Anda di halaman 1dari 3

PERILAKU MENYIMPANG

Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut
pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada
makhluk sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku,
perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-
norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk
berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun di
tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat, misalnya seorang siswa menyontek
pada saat ulangan, berbohong, mencuri, dan mengganggu siswa lain.

Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat disebut deviasi (deviation),


sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant).
Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang sering
disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di dalamnya
seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.

Contoh perilaku menyimpang perawat yaitu :

Contoh 1:

Dengan performance layaknya pemuda sekarang, bersama temannya, mereka datang ke rumah.
Mereka berdua, kuliah di jurusan ilmu keperawatan, semester empat saat ini, dari sebuah kampus
terkenal di kota kami.

Komunikasinya lugas, apa adanya. Sambil ngobrol, pandangan saya tertuju kepada kepala dan
tangan, salah satu dari mereka, yang duduk terdekat dengan saya. Dia mengenakan kalung kecil
dan gelang. Kelihatannya dari bahan kain.

Sempat bertanya,:"Untuk apa mengenakan kalung dan gelang tersebut?"

Sambil tertawa ringan, dijawabnya,:"Tidak untuk apa-apa pak......"

"Kalian ke kampus juga mengenakannya?" Saya lebih lanjut bertanya, ingin tahu.

Keduanya tidak menjawab. Hanya tersenyum ringan. Saya mengerti maknanya.....


Contoh 2

Tidak jauh dari rumah, juga terdapat sebuah kampus keperawatan. Setiap hari puluhan
mahasiswa terlihat mondar-mondir di kampus dan sekitarnya. Di depan kampus juga terdapat
sebuah rumah sakit besar, tempat ratusan mahasiswa keperawatan praktik. Seorang perawat
senior bidang Diklat RS tersebut memberitahu, tidak kurang 40 kampus praktik di sana, setiap
tahunnya. Mereka bukan hanya dari Jawa Timur, pula Indonesia Bagian Timur.

Dari seragamnya, kami bisa melihat bahwa mereka adalah mahasiswa. Generasi muda nursing
ini tidak jarang saya lihat asyik dengan rokoknya di jalanan, warung, toko foto copy, atau
sekedar nongkrong killing the time.

Tidak hanya mahasiswanya. Karyawan RS, kampus kesehatan, juga merokok. Meski ada tulisan
'Dilarang Merokok' di kantor-kantor, mereka tidak kurang akal. Yang penting bisa menikmati
rokok, di luar kantor, halaman, mobil kantor, atau warung pun jadi.

Kita hidup di tengah masyarakat, tidak pernah lepas dari gunjingan. Apa saja yang kita
kenakan, lakukan, meski milik sendiri, sepertinya tidak pernah sepi dengan yang namanya
'kritik'. Utamanya yang menyangkut: adat istiadat, budaya, norma, kebiasaan, profesi dan
pekerjaan. Sebagaimana pemuda yang datang ke rumah saya, calon perawat masa depan, laki-
laki, yang mengenakan galung dan gelang. Sebagaimana mahasiswa keperawatan, dosen, serta
pegawai kampus pendidikan kesehatan yang merokok di sekitar kampus dan RS di atas.

Benar, bahwa mengenakan kalung dan gelang itu milik dan hasil pembeliannya sendiri.
Benar bahwa merokok dengan duitnya sendiri. Rusak juga tubuh sendiri. Namun, perlu dicatat,
begitu di luar, mereka adalah 'konsumsi' publik. Yang menyimak, bukan hanya dirinya sendiri.

Di negeri ini, ada norma, adat, etika serta budaya yang harus dijaga.

Beda dengan artis, entertainer, penyanyi, seniman laki-laki misalnya, mungkin bisa
dimaklumi. Mereka bebas berdandan. Kadang sekenanya. Yang laki-laki berpakaian ala
perempuan tidak masalah, guna mengundang tawa. Yang perempuan berpakaian setengah
telanjang dada, pula tidak dipersoalkan oleh pemirsa.

Begitu terjadi pada perawat, yang nota bene seorang public figure, akan beda. Mereka bukan
obyek hiburan. Perawat menjadi sorotan masyarakat. Saran, nasihat, arahan perawat didengar
dan dipatuhi. Perawat tidak mungkin tampil seperti artist atau pelawak yang jadi bahan gelak
tawa. Apalagi preman.

Perawat tidak mungkin tampil di jalan dengan pakaian mode terakhir, dengan asesori
beragam warna menyaingi pakaian tradisonal suku tertentu di Nusantara ini. Perawat tidak
mungkin jalan bergandengan tangan sambil tertawa terbahak-bahak. Perawat tidak mungkin
berlenggok ala peragawati di catwalk.
Demikian pula dosen kampus-kampus keperawatan. Kita sering jumpai dosen yang dengan
seenaknya merokok di depan mahasiswa dan juga masyarakat yang mengenalnya. Di dalam juga
di luar kampus. Meski kita semua tahu, duit yang digunakan membeli rokok berasal dari kantong
dan gajinya sendiri. Kalaupun sakit, juga ambil jatah BPJS nya sendiri.

Dulu, merokok hanya terbatas membahayakan. Kemudian, Pemerintah, lewat Kementrian


Kesehatan mereview ulang 'Peringatan' ini dengan yang lebih tegas: 'Merokok Membunuhmu'.
Ironisnya, mahasiswa dan dosen study kesehatan sendiri, malah hadir sebagai 'Model' hidup
iklan rokok. Mereka bukannya memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat untuk
menghindari rokok, malah sebaliknya, memberikan contoh: merokok lah!

Mahasiswa, dosen, karyawan kampus, telah melanggar prinsip utama mereka sebagai role
model pendidikan sesuai jurusannya. Sayang sekali, mahasiswa, dosen dan karyawan kampus
keperawatan banyak yang tidak peduli akan fenomena ini.

Urusan potong rambut, gelang & kalung pada laki-laki, model pakaian, rokok, kelihatannya
kecil dan sepele. Sebenarnya, dari yang kecil-kecil dan sepele inilah persoalan besar bakal
menumpuk.

Kebiasaan merokok bisa berubah menjadi adiksi. Pelakunya akan sulit menghilangkan. Saat
kerja, boleh jadi akan korupsi waktu, hanya untuk merokok. Sebuah korupsi kelas kecil. Tetapi
sampai kapan?

Kampus keperawatan malah ada yang mendukung. Dengan yang menyediakan 'Asbak' di
meja untuk tamunya, sementara kampanye 'Dilarang Merokok' dipampang di mana-mana.

Tiga puluh tahun silam, siswa Perawat SPK aturannya sangat ketat. Rambut gondrong,
kalung, gelang, rokok dilarang keras bagi laki-laki. Make up nyolok, pakaian ketat, rok mini,
dilarang bagi siswa perempuan. Melanggar aturan ini, akibatnya bisa runyam. Bisa dikeluarkan
dari pendidikan.

Saat ini, model rambut, gelang dan kalung gaya preman, rokok, semua dianggap biasa.
Peringatan iklan merokok yang membunuh, oleh orang kesehatan sendiri, tidak digubris di
kampus. Norma-norma budaya dan cara pandang generasi profesional kita mulai luntur.

Memang, banyak mahasiswa, dosen dan karyawan yang tahu diri akan norma ini. Namun,
ribuan yang bebas berkeliaran, mengkampanyekan arti 'kebebasan'.

Himbauan 'Dilarang Merokok' saja, sebagai contoh, ternyata jauh dari cukup. Belum lagi,
'Dilarang Buang Sampah', 'Dilarang Makan dan Minum di sini', dll.

Sampai ada aturan yang jelas, yakni Law Enforcement (didenda atau ditindak bagi yang
melanggar), yang didukung Pemerintah Daerah, Kementrian Pendidikan, Kementrian Kesehatan
dan seluruh civitas akademika, individu-individu di kampus, dunia pendidikan kesehatan,
keperawatan khususnya, kita tidak akan berubah. Masyarakat Indonesia, tidak bakalan bebas dari
imbas 'penyimpangan' orang-orang dalam profesi ini.

Anda mungkin juga menyukai