TERHADAP COVID- 19
KELOMPOK 4
1. ACH.FARUQ IQBAL
2. BUNILA
3. M .JASULI
PROGSUS SITUBONDO
KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Penulis ( kelompok 4 ) sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) merupakan kelompok yang memiliki
sitem imun yang lemah. Pada ODHIV terjadi penurunan CD4 yang merupakan salah
satu jenis sel darah putih yang berperan dalam sistem imun tubuh. Kelompok ini
rentan terkena penyakit infeksi, stres, dan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengganggu kualitas hidup. (WHO, 2019; Jordan, 2020). Oleh karena itu, penting
adanya pengawasan dan pengetahuan yang tepat bagi ODHIV dalam proses
Kasus HIV positif baru tiap harinya terus meningkat. Berdasarkan informasi
pada laman hiv.gov (2020), pada tahun 2019 diperkirakan ada lebih dari 40 juta orang
di seluruh dunia yang terinfeksi HIV. Kasus HIV positif di Indonesia hingga
tahun 2020, terdapat total 543.075 kasus HIV positif dan hanya sekitar separuhnya
yang telah mendapat pengobatan. Sumatera Barat pada 2019 tercatat sebanyak 414
kemungkinan bahwa masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi dengan baik.
Selain HIV, dunia juga sedang dihadapkan pada pandemi Coronavirus 2019
pernapasan akut parah, dan kemudian menjadi sejarah pandemi paling berpengaruh di
era modern. Penyakit ini teridentifikasi pertama kali di Wuhan China, diawali dari
wabah Pneumonia yang tidak diketahui asalnya pada tanggal 31 Desember 2019
for Disease Control, 2020; Phelan, 2020). Penyakit ini telah menyebar dengan cepat
kualitas pelayanan HIV di beberapa fasilitas kesehatan mulai dari perhatian, sumber
daya, dan personel yang dialihkan untuk memerangi COVID-19. Ini diperparah
dengan diperkirakannya sekitar 19% pasien yang terinfeksi HIV tidak dapat
pasien HIV untuk menggunakan persediaan ARV mereka (Adadi, 2020; Amimo,
2020; Cairns, 2020; Pinto, 2020; Sun, 2020). Hal ini tentunya akan
mempengaruhi kondisi pelayanan dan kondisi pada pasien HIV sendiri. ODHIV
pandemi ini. Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC (2020)
menyebutkan ODHIV sebagai populasi yang mungkin berisiko tinggi untuk tertular
adanya potensi komorbid seperti diabetes dan hipertensi yang umum terjadi pada
ODHIV. Selain itu ODHIV juga berpotensi mengalami gangguan sosial seperti
2013; CDC, 2020). Dari sini bisa terlihat bahwabanyak faktor risiko yang dialami
banyak ODHIV yang dirawat via telepon mengaku bahwa mereka merasa sangat
stres, cemas, dan tidak dapat tidur. Selain itu, The Lancet HIV (2020) baru-baru ini
karena satu-satunya pusat pengobatan HIV telah diubah menjadi fasilitas karantina
psikologis. Ini harus jadi perhatian bagi perawat agar bisa mencegah penurunan
ketahanan tubuh ODHIV. Peristiwa ini menjadi penting mengingat data yang terus
sejauh ini secara global 378 kasus infeksi COVID-19 pada ODHIV telah dilaporkan
dengan mayoritas berasal dari Inggris dengan 101 kasus dan Amerika Serikat 122
Gersovani (2020) mendapatkan 47 ODHIV yang terinfeksi virus ini. Sampai saat ini,
pendokumentasiannya.
dengan hati-hati karena ada beragam bukti tentang kontribusi HIV pada epidemi virus
pernapasan sebelumnya. Kenmoe (2019) mengaitkan HIV dengan risiko yang lebih
tinggi terpapar infeksi saluran pernapasan. Selain itu sebuah studi kohort berbasis
populasi yang besar di Afrika Selatan oleh Boulle (2020) menemukan bahwa
risiko kematian COVID-19 di antara ODHIV menjadi dua kali lipat dari mereka yang
tidak HIV. Senada dengan Boulle, Bhaskaran (2020) menyimpulkan bahwa ODHIV
di Inggris berisiko lebih tinggi terhadap kematian akibat COVID-19. Ini menunjukkan
bahwa situasi terus berubah dengan berjalannya penelitian dan mengharuskan perawat
komunitas meningkatkan perhatiannya kepada kelompok beresiko tinggi seperti
ODHIV.
Salah satu cara untuk memulai tindakan pencegahan adalah dengan melihat
persepsi dari agregat yang akan dilindungi. Persepsi merupakan interpretasi kejadian
maupun informasi yang diterima oleh indra sensorik yang nantinya diproses menjadi
data yang disesuaikan dengan pengetahuan, budaya, harapan, kondisi pada saat
kejadian, hingga sumber kejadian atau informasi itu sendiri. Data tersebut akan
dilihat dari bagaimana pandangannya terhadap obyek yang akan dipersepsikan, lebih
mengarah kepada positif atau negatif (Saleh, 2004; Sudarsono, 2016; Yuliana, 2019).
memiliki makna pada kehidupan seseorang. Elsye (2017) menyatakan bahwa persepsi
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi dengan sikap
persepsi seseorang penting dalam upaya pencehgahan suatu penyakit. Sehingga dengan
mengetahui persepsi ODHIV, kita bisa merancang tindakan perlindungan yang tepat
Kota Situbondo merupakan salah satu daerah sentral dan pantura di Jawa
Timur yang memiliki jumlah penduduk paling tinggi di Jawa Timur. Menurut Jamil
(2020) jumlah penduduk yang tinggi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
menyatakan bahwa dari 287 kasus HIV positif, penyumbang terbanyak berasal dari
kalangan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak 85 orang yang berada pada usia
produktif 25 sampai 49 tahun. Oktawina (2020) mendapatkan data bahwa selama
pandemi pelayanan bagi pasien HIV dan AIDS di Puskesmas Panji Situbondo tidak
menyediakan layanan rawatan bagi pasien HIV/AIDS dimana mereka juga bisa
mengakses ARV disini. ODHIV yang mengakses ARV disini tidak hanya berasal dari
wilayah kerja Puskesmas Panji Situbondo saja, namun juga berasal dari seluruh
Voluntary counselling and testing (VCT) diartikan sebagai konseling dan tes
HIV secara sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan,
puskesmas atau rumah sakit maupun klinik penyedia layanan VCT (Adrian, 2020).
Selain VCT, juga terdapat Program terapi Rumatan Metadon yang merupakan kagiatan
memberikan metadon cair dalam bentuk sediaan oral kepada pasien sebagai terapi
LSM peduli HIV AIDS seperti Yayasan Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, Yayasan
Akbar, dll). KPA bersama Dinas Kesehatan bertugas untuk mengawasi pelaksanaan
masyarakat, sosial, sanitasi dan HIV. Lalu mereka juga melakukan program
penjangkauan untuk wanita pekerja seks, apabila ada di antara wanita pekerja seks yang
positif HIV, maka PKBI bermitra dengan LSM peduli HIV AIDS untuk melakukan
pendampingan. LSM peduli HIV AIDS sendiri, seperti Yayasan Aksara, Yayasan
Taratak Jiwa Hati, atau Yayasan Akbar bergerak di bagian pendamping dan
penjangkauan ODHIV.
Yayasan Aksara. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, peneliti lebih
mudah untuk melakukan komuniasi dengan pihak Yayasan Aksara. Yayasan Aksara
merupakan yayasan swasta yang bergerak di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Kota
dan Dinas Kesehatan Provinsi. Yayasan ini menjangkau dan mendampingi ODHIV agar
bahwa ODHIV mengatakan takut dan stres dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini.
perburukan yang cepat. Hal ini terjadi karena masih minimnya sumber informasi dan
program yang khusus diperuntukkan bagi populasi beresiko seperti ODHIV. Mengingat
urgensi pandemi COVID-19 dan informasi yang berubah dengan cepat tentang penyakit
tersebut, ditambah ODHIV merupakan salah satu populasi rentan untuk terpapar
ODHIV salah satunya dengan mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan
COVID-19, diharapkan akan diperoleh data dan gambaran mengenai kelompok ODHIV
sehingga bisa menghasilkan program atau kebijakan yang bisa melindungi mereka dari
risiko tertular COVID-19. Berdasarkan berbagai data yang telah disampikan sebelumnya,
1.2 Rumusan Masalah
Kematian pada COVID-19 lebih tinggi pada orang dengan berusia lanjut serta
orang yang memiliki komorbid seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular,
sementara komorbiditas lazim ditemukan pada ODHIV. Hingga saat ini masih belum
diketahui bagaimana dampak COVID-19 pada orang dengan HIV positif dan
19.
COVID-19
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta referensi bagi
COVID-19.
1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan mampu digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai acuan
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIV/AIDS
1. Definisi
terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan
kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan
penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2. Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah.
Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri)
a. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat
menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan,
b. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.
Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat
badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
c. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan
tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang
disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan
radang paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit
atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu –
minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala
3. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV
Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga
2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like
illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem
4. Kelompok Risiko
d. Narapidana
(Ernawati, 2016).
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun
e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).
5. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan
terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada
AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi
akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten
yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+
selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun
(berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat
2014). Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel– sel
limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem
imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B
dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013).
ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik)
6. Manifestasi Klinis
yaitu:
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang
umum
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat
kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
6) Tuberculosis paru
meningitis, bakteremia
9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa
sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)
4) Toksoplasmosis serebral
5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis
7. Komplikasi
a. Oral lesi
b. Neurologik
maranik endokarditis.
c. Gastrointertinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi,
dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan
siare.
d. Respirasi
dan strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan,
gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
8. Cara Penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti
darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang tergantung pada
status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin merupakan faktor
risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang
yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada pengguna
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti
darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin
(sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang
sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang
tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:
a. Ibu hamil
duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan
kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, melaporkan
bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah 14% (yang
diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka
penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya disusui. Bayi normal dengan
ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-15 bulan.
b. Jarum suntik
1) Prevalensi 5-10%
2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat
obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali
53%.
c. Transfusi darah
2) Prevalensi 3-5%
d. Hubungan seksual
1) Prevalensi 70-80%
3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan
maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh
2011).
9. Pencegahan Penularan
a. Secara umum
penggunaan NAPZA
Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
c. Untuk remaja
obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung
percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang
dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
10. Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada
adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang
Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang
muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk
11. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
b. Western blot
Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan
1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat
tinggi
B. Persepsi
1. Definisi
rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang
berarti dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena
merupakan aktivitas yang intergrated, maka dalam seluruh pribadi, seluruh apa yang
ada dalam diri individu aktif berperan dalam persepsi itu (Walgito, 2012).
berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh
proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam pemahaman (Sarwono, 2014).
2. Jenis-Jenis
a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang
berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya
a. Persepsi positif
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menuju pada suatu keadaan dimana
dengan pribadinya.
b. Persepsi negative
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menunjuk pada keadaan
dimana subjek yang mempersepsi cenderung menolak objek yang ditangkap karena
Stimulus bisa berasal dari lingkungan mauun dari dalam diri manusia sendiri
yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi
pusat, yaitu otak yang merupakan pusat kesadaran melalui sel-sel saraf
sekitarnya
c. Motif atau alasan dibalik tindakan yang dilakukan seseorang yang mampu
d. Ketertarikan atau interest: fokus perhatian kita terhadap hal-hal yang tengah
seseorang.
f. Harapan atau ekspresi: gambaran atau ilustrasi yang membentuk sebuah
Menurut Rakhmat (2005), faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari
a. Faktor internal
1) Alat indra
Alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris
sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan
syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon
2) Perhatian
yaitu langkah pertama sebagai suatu persiapan merupakan pemusatan atau konsentrasi
dari seluruh individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
3) Pengalaman
b. Faktor eksternal
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat
Era teknologi zaman sekarnag ini lebih dari kata maju, banyak sekali
3) Budaya/lingkungan
yaitu proses fisik, proses fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik berupa
objek menimbulkan stimulus, lalu stimulus mengenai alat indera atau reseptor.
Proses fisiologis berupa stimulus yang diterima oleh indera diteruskan oleh
saraf sensoris ke otak. Sedangkan proses psikologis berupa proses dalam otak
Individu mengenali suatu objek dari dunia luar dan ditangkap melalui
b. Proses fisiologi
Proses fisiologi yaitu stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian
c. Proses psikologis
Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga
seseorang dapat menyadari apa yang diterima dengan reseptor itu sebagai
1. Definisi
Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktor- faktor
digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun
preventif (Burke, 2013). Teori health belief model menjelaskan bahwa kemungkinan
individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung pada hasil dari keyakinan
atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan
Pada health belief model, perubahan sikap terhadap kesehatan yang didasari oleh tiga
hal yang muncul pada waktu yang bersamaan (Burke, 2013), yaitu:
kesehatannya.
b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit
yang diderita.
untuk berperilaku lebih sehat. Suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu penyakit
akan timbul bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan terhadap
Persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa
dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Kerentanannya
dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang resiko yang dihadapi
individu pada suatu keadaan tertentu. Seseorang akan bertindak untuk mencegah
penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut tapi
sebaliknya mereka yang merasa jauh dari resiko akan menyangkal kemungkinan
didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau
masyarakat. Keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh
penderitanya, resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya
Pandangan atau keyakinan individu tentng beratnya penyakit yang diderita. Selain
keseriusan penyakit yang diderita, keyakinan seseorang mengenai akibat atau efek dari
diciptakan oleh suatu penyakit seperti kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental,
kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial seperti kehilangan waktu kerja dan
biaya pengobatan.
dilakukan untuk mengurangi risiko suatu penyakit. Keyakinan terhadap manfaat yang
dirasakan ketika melakukan suatu tindakan tertentu dan tetap melakukan tindakan
tersebut.
oleh norma dan tekanan dari kelompok. Sulit meyakinkan seseorang untuk mengubah
pesan pada media massa, nasihat atau anjuran anggota keluarga, aspek sosiodemografis
orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial dan budaya
Dilansir dari situs World Health Organization (WHO) terkait dengan risiko
infeksi virus corona pada orang dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA)
yang belum mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk
mengalami perburukan. Hal ini diakibatkan karena sistem imun yang belum pulih.
kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai
Belum ada bukti yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko infeksi
terhadap COVID-19 dan perburukan penyakit pada ODHA. Menurut WHO sampai
saat ini belum ditemukan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di antara penderita
HIV, meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa saja berubah ketika
penyebaran virus semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh laporan bahwa selama
wabah SARS dan MERS terdapat beberapa kasus penyakit ringan terkait SARS dan
Sejauh ini, data klinis menunjukan faktor risiko kematian terbesar karena
COVID-19 ada kaitannya dengan usia lanjut, dan penyebab lainnya termasuk
Namun, bukan hal yang sangat tidak mungkin orang yang sangat sehat juga berisiko
memiliki kondisi seperti di bawah ini mungkin berisiko untuk tertular virus corona,
yakni:
2. Orang dengan HIV yang tidak memiliki jumlah CD4 yang rendah (>200
copies/cell)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang yang hidup dengan HIV
sangat rentan mengalami masalah infeksi saluran pernapasan jika tidak di ‘manage’
dengan baik. Untuk alasan yang satu ini, orang dengan HIV penting untuk melakukan
sekarang.
Risiko tersebut kemungkinan dapat terjadi pada orang dengan HIV yang juga
Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus
perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena
sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada
untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara
ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar.
Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus
Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID
terutama terkait dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit
Beberapa orang yang sangat sehat juga menderita penyakit parah akibat infeksi
coronavirus.
tindakan pencegahan yang sama seperti populasi umum (mis. Sering mencuci tangan
sering, etika batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari
perawatan medis jika bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan
COVID -19 dan tindakan lain sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang
sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6 bulan tidak tersedia dan memastikan
Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV
dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan
untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat
Cara terbaik agar tidak tertular virus corona ada adalah dengan sebisa
Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun
Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA
juga tetap perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan
corona.
Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu
tersedia.
CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19, dan infeksi koronavirus terkait (SARS-
CoV dan MERS-CoV) memiliki hasil klinis yang baik, dengan hampir semua kasus
pulih sepenuhnya. Dalam beberapa kasus, pasien diberi obat antiretroviral: lopinavir
yang dikuatkan dengan ritonavir (LPV/r). Penelitian ini sebagian besar dilakukan
keterbatasan. Penelitiannya kecil, waktu, durasi dan dosis untuk pengobatan bervariasi
coronavirus adalah tidak jelas., dilaporkan kejadian timbulnya efek samping yang
serius jarang terjadi. Di antara ODHA, penggunaan rutin LPV/r sebagai pengobatan
untuk HIV mempunyai toksisitas sedang. Efek samping LPV/r pada kasus
Coronavirus dilaporkan rendah, hal ini disebabkan karena pemberian LPV/r diberikan
pajanan untuk SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu penelitian ini menunjukkan
bahwa terjadinya infeksi MERS-CoV lebih rendah di antara petugas kesehatan yang
menerima LPV / r dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima obat apa pun;
penelitian lain tidak menemukan kasus infeksi SARS-CoV di antara 19 ODHA yang
dirawat di bangsal yang sama dengan pasien SARS, yang mana 11 di antaranya
memakai terapi antiretroviral. Sekali lagi, kekuatan bukti yang ada sangat rendah
karena ukuran sampel yang kecil, variabilitas dalam obat yang diberikan, dan
E. Studi terkait pengobatan dan pencegahan COVID-19 dengan ARV yang sedang
direncanakan
COVID-19, dengan kombinasi obat lain. Hasil diharapkan pada pertengahan 2020 dan
seterusnya.
menyambut baik penelitian dan pengembangan tes yang efektif, vaksin, obat-obatan
sistematis dan transparan untuk penelitian dan pengembangan, termasuk untuk uji
klinis obat dan vaksin baru. “WHO R&D Blueprint” WHO untuk COVID-19, yang
dimulai pada 7 Januari 2020, akan berfungsi sebagai strategi global untuk kegiatan
Litbang. Tujuannya adalah untuk melacak dengan cepat ketersediaan tes yang efektif,
vaksin dan obat-obatan yang dapat digunakan untuk menyelamatkan jiwa dan
mencegah krisis skala besar. [1] Sebagai bagian dari ini, WHO memimpin penentuan
prioritas global kandidat vaksin dan pengobatan untuk pengembangan dan evaluasi.
WHO secara aktif mengikuti uji klinis yang sedang berlangsung untuk
antivirus yang ada dan obat-obatan lain yang sedang dilakukan untuk COVID-19.
WHO terus menekankan bahwa semua uji klinis seharusnya dan harus mengikuti
standar etika dan peraturan yang ketat. Otoritas regulasi memiliki peranan yang
penting untuk memastikan pengawasan yang ketat terhadap semua uji klinis yang
akan dilakukan.
G. WHO tentang penggunaan bukti dari hasil penelitian awal atau terapi yang
Banyak kuman pathogen yang saat ini terbukti tidak mempunyai intervensi
yang efektif. Beberapa intervensi dilaboratorium dan uji hewan menunjukkan hasil
yang menjanjikan untuk beberapa kuman pathogen, uji klinis diperlukan untuk
menghasilkan bukti yang dapat diandalkan agar dapat digunakan pada manusia
Use Assessment and Listing/EUAL) untuk calon obat ataupun produk kesehatan
lainnya agar dapat digunakan dalam kedaruratan kesehatan masyarakat. Prosedur ini
dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mungkin
Dalam konteks wabah yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi,
secara etis mungkin tepat untuk menawarkan intervensi eksperimental pada setiap
pasien secara darurat di luar kaidah uji klinis, dengan ketentuan bahwa: [6]
intervensi, setidaknya dari studi laboratorium atau hewan, dan penggunaan intervensi
di luar uji klinis telah disarankan oleh komite penasihat ilmiah yang memenuhi syarat
• otoritas nasional yang relevan, serta komite etik yang memenuhi syarat, telah
• sumber daya yang memadai tersedia untuk memastikan bahwa risiko dapat
diminimalkan;
dibagikan secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih luas.
darurat intervensi eksperimental dan tidak teregistrasi yang terpantau" (MEURI) [7].
H. WHO tentang penggunaan ARV untuk pengobatan COVID-19
Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menilai efektivitas LPV / r atau
penggunaan LPV / r dan antivirus lain dan kami menyambut baik hasil investigasi ini.
Sekali lagi, sebagai bagian dari respons WHO terhadap wabah, WHO R&D
Blueprint [8] telah diaktifkan untuk mempercepat evaluasi diagnostik, vaksin, dan
terapi untuk coronavirus baru ini. WHO juga telah merancang serangkaian prosedur
untuk menilai kinerja, kualitas, dan keamanan teknologi medis selama situasi darurat.
tinggi untuk ODHA. Antiretroviral LPV/r saat ini sedang diteliti sebagai pengobatan
Jika LPV/r akan digunakan untuk pengobatan COVID-19, harus ada rencana
memenuhi kebutuhan semua ODHA yang sudah menggunakan LPV/r dan mereka
yang perlu memulai pengobatan. Proporsi penggunaan LPV/r baik sebagai terapi
substitusi ataupun lini kedua relative kecil dalam pengobatan ARV secara umum.
A. KESIMPULAN
Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus
perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena
sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada
untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara
ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar.
Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus
Cara terbaik agar tidak tertular virus corona pada penderita HIV AIDS
4. Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
7. Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga
tetap perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali.
10. Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu
tersedia.
Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV
dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan
untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat
B. DAFTAR PUSTAKA
- Who.in. Diakses pada Juli 2020. Pertanyaan dan jawaban terkait COVID-19, HIV dan
and-antiretroviral
https://www.avert.org/coronavirus/covid19-HIV
- Hiv.gov. Diakses pada Juli 2020. If I Have HIV, Am I at Higher Risk of COVID-19?.
https://www.hiv.gov/hiv-basics/staying-in-hiv-care/other-related-health-issues/coronavirus-
covid-19
- Center for Disease and Prevention. Diakses pada Juli 2020. What to Know About
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/hiv.html?
- https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-on-hiv-and-
antiretroviral