Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN HIV/AIDS

“KONSEP DASAR HIV/AIDS DAN PERILAKU BERESIKO”

Dosen : Hermanto S, Ners., M.Kep

Disusun oleh:

FITRIALIYANI 2018.C.10a.0967

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
Rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Keperawatan HIV/ AIDS ini dengan baik dan tepat waktu, yang berjudul
“Konsep Dasar HIV/AIDS dan Perilaku Beresiko”.Makalah ini dapat
diselesaikan berkat bantuan doa dan dukungan dari beberapa pihak. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk memperbaiki kualitas
makalah ini. Harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga
pembaca.

Palangka Raya, 21 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Rumusan masalah.................................................................................................3

1.3 Tujuan...................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4

2.1 Pengertian HIV/ AIDS.........................................................................................4

2.2 Perbedaan Antara HIV dengan AIDS..................................................................4

2.3 Etiologi.................................................................................................................5

2.4 Epidemiologi........................................................................................................6

2.5 Manifestasi Klinik................................................................................................9

2.6 Patofisiologi........................................................................................................10

2.7 Penularan HIV/ AIDS........................................................................................11

2.8 Pengobatan HIV/ AIDS......................................................................................12

2.9 Pencegahan.........................................................................................................13

2.10Perilaku Beresiko..............................................................................................16

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................20

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................20

3.2 Saran...................................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di
dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza,
Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh menurut Kemenkes, 2015 dalam [ CITATION Isw17 \l 1057 ].
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala
dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit infeksi HIV dan AIDS
hingga kini masih merupakan masalah global karena penderita penyakit ini dari
tahun ke tahun makin meningkat dan sampai saat ini HIV/AIDS belum ada vaksin
maupun obat untuk benar-benar dapat menyembuhkan penyakit ini.
Penyebab HIV / AIDS sendiri disebabkan diantaranya yaitu selama
melakukan hubungan seks vaginal, anal atau oral dengan pasangan yang terinfeksi
yang darah, air mani atau cairan vagina memasuki tubuh. Kedua transfusi darah,
dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah. Ketiga yaitu
berbagi jarum, virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi
dengan darah yang terinfeksi. Keempat dari ibu ke anak. ibu yang terinfeksi dapat
menginfeksi bayi selama kehamilan atau persalinan, atau melalui menyusui.
Di Indonesia penderita HIV/AIDS terus meningkat dan dampak yang
ditimbulkan dari HIV/AIDS ini juga semakin memprihatinkan, karena sindrom ini
telah menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang sangat tinggi diantara usia
produktif. Masalah yang timbul juga sangat kompleks, bukan saja di bidang
kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial dan lain-lain.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah mendasar yang dihadapi Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan semata hanya penyakitnya, tetapi juga
masih banyak masyarakat belum bisa menerima keberadaan ODHA. Stigma
terhadap ODHA masih cukup banyak ditambah lagi dengan sikap yang
menghakimi, menjauhkan, mengucilkan, mendiskriminasi, bahkan sampai

1
perlakuan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga kriminal.
Untuk itu diperlukan upaya untuk mencegah stigma dan diskriminasi tersebut
melalui program penyuluhan, dukungan, perawatan,dan pengobatan yang
melibatkan semua pihak yang terkait agar ODHA dapat berfungsi sosial kembali.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana konsep dasar HIV/ AIDS
2. Apa sajakah perilaku beresiko untuk penyakit HIV/ AIDS
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan Umum dari makalah ini adalah menjelaskan konsep dasar HIV/
AIDS dan perilaku beresikonya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari makalah ini adalah menjelaskan konsep dasar HIV/
AIDS yaitu definisi, perbedaan antara HIV/ AIDS, etiologi, epidemiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, penularan HIV/ AIDS, Pengobatan HIV/
AIDS, Pencegahan HIV/ AIDS dan perilaku beresiko.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian HIV/ AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh manusia. Terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi
antara agen, host, dan environment. Di tinjau dari kasus HIV-AIDS dari tahun ke
tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat, maka penyakit ini menjadi
masalah kesehatan yang mengkhawatirkan bagi masyarakat, karena di samping
belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga
menimbulkan gejala selama perjalanan penyakitnya [ CITATION Nan12 \l 1057 ].
HIV(Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang
menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD
4+ dipermukaannya seperti magrofak dan limfosit T. AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome) merupakan suatu kondisi immunosupersif yang
bekaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta
manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) atau kumpulan berbagai
gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV (Hasdianah
dkk, 2014).
2.2 Perbedaan Antara HIV dengan AIDS
Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada
tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa
gejala adalah ‘HIV-positif’ atau mempunyai ‘penyakit HIV tanpa gejala.’ Apabila
gejala mulai muncul, orang disebut mempunyai ‘infeksi HIV bergejala’ atau
‘penyakit HIV lanjutan.’ Pada stadium ini seseorang kemungkinan besar akan
mengembangkan infeksi oportunistik. ‘AIDS’ merupakan definisi yang diberikan
kepada orang terinfeksi HIV yang masuk pada stadium infeksi berat. AIDS
didefinisi sebagai jumlah sel CD4 di bawah 200; dan/atau terjadinya satu atau
lebih infeksi oportunistik tertentu.
Istilah AIDS terutama dipakai untuk kepentingan kesehatan masyarakat,
sebagai patokan untuk laporan kasus. Sekali kita dianggap AIDS, berdasarkan
gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada statistik sebagai kasus,

3
dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali. Oleh karena itu,
istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu.
Orang terinfeksi HIV yang mempunyai semakin banyak informasi,
dukungan dan perawatan medis yang baik dari tahap awal penyakitnya akan lebih
berhasil menangani infeksinya. Terapi antiretroviral (ART) yang sekarang
semakin terjangkau dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; obat lain
dapat mencegah atau mengobati infeksi yang disebabkan HIV (Kannabus, 2008).
2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit
T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam
sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat
tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif
dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core)
dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis
prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).
Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian
luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus
sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.

4
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak.[ CITATION Sir04 \l 1057 ]
2.4 Epidemiologi
1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS
a. Berdasarkan Orang
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap
infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS
diasumsikan bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan
kehamilan, sehingga setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS.
Penelitian Hall dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune Deficiency
Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras
Kulit hitam 9 kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras Kulit putih dengan
Resiko Relative (RR) 9,16 dan Ras Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih
tinggi daripada Ras Kulit Putih (RR 3,05). Risiko menderita AIDS 2 kali
lebih tinggi pada orang Indian Amerika/penduduk asli Alaska dari pada orang
Asia/Kepulauan Pasifik (RR 2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih tinggi
pada Ras Kulit hitam dibandingkan pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali
lebih tinggi pada orang Aborigin dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36).
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di
Sub-Sahara Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat
pada orang dewasa. Sebesar 6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973
jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur
20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada
kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun,
2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60
tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui.
Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Menurut
laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS terdapat
pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS
pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966

5
kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan
49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada
kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5%
pada kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun,
0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan
>60 tahun masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), desain case
series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada
kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2%
berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP 33,5%, SLTA 32,3%, SD
19,5%, tidak sekolah 12,2% dan berpendidikan Akademi/PT 2,4%.26.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak 1992 hingga April 2009 terdapat 1.680
jumlah kumulatif HIV/AIDS, 1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus
pada perempuan (20,30%), 921 kasus pada kelompok umur 20-29 tahun
(54,82%) dan 523 kasus pada kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121
kasus pada kelompok umur 40-49 tahun (7,20%), 46 kasus pada kelompok
umur 10-19 tahun (2,74%), 41 kasus pada kelompok umur >50 tahun
(2,44%), 8 kasus pada kelompok umur 1-4 tahun (0,47%), masing-masing 5
kasus pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun (0,29%).
b. Berdasarkan Tempat
Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS)
tahun 2008, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4 penderita
HIV/AIDS, dengan PR pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di Asia Selatan dan
Asia Tenggara terdapat 3,8 juta ODHA dengan PR pada orang dewasa
sebesar 0,3%. Di Asia Timur terdapat 850.000 penderita HIV/AIDS dengan
jumlah kematian 59.000 kasus.Menurut Chin (2000), dari sekitar 33,4 juta
penderita HIV/AIDS di dunia tahun 1999, 22,5 juta diantaranya terdapat di
negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika Latin dan 665.000 di AS.
Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di
daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei

6
rumah tangga yang dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa
prevalensi HIV/AIDS 40% lebih tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah
pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96 kasus baru yang dilaporkan di Sri Lanka,
61% berasal dari Colombo yang merupakan ibukota Sri Lanka.
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973
kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000
penduduk tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67),
Kepulauan Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka
Belitung (11,36), Papua Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009
adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%),
Papua (14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik,
proporsi AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI
Jakarta 25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.
c. Berdasarkan Waktu
AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit
yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik). Sejak
ditemukan kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan
jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus
AIDS masih lambat, namun sejak tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua
kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus AIDS sejak awal tahun 2006 sampai
31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus mengalami peningkatan 235 kasus
dari tahun sebelumnya.
Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2009), trend kecenderungan
jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2005
terdapat 2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat menjadi 2.873 kasus baru,
tahun 2007 meningkat menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2008 meningkat
menjadi 4.969 kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru.
Sampai 31 Desember 2009 secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi
19.973 kasus.

7
1. Determinan HIV/AIDS
a. Agent
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang
sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat
yang dapat membunuh, virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV
tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin
tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya
penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV
atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah
dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai
temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan
air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan
dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan
radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau
peralatan lain.
b. Host
Distribusi penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika
tidak jauh berbeda kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun.
Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homoseksual
maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat
masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi
terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu
20-30 tahun. Pada tahun 2000 diperkirakan Virus AIDS menular pada
110 juta orang dewasa dan 110 juta anak-anak. Hampir 50% dari 110
juta orang itu adalah remaja dan dewasa muda usia 13 -25 tahun.
Informasi yang diperoleh dari Pusat AIDS International fakultas
Kesehatan Masyarakatat Universitas Harvard, Amerika Serikat
sejumlah orang yang terinfeksi virus AIDS yang telah berkembang
secara penuh akan meningkat 10 kali lipat.

c. Environment

8
Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat
menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata
ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for Sypphilis)
yang positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini
menjadi tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah
penggunaan obat KB. Pada para WTS di Nairobi terbukti bahwa
kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV
lebih tinggi.
Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual
masyarakat. Bila semua faktor ini menimbulkan permissiveness di
kalangan kelompok seksual aktif, maka mereka sudah ke dalam
keadaan promiskuitas.
2.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal
yaitu:
1. Manifestasi tumor
a. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi oportunistik
3. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam
dan demam.

9
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
4. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.
5. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
2.6 Patofisiologi
Patofisiologi menurut [ CITATION Ers18 \l 1057 ] yaitu:
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen
dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya.
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri.

10
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral
akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah
CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan
menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada
1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah
virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase
akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti
timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul
komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan
bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun.
2.7 Penularan HIV/ AIDS
HIV terdapat di darah seseorang yang terinfeksi (termasuk darah haid), air
susu ibu, air mani dan cairan vagina. Pada saat berhubungan seks tanpa kondom,
HIV dapat menular dari darah, air mani atau cairan vagina orang yang terinfeksi
langsung ke aliran darah orang lain, atau melalui selaput lendir (mukosa) yang
berada di vagina, penis, dubur atau mulut. HIV dapat menular melalui transfusi
darah yang mengandung HIV; saat ini darah donor seharusnya diskrining oleh
Palang Merah Indonesia (PMI), sehingga risiko terinfeksi HIV melalui transfusi
darah seharusnya rendah, walau tidak nol. HIV dapat menular melalui alat suntik
(misalnya yang dipakai secara pergantian oleh pengguna narkoba suntikan),
melalui alat tindakan medis, atau oleh jarum tindik yang dipakai untuk tato, bila
alat ini mengandung darah dari orang yang terinfeksi HIV. HIV dapat menular
pada bayi saat kehamilan, kelahiran, dan menyusui. Bila tidak ada intervensi,
kurang lebih sepertiga bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan HIV akan
tertular. HIV agak sulit menular, dan tidak menular setiap kali terjadi peristiwa
berisiko yang melibatkan orang terinfeksi HIV. Misalnya, walau sangat berbeda-
beda, rata-rata hanya akan terjadi satu penularan HIV dari laki-laki yang terinfeksi
pada perempuan yang tidak terinfeksi dalam 500 kali berhubungan seks vagina.
Namun penularan satu kali itu dapat terjadi pada kali pertama. Risiko penularan
HIV dari seks melalui dubur adalah lebih tinggi, dan penularan melalui
penggunaanjarum suntik bergantian lebih tinggi lagi. Risiko penularan dari seks
oral lebih rendah, tetapi tetap ada (Kannabus, 2008).

11
HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya
bertahan beberapa jam saja di luar tubuh. HIV tidak dapat menular melalui air
ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air kencing, walaupun jumlah
virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini. HIV tidak ditemukan di keringat.
HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan
dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi
HIV; saling penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau
air mandi bergantian. Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa risiko
apabila tindakan pencegahan diikuti seperti membuang jarum suntik secara aman
dan menutupi luka. HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk atau serangga
pengisap darah yang lain. Kebanyakan serangga tidak membawa darah dari satu
orang ke orang lain ketika mereka menggigit manusia. Parasit malaria memasuki
aliran darah dalam air ludah nyamuk, bukan darahnya (Kannabus, 2008).
2.8 Pengobatan HIV/ AIDS
Terapi pengobatan HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga obat yang
dikenal dengan terapi obat antiretroviral atau ARV.Terapi ini harus dipakai terus
menerusagar tetap efektif. Obat antiretroveral (ARV) menghambat proses
pembuatan HIV dalam sel CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang
tersedia untuk menularkan sel CD4 baru. Akibatnya sistem kekebalan tubuh
dilindungi dari kerusakan dan mulai pulih kembali, seperti ditunjukkan oleh
peningkatan dalam jumlah sel CD4 (Green, 2003). Manfaat yang diperoleh
dengan memakai ART, antara lain:
1. Menghambat perjalanan penyakit HIV
2. Meningkatkan jumlah sel CD4
3. Mengurangi jumlah virus dalam darah
4. Merasa lebih baik (Green, 2003)
Pengobatan untuk HIV sampai saat ini masih dengan obat terapi obat
antiretroviral atau ARV.Obat antiretroviral atau ARV fungsinya bukan untuk
menyembuhkan akan tetapi untuk menekan virus HIV agar tidak dapat
menggandakan diri. Dengan demikian mengurangi jumlah virus yang tersedia
untuk menularkan sel CD4 baru.

12
2.9 Pencegahan
1. Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan
HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen
(prong) sebagai berikut.
a) Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.
b) Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada
perempuan dengan HIV.
c) Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan
HIV dan sifilis) kepada janin/bayi yang dikandungnya.
d) Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.
Prog 1: Pencegahan penularah HIV pada perempuan usia produksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya
penularan HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia
reproduksi tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan
primer. Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya
hubungan seksual. Hal ini berarti mencegah perempuan muda pada usia
reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV.
Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah.
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai
berikut.
A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi yang belum menikah.
B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
(tidak berganti-ganti pasangan).
C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom.
D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

13
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain
sebagai berikut.
a) KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu
atau kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan
pasangannya.
b) Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang
mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular
HIV (misalnya penerima donor darah, pasangan dengan
perilaku/pekerjaan berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV.
c) Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.
Prog 2: Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan
seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan
dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil,
bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi
kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk
bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan
masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan
kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak
yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk
itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan
yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah
kehamilan yang tidak direncanakan.
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
a) Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan
informasi dan sarana pelayanan kontrasepsi yang aman dan efektif.
b) Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang
perencanaan kehamilan dan pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai,
kehidupan seksual yang aman dan penanganan efek samping KB.

14
c) Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan
dengan HIV.
d) Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.
Prog 3: Mencegah penularan HIV dan Sifilis dari ibu ke bayi
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar
antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan
dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang
teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan
anak yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui
bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian terapi yang adekuat
untuk sifilis pada ibu dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada
bayinya. Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup
langkah-langkah sebagai berikut.
a) Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
b) Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
c) Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin (untuk
sifilis) bagi ibu.
d) Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
e) Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta
KB.
f) Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
g) Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
h) Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
i) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama
hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling
efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV dan sifilis serta
mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan
dan pasca kelahiran.

15
2.10 Perilaku Beresiko
2.10.1 Perilaku Beresiko secara umum
Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan
tangan, bercumbu, berpelukan sampai ke hubungan seks. Objek seksualnya bisa
berupa orang lain atau khayalan. Aktivitas yang dapat menjadikan seseorang
melakukan perilaku seksual yaitu:
a) Berfantasi atau berimajinasi seksual yang bertujuan untuk menimbulkan
perasaan erotisme.
b) Bergandengan atau berpegangan tangan
c) Berciuman/ Kissing
d) Oral ( Memasukkan alat kelamin ke dalam tubuh)
e) Petting, melakukan hubungan seksualnya hanya dengan menggesek alat
kelamin
f) Intercourse, melakukan hubungan seksual dengan memasukkan alat
kelamin pria ke wanita.
g) Masturbasi, perilaku seksual dengan menyentuh, menggosok, meraba
kelamin untuk menimbulkan rasa kepuasan.
2.10.2 Perilaku Beresiko terhadap anak jalanan
Anak jalanan merupakan kelompok remaja yang beresiko tinggi tertular
infeksi menular seksual termasuk HIV. Tingginya angka infeksi HIV pada anak
jalanan dilatar belakangi oleh perilaku beresiko terinfeksi HIV. Penelitian di
Jakarta tahun 2000 sebanyak 22,3% anak jalanan sudah berhubungan seksual.
Penelitian di Makassar sebanyak 24% anak jalanan mengkonsumsi narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), sebanyak 15,2% memakai tato dan tindik,
serta aktivitas seks 2,4% pernah melakukan seks oral, dan 1,6% pernah
melakukan hubungan kelamin (intercourse). Penelitian di Semarang pada tahun
2005 menyebutkan sebagian besar anak jalanan memakai zat adiktif (61,76%)
menurut [ CITATION Hut141 \l 1057 ].
2.10.3 Perilaku Seksual Beresiko Pada Supir Angkutan Umum
a. Berdasarkan pasangan seksual

16
Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari pasangan
seksual yang berhubungan dengan istri saja sebanyak 33 orang (53.2%),
kemudian yang melakukan hubungan seksual dengan istri dan PSK
sebanyak 16 orang (25.8%). Dari hasil ini bisa dilihat masih ada
kemungkinan melakukan hubungan dengan selain pasangan sendiri dalam
satu bulan yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya penularan penyakit
HIV semakin meluas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ada hubungannya
jumlah pasangan dengan kejadian HIV. Di mana semakin banyak pasangan
seksual maka semakin banyak pula peluang tertularnya virus HIV dalam
tubuh ke tubuh yang lain. Sehingga virus ini juga berdampak pada ibu
rumah tangga yang memiliki suami dengan risiko tinggi. Sesuai dengan
hasil peta masalah oleh KPA (2008), bahwa jumlah WPS (wanita pekerja
seks) mencapai 221.000 orang yang melayani sekitar 4 juta pelanggan per
tahun. Dari hasil itu, Depkes memperkirakan ada 12-19 juta orang Indonesia
tertular HIV karena perilaku seksualnya atau dari pasanganya. Dari hal ini
sesuai dengan Depkes bahwa jumlah pasangan termasuk dalam perilaku
berisiko tertularnya penyakit HIV atau IMS lainnya.
b. Berdasarkan frekuensi melakukan hubungan seksual selain dengan istri
Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari frekuensi
hubungan seksual, kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan kondom serta
penggunaan paza suntik yang dilakukan berulang atau sering maka epidemi
HIV akan semakin meluas karena tingkat penularan yang tinggi dari
kelompok napza, ke kelompok penjaja seks lalu ke kelompok pelanggan
seks dan juga ke pasangan seksual. Berdasarkan hasil penelitian responden
yang tidak pernah melakukan hubungan seksual selain istri selama satu
bulan terakhir sebanyak 43 orang (69.4%), dan yang melakukan hubungan
seksual selain istri 1kali dalam satu bulan terakhir sebanyak 12 orang
(19.4%), hal ini menunjukkan bahwa responden melakukan hubungan
dengan selain istri sedikitnya dalam satu bulan satu kali. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa ada hubungannya frekuensi melakukan hubungan
seksual selain dengan istri dengan kejadian HIV. Di mana semakin sering
seseorang melakukan hubungan seksual selain dengan istri maka akan

17
rentan terkena HIV. Sehingga virus ini juga berdampak pada ibu rumah
tangga yang memiliki suami dengan risiko tinggi. Dimana frekuensi
melakukan pertukaran cairan spermatozoa memberi peluang risiko
tertularnya virus HIV dalam tubuh ke tubuh yang lain. Sesuai dengan
Depkes RI dalam laporan KPA (2008) bahwa Frekuensi melakukan
hubungan seksual selain dengan istri atau kontak seksual komersial
termasuk dalam perilaku berisiko. Semakin sering melakukan hubungan
seksual dengan berganti pasangan akan memperbanyak peluang tertularnya
virus dalam tubuh ke tubuh yang lain. Karena Virus HIV dapat ditularkan
pada saat hubungan seksual.
c. Berdasarkan kebiasaan menggunakan kondom
Pencegahan penyakit HIV-AIDS antara lain: Menghindari hubungan
seksual dengan penderita HIV-AIDS, mencegah berganti-ganti pasangan
hubungan seksual, menghindari hubungan seksual dengan pecandu
narkotika obat suntik, melarang orang berisiko tinggi untuk melakukan
donor darah, memastikan sterilisasi alat suntik (Widoyono, 2011).
Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari kebiasaan
responden menggunakan kondom, salah satu kegiatan penanggulangan HIV
adalah mengupayakan peningkatan penggunaan kondom pada setiap
kegiatan seks berisiko. Survey di banyak Negara menunjukkan semakin
tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks berisiko mampu mencegah
penularan HIV, terlihat dari semakin rendah kasus penularan infeksi
menular seksual, termasuk HIV. Dari hasil penelitian responden yang
menggunakan kondom ketika melakukan hubungan selain istri sebanyak 39
orang (62,9%) yang tidak menggunakan dikarenakan tidak berhubungan
dengan selain istri, dan dikarenakan alasan yang lain seperti kurang nyaman
atau tidak memiliki kondom. Berbagai alasan digunakan untuk menolak
memakai kondom ketika mereka berhubungan selain dengan istri.
Pencegahan HIV dalam hubungan terletak pada laki-laki di mana
penggunaan kondom lebih ditentukan oleh laki-laki. Virus HIV pada
spesmatozoa bisa dicegah dengan kondom agar tidak tertular kepada
pasangan seksual. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kondom bisa mencegah

18
terjadinya penularan penyakit HIV. Di mana semakin sering seseorang
melakukan hubungan seksual selain dengan istri dengan tidak menggunakan
kondom maka akan memberi peluang risiko tertularnya virus HIV lebih
cepat.
Berdasarkan penelitian dari 62 responden di Kabupaten Sidohardjo,
didapatkan hasil yang positif HIV. Ditinjau dari perilaku seksual berisiko
pada sopir angkutan umum sebagian kecil memiliki hubungan pasangan
seksual selain dengan istri, dalam perilaku seksual tersebut sebagian kecil
melakukan hubungan seksual satu bulan sekali, dan sebagian kecil tidak
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual selain dengan istri
yang mengakibatkan kejadian HIV menurut [ CITATION Nan12 \l 1057 ].

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di
dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza,
Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh menurut Kemenkes, 2015 dalam [ CITATION Isw17 \l 1057 ].
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Terapi pengobatan HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga obat yang
dikenal dengan terapi obat antiretroviral atau ARV.Terapi ini harus dipakai terus
menerusagar tetap efektif. Obat antiretroveral (ARV) menghambat proses
pembuatan HIV dalam sel CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang
tersedia untuk menularkan sel CD4 baru.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman
bagi pembaca khususnya mahasiswa/mahasiswi keperawatan. Makalah ini masih
banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ersha, R. F., & Ahmad, A. (2018). Human Immunodeficiency Virus-Acquired


Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma Kaposi.

Husna, C., & Fitriani, I. (2016). Kompetensi Perawat Pelaksana Dalam Merawat Pasien
HIV/ AIDS. Idea Nursing Journal .

Hutami, G. (2014). Hubungan Perilaku Beresiko Dengan Infeksi HIV Pada Anak
Jalanan Di Semarang. Jurnal Media Medika Muda .

Iswandi, F. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan HIV/ AIDS Di IRNA
Non Bedah Penyakit Dalam RSUP DR. M. DJAMIL Padang.

Nandasari, F., & Hendrati, L. Y. (2012). Identifikasi Perilaku Seksual Dan Kejadian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Sopir Angkutan Umum Di Kabupaten
Sidoharjo.

Siregar, Z. A. (2004). Pengenalan Dan Pencegahan AIDS.

21

Anda mungkin juga menyukai