mm, Refleks cahaya langsung +/+, reflex
cahaya tidak langsung +/+
Telinga, hidung, mulut : dalam batas normal
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris fusiformis, retraksi (-), penggunaan otot pernapasan
tambahan (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
20

Auskultasi : Sp = vesikuler, St = tidak dijumpai

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS II LMCS
Batas kiri jantung ICS IV 2 cm LMCS
Batas kanan jantung ICS IV LPSD
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reg, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri pada regio hipokondrium kanan (+), hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, ginjal tidak teraba
Perkusi : timpani

Ekstremitas

Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), deformitas (-)

.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

TES HASIL UNIT NILAI NORMAL

Darah Rutin

Hemoglobin 12.2 g/dL 12 – 16

Eritrosit 4.48 Juta/µL 4.50 – 6.50

Hematokrit 39 % 37 – 54

Leukosit 6,380 /µL 5,000 – 10,000


21

Trombosit 434,000 /µL 150,000 – 400,000

MCV 83 fL 81-99

MCH 27.6 pg 27.0 – 31.0

MCHC 33.5 g/dL 31.0 – 37.0

Neutrofil 64.7 % 50 – 70

Limfosit 21 % 20 – 40

Monosit 6 % 2–8

Eosinofil 2 % 1–3

Basofil 0.5 % 0–1

Golongan Darah B/ Rhesus +

Masa Perdarah 2’ 1-3’

Masa Pembekuan 5’ 5-15’


Kimia Darah

Glukosa Darah Sewaktu 187 mg/dL <200

Fungsi Hati

SGOT 20 u/l 0-35

SGPT 32 u/l 0-35

Bil. Total 0,3 Mg/dl 0,3-10mg/dl

HbsAg Negatif negatif

.5 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
22

Gallbladder: Dinding tidak menebal, tampak echo batu, tidak tampaka sludge
Kesan: Cholelithiasis

.6 DIAGNOSIS

Symptomatic Cholecystolithiasis

.7 TATALAKSANA
 IVFD NaCl 0.9% 20 gtt makro
 Inj. Ceftriaxone 2 g/24 jam IV
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam IV
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam IV
 Inj. Kalnex 500 mg/ 8 jam IV
 Inj Dexamethasone 1 amp/ 8 jam IV
 Rencana Cholecystectomy via laparoskopi tanggal 6/1/2022
Rawat bersama interna untuk penyakit metabolik:
 Tab Valastarn 80 mg/ 24 jam PO
 Tab Bisoprolol 2,5 mg /24 jam PO
 Tab Metformin 500 mg / 8 jam/ PO
23

BAB 4

FOLLOW UP

Tangga
SOAP
l
6/1/202 S: Nyeri perut kanan atas
2
O: Sens: CM
TD 130 /80
Hr 70 x/i
Rr 20 x/i
T 36,7
Sp02 99% rooma air
A: Cholelithiasis
P: R/ Cholecyctectomi laparoscopic hari ini
6/1/2022 (Post Op)

O: Post cholecytectomi: dijumpai batu warna hitam ukuran ± 1


x 1 x1 cm
Luka post laparoskopi hecting 2 jahitan tiap luka (3 luka)
A: Post cholecyctectomi a/I cholelithiasis + DM T2 +
Hipertensi
P: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 2 g /24 j/ IV
Inj. Kalnex 500 mg/ 8 j / iv
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam / iv
Puasa hingga sadar penuh  Diet DM
Observasi di ruang rawat inap
7/1/202 S: Nyeri luka minimal, perdarah –
2 BAB -, BAK +, flatus

O: Sens CM
TD 123/67
Hr 82
Rr 20
T 36
Abd: Soepel, perdarahan luka -, BU + N

A: Post Cholecytectomi a/I Cholelithiasis + DMT2 + Hipertensi


P: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 2 g /24 j/ IV
Inj. Kalnex 500 mg/ 8 j / iv
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam / iv
24
Aff. Kateter
Mobiliasis
R/ Rawat jalan besok jika klinis stabil
8/01/2022 S: Nyeri minimal, mobiliasi +,
O: Sens CM
TD 120/70
Hr 98
Rr 20
T 36,7
GDS 135 mg/dl
A: Post Cholecytectomi a/I Cholelithiasis + DM T2 + Hipertensi
P: R/ Rawat jalan
Tab Cefixime 2 x 100 mg /PO
Tab As. Mefenemat 3 x 500 mg /PO
Tab Metformin 3 x 500 mg /PO
Tab Valsatarn 1 x 80 mg /PO
Tab Bisoprolol 2,5 mg 1 x 1 /PO
25

BAB 5

DISKUSI

Teori Kasus
Faktor resiko utama pada kolelitiasis dikenal Pada kasus ini pasien merupakan wanita
sebagai 4F yang terdiri dari female, forty, fat, berusia > 40 tahun (52 tahun), dan Obese
dan fertilization dan usia (> 40 tahun) ( IMT 30,4) dan sudah menikah dan
memiliki stidaknya satu anak.
Gejala yang timbul dari batu empedu adalah Salah satu gejala ayng dijumpai pada
nyeri kolik atau kolik bilier. Nyeri ini dapat pasien yaitu nyeri pada perut kana atas .
terjadi di abdomen kanan atas atau epigastrium Nyeri bertambah jika banyak makan
dan dapat menyebar ke punggung yaitu di regio
berlemak. Pasien juga mengeluh riwayat
interskapular dan skapula kanan. Nyeri ini yang
BAB cair dan BAB warna dempul yang
mengakibatkan perut mulas bersifat konstan
hilang timbuk, menunjukan keterlibatan
atau stabil (persisten), derajat berat, durasi
bilier sebagai penyabab yang paling
nyerinya bersifat lama yaitu sekitar 15-30
menit hingga beberapa jam, dan dimulai tiba-
mungkin

tiba serta berhenti atau mereda secara bertahap


atau cepat. Kolik bilier ini dapat dipicu oleh
makan makanan berlemak, bisa
Ultrasonography abdomen kuadran kanan atas Pada kasus ini , dijumpai gambaran
merupakan metode diagnosis pilihan untuk acoustic batu pada USG, tanpa disertai
batu empedu. Ultrasonography memiliki lebih penebalan dinding
dari 95% untuk sensitifitasnya mendeteksi batu
empedu. Ciri khasnya ditemukan fokus
echogenic yang mobildengan acoustic shadow
di dalam lumen kandung empedu pasien
DD: Cholecytitis, Cholangitis Pada kasus ini, tidak dijumpai gambaran
demam dan ikterik yang merupakan triad
klinis cholecytitis dan cholangitis, pada
USG tidak dijumpai penbabalan dinding
yang menandakan inflamasi sehingga
diagnose yang paling tepat adalah
cholelithiasis
Tatalakasana Pada pasien ini dilakukan koleksistektomi
Pasien simtomatis harus segera diberikan elektif melalui laparoskopi, metode
terapi. Selain terapi analgesik, terapi laparoskopik ini menyebabkan hari rawatan
simtomatis dan medikal harus diberikan. yang jauh lebih pendeh dibandingkan
Koleksistektomi elektif laparoskopi merupakan
26
metode koleksistektomi standard untuk pasien dengan metode yang lebih invasif
simtomatis. Terapi ini dapat menyembuhkan
secara permanen.
BAB 5

KESIMPULAN

Cholecystolithiasis adalah penyakit kandung empedu dimana terdapat endapan


yang terbentuk di dalam kandung empedu. Kolelitiasis dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan unsur kimiawi empedu yang menghasilkan pengendapan satu
atau lebih komponen.
Klasifikasi kolelitiasis yaitu batu kolesterol, batu pigmen hitam dan batu
pigmen cokelat. Manifestasi klinis kolelitiasis dapat berupa asimptomatik ataupun
simptomatik. Penegakan diagnosa awal dapat menggunakan USG dengan
gambaran adanya “acoustic shadow”. Tatalaksana kolelitiasis dapat berupa
tatalaksana medikamentosa ataupun pembedahan/surgikal. Komplikasi yang dapat
terjadi yaitu kolesistisis ataupun kolangitis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alghaythi, S. M., Alshammri, J. H. and Alshammari, F. T., 2018. Prevalence and


Risk Factors for Gallstone Disease in Hail Region. The Egyptian Journal of
Hospital Medicine, 70(4), pp. 703–707. doi:10.12816/0043829.
Alishi, Y. A. et al, 2017. Prevalence and Risk Factors for Gallstones among
Population in Riyadh City, KSA 2017. The Egyptian Journal of Hospital
Medicine, 69(5), pp. 2384–2388. doi: 10.12816/0041681.
Attasaranya S, Evan L, Fogel, Glen A, Lehman. 2008. Choledocholithiasis,
ascending cholangitis, and gallstone pancreatitis. The Medical Clinics of North
America. Elsevier Saunders : 925-60.
Das, A. K, 2015. Body Mass Index – a predictor of Gall Stone Disease ?.
(December), pp. 521–527.
Champe C, Pamela., Richard A Harvey dan Denise R Ferier, 2011. Biokimia
Ulasan Bergambar. Jakarta :EGC
Chuang, shih chang & Hsi, Edward & Lee, King-Teh, 2013. Chapter Five.
Genetics of Gallstone Disease. Adv Clin Chem. 60. 143-85. 10.1016/B978-0-
12-407681- 5.00005-2
Doherty, G. M, 2015. Current diagnosis & treatment: Surgery (14th ed.). New
York, N.Y.: McGraw Hill Medical
Dooley JS, 2011. Sherlock’s Disease of the Liver and Biliary Systems. 12th ed.
British. Wiley-Blackwell Publishing
Dooley, JS; Lok, ASF; Burroughs, AK; Heathcote, EJ, 2011.Sherlock's Diseases
of the Liver and Biliary System, 12th Edition
Figueiredo, J. C., Haiman, C., Porcel, J., Buxbaum, J., Stram, D., Tambe, N.,
Cozen, W., Wilkens, L., Le Marchand, L., … Setiawan, V. W, 2017. Sex and
ethnic/racial-specific risk factors for gallbladder disease. BMC
gastroenterology, 17(1), 153. doi:10.1186/s12876-017-0678-6
Greenberger, N. J., In Blumberg, R. S., & In Burakoff, R, 2016. Current diagnosis
& treatment.
25

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta
: EGC, 1022
Gyedu A. Aboagye KA, Peprah AB. Prevalence of Kolelitiasis among persons
undergoing abdominal ultrasound at the Komfo Anokye teaching Hospital,
Kumasi, Ghana. African Health Sciences 2015 March:1591): 246-52
Hawkey CJ, 2012. Textbok of Clinical gastroenterology and Hepatology. British :
Wiley-Blackwell Publishing
Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al,
2014. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia
2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Lv, J. et al, 2017. Gallstone Disease and the Risk of Type 2 Diabetes. Scientific
Reports, 7(1). doi: 10.1038/s41598-017-14801-2.
Merz CNB, Polk D.Treatment guidelines Overview. In : Ballantyne CM, editor.
Clinical Lipidology: A companion to Braunwald‟s Heart Disease. Philadephia.
Elsevier; 2009
Moore, K.L., Dalley, A.I, 2009. Clinically Oriented Anatomy. 6th edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 402.
Muhammad, G, 2010. Medicine Medical Frequency of Gallstones in Patients With
Diabetes Melitus ( a Hospital Based Multidisciplinary Study) Medical Channel,
16(2).
Murray, Robert., Darly K granner dan Victor W rodwell, 2006. Biokimia Harper.
Jakarta : EGC
Njeze, Gabriel E, 2013. Gallstones. [PubMed] 19(2): 49-55.
Park JS, Le DH, Lim JH, dkk. 2015.Morphologic factors of biliary trees are
associated with gallstone-related biliary events. World J Gastroenterol.
21(1):276-82
Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya,
2008.
Stinton, L. M., & Shaffer, E. A. (2012). Epidemiology of gallbladder disease:
Cholelithiasis and cancer. Gut and Liver.
https://doi.org/10.5009/gnl.2012.6.2.172
26

U.S. Department of Health and Human Services, National Institutes of Health,


National Heart, Lung, and Blood Institute, 2003.
https://www.nhlbi.nih.gov/health/educational/lose_wt/risk.htm

Anda mungkin juga menyukai