Anda di halaman 1dari 31

Tugas Individu

Mata Kuliah : Epidemiologi Lanjut


Dosen : Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT TUBERKULOSIS

Oleh :

Nama :Rista Renatya Ismail


Nim :K012231013
Kelas :C
Peminatan :Promosi Kesehatan

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
BAB II TELAAH PUSTAKA...............................................................................3
A. Tinjauan Umum Penyakit Tuberkulosis Paru...............................................3
1. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis..............................................................5
2. Etiologi Penyakit Tuberkulosis.......................................................................5
3. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis....................................................................6
4. Fatogenesis Penyakit Tuberkulosis.................................................................7
5. Faktor Risiko Tuberkulosis.............................................................................9
6. Penatalaksanaan............................................................................................14
B. Tinjauan Umum Surveilans Epidemiologi....................................................15
1. Definisi Surveilans Epidemiologi.................................................................15
2. Tujuan Surveilans Epidemiologi..................................................................16
3. Komponen dan Prinsip Surveilans...............................................................16
4. Atribut Surveilans.........................................................................................17
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................18
A. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis..............................................18
B. Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi di Puskesmas Tamalate Kota
Makassar............................................................................................................22
BAB IV PENUTUP..............................................................................................26
A. Kesimpulan........................................................................................................26
B. Saran..................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit TB paru merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA),
penyakit ini sangat mudah menular (Sutarto et al. 2019). Selain mudahnya
penyakit TB ini menular, faktor pengobatan yang memiliki jangka waktu 6-8
bulan di duga membuat penderita merasa jenuh dan terpaksa untuk berhenti
minum obat, hal ini mengakibatkan upaya pengobatan TB menjadi gagal karena
kepatuhan minum obat pasien TB kurang. Angka kepatuhan meminum obat yang
cenderung rendah menjadikan salah satu kesulitan terhadap pengendalian
tuberkulosis paru. Ketidak adekuatan untuk meminum obat secara teratur,
membuat angka kesembuhan TB Paru tidak kunjung menurun. Tingginya angka
putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat
anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih besar juga bertambah lamanya
pengobatan, selain itu hal ini menyebabkan bertambahnya angka kasus baru
karena tertular dan angka kematian yang terus meningkat.
Berdasarkan data Global TB Report tahun 2022, secara global terdapat
kenaikan jumlah orang yang terinfeksi TBC sebesar 4,5% yaitu dari 10,1 juta
orang pada 2020 menjadi 10,6 juta orang pada 2021 diikuti dengan 1,6 juta
kematian (WHO, Global TB Report 2022). Besarnya masalah TBC di dunia juga
ditunjukkan dengan adanya target eliminasi TBC dalam Sustainable Development
Goals (SDGs). Target ini juga merupakan bagian dari strategi yang lebih besar
yaitu End TB Strategy yang bertujuan untuk mengakhiri epidemi TB global pada
tahun 2035. Indikator dalam strategi ini pada 2035 adalah reduksi 95%angka
kematian TBC dibanding 2015, reduksi 90% insiden TBC dibanding 2015, dan
dan 0% keluarga terdampak biaya katastropik akibat TBC.
Di Indonesia, TBC termasuk masalah kesehatan dengan angka kasus dan
kematian yang tinggi. Pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-3 di dunia
setelah India dan cina dengan estimasi sebanyak 969.000 kasus (WHO, Global
Tuberculosis Report, 2022). Estimasi kasus pada 2022 juga sebanyak 969.000
kasus, terdiri dari TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO).
Nyatanya,
1
capaian penemuan kasus TBC per 1 November 2022 hanya 52% atau 503.712
kasus dari target sebesar 90% (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Berdasarkan data dari Ditjen P2P, Kemenkes RI, kasus TBC menurut
provinsi tahun 2021 bervariasi antara 69-268 per 100.000 penduduk, dengan CNR
tertinggi di Provinsi Papua dan terendah di Provinsi Bali, sedangkan data kasus
TBC di Provinsi Sulawesi Selatan berada pada angka 165 per 100.000 penduduk.
Sedangkan berdasarkan data riskesdas 2018 prevalensi TBC di Kota Makassar
yaitu 0,47% (Riskesdas Kab/kota, 2018).
Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percikan dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik
renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes
RI, 2022). Mengingat mudahnya TB Paru menular dan dapat menyebar ke organ
tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih baik dari pada mengobati.
Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan bagi penderita TB Paru
dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan Rumah Sakit.
Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat diperlukan untuk
memberantas penyakit TB Paru. Pengetahuan baik dapat menyadarkan masyarakat
tentang deteksi dini TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu mekanisme yang
berupa pemberian informasi secara tepat waktu danefektif, agar masyarakat/
individu di daerah rawan mampu mengambil Tindakan menghindari atau
mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang penyakit tuberkulosis.
2. Untuk mengetahui tinjauan umum penyakit tuberkulosis.
3. Untuk mengetahui tinjauan umum surveilans epidemiologi.
4. Untuk mengetahui gambaran surveilans epidemiologi penyakit tuberkulosis.

2
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Definisi Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel
yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan
membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat
menahun dan secara khas ditanmdai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.
a. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2011) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu
pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif :
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh
lagi.
3) Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil

4
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
(Depkes RI, 2020).
2. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis
Luasnya tuberkolosis dan evokusinya dari waktu ke waktu menentukan
epidemiologinya. Epidemiologi memberikan dasar bagi praktik kesehatan
masyarakat yang diperlukan untuk mengendalikan penyakit. Berbagai indeks
epidemiologi digunakan dengan kompeksitas yang berbeda-beda.
Tuberkulosis merupakan salah satu dari 10 penyakit yang menyebabkan
kematian terbesar di dunia. Berdasarkan Global Report TB tahun 2019, angka
kesakitan tuberkulosis pada 2018 mencapai 10.000.000 orang. Sedangkan
untuk kasus kematian tuberkulosis mencapai 1.500.000 jiwa. Secara global,
diperkirakan 10 juta (kisaran 8,9-11 juta) orang jatuh sakit dengan TB pada
2019. Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total global: India
(26%), Indonesia (8,5%), China (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,7%),
Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%). Kebanyakan
kasus tuberkulosis ditemukan di negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah. Setengah dari populasi kesakitan tuberkulosis disumbangkan dari
8 negara, yaitu: Bangladesh, China, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan,
Filipina, dan Afrika Selatan. Indonesia menyumbang angka kesakitan
tuberkulosis sebesar 8,5% dari jumlah angka kesakitan secara global yaitu 10
juta orang.
Angka kesakitan tuberkulosis sebesar 850.000 orang menempatkan
Indonesia menjadi peringkat ke-2 penderita TB setelah India. Angka
notifikasi kasus/case notification rate (CNR) di Indonesia pada tahun 2017
mencapai 161 per 100.000 penduduk, sedangkan untuk notifikasi kasus
tuberkulosis dengan HIV pada tahun 2017 mencapai 1,85% (Kurniati et al.,
2019).
3. Etiologi Penyakit Tuberkulosis
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
5
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

6
droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman
tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian- bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.
4. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
a. Gejala
1) Gejala sistemik/umum
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2) Gejala khusus
 Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
7
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
b. Tanda
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas
dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat
normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru.
Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus
meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru.
Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea
ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada
cavitas atautanda adanya penebalan pleura.
5. Fatogenesis Penyakit Tuberkulosis
Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu
batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler
(percikan dahak).
a. Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon).

8
3) garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
4) Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.

Gambar 1 Skema Patogenesis Infeksi Primer TB paru


b. Infeksi Post Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat Sarang
tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi
aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

9
2) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru.
Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan di atas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi
kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
6. Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian
penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berakaitan satu
sama lain. Faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis
adalah faktor karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan (Sejati &
Sofiana, 2015).
a. Faktor Karakteristik Individu
Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkolosis adalah :
1. Faktor Umur
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika
yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TBC. Dari hasil
penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat

10
infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan
umur. Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada
usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada pria
prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia
60 tahun.
Risiko untuk mendapatkan TBC dapat dikatakan seperti halya kurva
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun ketika di atas dua tahun
hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TBC dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda, dan menurun kembali ketika seseorang
atau kelompok menjelang usia tua.
2. Faktor Jenis Kelamin
Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia
tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui
usia subur. Wanita sering mendapat tubrkulosis paru sesudah bersalin.
Dari catatan statistik mayoritas penderita Tuberkolosis adalah wanita
tetapi hal ini memerlukan penyelidikan dan penelitian yang lebih lanjut,
untuk sementara di duga jenis kelamin perempuan merupakan faktor
risiko
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit Tuberkolosis, sehingga
dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk
mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat
pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
4. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu
paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya
gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar

11
dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit
saluran pernafasan dan umumnya Tuberkolosis. Jenis pekerjaan
seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan
dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap
anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan
akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya
Tuberkolosis. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai
pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak
memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit Tuberkolosis
5. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena Tuberkolosis sebanyak 2,2 kali.
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari
50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang
dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk
terjadinya infeksi Tuberkolosis
6. Status Gizi
Status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam
timbulnya kejadian TB Paru. Tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh
faktor –faktor yang lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru..
Karena kuman TBC merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-
tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan menimbulkan
penyakit maka timbullah kejadian penyakit TB paru. Oleh sebab itu
salah satu upaya

12
untuk menangkalnya adalah stus gizi yang baik, baik untuk wanita,
laki- laki, anak-anak maupun dewasa.
7. Kondisi Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan
daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan
terkena infeksi TB.
8. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB adalah
perilaku yang mempengaruhi atau memjadikan seseorang untuk mudah
terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela
setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah
sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal.
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan,
bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan
prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber
penular bagi orang disekelilingnya.
b. Faktor risiko lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko terhadap
kejadian TB adalah :
1. Kepadatan hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya

13
dinyatakan dalam m2

14
/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2 /orang. Untuk
kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2 /orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur
yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di
bawah 2 tahun menjamin volume udara yang cukup, disyaratkan juga
langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
2. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang
dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam
ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman,
juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya
didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakkan mata.
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari diperlukan
minimal pencahayaan dalam rumah sebesar 60 lux. Jika peletakan
jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang
sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
3. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan
penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat
perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan
akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai
media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium
tuberculosis.

15
4. Kelembaban Udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban berkisar 40%-60% dengan suhu udara yang
nyaman 18° - 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor,
penghuni rumah yang memiliki kelembaban ruang keluarga lebih besar
dari 60% berisiko terkena TBC 10,7 kali di banding penghuni rumah
yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil
atau sama dengan 60%
5. Suhu
Suhu dalam ruangan harus dapat diciptakan sedemukian rupa
sehingga tubuh tidak terlalu bnayak kehilangan panas atau sebaliknya
tubuh tidak sampai kepanasan. Suhu ruangan dalam rumah yang ideal
adalah bekisar antara 18 – 30 ºC dan suhu tersebut di pengaruhi oleh
suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara dalam
ruangan
7. Penatalaksanaan
Ketika diagnosa sudah ditegakkan bahwa pasien menderita TB Paru, maka
harus diberikan tatalaksana yang baik dan benar. Kegagalan tatalaksana awal
pada pengobatan TB paru seringkali karena kelalaian pasien dalam konsumsi
obat. Kelalaian ini terjadi dalam 6 bulan awal terapi, dan hal ini dapat
menyebabkan kegagalan terapi dan penularan organisme yang resisten obat.
Program pengobatan yang dianjurkan terdiri dari dua fase. Fase intensif dua
bulan pertama dengan pemberian setiap hari yang meliputi isoniazid (5
mg/kgBB/hari), rifampisin (10mg/kgBB/hari), pirazinamid (25mg/kgBB/hari)
dan etambutol(15mg/kgBB/hari). Fase lanjutan diberikan setelah fase intensif,
selama 4 bulan berikutnya dengan pemberian setiap hari yang meliputi
Rifampisin (10mg/kgBB/hari) dan isoniazid (5mg/kgBB/hari). Perbaikan
gejala akan timbul setelah 3 minggu pengobatan dan titik stabil radiologi
adalah 3 - 6 bulan.
Jika pasien mematuhi konsumsi obat secara teratur dan menyelesaikan

16
masa pengobatan, prognosis pada pasien ini baik. Namun, jika pasien tidak
menyelesaikan pengobatan, kemungkinan dapat terjadi resistensi obat dan
komplikasi berupa infeksi sekunder dari Mycobacterium TB paru yang
menyerang organ ekstrapulmonar seperti tulang, otak, hepar dan ginjal,
dimana infeksi pada organ-organ ini terjadi karena penyebaran bakteri secara
hematogen.
B. Tinjauan Umum Surveilans Epidemiologi
1. Definisi Surveilans Epidemiologi
Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis
dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta
kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
World Health Organization (WHO) menjelaskan definisi surveilans sebagai
aplikasi metodologi dan teknik epidemiologi yang tepat untuk mengendalikan
penyakit. Maksud utama surveilans adalah untuk mendeteksi perubahan pada
trend atau distribusi penyakit dalam rangka memulai penyelidikan atau
melakukan tindakan pengendalian.
Surveilans kesehatan masyarakat merupakan serangkaian kegiatan yang
dimulai dari pengumpulan, pengolahan, penyajian, analisis data
penyakit/masalah kesehatan dan penyebarluasan informasi kepada pihak lain
yang membutuhkan secara terus menerus dan tepat waktu, untuk kepentingan
pengambilan keputusan (Centers for Disease Control and Prevention and the
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (CDC/ATSDR).
Menurut Departemen Kesehatan (Kementerian Kesehatan), mendefinisikan
surveilans epidemiologi sebagai suatu rangkaian proses pengamatan yang terus
menerus dan berkesinambungan dalam pengumpulan data, analisis, dan
interpretasi data kesehatan dalam upaya untuk menguraikan dan memantau
suatu

17
peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan penanggulangan yang efektif dan
efisien terhadap masalah kesehatan masyarakat.
2. Tujuan Surveilans Epidemiologi
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini
dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans:
a. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi
dini outbreak;
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi;
d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
f. Mengidentifikasi kebutuhan riset. (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU,
2002)
3. Komponen dan Prinsip Surveilans
a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan
sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan,
laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan
pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang
diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok
high risk; Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan
reservoir; Transmisi; Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.
b. Pengolahan Data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row
data) yang masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah
dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk
grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut
harus dapat

18
memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan Interpretasi Data
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan
dilakukan interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan
tentang situasi yang ada dalam masyarakat.
d. Penyebaran Informasi
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan
yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan,
selanjutnya dapat disebarluaskan kepada semua pihak yang
berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana
mestinya.
4. Atribut Surveilans
Atribut surveilans adalah karakteristik-karakteristik yang melekat
pada suatu kegiatan surveilans, yang digunakan sebagai parameter
keberhasilan suatu surveilans. Menurut WHO (1999), atribut-atribut
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Simplicity (kesederhanaan)
b. Flexibility (fleksibel atau tidak kaku)
c. Acceptability (akseptabilitas)
d. Sensitivity (sensitifitas)
e. Predictive value positif (memiliki nilai prediksi positif)
f. Representativeness (keterwakilan)
g. Timeliness (ketepatan waktu) (Brier and lia dwi jayanti 2020).

19
BAB III
PEMBAHASAN
A. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis
1. Gambaran penyakit Tuberkulosis Berdasarkan waktu, Tempat dan
Waktu secara umum Studi Kasus di Puskesmas Tamalate tahun 2019-
2023
a. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Waktu (tahun 2019-2023)
Grafik 3.1
Proporsi Penyakit Tuberkolosis di Puskesmas Tamalate Kota
Makassar Tahun 2019-2023

200 175

150 137

100 87
77
Jumlah

64
50

0
2019 2020 2021 2022 2023

Sumber: Data Sekunder, 2023


Berdasarkan grafik 3.1, dapat diketahui bahwa jumlah penyakit
Tuberkolosis per tahun di Puskesmas Tamalate Kota Makassar pada
Tahun 2019-2023 menunjukkan bahwa jumlah kasus tertinggi terjadi
pada tahun 2023 dengan penanganan 175 kasus penyakit
Tuberkolosis, sedangkan jumlah kasus terendah berada di tahun
2020 dengan jumlah penanganan 64 kasus penyakit Tuberkolosis.

20
b. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Orang (jenis kelamin dan
kelompok umur)
1. Distribusi penyakit berdasarkan jenis kelamin
Grafik 3.2
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan jenis kelamin di
Puskesmas Tamalate Kota Makassar Tahun 2019-2023
120 109
100
80 80
66
60 57
Jumlah

40 43 44 43
39
20 25 34
0

20192020202120222023

Laki-lakiPerempuan

Sumber: Data Sekunder, 2023


Berdasarakan grafik 3.2, dapat diketahui bahwa jumlah kasus
Tuberkolosis berdasarkan Jenis Kelamin per tahun di Puskesmas
Tamalate Kota Makassar menunjukan bahwa jumlah penanganan
kasus Tuberkolosis tertinggi terjadi di tahun 2023 pada laki-laki
dengan jumlah 109 orang sedangkan penanganan kasus terendah
terjadi di tahun 2020 pada perempuan yaitu 25 kasus.

2. Distribusi penyakit berdasarkan umur


Grafik 3.3
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan umur di Puskesmas
Tamalate Kota Makassar Tahun 2019
>60 Thn1-9 Thn 1-19 Thn
17%1%8%

45-59 Thn
20%

20-41 Thn
54%

1-9 Thn1-19 Thn20-41 Thn45-59 Thn>60 Thn

Data Sekunder: 2019

21
Berdasarkan gambar 3.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus
penyakit TB tertinggi di Puskesmas Tamalate Kota Makassar tahun
2019 dialami oleh kelompok usia 20-41 tahun dengan prevalensi
sebesar 65% (47 kasus).

Grafik 3.4
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan umur di Puskesmas
Tamalate Kota Makassar Tahun 2020
>60 Thn 1-9 Thn10-19 Thn
16% 3%5%

45-59 Thn
25%
20-44 Thn
51%

1-9 Thn10-19 Thn20-44 Thn45-59 Thn>60 Thn

Data Sekunder: 2020


Berdasarkan gambar 3.2 diatas dapat dilihat bahwa jumlah
kasus penyakit TB tertinggi di Puskesmas Tamalate Kota
Makassar tahun 2020 dialami oleh kelompok usia 20-41 tahun
dengan prevalensi sebesar 60% (32 kasus).

Grafik 3.5
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan umur di
Puskesmas Tamalate Kota Makassar Tahun 2021
>60 1-9 Thn 10-19 Thn
11% 1% 10%

45-59 Thn
25%

20-44 Thn
53%

1-9 Thn10-19 Thn20-44 Thn45-59 Thn>60


Data Sekunder: 2021

22
Berdasarkan gambar 3.2 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah
kasus penyakit TB tertinggi di Puskesmas Tamalate Kota Makassar
tahun 2020 dialami oleh kelompok usia 20-41 tahun dengan
prevalensi sebesar 53% (38 kasus).

Grafik 3.6
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan umur di
Puskesmas Tamalate Kota Makassar Tahun 2022
>60 Thn 1-9 Thn 10-19 Thn
12% 3% 4%

45-59 Thn
30%
20-44 Thn
51%

1-9 Thn10-19 Thn20-44 Thn45-59 Thn>60 Thn

Data Sekunder: 2022


Berdasarkan gambar 3.2 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah
kasus penyakit TB tertinggi di Puskesmas Tamalate Kota Makassar
tahun 2022 dialami oleh kelompok usia 20-44 tahun dengan prevalensi
sebesar 51% (67 kasus).

Grafik 3.7
Proporsi Penyakit Tuberkolosis berdasarkan umur di
Puskesmas Tamalate Kota Makassar Tahun 2023

>60 Thn 1-9 Thn 10-19 Thn


16% 3% 10%

45-59 Thn
26%
20-44 Thn
45%

1-9 Thn10-19 Thn20-44 Thn45-59 Thn>60 Thn

Data Sekunder: 2023

23
Berdasarkan gambar 3.2 diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus
penyakit TB tertinggi di Puskesmas Tamalate Kota Makassar tahun
2023 dialami oleh kelompok usia 20-44 tahun dengan prevalensi
sebesar 45% (79 kasus).

B. Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi di Puskesmas Tamalate


Kota Makassar
a. Langkah-Langkah Surveilans
1) Pengumpulan Data
Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan pengumpulan data
secara aktif dan pasif baik secara manual maupun elektronik.
a) Pengumpulan data secara aktif merupakan pengumpulan data yang
diperoleh langsung dari Masyarakat atau sumber data lainnya.
b) Pengumpulan data secara pasif merupakan pengumpulan data yang
diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2) Penemuan Kasus
Penemuan kasus TB secara aktif dilakukan melalui :
a) Investigasi dan pemeriksaan kasus kontak
b) Skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan
kelompok beresiko.
c) Skrining pada kondisi situasi khusus.
Penemuan kasus TB secara pasif dilakukan melalui pemeriksaan
pasien yang dating ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Penemuan kasus
TB ditentukan setelah dilakukan penegakan diagnosis, penetapan
klasifikasi dan tipe pasien TB.
a) Kasus Baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
b) Kasus Kambuh (Relaps)
Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).

24
c) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out)
Pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif
d) Kasus Gagal (Failure)
Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e) Kasus Pindahan (Transfer In)
Pasien TB yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f) Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan.
b. Pelaksanaan Suveilans
Surveilans merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi
keberhasilan program penanggulangan TBC. Sistem pencatatan dan
pelaporan yang baik disertai dengan supervisi kefasyankes akan berdampak
pada keberhasilan program karena fasyankes merupakan ujung tombak dari
penanganan TBC.
Wujud dari penguatan surveilans adalah peningkatan kapasitas fasyankes
dalam pencatatan data TBC di sistem informasi, simplifikasi SITB, Integrasi
SITB-SIMRS, validasi data TBC di seluruh puskesmas. Upaya simplifikasi
SITB juga telah dilakukan yaitu dengan pemanfaatan Nomor Induk
Kependudukan (NIK). Hal ini juga mendukung validasi data puskesmas
berdasarkan paparan di atas, upaya penyisiran kasus sudah dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan RI namun perlu peningkatan peran dinas kesehatan
untuk membantu penyisiran kasus di masing-masing wilayahnya karena
tidak mungkin jika semua faskes dilakukan penyisiran kasus oleh
Kementerian Kesehatan. Penyisiran kasus ini sebagai salah satu upaya untuk
mengejar capaian under-reporting yang angkanya masih tinggi di Indonesia.

25
Untuk mengatasi masalah pelaporan fasyankes, pemerintah pusat perlu
segera menyusun kebijakan mengenai kewajiban pelaporan atau notifikasi
TBC ke SITB yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan disertai dengan
sanksi dan apresiasi. Sanksi dapat berupa pencabutan izin beroperasi,
apresiasi dapat berupa penghargaan atau lainnya. Pelaporan TBC juga dapat
dijadikan sebagai syarat pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau klaim
BPJS. Hal ini akan membuat fasyankes memiliki kesadaran untuk melapor.
Pelaksanaan Surveilans TB paru merupakan pemantauan dan analisis
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian TB atau
masalah Kesehatan lainnya. Surveilans TB berbasis indicator ditujukan
untuk memperoleh gambaran yang akan digunakan yang akan digunakan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program Penanggulangan TB
meliputi :
c. Pencatatan dan Pelaporan Kasus TB Paru
1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan terhadap setiap kejadian penyakit TB.
2) Pencatatan dan pelaporan pasien TB untuk klinik dan dokter praktik
perorangan disampaikan kepada puskemas setempat
3) Puskesmas harus melaporkan jumlah pasien TB di wilayah kerjanya
kepada dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat.
4) Pelaporan pasien TB dari Fasilitass Pelayanan Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjutan disampaikan kepada dinas Kesehatan
kabupaten/kota setempat.
5) Dinas Kesehatan kabupaten/kota melakukan kompilasi pelaporan
dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak
lanjut serta melaporkannya ke dinas Kesehatan provinsi.
6) Dinas Kesehatan provinsi melakukan kompilasi pelaporan
melakukan analisis untuk pengambilan rencana tindak lanjut serta
melaporkannya kepada Menteri dengan tembusan Direktur Jendral
yang memiliki tugas dan fungsi dibidang pencegahan dan
pengendalian penyakit.
7) Pelaporan disampaikan triwulan secara manual kepada Dinas

26
Kesehatan dan melakukan validasi data TB untuk mencocokan data
pasien yang di input secara manual dan secara SITB begitupun
sebaliknya.

27
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut:
1. Berdasarkan data Global TB Report tahun 2022, secara global terdapat
kenaikan jumlah orang yang terinfeksi TBC sebesar 4,5% yaitu dari 10,1
juta orang pada 2020 menjadi 10,6 juta orang pada 2021 diikuti dengan 1,6
juta kematian (WHO, Global TB Report 2022). Besarnya masalah TBC di
dunia juga ditunjukkan dengan adanya target eliminasi TBC dalam
Sustainable Development Goals (SDGs).
2. Tuberkulosis adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA). Faktor risiko berperan timbulnya kejadian penyakit tuberculosis
adalah faktor karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan.
3. Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis
dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta
kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan,
pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
4. surveilans penyakit menular khusunya penyakit tuberkulosis yang dilakukan
oleh petugas surveilans di puskesmas mulai dari pengumpulan data hingga
diseminasi data sudah berjalan dengan baik.
B. Saran
Diharapkan agar pelaksanaan surveilans penyakit TB paru dapat berlangsung
secara teratur dan sesuai pedoman yang ada agar upaya penanggulangan penyakit
TB paru dapat termonitor dengan baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2020. Laporan Riset Fasilitas


Kesehatan (Rifaskes) 2019.
DEWI, N. K. A., SUKARSA, I. K. G., & SRINADI, I. G. A. M. (2020). Faktor-
Faktor Yang Memengaruhi Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (Tbc) Di
Provinsi Jawa Barat. E-Jurnal Matematika, 9(3), 165.
https://doi.org/10.24843/mtk.2020.v09.i03.p294
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Dashboard TB.

Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata


Laksana Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI; 2022
Kurniati, A., Nyoman Surya Suameitra Dewi, D., & Nyoman Purwani, N. (2019).
Deteksi Cepat Dan Spesifik Mycobacterium Tuberculosis Menggunakan
Polymerasi Chain Reaction. Journal of Vocational Health Studies, 3, 83–88.
https://doi.org/10.20473/jvhs.V3I2.2019.83
Pralambang, S. D., & Setiawan, S. (2021). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis di
Indonesia. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, Dan Informatika Kesehatan,
2(1), 60. https://doi.org/10.51181/bikfokes.v2i1.4660
Riskesdas Kab/kota. (2018). Laporan Provinsi Sulawesi Selatan Riskesdas 2018.
In Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan (Vol. 110, Issue 9).
http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/lpb/article/view/3658
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 10(2), 122.
https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3372
Stop TB Partnership. 2022. The Global Plan to End TB 2023-2030.

Sutarto, Fauji, Y.S., Indriyani, R, Sumekar, D.W., & Wibowo, A. (2019). Efikasi
Diri Pada Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jurnal
Kesehatan, 10(3), 405-412.

WHO. Global Tuberkulosis Report 2022. Geneva : World Health Organization,


2022

World Health Organization. (2021). Global Tuberkulosis Report 2021.

29

Anda mungkin juga menyukai