Anda di halaman 1dari 47

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

COLITIS
Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi Di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :
Adela Ramadhani 30101306851
Dea Hadfina K.S 30101306907
Sukmasari 30101206729
Zuni Aqii Musholah A.M 012106304

Pembimbing :
Dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT ILSMA SULTAN AGUNG SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018

1
2

LEMBAR PENGESAHAN
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION
Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Yang disusun oleh:

Adela Ramadhani 30101306851


Dea Hadfina K.S 30101306907
Sukmasari 30101206729
Zuni Aqii Musholah A.M 012106304

Judul : Colitis
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran Unissula
Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

Telah diajukan dan disahkan


Semarang, November 2018
Pembimbing,

Dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)


3

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................4
1.2. Batasan Masalah...............................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan..............................................................................5
1.3.1 Tujuan Umum.........................................................................5
1.3.2 Tujuan Khusus........................................................................5
1.4. Metode Penulisan.............................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................6
2.1 Usus Besar dan Rectum.....................................................................6
2.1.1 Anatomi dan Histologi............................................................6
2.1.2 Fisiologi...................................................................................7
2.2 Colistis Ulseratif................................................................................8
2.2.1.Pengertian...............................................................................8
2.2.2.Epidemiologi...........................................................................8
2.2.6.Diagnosis...............................................................................14
2.1.7 Penatalaksanaan....................................................................32
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................37
3.1. Identitas Pasien...............................................................................37
3.2. Anamnesis (Alloanamnesa)............................................................37
3.3. Pemeriksaan Fisik...........................................................................37
3.4. Status Generalis..............................................................................38
3.5. Pemeriksaan Penunjang..................................................................39
3.5.1.FPA dan Colon in Loop........................................................39
3.6. Diagnosis........................................................................................41
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................42
BAB V KESIMPULAN......................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................45
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang
melibatkan saluran cerna yang sampai saat ini penyebab pastinya belum
diketahui secara jelas. Secara garis besar IBD terbagi 3 jenis yaitu kolitis
ulseratif dan chron disease, dan bila sulit membedakan keduanya, maka
dimasukan kedalam kategori intermediate colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui
penyebabnya seperti infeksi, ischemik dan radiasi. Kolitis ulseratif ditandai
dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik.
(Djojoningrat, 2011)
Penyebab pasti dari kolitis ulseratf tidak diketahui, tetapi penyakit ini
tampaknya multifaktor dan polygenic. Terdapat beberapa usulan penyebab
diantaranya faktor lingkungan, disfungsi kekebalan tubuh, dan
kecenderungan faktor genetik. Beberapa berpendapat bahwa anak-anak lahir
di bawah berat rata-rata yang lahir dari ibu dengan kolitis ulseratf memiliki
risiko lebih besar terkena penyakit ini. Kolitis adalah penyakit seumur hidup
yang memiliki dampak sosial dan emosional yang mendalam pada pasien
yang terkena. Diagnosis kolitis ulserativa paling baik dibuat dengan
endoskopi dan biopsi mukosa untuk histopatologi. Studi laboratorium sangat
membantu untuk menyingkirkan diagnosis lain dan menilai status gizi pasien,
tapi pertanda serologi dapat membantu dalam diagnosis penyakit colitis.
Pencitraan radiografi memiliki peran penting dalam hasil pemeriksaan pasien
dengan suspect kolitis dan dalam diferensiasi kolitis ulserativa dengan
penyakit Crohn. Perlakuan awal untuk colitis ulceratif meliputi pemberian
kortikosteroid, agen anti-inflamasi, agen antidiare, dan rehidrasi. Bedah
dianggap perlu jika pengobatan medis gagal atau jika keadaan darurat bedah
berkembang. (John, 2013)
5

1.2. Batasan Masalah


Referat ini akan membahas tentang colitis dari segi gambaran
radiologis.
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis
dan penegakkan diagnosis colitis.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui gambaran radiologi pada colitis
1.4. Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan histologi normal Panjang usus besar (kolon dan


rectum) 1.500cm, yang terdiri dari sekum, kolon asenden, kolon
tranversum, kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Dinding usus
besar mempunyai tiga lapis yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), yang
berfungsi untuk mencernakan dan absorpsi makanan, lapisan
muskularis (bagian tengah) yang berfungsi untuk menolak makanan ke
bagian bawah, dan lapisan serosa (bagian luar), bagian ini sangat licin
sehingga dinding usus tidak berlengketan satu sama lain di dalam
rongga abdomen. Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa
kolon tidak dijumpai villi dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur.
Permukaan mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe absortif (kolumnar)
diselang seling sel goblet. Pelapis epitel kripta terdiri dari sel goblet.
Pada lamina propria secara sporadik terdapat nodul jaringan limfoid.
Sel berfungsi mengabsorpsi air, lebih dominan pada kolon bagian
proksimal (asendens dan tranversum), sedangkan sel goblet lebih
banyak dijumpai pada kolon desenden. Lamina propria lebih seluler
(sel plasma, limfosit dan eosinofil) pada bagian proksimal dibanding
dengan distal dan rektum. Pada bagian distal kolon, sel plasma hanya
ada dibawah epitel permukaan. Sel paneth bisa ditemukan pada sekum
dan kolon asenden. Pada anus terdapat sfingter anal internal (otot
polos) dan sfingter anal eksternal (otot rangka) yang mengitari anus.
(John, 2013)

6
7

Gambar 2.1 Anatomi kolon dan rectum (John, 2013)

Gambar 2.2. Histologi kolon (Tortora,2006)


Fisiologi kolon Kolon mengabsorpsi air sampai dengan 90% dan
juga elektrolit, sehingga mengubah kimus dari cairan menjadi massa
semi padat, disebut feses. Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi
hanya mukus. Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu
mencerna sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien
bagi tubuh. Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas,
sehingga menimbulkan bau pada feses. Secara imunologis, oleh karena
banyak limfonodus terutama di aappendiks dan rektum; dan sel imun
8

dilamina propria. Feses juga bewarna coklat yang disebabkan pigmen


empedu. (John, 2013)
2.2.1. Pengertian
Colitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit
radang usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn. Colitis ulseratif
merupakan inflamasi kronik idiopatik ditandai dengan inflamasi
mukosal yang lokasiya hanya melibatkan usus besar dan ileum
terminal pada 10 % pasien. Tidak seperti penyakit Crohn yang dapat
mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan
(Feuersterin,2014).

2.2.2. Epidemiologi
Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada penyakit Crohn.
Colitis ulseratif maupun pernyakit Crohn biasanya lebih banyak
terjadi di Negara industri seperti Amerika Utara dan Eropa Barat,
meskipun demikian insidensi meningkat di Asia. Telah dilaporkan
dari keseluruhan insiden terdapat 1.2 sampai 20.3 kasus per 100.000
penduduk per tahun dengan prevalensi 7.6 sampai 245 kasus per
100.000 per tahun (Danese, 2011). Puncak kejadian penyakit tersebut
adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan
terjadi pada setiap dekade kehidupan. Colitis ulseratif terjadi lebih
sering pada orang kulit putih daripada orang African American atau
Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki. Patogenesis pasti dari Colitis ulseratif belum
diketahui, walaupun demikian faktor genetik dan faktor lingkungan
ditemukan meningkatkan resiko terhadap kejadian Colitis ulseratif
(Feuersterin, 2014).
2.2.3. Etiologi
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan
9

penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi,


imunologik dan psikogenik. (John,2013)
2.2.3.1. Faktor family/genetik
Riwayat keluarga meningkatkan kejadian IBD pada 11%
sampai 15% pasien (John,2013). Colitis ulseratif insidensinya
meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi
dibandingkan dengan non Yahudi. Faktor risiko genetik masih
terus di teliti. Varian HLA-DqA1 paling kuat mucul pada
kejadian Colitis ulseratif. Jalur genetik lainnya yaitu fungsi
epitelial, seperti CHD1 dan LAMB1, dan seluruh encode
sitokin dan marker inflamasi seperti TNFRSF15, TNFRSF9,
IL1R2, IL8RaIRB, dan IL7R (Feuersterin, 2014).
2.2.3.2. Faktor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu
pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi.
Disamping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri,
jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi.
Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen
lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek
sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi
(Feuersterin, 2014).
2.2.3.3. Faktor Imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan
pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat
menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat
mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik
tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan
adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic
antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam
10

patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan


dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA
negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif
(Feuersterin, 2014).
2.2.3.4. Faktor Psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga
telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula
terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres
psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota
keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang
usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka
menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat
merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya (Feuersterin,
2014).
2.2.3.5. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat mempotensiasi terjadinya
kolitis ulseratif saat ini sedang diselidiki. Faktor risiko tersebut
termasuk diet, menyusui dan peristiwa perinatal lainnya,
pekerjaan dan kelas sosial, penggunaan kontrasepsi oral, dan,
merokok. (John, 2013)
2.2.4. Patofisiologis Colitis Ulseratif
Patogenesis kolitis ulseratif masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa teori telah diajukan yang melibatkan kerusakan
vaskular, mekanisme autoimun, interaksi bakteri-imunologi, dan
reaksi alergi atau hipersensitivitas. Literatur terbaru tentang penyakit
radang usus (IBD), penyakit Crohn, dan kolitis ulseratif melaporkan
pencarian intensif untuk antigen yang memicu kekebalan tubuh.Ada
tiga hipotesis utama mengenai pemicu antigenik ini. Hipotesa pertama
yaitu, bahwa pemicu kolitis ulseratif adalah mikroba patogen, yang
belum teridentifikasi. Menurut teori ini, respon imun pada IBD adalah
respon yang tepat tetapi tidak efektif terhadap patogen ini. Hipotesis
11

kedua yaitu untuk pemicu antigenik di IBD adalah bahwa ada


beberapa antigen umum atau agen mikroba nonpatogenik, dimana
pasien memunculkan respon imun abnormal. Telah dihipotesiskan
bahwa pasien dengan IBD secara genetik diprogram untuk
memunculkan respon imun yang intens ke beberapa luminal umum
antigen (diet atau mikroba) yang kebanyakan orang tidak
menanggapi. Diet merupakan sumber utama antigen dalam lumen
usus. Dietary antigen mampu memicu respons imun. Salah satu diet
yang terlibat dalam patogenesis IBD adalah susu sapi. Pasien dengan
IBD dan penyakit Crohn menunjukkan peningkatan insiden antibodi
terhadap protein susu sapi. Pada pasien dengan IBD, protein susu sapi
dan diet antigen lainnya memiliki akses abnormal ke lamina propria
karena cacat pada monolayer sel epitel yang disebabkan oleh
peradangan. Biasanya, epitel usus adalah penghalang antara sel-sel
kekebalan lamina propria dan antigen luminal. Namun, pada IBD, sel-
sel kekebalan dari lamina propria terpapar banyak antigen luminal.
Antigen luminal ini mampu memicu respons imun. Akibatnya,
kekebalan spesifik yang terpicu terhadap agen etiologi mungkin
kewalahan oleh respons imun terhadap ribuan antigen luminal yang
melewati epitel yang rusak. Hipotesis ketiga yang berkaitan dengan
pemicu antigenik mendalilkan bahwa antigen diekspresikan pada sel-
sel pasien sendiri, khususnya pada sel-sel epitel usus. (John, 2013)
Secara teoritis, pasien melakukan respon imun yang tepat
terhadap beberapa antigen luminal; tetapi karena kesamaan antara
protein pada sel epitel dan antigen lumen, sistem kekebalan pasien
juga menyerang sel epitel. Di bawah teori autoimun ini, respon imun
diarahkan menuju sel-sel epitel, dan sel-sel dihancurkan oleh salah
satu dari dua mekanisme efektor imun-baik sitotoksisitas seluler
antibodi-tergantung atau langsung sel-dimediasi sitotoksisitas. (John,
2013)
12

Gambar. 2.3. Kemungkinan hipotesa yang memicu Kolitis ulseratif


(John, 2013)
2.2.5. Klasifikasi
2.2.5.1. Colitis Ulserosa Dini Aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum
hipermia dan edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran
histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara
erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang
atau menghilang dan vaskularisasi pada lamina propria
bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang terdiri dari
kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa.
(Djojoningrat dkk., 2011).
2.2.5.2. Colitis Ulserosa Kronik Aktif
Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan
proses penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses
pada kripta jumlahnya berkurang atau menghilang, pada
lamina propria jaringan limfoid mengalami hiperplasia.
Kelenjar mukosa mengalami hiperplasia, muncul dalam
bentuk psedopolip. (Djojoningrat dkk., 2011).
2.2.5.3. Colitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada
proses regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi
sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama,
dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya
13

ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon


dan rektum. (Djojoningrat dkk., 2011).
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang
dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat
beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi
Truelove) ( tabel 1). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat
dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan
yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya
serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi
mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan
mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis
ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi
mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif,
terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon.
Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan
biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa
sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa
mukosa yang normal. (Djojoningrat dkk., 2011)

Tabel 1. Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis


(Djojoningrat dkk., 2011).
Activity Mild Moderate Severe

Number of bloody stools per day (n) <4 4–6 >6

Temperature (°C) Afebrile Intermediate >37.8

Heart rate (beats per minute) Normal Intermediate >90

Haemoglobin (g/dl) >11 10.5–11 <10.5

Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) <20 20–30 >30


Kolitis ulseratif juga di klasifikasikan berdasarkan letaknya
(Gambar. 2.4.) Klasifikasi tersebut adalah di sekitar rectum, di
daerak kolon sebelah kiri, atau terjadi pada seluruh kolon. (John,
2013)
14

Gambar 2.4. Klasifikasi colitis ulseratid berasarkan letaknya (John, 2013)


2.2.6. Diagnosis
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis
ulseratf adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan.
Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah),
kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu
makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang
sendi, pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya
sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam,
diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat.
Temuan fisik pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat
distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus
ringan, pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam, takikardia dan
hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih
berat. (John,2013)
            Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :

1. Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis


(berhubungan dengan HLA-B27)
2. Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum
3. Mata : episkleritis, iritis, uveitis
15

4. Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing


cholangitis), primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma,
chronic hepatitis
5. Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary
embolus (hypercoagulable state). (John,2013)

Gambaran Laboratorium
   Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan
derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia
yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat
kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan
peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam
yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia,
mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan
penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen
melalui mukosa yang ulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat
menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
  Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium
difficile negative. (Djojoningrat dkk., 2011)

Gambaran Endoskopi         
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di
Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada
rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan
8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa,
eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri
atas mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang
seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan
16

(biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela


sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil
atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif.
Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak
diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa
memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa
bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip.

Gambaran Histopatologi
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan
arsitektur mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria.
Perubahan arsitektur mukosa, perubahan permukaan, berkurangnya
densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi,
bercabang, memendek). Pada kolon normal, permukaan datar, kripta
tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat
muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian
atas lamina propria.
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia
sel Paneth serta permukaan viliform juga diperhatikan. Perubahan
lamina propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel
radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya ditemukan.
Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan stadium penyakit,
apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh. Gambaran
khas untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi kripti,
infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria
(Djojoningrat dkk., 2011).
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik
penyakit colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-
kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis
ulseratif.
Kriteria mayor colitis ulseratif :
17

1.      Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa


2.      Basal plasmositosis
3.      Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
4.      Abses kripta
5.      Kriptitis
6.      Distorsi kripta
7.      Permukaan viliformis
Kriteria minor colitis ulseratif :
1.      Jumlah sel goblet berkurang
2.      Metaplasia sel Paneth
    Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat
dibedakan dari colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium
yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa
pada seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium
dalam satu sediaan.

Walaupun pemeriksaan endoskopi yaitu kolonoskopi merupakan


gold standardnya (Deepak dan David, 2014) dan lebih di tegaskan
dengan hasil pemeriksaan histologi, namun pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang rutin di
lakukan, karena alasan alasan tertentu. Oleh sebab itu, akan di bahas
lebih mendetail tentang pemeriksaan dan gambaran yang di temukan
pada pemeriksaan radiologi.

Gambaran Radiologi
a.      Foto polos abdomen
Foto polos abdomen (FPA) tersedia secara luas dan dapat memberikan
informasi penting dalam pengaturan akut. FPA biasanya dilakukan tanpa
menggunakan kontras intravena, oral, atau dubur. Indikasi termasuk
menilai perforasi viscus dan toxic megacolon (Autenrieth dan Baumgart,
2012). Jika perforasi merupakan masalah klinis, baik posisi supine
18

maupun tegak harus diminta. Pada pasien yang tidak dapat berdiri untuk
film tegak, posisi left lateral decubitus (LLD) adalah strategi alternatif.
Deteksi dilatasi kolon — didefinisikan sebagai distensi kolon total atau
segmental > 6cm — membantu mendiagnosis toxic megacolon dengan
adanya toksisitas sistemik. Dilatasi biasanya paling jelas pada kolon
transversum, bagian kolon yang paling tidak bergantung pada posisi
supine. Gambaran lain dari peradangan aktif yaitu termasuk air fluid
level kolon atau hilangnya haustra kolon. Pada penyakit yang lebih
berat, kolon dapat menunjukkan kontur nodular yang tidak teratur
dengan pulau mukosa dipisahkan oleh mukosa yang sangat meradang
(Gambar 2.5.a). Terakhir, FPA mungkin menyarankan tingkat penyakit,
karena usus besar yang meradang mengandung lebih sedikit tinja dan
tidak adanya tinja di usus besar menunjukkan pancolitis. Kinerja FPA
telah dibandingkan dengan computed tomography (CT) imaging.
Kehadiran udara intraperitoneal lebih cenderung terlewatkan pada FPA
dan CT abdomen telah menunjukkan hasil diagnostik yang lebih tinggi
untuk mendeteksi komplikasi terkait IBD (Gambar 2.5.b). Dalam sebuah
penelitian kecil (n = 18) oleh Imbriaco dan rekan, pada pasien toxic
megacolon (termasuk empat individu dengan UC), pencitraan CT
mendeteksi dua perforasi yang terlewatkan pada FPA. (Deepak dan
David, 2014).
19

Gambar 2.5. A 32-year-old female patient with ulcerative colitis


presenting with abdominal pain and bloody diarrhea. a: Abdominal X-
ray depicting areas of thumbprinting (white arrow) suggestive of colonic
bowel wall edema. b: Computed tomography demonstrating free air
(white arrow) and colon wall thickening (white arrowhead) (Deepak dan
David, 2014).
20

Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus


pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini
adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis
avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan
struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,
sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan
terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Apabila
terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left
lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. (Livshits,2016)
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan
barium enema merupakan kontra indikasi. (Livshits,2016)

Gambar 2.6 FPA, Mucosal tags pada anak perempuan usia 13 tahun.
(Livshits,2016)
b.      Barium enema (Colon in loop)
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila
ada kelainan pada kolon. Pemeriksaan barium enema dapat digunakan
untuk menilai peradangan aktif dan untuk menentukan tingkat penyakit
21

(Deepak dan David, 2014). Sebelum dilakukan pemeriksaan barium


enema maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang
sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan
memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air
putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif
peroral. (Wo ho Kim, 2015)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double
contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat
baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single
contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup
sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan
endoskopi atas dugaan pasien dengan kolitis ulseratif. (Wo ho Kim,
2015)
Informasi yang diperoleh dalam pengaturan ini mencakup panjang
striktur, diameter dan status kolon proksimal terhadap striktur. Beberapa
fitur inflamasi telah dijelaskan dalam literatur, termasuk granularitas
mukosa halus yang disebabkan oleh edema dan hiperemia. Pengisian
barium terhadap bintik-bintik erosi superfisial atau borok yang berlebih
pada mukosa dapat memberikan penampilan yang menyerupai
penumpukan cat (stippling of paint). Ulserasi yang lebih dalam ke
submukosa dengan ekstensi lateral menghasilkan gambaran collar-stud
atau collar-button ulcers. Dengan perpanjangan ulkus, mukosa normal
intervensi dapat menonjol, muncul sebagai polip. Peradangan kronis
dapat menyebabkan pemendekan dan penyempitan kolon dan dapat
kehilangan lipatan interhaustralnya, menghasilkan penampilan tanpa
bentuk atau tubular (gambaran pipa). Perubahan lain yang dilaporkan
karena peradangan kronis termasuk pelebaran ruang presacral
(retrorectal) seperti yang terlihat pada film lateral rektum. Adapun
gambaran kolitis pada pemeriksaan barium tampak pada gambar 2.7, 2.8
dan 2.9. (Deepak dan David, 2014;Wo ho Kim, 2015)
22

Gambar 2.7. Acute phase of ulcerative colitis. Double-contrast barium


enema study shows mucosal granularity and stippling (crypt abscess) in
rectum and sigmoid colon (arrow) à menggambarkan early stage pf
ulcerative colitis. (Wo ho Kim, 2015)

Gambar 2.8. Chronic phase of ulceratifve coltis. Lateral rectal view shows
widened presacral space. A distance greater than 1.5 cm is considered
abnormal. The rectal lumen is also narrowed woth the absent valves of
Houston. (Wo ho Kim, 2015)
23

Gambar. 2.9. Chronic phase of ulceratifve coltis. Barium study shows


chironic ulserative pancolitis with diffuse luminal narrowing, blunting, and
lost haustra inte near entire colon and rectum. (Wo ho Kim, 2015)

Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka


perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-
shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks,
yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang
khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga
menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon. (Wo ho Kim,
2015)

c.       Ultrasonografi (US)


Ultrasonografi (US) adalah modalitas yang relatif baru sebagaimana
diterapkan pada pencitraan usus. Puasa enam jam sebelum pemeriksaan
mengurangi udara di usus yang dapat menghambat pemeriksaan.
24

Pemberian kontras oral seperti polietilena glikol dapat meningkatkan


kualitas gambar dan akurasi diagnostik. Kontras intravena digunakan di
beberapa pusat khusus, tetapi tidak disetujui FDA untuk pemeriksaan
usus di Amerika Serikat. Teknik hidrosonografi kolon telah dijelaskan
dan melibatkan pemasukan air ke dalam rektum.US untuk kasus IBD
sering membutuhkan frekuensi tinggi (5-17MHz) probe linear array
untuk meningkatkan resolusi spasial dan untuk memungkinkan penilaian
yang memadai dari dinding usus. Interogasi doppler memberikan
informasi vaskular tambahan dan dapat membantu dengan membedakan
predominan inflamasi dari lesi fibrostenotik. Beberapa indikasi potensial
untuk USG ada untuk pasien dengan kolitis ulseratif. Ini memiliki
keuntungan menghindari paparan radiasi pengion, biaya rendah dan
ditoleransi dengan baik oleh pasien. Daerah ileocecal, kolon sigmoid-,
ascending- dan descending divisualisasikan secara memadai pada
sebagian besar pasien, sedangkan memvisualisasikan seluruh kolon
transversal dapat menjadi tantangan karena anatomi dan posisi
variabelnya. Rektum bisa sulit untuk dievaluasi karena posisinya di
panggul. US telah digunakan untuk menentukan lokasi anatomis dan
keparahan kolitis ulseratif pada pasien dengan penyakit tertentu dan
untuk menilai penetrasi serta komplikasi. Selain menilai peradangan
kolon, kolitis ulseratif dapat menginterogasi usus kecil untuk menilai
penyakit Crohn pada pasien dengan IBD-U. Dalam sebuah penelitian
kecil dari 26 pasien berturut-turut dengan steroid refrakter atau UC
dependen, yang diobati dengan granulosit dan monocyte adsorption
apheresis, peningkatan vaskularisasi dinding usus pada US yang
dikoreksi kontras berkorelasi dengan non-respon terhadap sitopheresis
secara klinis. Akhirnya, ultrasonografi endoskopik (memanfaatkan probe
kateter) telah dieksplorasi dalam hal memprediksi respons terhadap
terapi medis pada kasus kolitis ulseratif berat. Beberapa gambaran
peradangan kolon aktif telah dijelaskan, berdasarkan gambar US. Ini
termasuk penebalan dinding (> 3mm), pengawasan lengkap atau relatif
25

dari echo-stratifikasi dinding kolon (kecuali pada penyakit berat) dan


hilangnya profil haustra coli. Gambaran dinding usus menebal di ileum
terminal-bersama dengan adanya lesi bersamaan seperti striktur, fistula
atau abses yang dicitrakan dengan US-adalah sugestif penyakit Crohn.
(Deepak dan David, 2014).
Pada literature lain mengatakan, pemeriksaan USG pada kasus dengan
kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan
kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat
tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus
menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra
kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada
potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada
kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat
pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut. (Civitelli
dkk, 2014)

Gambar 2.10 A, Longitudinal and transverse scan of descensing colon,


Thickened BW with prsence of color signals and loss of haustra coli. The
BW stratification is preserved. B, Transversal US scan of the transverse
colon ahowing thickned BW, increased vascularity, and loss of the normal
stratification. Note the presence of enlarged mesentric lymph node (arrow) .
(Civitelli dkk, 2014)
26

d.      CT Scan
Penggunaan CT telah berkembang pesat pada pasien IBD. Berbagai
teknik dapat digunakan termasuk standar CT abdomen dan panggul, CT
enterography (CTE) dan CT colonography (CTC). CT standar dapat
dilakukan dengan atau tanpa kontras intravena, tergantung pada
pengaturan klinis. Sebagai perbandingan, CTE melibatkan konsumsi
agen kontras oral netral bervolume besar bersama dengan kontras
intravena iodinasi, biasanya dalam fase enterik (50 detik setelah injeksi),
untuk memaksimalkan visualisasi meningkatkan lesi usus dan
peradangan. Gambar multiplanar direkonstruksi dengan resolusi spasial
tinggi (ketebalan irisan 3mm). CTC membutuhkan persiapan katarsis
kolon dan distensi kolon dengan insuflasi udara yang diberikan melalui
tabung rektal. CTC dirancang untuk pemeriksaan usus halus daripada
usus kecil. Ada beberapa aplikasi potensial untuk CT pada pasien colitis
ulseratif. CT standar abdomen sering digunakan untuk menyingkirkan
komplikasi IBD, seperti perforasi. CTE dapat digunakan untuk menilai
penyakit usus kecil pada pasien IBD-U, mengevaluasi aktivitas penyakit
kolon dan luasnya pada kasus CD dan colitis ulseratif, mendeteksi
penetrasi komplikasi — dan dapat mendiagnosis manifestasi IBD ekstra-
intestinal. CTC juga telah digunakan untuk menilai aktivitas penyakit
kolon. (Deepak dan David, 2014)

Gambaran radiologis dari kolitis ulseratif aktif adalah adanya


penebalan dan peningkatan mural kolon. Diameter normal dinding kolon
berada pada kisaran 2–3mm, sedangkan ketebalan dinding rata-rata 8mm
telah dilaporkan pada pasien kolitis ulseratif dengan penyakit aktif
(Gambar 2.5.b). Sekitar 70% pasien dengan kolitis ulseratif aktif
menunjukkan peningkatan dinding dan stratifikasi yang tidak homogen
setelah kontras intravena diberikan (Gambar 2.11). Deposisi lemak di
dinding kolon terlihat pada hingga 60% pasien. Gambaran radiologi dari
27

kolitis ulseratif mungkin juga termasuk penyempitan rektum, pelebaran


ruang presakral dan terdampar lemak perirectal Ada kekurangan data CT
komparatif di antara studi pasien kolitis ulseratif. Karena CTE
dikembangkan terutama untuk evaluasi penyakit Crohn, hanya beberapa
penelitian yang mengeksplorasi penggunaannya di kolitis ulseratif.
(Deepak dan David, 2014)

Dinding usus menebal secara simetris dan kalau terpotong secara


cross-sectional maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar
usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau
keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. (Wo ho Kim,
2015)

Gambar. 2.11. Computed tomography enterography in a 55-yearold


female with pancolonic ulcerative colitis. White arrow highlights region
with wall thickening and enhancement. (Deepak dan David, 2014)
28

Gambar 2.12. CT of ulcerative colitis (a) Axial CT image shows mural


thickening with stratification in the rectum and sigmoid colon, suggesting
acute inflamation. (b) Coronal CT image shows multiple ulceration,
corresponding to collar button ulcers in the ascending and descending
colon with layered mural thickening (Wo ho Kim, 2015)

e. Magnetic resonance imaging (MRI)

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah pilihan pencitraan non-


invasif lain untuk pasien koitis ulseratif. Ini dapat dilakukan sebagai
MRI abdomen dan pelvis, MR enterography (MRE), MR colonography
(MRC), atau MR enterocolonography (MREC). Untuk interogasi usus
halus, agen kontras enterik volume besar dapat diberikan secara oral
(MRE) atau melalui tabung nasojejunal (MR enteroclysis). Glukagon
atau agen anti-peristaltik lainnya sering diberikan untuk meringankan
artefak gerak yang berhubungan dengan peristaltik usus. Kolonisasi MR
dapat dilakukan setelah persiapan kolon katarsis telah diberikan.
Penggunaan pencitraan difusi-tertimbang dengan kolonografi resonansi
magnetik (DWI-MRC) -adalah teknik yang menilai perubahan dalam
difusi air, telah dilaporkan untuk membantu mendeteksi peradangan
kolon di koitis ulseratif tanpa memerlukan persiapan usus. Kebanyakan
protokol MRC memang membutuhkan distensi kolon dengan air atau
kontras enema kecuali dengan DWI-MRC. Aplikasi pencitraan MRI dan
29

indikasi di koitis ulseratif mirip dengan CT, kecuali penilaian kekuatan


tulang, yang belum divalidasi dengan MRE. (Deepak dan David, 2014)
Beberapa temuan MRI untuk peradangan usus aktif telah dilaporkan
pada pasien kolitis ulseratif. Ini dapat bervariasi tergantung pada teknik
MR, tingkat keparahan peradangan dan kronisitas penyakit. Penyakit
kolon aktif ringan dapat menunjukkan penebalan halus dinding kolon
dan mengurangi distensibility. Moderat sampai berat penyakit dapat
menunjukkan penebalan dinding usus, edema mural, ulserasi, hilangnya
haustra, hyperenhancement mural, membesar vasa recta (comb sign) dan
pembesaran kelenjar getah bening pericolonic (Gambar 2.13).
Peningkatan kronisitas penyakit telah digambarkan sebagai hilangnya
haustra, kontur halus, penyempitan tubular, kekakuan dan proliferasi
lemak terbatas pada ruang perirectal yang melebar. MRI pada pasien
kolitis ulseratif telah dinilai dengan kolonoskopi sebagai standar
referensi. (Deepak dan David, 2014)
30

Gambar 2.13. Magnetic resonance enterography in a 24-year-old male


with ulcerative colitis. a: Colonic wall thickening (white arrow) and
hyperenhancement of the right colon. b: Engorgement of the pericolonic
vasa recta (white arrow) with colonic wall thickening and
hyperenhancement in the sigmoid colon. (Deepak dan David, 2014)

Diagnosis Banding berdasarkan pemeriksaan Radiologi (CT)


Penebalan dinding lumen usus
 Panjang keterlibatan penebalan segmen <5 cm
Adenocarcinoma biasanya hadir sebagai penebalan dinding usus
dengan segmen yang pendek. Batasnya tidak seperti diverticulitis, di
mana pada dverticulus batas runcing (tapering).
31

 Panjang keterlibatan penebalan segmen 5-10 cm


Diverticulitis, penyakit Crohn dan iskemia biasanya hadir dengan
keterlibatan segmen yang agak lebih panjang.
 Panjang keterlibatan penebalan segmen 10-30 cm
Pada gambar (),menunjukkan perdarahan submukosa, kebanyakan
terlihat pada usus kecil dan duodenum.
 Keterlibatan difus
Ketika seluruh usus besar terlibat perlu dipikirkan kemungkinan
kolitis ulseratif. Keterlibatan usus besar dan usus kecil terlihat pada
penyakit usus infeksius (IBD), edema dan SLE. (Radiologyassistant,
2017)

Gambar. 2.14 Gambaran CT berdasarkan perbedaan ketebalan dinding lumen usus


(Radiologyassistant, 2017)

Enhancement pattern

Gambar 2.15 menunjukkan ikhtisar enhancement pattern dengan pemeriksaan CT


pada pasien dengan penebalan dinding usus.
32

Gambar 2.15 Perbedaan enhancement pada pemeriksaan CT (Radiologyassistant,


2017)
2.1.7 Penatalaksanaan
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan
pengobatan, tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1)
menginduksi remisi, 2) mempertahankan remisi, 3) meminimalkan
efek samping pengobatan, 4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5)
meminimalkan risiko kanker
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di
pelayanan kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 2.16. Obat-
obat kolitis ulserativa meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011)
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid
sistemik, kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators
33

Gambar 2.16 Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di


pelayanan kesehatan lini pertama .( Djojoningrat dkk, 2011)
a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll)
telah digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien
dengan penyakit Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau
yang gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan
senyawa 5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung
dengan jaringan usus yang meradang untuk menjadi efektif.
Kortikosteroid oral adalah agen anti peradangan yang kuat seluruh
tubuh.  Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis.
( Djojoningrat dkk, 2011)
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti
hydrocortisone) dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih
cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami
perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah
pemberian kortikosteroid dimulai. (Adam,2010)
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih
menjadi pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau.
Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi
steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan
34

efek sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di


daerah ileum terminalis dan colon ascendens baik dalam bentuk
preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b) mempertimbangkan
dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase
remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara dengan
prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi
kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam
waktu 8-12 minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)

b. Obat Golongan Asam Aminosalisilat


Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat
sulfasalazin merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam
pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin dan
aminosalisilat dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi
sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang
berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini. Efek samping
5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada
unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam
pengobatan IBD.
Rencana tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya
(olsalazine: ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih
diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa
(carrir molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas
lambat pada pH >5 (dalam lumen usus halus/ ileum terminalisdan
kolon proximal) serta lebih efektif dalam penggunaan oral (coated)
maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA
untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai
yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA
dapat pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis
35

dan menurunnya proliferasi mukosa kolorektal pada IBD.


( Djojoningrat dkk, 2011)

c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan
sistem kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan
kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara
abnormal dan kronis diaktifkan. Immunomodulators mengurangi
peradangan jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan
tubuh dan / atau dengan mengganggu produksi protein yang
mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan. Contoh
Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-
MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan
waktu pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek
terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi pada
kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial
50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap
2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek
samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia, leukopenia,
limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat dkk, 2011)

d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat.
Segera setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik,
semua obat anti-diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang
dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan,
makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah.
( Djojoningrat dkk, 2011)
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya
peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil
36

memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan


pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar
diangkat.
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker
pada usus besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan
kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya
penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan
pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah
penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat
penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian
terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong
ileostomi. Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal,
dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah
reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang
tersisa, tepat diatas anus.
37

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


o Nama : Ny. Y
o Usia : 38 th
o Jenis Kelamin : Perempuan
o Alamat : Caper RT002 RW 001 Ngaglik kasiman
Bojonegoro
o Agama : Islam
o Pekerjaan : Wiraswasta
o Status : Menikah
o Suku Bangsa : Jawa (WNI)
o Ruangan /Poli : Poli Penyakit Jalan/Rawat Jalan

3.2. Anamnesis (Alloanamnesa)


Pasien perempuan usia 38 tahun datang ke poli penyakit dalam RSI Sultan
Agung pada tanggal 15 November 2018 dengan keluhan BAB cair disertai
darah. BAB cair disertai nyeri perut dan badan terasa lemas. Terkadang
dirasakan demam yang tidak terlalu tinggi, demam dirasakan hilang timbul.
Untuk melakukan penanganan lebih lanjut perlu diketahui penyebabnya,
maka pasien perlu menjalani pemeriksaan penunjang yaitu colon in loop
untuk melihat keadaan usus pasien.
o Riwayat penyakit dahulu: Disangkal
o Riwayat penyakit keluarga : Disangkal
o Riwayat sosial ekonomi : Pasien merupakan pasien JKN NON PBI

3.3. Pemeriksaan Fisik


o Kesadaran : GCS 15
o Kedadaan umum : komposmentis
o Tekanan darah : 120/80
38

o Nadi : 77 x / menit
o RR : 20 x/menit
o TB :-
o BB :-
o IMT :-

3.4. Status Generalis


o Kulit : pucat (-)
o Kepala : mesocephal, cephal hematom (-)
o Mata : konjungtiva pucat (+), sklera ikterik (-), pupil isokor
o Telinga : serumen -/- darah -/-
o Hidung : septum deviasi (-), deformitas (-) Darah (-)
o Leher : pembesaran limfonodi (-), pembesaran trakea (-)
o Thorak : pernafasan simetris kanan-kiri saat statis dan dinamis,
retraksi suprasternal (-), retraksi intercosta (-)
o Pulmo :
Auskultasi  suara dasar vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-), stridor
(-)
Palpasi  stem fremitus normal
Perkusi  sonor seluruh lapang paru
o Cor :
Inspeksi  ictus cordis tak tampak
Palpasi  ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternal sinistra
Kiri bawah : ICS V linea mid klavikula sinistra
Kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
Auskultasi  bunyi jantung I dan II normal, tidak ada bising jantung
o Abdomen :
Inspeksi  cembung, spider navy (-), caput medusa (-)
39

Auskultasi  bising usus (+)


Palpasi  nyeri tekan (+)
Perkusi  redup pada seluruh regio, pekak alih (-), pekak sisi (-)
40

3.5. Pemeriksaan Penunjang


3.5.1. FPA dan Colon in Loop
41

Interpretasi Colon in Loop (Lower GI Series) (Kontras)


FPA
- Tak tampak opasitas abnormal pada kavum abdomen dan kavum pelvis.
Pemeriksaan Colon in Loop:
- Kontras Barium sulfat dan udara dimasukkan melalui kateter yang
terpasang pada rectum.
- Tampak kontras mengisi: rectum colon sigmoid, colon descenden, colon
transversum, colon ascenden dan secum.
- Pada colon sigmoid dan colon descenden tak tampak gambaran haustra,
disertai lumen colon descenden yang tampak sempit.
- Tak tampak cekung defect, indentasi dan additional shadow.

K E S A N:
- Cenderung gambaran Colitis
- Tak tampak massa intraluminer pada rectum dan colon
42

3.6. Diagnosis
Left sided colitis
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini didapatkan pasien perempuan usia 38 th datang ke poli


penyakit dalam RSI Sultan Agung dengan keluhan BAB cair berdarah, disertai
nyeri perut dan badan terasa lemas. Pasien juga terkadang dirasakan demam yang
tidak terlalu tinggi, demam dirasakan hilang timbul. Keluhan pasien ini sesuai
dengan gejala klinis dominan pada pasien dengan kolitis ulseratif yaitu diare yang
disertai darah. Nyeri perut, badan terasa lemas dan demam juga merupakan klinis
tambahan yang biasanya ditemukan pada pasien dengan kolitis ulseratif
(John,2013)
Penegakan diagnosis kolitis ulseratif harus ditunjang dengan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang di lakukan
adalah FPA dan barium enema (colon in loop). Pemeriksaan FPA dilakukan untuk
menilai adanya tanda tanda khas yang biasanya ditemukan pada kasus colitis
ulseratif seperti: gambaran kolon yang terlihat memendek, penebalan dinding
kolon, diameter kolon mengecil dan struktur haustra menghilang (Livshits,2016),
serta untuk melihat kemungkinan adanya kontraindikasi pemeriksaan colon in
loop seperti adanya perforasi yang ditandai dengan adanya gambaran
pneumoperitoneum (Autenrieth dan Baumgart, 2012;Livshits,2016). Pada kasus
ini tidak dapat dinilai gambaran khas kolitis ulseratif namun dipastikan tidak
ditemukan adanya perforasi, karena tidak ditemukan adanya tanda
pneumoperitoneum. Hal ini sesuai dengan literatur sebelumnya bahwa pada
pemeriksaan FPA tanda khas kolitis ulseratif memang sulit dinilai atau terkadang
tidak nampak dalam FPA, para radiolog lebih mengutamakan tujuan FPA untuk
menilai ada tidaknya perforasi yang merupakan kontraindikasi dari pemeriksaan
colon in loop (Livshits,2016).
Pada kasus ini setelah dipastikan tidak ditemukan adanya perforasi,
dilanjutkan dengan pemeriksaan barium enema double kontras. Dari pemeriksaan
ditemukan tampak kontras mengisi: rectum, kolon sigmoid, kolon descenden,
kolon transversum, kolon ascenden dan sekum, menunjukkan tidak ada

43
44

kemungkinan adanya obstruksi pada kolon. Pada kolon sigmoid dan kolon
descenden tak tampak gambaran haustra, disertai lumen kolon descenden yang
tampak sempit. Sesuai dengan literatur sebelumnya, gambaran ini yang
menunjang kesan kolitis daerah sisi kiri pada pasien. Hilangnya haustra
disebabkan oleh adanya edem mukosa kolon akibat peradangan yang terjadi,
sedangkan kolon yang menyempit timbul akibat adanya spasme (Deepak dan
David, 2014). Tidak tampak adanya gambaran indentasi ataupun filling defect
meningkirkan adanya kemngkinan masa pada intra atupun ekstra kolon. Pada
pasien ini juga tidak ditemukan adanya additional shadow, yang biasanya
mencirikan adanya ulcer (Deepak dan David, 2014). Walaupun demikian
gambaran haustra yang menghilang dan lumen yang menyempit dimana juga
disertai dengan klinis yang sesuai dengan kolitis ulseratif sudah dapat
menegakkan diagnosis kolitis pada pasien. Pasien yang kurang kooperatif pada
saat pemeriksaan barium emena, mungkin saja yang menyebabkan gambaran
pada barium enema (colon in loop) yang kurang maksimal.
45

BAB V
KESIMPULAN
Colitis ulseratif merupakan inflamasi kronik idiopatik ditandai dengan
inflamasi mukosal yang lokasinya hanya melibatkan usus besar dan ileum
terminal (10%). Penegakan diagnosis diambil berdasarkan klinis, dimana diare
merupakan klinis yang paling dominan pada pasien dengan kolitis ulseratif dan di
tunjang dengan pemeriksaan penunjang. FPA dan Barium Enema (Colon in Loop)
merupakan pilihan pemeriksaan penunjang yang baik dimana pada FPA
diharapkan tidak tampak gambaran pneuperitoneum, untuk menyingkirkan
kemungkinan perforasi sehingga pemeriksaan colon in loop bisa dilanjutkan.
Sedangkan pada pemeriksaan Colon in loop akan ditemukan gambaran: penebalan
dinding kolon, diameter kolon mengecil dan struktur haustra menghilang, mukosa
granularity/stippling. Kerjasama pasien mulai dari persiapan sebelum pemeriksaan
maupun pada saat pemeriksaan sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran
yang maksimal.
46

DAFTAR PUSTAKA.

1. Autenrieth DM dan Baumgart DC. Toxic megacolon. Inflamm Bowel


Disease 2012;18:584–91.

2. Civitelli F, Nardo G Di, Oliva S, Nuti F, Ferrari F, Dilillo A, et al.


Ultrasonography of the Colon in Pediatric Ulcerative Colitis: A
Prospective, Blind, Comparative Study with Colonoscopy. J Pediatric.
2014;1–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jpeds.2014.02.055

3. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative Colitis. N Engl J Med. 2011;


365(18):1713-1725.

4. Deepak, Parakkal dan David H. Bruining. Radiographical evaluation of


ulcerative colitis. J Gastroenterology Report 2. 2014; 169–177. Available
from: http://dx.doi:10.1093/gastro/gou026

5. Djojoningrat D dkk editor. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D,
dkk. Jakarta: Interna Publishing; 2011

6. Feuerstein JD, Cheifetz AS. Ulcerative Colitis. Mayo Clin Proc.


2014;89(11):1553–63. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mayocp.2014.07.002

7. John Hopkin. 2013. Ucerative Colitis.


https://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/sma
ll_large_intestine/ulcerative_colitis.pdf. Diakses tanggal 22 November
2018.

8. Livshits A, Fisher ÃD, Hadas ÃI, Bdolah-abram T, Mack D, Hyams J, et


al. Abdominal X-ray in Pediatric Acute Severe Colitis and Radiographic
Predictors of Response to Intravenous Steroids. 2016;62(2):259–63.
47

9. Radiologyassistant. 2017.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p53413fd54f908/bowel-wall
thickening-ct-pattern.html. Dakses tanggal 22 November 2018.

10. Tortora, G.J. dan B. Derrickson.2006. Principles of Anatomy and


Physiology. 11th ed. USA : John Wiley & Sons Inc; 2006. P. 145-70.

11. Weber NK, Fidler JL, Keaveny TM et al. Validation of a CT-derived


method for osteoporosis screening in IBD patients undergoing contrast-
enhanced CT enterography. Am J Gastroenterol 2014; 109:401–8.

12. Won Ho Kim. Radiology. Atlas of Inflammatory Bowel Disease. London:


Spring; 2015.

Anda mungkin juga menyukai