Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAJIAN AIDS, TB, & MALARIA


(Yane Tambing, SKM, M.Kes)

OLEH :

DEVY FOOIS TALANTAN 20170711014127

PEMINATAN KESEHATAN REPRODUKSI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Kajian AIDS,TB, & Malaria”.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu
diharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun agar di kemudian hari kami tidak
melakukan kesalahan yang sama.

Akhir kata kami harap makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Jayapura, 25 Juli 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................
C. Tujuan...........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pencapaian & Tantangan Implementasi Program Pengendalian HIV-AIDS &
PIMS di Indonesia ......................................................................................
B. Strategi Pemerintah terkait dengan Program Pengendalian HIV AIDS dan
PIMS ............................................................................................................
C. Penerapan Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS ............................................................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi menular seksual (IMS) merupakan penyakit yang memiliki dampak yang
besar terhadap kesehatan seksual dan reproduksi. IMS disebabkan oleh aktivitas seksual yang
tidak sehat sehingga berakibatkan munculnya penyakit menular. IMS yang ditularkan melalui
hubungan seksual, terdiri atas 8 penyakit dimana empat diantaranya dapat disembuhkan yaitu :
sifilis, klamidia, gonore, dan trikomoniasis melalui pengobatan. Sedangkan empat lainnya tidak
dapat disembuhkan, namun dapat termodulasi melalui pengobatan yaitu : HPV, herpes, HIV, dan
hepatitis B.
Penyakit HIV/AIDS juga merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi
masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health Organization) tahun
2012, penemuan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dunia pada tahun 2012
mencapai 2,3 juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita meninggal karena AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) dan 210.000 penderita berusia di bawah 15 tahun (WHO, 2012).
WHO memperkirakan bahwa, kasus IMS ditemukan hampir 1 juta setiap hari dan 357
juta kasus setiap tahunnya di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang seperti Afrika,
Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Pada negara-negara berkembang, infeksi dan
komplikasi IMS merupakan salah satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan. Dalam
hal ini United State Bureau of Census pada tahun 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang
tinggi pravelensi IMS, ternyata tinggi pula pravelensi HIV-AIDS. Seseorang yang menderita
IMS dapat meningkatkan penularan HIV 5 hingga 10 kali. Secara global, hingga tahun 2017
terdapat 36,9 juta jiwa hidup dengan HIV, 1,8 jiwa menjadi pendatang baru, dan kematian akibat
HIV sebanyak 940.000 jiwa.
Kasus HIV di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1987 di Bali, dan sampai
september 2018, HIV-AIDS sudah menyebar di 458 (89,1%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Jumlah kasus HIV di Indonesia cenderung mengalami peningkatan di
setiap tahunnya, seperti pada tahun 2012 terdapat 21.511 kasus, tahun 2013 terdapat 29.037
kasus, 2014 terdapat 32.711 kasus, tahun 2015 terdapat 30.935 kasus, tahun 2016 terdapat
41.250 kasus dan tahun 2017 terdapat 48.300 kasus, sehingga jumlah kumulatif infeksi HIV yang
dilaporkan dari tahun 2005 hingga september 2018 sebanyak 314.143 kasus.
Upaya untuk menurunkan angka HIV dan AIDS salah satunya dengan memberikan
pendidikan dan informasi yang jelas tentang HIV dan AIDS, sehingga masyarakat waspada dan
merubah perilakunya untuk melakukan upaya pencegahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pencapaian dan tantangan implementasi program pengendalian HIV-AIDS &
PIMS di Indonesia?
2. Apa strategi pemerintah terkait dengan program pengendalian HIV-AIDS & PIMS?
3. Bagaimana penerapan permenkes No 21 Tahun 2013 tentang penanggulanan HIV-
AIDS?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pencapaian dan tantangan implementasi program pengendalian
HIV-AIDS & PIMS di Indonesia
2. Untuk mengetahui apa strategi pemerintah terkait dengan program pengendalian
HIV-AIDS & PIMS
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan permenkes No 21 Tahun 2013 tentang
penanggulanan HIV-AIDS
BAB II
PEMBAHASAN

HIV menyebabkan AIDS dan mengganggu kemampuan tubuh melawan infeksi.


Virus ini dapat ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, air mani, atau cairan
vagina.
Dalam beberapa minggu infeksi HIV, gejala seperti flu seperti demam, sakit tenggorokan, dan
kelelahan dapat terjadi. Kemudian penyakit ini biasanya tanpa gejala sampai berkembang
menjadi AIDS. Gejala AIDS termasuk penurunan berat badan, demam atau berkeringat saat
malam, kelelahan, dan infeksi berulang.
Tidak ada obat untuk AIDS, tetapi kepatuhan yang ketat untuk mengonsumsi rejimen anti-
retroviral (ARV) dapat secara dramatis memperlambat bertambah parahnya penyakit serta
mencegah infeksi sekunder dan komplikasi.
Infeksi Menular Seksual adalah infeksi yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan
seksual, baik hubungan seks vaginal (melalui vagina), anal (anus/dubur) atau oral (melalui
mulut).
Infeksi Menular Seksual biasa juga dikenal sebagai Penyakit Menular Seksual (PMS) atau biasa
disebut penyakit kelamin. Tetapi, penggunaan istilah PMS atau penyakit kelamin sudah tidak
digunakan lagi, karena beberapa jenis infeksi tidak hanya bisa menginfeksi bagian alat
reproduksi saja atau dikarenakan hubungan seksual saja.
IMS dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. IMS yang ditularkan melalui hubungan seksual, biasanya bibit/virus penyakit terdapat di
cairan sperma, cairan vagina dan darah.
2. IMS yang disebabkan/ditularkan tidak melalui hubungan seksual, melainkan disebabkan
gaya hidup yang tidak sehat. Misal berganti-gantian menggunakan handuk atau pakaian
dalam dengan oang lain, jarang menganti pakaian dalam, masturbasi menggunakan alat
atau cara yang bisa menyebabkan luka atau lecet di alat reproduksi, cara cebok yang
salah dan mengunakan air yang tidak bersih.
A. Pencapaian dan Tantangan Implementasi Program Pengendalian HIV AIDS
dan PIMS di Indonesia
Pada beberapa tahun terakhir telah tercatat kemajuan dari pelaksanaan program
pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan HIV telah berkembang dan jumlah orang yang
memanfaatkannya juga telah bertambah dengan pesat. Walaupun data laporan kasus HIV dan
AIDS yang dikumpulkan dari daerah memiliki keterbatasan, namun bisa disimpulkan bahwa
peningkatan yang bermakna dalam jumlah kasus HIV yang ditemukan dari tahun 2009 sampai
dengan 2012 berkaitan dengan peningkatan jumlah layanan konseling dan tes HIV (KTHIV)
pada periode yang sama. Namun demikian kemajuan yang terjadi belum merata di semua
provinsi baik dari segi efektifitas maupun kualitas. Jangkauan dan kepatuhan masih merupakan
tantangan besar terutama di daerah yang jauh dan tidak mudah dicapai.
Pada tahun 2016 dilaporkan 41.250 kasus HIV baru dan sampai Maret 2017 dilaporkan
10.376 Kasus HIV baru. Secara kumulatif telah teridentifikasi 242.699 orang yang terinfeksi
HIV. Jumlah layanan yang ada hingga Maret 2017 meliputi 3.450 layanan KTHIV dan konsoling
yang diprakarsai oleh petugas kesehatan 705 layanan perawatan, dukungan dan pengobatan
(PDP) yang aktif melaksanakan pengobatan ARV, 90 layanan PTRM, 1.689 layanan IMS dan
252 layanan PPIA. Dari hasil modeling prevalensi HIV secara nasional sebesar 0,4% (2014),
tetapi untuk Tanah Papua 2,3% (STBP Tanah Papua 2013). Perkiraan prevalensi HIV di
Indonesia cukup bervariasi, berkisar antara 2 kurang dari 0,1% sampai 4% (lihat Gambar 1). Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat risiko infeksi HIV maupun beban terkait HIV ini berbeda di
antara provinsi-provinsi di Indonesia.
Model matematika dari epidemi HIV di Indonesia (Asian Epidemic Model, 2012)
menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kelompok LSL dan wanita umum sedangkan di
Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan kasus pada populasi umum, seperti terlihat dalam
Gambar 1 dan 2 di bawah :
Rekomendasi yang dihasilkan pada Kajian Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan
AIDS di Indonesia, 2011, menekankan perlunya membangun layanan HIV yang
berkesinambungan dari layanan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan, yang lebih
erat berkolaborasi dengan komunitas atau masyarakat, dengan tujuan untuk mempercepat
perluasan layanan pengobatan yang terdesentralisasi, terpadu dan efektif. Kecuali itu juga perlu
memperluas kemitraan dengan pihak di luar sektor kesehatan, terutama LSM, komunitas/kader,
ODHA dan kelompok populasi kunci sesuai dengan sistem pendukung yang ada di suatu daerah.
Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan berbagai pihak telah mengembangkan model
layanan HIV-PIMS komprehensif dan berkesinambungan (LKB) untuk memastikan
terselenggaranya layanan komprehensif yang terdesentralisasi dan terintegrasi dalam sistem yang
ada hingga ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). 4 Kebijakan pengendalian HIV-
AIDS mengacu pada kebijakan global Getting To Zeros, yaitu: 1. Menurunkan hingga
meniadakan infeksi baru HIV; 2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan
oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; 3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA;
Kebijakan tersebut diatas akan sulit dicapai jika cakupan penemuan kasus dan akses pemberian
pengobatan masih rendah.

B. Strategi Pemerintah terkait dengan Program Pengendalian HIV-AIDS dan PIMS

1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini :


a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV perlu
dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat
inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu
hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS,
pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL dan
penasun.
c. Kabupaten/kota dapatmenetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan intervensi
sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar
pelayanan diseluruh fasilitas kesehatan ( FASKES ) pemerintah sesuai epidemic dari tiap
kabupaten/kota.
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka bidan atau
perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ketingkat Puskemas.
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan
terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui layanan
PIMS dan PTRM.
2. Meningkatkan cakupan pemberian & retensi terapi ARV, serta perawatan kronis :
a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KDT-Fixed Dose
Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari
pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa menelan
obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas.
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun
stadium klinisnya pada:
- Kelompok populasi kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza
suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain.
- Populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi TB-HIV, pasien
ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya HIV
negative (pasangan sero- diskor), dan bayi/anak dengan HIV (usia<5tahun).
- Semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemic meluas.
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten melalui
kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV.
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis
(EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk
dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem rujukan
pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang dilakukan
oleh rumah sakit atau FKTP.
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes dan
pengobatan HIV-AIDS.

D. Penerapan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

1. Penerapan KTHIV di seluruh FASKES.


2. Tes HIV masuk dalam Standar Pelayanan Medis (SPM) seperti tes laboratorium lainnya,
sesuai Permenkes No 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaran Laboratorium Pusat Kesehatan
Masyarakat beserta lampirannya.
3. Pada daerah dengan tingkat epidemi meluas tes HIV ditawarkan pada semua pasien yang
berkunjung ke FASKES sebagai bagian dari standar pelayanan.
4. Pada daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi tes HIV ditawarkan pada semua ibu hamil,
penderita TB, penderita hepatitis, penderita IMS, pasangan ODHA dan populasi kunci.
5. Persetujuan tes dari pasien cukup dilakukan secara lisan (tidak perlu tertulis).
6. Pasien diperkenankan menolak tes HIV. Jika pasien menolak, maka pasien diminta untuk
menandatangani surat penolakan tes secara tertulis.
Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tes HIV wajib ditawarkan kepada semua
ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan
antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat
dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Yang dihasilkan pada Kajian Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan AIDS di
Indonesia, 2011, menekankan perlunya membangun layanan HIV yang
berkesinambungan dari layanan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan, yang
lebih erat berkolaborasi dengan komunitas atau masyarakat, dengan tujuan untuk
mempercepat perluasan layanan pengobatan yang terdesentralisasi, terpadu dan efektif.
2. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu
hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS,
pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL
dan penasun.
3. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tes HIV wajib ditawarkan kepada
semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat
pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah,
penawaran tes HIV diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/38322/6/BAB%20I.pdf
http://scholar.unand.ac.id/48518/2/BAB%201%20PENDAHULUAN.pdf
https://www.kemkes.go.id/development/site/depkes/index.php?
view=print&cid=14122200002&id=menkes-sampaikan-dua-upaya-penting-pengendalian-hiv-
aids
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/BUKU_3_PENGENDALIAN_HIV_COLOR_A5_
15x21_cm.pdf
https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/49-general/1604-kebijakan-hiv-dan-aids

Anda mungkin juga menyukai