Anda di halaman 1dari 57

PAPER

HIV/AIDS + TB PARU

Pembimbing :

dr. Siti Taqwa Fitriani Lubis., Sp.PD

Disusun Oleh :

Cici Oktavia Rahmi (102121071)

M Moni Simbolon (102121029)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan Paper yang berjudul
“HIV/AIDS + TB PARU Paper ini disusun sebagai tugas mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Haji Medan
Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Siti Taqwa., Sp.PD. atas bimbingannya
selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam ini sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas “Paper” ini. Kami menyadari bahwa laporan kasus
ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus ini dan untuk melatih
kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 21 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3


2.1. HIV/AIDS............................................................................................ 3
2.1.1. Definisi................................................................................. 3
2.1.2. Etiologi................................................................................. 3
2.1.3. Epidemiologi........................................................................ 3
2.1.4. Patogenesis........................................................................... 4
2.1.5. Manifestasi Klinis................................................................. 5
2.1.6. Klasifikasi............................................................................. 9
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 13
2.1.8. Diagnosis Banding............................................................... 15
2.1.9. Diagnosa Kerja..................................................................... 17
2.1.10. Penatalaksanaan.................................................................... 17
2.1.11. Prognosis.............................................................................. 24
2.1.12. Komplikasi........................................................................... 26
2.1.13. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 27
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................. 60
BAB IV DISKUSI................................................................................................... 67
BAB V KESIMPULAN......................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndfrome adalah sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
oleh HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah
terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal
(Kemenkes RI, 2020).
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru
HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000
anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri
dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun (Kemenkes RI, 2014).
HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual dan penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan
reproduksi. Pada tahun 2013 World Health Organization (WHO) mengumumkan 34
juta orang di dunia mengidap virus HIV penyebab AIDS dan sebagian besar dari
mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara berkembang. Data WHO terbaru juga
menunjukkan peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan.
Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang, angka ini meningkat 300.000 orang lebih banyak
dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2013). AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya
kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis kesehatan, krisis pembangunan
negara, krisis ekonomi, Pendidikan dan juga kemanusiaan. Dengan kata lain,
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Pengidap HIV memerlukan pengobatan
dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh
agar tidak masuk kedalam stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS memerlukan
pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai
komplikasinya (Djoerban, Z., dan Djauzi, S 2015).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi paling sering menyerang
jaringan paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis

1
2

(TB) paru ini dapat menyerang semua usia dengan kondisi klinis yang
berbeda-beda atau tanpa dengan gejala sama sekali hingga manifestasi berat.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia.
Sampai sekarang ini belum ada satu negara pun di dunia yang bebas dari tuberkulosis
( Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat 2015)
Infeksi TB mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi nutrient serta
perubahan metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan
lemak (wasting) sebagai manifestasi malnutrisi energi protein. Malnutrisi pada infeksi
TB memperberat perjalanan penyakit TB dan mempengaruhi prognosis pengobatan
dan tingkat kematian (Kemenkes, 2021)
Tuberkulosis (TB) tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang
tepat, mengingat penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di
Indonesia. Untuk itu, diagnosis yang tepat, pemberian terapi OAT yang efektif,
perawatan yang baik, serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu
dilakukan agar berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada tuberkulosis.
Infeksi TB merupakan salah satu infeksi oportunistis pada penyakit
HIV/AIDS. Sekitar 49 % pasien dengan HIV/AIDS ditemukan dengan kondisi
koinfeksi TB. Pada pasien HIV/AIDS dengan sistem imunitas yang menurun, adanya
infeksi TB laten dapat dengan mudah berkembang menjadi TB aktif. Risiko pasien
HIV/AIDS menderita TB adalah sebesar 10% per tahun, sedangkan pada
non-HIV/AIDS risiko untuk menderita TB hanya sebesar 10% seumur hidupnya.
WHO menyebutkan bahwa prevalensi HIV/AIDS dengan koinfeksi TB pada tahun
2013 adalah sebesar 7,5%. Angka kematian akibat infeksi TB pada penderita
HIV/AIDS lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian tersering (30-50%) pada
penderita HIV/AIDS (WHO, 2013).
Tuberkulosis (TB) tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang
tepat, mengingat penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di
Indonesia. Untuk itu, diagnosis yang tepat, pemberian terapi OAT yang efektif,
perawatan yang baik, serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu
dilakukan agar berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada tuberkulosis.
Infeksi TB merupakan salah satu infeksi oportunistis pada penyakit
HIV/AIDS. Sekitar 49 % pasien dengan HIV/AIDS ditemukan dengan kondisi
koinfeksi TB. Pada pasien HIV/AIDS dengan sistem imunitas yang menurun, adanya
infeksi TB laten dapat dengan mudah berkembang menjadi TB aktif. Risiko pasien
3

HIV/AIDS menderita TB adalah sebesar 10% per tahun, sedangkan pada


non-HIV/AIDS risiko untuk menderita TB hanya sebesar 10% seumur hidupnya.
WHO menyebutkan bahwa prevalensi HIV/AIDS dengan koinfeksi TB pada tahun
2013 adalah sebesar 7,5%. Angka kematian akibat infeksi TB pada penderita
HIV/AIDS lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian tersering (30-50%) pada
penderita HIV/AIDS (WHO, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan
kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus), ditemukan dalam tubuh terutama darah,
cairan sperma, cairan vagina, Air Susu Ibu. HIV merupakan jenis virus
yang menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena
virus ini menjadi rentan terhadap beragam infeksi atau juga mudah
terkena tumor (Susilawati et all, 2020).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu retrovirus
dengan materi genetik (RNA) yang dapat mentransfer informasi genetik
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase. HIV menginfeksi berbagai sel sistem imun antara lain :

Sel T helper (CD4+), Makrofag dan sel dendritik. Infeksi HIV


menyebabkan penurunan kekebalan tubuh yang berhubungan dengan
infeksi oportunistik dan tumor ganas disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV dibagi dua tipe, yaitu : HIV-
1 dan HIV- 2. HIV-1 lebih cepat menyebabkan AIDS dan bersifat akut,
sedangkan HIV-2 menyebabkan AIDS lebih lambat dan bersifat kronik.
Menurut data WHO 2010, angka kejadian HIV dari 119 negara secara
global menurut mencapai 35.000.000 orang terinfeksi HIV (sekitar
33.200.000- 37.200.000 orang) dan 15.000.000 0rang meninggal .
Secara morfologi HIV-2 sama dengan HIV-1, tetapi kurang patogenik.
Kedua tipe tesebut dapat dibedakan melalui adanya atau tidak adanya
antibodi yang spesifik pada HIV-2. Meskipun reaktivitas (cross
reactivity) terjadi antara protein inti kedua virus, tetapi protein
pembungkus (envelope) mereka berbeda.

4
5

2.1.2 Etiologi
Melemahnya system imun akibat HIV menyebabkan timbulnya gejala
AIDS. HIV tergolong pada kelompok retrovirus dengan materi genetic
dalam Rebonukleat Acid (RNA), menyebabkan AIDS dan menyerang
sel khususnya yang memiliki antigen permukaan CD4 terutama sel
limfosit T4 yang mempunyai peran penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus HIV juga bisa
menginfeksi sel monosit dan magrofag, sel lagerhands pada kulit, sel
dendrit pada kelenjar linfa, makrofag pada alveoli paru, sel retina, dan
sel serviks uteri. Lalu kemudian virus HIV akan masuk kedalam
limfosit T4 dan menggandakan dirinya selanjutnya akan
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Ketika sistem kekebalan tubuh
yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerang maka virus ini
akan menyebabkan seseorang mengalami keganasan dan infeksi
oportunistik (Suliso, 2006 dalam Fauzan 2015). 5 fase transmisi infeksi
HIV dan AIDS yaitu:
1. Window Periode/Periode Jendela
Kondisi dimana seseorang sudah terinfeksi HIV tapi tubuhnya
belum memproduksi antibodi HIV, jika dites HIV akan
menunjukan non-reaktif/negative, tapi sebenarnya sudah
terinfeksi, HIV ini tidak langsung memperlihatkan gejala
tertentu, sebagian menunjukan gejala – gejala yang tidak khas
seperti infeksi akut. Sekitar 3 – 6 minggu setelah terkena virus
HIV.Contoh : ruam, pusing, demam, nyeri tenggorokan, tidak
enak badan seperti orang flu biasa.
2. Stadium 1/Asimtomatik (Tanpa Gejala)
Disini antibody HIV sudah terbentuk artinya walaupun tidak ada
gejala HIV tapi jika di tes HIV hasilnya sudah positif/re-aktif
atau kadang hanya sedikit pembengkakan pada kelenjar getah
bening. Periode ini bisa bertahan berfariasi setiap orang ada yang
8-10 tahun, ada yang jauh lebih cepat berprogresif ada yang
6

sampai 15 tahun. Setelah di stadium 1 jika tidak ketahuan dan


tidak dobati akan berlanjut ke HIV stadium 2.
3. Stadium 2: BB turun <10% + gejala penurunan system imun
Pada stadium ini mulai menunjukan beberapa gejala - gejala,
berat badan mulai turun tapi kurang dari 10% berat badan
normal, mulai muncul penyakit – penyakit seperti ada jamur di
kuku, sariawan yang tidak sembuh – sembuh dan berulang –
ulang terjadi. Gejala awal yang menunjukan system imun
seseorang itu mulai menurun tapi belum terlalu parah namun jika
pada stadium ini belum juga ketahuan dan belumdiobati maka
akan lanjut ke stadium 3.
4. Stadium 3
BB turun >10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti
demam yang tidak berhenti walaupun sedah diberikan obat
penurun panas setelah efeknya hilang dan muncul lagi,
kandidiasis oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul gejala TB
paru ini semua adalah penyakit disebabkan karena turunnya
system pertahannan tubuh/system imun. Kemudian jika tidak
juga diobati maka akan menuju HIV stadium 4.
5. Stadium 4: HIV Wasting Syndrome-AIDS
Tahap ini sudah masuk pada AIDS gejala yang dialami sudah
semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit berjamur, mulut
berjamur, kuku berjamur. Wasting syndrome artinya hanya
tinggal kulit dan tulang.
2.1.2 Epidemiologi
Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika
(25,7 juta orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika
(3,5 juta). Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9
juta orang. Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara
mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan
penularan virus ini.
7

Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia


mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di
regional Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun
terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.
Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa
Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada
tahun 2017 kasus HIV terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi
tersebut. Sedangkan jumlah kasus AIDS terbanyak adalah Jawa
Tengah, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Kasus
AIDS di Jawa Tengah adalah sekitar 22% dari total kasus di Indonesia.
Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai dengan
2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa.
Kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Kasus HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan
kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini
sejalan dengan hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun
2008-2019, dimana persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi
dari perempuan ( Kemenkes RI, 2020)

2.1.3 Patofisiologi
Apabila virus HIV masuk kedalam tubuh seseorang dan bagaimana
caranya virus itu masuk kedalam tubuh sesorang, bisa melalui darah,
jadi bisa karena transfuse atau penggunaan jarum suntik yang bekas
pakai yang bergantian misalnya dan tidak steril kemudian jarumnya
bekas dipakai orang yang terinfeksi HIV maka akan menular. Jadi
menularnya melalui kontak lewat darah/cairan bukan kontak fisik maka
ketika sudah tertular virus akan masuk kedalam system peredaran
darah/tubuh seseorang. Kemudian setelah virus masuk kedalam
peredaran darah organ atau target yang akan diserang pertama kali oleh
virus ini adalah sel darah putih manusia atau sel CD4 jadi sel darah
8

putih itu ada limfosit, leukosit virus ini menyerang CD4 dari sel darah
putih limfosit. Virus ini nanti akanbinding atau terikat. Jadi di CD4
diluar dari permukaan CD4 itu ada reseptor dimana reseptor ini cocok
dengan sereptor yang di miliki oleh virus HIV jadi mereka bisa
bergabung. Karena sudah tergabung maka virus ini akanbinding/terikat
kemudian virus ini akan mengalami fusion setelah itu virus HIV akan
masuk kedalam sel CD4. Jadi virus HIV itu hanya memiliki RNA tidak
mempunyai DNA agar virus HIV tetap bertahan atau berkembang biak
atau reprekasi virus HIV harus memiliki DNA oleh karena itu HIV
memanfaatkan enzim reverse trancriptase untuk membantu mensintesa
DNA dari RNA. Lalu terbentuklah DNA dari virus HIV. Kemudian
DNA dari virus HIV akan memasuki nucleus dari sel CD4 dan akan
bergabung disana, dan berintegrasi dengan DNA manusia tujuannya
untuk bereplekasi karena ketika sel CD4 bereplekasi otomatis dia akan
ikut bereplikasi. Setelah itu virus HIV akan assembly atau menyusun
virus baru kemudian setelah virus barunya tersusun dan protein –
protein lainnya maka virus HIV akan bereplekasi dan menyusun dirinya
menjadi bakal/diaimatur, virus ini non infeksius. Untuk proses
pematangannya setelah sel ini meninngalkan sel CD4. Selanjutnya
akanmerilist protease sehingga menjadi sel yang matur atau infeksius.
Karena itu sel CD4 ini akan menjadi parameter ketika penegakan
diagnose dari HIV disebabkan CD4 adalah target dari HIV. (Martens.et
al,2014, Kummar.et al,2015).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase tergantung
perjalanan infeksi HIV itu sendiri.
2.1.4.1 Fase Infeksi Akut
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular
karena terjadi viremia. Akan terjadi penurunan sel limfosit
CD4 yang signifikan dalam 2-8 minggu pertama kemudian
9

terjadi kenaikan kembali karena mulai terjadi respon imun.


Perhitungan sel CD4 biasanya masih sekitar 750-1000 / mL.
Konsentrasi virus HIV dalam plasma dan sekret genital
ditemukan sangat tinggi, namun test terhadap antibodi HIV
sering ditemukan masih negatif. Serokonversi terjadi pada
fase ini dan antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3-
6 bulan sesudah infeksi. Hampir semua kasus infeksi HIV
mengalami gejala klinis tersebut dan nampaknya perlu
dipahami untuk menegakkan diagnosis dini dan mengambil
langkah-langkah selanjutnya. Pertanyaan “apakah bukan
AIDS” pada keadaan seperti itu, meningkatkan penemuan
infeksi HIV secara dini. (U.S. Department of Health and
Human Services, 2014).
2.1.5.2 Fase Infeksi Kronis Asimptomatik (Laten)
Virus terakumulasi dalam kelenjar limfe dan jarang
ditemukan dalam plasma. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe menyeluruh (limfadeopati
generalisata persisten / LGP), meskipun ini bukanlah hal yang
bersifat prognostik dan tidak berpengaruh bagi hidup penderita.
Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi
biasanya masih pada hitungan 500 sel / mL. Pada fase ini
secara sporadis muncul penyakit-penyakit autoimun misalnya
lain idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP). Juga sindrom
Guillain-Barre akut, poliomielitis idiopatik dapat muncul.
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase
infeksi akut akan mencapai suatu jumlah tertentu (set point)
selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu
terjadinya AIDS. Apabila jumlah virus < 1000 kopi / mL darah,
periode laten kemungkinan akan > 10 tahun sebelum terjadi
AIDS, apabila jumlahnya < 200 kopi / mL darah maka infeksi
10

HIV tidak mengarah menjadi AIDS. Pasien dengan set point >
100.000 kopi / mL darah akan mengalami penurunan sel CD4
lebih cepat dah berkembang menjadi AIDS < 10 tahun. Fase
laten berlangsung sekitar 3-13 tahun setelah terinfeksi HIV
(Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R. 2015)

2.1.5.3 Fase Infeksi Kronis Simptomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena
infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat
timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
penderita. Di dalam kelenjar limfe akan terus terjadi replikasi
virus diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler dan
limfosit T4 sebagai target utama virus HIV. Fungsi kelenjar
limfa sebagai penangkap virus sudah menurun bahkan hilang
dan terjadi peningkatan virion dalam sirkulasi darah.
A. Penurunan Imunitas Sedang CD4 200-500 (Sub-fase A)
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit yang lebih
ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes
simpleks, namun dapat sembuh spontan atau hanya dengan
pengobatan biasa. Penyakit kulit seperti dermatitis
seboroik, veruka vulgaris, moluskum kontangiosum atau
kandidiasis oral sering timbul. Keganasan, AIDS Related
Complex (ARC) dan keadaan yang disebut AIDS juga dapat
timbul pada fase B.
Keadaan yang disebut AIDS (CDC, revisi 1993)
dapat terjadi pada sub-fase ini: misalkan bila sudah
ditentukan sarkoma kaposi, limfoma non-Hodgkin dan
lainnya. AIDS Related Complex adalah keadaan yang
ditandai oleh paling sedikit dua gejala dari gejala-gejala
berikut:
- Demam yang berlangsung > 3 bulan
11

- Penurunan berat badan > 10%


- Diare
- Limfadenopati berlangsung > 3 bulan
- Kelelahan dan keringat malam

dengan ditambah paling sedikit 2 kelainan laboratorium


berikut:
- CD4 < 400 / mL
- Ratio CD4 / CD8 < 1.0
- Leukotrombositopenia dan anemia
- Peningkatan serum imunoglobulin
- Penurunan blastogenesis sel limfosit
- Tes kulit anergi

B. Penurunan Imunitas Berat : CD4 < 200 (Sub-fase B)


Selanjutnya jumlah virion terus meningkat dengan
cepat sedangkan respon imun semakin tertekan sehingga
pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi
yang disebabkan oleh virus, jamur, bakteri bahkan
protozoa. Akan terjadi peningkatan jumlah virion
berlebihan dalam sirkulasi (viremia terjadi untuk kedua
kalinya) dan boleh dikatakan tubuh sudah dalam keadaan
kehilangan kekebalannya. Jumlah sel T CD4 < 200 sel /
mL.
Pada sub-fase ini terjadi infeksi oportunistik berat
yang sering mengancam jiwa penderita seperti
pneumocystitis carinii (PCP), toksoplasma, cryptococcosis,
tuberkulosis (TB) paru, Cytomegalovirus / CMV dan
lainnya, menandakan sudah berkembang menjadi AIDS.
Keganasan juga sering timbul pada sub-fase ini meskipun
sering pada fase yang lebih awal.
12

2.1.6 Klasifikasi
Sistem klasifikasi stadium HIV berdasarkan WHO (terakhir
direvisi tahun 2007) ditunjukkan dalam tabel 1, dapat digunakan di
negara dengan sumber daya terbatas yang tidak memiliki fasilitas
memadai untuk melakukan penghitungan sel CD4 atau metode
diagnostik HIV lainnya. Sistem WHO mengklasifikasikan stadium HIV
hanya berdasarkan keadaan klinis yang bisa dikenali oleh klinisi, tanpa
membutuhkan pengalaman atau pelatihan khusus. Kondisi klinis
dikategorikan menjadi stadium 1-4 serta batasan orang dewasa dan
remaja didefinisikan berusia ≥ 15 tahun (U.S. Department of Health and
Human Services, 2014).
Pasien dimasukkan ke dalam suatu stadium ketika mereka
menunjukkan minimal satu gejala yang termasuk ke dalam kriteria
stadium tertentu. World Health Organization menyatakan manifestasi
klinis stadium 4 yang langsung dapat didiagnosis sebagai AIDS adalah
HIV wasting syndrome, pneumonia pneumocystis, pneumonia bakteri
berat atau secara radiologis dan rekuren, infeksi herpes simpleks kronik
(orolabial, genital atau anorektal > 1 bulan), tuberkulosis ekstraparu,
sarkoma Kaposi, toksoplasmosis pada sistem saraf pusat, ensefalopati
HIV.
Stadium Klinis Kondisi Klinis atau Gejala
Infeksi primer  Asimptomatis
HIV  Sindrom retrovirus akut
Infeksi stadium I  Asimptomatis
 Limfadenopati generalisata persisten
Infeksi stadium II  Penurunan berat badan sedang yang tidak
diketahui sebabnya (<10% dari berat badan
yang terukur)
 Infeksi tractus respiratorius rekuren
(sinusitis, bronchitis, otitis media, faringitis)
 Herpes Zoster
 Cheilitis angular
 Ulserasi oral rekuren
 Erupsi pruritic popular
13

 Dermatitis seboroik
 Infeksi jamur pada kuku jari ektremitas
Infeksi stadium  Penurunan berat badan yang berat (>10%
III *Kondisi berat badan yang terukur)
dimana dugaan  Diare kronis tanpa diketahui penyebabnya
diagnosis dibuat selama >1 bulan
berdasarkan  Kandidiasis oral
gejala klinis atau  Oral hairy leukoplakia
dengan  TB paru, didiagnosis selama 2 tahun terakhir
investigasi  Infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema,
sederhana piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
meningitis, bakteremia)
 Stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif
nekrosis akut
 Kondisi anemia yang tidak diketahui
penyebabnya (<8 g/dl) dengan atau
neutropenia (500/mm3) atau trombositopeni
(<50.000/mm3) selama >1 bulan (kondisi
dikonfirmasi melalui uji diagnostic)
Infeksi stadium  HIV wasting syndrome
IV *Kondisi  Pneumonia pneumocystis
dimana dugaan  Pneumonia bakteri berat atau secara radiologi
diagnosis dibuat dan rekuren
berdasarkan  Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial,
gejala klinis atau genital atau anorectal dalam durasi >1 bulan)
dengan  Kandidiasis esofageal
investigasi  TB Ekstraparu
sederhana
 Sarkoma Kaposi
 Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat
 Ensefalopati HIV
 Kriptokokosis ekstrapulmoner, termasuk
meningitis
 Infeksi mycobacteria non-tuberculous
progresif
 Progressive multifocal leukoencephalopathy
(PML)
 Kandidiasi pada trakea, bronkus atau paru
 Kriptosporidiosis
 Isosporiasis
 Infeksi herpes simpleks visceral
 Infeksi cytomegalovirus (rhinitis atau organ
lain selain hati, limpa dan kelenjar limfe)
 Mikosis diseminata (histoplasmosis,
coccidiomycosis, penicillosis)
14

 Recurrents non typhoidal salmonella


septicaemia
 Limfoma (serebri atau non-Hodgkin sel B)
 Karsinoma serviks invasive
 Leishmaniasis visceral
Tabel 1. Klasifikasi stadium WHO untuk orang dewasa dan remaja
terinfeksi HIV.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Antigen P24
Salah satu cara pemeriksaan langsung terhadap virus HIV
untuk mendiagnosis HIV adalah pemeriksaan antigen p24 yang
ditemukan pada serum, plasma, dan cairan sererbrospinal. Kadarnya
meningkat saat awal infeksi dan beberapa saat sebelum penderita
memasuki stadium AIDS. Oleh karena itu pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai alat monitoring terapi ARV. Sensitivitas
pemeriksaan ini mencapai 99% dan spesifitasnya lebih tinggi hingga
99,9%. Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat
positif hingga 45 hari setelah infeksi, sehingga pemeriksaan antigen
p24 hanya dianjurkan sebagai pemeriksaan tambahan pada
penderita risiko tinggi tertular HIV dengan hasil pemeriksaan
serologis negatif, dan tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan awal
yang berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang baru lahir dari ibu
HIV positif. Sensitivitasnya bervariasi sesuai umur dan stabil pada
bayi berumur lebih dari 1 bulan (Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R.
2015).

2. Kultur HIV
HIV dapat dikultur dengan cairan plasma, serum,
peripheral blood mononuclear cells, cairan serebrospinal, saliva,
semen, lendir serviks, serta ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh
15

dalam 21 hari. Pada saat ini kultur hanya digunakan untuk


kepentingan penelitian, karena nilai diagnostiknya telah tergantikan
oleh pemeriksaan HIV-RNA yang lebih mudah, murah dan lebih
sensitive (Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R. 2015).
3. HIV RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga viral load adalah
pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui
jumlah HIV dalam darah. Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna
untuk mendiagnosis HIV pada keadaan pemeriksaan serologis
belum bisa memberikan hasil (misalnya window period atau bayi
yang lahir dari ibu HIV positif) atau pemeriksaan serologis
memberikan hasil intermediate. HIV-RNA dapat positif pada 11
hari setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada
skrinning donor darah. Selain untuk diagnostik HIV-RNA juga
merupakan alat paling penting dalam monitoring pengobatan ARV
saat ini. Hasil negative semu dapat ditemukan karena penggunaan
plasma heparin, variasi genomik HIV, kegagalan primer / probe
atau jumlah virus yang kurang dari batas minimal deteksi alat
pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu dapat juga terjadi
terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hal positif semu
ini dapat dicegah dengan mensyaratkan PCR positif bila ditemukan
2 atau lebih produk gen (Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R. 2015).
4. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV secara umum diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan
(skrinning) dan pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling
banyak digunakan untuk pemeriksaan penapisan adalah Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA), karena metode ini dianggap
yang paling cocok digunakan untuk penapisan spesimen dalam
jumlah besar seperti donor darah. Metode ELISA mengalami
perkembangan dengan menggunakan antigen yang dilabel sebagai
16

konjugat sehingga hasil pemeriksaan sangat sensitif dan dapat


mengurangi masa jendela, pada ELISA generasi 4 dibuat
pemeriksaan yang dapat mendeteksi baik antibodi dan antigen HIV
(Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R. 2015).
Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan serologi lain
yang dapat digunakan adalah pemeriksaan sederhana yang tidak
membutuhkan alat seperti aglutinasi, imunofiltrasi (flow through
tests), imunokromatografi (lateral flow tests), dan uji celup
(dipstick). Hasil yang positif pada metode ini diindikasikan dengan
timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglutinasi. Pemeriksaan pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang
dari dari 20 menit, sehingga sering disebut uji cepat dan sederhana
(simple rapid test). Pemeriksaan dengan metode sederhana ini
sangat sesuai digunakan pada pelayanan pemeriksaan dan konseling
serta pada laboratorium dengan fasilitas yang terbatas dengan
jumlah spesimen perhari yang tidak terlalu banyak.
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling sering
digunakan adalah pemeriksaan Western Blot (WB). Sayangnya,
pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang besar dan seringkali
memberikan hasil yang meragukan. WHO dan UNAIDS
merekomendasikan penggunaan kombinasi ELISA dan atau uji
cepat untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV dibandingkan
kombinasi ELISA dan WB (Nelwan, E.J. dan Wisaksana, R. 2015).

2.1.8 Diagnosis Banding


Diagnosa banding HIV/AIDS sebagai berikut:
1. HIV/AIDS.
merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus (Bennet NJ, 2020).
2. Malignant Imunoblastic Lymphoma
Limfoma imunoblastik (IBL), juga dikenal sebagai limfoma
17

histiositik difus, adalah kelainan ganas sel B. Gejala berupa keringat


malam yang banyak, demam biasanya ringan, dan pasien mungkin
melaporkan penurunan berat badan yang tidak disengaja lebih dari
10% dalam 6 bulan. Gejala lain mungkin termasuk kelelahan
(anemia) dan defisit neurologis (keterlibatan sistem saraf pusat).
3. Mycobacterium Avium Complex (MAC) (Bennet NJ, 2020).
MAC terutama merupakan patogen paru yang mempengaruhi
individu yang kekebalannya terganggu (misalnya, dari AIDS,
leukemia sel berbulu, kemoterapi imunosupresif). bermanifestasi
sebagai batuk, produksi sputum, penurunan berat badan, demam,
lesu, dan keringat malam. Timbulnya gejala berbahaya. Gejala
mungkin ada selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Banyak pasien hanya mengalami batuk kronis dengan produksi
sputum purulen. Hemoptisis jarang terjadi pada infeksi MAC
(Bennet NJ, 2020).
4. Kriptokokosis.
Kriptokokosis merupakan infeksi jamur utama yang mengancam
jiwa pada pasien dengan infeksi HIV berat dan juga dapat
mempersulit transplantasi organ, keganasan retikuloendotelial,
pengobatan kortikosteroid, atau sarkoidosis. Pasien terinfeksi HIV
dengan Kriptokokosis paru dapat menunjukkan gejala berupa
demam, batuk, dispnea, sakit kepala dan penurunan berat badan
(Bennet NJ, 2020).
5. Severe Combined Immunodeficiencies (SCID)
Adalah gangguan medis yang dihasilkan dari cacat genetic pada
imunitas seluler dan humora. Cacat kekebalan tersebut menyebabkan
infeksi bakteri, virus, dan pathogen jamur yang dimulai selama masa
bayi dan jika tidak diobati berakibat fatal. Gangguan SCID harus
dircurigai pada bayi / anak gagal untuk berkembang, Infeksi saluran
pernapasan atas dan bawah berulang yang tidak merespons antibiotik
yang sesuai, dan Infeksi kulit berulang dan penyembuhan luka yang
18

tertunda (Bennet NJ, 2020).

2.1.9 Diagnosa Kerja


HIV/AIDS

2.1.10 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu :
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Anti
Retroviral (ARV)
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis,
hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat
ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat
berkurang (Djoerban, Z. dan Djauzi, S. 2015).

1) Terapi Antiretroviral
Terapi antiretroviral selama fase akut dapat secara
signifikan menurunkan penularan infeksi terhadap orang lain,
meningkatkan marker infeksi, meringankan gejala penyakit
penyakit, menurunkan titer virus, mengurangi reservoir virus,
menekan replikasi virus dan mempertahankan fungsi
imunitas.19
Sekarang ini prinsip pemberian ARV adalah harus
menggunakan tiga jenis obat yang ketiganya harus terserap
dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dengan istilah Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
dan seringkali disingkat menjadi Antiretroviral Therapy
19

(ART). Panduan yang ditetapkan Departemen Kesehatan


(depkes) Indonesia untuk lini pertama ARV adalah 2 NRTI +
1 NNRTI, dengan panduan ART pada tabel 3.23
Zidovudine +
AZT + 3TC +
Lamivudine + ATAU
NVP
Nevirapine
Zidovudine +
AZT + 3TC +
Lamivudine + ATAU
EFP
Efavirenz
Tenofovir +
TDF + 3TC
Lamivudine (atau
(atau FTC) + ATAU
Emtrictabine) +
NVP
Nevirapine
Tenofovir +
TDF + 3TC
Lamivudine (atau
(atau FTC) +
Emitricitabine) +
EFV
Efavirenz
Tabel 2. Rekomendasi Panduan Lini Pertama Untuk Orang
Dewasa Yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV
(Depkes)

Centers for Disease Control menyarankan pemberian


antriretroviral pada keadaan asimptomatik bila CD4 < 300
sel / mL dan CD4 < 500 sel / mL pada simptomatik. Dosis
zidovudine adalah 500-600 mg / hari dengan cara diminum
100 mg setiap 4 jam saat pasien terjaga. Regimen 250-300 mg
sementara tidak tersedia di Indonesia, bila tersedia dapat
diberikan setiap 12 jam. Dosis lamivudine adalah 300 mg
sehari, diminum 150 mg setiap 12 jam. Emtricitabine
merupakan turunan dari lamivudine, dosis diberikan 200 mg
setiap 24 jam dan lebih dianjurkan bila tersedia.
World Health Organization menekankan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap yang diminum satu kali dalam sehari
dan diskontinuitas stavudine (d4T) sebagai terapi lini pertama
karena menyebabkan toksisitas metabolik. Sedangkan dosis
efavirenz dikurangi sehingga menurunkan biaya dan
20

meningkatkan toleransi obat. Pada tabel 4 disebutkan obat


ARV yang direkomendasikan WHO sebagai terapi lini kedua
dan ketiga untuk semua kelompok usia (WHO, 2015).
Popuation 1st Line 2nd Line 3rd Line
Regimen Regimens Regimens
Adults 2 NRTIs + 2 NRTIs + DRV/r1 + DTG
EFV ATV/r or (or RAL) ± 1-2
LPV/r NRTIs
2 NRTIs +
DRV/r
2 NRTIs + 2 NRTIs + DRV/r + 2
DTG ATV/r or NRTIs ± NNRTI
LPV/r
2 NRTIs + Optimize
DRV/r Regimen Using
Genotype Profile
Pregnant / 2 NRTIs + 2 NRTIs + DRV/r + DTG
breastfeedin EFV ATV/r or (or RAL)
g women LPV/r
2 NRTIs +
DRV/r
Children 2 NRTIs + If less than 3 DTG4 + 2NRTIs
LPV/r year : 2 NTRIs DRV/r3 + 2
+ RAL2 NRTIs
DRV/r3 + DTG4
± 1 – 2 NRTIs
2 NRTIs + If older than 3
EFV years : 2
NRTIs + EFV
or RAL
2 NRTIs +
ATV/r5 or
LPV/r
Tabel 3. Rekomendasi Regimen ARV Lini Pertama, Kedua, dan Ketiga
(WHO, 2015). ATV/r = Atazanavir / ritonavir (low dose), LPV/r =
Lopinavir / ritonavir (low dose), DRV/r = Darunavir / ritonavir (low
dose), DTG = dolutegravir, RAL = raltegravir, EFV = Efavirenz.

Keputusan untuk mengubah terapi dan pemilihan regimen


dilakukan dengan hati-hati, pada prinsipnya dilakukan
perubahan total semua obat dari regimen yang sebelumnya
dipakai untuk memperoleh keuntungan maksimal dan
21

mencegah terjadinya resistensi. Terapi lini kedua harus


memakai protease inhibitor diperkuat oleh ritonavir ditambah 2
NRTI. Pemilihan zidovudine / tenofovir tergantung apa yang
digunakan sebelumnya. Sedangkan lini ketiga diberikan pada
pasien yang mengalami kegagalan terapi lini kedua, berupa
obat ARV baru dengan risiko minimal terjadi resistensi silang
dengan regimen terapi yang pernah dipakai sebelumnya (WHO,
2015).
Pada dasarnya pemeriksaan laboratorium bukan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV namun
pemeriksaan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat
diajurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada orang
yang hidup dengan HIV / AIDS (ODHA) yang menerima terapi
ARV. Viral load merupakan metode yang paling ideal untuk
memantau keberhasilan terapi. Rekomendasi terbaru
mengusulkan tes viral load dilakukan 6 bulan dan 12 bulan
setelah dimulainya terapi ART dan selanjutnya setiap 12 bulan
(WHO, 2015).
2) Terapi Antiretroviral pada populasi khusus
Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang
memerlukan perhatian khusus ketika akan memulai ART,
antara lain pasien usia tua, perempuan hamil, kelompok
pemakai obat terlarang menggunakan jarum suntik dan
pengguna metadon, keadaan ko-infeksi dengan TB serta
hepatitis B dan C. Pada kelompok pasien usia tua semakin
penting untuk dimulai pemberian ART sedini mungkin karena
memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi AIDS yang
berat dan memiliki respon imunologis yang menurun.25,26
Pasien HIV / AIDS ko-infeksi TB yang belum pernah
mendapat terapi ARV, mulai terapi ARV berapapun jumlah
CD4. Pemberian terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju
22

TB sampai 90% dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.


Tenofovir dianjurkan menggantikan stavudine, sebagai lini
pertama. Bila menggunakan triple NRTI, regimen yang
dianjurkan yaitu zidovudine + lamivudine + tenofovir
disoproxil fumarate.25
Pasien HIV / AIDS ko-infeksi hepatitis B / C yang
belum pernah mendapat terapi ARV, mulai terapi ARV
berapapun jumlah CD4. Infeksi hepatitis B dan C tidak
mempengaruhi progresifitas penyakit HIV namun infeksi HIV
akan mempercepat progresifitas penyakit hepatitis dan
terjadinya end stage liver disease. Perlu dipantau ketat risiko
hepatotoksisits yang berhubungan dengan interaksi obat. Terapi
ARV untuk ibu hamil HIV positif untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak, ditunjukkan dalam tabel (U.S.
Department of Health and Human Services, 2014).

1 Ko-infeksi HIV / TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV


*Gunakan NVP / Triple NRTI bila
EFV tidak dapat digunakan
2 Ko-infeksi HIV / Hepatitis TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP
B/C *Diperlukan penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV.
Pertimbangkan pemeriksaan HbsAg
terutama bila TDF merupakan paduan
lini pertama.
3 Wanita dengan indikasi  AZT + 3TC + NVP atau
terapi ARV dan  TDF + 3TC (FTC) + NVP
kemungkinan hamil / *Hindari EFV pada trimester pertama
sedang hamil  AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC(FTC) + EFV
4 Wanita sedang dalam  Lanjutkan paduan (ganti dengan
terapi ARV dan kemudian NVP atau golongan protease
hamil inhibitor jika sedang menggunakan
EFV pada trimester pertama.
 Lanjutkan dengan ARV yang sama,
selama dan sesudah persalinan
5 Wanita hamil dengan ARV mulai pada minggu ke-14
23

jumlah CD4 > 350 sel/mL kehamilan


atau dalam WHO stadium *panduan sesuai dengan butir 3
klinis I
6 Wanita hamil dengan Segera mulai terapi ARV
jumlah CD4 ≤ 350 sel /
mL ATAU dalam WHO
stadium klinis II, III, IV
7 Wanita hamil dengan TB  Obat anti tuberkulosis yang sesuai
aktif tetap diberikan.
 Paduan ARV untuk ibu, bila
pengobatan mulai trisemester II dan
III :
AZT (TDF) + 3TC + EFV
8 Wanita hamil dalam masa  Tawarkan tes dalam masa
persalinan dan tidak persalinan; atau tes setelah
diketahui status HIV persalinan
 Jika hasil tes reaktif maka dapat
diberikan paduan seperti butir 3
9 Wanita datang pada masa Paduan seperti butir 3
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Tabel 4. Rekomendasi Terapi ARV pada Populasi Khusus.25. AZT =
Azidothymidine (zidovudine), TDF = Tenofovir disoproxil fumarate, 3TC
= lamivudine, FTC = emtricitabine, EFV = efavirenz.

3) Penatalaksanaan Stadium Lanjut


Terlepas dari tersedianya terapi antiretroviral, banyak
kasus infeksi HIV baru terdeteksi pada stadium lanjut. Pada
stadium ini, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun
dan banyak komplikasi dapat terjadi, umumnya berupa infeksi
oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Bila sekali
muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa
macam infeksi terjadi bersamaaan. Keadaan ini memerlukan
pengobatan yang rumit dan penanganan sebaiknya dilakukan
oleh sebuah tim (Centers for Disease Control and Prevention,
2015).
Pemberian zidovudine terutama tetap banyak memberi
manfaat. Pada keadaan yang berat dosis ZDV diperlukan lebih
tinggi, agar dapat menembus ke susunan saraf pusat (SSP).
24

Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai


dosis awal pada penderita dengan berat 70 kg, diberikan ZDV
1000 mg dalam 4-5 kali pemberian. Infeksi oportunistik
biasanya harus diobati terlebih dahulu sebelum memulai ART.
Berikut beberapa kondisi infeksi oportunistik dan keganasan,
penanganannya serta waktu memulai ART, pada tabel 6
(National AIDS Control Organization Government of India,
2013).

Infeksi Oportunistik Obat yang diberikan Waktu memulai ART


Demam + infeksi aktif Terapi Standar Diagnosis dan obati
yang belum terdiagnosis dahulu; baru mulai
ART
Diare akut Terapi Standar Diagnosis dan obati
dahulu; ART dimulai
setelah diare terkontrol
Pneumocystis carinii Trimethoprim + Obat PCP dahulu; ART
Sulfamethoksasol plus dimulai setelah
Dapson pengobatan selesai
Pneumonia bakteri Terapi standar Obati pneumonia
dahulu; ART dimulai
setelah pengobatan
selesai
Toksoplasmosis Pyrimethamin plus Obati toxoplamosis
(Toxoplasma gondii) Sulfadizain dahulu; ART dimulai 6
minggu setelah
pengobatan dan kondisi
pasien baik
Kandidiasis esofagus Flukonazol / Amfoterisin Obati kandidiasis
B iv terlebih dahulu; ART
dimulai setelah pasien
dapat menelan
Infeksi jamur invasive : Amfoterisin B Obati infeksi dahulu;
Cryptococcus ART dimulai setelah
neoformans, kondisi baik /
Histoplasmosis, pengobatan selesai
Coccidiomycosis
Mycobacterium Triple drug minimal 9 Obati TB dahulu; ART
tuberculosis bulan. Bila double drug dimulai dalam 2
(tanpa isoniazid / minggu
rifampisin) pengobatan
minimal 18 bulan
25

Mycobacterium avium Klaritromisin, Obati infeksi terlebih


complex Azitromisin dahulu; ART dimulai
dalam 2 minggu
Multifokal Asiklovir, Sitarabin Langsung mulai ART
leukoensefalopati
progresif
Herpes Virus Asiklovir, Valasiklovir, Langsung mulai ART
Famsiklovir,
Cytomegalo virus Gansiklovir, Foscarnet Obati dahulu jika obat
tersedia; jika tidak
tersedia langsung mulai
ART
Isosporiasis Trimethoprim + Langsung mulai ART
Sulfamethoksasol
Malaria Obati malaria terlebih
dahulu; ART dimulai
setelah pengobatan
selesai
Salmonella Terapi Standar Langsung mulai ART
Infeksi piogenik Terapi Standar Langsung mulai ART
Anemia ringan <8gr/l Jika tidak ditemukan
penyebab anemia
lainnya langsung ART;
hindari AZT
Reaksi obat keganasan Jangan mulai ART saat
reaksi akut
Sarkoma Kaposi Sitostatik sistemik / lokal Langsung mulai ART
radioterapi
Limfoma Non-Hodgkin Sitostatik regimen Langsung mulai ART
kombinasi CHOP
Tabel 5. Beberapa jenis infeksi oportunistik, obat yang dipakai dan waktu
memulai ARV

4) Perawatan Fase Terminal


Sampai saat ini dinyatakan bahwa infeksi HIV dan AIDS
adalah penyakit yang belum dapat disembuhkan, oleh karena
itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase
terminal sebelum datangnya kematian. Fase terminal
didefinisikan sebagai periode dimana terjadi penurunan
vitalitas, nafsu makan dan kesadaran yang terlihat dari hari ke
hari dan tidak diketahui kapan kematian akan terjadi. Pada fase
26

terminal dimana penyakit sudah tidak teratasi, pengobatan yang


diberikan pada fase terminal hanya bersifat simptomatik
dengan tujuan agar penderita merasa nyaman, bebas dari rasa
mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa
cemas (National AIDS Control Organization Government of
India, 2013).

2.1.11 Prognosis
Faktor-faktor tertentu berkorelasi dengan prognosis yang lebih
buruk dari kondisi terkait AIDS: ras Afrika-Amerika atau campuran,
jumlah infeksi oportunistik, status fungsional dan gizi yang buruk,
anemia, penyalahgunaan zat aktif, jumlah CD4+ yang rendah, dan viral
load HIV yang tinggi.
Untuk pasien yang tidak menerima ART dengan jumlah CD4 <50,
kelangsungan hidup berkisar antara 12-27 bulan; mereka dengan jumlah
CD4+ <20 memiliki kelangsungan hidup rata-rata 11 bulan.
Banyak pasien meninggal bukan karena HIV/AIDS. Dalam satu
penelitian berbasis rumah sakit besar, 78% kematian tidak terkait AIDS.
Yang mengejutkan, kematian ini lebih terkait dengan penggunaan
combined Anti Retroviral Therapy (cART), jumlah CD4+ yang lebih
tinggi, dan viral load HIV yang ditekan.
Kriteria kelayakan rumah sakit meliputi: tidak adanya terapi cART,
penurunan status kinerja (Skala Kinerja Paliatif <50%), jumlah CD4+
<25 sel/mcL, dan viral load >100.000 kopi/mL ditambah limfoma SSP,
AIDS wasting syndrome (> penurunan berat badan 10% yang tidak
disebabkan oleh kondisi lain); Mycobacterium Avium Complex (MAC);
Progressive Multifocal Leukoencephalopaty (PML); limfoma sistemik;
sarkoma Kaposi visceral, gagal ginjal tanpa dialisis, infeksi
kriptosporidium, atau toksoplasmosis.
Beberapa ahli telah menggambarkan "efek Lazarus" di mana
pasien AIDS tampaknya akan segera sekarat, hanya untuk mengalami
27

pemulihan medis yang dramatis dengan (kembali) institusi terapi cART.


Karena bidang pengobatan HIV berkembang pesat, kolaborasi erat
dengan spesialis HIV yang merawat direkomendasikan mengenai
prognosis dan pilihan pengobatan.
Infeksi oportunistik dan Kondisi Terkait HIV Non-ganas. Tidak
hanya insiden infeksi oportunistik menurun secara dramatis sejak awal
1990-an, tetapi kelangsungan hidup 5 tahun setelah infeksi oportunistik
terdefinisi AIDS sekarang adalah 65%. Di bawah ini adalah data
prognostik untuk infeksi oportunistik dan kondisi terkait HIV yang
paling umum dalam insiden menurun selama 2000-2015 :
- Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP): insiden kematian 9,7-
11,6%. Indikator prognostik yang buruk meliputi: usia> 50,
gagal napas, masuk ICU, anemia, albumin rendah, diagnosis
HIV baru. Setelah pengobatan PCP berhasil, kelangsungan
hidup satu tahun adalah 94% dan kelangsungan hidup 5 tahun
adalah 73%.
- AIDS Wasting Syndrome: kematian 5 tahun adalah 23%.
- Meningitis kriptokokus: mortalitas 90 hari adalah 10-19%.
Kematian 1 tahun adalah 16-26%. Peningkatan usia, tekanan
intrakranial >25 cm, kultur CSF positif setelah 2 minggu terapi,
kriptokoksemia, dan tidak adanya cART merupakan faktor
risiko kematian.
- Demensia terkait HIV: kelangsungan hidup 1 tahun adalah
sekitar 65%.
- Infeksi MAC diseminata: kelangsungan hidup rata-rata 10
bulan; kematian adalah empat kali lipat dari pasien HIV yang
cocok dengan MAC negatif.
- Enteritis kriptosporidial: kelangsungan hidup 5 tahun adalah
81%.
- Penyakit sitomegalovirus termasuk retinitis: kelangsungan hidup
rata-rata adalah 13-35 bulan.
28

- Ensefalitis toksoplasma: kelangsungan hidup 77-90% pada 12


bulan jika menggunakan ART dengan sebagian besar kematian
terjadi dalam 6 bulan.
PML: kelangsungan hidup rata-rata tanpa cART adalah 4
bulan; kelangsungan hidup 1 tahun secara keseluruhan adalah 50-
63%. Prediktor kelangsungan hidup lebih dari satu tahun termasuk
kepatuhan cART dan CD4+ > 100 saat diagnosis (Susanto C., R.
dan Made., A., M.2013).

2.1.12 Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV
oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat (Susanto C., R. dan Made., A., M.2013).
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam,
paralise total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.
c. Gastrointertinal
29

1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora


normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarkoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
Tuberkulosis dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.

2.1.13 Pencegahan dan Edukasi


Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE”
sebagai berikut, A (Abstinence) artinya absen seks atau tidak
melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah. B (Be Faithful)
artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-
ganti pasangan). C (Condom) artinya cegah penularan HIV melalui
30

hubungan seksual dengan menggunakan kondom. D (Drug No) artinya


dilarang menggunakan narkoba. E (Education) artinya pemberian
edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan,
pencegahan dan pengobatannya (Kemenkes RI, 2020).
Strategi pencegahan penyebaran HIV berupa pemeriksaan skrining
serta konseling HIV, pemakaian kondom perempuan dan laki-laki saat
berhubungan seksual, sirkumsisi pada laki-laki, mikrobisida dalam
bentuk gel dan krim sebagai terapi topikal yang efektif mencegah
infeksi HIV melalui hubungan seksual serta pemberian ART pada ibu
hamil yang terinfeksi HIV (Centers for Disease Control and Prevention
2015).

2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit yang menyerang


manusia disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Hal ini
mempengaruhi terutama paru-paru, membuat penyakit paru-paru
menjadi presentasi paling umum. Sistem organ lain yang sering terkena
meliputi sistem pernapasan, sistem gastrointestinal (GI), sistem
limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem musculoskeletal, sistem
reproduksi, dan hati. Dalam beberapa dekade, telah ada upaya global
bersama untuk memberantas tuberculosis (Adigun, 2021).
Tuberkulosis paru (TB) masih menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar sepertiga
penduduk dunia terinfeksi.10 Antara 10% dan 20% dari mereka yang
terinfeksi akan berkembang menjadi TB aktif, yang merupakan ancaman
kesehatan yang serius. Pasien yang tersisa akan memiliki TB laten, yang
dapat berkembang menjadi infeksi aktif pada saat imunosupresan
terjadi. CDC melaporkan 9.588 kasus baru TB di Amerika Serikat pada
tahun 2013, penurunan sebesar 4,2% dibandingkan dengan tahun 2012
31

dan jumlah kasus terendah yang tercatat di Amerika Serikat pada tahun
1953 (Singer-Leshinsky S, 2016).

2.2.3 Etiologi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan


oleh basil Bakteri Mycobacterium tuberculosa yang mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam)
karena basil TB mempunyai sel lipoid. Basil TB sangat rentan dengan
sinar matahari sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Basil TB
juga akan terbunuh dalam beberapa menit jika terkena alkohol 70% dan
lisol 50%. Basil TB memerlukan waktu 12-24 jam dalam melakukan
mitosis, hal ini memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2-3
hari sekali).
Anggota lain dari kelompok Mycobacterium tuberculosa adalah,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium
micoti. Sebagian besar organisme mikobakteri lain diklasifikasikan
sebagai organisme mikobakteri non-TB atau atipikal. (Singer-Leshinsky
S, 2016).
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa
tahun. Sifat dormant ini berarti kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan tuberculosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang kaya oksigen, dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih
tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut merupakan
tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Kuman dapat disebarkan dari
penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya,
terutama yang kontak erat.
TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernafasan.
Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui
saluran napas. (droplet infection) sampai alveoli, sehingga terjadi infeksi
primer (ghon) yang dapat menyebar ke kelenjar getah bening dan
32

terbentuklah primer kompleks (ranke). Keduanya dinamakan


tuberculosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan
mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer adalah terjadinya
peradangan sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap
basil mikrobakterium, sedangkan tuberculosis post primer (reinfection)
adalah peradangan bagian paru oleh karena terjadi penularan ulang pada
tubuh sehingga terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut
(Darliana, 2012).

2.2.5 Patogenesis

Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru


ketika pasien batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini mengandung
basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayang-
layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB (Karim, 2013).
Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-
paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk
globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB
paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding
itu membuat jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat
sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit (neutrophil dan makrofag) menelan banyak bakteri;
limpospesifik-tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan
normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam
alveoli, menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam
2-10 minggu seteah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan
gumpalan basil yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa
jaringan-jaringan fibrosa, bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut
33

tuberkel ghon dan menjadi nektrotik membentuk massa seperti keju.


Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar kolagenosa.
Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif (Karim,
2013).
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon
sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi
bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan
bahan seperti keju dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di
udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi
menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
lebih lanjut. (Darliana, 2012).

2.2.6 Manifestasi Klinis

1. demam yang biasanya sub-febris menyerupai demam influenza,


tetapi terkadang panas badan dapat mencapai 40-41 o.C. demam juga
bersifat hilang timbul.
2. Pada Penyakit TB bersifat radang yang menahun gejala malaise
seperti anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala,meriang, nyeri
otot, keringat pada malam hari sering ditemukan. Gejala malaise ini
makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
3. Pada pasien TB juga ditemui berat badan menurun. Keluhan pada
pernapasan, batuk atau batuk darah. Gejala ini sering ditemukan,
batuk terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar sari saluran napas bawah.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non- produktif) kemudian
stelah timbul peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan
dahak).
34

4. Keadaan lebih lanjut dapat berupa batuk darah karena terdapat


pembuluh darah kecil yang pecah.
5. Sesak napas, pada penyakit TB ringan belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan dijumpai pada penyakit TB paru lanjut dimana
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
6. Nyeri dada, gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis (Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et al, 2014).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa


pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, dan
pemeriksaan
laboratorium.
1. Pemeriksaan Klinis dibagi atas pemeriksaan manifestasi klinis dan
pemeriksaan fisik:
a. Pemeriksaan Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB paru dibagi menjadi dua golongan
yaitu, manifestasi klinis respiratorik seperti batuk, batuk darah,
sesak napas, dan nyeri dada. Golongan yang kedua adalah
manifestasi klinis sistemik seperti demam, keringat malam,
anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan
menurun.
b. Pemeriksaan Fisik
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah
bagian apeks ( puncak paru). Bila dicurigai infiltrate yang agak
luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara
napas bronkial. Dan mungkin didapatkan suara napas tambahan
berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler
melemah. Bila terdapat cavitas yang cukup besar, perkusi
35

memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi


memberika suara amforik (Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et
al, 2014).
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)
3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang
diagnosis TB yaitu :
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apikal
lobus bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier.
4. Pemeriksaan Sputum BTA
Pemeriksaan mikroskopik ini dapat melihat adanya basil tahan
asam, dimana dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per mil
sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum
dipakai adalah pewarnaan Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun
Gabbet.
5. Peroksidase anti peroksidase (PAP)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat
histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG
spesifik terhadap basil TB.
6. Tes Mantoux/Tuberkulin
Sampai saat ini, tes kulit tuberkulin adalah satu-satunya tes
untuk mendeteksi infeksi laten TB yang menggunakan campuran
antigen dari Mycobacterium tuberculosis.
7. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi
36

dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada


mikroorganisme dalam specimen. Selain itu teknik PCR ini juga
dapat mendeteksi adanya resistensi.
8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)
9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ( Karim, 2013).
2.2.8 Diagnosis Banding

1. TBC Paru, adalah sebuah penyakit yang menyerang manusia


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Hal ini
mempengaruhi terutama paru-paru, membuat penyakit paru-paru
menjadi presentasi paling umum.
2. Pneumonia, adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu
penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan
oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang
laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi
pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan.
4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke
paru-paru).
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan
penyempitan saluran pernapasan, sehingga pasien yang mengalami
keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat keparahan asma
ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan
oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin
buruk kondisi asma.
2.2.9 Diagnosis Kerja

TB Paru

2.2.10 Penatalaksanaan
37

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan


agar mencegah perkembangan resistensi obat. WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan paduan pengobatan standar
yang membagi pasien menjadi 4 kategori yang berbeda menurut definisi
kasus TB nya.
1. Kategori 1
Pasien TB paru dengan sputum BTA positif dan kasus baru.
TB paru bisa ada bersamaan dengan TB berat lainnya seperti TB
milier, pleuritis tuberculosis atau bilateral, tuberkulosis, peritonitis,
TB usus, saluran kemih, meningitis, dengan gangguan tuberkulosis.
Bisa juga TB dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan parunya
luas. Pengobatan pada fase awal (intensif) paduannya terdiri dari 2
RHZE (S), setiap hari selama 2 bulan. Sputum BTA yang awalnya
positif, setelah 2 bulan terapi diharapkan jadi negatif dan terapi TB
diteruskan dengan fase lanjutan: 4 HR atau 4 H3R3 atau 6 HE.
Apabila sputum BTA masih tetap positif diakhir bulan ke-2 fase
awal, maka fase awal tersebut diperpanjang selama 4 minggu lagi.
2. Kategori 2
Kategori ini diberikan pada kasus kambuh atau gagal dengan
sputum BTA positif. Terapi fase awalnya 2 HRZES/1 HRZE,
dimana HRZE diberikan setiap hari selama 3 bulan sedangkan S
diberikan hanya di 2 bulan pertama. Bila sputum BTA menjadi
negatif diakhir bulan ke-3, maka fase lanjutan bisa segera dimulai.
Tapi bila sputum BTA masih positif maka fase awal dengan HRZE
diteruskan lagi selama 1 bulan. Bila pada akhir bulan ke 4 sputum
BTA masih tetap positif, lakukan kultur ulang sputum BTA dan obat
dilanjutkan dengan 5 HRE atau 5 H3R3.
3. Kategori 3
Disini terdapat TB paru dengan sputum BTA negatif, tetapi
38

kelainan parunya tidak luas. Dulunya terapi cukup dengan paduan 2


HRZ atau 2 H3R3Z3E3 dan kemudian diteruskan dengan fase
lanjutan 2 HR atau 2 H3R3. Dalam perkembangan ternyata paduan
ini kurang baik karena masih berpeluang untuk terjadinya
kekambuhan sehingga paduannya dirubah menjadi sama dengan
kategori 1 yakni 2 bulan fase awal dan diteruskan dengan 4 bulan
fase lanjutan.
4. Kategori 4
Disini terjadi TB kronik dimana sputum BTA tetap positif
walaupun sudah menjalani terapi lengkap selama 6 bulan. Pada
kelompok ini mungkin sudah terjadi resistensi multi obat (multi
drugs resistant tuberculosis (MDR-TB).
Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak ditemukan
resistensi terhadap lebih dari 1 OAT (multi drugs resistant
tuberculosis) terutama pada INH dan Rifampisin.
Jenis obat yang dipakai sekarang:
Obat primer (OAT lini 1) yang selalu diberikan setiap pasien
TB baru atau yang kambuh yaitu INH, Rifampisin, Pirasinamid,
Etambutol dan Streptomisin.
Obat Sekunder (OAT lini 2) yang diberikan bila sudah terjadi
resistensi terhadap OAT lini 1 yaitu: PAS, kanamisin, tiasetazon,
etionamid, sikloserinm viomisin, kapreomisin, amikasin, ofloksasin,
siprofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, klofazimin.
Sebelum ditemukan obat Rifampisin metode terapi pada TB
paru adalah dengan sistem jangka panjang yakni: H + S + E atau
PAS tiap hari dengan fase awal selama 1-3 bulan dan kemudian
dilanjutkan dengan H + E atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah
Rifampisin ditemukan paduan obatnya: fase awal dengan H + R + S
atau E atau Z setiap hari selama 1-2 bulan dan diteruskan dengan H
+ R + E atau S, 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama
pengobatan menjadi 6-9 bulan. Setelah mulai dengan program
39

DOTS barulah direkomendasikan oleh WHO atau IUALTD serta


sejalan dengan program pemberantasan TB oleh Dep-Kes RI
diberikan paduan 2 HRZE di fase awal dan 4 HR atau 4 H3R3 di
fase lanjut. Untuk TB kambuh 2 HRZES/1 HRZE/ 5 HRE. Untuk
TB paru milier dan TB ekstra paru berat, terapi tahap lanjutannya
yang semula 4 bulan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga total
terapi menjadi 9 bulan.
Kategori 1 2HRZE / 4(HR)3

Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah


Pengobata pengobata hari/ka
Tablet Kaplet Tablet Tablet
n n li
Isoniazi Rifampisi Pirazinami Etambut
menela
d@ n@ d@ ol @
n obat
300mg 450mg 250mg 250mg

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

Tabel 6. Dosis Paduan OAT-Kombipak kategori 1( Wahyuningsih, 2014)

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirainamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

2.2.11 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki prognosis
yang baik. Terutama karena pengobatan yang diberikan efektif. Tanpa
pengobatan, angka kematian tuberkulosis lebih dari > 50%. Kelompok
pasien berikut ini lebih rentan terhadap prognosis buruk atau kematian
setelah infeksi TB
1. Usia ekstrem, lanjut usia, bayi, dan anak kecil.
2. Keterlambatan dalam pengobatan.
3. Bukti radiologis penyebaran luas.
4. Gangguan pernapasan berat yang membutuhkan ventilasi mekanis.
40

5. Imunosupresan
6. Tuberkulosis Multdrug Resistance (MDR) ( Adigun,2021) .

2.2.12 Komplikasi
TB paru apanila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi – komplikasi yang terjadi pada penderita TB
paru dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut.
Komplikasi – komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium
lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau
syok hipovolemik.
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus.
c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru.
d. Pneumotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep
yang pecah.
e. Penyebaran infeksi ke orang lain seperti otak, tulang, sendi,
ginjal, dan sebagainya (Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et al,
2014)

2.2.13 Pencegahan dan Edukasi


Ada beberapa tips untuk membantu menjaga dan pencegahan
penyakit TB kepada teman dan keluarga dari infeksi kuman :
1. Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di
kamar dengan orang lain selama beberapa minggu pertama
pengobatan untuk TB aktif.
2. Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam ruangan
tertutup kecil dimana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan
41

masih kurang, buka jendela dan gunakan kipas untuk meniup udara
dalam ruangan ke luar.
3. Tutup mulut dengan menggunakan masker. Gunakan masker untuk
menutup mulut kapan saja ini merupakan langkah pencegahan TB
secara efektif. Jangan lupa untuk membuang masker secara teratur.
4. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan
desinfektan (air sabun)
5. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
6. Hindari udara dingin.
7. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke
dalam tempat tidur.
8. Menjemur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
9. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
10. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein
(Wahyuningsih, 2014).
43

BAB III
LAPORAN KASUS
No RM : 374790
Ruangan : Ar Rijal A
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Rory Sukma Perdana
Umur : 33 tahun
Status kawin : Belum Menikah
Agama : Kristen
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jl. Periuk No. 23 Sei Putih Tengah, Medan Petisah
Sumatera Utara
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Batuk
Telaah :
Pasien pria berusia 33 tahun datang ke IGD RSU Haji Medan rujukan dari
Rumah Sakit Bunda Thamrin dengan keluhan batuk selama kurang lebih 2
minggu yang tidak kunjung sembuh. Keluhan batuk tidak berdahak dan
tenggorokan dirasakan tidak nyaman. Saat batuk timbul pasien sudah melakukan
pengobatan untuk mengobati batuknya bahkan pasien berobat ke rumah sakit
permata bunda tapi tidak kunjung sembuh. Pasien juga kerap tidak bisa tidur
karena batuk yang cenderung lebih sering timbul dan berat pada malam hari.
Selain batuk, awalnya pasien datang ke Rumah Sakit Bunda Thamrin
dengan keluhan demam tinggi dan menggigil sepanjang hari kurang lebih 2
minggu, pada saat demam pasien juga mengeluhkan sakit diseluruh kepala, mata
rasa berkunang-kunang, hidung tersumbat, nyeri sendi, nyeri otot, dan badannya
terasa lemas.
Pasien juga mengeluh tubuhnya yang semakin hari semakin lemas. Pasien
juga mengeluhkan nyeri dibagian mulutnya seperti sariawan, tetapi rasa radang
atau sakit disekitaran gusi disangkal oleh pasien dan banyak bercak putih
disekitaran lidahnya, gatal- gatal dan kemerahan di area pipinya, bibir tampak
pucat, kering dan pecah-pecah tetapi tidak ada luka-luka di sekitaran bibir dan
sakit di bagian telinga juga disangkal oleh pasien. Selain itu pasien mengaku
44

seperti ada benjolan benjolan dibawah dagunya, sakit tenggorokan dan sulit
menelan juga diutarakan pasien selama dirawat dirumah sakit Haji Medan.
Pasien juga mengeluhkan lidahnya terasa pahit dan mual muntah saat
makan dan minum obat, Muntah makanan bercampur lendir kerap dialami pasien
setiap makan, dan tidak terdapat darah. pasien juga mengalami penurunan selera
makan sejak 3 minggu terakhir ini. Selain itu pasien juga mengatakan mengalami
BAB cair sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien sudah meminum obat
antidiare dari dokter namun tak kunjung sembuh. Dan juga pasien mengatakan
berat badannya turun kurang lebih sebanyak 15 kg.
Pasien tidak mengeluhkan ada nyeri dibagian perutnya, tetapi banyak
bekas luka berwarna hitam dan gatal di bagian badan, dan kakinya, namun
keluhan seperti kemerahan di kaki dan tangan disangkal oleh pasien dan kuku
menebal, gatal-gatal, berwarna kuning, kering juga disangkal oleh pasien. Pasien
mengaku bahwa ia mempunyai riwayat ganti-ganti pasangan saat berhubungan
seksual. Selain itu pasien juga mengalami BAB cair sejak kurang lebih 1 bulan
yang lalu. Pasien sudah meminum obat antidiare dari dokter namun tak kunjung
sembuh.
BAK : 5 kali/hari, berwarna kuning jernih dan tuntas
BAB : 1 kali/ hari, konsistensi cair
RPT : Tidak Ada
RPK : Tidak Ada
RPO : zinc, selebihnya pasien lupa nama obat
R. Alergi : Tidak ada
R. Kebiasaan : Merokok dan berganti pasangan saat berhubungan seks.
44

ANAMNESA UMUM  Suara Perkusi : Hipersonor


 Suara Pernapasan :
 Badan Merasa Kurang Enak :Ya
Bronchial dikedua lapang
 Merasa Capek / Lemas :Ya
paru
 Merasa Kurang Sehat :Ya
 Suara Tambahan : Ronchi
 Nafsu makan :
basah dikedua lapang paru
Menurun
 Tidur :Terganggu 4. TRACTUS DIGESTIVUS
 Berat Badan :Menurun A. LAMBUNG

 Demam : Ya  Muntah : Ya, frekuensi


sering, bercampur
ANAMNESA ORGAN lendir dan berwarna
keruh
1. COR
 Mual-mual : Ya
 Dyspnea d’effort : tidak
B. USUS
 Dyspnea d’repos : TIdak
 Defekasi : Ya, 1x/hari,
konsitensi cair
2. SIRKULASI PERIFER
C. HATI DAN SALURAN
 Dalam batas normal
EMPEDU
 Dalam batas normal
3. TRACTUS
RESPIRATORUS
5. GINJAL DAN SALURAN
 Batuk : Ya
KENCING
 Berdahak : Tidak
 Miksi
 Haemaptoe : tidak
(freq,warna,sebelum/sesud
 Sakit dada saat bernapas : ah miksi, mengedan) : 5x/
tidak hari, kuning jernih, tuntas
 Sesak napas : ya 6. SENDI
 Fremitus suara :  Sakit : Ya, saat demam
meningkat dikedua lapang
paru
45

7. TULANG
 Dalam batas normal
8. OTOT
 Nyeri otot
9. DARAH
 Muka tampak pucat
 Konjungtiva anemis (+)
10. ENDOKRIN
 Adanya pembesaran
kelenjar getah bening.
11. FUNGSI GENITALIA
 Tidak dilakukan
pemeriksaan
12. SUSUNAN SYARAF
 Dalam batas normal
13. PANCA INDRA
 Dalam batas normal
14. EKTREMITAS
 Ada bekas kudis berwarna
cokelat kehitaman.
15. PSIKIS
 Gelisah : Ya
16. KEADAAN SOSIAL
 Pekerjaan :
Karyawan swasta
 Hygiene : Buruk
46

ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU :-

ANAMNESA PEMAKAIAN OBAT : zinc selebihnya pasien lupa nama obat

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS : TidakAda


 Bengkak kelenjar regional : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Luka-luka dikemaluan : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pyuria : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Bisul-bisul : Tidak dilakukan pemeriksaan
ANAMNESA INTOKSIKASI :Tidak ada

ANAMNESA MAKANAN :

 Nasi : Ya Freq : 3x/hari


 Ikan : Ya
 Sayuran : Ya
 Daging : Ya
ANAMNESA FAMILY :

 Penyakit-penyakit Family : Tidak ada


 Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
STATUS PRESENT :

KEADAAN UMUM

 Sensorium : Compos mentis


 Tekanan Darah : 110/69 mmHg
 Temperatur : 38,3 ° C
 Pernafasan : 28 x/menit, Reg, Tipe pernafasan (Thorakal Abdominal)
 Nadi : 110 x/menit, Equal , Teg / Vol (Sedang)

KEADAAN PENYAKIT :

 Anemi : Ya
 Ikterus : Tidak
 Sianosis : Tidak
 Dispnoe : ya
47

 Edema : Tidak
 Eritema : Tidak
 Turgor : Baik
 Gerakan aktif : Ya
 Sikap Tidur paksa : Tidak

KEADAAN GIZI :

BB : 50 KG
TB : 168 CM
RBW = BB/TB-100x100 % = 73 %

Kesan : Underweight
IMT = kg/cm² = 50/(1,68)2 = 17,8 Kg/cm2

Kesan : Underweight

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala : Rambut rontok (+),Wajah tampak pucat, konjungtiva anemis (+)


Leher : palpasi = adanya pembesaran KGB di submandibula
Thorax : Inspeksi = Dalam Batas Normal, Palpasi = Fremitus suara meningkat (+/+),
Perkusi = hipersonor (+/+),

Auskultasi (SP) = Bronkial (+/+) ST = Ronchi basah (+/+)

 Abdomen : dalam batas normal.


Ektremitas : Ada bekas kudis berwarna cokelat kehitaman.
48

PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

DARAH

Darah Lengkap

Hemoglobin 10,4 g/dl

Eritrosit 4.600 Juta/Ul

Leukosit 3,45 /Ul

Hematokrit 31,9 %

Trombosit 42.000 /Ul

PDW 14,9 fL

RDW-CV 15,0 %

Index Eritrosit

MCV 9,57 fL

MCH 19 Pg

MCHC 32,5 g/dL

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 0,359 %

Basofil 1,19 %

N. Segmen 89,8 %

Limfosit 3.92 %

Monosit 4,75 %

LED 30 mm/jam
49

Fungsi Hati

AST (SGOT) 108 u/L

ALT (SGPT) 59 u/L

Albumin - g/Dl

Bilirubin total - mEg/L

Fungsi Ginjal

Ureum 16,4 mg/dL

Kreatinin 0,88 mg/Dl

Glukosa Darah 81 mg/Dl

IMUNOSEROLOGI

HIV REAKTIF REAKTIF

Swab Antigen Covid-19 NEGATIF NEGATIF

PEMERIKSAAN FOTO THORAX


Hasil Pemeriksaan :

- Paru : Tampak fibroinfiltrat pada kedua lapang paru.

Kesimpulan : TB Paru

DIAGNOSA BANDING :

1. HIV/AIDS + TB Paru
2. HIV/AIDS + Pneumonia
3. HIV/AIDS + Blastomycosis
4. HIV/AIDS + Tularemia
5. HIV/AIDS + Actinomycosis

DIAGNOSA SEMENTARA : HIV AIDS + TB Paru

TERAPI :
50

 Aktivitas : Tirah Baring


 Diet : MB

Medikamentosa :

1. IVFD RL 20 gtt/i
2. ( Zidovudin tab 250 mg 2x1 + Lamivudine tab 150 mg 2x1) + Efavirenz
600 mg 1x1
3. Kotrimoksasol 960 mg 1x1
4. Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
5. Inj Ranitidin 25mg / 12 jam
6. Inj ondancentron 1 amp / 8 jam
7. Ambroxol 30mg 2x1
8. Paracetamol tab 500mg 3x1
9. Acetylcysteine 3x 200 mg
10. Rifampisin 300mg 1x1
11. Isoniazid 300mg 1x1
12. Etambutol 750mg 1x1
13. Pirazinamid 500mg 1x1
14. Vit B6 2x1
15. Curcuma 3x1
16. Zinc tab 20 mg 1x1

PEMERIKSAAN ANJURAN :

- Darah lengkap
- Sputum BTA
- Foto Thorax
- Pemeriksaan Imunoserologi
- Gene X-Pert
- Kultur HIV
- Viral Load
BAB IV
DISKUSI
Secara teori pada anamnesa terdapat keluhan antaralain :
Penurunan berat badan sedang yang tidak diketahui sebabnya (<10% dari berat badan
yang terukur), Infeksi tractus respiratorius rekuren (sinusitis, bronchitis, otitis media,
faringitis), Herpes Zoster, Cheilitis angular, Ulserasi oral rekuren, Erupsi pruritic popular,
Dermatitis seboroik, Infeksi jamur pada kuku jari ektremitas, Penurunan berat badan yang
berat (>10% berat badan yang terukur), Diare kronis tanpa diketahui penyebabnya selama >1
bulan, Kandidiasis oral, Oral hairy leukoplakia, TB paru, didiagnosis selama 2 tahun terakhir,
Infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
meningitis, bakteremia), Stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif nekrosis akut. Kondisi
anemia yang tidak diketahui penyebabnya (<8 g/dl) dengan atau neutropenia (500/mm3) atau
trombositopeni (<50.000/mm3) selama >1 bulan (kondisi dikonfirmasi melalui uji
diagnostic), HIV wasting syndrome, Pneumonia pneumocystis, Pneumonia bakteri berat atau
secara radiologi dan rekuren, Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorectal
dalam durasi >1 bulan), Kandidiasis esofageal, TB Ekstraparu, Sarkoma Kaposi,
Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat, Ensefalopati HIV, Kriptokokosis ekstrapulmoner,
termasuk meningitis, Infeksi mycobacteria non-tuberculous progresif, Progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML), Kandidiasi pada trakea, bronkus atau paru, Kriptosporidiosis,
Isosporiasis, Infeksi herpes simpleks visceral, Infeksi cytomegalovirus (rhinitis atau organ
lain selain hati, limpa dan kelenjar limfe), Mikosis diseminata (histoplasmosis,
coccidiomycosis, penicillosis), Recurrents non typhoidal salmonella septicaemia, Limfoma
(serebri atau non-Hodgkin sel B), Karsinoma serviks invasive, Leishmaniasis visceral.
Sementara itu, pada kasus keluhan-keluhan seperti; Penurunan berat badan (+), Infeksi
tractus respiratorius rekuren (-), Herpes Zoster (-), Cheilitis angular (-), Ulserasi oral
rekuren (+), Erupsi pruritic popular (-), Dermatitis seboroik(-), Infeksi jamur pada kuku jari
ektremitas (-), Diare kronis (+), Kandidiasis oral (+), Oral hairy leukoplakia (-), TB paru
(+), Infeksi bakteri berat (-), Stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif nekrosis akut (-),
Pneumonia pneumocystis (-), TB Ekstraparu (-), Sarkoma Kaposi (-), Toksoplasmosis pada
sistem saraf pusat (-), Ensefalopati HIV (-), Kriptokokosis ekstrapulmoner, termasuk
meningitis (-), Infeksi mycobacteria non-tuberculous progresif (-), Progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML) (-), Kandidiasi pada trakea, bronkus atau paru (-),
Kriptosporidiosis (-), Isosporiasis (-), Infeksi herpes simpleks visceral (-), Infeksi

51
cytomegalovirus (rhinitis atau organ lain selain hati, limpa dan kelenjar limfe) (-), Mikosis
diseminata (-), Recurrents non typhoidal salmonella septicaemia (-) Limfoma (+), Karsinoma
serviks invasive (-), Leishmaniasis visceral (-).
Selanjutnya pada pemeriksaan penunjang pada HIV berdasarkan teori dapat dilakukan
pemeriksaan Antigen P24, kultur HIV, HIV RNA, pemeriksaan Antibodi. Pada Tuberculosis
dapat dilakukan pemeriksaan Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat,
limfositosis), Foto toraks, pemeriksaan Sputum BTA, Peroksidase anti peroksidase (PAP),
Tes Mantoux/Tuberkulin, Teknik Polymerase Chain Reaction, Becton Dickinson Diagnostic
Instrument System (BACTEC), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Sementara itu pada kasus dilakukan pemeriksaan Imunoserologi yang didapatkan hasil
reaktif HIV. Pada pemeriksaan foto thorax tampak fibroinfiltrat pada kedua lapang paru.
Secara umum penatalaksanaan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) terdiri atas beberapa
jenis, yaitu : Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Anti Retroviral
(ARV). Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi,
limfoma, kanker serviks serta pengobatan suportif.
Sementara itu pada kasus obat Anti Retroviral (ARV) yang diberikan (lamivudine +
Zidovudin) + Evafirenz . dan terapi profilaksis dengan kotrimoksazol 960 mg 1x1.
Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi yang menyertai infeksi HIV/AIDS,
seperti tuberculosis diberikan Rifampisin 300mg 1x1, Isoniazid 300mg 1x1, Etambutol
750mg 1x1, Pirazinamid 500mg 1x. Serta pengobatan suportif lain yang diberikan IVFD RL
20 gtt/I, Inj Ceftriaxone 1gr/ 12 jam, Inj Ranitidin 25mg / 12 jam, Inj ondancentron 1 amp / 8
jam, Ambroxol 30mg 2x1, Paracetamol tab 500mg 3x1, Vit B6 2x1, Curcuma 3x dan zinc tab
20 mg 1x1.

52
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus HIV/AIDS + TB Paru , diagnosa ditegakkan secara anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada manifestasi klinis dijumpai batuk tidak
berdahak, demam tinggi berkepanjangan,menggigil, nyeri tenggorokan dan susah menelan,
ada, mual, muntah, penurunan berat badan, lemas. Pada pemeriksaan fisik inspeksi
didapatkan muka pucat, konjunngtiva anemis (+), sariawan (+), kandidiasis oral (+),
ekstremitas tampak dalam batas normal. Palpasi , leher = adanya pembesaran kelenjar getah
bening di bawah dagu. Pada palpasi thorax didapatnya stem fremitus meningkat di kedua
lapang paru. Dan palpasi di regio abdomen yang dalam batas normal dan tidak ada nyeri
tekan. Pada perkusi paru didapatkan suara sonor memendek pada kedua lapang paru, perkusi
abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan auskultasi suara paru didapatkan suara
bronkial di kedua lapang paru dengan suara tambahan ronchi basah di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan test imunoserologi HIV didapatkan hasil reaktif.
Dari pemeriksaan foto thorax ditemukan fibroinfiltrat di kedua lapangan paru.

53
DAFTAR PUSTAKA

Adigun, R. Tuberculosis. Statpearls [Internet]. Retrieved November 1, 2021, from


http://lm.nih.gov/books/NBK441916/?report=classic.(2021, July 25)
Bennet NJ. HIV infection and AIDS differential diagnoses.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-differential. 2020
Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. MMWR. 2015; 64(3): p.1-110.
Darliana, D. Manajemen Pasien Tuberkulosis Paru. Idea Nursing Journal, 2012, 2.1:27-31
Department of Health and Human Services USA. Guidelines for the Use of Antiretroviral
Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. 2015.
Djoerban, Z., Djauzi, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. 2015
Karim, K., et al. Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dalam
Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013.Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin HIV/AIDS. https://pusdatin.kemkes.go.id ›
infodatin-2020-HIV.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin HIV/AIDS.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin-aids.pdf. 2014.
National AIDS Control Organization Government of India. Antiretroviral Therapy
Guidelines for HIV-Infected Adults and Adolescents. 2013.
Nelwan, E.J., Wisaksana, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. 2015
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. 2014
Singer-Leshinsky S. Pulmonary tuberculosis. Journal of the Amrican Academy of Physician
Assistants. 2016;29(2):20-5
Susanto C., R., Made., A., M. Komplikasi HIV : Penyakit Kulit dan Kelamin. Yogyakarta:
Nuha Medika. 2013
Susilawati et all, “Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Hiv/Aids Di Magelang.
Prosiding" Standar Akreditasi Rumah Sakit (Snars) Edisi 1 Terkait Rekam Medis"
Yogyakarta Tahun 2018” 2020.
Syukra A, Sriani, Y. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. [e-book] Deepublish.
https://www.google.com/search?tbo=p&tbm=bks&q=isbn:6022808081. 2015
U.S. Department of Health and Human Services. Guide For HIV/AIDS Clinical Care. 2014.
Wahyuningsih, Esther. Pola Klinik Tuberkulosis Paru di RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Juli 2012-Agustus 2013. 2014. PhD Thesis. Faculty of Medicine Diponegoro
University.
World Health Organization. Consolidated Gidelines On The Use of Antiretroviral Drugs for
Treating and Preventing HIV Infection: What’s New. 2015.
World Health Organization. Global tuberculosis report 2013. Switzerland; 2013

Anda mungkin juga menyukai