Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM IMUNITAS “HIV/AIDS”
DENGAN KOMPLIKASI TUBERKULOSIS PARU

OLEH :
KELOMPOK 4

INTAN ANGELINA DOMBO (201901011)


IRNAWATI (201901012)
LULLU LILLAH (201901015)
MUAMMAR (201901019)
NUR INTAN KHAIRUNNISAA (201901027)
SINDY CLAUDIA (201901033)
TIARA FRISKY KARMELIA (201901036)

2A KEPERAWATAN

DOSEN
NS.MASRI DG.TAHA,S.KEP.,M.KEP.

PRODI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Imunitas HIV-
AIDS dengan Komplikasi Tuberkulosis Paru”.
Makalah ini membahas tentang konsep dasar HIV-AIDS, dan konsep
asuhan keperawatan pada pasien HIV-AIDS dengan komplikasi Tuberkulosis
Paru.
Kami berharap makalah ini dapat memotivasi para mahasiswa/i lain dalam
mata kuliah ini. Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan-masukan yang
bersifat membangun, yaitu berupa kritikan dan saran yang konstruktif demi
memperbaiki dan penyempurnaan pembuatan laporan dan makalah kami
selanjutnya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Palu, 29 Maret 2021

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II LAPORAN PENDAHULUAN................................................................4
2.1 Konsep Dasar Penyakit..............................................................................4
2.1.1 Definisi...........................................................................................4
2.1.2 Etiologi...........................................................................................5
2.1.3 Manifestasi Klinis..........................................................................6
2.1.4 Patofisiologi...................................................................................8
2.1.5 Pathway........................................................................................10
2.1.6 Komplikasi...................................................................................11
2.1.7 Penatalaksanaan Medis................................................................11
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik..............................................................12
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan.................................................................13
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.............................................................16
A. PENGKAJIAN...........................................................................................16
B. ANALISA DATA......................................................................................24
C. DAFTAR MASALAH...............................................................................28
D. INTERVENSI KEPERAWATAN.............................................................32
E. CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI...............................36
BAB IV PENUTUP............................................................................................46
A. Simpulan....................................................................................................46
B. Saran..........................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................47
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Orang yang terkena virus HIV/AIDS ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Penyakit AIDS
ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Bahkan menurut UNAIDS
dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, dan ini membuat AIDS sebagai
salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja,
akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia,
epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta)
hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan
anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan
HIV.Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4
dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan
jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Di Indonesia menurut laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai
dengan 31 Desember 2011 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes
RI tanggal 29 Februari 2012 menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah
menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758
yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian.
Angka ini tidak mengherankan karena di awal tahun 2000-an kalangan ahli
epidemiologi sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu
berkisar antara 80.000 – 130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara
peringkat ketiga, setelah Cina dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-
nya tertinggi di Asia.
TB ( Tubrkulosis ) merupakan salah satu infeksi oportunistik
tersering menyerang pada orang dengan HIV/AIDS di Indonesia. Infeksi
HIV/AIDS memudahkan terjadinya infeksi mycobacterium tuberculosis.
Penderita HIV/AIDS mempunyai resiko lebih besar menderita TB di
bandingkan dengan non-HIV/AIDS. Resiko HIV/AIDS untuk menderita TB

1
adalah 10% per tahun, sedangkan yang non-HIV/AIDS resiko menderita TB
hanya 10% seumur hidup. Di Amerika Serikat di laporkan angka kejadian
TB dengan infeksi menurun, 4,4 kasus baru per 100.000 populasi ( total
13,299 kasus ) pada tahun 2007. Di RSU Dr.Soetomo dilaporkan sebanyak
25-83 %. Sementara Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TB merupakan
penyebab kematian tersering pada orang penderita HIV/AIDS. Di mana
WHO memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita
AIDS.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari HIV/AIDS ?
2. Apa etiologi dari HIV/AIDS ?
3. Bagaimana patofisiologi dari HIV/AIDS?
4. Bagaimana manifestasi klinis HIV/AIDS ?
5. Apa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada HIV/AIDS ?
6. Apa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada HIV/AIDS ?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis yang dilakukan pada HIV/AIDS ?
8. Apa komplikasi yang akan muncul dari HIV/AIDS ?
9. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS ?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien
dengan HIV/AIDS komplikasi TB paru?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana
cara menyusun asuhan keperawatan pada pada pasien dengan penyakit
HIV/AIDS komplikasi TB paru.
2. Tujuan khusus
a. Agar mahasiswa/i memahami definisi HIV/AIDS.
b. Agar mahasiswa/i mengetahui etiologi HIV/AIDS.
c. Agar mahasiswa/i memahami patofisiologi HIV/AIDS.
d. Agar mahasiswa/i mengetahui manifestasi klinis dari HIV/AIDS.
e. Agar mahasiswa/i megetahui pemeriksaan penunjang HIV/AIDS.
f. Agar mahasiswa/i mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS.
g. Agar mahasiswa/i mengetahui penatalaksanaan medik pada pasien
dengan HIV/AIDS.
h. Agar mahasiswa/i mengetahui komplikasi yang akan muncul dari
HIV/AIDS?
i. Agar mahasiswa/i mengetahui pencegahan HIV/AIDS?
j. Agar mahasiswa/i memahami konsep asuhan keperawatan yang
dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS komplikasi TB Paru?
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan
pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh
ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS
ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
(Zein, 2006).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang sebagian besar
menyerang paru-paru, tetapi juga mungkin menginfeksi organ-organ di luar
paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.
Penularan bakteri ini biasa terjadi melalui droplet nuclei sesorang penderita
tuberkulosis yang menyebarkan kuman tuberkulosis ini ke udara. Apabila
seseorang sudah terjangkit kuman ini maka orang tersebut meningkatkan
resiko penularan ke orang lain, terutama orang-orang di dekatnya, dan tentu
beresiko kematian. Tapi tidak semua orang yang terinfeksi bakteri ini akan
menjadi sakit tuberkulosis. Dari data kementrian kesehatan hanya 10% orang
yang terinfeksi kuman tuberkulosis akan menjadi sakit tuberkulosis. Hal ini
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan status gizi pasien. HIV merupakan
faktor resiko paling kuat untuk menjadi sakit tuberkulosis. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan sistem daya tahan tubuh seluler sehingga jika
terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis maka penderita HIV
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk penyakit tuberkulosisnya
menjadi parah bahkan dapat menyebabkan kematian.
HIV adalah virus yang menumpang hidup dan merusak sistem
kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV. (Brunner&Suddarth; edisi 8)
Prevalensi dari penderita HIV AIDS yang terus meningkat tentu akan
mempengaruhi prevalensi TB dan juga pengangannya yang dikarenakan HIV
AIDS meningkatkan fakor resiko untuk seseorang menderita TB. Selain itu,
TB merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV AIDS
yaitu sekitar 40-50% yang kemungkinan dikarenakan oleh keterlambatan
diagnosis dan terapi (RI K. K., 2012). Dibandingkan orang yang tidak
terinfeksi HIV, resiko orang yang mengalami HIV AIDS mempunyai resiko
sepuluh kali lebih besar untuk terkena TB. Hal ini dikarenakan
Mycobacterium Tuberculosis dan HIV adalah dua patogen intraseluler yang
dapat berinteraksi dengan baik pada tingkat populasi, klinik, dan seluler. HIV
merupakan penyebab kuat orang yang terinfeksi Mycobacterium
Tuberculosis menjadi sakit TB. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan
jumlah dan fungsi di penderita HIV AIDS yang menyebabkan kemampuan
sistem imun tubuh untuk mencegah pertumbuhan dan penyebaran
Mycobacterium Tuberculosis juga berkurang. Terjadinya ko-infeksi dari TB-
HIV ini sendiri juga memberikan konsekuensi tersendiri dalam usaha
penganganan penderita TB, seperti contohnya rendahnya angka kesembuhan,
tinginya angka kesakitan dan kematian selama perawatan, dan tingginya
angka pasien TB yang kambuh (Lubis, 2006).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler
pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz,
2005).
AIDS adalah suatu gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan
atau kerusakan daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi
tertentu/keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya
tahan tubuh (kekebalan). (H. JH. Wartono, 1999 : 09)
2.1.2 Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun
1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika
ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
4. Supresi imun simtomatik. Di atas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena.
3. Partner seks dari penderita AIDS.
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

Mycobacterium Tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang


berukuran panjang 1-4 mm dengan ketebalan 0,3-0,6 mm. Sebagian besar
komponennya adalah lipid sehingga kuman tersebut mampu bertahan asam
serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Bakteri ini bersifat
aerob, sehingga sangat meenyukai daerah yang banyak oksigen dan lembab.
Oleh karena itu M. tuberculosis sangat senang tinggal di bagian apeks paru-
paru yang terdapat banyak oksigen ( Somantri,2008 ).
Bakteri Tuberkulosis ini di sebut dengan bakteri tahan asam ( BTA )
karena tahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol serta
tahan dalam keadaan dingin dan kering. Bersifat dorman dan aerob. M.
Tuberculosis bisa mati pada pemanasan 100° c selama 5-10 menit, pada
pemanasan 60° c selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95 % selama 15-
30 detik. Bakteri ini juga tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempa
yang lembab dan gelap (bisa berbulan- bulan), tetapi tidak tahan terhadap
sinar atau aliran udara ( Widoyono, 2008).

2.1.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya
dapat mengenai setiap sistem organ, salah satunya sistem pernapasan.
Pneumonia Pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai
infeksi oportunitis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium-
intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun
begitu, infeksi yang paling sering ditemukan di antara penderita AIDS adalah
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP) yang merupakan penyakit oportunis
pertama yang dideskriPasienikan berkaitan dengan AIDS. Pneumonia ini
merupakan manifestasi pendahuluan penyakit AIDS pada 60% pasien. Tanpa
terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang-orang yang terinfeksi
HIV P. carinii awalnya diklasifikasikan sebagai protozoa, namun sejumlah
penelitian dan pemeriksa¬an analisis terhadap struktur RNA ribosomnya
menunjukkan bahwa mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati
demikian, struktur dan sensitivitas antimikrobanya sangat berbeda dengan
jamur penyebab penyakit yang lain. P. carinii hanya menimbulkan penyakit
pada hospes yang kekebalannya terganggu. Jamur ini menginvasi dan
berproliferasi dalam alveoli pulmonalis sehingga terjadi konsolidasi
parenkim paru.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut
bila dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain.
Periode waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa
beberapa minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya
hanya memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti
demam, menggigil, batuk nonproduktif, napas pendek, dispnea dan kadang-
kadang nyeri dada. PCP dapat ditemukan kendati tidak terdapat krepitasi.
Konsentrasi oksigen dalam darah arterial pada pasien yang bernapas dengan
udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini
menunjukkan hipoksemia minimal.
Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan
paru yang signifikan dan pada akhirnya, kegagalan pernapasan. Beberapa
pasien memperlihatkan awitan yang dramatis dan perjalanan penyakit yang
fulminan yang meliputi hipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubahan
status mental. Kegagalan pernapasan dapat terjadi dalam waktu 2 hingga 3
hari setelah timbulnya gejala pendahuluan.
Diagnosis pasti PCP dapat ditegakkan dengan mengenali
mikroorganisme dalam jaringan paru atau sekret bronkus. Penegakan
diagnosis ini dilaksanakan dengan prosedur seperti induksi sputum, lavase
bronkial-alveolar dan bioPasieni transbronkial (melalui bronkoskopi serat
optik).
Kompleks Mycobacterium avium. Penyakit kompleks
Mycobacterium avium (MAC; Mycobacterium avium Complex) muncul
sebagai penyebab utama infeksi bakteri pada pasien-pasien AIDS.
Mikroorganisme yang termasuk ke dalam MAC adalah M. avium, M.
intracellulare dan M. scrofulaceum. MAC, yaitu suatu kelompok baksil
tahan-asam, biasanya menyebabkan infeksi pernapasan kendati juga sering
dijumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.
Infeksi MAC akan disertai dengan angka mortalitas yang tinggi.
M. tuberculosis yang berkaitan dengan HIV cenderung terjadi di
antara para pemakai obat bius IV dan kelompok lain dengan prevalensi
infeksi tuberkulosis yang sebelumnya sudah tinggi. Berbeda dengan infeksi
oportunis lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung terjadi secara dini
dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosis AIDS.
Terjadinya tuberkulosis secara dini ini akan disertai dengan pembentukan
granuloma yang mengalami pengkijuan (kaseasi) sehingga timbul kecurigaan
ke arah diagnosis TB. Pada stadium ini. penyakit TB akan bereaksi dengan
baik terhadap terapi antituberkulosis. Penyakit TB yang terjadi kemudian
dalam perjalanan infeksi HIV ditandai dengan tidak terdapatnya resposn tes
kulit tuberkulin karena sistem kekebalan yang sudah terganggu tidak mampu
lagi bereaksi terhadap antigen TB. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut,
penyakit TB disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner
seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan
skrotum. Strain multipel baksil TB yang resisten obat kini bermunculan dan
kerapkali berkaitan dengan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan antituberkulosis.
2.1.4 Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah
sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan
terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan
protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen
grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi
virus dan sel yang terinfeksi.
Tempat masuknya kuman M.TB adalah saluran pernafasan.
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi TB. Infeksi TB dikendalikan oleh respon imunitas yang
diperantarai oleh sel. Sel fektornya adalah limfosit ( biasanya sel T ) dan
makrofag (Price, 2006).
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes
zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
2.1.5 Pathway

10
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi dengan penyakit HIV-AIDS, yaitu :
Penurunan sistem kekebalan tubuh akibat virus HIV (Human
Immuno Deficiency Virus), menyebabkan tubuh mudah diserang penyakit-
penyakit
1. Tuberkulosis Paru
2. Pneumonia Premosistis
3. Berbagai macam penyakit kanker
4. Pemeriksaan Penunjang
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Menurut WHO pengobatan pada ko-infeksi TB-HIV pada prinsipnya mengikuti
pengobatan yang ada dalam tuberkulosis dan harus dilakukan segera, sedangkan pengobatan
menggunakan ARV dimulai setelah pengobatan dengan OAT dapat ditoleransi dengan baik.
Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan OAT bersamaan dengan
ARV ini, diantaranya interaksi obat yang terjadi (rifampisin dengan beberapa jenis ARV),
gagal pengobatan ARV dan subtitusinya, dan Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
(IRIS) (Karim, Naidoo, Grobler, & Padayatchi, 2011). Tetapi di sisi lain pemberian ARV pada
ko-infeksi TB HIV dapat mengurangi angka kematian (Akksilp, Karnkawinpong,
Wattanaamornkiat, Viriyakitja, & Monkongdee, 2007).
Aspek yang harus diperhatikan dalam pengobatan pasien koinfeksi TB-HIV adalah
kepatuhan pasien, karena dengan menambahakan ARV ke dalam pengobatan tuberkulosis, hal
ini mungkin akan menurunkan kepatuhan pasien dan lebih lanjut akan menyebabkan
terjadinya resistensi. Biasanya dokter lebih memperhatikan interaksi antar obat yang
ditimbulkan dari kombinasi OAT dengan ARV ini dan juga kemungkinan efek toksik yang
muncul sehingga tidak memberikan kombinasi kedua golongan obat ini ke dalam pengobatan
TB-HIV. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahawa ARV yang merupakan obat aktif
kombinasi mampu meningkatkan angka keselamatan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal
yang perlu diingat dari pengobatan ko-infeksi TB-HIV ini adalah resiko kegagalan pengobatan
yang tinggi dan prognosis yang cukup buruk (Yaflar, fiengöz, Yildirim, & Nazlican, 2008).

1. Pengobatan Suporatif
Tujuan :
- Meningkatkan keadaan umum pasien
- Pemberian gizi yang sesuai
- Obat sistometik dan vitamin
- Dukungan Pasienikologis
2. Pengobatan infeksi oportunistik
a. Untuk infeksi :
- Kardidiasis eosofagus
- Tuberculosis
11
- Toksoplasmosis
- Herpes
- Pcp
- Pengobatan yang terkait AIDS , limfoma malignum , sarcoma
Kaposi dan sarcoma servik, disesuaikan dengan standar terapi
penyakit kanker
b. Terapi :
- Flikonasol
- Rifamfisin, INH , Etambutol, Piraziramid, Stremptomisin
- Pirimetamin, Sulfadiazine, Asam folat
- Ansiklovir
- Kotrimoksazol

12
3. Pengobatan anti retro virus
Tujuan :
- Mengurangi kematian dan kesakitan
- Menurunkan jumlah virus
- Meningkatkan kekebalan tubuh
- Mengurangi resiko penularan
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk mendiagnosa infeksi HIV , yaitu :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk mendeteksi gangguan sistem imun, yaitu :
- Hematokrit
- LED
- Rasio CD4 / CD Limposit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobin
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur, tempat dan tanggal lahir
b. Riwayat
Test HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-
obatan
c. Penampilan umum
Pucat, kelaparan
d. Gejala subyektif
Demam kronik dengan atau tanpa mengigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia
e. Pasienikososial
Kehilangan pekerjaaan dan penghasilan, perubahan pola hidup
f. Status mental
Marah atau pasrah, depresi , ide bunuh diri, halusinasi
g. HEENT
Nyeri perorbital, sakit kepala, edema muka, mulut kering
h. Pemeriksaan persistem
- Sistem persyarafan
- Sistem pernafasan
- Sistem musculoskeletal
- Sistem kardiovaskuler
- Sistem integument
i. Pola fungsi kesehatan
- Pola persePasieni dan pemeliharaan kesehatan
- Pola nutrisi
- Pola eliminasi
- Pola istirahat tidur
- Pola aktivitas dan latihan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi infeksi b/d malnutrisi dan pola hidup beresiko
b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, pertukaran oksigen malnutrisi
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang,
menurunnya absorbs zat gizi
d. Diare b/d infeksi GI (GastroIntestinal)
3. Intervensi dan Rasional Tindakan
a. Intervensi diagnosa 1
a. Reiko tinggi infeksi b/d malnutrisi dan pola hidup beresiko
Tujuan :
Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya,
dengan KH :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi baru
- TTV dalam batas normal
b. Intervensi (NIC)
- Monitor tanda-tanda infeksi baru
R/: untuk pengobatan dini
- Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan inovatif
R/: mencegah pasien terpapar kuman pathogen dari RS
- Kumpulkan specimen untuk test lab, sesuai order
R/: meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
- Atur pemberian anti infeksi sesuai oerder
- R/: mempertahankan kadar darah yang terapeutik
c. Intervensi diagnosa 2
b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi
Tujuan :
Pasien dapat berpartisifasi dalam kegiatan, dengan KH :
- Bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas
d. Intervensi (NIC)
- Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
R/: respon bervariasi dari hari ke hari
- Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
R/: mengurangi kebutuhan energy
- Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu istirahat
1. R/: ekstra istirahat perlu untuk meningkatkan kebutuhan metabolik
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Tn “J” datang ke RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang pada tanggal 04


Oktober 2014 pukul 18:45 WIB dengan keluhan pasien mengatakan demam
± 2 bulan SMRS, demam naik turun. Pasien juga mengatakan batuk
berdahak ± 1 tahun SMRS kadang ada sesak.
Saat di lakukan pengkajian pasien mengeluhkan batuk berdahak
disertai sesak, tidak nafsu makan dan tidurnya tidak nyenyak sehingga kami
mengangkat diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, pola
napas tidak efektif, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
dan gangguan pola tidur. Tindakan yang dilakukan diantaranya
memanajemen bersihan jalan napas, memanajemen frekuensi pola napas,
memanajemen status nutrisi serta memenajemen pola tidur yang mana setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pada empat diagnosa
keperawatan tersebut belum ada yang teratasi sepenuhnya.

B. Saran
Lebih teliti dalam pengkajian dan analisa data, karena yang menjadi
acuan dalam menentukan diagnosa Keperawatan adalah analisa data sebelum
menentukan rencana tindakannya.

46
DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long. 1996 Perawatan Medikal Bedah. Pedjajaran Bandung


Doenges, Marylyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Padila. S.Kep.NS.2012. Keperawatan Medikal Bedah. Numed. Yogyakarta
Smeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Brunner
dan suddart, Edisi 8, Jakarta, EGC.

Anda mungkin juga menyukai