Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

DENGAN KASUS DIFTERI


SUKU ASMAT KABUPATEN NDUGA – PAPUA

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Transkultural

Oleh Kelompok 3
M. Rifky 1712036
Enik Trisnawati 1612082
Nawang Nuvitasari 1712053
Deby Illahi 1712055
Ayunda Eka Karnita 1511002

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PATRIA HUSADA BLITAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Teori
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21,
termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar.
Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara (imigrasi)
dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan
keperawatan. Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge
yang kuat, yang dapat dikembangkan serta dapat diaplikasikan dalam praktek
keperawatan. Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan
yaitu metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory.
Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai
kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah
penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan
asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Medeline Leininger adalah pendiri dan pelopor keperawatan transkultural dan
teori perawatan manusia. Dia lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir perawat
profesional setelah lulus pendidikan dasar keperawatan dari St. Anthony School of
Nursing di Denver, Colorado tahun 1948. Bsc dari Benedectine Collage Atchison
tahun 1950. Setelah lulus, dia bekerja sebagai instruktur, staf keperawatan, dan kepala
perawat di unit medikal bedah, serta sebagai Direktur unit psikiatri di Rumah Sakit St.
Joseph, Omaha, Nebraska. Pada saat bersamaan, dia mendalami ilmu keperawatan,
administrasi keperawatan, mengajar dan kurikulum keperawatan, test dan pengukuran
di Universitas Creighton, Omaha.
Tahun 1954, memperoleh gelar Master keperawatan psikiatri dari Universitas
Catholic, Woshington DC. Dia dipekerjakan di sekolah kesehatan Universitas
Cincinnati, Ohio, disinilah dia menjadi master klinik, spesialis keperawatan psikiatri
anak yang pertama di dunia. Dia juga mengajukan dan memimpin program
keperawatan psikiatri di Universitas Cincinnati dan Pusat Keperawatan Psikiatri
Terapeutik di Universitas Hospital. Pada saat bersamaan, dia menulis salah satu dasar
keperawatan Psikiatri, yang berjudul Basic Psychiatri Concepts in Nursing, yang
dipublikasikan tahun 1960 dalam 11 bahasa dan digunakan diseluruh dunia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada
manusia (Leininger, 2002). Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring.
Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta
mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan
yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku
Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring
secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan
bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang
universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat
dengan tempat lainnya.
2.2 Paradigma Transkultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural
sebagaicara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat
konsepsentral keperawatan yaitu: manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan.
a) Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memilikinilai – nilai
dan norma – norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger manusia memiliki kecenderugan untuk
mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger
and Davidhizar, 1995)
b) Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi
dalam aktivitas sehari-hari.Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang
adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
c) Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yangmempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien.Lingkungan dipandang sebagai
suatu totalitas kehidupan dimanaklien dengan budayanya saling berinteraksi.
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik.
 Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan
olehmanusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan,
pemukimanpadat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang
hampirtertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjangtahun.
 Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang
berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke
dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial
individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan tersebut.
 Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang
menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatuseperti musik,
seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yangdigunakan.
d) Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuaidengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memnadirikan individu sesuai
dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan
adalah perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi
budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991)
 Cara I : Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya
dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan
nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
 Cara II : Negosiasi budaya Intervensi dan implementasi keperawatan
pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap
budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain
yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien
sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka
ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
 Cara III : Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya klien
dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan
yang dianut.
2.3 Konsep dalam Transcultural Nursing
1. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.
2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal daei
pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai
nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi
(Leininger, 1985
4. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang
lain.
5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
6. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan
asal muasal manusia
7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang
tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk
mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik
diantara keduanya.
8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi
dan kualitas kehidupan manusia.
9. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
10. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan
kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan
mencapai kematian dengan damai.
11. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya
bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.

Penjelasan Bagan
Teori Leininger dikembangkan dari antropologi dan keperawatan, namun diformulasikan
menjadi keperawatan transkultural dengan perspektif asuhan pada manusia. Leinenger
mengembangkan metode penelitian enthnonursing dan menegaskan pentingnya mempelajari
seseorang dari pengetahuan dan pengalaman lokal mereka, kemudian menghadapkan mereka
dengan perilaku dan kepercayaan yang ada di luar diri mereka (Alligood, 2006). Sunrise
model dikembangkan untuk memberikan gambar konseptual yang holistik dan komprehensif
dari faktor-faktor utama yang berperan penting dalam teori keragaman asuhan budaya &
kebersamaan asuhan budaya (Parker, 2001).

Dalam model sunrisenya menampilkan visualisasi hubungan antara berbagai konsep yang
signifikan ide pelayanan dan keperawatan. Memberikan asuhan merupakan jantung dari
keperawatan dan merupakan karakteristik dasar dari keperawatan. Terdapat 7 komponen yang
ada pada "Sunrise Model" dan dapat menjadikan inspirasi dalam penelitian khususnya yang
berkaitan dengan asuhan transkultural yaitu :
1. Pengkajian
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji lebih dalam tentang persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih
pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi
para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang
harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang
klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah
yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu
dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran
untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus
dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien
maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan
individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan
kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan
klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang
dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and
Davidhizar, 1995).

3. Perencanaan dan Pelaksanaan


Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih
strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai
denganlatar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman
yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu :
mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan
dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien
bertentangan dengan kesehatan.

a. Cultural care preservation/maintenance


1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
melahirkan dan perawatan bayi
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural careaccomodation/negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction
1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien
tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya
klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang
mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi
dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.

ANALISA KASUS

Teka-teki kasus kematian balita di suku asmat kabupaten Nduga, Papua menemui titik
terang. Kementrian Kesehatan telah mengantongi penyebab kematian puluhan anak disana.
Mentri kesehatan Nila Moeloek menjelaskan, tim kesehatan yang dikirim olehnya sudah
melakukan uji laboratorium. Hasilnya, kematian negative akibat infeksi virus. Dia juga
menyebutkan, ini bukan wabah seperti yang dikhawatirkan. “hasilnya justru positif diferi dan
pertussis, yang kemudian memicu pneumonia”, ungkapnya di Jakarta kemarin (11/12). Difteri
adalah radang tenggorokan yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian anak
hanya dalam beberapa hari saja. Sementara, Pertusis merupakan penyakit radang pernafasan
(paru) yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari. Gejala penyakit ini sangat khas,
yakni batuk yang bertahap, panjang dan lama disertai bunyi ‘whop’ dan diakhiri dengan
muntah. Mata menjadi bengkak dan penderita dapat meninggal karena kesulitan bernafas.
Gejala tersebut pun memiliki kesamaan dengan yang diderita oleh anak-anak di sana. Menteri
kesehatan Nila Moeloek mengatakan, penyakit ini terjadi lantaran kesadaran pola hidup
bersih di sana yang masih rendah. Dari laporan tim yang diterima olehnya, masyarakat
tinggal di rumah Honai dengan kapasitas tidak pas. Rumah ukuran lima sampai tujuh meter
persegi dihuni oleh 8-10 orang, dan rumah itu tanpa disertai ventilasi udara. “Lalu, di sana itu
kan perubahan suhu udara antara siang dan malam sangat drastis. Saat malam, dingin, mereka
menyalakan api di dalam. Bayi yang tidak tahan dan meninggal,”tuturnya. Bukan hanya itu,
sanitasi di sana juga masih buruk. Tidak ada air bersih yang dapat ditemui. Kondisi itu
diperparah dengan kebiasaan langsung konsumsi air tersebut oleh masyarakat setempat. Hal
ini pun yang menyebabkan penyakit mudah menyerang. Dari penelitian terakhir, jumlah
korban meninggal akibat difteri diketahui bertambah menjadi 38 orang. Jumlah tersebut
terdiri dari 35 anak-anak dan 3 orang dewasa. Semula, jumlah korban meninggal sebanyak 31
orang yang keseluruhannya anak balita. Angka tersebut merupakan akumulasi dari kematian
dari beberapa bulan sebelumnya.

(Sumber : Kemenkes ungkap penyebab kematian anak di Papua.diakses tanggal 13 Maret


2018.www.detik.com)

1. Pengkajian Transcultural Nursing


Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada
“Sunrise Model”, yaitu:
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Kelengkapan sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Fasilitas juga menentukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan
menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong atau memotivasi masyarakat
untuk melakukan upaya pengobatan. Namun lain halnya dengan masyarakat
Nduga, mereka belum merasakan teknologi yang canggih karena dalam kehidupan
sehari – hari mereka masih mengandalkan alam.
b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat
dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beraga Kristen. Mereka
memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah
misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang
pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (Kinship and Social Factors)
Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut
garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia.
Masyarakat penduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang
sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat Nduga Papua memiliki gaya hidup yang unik yaitu mereka
membangun rumah bernama honai dimana rumah tersebut tidak di perbolehkan
memiliki ventilasi khususnya untuk honai perempuan. Ukuran rumah Honai rata-
rata 5-7 meter persegi dengan tinggi 2,5 meter. Mengakibatkan kuman – kuman
berkembang biak dengan cepat karena tidak adanya ventilasi yang memadai.
Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur),
bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk
kandang ternak babi. Babi hidup bersama dengan manusia di dalam rumah dan
diperlakukan sebagai bagian dari keluarga. Babi menjadi lambang kemakmuran
dan prestise bagi masyarakat Nduga. Kabupaten Nduga sangat luas dengan jumlah
32 distrik dan 248 kampung. Akses yang ditempuh cukup sulit dan masih terisolir,
menyebbkan fasilitas kesehatan di kabupaten Nduga sangatlah minim. Dalam satu
kabupaten hanya ada satu rumah sakit tipe D dengan jarak tempuh yang cukup
jauh. Sehingga dalam pengobatan, masyarakat Ndago masih mengandalkan
ramuan yang di racik sendiri.
e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat Papua tepatnya di Kabupaten Ndago memiliki tradisi terkait rumah
honai yang mereka huni. Rumah honai tersebut tidak hanya digunakan untuk
tempat tinggal mereka namun rumah honai selain sebagai tempat tinggal juga
mempunyai fungsi lainnya seperti tempat penyimpanan alat-alat perang dan
berburu, juga sebagai tempat melatih anak lelaki agar bisa menjadi orang yang
kuat waktu dewasanya nanti dan berguna bagi sukunya.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan konstribusi terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Tingkat pendapatan masyarakat Papua, apabila
dirata-ratakan sampai ditingkatan terbawah hingga ke wilayah pedesaan,
pedalaman maupun perkampungan masuk pada kategori yang sangat rendah
menyebabkan tidak meratanya akses kesehatan yang juga masih sangat jarang ada
di Kabupaten Ndago Papua. Penghidupan sehari-hari masyarakat Nduga diperoleh
dari hasil perladangan, perburuan, dan pemeliharaan babi. Mata pencaharian
masyarakat Nduga adalah petani ubi, peternak babi, dan keladi. Babi digunakan
antara lain untuk maskawin dan pembayaran denda atau karena sebab perang
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Selama ini, tingkat pendidikan rakyat Papua masih terbilang rendah. Hal ini bisa
dilihat dari tingkat partisipasi murni pendidikannya. Artinya, 50 persen lebih
anak-anak usia sekolah tidak mendapatkan pendidikan di sekolah. Terutama, di
kampung-kampung pedalaman. Faktor mahalnya biaya dan jauhnya sekolah
menjadi kendala. Namun, faktor utamanya adalah kurangnya guru (berkualitas)
untuk mendidik anak-anak usia sekolah mendapatkan pendidikan layak. Akibat
pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan merekapun juga
rendah. Merekapun tidak bisa berkembang. Mereka tidak mengerti apa yang telah
dilakukan mereka itu kurang benar. Anggapan mereka tentang pemberian ventilasi
pada rumah juga masih sangat kurang dan keterikatan adat yang kental
menjadikan mereka patuh terhadap keadaan rumah mereka yg tidak berventilasi.
2. Diagnosis Keperawatan
Data Obyektif Masalah Etiologi
1. Masyarakat Nduga membangun rumah bernama honai yang tidak di Defisit Pengetahuan (lingkungan Kurang terpapar
perbolehkan memiliki ventilasi. bersih dan sehat) informasi
2. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat
beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama,
dan bangunan ketiga untuk kandang ternak babi. Ukuran rumah
Honai rata-rata 5-7 meter persegi dengan tinggi 2,5 meter dan
dihuni 8-10 orang.
3. 50 persen lebih anak-anak usia sekolah tidak mendapatkan
pendidikan di sekolah.
4. Pola hidup bersih yang masih rendah (sanitasi buruk, tidak ada air
bersih yang dapat ditemui, dan kebiasaan langsung konsumsi air
(tanpa dimasak) oleh masyarakat setempat.

1. Masyarakat Nduga belum merasakan teknologi yang canggih Pemeliharan kesehatan tidak efektif Ketidakcukupan sumber
karena dalam kehidupan sehari – hari mereka masih mengandalkan daya
alam.
2. Kabupaten Nduga sangat luas dengan jumlah 32 distrik dan 248
kampung. Akses yang ditempuh cukup sulit dan masih terisolir.
3. Dalam satu kabupaten hanya ada satu rumah sakit tipe D dengan
jarak tempuh yang cukup jauh.
4. Dalam pengobatan, masyarakat Nduga masih mengandalkan
ramuan yang di racik sendiri.
FORMAT MENYUSUN SKALA PRIORITAS

Diagnosa Perhatian Tingkat Kemungkinan Untuk


Poin Prevalensi Nilai Total
Keperawatan/Kriteria Masyarakat Bahaya Dikelola
Defisit Pengetahuan (lingkungan
bersih dan sehat) b/d
4 4 3 3 14
Kurang terpapar informasi
Pemeliharan kesehatan tidak
efektif
b/d 3 3 3 3 12

Ketidakcukupan sumber daya

Keterangan :
1. Rentang skor : 1-4
2. Skor yang diperoleh tambahkan ke kanan : skor perhatian masyarakat + skor poin prevalensi + skor
Tingkat bahaya + skore kemungkinan untuk dikelola = Nilai total
3. Prioritas masalah berdasarkan urutan perolehan skor

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Defisit pengetahuan Pengetahuan : Perilaku Kesehatan 1. Pendidikan kesehatan
Aktifitas :
(lingkungan bersih dan
Indikator a. Targetkan sasaran dari pendidikn kesehatan
sehat) b/d kurang b. Tentukan pengetahuan kesehatan dan gaya hidup
terpapar informasi. 1. Strategi untuk mencegah kelompok/komunitas sasaran
penyebaran penyakit menular dalam c. Tekankan manfaat kesehatan positif
d. Libatkan kelompok/komunitas sasaran dalam
skala 5
perencanaan dan rencana implementasi gaya hidup atau
modfikasi perilaku kesehatan

2. Bantuan pemeliharaan rumah


Aktifitas :
a. Tingkatkan kebutuhan pemeliharaan rumah
b. Libatkan keluarga/ komunitas dalam memutuskan
kebutuhan pemeliharaan rumah
c. Berikan informasi mengenai bagaimana membuat rumah
aman dan bersih

3. Cultual care repartening/reconstruction


Aktifitas:
a. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya
(berikan penyuluhan kesehatan terkait manajemen
lingkungan bersih dan sehat)
b. Gunakan pihak ketiga
(melibatkan stakeholder dalam relokasi rumah Hanoi)
c. Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa
kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
d. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan
kesehatan
(berikan penyuluhan kesehatan untuk memanfaatkan
layanan kesehatan yang ada di sekitar : promotif, preventif,
kuratif, rehabilitative)

4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan terhadap peningkatan pemahaman masyarakat suku asmat kabupaten Nduga terkait dengan managemen lingkungan
hidup beersih dan sehat.
PEMBAHASAN
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagaicara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral keperawatan yaitu:
manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan.
Dalam makalah ini, kami mengambil kasus nyata yang terjdi pada masyarakat suku
asmat kabupaten Nduga Papua. jumlah korban meninggal akibat difteri diketahui bertambah
menjadi 38 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 35 anak-anak dan 3 orang dewasa. Penggunaan
aspek budaya pada saat ini di anggap penting, karena apabila perawat tidak melihat konteks
budaya, maka masyarakat mungkin saja mengikuti apa yang dianjurkan oleh perawat pada
saat di lakukan intervensi. Akan tetapi saat masyarakat kembali kepada komunitasnya, bisa
jadi mereka kembali pada budaya yang sudah lama mereka anut.bila hal ini terjadi, maka
tujuan dari asuhan keperawatan tidak bisa tercapai.

1. Pengkajian
Ada beberapa komponen pengkajian yang digunakan dalam kasus ini, yaitu faktor
teknologi (tecnological factors), faktor agama dan falsafah hidup (religious and
philosophical factors), faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social
factors), nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways), faktor
kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors), aktor ekonomi
(economical factors), aktor pendidikan (educational factors). Dalam pengkajian ini,
kami menggunakan study literatur tanpa melakukan wawancara terhadap narasumber.
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Masyarakat kabupaten Nduga masih jauh dari paparan teknologi yang ada, dan
masyarakat disana masih mengandalkan penghidupan yang bersumber dari alam)
b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (Kinship and Social Factors)
Masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis
keturunan ayah (patrilinea). Masyarakat penduduk asli Papua cenderung
menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan
pegunungan.

d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat kabupaten Nduga menghuni rumah yang disebut dengan honai,
dimana rumah hunian ini tidak memiliki ventilasi selain pintu masuk saja, dengan
ketinggian 2.5 meter saja. Sebenarnya tujuan dari rumah honai ini dibuat adalah
untuk menghindari dari hawa dingin dengan meminimalisir ventilasi yang ada.
Akan tetapi dari segi kesehatan hal ini sangat tidak dianjurkan karena tidak ada
pertukaran udara di dalamnya.
e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat kabupaten Nduga sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang ada di
daerah mereka dengan salah satunya membangun rumah honai. Tidak hanya itu,
sebagai bentuk penghormatan pada hewan babi, mereka tak segan berbagi tempat
hunian dengan hewan peliharaan itu.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Penghidupan sehari-hari masyarakat Nduga masih mengandalkan hasil alam
berupa perladangan,, perburuan alam, dan pemeliharaan babi.
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Pendidikan yang ada di kabupaten Nduga masih terbilang rendah. Banyak faktor
yang menyebabkan hal ini, antara lain karena akses daerah yang memang cukup
sulit di jangkau, yang berimplikasi pada kurangnya jumlah tenaga pendidik yang
bersedia untuk memberikan pengajaran disana.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang
dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and
Davidhizar, 1995). Dalam kasus ini, kami menggunakan diagnosa keperawatan
komunitas yang diperoleh dari analisa data. Dari analisa data di dapatkan masalah dan
etiologi yang selanjutnya di tarik diagnose keperawatan komunitas. Selanjutnya
diagnosa-diagnosa tersebut di tentukan mana yang lebih prioritas untuk dilakukan
intervensi terlebih dulu.

3. Intervensi keperawatan
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah
melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Giger and
Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan
transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang
dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi
budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah
budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. Dalam
kasus ini kami membuat secara ringkas intervensi keperawatan yang dikemas dalam
planning of action yang menjadi ciri khas dalam pemberian intervensi keperawatan
komunitas. Dalam planning of action tersebut kami mengambil intervensi
keperawatan transkultural yaitu merubah budaya masyarakat saat budaya rumah honai
bertentangan dengan kesehatan.

4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan untuk menilai keberhasilan
masyarakat tentang pemahaman intervensi yang telah diberikan.

KESIMPULAN

1. Keperawatan transkultural adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan


yang difokuskan kepada individu dan atau kelompok untuk mempertahankan,
meningkatkan perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya.
2. Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus mempetimbangkan aspek
bio, psiko, social, dan spiritual. Dalam keperawatan transkultural ini bisa di ambil
kesimpulan bahwa perawat tidak bisa memaksakan intervensi tanpa
mempertimbangkan aspek budaya yang berlaku.
REFERENSI

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill
Companies

Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L, (1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis and
Application, USA, Appleton & Lange

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed,
Philadelphia, JB Lippincot Company

Anda mungkin juga menyukai