Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN LIVERE

PBL FARMAKOTERAPI

RUMAH SAKIT
IBNU SINA
OLEH
MIFTAH ULAH SHALEH

701000112096

MUHAMMAD NUR NISBA

70100112022

HIKMAWATI

70100112057

WIWIN KHAERUNNISA

70100112052

WAHYUNI SARIYATI

70100112093

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas Berkat, Rahmat dan
Hidayah-Nyalah, sehinnga kami dapat menyusun laporan PBL FARMAKOTERAPI sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta Salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang
seperti yang kita rasakan saat ini.
Menyusun Laporan PBL FARMAKOTERAPI merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk memenuhi kebutuhan diskusi dalam bertukar pikiran dalam mata kuliah PBL
FARMAKOTERAPI.
Dalam laporan PBL FARMAKOTERAPI ini, dapat kami selesaikan berkat kerja sama
yang baik dan kompak dari kelompok kami untuk menyelesaikan laporan ini. Tetapi, kami sadar
bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan atau masih membutuhkan suatu perbaikan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak baik dosen maupun
teman-teman yang bersifat membangun agar dapat lebih disempurnakan lagi untuk kedepannya.
Terima kasih...

Penyusun

Kelompok RS Ibnu Sina 2

DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan ........................................................................................................... 1
I.1. Latar Belakang...................................................................................................... 1
I.2. Tujuan PBL Farmakoterapi................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Pustaka................................................................................................... 3
II.1. Konsep Pharmaceutical Care............................................................................... 3
II.2. Penyakit-Penyakit di Rumah Sakit Ibnu Sina...................................................... 5
Bab III Studi Kasus...........................................................................................................
III.1. Kasus 1...............................................................................................................
III.2. Kasus 2...............................................................................................................
III.3. Kasus 3...............................................................................................................
Bab IV Studi Kasus Mini Teaching Apotek.....................................................................
IV.1. Kasus (Resep) 1..................................................................................................
IV.2. Kasus (Resep) 2..................................................................................................
Bab V Penutup...................................................................................................................
V.1. Kesimpulan...........................................................................................................
V.2. Saran.....................................................................................................................
Lampiran-lampiran..............................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi telah berkembang orientasinya pada pelayanan kepada pasien (pharmaceutical care).
Apoteker di rumah sakit diharapkan memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang
memastikan bahwa pengobatan yang diberikan pada setiap individu pasien adalah pengobatan
yang rasional. Selain mampu menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu
memberikan manfaat bagi kesehatan dan berbasis bukti (evidence based medicines), pelayanan
kefarmasian juga diharapkan mampu mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah masalah
terkait pengunaan obat yang aktual dan potensial.
Pelayanan Farmasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kesehatan rumah
sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien dengan menyediakan obat yang bermutu
termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Pelayanan farmasi klinik di rumah sakit sebagai salah satu sistem memegang peranan
yang cukup penting dalam meningkatkan pelayanan di rumah sakit, terutama dalam pengobatan
dan perawatan pasien, baik dilihat dari sudut kepentingan pasien maupun kepentingan rumah
sakit sendiri.
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya
kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Konsep
kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di
Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana keshatan,
merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi mengharuskan adanya
perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke paradigma baru patient oriented
dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian).

Pelayanan kefarmasian telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented)
menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada Pharmaceutical Care.
Kegiatan pelayanan yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Namun pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan
pada setiap jam buka apotek lebih sering tidak dijumpainya apoteker, melainkan tenaga teknis
kefarmasian dan pemilik modal apotek. Segala aktivitas apotek lebih dikendalikan oleh pemilik
modal apotek, akibatnya profil dan performa apotek tidak lebih dari tempat transaksi jual beli
obat yang dikendalikan sepenuhnya pemilik modal apotek yang sering tidak memiliki latar
belakang kefarmasian. Apotek telah berubah menjadi semacam Toko yang berisi semua golongan
obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak
mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tapi oleh siapa saja
yang ada di apotek.
I.2. Tujuan PBL Farmakoterapi
1. Mampu Memahami dan Menganalisis Mengenai Interprestasi Data Klinik
2. Memahami dan Menganalisis Masalah Terkait DRP
3. Mampu Mengintegrasi Berbagai Ilmu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Konsep Pharmaceutical Care

Secara leksikogarafi (ilmu yang mempelajari tentang pemaknaan bahasa), kata care
diantaranya bermakna merawat, memberi perhatian, dan peduli. Pharmaceutical merupakan
bentuk kata sifat (adjective) dari kata pharmacy yang memiliki padanan Indonesia farmasi.
Dalam penerjemahan berlaku ketentuan pemaknaan kata dasarnya secara konsisten atau
pemaknaan berdasarkan hakekat. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia pharmaceutical care
dapat bermakna kepedulian atau tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan
untuk mencapai hasil yang dapat meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien. Dalam hal
ini seorang apoteker/farmasis mempunyai kewajiban mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan kesehatan (Rantucci, 1997 cit.
Arifiyanti, 2004 ).
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker
pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang
ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan
terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk
tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian,
pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society
of Hospital Pharmacists, 1993).
Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care
Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang
secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu
kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik
berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.
PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki/ROTD


Masalah pemilihan obat
Masalah pemberian dosis obat
Masalah pemberian/penggunaan obat
Interaksi obat
Masalah lainnya
(Pharmaceutical Care Network Europe,2006)
Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya kesehatan

dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Obat menjadi lebih mahal,
penggunaanya meningkat, biaya kesalahan penggunaan obat (drug misuse) meningkat, dan efek

samping obat. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis
yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik
dan kualitas hidupnya meningkat. Peran farmasis dalam asuhan kefarmasian di awal proses
terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, mereka memeriksa kembali
semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRP (drug related problem) pasien. Diakhir
proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil optimal dan
kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan.
Fungsi utama dari asuhan kefarmasian adalah:
1. Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.
2. Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat.
3. Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat.
Manfaat pelayanan kefarmasian, antara lain:
1. Mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat.
2. Memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan lainnya
3. Membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat.
4. Identifikasi, penyelesaian dan pencegahan masalah yang berkaitan dengan obat (DRP).
5. Justifikasi layanan farmasi dan assessment kontribusi farmasi terhadap layanan pasien
dan hasilnya bagi pasien.
6. Memperbaiki produktivitas farmasis.
7. Jaminan mutu dalam layanan farmasi secara keseluruhan.
(Mutmainah, 2008).

II.2 Penyakit-Penyakit Rumah Sakit Ibnu Sina


1. Cancer Mammae (Kanker Payudara) komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2
a. Defenisi
Kanker payudara adalah neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan
payudara abnormal yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltratif dan
destruktif, serta dapat bermetastase. Tumor ini tumbuh progresif, dan relatif cepat
membesar. Pada stadium awal tidak terdapat keluhan sama sekali, hanya berupa
fibroadenoma atau fibrokistik yang kecil saja, bentuk tidak teratur, batas tidak tegas,
permukaan tidak rata, dan konsistensi padat dan keras (Ramli,1994).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan

jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012).
Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia
karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin
dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa
darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati
sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai
glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (Animesh, 2006).
b. Patofisiologi dan Gejala
Kanker Payudara
Kanker payudara adalah penyakit yang terjadi jika terjadi kerusakan genetik
pada DNA dari sel epitel payudara. Ada banyak jenis dari kanker payudara. Perubahan
genetik ditemukan pada sel epitel, menjalar ke duktus atau jaringan lobular. Tingkat
dari pertumbuhan kanker tergantung pada efek dari estrogen dan progesteron. Kanker
dapat berupa invasif (infiltrasi) maupun noninvasif (in situ). Kanker payudara invasif
atau infiltrasi dapat berkembang ke dinding duktus dan jaringan sekitar, sejauh ini
kanker yang banyak terjadi adalah invasif duktus karsinoma. Duktus karsinoma berasal
dari duktus lactiferous dan bentuknya seperti tentakel yang menyerang struktur
payudara di sekitarnya.
Tumornya biasanya unilateral, tidak bisa digambarkan, padat, non mobile,
dan nontender. Lobular karsinoma berasal dari lobus payudara. Biasanya bilateral dan
tidak teraba. Nipple karsinoma (pagets disease) berasal dari puting. Biasanya terjadi
dengan invasif duktal karsinoma. Perdarahan, berdarah, dan terjadi pengerasan putting
Kanker payudara dapat menyerang jaringan sekitar sehingga mempunyai tentakel. Pola
pertumbuhan invasif dapat menghasilkan tumor irregular yang bisa terapa saat palpasi.
Pada saat tumor berkembang, terjadi fibrosis di sekitarnya dan memendekkan Coopers
ligamen. Saat Coopers ligamen memendek, mengakibatkan terjadinya peau dorange
(kulit berwarna orange) perubahan kulit dan edema berhubungan dengan kanker
payudara. Jika kanker payudara menyerang duktus limpatik, tumor dapat berkembang
di nodus limpa, biasanya menyerang nodus limpa axila. Tumor bisa merusak lapisan
kulit, menyebabkan ulserasi. Metastasis diakibatkan oleh kanker payudara yang

menempati darah dan sistem lympa, menyebabkan perkembangan tumor di tulang,


paru-paru, otak, dan hati (Lowdermilk et al 2000, Swart 2011).
Diabetes Melitus Tipe 2
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa
hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak. Obesitas, khususnya
visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul/pinggang), sangat umum di
DM tipe 2. Pada tahap awal gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal,
meskipun resistensi insulin, karena sel-sel pankreas mengkompensasi dengan
meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia,
pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia.
IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih
lanjut, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik
menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel mungkin
terjadi (Powers, 2010).
c. Terapi dan Algoritma
Kanker Payudara
Penatalaksanaan kanker payudara dapat bersifat lokal maupun sistemik.
Terapi pembedahan termasuk tatalaksana lokal yang lebih banyak dipilih oleh
penderita kanker payudara. Pilihannya bisa dengan hanya mengangkat benjolannya,
atau mengangkat keseluruhan payudara. Ada pula pembedahan untuk mengangkat
tumor yang menyebar ke kelenjar getah bening.
Tujuan terapi untuk kanker payudara metastatik adalah memperbaiki
symptom dan kualitas hidup (Dipiro etal., 2008). Pada kanker payudara metastatik,
terapi hormon dan kombinasi kemoterapi merupakan terapi utama (Aryandono, 1999).
Terapi pada kanker payudara baik dengan agen 22 sitotoksik maupun endokrin
biasanya menghasilkan kemunduran penyakit dan peningkatan kualitas hidup. Pada
pasien yang berespon terhadap terapi, durasi survivalnya juga meningkat (Dipiro et al.,
2008)
1. Terapi Lokal
Kanker payudara biasanya dianggap dapat dioperasi apabila secara teknis semua
jaringan kanker dapat diangkat, apabila tumor tidak mengenai atau terfiksasi ke
kulit atau struktur yang lebih dalam pada payudara, dan apabila tumor belum

bermetastase melewati kelenjar limfe berjalaris atau mamaria interna


(Isselbacher et al., 2000).
Pilihan bedah meliputi mastektomi, mastektomi dengan rekonstruksi, dan
pembedahan konservatif (lumpektomi) dengan mastektomi radikal.
2. Terapi adjuvant
Terapi adjuvan sistemik didefinisikan sebagai pemberian terapi yang mengikuti
terapi definitif (pembedahan, radiasi, atau kombinasi 23 dari keduanya) jika
tidak ada keterangan penyakit metastatik, terapi dengan kemungkinan
kekambuhan tinggi (Dipiro et al, 2008).
Kemoterapi Cytotosic umumnya terdiri dari CMF (cyclophosphamide,
methotrexate, dan 5-Fluorouracil) yang diberikan pada 6 sampai 12 bulan.
Kemoterapi ini untuk mengurangi kekambuhan dan peningkatan kehidupan pada
wanita premenopausal dan post menopausal dalam penyakit stage I dan II. Pada
30% resiko kekambuhan dan 20% resiko kematian ditinjau selama 10 tahun
dengan kemoterapi.
3. Terapi Antibodi Monoklonal
Herceptin, monoklonal antibodi pertama untuk perawatan kanker payudara
metastatik, sekarang ini telah disetujui FDA. Herceptin mempunyai target HER2/neu gen, yaitu suatu faktor pertumbuhan yang over-expressed pada 25%30% terhadap wanita kanker payudara.
4. Terapi Hormonal
Obat antiestrogen yang paling sering digunakan adalah tamoxifen. Tamoxifen
diminum setiap hari dalam bentuk pil. Dengan tamoxifen setelah pembedahan,
biasanya 5 tahun, mengurangi resiko terjadinya kekambuhan sekitar 50% pada
wanita yang menderita kanker stadium awal, jika kanker mengandung reseptor
estrogen atau progesterone. Tamoxifen juga digunakan untuk terapi kanker
payudara metastatik dan 25 untuk mencegah perkembangan kanker payudara
pada wanita yang beresiko tinggi (Anonim, 2006)
Diabetes Melitus Tipe 2
1) Obat hipoglikemik oral
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas \
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan
faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada

sekresi insulin fase pertama.


Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:


a. Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan

produksi glukosa hati.


Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,

disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.


b. Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.


Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin)

Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi

produksi glukosa hati.


Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan

kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis


Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti

golongan sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun
bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :


Acarbose

Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus


Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea.

Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung

dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di
mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1
merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.
Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif
oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan

insulin dan menghambat penglepasan glukagon.


2) Obat Suntikan
Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American
Diabetes

Association/European

(ADA/EASD)

dan

Endocrinologists/American

the

Association
American

College

of

for

the

Study

Association
Endocrinology

of
of

Diabetes
Clinical

(AACE/ACE)

merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama.


Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar
glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak
meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga
diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang
pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin terjadi
penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi
Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah.
Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada pasien
dengan berat badan normal.

d. Monitoring
Kanker Payudara
Diabetes Melitus
Periksa Gula darah secara rutin
2. Dispepsia
a. Defenisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa rasa nyeri pada ulu hati atau rasa
tidak nyaman di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman ini bisa dirasakan seseorang
dalam bentuk rasa penuh di perut bagian atas, rasa cepat kenyang, rasa terbakar,
kembung, bersendawa, mual dan muntah yang bersifat akut, berulang ataupun kronis.
Meskipun jarang terjadi, dispepsia dapat dijadikan sebagai tanda adanya masalah
serius misalnya penyakit radang yang parah pada lambung ataupun kanker lambung,
sehingga harus ditangani dengan serius (Asma, 2012; Djojoningrat, 2006b).

Gejala biasanya sudah berlangsung bertahun-tahun. Faktor gaya hidup


seperti merokok, alkohol, berat badan dan stres relevan dengan terjadinya refluks.
Insidensi kanker meningkat dengan bertambahnya usia, dan signifikan hanya pada
usia diatas 45 tahun. Adanya disfagia dan penurunan berat badan merupakan indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan segera (Davey, 2003).
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering di jumpai seharihari. Istilah dispepsia mulai gencar di kemukakan sejak akhir tahun 80-an
(Djojoningrat, 2006a). Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu
sindrom atau kumpulan gejala. Banyak definisi tentang dispepsia, berdasarkan
kriteria Rome II tahun 1999-2000 dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi
merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya (Djojoningrat, 2006b).
Keluhan-keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, bahkan pada
satu pasien pun keluhan dapat bervariasi dari waktu ke waktu dari segi jenis keluhan
maupun kualitasnya (Djojoningrat, 2006b; Harahap, 2007). Definisi dispepsia di atas
menunjukkan bahwa penyebab timbulnya gejala-gejala berasal dari Saluran Cerna
Bagian Atas (SCBA) khususnya lambung dan duodenum (Harahap, 2007).
b. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zatzat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan
c. Gejala
1. nyeri perut (abdominal discomfort)
2. Rasa perih di ulu hati
3. Mual, kadang-kadang sampai muntah
4. Nafsu makan berkurang
5. Rasa lekas kenyang
6. Perut kembung
7. Rasa panas di dada dan perut
8. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)
d. Terapi
1. Antasida

Antasida digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Mekanisme kerjanya


menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium
akan menyebabkan diare sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan
kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare
dan konstipasi (Muyassaroh, 2009).
2. Histamine-2 receptor antagonist
Golongan obat ini antara lain: simetidin, renitidin, famotidin, roksatidin,
nizatidin dan lain-lain (Tarigan, 2003) Kerja antagonis H 2 yang paling penting
adalah menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang histamin, gastrin,
obat-obat kolinomimetik, dan rangsang vagal. Mekanisme kerjanya memblokir
histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel parietal tidak terangsang
untuk mengeluarkan asam lambung (Muyassaroh, 2009).
3. Anti kolinergik
Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu
selektif (Tarigan, 2003).
4. Penghambat pompa asam
Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna bagian atas
yang berhubungan dengan asam lambung. Kombinasi antibiotik dan metronidazol
memberikan hasil yang memuaskan (Tarigan, 2003).
5. Prokinetik
Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia yang
disebabkan gangguan motilitas, jenis obat ini antara lain: metoklopamid,
domperidone dan cisapride (Tarigan, 2003).
6. Golongan lain
Obat-obat seperti sukraflat dan bismuth subsitrat mempunyai efek
membunuh helicobacter pylori (Tarigan, 2003).

3. Kasus 3
a. Defenisi
Osteoarthritis merupakan penyakit yang berkembang dengan lambat, biasa
mempengaruhi sendi diartrodial perifer dan rangka aksial. Penyakit ini ditandai
dengan kerusakan dan hilangnya kartilago artikular yang berakibat pada pembetukan
osteofit, rasa sakit, pergerakan yang terbatas, deformitas, dan ketidakmampuan.
Inflamasi dapat terjadi atau tidak pada sendi yang dipengaruhi.
b. Patofisiologi
Berdasarkan penyebabnya, osteoarthritis dibedakan menjadi dua, yaitu
osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer atau dapat
disebut osteoarthritis idiopatik, yang tidak memiliki penyebab yang pasti (tidak
diketahui) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal sendi. Osteoarthritis sekunder terjadi disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem
endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi
yang terlalu lama. Kasu osteoarthritis primer lebih sering dijumpai pada praktek
sehari-hari dibandingkan dengan osteoarthritis sekunder.
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi, yaitu kapsula
dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang dasarnya. Kapsula dan
ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (range of motion)
sendi.

Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan


sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang
disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan
pada sendi.
Ligamen,

bersama

dengan

kulit

dan

tendon,

mengandung

suatu

mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang
dikirimkan memungkinkan otot dan tendon mampu memberikan tegangan yang
cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi sedang bergerak.
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung
sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnnya. Kontraksi
otot tersebut turut meringankan tekanan yang terjadi pada sendi dengan cara
melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima
akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang
diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang
diterima.
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan
sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap
tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya
osteoarthritis dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih
lanjut tentang kartilago.
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu kolagen tipe
dua dan aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekulmolekul aggrekan di antara jalunan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada
kartilago.
Kondrosit merupakan sel yang tedapat dijaringan avaskular, mensintesis
seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim
pemecah matriks, yaitu sitokin [Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)],
dan juga faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan
merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul

matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh
sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan.
Kondrosit mensintesis metalloproteinase matriks (MPM) untuk memecah
kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang
dikelilingi oleh kondrosit. Namun pada fase awal osteoarthritis, aktivitas serta efek
dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan dari kartilago.
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi
pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG),
oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan
degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut.
NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses
pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya
osteoarthritis.
Kartilago memiliki metabolisme yang lambat, dengan pergantian matriks
yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun
pada fase awal perkembangan osteoarthritis, kartilago sendi memiliki metabolisme
yang sangat aktif.
Pada proses timbulnya osteoarthritis, kondrosit yang terstimulasi akan
melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan
sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan
mudah mengendur. Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen
pertahanan sendi akan meningkatkan kejadian osteoarthritis pada daerah sendi.
Pada awal OA, kandungan air pada kartilago meningkat, kemugkinan
sebagai akibat kerusakan jaringan kolagen yang tidak mampu untuk mendesak
proteoglikan dan selanjutnya memperoleh air. Seiring perkembangan OA, kandungan
proteoglikan kartilago menurun, kemungkinan melalui kerja metalloproteinase.
Perubahan dalam komposisi glikosaminoglikan juga terjadi, dengan peningkatan
keratin sulfat dan penurunan rasio kondroitin 4-sulfat terhadap kondroitin 6-sulfat.
Perubahan ini dapat mengganggu interaksi kolagen-proteoglikan pada kartilago.
Kandungan kolagen tidak berubah sampai penyakit menjadi parah. Penigkatan dalam
sintesis kolagen dan perubahan distribusi dan diameter serat dapat terlihat.

Tulang subkondral yang berdekatan dengan kartilago artikular juga


mengalami pergantian tulang yang lebih cepat, dengan peningkatan aktivitas
osteoklast dan osteoblast. Terdapat hubungan antara pelepasan peptide vasoaktif dan
matrix metalloproteinase, neovaskularisasi dan peningkatan permeabilitas kartilago
yang berdekatan. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan degradasi kartilago dan
pada akhirnya hilangnya kartilago, berakibat pada rasa sakit dan deformitas sendi.
Fibrilasi, robeknya kartilago yang tidak mengandung kalsium, mengekspos
bagian dalam tulang sehingga dapat menyebabkan mikrofraktur pada tulang
subkondral. Selanjutnya, kartilago tererosi, meninggalkan tulang subkondral yang
gundul dan menjadi padat, halus dan berkilau.
c. Gejala
Gejala pada penyakit osteoarthritis bervariasi, tergantung pada sendi yang
terkena dan seberapa parah sendinya berpengaruh. Namun, gejala yang paling umum
adalah kekakuan, terutamanya terjadi pada pagi hari atau setelah istirahat, dan nyeri.
Sendi yang sering terkena adalah punggung bawah, pinggul, lutut, dan kaki. Ketika
terkena di daerah sendi tersebut akan mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan
seperti berjalan, menaiki tangga, dan mengangkat suatu beban. Bagian lain yang sering
terkena juga adalah leher dan jari, termasuk pangkal ibu jari. Ketika bagian jari dan
sendi tangan terkena, osteoarthritis dapat membuatkan keadaan bertambah sulit
terutamanya untuk memegang suatu objek dan untuk melakukan pekerjaan.
Pada umumnya, pasien osteoarthritis mengatakan bahwa keluhankeluhan yang
dirasakan telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan. Berikut adalah
keluhan yang dapat dijumpai pada pasien osteoarthritis:
Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan
gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan yang tertentu
terkdang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain.
Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan

pertumbuhan rasa nyeri


Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau setelah tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk dikursi dalam jangka waktu lama, bahkan
setiap bangun tidur pada pagi hari
Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeretak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum

dijumpai pada pasien osteoarthritis lutut.


Pembesaran sendi (deformitas)
Pembengkakan sendi yang simetris
Tanda-tanda peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan dapat dijumpai pada OA karena adanya sinovitis.
Biasanya tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang

lebih jauh.
Perubahan gaya jalan
d. Terapi
Terapi dan Algoritma
Terapi non farmakologi
1) Edukasi atau penerangan
Langkah pertama adalah memberikan edukasi pada pasien tentang penyakit,
prognosis, dan pendekatan manajemennya. Selain itu, diperlukan konseling diet
untuk pasien osteoarthritis yang mempunyai kelebihan berat badan.
Ahli bidang kesehatan harus memberikan informasi pada pasien dengan
penyakit osteoarthritis mengikut kesesuaian keadaan dan keselesaan pasien (Anonim,
2008).
2) Terapi fisik dan rehabilitasi
Terapi fisik dapat dilakukan dengan pengobatan panas atau dingin dan
program olahraga bagi membantu untuk menjaga dan mengembalikan rentang
pergerakan sendi dan mengurangi rasa sakit dan spasmus otot. Program olahraga
dengan

menggunakan

teknik

isometric

didesain

untuk

menguatkan

otot,

memperbaiki fungsi sendi dan pergerakan, dan menurunkan ketidakmampuan, rasa


sakit, dan kebutuhan akan penggunaan analgesik.
Alat bantu dan ortotik seperti tongkat, alat pembantu berjalan, alat bantu
gerak, heel cups, dan insole dapat digunakan selama olahraga atau aktivitas harian.
Pasien osteoarthritis lutut yang memakai sepatu dengan sol tambahan yang empuk
yang bertujuan untuk meratakan pembagian tekanan akibat berat, dengan demikian
akan mengurangi tekanan di lutut.

Kompres hangat atau dingin serta olahraga dapat dilakukan untuk


memelihara sendi, mengurangi nyeri, dan menghindari terjadinya kekakuan.
Kompres hangat atau dingin ini dilakukan pada bagian sendi yang mengalami nyeri.
3) Penurunan berat badan
Penurunan berat badan dapat diterapkan dengan mempunyai gaya hidup
yang sehat. Penurunan berat badan dapat membantu mengurangi beban atau
mengurangi gejala pada bagian yang mengalami penyakit osteoarthritis terutamanya
pada lutut dan pinggul.
4) Istirahat
lIstirahat yang cukup dapat mengurangi kesakitan pada sendi. Selain itu juga

istirahat dapat menghindari trauma pada persendian secara berulang (Priyanto, 2008).
Terapi farmakologi
Terapi obat pada osteoarthritis ditargetkan pada penghilangan rasa sakit.
Karena osteoarthritis sering terjadi pada individu lanjut usia yang memiliki kondisi
medis lainnya, diperlukan suatu pendekatan konservatif terhadap pengobatan obat,

antaranya:
1) Golongan Analgesik
a. Analgesik Non Narkotik
- Asetaminofen (Analgesik oral)
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat
(SSP). Asetaminofen diindikasikan pada pasien yang mengalami nyeri ringan
ke sedang dan juga pada pasien yang demam. Obat yang sering digunakan
-

sebagai lini pertama adalah parasetamol.


Kapsaisin (Analgesik topikal)
Kapsaisin merupakan suatu estrak dari lada merah yang menyebabkan
pelepasan dan pengosongan substansi P dari serabut syaraf. Obat ini juga
bermanafaat dalam menghilangkan rasa sakit pada osteoarthritis jika
digunakan secara topikal pada sendi yang berpengaruh. Kapsaisin dapat
digunakan sendiri atau kombinasi dengan analgesic oral atau NSAID.
Kapsaisin ini diberikan dalam bentuk topikal, yaitu dioleskan pada bagian

nyeri sendi.
b. Analgesik Narkotik
Analgesik narkotika dapat mengatasi rasa nyeri sedang sampai berat.
Penggunaan dosis obat analgesik narkotika dapat berguna untuk pasien yang
tidak toleransi terhadap pengobatan asetaminofen, NSAID, injeksi intra-artikular
atau terapi secara topikal. Pemberian narkotika analgesik merupakan intervensi

awal, dan sering diberikan secara kombinasi bersama asetaminofen. Pemberian


narkotika ini harus diawasi karena dapat menyebabkan ketergantungan.
2) Golongan NSAID
Dalam dosis tunggal antiinflamasi nonsteriod (NSAID) mempunyai aktivitas
analgesik yang setara dengan parasetamol, tetapi parasetamol lebih banyak dipakai
terutamanya pada pasien lanjut usia.
Dalam dosis penuh yang lazim NSAID dapat sekaligus memperlihatkan efek
analgesik yang bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan
nyeri berlanjut atau nyeri berulang akibat radang. NSAID lebih tepat digunakan
daripada parasetamol atau analgesik opioid dalam arthritis rematoid dan pada kasus
osteoarthritis lanjut.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi sebagai anti inflamasi dan digunakan dalam dosis
yang beragam untuk berbagai penyakit dan beragam individu, agar dapat dijamin
rasio manfaat dan risiko setinggi-tingginya. Kortikosteroid sering diberikan dalam
bentuk injeksi intra-artikular dibandingkan dengan penggunaan oral.
4) Suplemen makanan
Pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin, kondroitin
yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan sendi atau mengurangi
simptom osteoarthritis. Suplemen makanan ini dapat digunakan sebagai obat
tambahan pada penderita osteoarthritis terutamanya diberikan pada pasien lanjut usia.
5) Obat OA yang lain
a. Injeksi hialuronat
Asam hialuronat membantu dalam rekonstitusi cairan sinovial,
meningkatkan elastisitas, viskositas dan meningkatkan fungsi sendi. Obat ini
diberikan dalam bentuk garamnya (sodium hialuronat) melalui injeksi intraartrikular pada sendi lutut jika osteoarthritis tidak responsif dengan terapi yang
lain. Dua agen intra-artrikular yang mengandung asam hialuronat tersedia untuk
mengobati rasa sakit yang berkaitan dengan osteoarthritis lutut.
Injeksi asam hialuronat diberikan pada pasien yang tidak lagi toleransi
terhadap pemberian obat anti nyeri dan anti inflamasi yang lainnya. Injeksi asam
hialuronat diberikan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian karena

kesalahan dalam memberikan injeksi ini akan memperparah kondisi lutut pasien.
Pembedahan

Terapi pembedahan dapat dilakukan pada pasien dengan rasa sakit parah
yang tidak memberikan respon terhadap terapi konservatif atau rasa sakit yang
menyebabkan ketidakmampuan fungsional substansial dan mempengaruhi gaya
hidup. Beberapa sendi, terutama sendi pinggul dan lutut, dapat diganti dengan sendi
buatan. Biasanya, dengan pembedahan dapat memperbaiki fungsi dan pergerakan
sendi serta mengurangi nyeri. Terdapat beberapa jenis pembedahan yang dapat
dilakukan. Antara pembedahan yang dapat dilakukan jika terapi pengobatan tidak
dapat berespon dengan baik atau tidak efektif pada pasien adalah Arthroscopy,
Osteotomy, Arthroplasty dan Fusion.

BAB III
STUDI KASUS
A. Kasus 1
Nama pasien

: Ny S

Lahir

: 1957

Umur

: 58 tahun

BB

: 57 Kg

Infeksi nosokomial

: medika menitsa

Inspeksi

: tampak benjolan pada payudara kiri

Palpasi

: benjolan 7x6 cm

Konsistensi

: kenyal padat dapat di geraki

Benjolan

: telah ada sejak 1 tahun yang lalu, awalnya kecil,


membesar dan nyeri

Oleh dokter mendiagnosa


Ca.Mamma Pro MvM
CT3N1Mo
DM tipe 2
Pengobatan
Cefazole/ 12 jam
Ketorolac/ 8 jam
Ranitidin/8 jam
Alprazolam/0,5 mg
Ceftriaxone
Pemeriksaan tanda-tanda vital
Data Klinik
Tekanan

Hasil Lab
120/80 mmHg

Darah
Nadi
80x/menit
Pernapasan
20x/ menit
Suhu
370C
Data-data Laboratorium
Data Klinik
GDS

Normal
120/80 mmHg
60-100x/menit
12-20x/menit
36,5 37,5 C
Hasil Lab
223 mg/dL

Nilai Normal
< 140 mg/dl

SGoT
SGpT
Urea UV
Creatinin
GDP

20
18
23 mg/dL
0,2 mg/dL
158

1-29 U/L
1-35 U/L
10-50 mg/dL
1-35 U/L
70-110 mg/dl

Penyelesaian
SUBJECTIVE
Nama pasien

: Ny S

Lahir

: 1957

Umur

: 58 Tahun

BB

: 57 kg

TB

:-

Ruang

:-

Tanggal MRS

:-

Golongan Darah

:-

Keluhan

: tampak Benjolan pada payudara kiri, benjolan terasa nyeri


dengan konsistensi kenyal padat dan dapat di geraki.

Riwayat Pasien
RPD

: Riwayat Penyakit Serupa (-)


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)

RPS

:-

Alergi

:-

Diagnose

: Ca.Mamma Pro MvM

Riwayat Pengobatan

: Cefazole/12 jam
Ketorolac/8 jam
Ranitidin/8 jam
alprazolam 0,5 mg
Ceftriaxone iv

Progress Note

:-

CT3N1Mo komplikasi DM tipe 2

OBJECTIVE
Pemeriksaan tanda-tanda vital
Data Klinik
Tekanan

Hasil Lab
120/80 mmHg

Normal
120/80 mmHg

Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

80x/menit
20 x per menit
370C

60-100x/menit
12-20x/menit
36,5 37,5 C

Data-data Laboratorium
Data Klinik
GDS
SgoT
SGpT
Urea UV
Creatinin
GDP
Keterangan :
-

Hasil Lab
223 mg/dL
20
18
23 mg/dL
0,2 mg/dL
158

Nilai Normal
< 140 mg/dl
1-29 U/L
1-35 U/L
10-50 mg/dL
1-35 U/L
70-110 mg/dl

GDS (Gula darah Sewaktu) Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap
waktu sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan

dan kondisi tubuh orang tersebut. ( Depkes RI, 1999 )


GDP (Gula darah puasa) adalah pemeriksaan glukosa yang dilakukan

setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam


SGOT (Serum Glutamik Oksaloasetik Transaminase) atau dalam ilmu medis
biasa disebut AST (aspartate aminotransferase) Glutamic Oxaloacetic
Transaminase, dan SGPT (Serum Glutamik Piruvik Transaminase) atau ALT
(alanine aminotransferase)

adalah enzim yang dipakai oleh hati dalam

pekerjaannya. Biasanya enzim ini ditahan dalam hati, tetapi bila hati menjadi
rusak karena hepatitis, semakin banyak enzim ini dapat masuk ke aliran
darah. Tingkat enzim ini dalam darah dapat diukur, dan tingkatnya
menunjukkan tingkat kerusakan pada hati.

Urea UV
BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati. Pada
orang normal, ureum dikeluarkan melalui urin. Ureum adalah satu molekul
kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya ia

dipekatkan dalam urin dan diekskresi


Creatinin
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis
oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka; disana ia terikat
secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa
penyimpan energi. Reaksi kreatin + fosfat fosfokreatin bersifat reversibel
pada waktu energi dilepas atau diikat. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatin
itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi
sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut
ke ginjal. Nilai normal untuk pria adalah 0,5 1,2 mg/dl dan untuk wanita 0,5
1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena jumlah massa
otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita.

ASSESMENT
Cefazole & ceftriaxone
Merupakan antibiotic golongan sefalosporin. Sefalosporin merupakan antibiotic bakterisid
yang mekanismenya mirip dengan golongan penisilin. Antibiotic laktam ini menghambat
pembentukan dinding sel.

Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Obat generasi ketiga memiliki
spektrum yang lebih diperluas kepada bakteri gram negatif dan dapat menembus sawar darah
otak
Cefazole merupakan golongan sefalosporin generasi pertama. Obat - obat ini sangat aktif
terhadap kokus gram positif seperti pnumokokus, streptokokus, dan stafilokokus
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39872/4/Chapter%20II.pdf
Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotics. Ceftriaxone
bekerja dengan cara mematikan bakteri dalam tubuh.
Indikasi:
Untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri, termasuk keadaan parah atau yang
mengancam nyawa seperti meningitis
Dosis:
1-2 gr melalui otot (intra muscular) atau melalui pembuluh darah (intra vascular), lakukan
setiap 24 jam, atau dibagi menjadi setiap 12 jam.
Dosis maksimum: 4 gr/hari
Efek Samping:
Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis bisa
terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya (infeksi candidal)
Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy, convulsion); Efek
hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati juga terjadi.
Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial thromboplastin
time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa pendarahan) dikabarkan terjadi,
kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi NMTT yang mengandung cephalosporins
Instruksi Khusus:
Boleh dikonsumsi dengan makanan untuk mengurangi keadaan gastrik.
Gunakan dengan hati-hati pada pasien yang alergi terhadap Penicillin, ada kemungkinan 10%
peluang sensitivitas.
Gunakan dengan hati-hati pada pasien kerusakan ginjal.
Interaksi Obat
Efek sinergis dengan aminoglikosida

Perhatian
Ceftriaxone tidak di anjurkan secara bersamaan dengan obat lain yang mengandung kalsium,
meskipun dengan rute pemberian yang berbeda. Produk obat yang di berikan dalam jangka
waktu 48 jam setelah pemberian terakhir ceftriaxone.
Cefazole
Indikasi
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Infeksi salluran
pernafasan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan jaringan lunak, tulang dan sendi,
septikemia (keracunan darah oleh bakteri patogenik dan atau zat-zat yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut), endokarditis (radang endokardium jantung) dan infeksi lain. Pencegahan
infeksi perioperasi
Dosis
Pencegahan infeksi sebelum operasi: 1 g secara intra vena/ intra muscular 1/2 - 1 jam
sebelum operasi dimulai. Untuk prosedur yang panjang/lama: 1/2 - 1 jam secara intra
vena/intra muscular selama pembedahan. Setelah operasi: 1/2 - 1 jam tiap 6-8 jam selama 24
jam. Infeksi: dewasa: sehari 1 g, dapat ditingkatkan menjadi 3-5 g. anak-anak: 20-40 mg/kg
BB/hari dalam 2-4 dosis terbagi, dapat ditingkatkan sampai 100 mg/kgBB. Bayi baru lahir:
sehari 2 kali 10-20 mg/kgBB
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas
Perhatian : Hipersensitivitas terhadap penisilin, gangguan fungsi ginjal
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas, diare, eosinofilia, kandidiasis pada rongga mulut dan alat kelamin
Interaksi Obat
Antibiotik bakteriostatik dapat mengurang efektivitas sefalosporin. Probenesid dapat
meningkatkan dan memperpanjang toksisitas dan kadar sefalosporin dalam plasma. Pasien
yang menerima diuretika poten dan antibiotik nefrotoksis
Kemasan
Vial 1 x 1

ketorolac
Indikasi
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac
adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari.
Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa
digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang.
Farmakodinamik
Efeknya

menghambat

biosintesis

prostaglandin.

Kerjanya

menghambat

enzim

siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga


menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti inflamasi
dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan
membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke
tempat peradangan.
Peringatan
-

Dapat menyebabkan iritasi saluran cerna, tukak, perdarahan dengan atau tanpa gejala,

asma hingga bronkospasme.


Kurangi dosis dan lakukan monitoring pada penderita gangguan ginjal.
Dapat menghambat agregasi platelet dan memperlama waktu perdarahan.
Tidak dianjurkan untuk pengobatan pra-bedah, anestesi tambahan maupun anestesi

obstretik.
Tidak dianjurkan digunakan bersama dengan AINS lainnya.
Dekompensasi jantung, hipertensi atau kondisi sejenis.
Ibu hamil dan menyusui.
Gunakan dosis eefektif kecil pada lansia.
Obat ini dapat meningkatkan resiko gangguan jantung dan sirkulasi darah antara lain
serangan jantung dan stroke.

Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptikum, diatesis hemoragik, gangguan hemostatis, gangguan ginjal
derajat, kehamilan, persalinan, menyusui.
Efek samping
Perut tidak enak, konstipasi, diare, dispepsia, perdarahan saluran cerna, mual, tukak lambung,
stomatitis, melena, esofagitis, kemampuan pengelihatan dan perasa yang tidak normal,
konvulsi, mulut kering, rasa haus, mengantuk, sakit kepala, hiperkinesia, insomnia,

berkeringat, vertigo, gagal ginjal akut, hiponatremia, retensi urine, flushing, purpura,
palpitasi, asma, udem paru.
Dosis
Dewasa: Dosis awal 10 mg, diikuti dengan 10-30 mg taip 4-6 jam bila perlu. Harus diberikan
dengan dosis efektif rendah. Tidak boleh lebih 90 mg sehari. Lamanya terapi tidak boleh
lebih dari 2 hari. Keterolak ampul dosis harian total kombinasi tidak lebih dari 90 mg.
Pasien lanjut : Dianjurkan untuk memakai dosis serendah mungkin. Total dosis tidak boleh
lebih dari 60 mg sehari.
Anak : Keamanan dan efektivitas pada anak belum ditetapkan. Oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk anak dibawah 16 tahun.
Interaksi obat
AINS, antikoagulan, deuretik, ACE inhibitor, alfa bloker, kortikosteroid, kinolon, probenosid.
Ranitidin
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga
dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion
hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung.
Farmakokinetik
Pemberian ranitidin dengan cara injeksi intramuskular menyebabkan absorpsi yang lebih
cepat dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 15 menit setelah pemberian.
Bioavailabilitas ranitidin mencapai 90 - 100%, waktu paruh plasma sekitar 2-3 jam. Ranitidin
memiliki ikatan plasma yang lemah, dimana hanya sekitar 15% yang berikatan dengan
protein plasma.
Interaksi Obat
Ranitidin tidak seperti simetidin, karena ranitidin tidak terlalu mempengaruhi sitokrom P450,
ranitidin dengan kadar obat dalam darah yang sesuai dengan dosis standar tidak mengganggu
sitokrom P450 pada hati yang berhubungan dengan gangguan pada sistem oksigenase.
Indikasi
Pengobatan ulkus duodenal dan ulkus gaster
Pengobatan patologi kondisi hipersekresi

Refluks esofagitis
Menghilangkan gejala indigestion asam dan rasa panas pada perut
Ulkus yang timbul pasca operasi
Efek Samping
Beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah
Sakit pada tempat penyuntikan
Perubahan pada bowel habit, lemah, kelelahan, sakit kepala dan ruam kulit
Alprazolam
Nama Sediaan
Nama sediaan dari alprazolam yang terdapat di pasaran meliputi:
-

Xanax XR
Calmlet
Alganax
Feprax
Alprazolam OGB Dexa
Frixitas
Alviz
Soxietas
Atarax
Zypraz

Bentuk sediaan yang ada dipasaran: Tablet 0,25 mg, 0,5 mg, 1 mg.
Dosis
Ansietas : 0,25 - 0,5 mg 3 kali sehari. Max 4 mg sehari dalam dosis terbagi. Gangguan panik
: 0,5 - 1,0 mg diberikan pada malam hari atau 0,5 mg 3 kali sehari. Untuk pasien usia lanjut,
debil dan gangguan fungsi hati berat : 0,25 mg 2-3 kali sehari. Jika perlu, dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap.
Kegunaan
Kegunaan obat ini terutama untuk Anti-anxietas dan anti panik. Pada saat keadaan cemas dan
panik terjadi penurunan sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C, meningkatnya
sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf pusat, terutama reseptor alfa-2
katekolamin, meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatkan teraktivasinya
aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap klonidin pada
pasien dengan panic disorder), meningkatnya aktivitas metabolic sehingga terjadi

peningkatan laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi CO2
(hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2), menurunnya sensitivitas reseptor GABA-A
sehingga menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus
intraamygdaloid circuitries, model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi
oleh fear network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat batang
otak.
Sehingga, terapi yang diberikan pada kecemasan yaitu anxiolitik atau antianxietas yang
bekerja pada reseptor GABA dengan memperkuat aksi inhibitor GABA-ergic

neuron

sehingga hiperaktivitas mereda.


Efek Farmakologi
Farmakodinamik alprazolam merupakan derivat triazolo benzodiazepin dengan efek cepat
dan sifat umum yang mirip dengan diazepam. Alprazolam merupakan anti ansietas dan anti
panik yang efektif. Mekanisme kerjanya yang pasti belum diketahui. Efek tersebut diduga
disebabkan oleh ikatan alprazolam dengan reseptor-reseptor spesifik yang terdapat pada
susunan saraf pusat. Secara klinis, semua senyawa benzodiazepin menyebabkan depresi
susunan saraf pusat yang bervariasi tergantung pada dosis yang diberikan. Farmakokinetik
Pada pemberian secara oral, alprazolam diabsorpsi dengan baik dan absorpsinya tidak
dipengaruhi oleh makanan sehingga dapat diminum dengan atau tanpa makanan. Konsentrasi
puncak dalam darah dicapai dalam waktu 1 - 2 jam setelah pemberian oral dengan waktu
paruh eliminasinya adalah 12 - 15 jam. Waktu paruh ini berbeda-beda untuk pasien usia
lanjut (16,3 jam), orang dewasa sehat (11 jam), pasien dengan gangguan fungsi hati (antara
5,8 - 65,3 jam) serta pada pasien dengan masalah obesitas (9,9 - 40,4 jam). Sekitar 70 - 80%
alprazolam terikat oleh protein plasma. Alprazolam mengalami metabolisme di hati menjadi
metabolit aktifnya dan metabolit lainnya yang tidak aktif. Metabolit aktif ini memiliki
kekuatan 1 kali dibandingkan dengan alprazolam, tetapi waktu paruh metabolit ini hampir
sama dengan alprazolam. Ekskresi alprazolam sebagian besar melalui urin, sebagian melalui
ASI dan dapat melalui sawar plasenta.
Interaksi Obat
Dengan Obat Lain:
Antifungi golongan azol, siprofloksasin, klaritromisin, diklofenak, doksisiklin, eritromisin,
isoniasid, nikardipin, propofol, protease inhibitor, kuinidin, verapamil meningkatkan efek

alprazolam. Kontraindikasi dengan itrakenazol dan ketokenazol. Menguatkan efek depresi


SSP analgetik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif.
Alprazolam dapat meningkatkan efek amfetamin, beta bloker tertentu, dekstrometorfan,
fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat
CYP2D6 lainnya. Alprazolam meningkatkan konsentrasi plasma imipramin dan desipiramin.
Aminoglutetimid, karbamasepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin menurunkan efek
alprazolam.
Dengan Makanan:
Merokok menurunkan konsentrasi alprazolam sampai 50 %. Jus grapefruit meningkatkan
konsentrasi alprazolam. Makanan tinggi lemak, 2 jam sebelum pemberian bentuk lepas
terkendali dapat memperpanjang Cmaks sampai 25 %. Sedangkan pemberian segera sesudah
makan akan menurunkan Tmaks, bila makanan diberikan 1 jam sesudah pemberian obat T
maks akan meningkat 30 %.
Efek Samping
Jika kita menggunakan alprazolam kita menjadi sulit lepas dari obat ini karena memang
memiliki potensi ketergantungan yang besar jika dipakai lebih dari dua minggu saja. Sulit
lepas ini juga disebabkan karena efek putus zat obat ini sangat tidak nyaman, ada yang
langsung tiba-tiba stop dan merasakan kecemasan yang lebih parah daripada sebelumnya.
Maka dari itu penggunaan obat ini harus hati-hati dan kalau bisa sesuai dengan indikasi saja.
Belakangan karena potensi ketergantungan, toleransi (makin besar pake makin lama) dan
reaksi putus zat, obat ini sudah tidak menjadi pilihan pertama lagi sebagai obat anticemas di
Amerika Serikat, di sana lebih cenderung menggunakan Antidepresan gol SSRI seperti
Sertraline, Fluoxetine, Paroxetine (Paxil).
Selain itu ESO yang ditimbulkan SSP: depresi, mengantuk, disartria (gangguan berbicara),
lelah, sakit kepala, hiperresponsif, kepala terasa ringan, gangguan ingatan, sedasi;
Metabolisme-endokrin: penurunan libido, gangguan menstruasi; Saluran cerna: peningkatan
atau penurunan selera makan, penurunan salivasi, penurunan/peningkatan berat badan, mulut
kering (xerostomia).
Peringatan
Selama

menggunakan

obat

ini

dilarang

mengendarai

kendaraan

bermotor

atau

mengoperasikan mesin. Hati-hati bila diberikan pada wanita hamil dan menyusui, gangguan

fungsi ginjal dan hati, riwayat penyalahgunaan obat dan atau alkohol, penderita kelainan
kepribadian yang nyata. Keamanan penggunaan pada anak-anak dibawah 18 tahun belum
diketahui dengan pasti. Gejala kelebihan dosis alprazolam adalah mengantuk, konfusi,
gangguan koordinasi, penurunan refleks dan koma. Penanganan saat terjadi kelebihan dosis :
-

Penderita dirangsang untuk muntah dan lakukan pengosongan lambun


Penderita dirawat intensif dengan terapi simtomatis dan suportif untuk memelihara
fungsi kardiovaskular, pernapasan dan keseimbangan elektrolit.

PLAN
Karena pasien telah melakukan pembedahan, untuk terapi adjuvannya pengobatan yang di
rekomendasikan di atas sudah tepat.
Untuk DM tipe 2, sebaiknya jangan di berikan obatnya karena pasien baru mengalami
operasi. Akan tetapi, jika terapi adjuvant sudah membaik dan monitoring GDS dan GDP
tidak menurun maka di berikan obat DM tipe 2.
Terapi Non Farmakolgi
Diet bebas. Syarat

: tidak merangsang saluran cerna

Bentuk makanan

: di sesuaikan dengan kemampuan bias menelan.

Monitoring
-

Selalu di monitoring setiap saat mulai dari pengobatan, pemeriksaan gula darah dan
tanda-tanda vital lainnya.

Konseling
-

Berikan edukasi pada pasien mengenai penyakit yang berkaitan


Selalu hidup sehat dan bersih

B. Kasus 2
Seorang pasien bernama Tuan AR umur 44 tahun dan beralamat di Toa daeng 3
datang ke RS IBNU SINA dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, nafsu makan kurang.
Tuan Abdur Rauf telah di rawat 4 hari. Tekanan darah 140/100mmHg, Suhu 36,5 0C. Glukosa
Sewaktu 91 mg/dl, Creatinin 0,2 mg/dl, Urea 20 mg/dl. Terapi yang telah diberikan yaitu
Ottozol 40 mg, Ranitidine, dan Domperidon.
Penyelesaian

SUBJECTIVE
Nama
Jenis kelamin
Umur
BB

: Tn. AR
: Laki-laki
: 44 tahun
:-

TB

:-

Ruang

:-

Tanggal MRS

:-

Golongan Darah

:-

Keluhan

: nyeri ulu hati, mual, muntah, nafsu makan kurang.

Riwayat Pasien
RPD

: Riwayat Penyakit Serupa (-)


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

RPS

:-

Alergi

:-

Riwayat Pengobatan

: Ottozol 40mg, Ranitidine, dan Domperidon

Progress Note

:-

OBJECTIVE
Data Klinik
TD
Creatinin
T
GDS
Urea
MCV

Hasil
140/100 mmHg
0,2 Mg/dl
36,50C
91 Mg/dl
20 mg/dl
77,6

Nilai Normal
120/80 mmHg
1-35 U/L
36,5 37,5 C
< 140 mg/dl
10-50 mg/dL
80-100 fL

Keterangan
- Mean Corpuscular Volume (MCV) merupakan salah satu pemeriksaan darah yang
menunjukkan volume rata-rata satu sel darah merah dibandingkan dengan volume sel
darah merah keseluruhan dalam darah. MCV dapat dihitung dengan membagi nilai
hematokrit (konsentrasi sel darah merah dalam darah) dengan jumlah sel darah merah
keseluruhan.

GDS (Gula darah Sewaktu) Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu
sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan kondisi

tubuh orang tersebut. ( Depkes RI, 1999 )


GDP (Gula darah puasa) adalah pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien

berpuasa selama 8-10 ja


Urea UV
UN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati. Pada orang normal,
ureum dikeluarkan melalui urin. Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah mendifusi

ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya ia dipekatkan dalam urin dan diekskresi
Creatinin
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati,
terdapat hampir semuanya dalam otot rangka; disana ia terikat secara reversibel kepada
fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi kreatin +
fosfat fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau diikat. Akan
tetapi sebagian kecil dari kreatin itu secara irreversibel berubah menjadi kreatin yang
tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah
untuk diangkut ke ginjal. Nilai normal untuk pria adalah 0,5 1,2 mg/dl dan untuk wanita
0,5 1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena jumlah massa otot pria
lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita.

ASSESMENT
Menurut hasil pemeriksaan, pasien Tuan Abdur Rauf didiagnosa menderita dyspepsia.
Pengobatan
Domperidon
Domperidone merupakan antagonis dopamin yang secara periferal bekerja selektif pada
reseptor

D2.

Domperidone

mempunyai

khasiat

antiemetik

yang

sama

dengan

metoclopramide. Efek antiemetik dapat disebabkan oleh kombinasi efek periferal


(gastrokinetik) dengan antagonis terhadap reseptor dopamin di chemoreceptor trigger zone,
yang terletak di luar sawar darah otak di area postrema. Pemberian domperidone per oral
dapat menambah lamanya kontraksi antral dan duodenum, meningkatkan pengosongan
lambung, dan menambah tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah pada orang sehat.
Komposisi
Tiap tablet mengandung domperidone 10 mg.
Indikasi

Sindroma dispepsia fungsional. Tidak dianjurkan untuk pemberian jangka lama


Mual dan muntah yang disebabkan oleh pemberian levodopa dan bromokriptin lebih dari

12 minggu
Mual dan muntah akut. Tidak dianjurkan pencegahan rutin pada muntah setelah operasi.
Pemakaian pada anak-anak tidak dianjurkan, kecuali untuk mual dan muntah pada
kemoterapi kanker dan radioterapi.
Dosis
Dispepsia fungsional
- Dewasa
10 mg (1 tablet) 3 kali sehari, 15-30 menit sebelum makan dan jika perlu sebelum
tidur malam.
- Anak-anak tidak dianjurkan.
Mual dan muntah (termasuk yang disebabkan oleh levodopa dan bromokriptin)
Dewasa
10 20 mg (1 2 tablet) 3 4 kali sehari, 15 30 menit sebelum makan dan sebelum
tidur malam.
Anak-anak (sehubungan kemoterapi kanker dan radioterapi)
0,2 0,4 mg/kg BB, 3 4 kali sehari. Obat diminum 15 30 menit sebelum makan

dan sebelum tidur malam.


Kemasan
Kotak 100
Ranitidin
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin
adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat
menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen
dai sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung.
Farmakokinetik
Pemberian ranitidin dengan cara injeksi intramuskular menyebabkan absorpsi yang lebih
cepat dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 15 menit setelah pemberian.
Bioavailabilitas ranitidin mencapai 90 - 100%, waktu paruh plasma sekitar 2-3 jam. Ranitidin
memiliki ikatan plasma yang lemah, dimana hanya sekitar 15% yang berikatan dengan protein
plasma.
Interaksi Obat

Ranitidin tidak seperti simetidin, karena ranitidin tidak terlalu mempengaruhi sitokrom P450,
ranitidin dengan kadar obat dalam darah yang sesuai dengan dosis standar tidak mengganggu
sitokrom P450 pada hati yang berhubungan dengan gangguan pada sistem oksigenase.
Indikasi
Pengobatan ulkus duodenal dan ulkus gaster
Pengobatan patologi kondisi hipersekresi
Refluks esofagitis
Menghilangkan gejala indigestion asam dan rasa panas pada perut
Ulkus yang timbul pasca operasi
Efek Samping
Beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah
Sakit pada tempat penyuntikan
Perubahan pada bowel habit, lemah, kelelahan, sakit kepala dan ruam kulit
Ottozole
Ottozol injeksi merupakan obat yang diindikasikan untuk terapi penyakit refluks
gastroesofagus serta peradangan esofagus akibat refluks (refluks esofagitis) tingkat sedang
hingga parah. Ottozol mengandung pantoprazole yang bekerja dengan cara menurunkan
produksi asam lambung dengan menghambat enzim H+K+ATPase di kelenjar lambung yang
bertanggung jawab mensekresi asam lambung.
Ottozol (pantoprazole) dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan memberi efek menekan
produksi asam lambung yang dapat bertahan sampai lebih dari 24 jam.
Pada pasien esofagitis erosif karena penyakit refluks gastroesofagus, Ottozol (pantoprazole)
digunakan sebagai terapi jangka pendek. Manfaat pemberian Ottozol (pantoprazole) adalah
berkurangnya iritasi pada lapisan kerongkongan, mengurangi gejala esofagitis seperti rasa
panas terbakar di dada dan sendawa serta mempercepat pemulihan luka pada kerongkongan.
Dosis
Dewasa : Untuk refluks esofagitis : 40 mg/hari secara Inject IV lambat selama 2-5 menit atau
infus IV selama 15 menit Untuk sidrom Zollinger-Ellison : 80 mg tiap 12 jam secara infus IV
selama 15 menit. Dosis dapat ditingkatkan sampai dengan 120 mg 2 kali/hari dan 80 mg 3
kali/hari
Perhatian
Penyakit hati berat; terapi jangka panjang. Anak. Hamil dan laktasi

Efek Samping
Mulut kering, angioedema, ruam kulit, fotosensitivitas, sindrom Stevens-Johnson,
peningkatan enzim hati,kerusakkan hepatoselular berat yang menyebabkan ikterus, mialgia,
artralgia, rabdomiolisis, demam, ederma perifer, trigliserida, reaksi anafilaksis, peningkatan
enzim hati, nefritis interstisial, leukopenia, trombositopenia
Interaksi Obat
Antikoagulan kumarin
Kemasan
Vial 40 mg/10 mL x 1
PLAN
Terapi farmakologi,
pasien tuan Abdur Rauf telah diberikan penanganan yang tepat yaitu pemberian obat ottozol
40mg, ranitidine serta domperidon.
Terapi non farmakologi yaitu :
1. Energy 2100 kalori perhari
2. Protein 15 % per hari
3. Lemak 25 % per hari
4. Vitamin dan mineral secukupnya
5. Hindari makanan yang berbumbu tajam
C. Kasus 3
Tn. SG (73 tahun) dengan BB 57 kg datang ke RS mengeluhkan nyeri dan kemerahan
pada lutut kiri sejak 4 hari yang lalu disertai bengkak dan demam. Tn. Saleh memiliki riwayat
penyakit hipertensi stage II dan mengkonsumsi valsartan 80 mg 1x1. Oleh dokter Tn. Saleh
didiagnosa OA Genu Sinistra.
R/ valsartan 80 mg 0-0-1
R/ meloxicam 15 mg 1x1
R/ lansoprazole 30 mg 1x1
R/ neurodex 1x1
R/ Cefadroxyl 500 mg 2x1
R/ VIP albumin 3x2 caps
R/ recolfar 2x0,5 mg
Penyelesaian:
SUBJECTIVE:
Nama
: Tn.SG
Usia
: 73 tahun
Berat Badan
: 57 kg
Tanggal MRS : 12.11.2014
PERINCIAN PASIEN

Keluhan Utama:
- Nyeri dan kemerahan pada lutut kiri sejak 4 hari SMRS
- Bengkak
- Demam
- Memiliki riwayat Hipertensi stage II
- Mengkonsumsi valsartan 80 mg 1x1
DIAGNOSA
Diagnosa Utama
DIagnosa Sekunder

: Osteoarthritis Genu Sinistra


: Hipertensi on Treatment II
Hipoalbuminemia

RIWAYAT PASIEN
RPD:
- Riwayat penyakit serupa (-)
- Riwayat Hipertensi (+)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat penyakit kuning disangkal (-)
OBJECTIVE:
TTV
Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

Hasil Test
160/80 mmHg
88x/menit
22x/menit
36,6oC

Normal
120/80 mmHg
80-90x/menit
16-20x/menit
36,6-37oC

Keterangan
Tinggi
Normal
Normal
Normal

Nyeri 4-5 (mengganggu dan menusuk)


Hasil Lab:
Test
WBCHb
SGOT
SGPT
Cr
Alb

Hasil Lab

Normal

14.103
13,3
44
52
1,0
2,3

(3,5-10,0)L 103/mm3
(11,0-16,5) g/dL
(3-45) u/L
(0-35) u/L
(0,5-1,5) mg/dL
(3,8-5,0) %

Keteranga
n
Tinggi
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

RIWAYAT PENGOBATAN
OBAT

REGIMEN

12-17/11

18-23/11

24-25/11

26/11-2/12

3/

Valsartan

DOSIS
80 mg/ 0-0-1

Meloxicam
Lansoprazole
Neurodex
Cefadroxyl

15 mg/ 1x1
30 mg/ 1x1
1x1
500 mg/ 2x1

VIPalbumin
Recolfar

caps
3x2 caps
2x0,5 mg

DRP: salah obat (Recolfar)


ASSESMENT:
Valsartan memberikan efek langsung sebagai antagonisme pada reseptor angiotensin
II (AT2), berbeda dengan ACE inhibitor.Valsartan menggeser angiotensin II dari reseptor
AT1 ;dan menghasilkan efek penurunan tekanan darah melalui mengantagonis vasokonstriksi
yang diinduksi AT1, pembebasan aldosteron, katekolamin, vasopresin arginin, pengambilan
air dan respon hipertropik. Mekanisme ini menghasilkan blokade yang lebih efisien terhadap
efek angiotensin II jantung dengan efek samping lebih sedikit dibandingkan inhibitor ACE.
Meloxicam merupakan suatu obat golongan asam enolat yang merupakan bagian dari
obat non anti inflamasi non steroid (OAINS) atau disebut juga NSAID (Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs). Meloxicam bekerja dengan menghambat enzim Cox-1 dan Cox-2 yang
berfungsi untuk menghasilkan prostaglandin yang merupakan pemicu reaksi radang.
Penghambatan enzim ini akan mempunyai efek anti inflamasi, analgetik, dan antipiretik untuk
menurunkan demam.

Meloxicam merupakan golongan OAINS non selektif karena

mekanisme kerja yang telah disebutkan diatas. Meloxicam umumnya digunakan untuk
mengurangi nyeri dan dipakai pada keadaan peradangan misalnya pada Rheumatoid Arthritis
dan osteoarthritis.
Lansoprazole adalah suatu penghambat sekresi asam lambung. Lansoprazole
secara spesifik menghambat H/K ATP ase (proton pump) pada sel parietal sel mukosa
lambung. Lansoprazole diberikan untuk mengatasi efek samping dari pemberian meloxicam.
Karna meloxicam dapat menyebabkan tukak lambung.
Neurodex

mengandung

vit-B1

mononitrat,

vit-B6

dan

vit-B12.

Neurodex

diindikasikan untuk mencegah dan penyembuhan pada pasien kekurangan vitamin, mengatasi
Neurotropik (pegal), gangguan pada sistem saraf seperti neuralgia, kelelahan kerja dan

kelelahan akibat penuaan. Dimana gejela-gejala ini banyak terjadi pada pasien pederita
osteoarthritis.
Cefadroxyl diberikan sebagai antibiotik. Hal ini karena berdasarkan hasil lab Tn. SG
terjadi peningkatan WBC yang menunjukkan terjadinya peradangan.
Vip albumin merupakan kapsul hasil ekstrak ikan tawar sebagai sumber protein
albumin bagi masyarakat. Kapsul ini mengandung albumin, asam amino serta mineral yang
berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid kapiler dan meningkatkan
kekebalan tubuh secara alamiah. Penurunan kadar albumin (hipoalbumin) sering disertai
dengan pembengkakan (edema), ditemukan pada pasien kritis, luka bakar, post operatif,
preclamsia, yang ditemukan pada ibu hamil maupun penyakit kronis. Kesemuanya itu terkait
dengan penurunan daya tahan tubuh, infeksi dan proses penyembuhan yang lama. Pasien
dengan hipoalbuminemia mempunyai resiko 2,5 kali lebih tinggi terjadinya infeksi.
Pemberian vip albumin juga dikarenakan hasil lab menunjukkan kadar albumin pasien
menurun.
Recolfar diindikasikan untuk penyakit Gout. Bekerja dengan menghambat
pembentukan asam urat. Pemberian recolfar ini tidak rasional. Hal ini dikarenakan, pasien
didiagnosa Osteoarthritis dan bukan Gout. Kedua penyakit ini jelas berbeda. Osteoarthritis
merupakan penyakit terjadinya degradasi kartilago pada sendi, sedangkan penyakit gout
disebabkan karena adanya penumpukan kristal asam urat yang merupakan hasil metabolisme
purin.
PLANNING:
REKOMENDASI:
R/ valsartan 80 mg 0-0-1
R/ meloxicam 15 mg 1x1
R/ lansoprazole 30 mg 1x1
R/ neurodex 1x1
R/ Cefadroxyl 500 mg 2x1
R/ VIP albumin 3x2 caps
Penggunaan Cefadroxyl dihentikan bila nilai kadar WBC telah normal yang
menunjukkan tidak adanya peradangan
MONITORING:
1. Efek samping obat

2. Interaksi obat
3. Efektifitas terapi
4. Alergi obat
KONSELING:
1. Diet rendah garam untuk mengatasi penyakit Hipertensi
2. Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga pasien
3. Mengurangi berat badan dan mengurangi aktivitas berlebihan sehingga dapat mencegah
terjadinya OA yang lebih parah karena menurunkan kerja sendi, terutama panggul dan lutut;
4. Kompres hangat atau dingin serta olahraga dapat dilakukan untuk memelihara sendi,
mengurangi nyeri, menghindari terjadinya kekakuan
5. Istirahat yang cukup.

BAB IV
STUDI KASUS MINI TEACHING APOTEK
A. Resep 1
R/ - Oxitoxin amp

No. IV

Cefataxime Inj

No. III

R/ - Methronidazole Inj

No. III

Signa / Tandai
-Kerorolac Inj.

No. III

Signa/ Tandai
-Ranitidin Inj.
Signa/ Tandai
Asam tranexamat Inj
Nama pro : Musdalifa
Umur
: 23Tahun

No.III
No.III
dr.Rahun

Penyelesaian
Oksitoksin
Mekanisme aksi :
Oksitoksin menimbulkan kontraksi rahim dan efeknya meningkat dengan meningkatnya
umur kehamilan. Dosis kecil akan meningkatkan kekuatan kontraksi, dosis besar atau
dosis berulang akan menimbulkan kontraksi tetanik, obat ini juga menimbulkan ejeksi
ASI dan memiliki efek antidiuretik lemah.
Efek samping:
Oksitosin menyebabkan efek samping berupa spasme uterus pada dosis rendah,
hiperstimulasi uterus, mual, muntah, aritmia, hiporatremia, anafilaksis, ruam kulit, aplasia

plasenta, emboli amnion, kontraksi pembuluh darah tali pusat, reaksi hipersensitifitas,
keracunan cairan, hematoma panggul dan lain-lain.
Informasi pasien :
Obat ini merupakan suatu hormone yang di gunakan untuk membantu mulainya atau
jalannya persalinan dan mengendalikan perdarahan sesudah melahirkan. Kadang ini juga
di gunakan untuk membantu keluarnya air susu atau indikasi lain yang di tetapkan dokter.
Obat ini juga di peroleh dari resep dokter.
Interaksi obat:
Oksitoksin dengan obat simpatomimetik akan menguatkan efek vasokonstriksi. Anastesi
inhalasi seperti halotan dan siklopropan akan meningkatkan efek hipotensif dan
menurunkan efek oksitosin serta terjadinya bradikardia.
Pemberian oksitoksin bersama prostaglandin, dinoproston dan misoprostol akan saling
menguatkan efek keduanya pada uterus. Tunggu 6-12 jam sesudah pemberian ke 3x
sebelum pemberian oksitoksin
Cefotaxime
Mekanisme kerja:
Merupakan antibiotic golongan sefalosporin. Sefalosporin merupakan antibiotic
bakterisid yang mekanismenya mirip dengan golongan penisilin. Antibiotic laktam ini
menghambat pembentukan dinding sel.
Efek samping:
Radang pada tempat suntikan, sakit, demam, eusinofilia, urtikaria, anifilaksis, diare,
mual, muntah, gejala pseudo-membran colitis, dll.
Peringatan dan pemberitahuan:
- Pada pasien yang hipersensitif terhadap penicillin ada kemungkinan terjadi
-

sensitivitas silang.
Hati-hati pemberian pada wanita hamil.
Hati-hati bila diberikan pada penderita dengan riwayat penyakit gastrointestinal

terutama kolitis.
Cefotaxime diekskresikan dalam air susu ibu sehingga penggunaannya sebaiknya

hati-hati pada ibu menyusui


Lakukan pemeriksaan hitung darah pada penderita yang mendapatkan pengobatan
lebih dari 10 hari dan penggobatan dihentikan jika timbul netropenia.

Kontraindikasi:
Cefotaxime dikontraidikasikan untuk pasien hipersensitif terhadap cefotaxime dan
golongan sefalosporin.
Interaksi obat:

Penggunaan bersama dengan diuretic kuat, probenesid, obat yang berpotensi nefrotoksik
(missal aminoglikosid)
Methonidazole
Mekanisme kerja:
Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang
mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Dalam sel

atau

mikroorganisme metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi


ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat.
Efek samping:
Mual, sakit kepala, anoreksia, diare, nyeri epigastrum dan konstipasi.
Interaksi obat:
Metronidazole menghambat metabolisme warfarin dan dosis antikoagulan kumarin
lainnya harus dikurangi. Pemberian alkohol selama terapi dengan metronidazole dapat
menimbulkan gejala seperti pada disulfiram yaitu mual, muntah, sakit perut dan sakit
kepala. Dengan obat-obat yang menekan aktivitas enzim mikrosomal hati seperti
simetidina,

akan

memperpanjang

waktu

paruh

metronidazole.

Perhatian:
Metronidazole tidak dianjurkan untuk penderita dengan gangguan pada susunan saraf
pusat, diskrasia darah, kerusakan hati, ibu menyusui dan dalam masa kehamilan trimester
II dan III. Pada terapi ulang atau pemakaian lebih dari 7 hari diperlukan pemeriksaan sel
darah putih.
Ketorolac
Mekanisme kerja:
Efeknya

menghambat

biosintesis

prostaglandin.

Kerjanya

menghambat

enzim

siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga


menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti inflamasi
dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan
membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke
tempat peradangan.

Efek samping:
Diare, dyspepsia, nyeri gastrointestinal, nausea, sakit kepala, pusing, berkeringat,
mengantuk.
Interaksi obat:
-

Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena beberapa


obat yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan mengurangi bersihan

Methotrexate, sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate.


Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan perdarahan berat
yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui, namun
mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang
diinduksi NSAID, atau efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan
fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi hanya

jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara ketat.
ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal yang
dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien yang telah

mengalami deplesi volume.


Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada

orang sehat normovolemik.


Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang memakai

Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.


Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac

bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.


Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang
sedang menggunakan obat psikoaktif.

Ranitidin
Mekanisme kerja:
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga
dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion
hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan volume cairan
lambung.
Efek samping:

Sakit kepala, malaise, pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.
takikardia, bradikardia, konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut, artralgia dan mialgia,
leukopenia, granulositopenia, pansitopenia, trombositopenia (pada beberapa penderita).
Kasus jarang terjadi seperti agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik,
bronkospasme,

demam,

eosinofilia),

anafilaksis,

edema

angioneurotik,

sedikit

peningkatan kadar dalam kreatinin serum.


Interaksi obat:
Ranitidine tidak menghambat kerja dari sitokrom P450 dalam hati dan Pemberian
bersama warfarin dapat meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
Perhatian dan peringatan:
-

Umum : pada penderita yang memberikan respon simptomatik terhadap Ranitidine,

tidak menghalangi timbulnya keganasan lambung.


Karena Ranitidine dieksresi terutama melalui ginjal, dosis Ranitidine harus

disesuaikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.


Hati-hati pemberian pada gangguan fungsi hati karena Ranitidine di metabolisme di

hati.
Hindarkan pemberian pada penderita dengan riwayat porfiria akut.
Hati-hati penggunaan pada wanita menyusui.
Khasiat dan keamanan penggunaan pada anak-anak belum terbukti.
Waktu penyembuhan dan efek samping pada usia lanjut tidak sama dengan penderita

usia dewasa.
Pemberian pada wanita hamil hanya jika benar-benar sangat dibutuhkan.

Asam Tranexamat
Mekanisme kerja:
Asam traneksamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik bentuk trans dari asam
karboksilat sikloheksana aminometil. Secara in vitro, asam traneksamat 10 kali lebih
poten dari asam aminokaproat. Asam traneksamat merupakan competitive inhibitor dari
aktivator

plasminogen

dan

penghambat

plasmin.

Plasmin

sendiri

berperan

menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam

traneksamat dapat digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan akibat fibrinolisis


yang berlebihan.
Efek samping:
Mual, muntah, diare, pusing dan rash.
Interaksi obat:
Obat yang berfungsi untuk menjaga hemostasis tidak diberikan bersamaan dengan obat
antifibrinolitik. Pembentukan trombus akan meningkat dengan adanya oestrogen, atau
mekanisme antifibrinolitk diantagonis oleh senyawa trombolisis.
Dari Analisa kasus resep diatas bahwa di dapatkan tidak memiliki Drug
Releated Problem (DRP).
B. Resep 2
R/ Cefadroxyl 500 mg

No. XX

S 2 dd 1
R/ Omeprazol
S 2 dd 1
R/ Ranitidin
S 2 dd 1
Pro

: Tn.M

Umur : 35 tahun
Penyelesaian
Cefadroxyl
Indikasi:
Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
yang sensitif seperti: - Infeksi saluran pernafasan : tonsillitis, faringitis, pneumonia, otitis
media. - Infeksi kulit dan jaringan lunak. - Infeksi saluran kemih dan kelamin. - Infeksi lain:
osteomielitis dan septisemia.
Kontra Indikasi:
Penderita yang hipersensitif terhadap sefalosporin.

Komposisi:
Cefadroxil 500, tiap kapsul mengandung cefadroxil monohydrate setara dengan cefadroxil
500 mg.
Cara Kerja:
Cefadroxil adalah antibiotika semisintetik golongan sefalosforin untuk pemakaian oral.
Cefadroxil bersifat bakterisid dengan jalan menghambat sintesa dinding sel bakteri.
Cefadroxil aktif terhadap Streptococcus beta-hemolytic, Staphylococcus aureus (termasuk
penghasil enzim penisilinase), Streptococcus pneumoniae, Escherichia coli, Proteus mirabilis,
Klebsiella sp, Moraxella catarrhalis.
Dosis:
Dewasa:
Infeksi saluran kemih:
Infeksi saluran kemih bagian bawah, seperti sistitis : 1 2 g sehari dalam dosis tunggal atau
dua dosis terbagi, infeksi saluran kemih lainnya 2 g sehari dalam dosis terbagi.
Infeksi kulit dan jaringan lunak:
1 g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi.
Infeksi saluran pernafasan:
Infeksi ringan, dosis lazim 1 gram sehari dalam dua dosis terbagi.
Infeksi sedang sampai berat, 1 2 gram sehari dalam dua dosis terbagi. Untuk faringitis dan
tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolytic : 1 g sehari dalam dosis tunggal
atau dua dosis terbagi, pengobatan diberikan minimal selama 10 hari.
Anak-anak:
Infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringan lunak : 25 50 mg/kg BB sehari dalam dua
dosis terbagi.
Faringitis, tonsilitis, impetigo : 25 50 mg/kg BB dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi.
Untuk infeksi yang disebabkan Streptococcus beta-hemolytic, pengobatan diberikan minimal
selama 10 hari.
Efek Samping:
Gangguan

saluran

pencernaan,

seperti

mual,

muntah,

diare,

pseudomembran.
Reaksi hipersensitif, seperti ruam kulit, gatal-gatal dan reaksi anafilaksis.

dan

gejala

kolitis

Efek samping lain seperti vaginitis, neutropenia dan peningkatan transaminase.


Interaksi Obat:
Obat-obat yang bersifat nefrotoksik dapat meningkatkan toksisitas sefalosporin terhadap
ginjal.
Probenesid menghambat sekresi sefalosporin sehingga memperpanjang dan meningkatkan
konsentrasi obat dalam tubuh.
Alkohol dapat mengakibatkan Disulfiram-like reactions, jika diberikan 48 72 jam setelah
pemberian sefalosporin.
Cara Rekonstitusi Suspensi:
Tambahkan 45 ml air minum, kocok sampai suspensi homogen.
Setelah 7 hari suspensi yang sudah direkonstitusi tidak boleh digunakan lagi.
Cara Penyimpanan:
Simpan dalam wadah tertutup rapat pada suhu kamar (15 - 30C).
Kemasan: Kotak 5 strip @ 10 kapsul
Ranitidin
Ranitidin adalah obat yang diindikasikan untuk sakit maag. Pada penderita sakit maag, terjadi
peningkatan asam lambung dan luka pada lambung. Hal tersebut yang sering kali
menyebabkan rasa nyeri ulu hati, rasa terbakan di dada, perut terasa penuh, mual, banyak
bersendawa ataupun buang gas.
Di dalam lambung, ranitidin akan menurunkan produksi asam lambung tersebut dengan cara
memblok langsung sel penghasil asam lambung. Ranitidin sebaiknya diminum sebelum
makan sehingga saat makan, keluhan mual penderita telah berkurang. Ranitidin dianggap
lebih potensial dibandingkan antasida (obat maag yang sering ditemui dijual bebas di apotek
ataupun warung). Bila sakit maag cukup berat atau gejala tidak membaik dengan antacida,
biasanya ranitidin akan diresepkan.
Selain untuk sakit maag, ranitidin juga dapat digunakan untuk pengobatan radang saluranan
pencernaan bagian atas (kerongkongan), dan luka lambung. Ranitidin termasuk kedalam obat
maag yang aman. Pada beberapa kondisi berikut ranitidin sebaiknya tidak diberikan, yakni:
Riwayat alergi terhadap ranitidin;
Ibu yang sedang menyusui;

Pemberian ranitidin juga perlu diawasi pada kondisi gagal ginjal.


Efek Samping
Efek samping yang ditimbulkan sangat jarang ditemukan. Adapun efek samping tersebut
beserta persentase frekuensi kemunculannya adalah sebagai berikut:
Sakit kepala (3%);
Sulit buang air besar (<1%);
Diare (<1%);
Mual (<1%);
Nyeri perut (<1%);
Gatal-gatal pada kulit (<1%).
Dosis
Ranitidin tersedia dalam sediaan sirup, tablet, maupun cairan suntikan. Ranitidin juga tersedia
sebagai obat generik maupun obat paten.
Ranitidin dalam bentuk tablet tersedia dalam ukuran dosis 75 mg, 150 mg, dan 30 mg.
Ranitidin dalam bentuk sirup tersedia dalam ukuran dosis 15 mg/ml. Sedangkan ranitidin
dalam bentuk cairan untuk disuntikan tersedia dalam ukuran dosis 1 mg/ml dan 25 mg/ml.
Cairan suntikan tersebut dapat disuntikan langsung ke dalam pembuluh darah atau ke dalam
otot.
Dosis ranitidin untuk orang dewasa ialah 150 mg dua kali sehari atau 300 mg sekali sehari.
Untuk peradangan kerongkongan, ranitidin dapat diberikan hingga 150 mg tiga kali sehari.
Dosis untuk anak-anak ialah 2-4 mg/kg berat badan dua kali sehari. Dosis maksimal untuk
anak-anak ialah 300 mg sehari.

Omeperazole
Omeprazole adalah obat yang mampu menurunkan kadar asam yang diproduksi di dalam
lambung.

Obat yang masuk ke dalam jenis penghambat pompa proton ini mengobati

beberapa kondisi, yaitu nyeri ulu hati, penyakit asam lambung atau gastroesophageal reflux
disease (GERD), dan infeksi H. Pylori yang menyebabkan tukak lambung. Selain itu,
omeprazole juga dapat digunakan untuk mengobati sindrom Zollinger-Elision.
Manfaat
- Mengurangi produksi asam lambung

Mencegah dan mengobati gangguan pencernaan atau nyeri ulu hati, tukak lambung,

sindrom Zollinger-Ellison, penyakit asam lambung atau GERD


- Salah satu langkah pengobatan infeksi bakteri H. Pylori
- Mengurangi asam lambung selama operasi
- Dikonsumsi oleh Dewasa dan anak-anak
Bentuk obat
Tablet, kapsul, obat larut dan suntik
Beberapa tablet dan kapsul omeprazole harus ditelan utuh-utuh dan beberapa lainnya bisa
dicampur dengan air untuk mempermudah proses konsumsi. Bacalah aturan penggunaan
omeprazole pada petunjuk yang tertera di dalam kemasan.
Peringatan:
Bagi anak-anak, wanita hamil dan yang sedang menyusui, sesuaikan dengan anjuran dokter.
Harap berhati-hati menggunakan omeprazole jika menderita penyakit hati, mempunyai kadar
kalsium tubuh yang rendah atau gangguan tulang.
Tanyakan pada dokter sebelum mengonsumsi omeprazole jika mengalami kesulitan menelan,
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, mual, dan pendarahan.
Jika terjadi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Omeprazole
Dosis omeprazole akan disesuaikan dengan kondisi dan respons pasien terhadap pengobatan.
Berikut adalah dosis omeprazole secara umum menurut kondisi yang diobati.
Kondisi
Dosis per hari (sebelum makan)
Gangguan pencernaan/nyeri ulu hati
20mg
Tukak lambung
40 mg
Tukak usus halus
20 mg
Penyakit asam lambung atau GERD
10-40 mg
Infeksi H. Pylori
20-40 mg
Sindrom Zollinger Ellison
60-120 mg
Esofagitis atau radang kerongkongan
20 mg
Bagi pasien anak-anak, selain kondisi, dokter akan mempertimbangkan usia serta berat badan
mereka dalam menentukan dosis omeprazole.
Mengonsumsi Omeprazole dengan Benar
Sebelum menggunakan omeprazole, perhatikan informasi yang diberikan oleh dokter terkait
obat ini atau baca informasi yang tertera di dalam kemasan agar Anda bisa mengetahui aturan
pakai serta efek samping obat ini. Hindari pemakaian omeprazole lebih dari 4 minggu tanpa
membicarakannya dengan dokter.
Omeprazole dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah makan, tapi lebih baik untuk dikonsumsi
sebelum makan.

Telanlah tablet dan kapsul omeprazole dengan air dan jangan mengunyahnya. Hal ini
bertujuan agar omeprazole dapat terserap seutuhnya oleh tubuh. Jika Anda termasuk orang
yang kesulitan menelan, tersedia omeprazole dalam bentuk obat larut.
Konsumsilah omeprazole sesuai takaran dosis dan frekuensi yang ditetapkan oleh dokter. Jika
Anda tanpa sengaja melewatkan satu dosis konsumsi, segera konsumsi dosis yang tertinggal
tersebut begitu Anda ingat. Tapi jika sudah sangat mendekati jadwal minum obat berikutnya,
jangan mengonsumsi dua dosis sekaligus.
Konsumsilah makanan dalam porsi-porsi kecil. Porsi terlalu besar dapat menekan lambung
sehingga terlalu banyak asam lambung yang diproduksi. Hindarilah makanan atau minuman
yang dapat memperburuk gejala penyakit lambung Anda, seperti cokelat, tomat, daun mint,
kopi, dan alkohol. Menurunkan berat badan juga dapat membantu mencegah naiknya asam
lambung sehingga meringankan gejala gangguan pencernaan.
Berhenti atau batasi kebiasaan merokok, karena merokok juga meningkatkan produksi asam
lambung.
Efek Samping dan Bahaya Omeprazole
Omeprazole jarang menyebabkan efek samping pada penggunanya. Jika pun ada, biasanya
efek samping akan membaik setelah penyesuaian tubuh terhadap obat ini.
Efek samping omeprazole yang berpotensi terjadi:
Sakit kepala
Konstipasi
Diare
Sakit perut
Nyeri sendi
Sakit tenggorokan
Kram otot
Hilang selera makan

DAFTAR PUSTAKA
Asma, M. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny.N Dengan Dispepsia di Ruang Instalasi Rawat
Inap di RS Dr. Reksodiwiryo Padang. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia. [online].
http://www.scribd.com/doc/78583982/askep-dispepsia [diakses tanggal 14 maret 2012].
Davey, P. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta, Erlangga.
Djojoningrat, D. 2006a. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I;
Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1. Edisi ke4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Djojoningrat, D. 2006b. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam: Sudoyo, A.W;
Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Bandung, P.T. Alumni.
Harahap, Y. 2007. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan.
Skripsi,

Universitas

Sumatera

Utara.

USU

Digital

Library. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14681 [diakses tanggal 20 maret


2012].
Muyassaroh, A. 2009. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien Tukak Peptik
(Peptic Ulcer Disease) Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Islam Kustati
Surakarta Tahun 2008. Skripsi. http://etd.eprints.ums.ac.id/6175/1/K100050217.pdf
[diakses tanggal 19 maret 2012]
Schwartz, M.W. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta, EGC.
Tarigan, C.J. 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional Dan Dispepsia
Organik.

Tesis,

Universitas

Sumatera

Utara.

USU

Digital

Library.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6365 [diakses tanggal 23 februari 2012].

Anda mungkin juga menyukai