Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

BAGAIMANA KERENTANAN PENDERITA HIV AIDS

TERHADAP COVID- 19

KELOMPOK 4

1. ACH.FARUQ IQBAL

2. BUNILA

3. M .JASULI

PROGSUS SITUBONDO

INSTITUT ILMU KESEHATAN (IIK) STRADA INDONESIA

KEDIRI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini

dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran

maupun materinya.

Penulis ( kelompok 4 ) sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan

dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa

pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah

ini.

Situbondo, 10 November 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) merupakan kelompok yang memiliki

sitem imun yang lemah. Pada ODHIV terjadi penurunan CD4 yang merupakan salah

satu jenis sel darah putih yang berperan dalam sistem imun tubuh. Kelompok ini

rentan terkena penyakit infeksi, stres, dan berbagai masalah kesehatan yang dapat

mengganggu kualitas hidup. (WHO, 2019; Jordan, 2020). Oleh karena itu, penting

adanya pengawasan dan pengetahuan yang tepat bagi ODHIV dalam proses

perawatan, terlebih pada masa pandemi saat ini.

Kasus HIV positif baru tiap harinya terus meningkat. Berdasarkan informasi

pada laman hiv.gov (2020), pada tahun 2019 diperkirakan ada lebih dari 40 juta orang

di seluruh dunia yang terinfeksi HIV. Kasus HIV positif di Indonesia hingga

tahun 2020, terdapat total 543.075 kasus HIV positif dan hanya sekitar separuhnya

yang telah mendapat pengobatan. Sumatera Barat pada 2019 tercatat sebanyak 414

kasus (UNAIDS, 2020; Kemenkes, 2020). Meskipun demikian, tidak menutup

kemungkinan bahwa masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi dengan baik.

Selain HIV, dunia juga sedang dihadapkan pada pandemi Coronavirus 2019

(COVID-19). COVID-19 adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh sindrom

pernapasan akut parah, dan kemudian menjadi sejarah pandemi paling berpengaruh di

era modern. Penyakit ini teridentifikasi pertama kali di Wuhan China, diawali dari

wabah Pneumonia yang tidak diketahui asalnya pada tanggal 31 Desember 2019

hingga seminggu kemudian teridentifikasi sebagai Severe


Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) (European Center

for Disease Control, 2020; Phelan, 2020). Penyakit ini telah menyebar dengan cepat

ke lebih dari 200 negara di dunia hingga saat ini.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan kekacauan diberbagai sektor. Selain

menjadi permasalahan global, pandemi COVID-19 juga berdampak pada penurunan

kualitas pelayanan HIV di beberapa fasilitas kesehatan mulai dari perhatian, sumber

daya, dan personel yang dialihkan untuk memerangi COVID-19. Ini diperparah

dengan diperkirakannya sekitar 19% pasien yang terinfeksi HIV tidak dapat

memperoleh obat antiretroviral (ARV), serta beberapa lembaga pencegahan dan

pengendalian HIV yang diubah menjadi pusat penanganan COVID-19 menolak

pasien HIV untuk menggunakan persediaan ARV mereka (Adadi, 2020; Amimo,

2020; Cairns, 2020; Pinto, 2020; Sun, 2020). Hal ini tentunya akan

mempengaruhi kondisi pelayanan dan kondisi pada pasien HIV sendiri. ODHIV

menjadi kelompok yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam menghadapi

pandemi ini. Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC (2020)

menyebutkan ODHIV sebagai populasi yang mungkin berisiko tinggi untuk tertular

COVID-19 dibandingkan dengan masyarakat umum. Risiko ini didasarkan pada

adanya potensi komorbid seperti diabetes dan hipertensi yang umum terjadi pada

ODHIV. Selain itu ODHIV juga berpotensi mengalami gangguan sosial seperti

beban kekerasan, stigma, diskriminasi, isolasi, dan kebencian (Earnshaw et al,

2013; CDC, 2020). Dari sini bisa terlihat bahwabanyak faktor risiko yang dialami

oleh ODHIV baik dari fisik maupun psikososial.

Kondisi Pandemi seperti saat ini akan membahayakan kesejahteraan

psikologis dan emosional ODHIV. Penelitian Shiau (2020) melaporkan bahwa

banyak ODHIV yang dirawat via telepon mengaku bahwa mereka merasa sangat
stres, cemas, dan tidak dapat tidur. Selain itu, The Lancet HIV (2020) baru-baru ini

melaporkan bahwa ODHIV di Mesir sangat ketakutan untuk mendapatkan ARV

karena satu-satunya pusat pengobatan HIV telah diubah menjadi fasilitas karantina

dan pengendalian COVID-19. Sejalan dengan itu, penelitian Guo (2020)

mengungkapkan bahwa ODHIV berharap mereka mendapat dukungan sosial dan

psikologis. Ini harus jadi perhatian bagi perawat agar bisa mencegah penurunan

ketahanan tubuh ODHIV. Peristiwa ini menjadi penting mengingat data yang terus

bertumbuh dan berkembang setiap harinya. Menurut penelitian Kanwugu (2020)

sejauh ini secara global 378 kasus infeksi COVID-19 pada ODHIV telah dilaporkan

dengan mayoritas berasal dari Inggris dengan 101 kasus dan Amerika Serikat 122

kasus. Selain itu, Penelitian Vizcara (2020) menemukan 51 ODHIV didiagnosis

dengan COVID-19 Rumah Sakit Universitario Ramón y Cajal Madrid. Selanjutnya,

Gersovani (2020) mendapatkan 47 ODHIV yang terinfeksi virus ini. Sampai saat ini,

angka-angka tersebut terus meningkat seiring dengan perbaikan

pendokumentasiannya.

Proporsi rendah ODHIV di antara pasien dengan COVID-19 harus ditafsirkan

dengan hati-hati karena ada beragam bukti tentang kontribusi HIV pada epidemi virus

pernapasan sebelumnya. Kenmoe (2019) mengaitkan HIV dengan risiko yang lebih

tinggi terpapar infeksi saluran pernapasan. Selain itu sebuah studi kohort berbasis

populasi yang besar di Afrika Selatan oleh Boulle (2020) menemukan bahwa

risiko kematian COVID-19 di antara ODHIV menjadi dua kali lipat dari mereka yang

tidak HIV. Senada dengan Boulle, Bhaskaran (2020) menyimpulkan bahwa ODHIV

di Inggris berisiko lebih tinggi terhadap kematian akibat COVID-19. Ini menunjukkan

bahwa situasi terus berubah dengan berjalannya penelitian dan mengharuskan perawat
komunitas meningkatkan perhatiannya kepada kelompok beresiko tinggi seperti

ODHIV.

Salah satu cara untuk memulai tindakan pencegahan adalah dengan melihat

persepsi dari agregat yang akan dilindungi. Persepsi merupakan interpretasi kejadian

maupun informasi yang diterima oleh indra sensorik yang nantinya diproses menjadi

data yang disesuaikan dengan pengetahuan, budaya, harapan, kondisi pada saat

kejadian, hingga sumber kejadian atau informasi itu sendiri. Data tersebut akan

mempengaruhi seseorang dalam menyadari kondisi dan situasi hingga akhirnya

mengambil keputusan. Tingkat kewaspadaan seseorang terhadap suatu kejadian bisa

dilihat dari bagaimana pandangannya terhadap obyek yang akan dipersepsikan, lebih

mengarah kepada positif atau negatif (Saleh, 2004; Sudarsono, 2016; Yuliana, 2019).

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa persepsi

memiliki makna pada kehidupan seseorang. Elsye (2017) menyatakan bahwa persepsi

berpengaruh terhadap keputusan seseorang. Sejalan dengan itu, Nilawati (2013)

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi dengan sikap

seseorang. Selain itu, penelitian Musta’inah et al (2021) juga menyatakan bahwa

persepsi seseorang penting dalam upaya pencehgahan suatu penyakit. Sehingga dengan

mengetahui persepsi ODHIV, kita bisa merancang tindakan perlindungan yang tepat

sasaran pada kelompok tersebut.

Kota Situbondo merupakan salah satu daerah sentral dan pantura di Jawa

Timur yang memiliki jumlah penduduk paling tinggi di Jawa Timur. Menurut Jamil

(2020) jumlah penduduk yang tinggi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

tingginya angka penyebaran HIV di Kota ini. Selanjutnya Mulyani (2020)

menyatakan bahwa dari 287 kasus HIV positif, penyumbang terbanyak berasal dari

kalangan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak 85 orang yang berada pada usia
produktif 25 sampai 49 tahun. Oktawina (2020) mendapatkan data bahwa selama

pandemi pelayanan bagi pasien HIV dan AIDS di Puskesmas Panji Situbondo tidak

pernah ditutup atau pun terganggu, cenderung mengalami peningkatan jumlah

kunjungan. Puskesmas Panji Situbondo merupakan salah satu puskesmas yang

menyediakan layanan rawatan bagi pasien HIV/AIDS dimana mereka juga bisa

mengakses ARV disini. ODHIV yang mengakses ARV disini tidak hanya berasal dari

wilayah kerja Puskesmas Panji Situbondo saja, namun juga berasal dari seluruh

penjuru Kota Situbondo.

Voluntary counselling and testing (VCT) diartikan sebagai konseling dan tes

HIV secara sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan,

perawatan, dan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di

puskesmas atau rumah sakit maupun klinik penyedia layanan VCT (Adrian, 2020).

Selain VCT, juga terdapat Program terapi Rumatan Metadon yang merupakan kagiatan

memberikan metadon cair dalam bentuk sediaan oral kepada pasien sebagai terapi

pengganti adiksi opioida yang biasa Menkes disalahgunakan (Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350/ / SK/ IV/ 2008).

` Ada banyak lembaga, organisasi, atau perkumpulan yang bergerak untuk

menjangkau, mengedukasi, dan melindungi kelompok ODHIV seperti komisi

penanggulangan AIDS (KPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan

LSM peduli HIV AIDS seperti Yayasan Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, Yayasan

Akbar, dll). KPA bersama Dinas Kesehatan bertugas untuk mengawasi pelaksanaan

penanggulangan HIV dan AIDS. Selanjutnya PKBI bergerak di bidang pemberdayaan

masyarakat, sosial, sanitasi dan HIV. Lalu mereka juga melakukan program

penjangkauan untuk wanita pekerja seks, apabila ada di antara wanita pekerja seks yang

positif HIV, maka PKBI bermitra dengan LSM peduli HIV AIDS untuk melakukan
pendampingan. LSM peduli HIV AIDS sendiri, seperti Yayasan Aksara, Yayasan

Taratak Jiwa Hati, atau Yayasan Akbar bergerak di bagian pendamping dan

penjangkauan ODHIV.

Pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan

Yayasan Aksara. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, peneliti lebih

mudah untuk melakukan komuniasi dengan pihak Yayasan Aksara. Yayasan Aksara

merupakan yayasan swasta yang bergerak di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Kota

dan Dinas Kesehatan Provinsi. Yayasan ini menjangkau dan mendampingi ODHIV agar

bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Sehingga dengan melakukan

penelitian dilokasi ini diharapkan mampu mewakili data Kota Situbondo.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, didapatkan data

bahwa ODHIV mengatakan takut dan stres dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini.

Mereka mengatakan khawatir dengan kondisi komorbid yang dimilikinya akan

menyebabkan mereka beresiko tinggi untuk terinfeksi COVID-19 dan mengalami

perburukan yang cepat. Hal ini terjadi karena masih minimnya sumber informasi dan

program yang khusus diperuntukkan bagi populasi beresiko seperti ODHIV. Mengingat

urgensi pandemi COVID-19 dan informasi yang berubah dengan cepat tentang penyakit

tersebut, ditambah ODHIV merupakan salah satu populasi rentan untuk terpapar

COVID-19. Diperlukan kewaspadaan yang tinggi terhadap risiko penularannya diantara

ODHIV salah satunya dengan mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19. Dengan mengetahui bagaimana persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19, diharapkan akan diperoleh data dan gambaran mengenai kelompok ODHIV

sehingga bisa menghasilkan program atau kebijakan yang bisa melindungi mereka dari

risiko tertular COVID-19. Berdasarkan berbagai data yang telah disampikan sebelumnya,
1.2 Rumusan Masalah

Kematian pada COVID-19 lebih tinggi pada orang dengan berusia lanjut serta

orang yang memiliki komorbid seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular,

sementara komorbiditas lazim ditemukan pada ODHIV. Hingga saat ini masih belum

diketahui bagaimana dampak COVID-19 pada orang dengan HIV positif dan

bagaimana mereka menghadapi situasi pandemi COVID-19 ini. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui bagaimana ODHIV terhadap risiko penularan COVID-

19.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan COVID-19.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi kewaspadaan lingkungan terhadap risiko penularan

COVID-19 pada ODHIV

1.3.2.2 Mengidentifikasi harapan ODHIV dalam upaya menghadapi risiko penularan

COVID-19

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta referensi bagi

keperawatan komunitas untuk mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19.

1.4.2 Bagian pelayanan keperawatan komunitas


1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk merumuskan program promotif dan

preventif bagi kelompok ODHIV dalam menghadapi risiko penularan COVID-19.

1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan mampu digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai acuan

dalam menghadapi risiko penularan COVID-19 pada ODHIV.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS

1. Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang

sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+

dipermukaannya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency

Syndrome) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan

berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic

tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti

terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan

ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan

kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan

bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin,

2009). AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala

penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).

2. Klasifikasi

a. Fase 1

Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan

terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah.

Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami

gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri)
a. Fase 2

Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini

individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat

menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan,

seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

b. Fase 3

Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.

Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu

malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak

sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat

badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

c. Fase 4

Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan

tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang

disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan

radang paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit

atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu –

minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala

(Hasdianah & Dewi, 2014).

3. Etiologi

Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV

dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy

Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga

disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam

rebonukleatnya (RNA) menjadi asam


deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi,

2015).

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:

a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada

gejala

b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like

illness

c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada

d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat

malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi

mulut

e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali

ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem

tubuh, dan manifestasi neurologis

4. Kelompok Risiko

Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:

a. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian

b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang

untuk kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks

c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki

d. Narapidana

e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi


f.Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti

kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi

HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks

(Ernawati, 2016).

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun

wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah

a. Lelaki homoseksual atau biseks

b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi

c. Orang yang ketagihan obat intravena

d. Partner seks dari penderita AIDS

e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).

5. Patofisiologi

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring

pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan

terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada

AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi

akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,

limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten

yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+

selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun

(berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat

reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta,

2014). Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel– sel

yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar

limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem
imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B

dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013).

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap

tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu

ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi

mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4

mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik)

(Susanto & Made Ari, 2013).

6. Manifestasi Klinis

Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan,

yaitu:

a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang

berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya

b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati

umum

c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan

sistem imun atau kekebalan

d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat

berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan

kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya

sarcoma kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit

infeksi sekunder (Soedarto, 2009).

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV

terkonfirmasi menurut WHO:

a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis

2) Limfadenopati generalisata

b. Stadium 2 (ringan)

1) Penurunan berat badan < 10%

2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,

ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik

3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir

4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media

c. Stadium 3 (lanjut)

1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas

2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan

3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan

4) Kandidiasis oral persisten

5) Oral hairy leukoplakia

6) Tuberculosis paru

7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi,

meningitis, bakteremia

8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut

9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa

sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas

d. Stadium 4 (berat)

1) HIV wasting syndrome

2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii

3) Pneumonia bakterial berat rekuren

4) Toksoplasmosis serebral
5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan

6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening

7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral

8) Leukoensefalopati multifocal progresif

9) Mikosis endemic diseminata

10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus

11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru

12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren

13) Tuberculosis ekstrapulmonal

14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,

kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma

serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata

15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis

(Kapita Selekta, 2014).

7. Komplikasi

a. Oral lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,

peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,

dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.

b. Neurologik

1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human

Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian,

kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.


2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,

ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala,

malaise, demam, paralise total/parsial.

3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan

maranik endokarditis.

4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.

c. Gastrointertinal

1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi,

dan dehidrasi.

2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal,

alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.

3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang

sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan

siare.

d. Respirasi

Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus

dan strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan,

gagal nafas.

e. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,

reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,

infeksi sekunder dan sepsis.


f. Sensorik

1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran

dengan efek nyeri (Susanto & Made Ari, 2013).

8. Cara Penularan

HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti

darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang tergantung pada

status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin merupakan faktor

risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang

yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada pengguna

narkoba, hubungan seksual (Corwin, 2009).

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti

darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin

(sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang

sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang

tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:

a. Ibu hamil

1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)

2) Angka transmisi mencapai 20-50%

3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga

4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-29%

5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada

duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan

kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, melaporkan

bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah 14% (yang
diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka

penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya disusui. Bayi normal dengan

ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-15 bulan.

b. Jarum suntik

1) Prevalensi 5-10%

2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena

penyalahgunaan obat

3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna

obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali

53%.

c. Transfusi darah

1) Risiko penularan sebesar 90%

2) Prevalensi 3-5%

d. Hubungan seksual

1) Prevalensi 70-80%

2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim

3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan

semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom,

maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh

penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono,

2011).

9. Pencegahan Penularan

a. Secara umum

Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:


A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi,

terutama seks pranikah

B: Be faithful – saling setia

C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar D: Drugs – menolak

penggunaan NAPZA

E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama

b. Untuk pengguna Napza

Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti

menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama.

c. Untuk remaja

Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-

obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung

percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang

dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab

(Hasdianah & Dewi, 2014).

10. Pengobatan

Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada

adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang

dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan

virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine,

Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang

muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk

pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya,

contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014).

11. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)

Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar98,1-100%. Biasanya tes ini

memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

b. Western blot

Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan

membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

c. PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk:

1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat

menghambat pemeriksaan secara serologis.

2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko

tinggi

3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.

4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah

untuk HIV-2 (Widoyono, 2014).

B. Persepsi

1. Definisi

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasikan terhadap

rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang

berarti dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena

merupakan aktivitas yang intergrated, maka dalam seluruh pribadi, seluruh apa yang

ada dalam diri individu aktif berperan dalam persepsi itu (Walgito, 2012).

Persepsi adalah proses mengintergrasikan, mengenali, dan

menginterpretasikan informasi yang diterima oleh sistem sensori, sehingga menyadari


dan mengetahui apa yang di indra sebagai bentuk respons dari individu (Walgito,

2003 & Pinel, 2009 dalam Puspitawati, 2012).

Persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan,

memfokuskan dan sebagainya itu, yang selanjutnya diinterprestasi. Persepsi

berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh

organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di dalamnya terjadi

proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam pemahaman (Sarwono, 2014).

2. Jenis-Jenis

Ada dua macam persepsi, yaitu:

a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang

datang dari luar diri individu.

b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang

berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya

sendiri (Sunaryo, 2004).

Ada dua bentuk persepsi yaitu antara lain:

a. Persepsi positif

Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menuju pada suatu keadaan dimana

subjek yang mempersepsikan cenderung menerima objek yang ditangkap sesuai

dengan pribadinya.

b. Persepsi negative

Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menunjuk pada keadaan

dimana subjek yang mempersepsi cenderung menolak objek yang ditangkap karena

tidak sesuai dengan pribadinya.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Berikut ini adalah beberapa faktor yang berperan dalam persepsi


a. Adanya objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang masuk melalui indra atau reseptor.

Stimulus bisa berasal dari lingkungan mauun dari dalam diri manusia sendiri

yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi

sebagian besar stimulus berasal dari luar individu.

b. Adanya alat indra (sistem sensori) dan sistem saraf pusat

Alat indra merupakan alat untuk menerima stimulus. Setelah stimulus

diterima reseptor, maka stimulus selanjutnya akan dikirim ke sistem saraf

pusat, yaitu otak yang merupakan pusat kesadaran melalui sel-sel saraf

sensori, sedangkan untuk menghasilkan suatu respons diperlukan adanya sel-

sel saraf motoris.

c. Atensi (perhatian selektif) (Puspitawati & Hapsari, 2012).

Menurut Yue (2012), terdapat beberapa faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi sebagai berikut:

a. Pengamat: penginterpretasikan dari apa yang seseorang lihat

bergantung pada karakteristik pribadi orang tersebut

b. Sikap: mempengaruhi persepsi yang dibentuknya akan hal-hal di

sekitarnya

c. Motif atau alasan dibalik tindakan yang dilakukan seseorang yang mampu

menstimulasi dan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan persepsi

mereka akan segala sesuatu

d. Ketertarikan atau interest: fokus perhatian kita terhadap hal-hal yang tengah

dihadapi membuat persepsi orang berbeda-beda

e. Pengalaman: pengetahuan atau kejadian yang telah didapatkan dan dialami

seseorang.
f. Harapan atau ekspresi: gambaran atau ilustrasi yang membentuk sebuah

pencitraan terhadap sebuah keadaan.

Menurut Rakhmat (2005), faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari

internal maupun eksternal adalah sebagai berikut

a. Faktor internal

1) Alat indra

Alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris

sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan

syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon

diperlukan syaraf motoris.

2) Perhatian

Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian,

yaitu langkah pertama sebagai suatu persiapan merupakan pemusatan atau konsentrasi

dari seluruh individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

3) Pengalaman

Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu

lewatproses belaar formal. Pengalaman bisa bertambah melalui rangkaian peristiwa

yang pernah dihadapi.

b. Faktor eksternal

1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenaialt indra atau reseptor.

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat

datang dari individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf

penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus

datang dari luar individu.


2) Informasi

Era teknologi zaman sekarnag ini lebih dari kata maju, banyak sekali

cara untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber

yang terpercaya, baik dari media cetak maupun elektronik.

3) Budaya/lingkungan

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama

secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.

4. Proses Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004), proses terjadinya persepsi melalui tiga proses

yaitu proses fisik, proses fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik berupa

objek menimbulkan stimulus, lalu stimulus mengenai alat indera atau reseptor.

Proses fisiologis berupa stimulus yang diterima oleh indera diteruskan oleh

saraf sensoris ke otak. Sedangkan proses psikologis berupa proses dalam otak

sehingga individu menyadari stimulus yang diterima.

Individu mengenali suatu objek dari dunia luar dan ditangkap melalui

inderanya. Bagaimana individu menyadari, mengerti apa yang diindera ini

merupakan suatu proses terjadinya persepsi. Proses terjadinya persepsi dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Proses fisik atau kealaman

Tanggapan tersebut dimulai dengan objek yang menimbulkan stimulus

dan akhirnya stimulus itu mengenai alat indera atau reseptor.

b. Proses fisiologi

Proses fisiologi yaitu stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian

dilanjutkan oleh syaraf sensorik ke otak.

c. Proses psikologis
Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga

seseorang dapat menyadari apa yang diterima dengan reseptor itu sebagai

suatu akibat stimulus yang diterimanya (Walgito, 2010).

C. Teori Health Belief Model

1. Definisi

Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktor- faktor

intrapersonal yang berpengaruh terhadap health belief behavior yang kemudian

digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun

preventif (Burke, 2013). Teori health belief model menjelaskan bahwa kemungkinan

individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung pada hasil dari keyakinan

atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan

tentang keuntungan serta kerugian (Machfoedz, 2008).

Pada health belief model, perubahan sikap terhadap kesehatan yang didasari oleh tiga

hal yang muncul pada waktu yang bersamaan (Burke, 2013), yaitu:

a. Individu tersebut menemukan bahwa alasan untuk fokus terhadap masalah

kesehatannya.

b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit

yang diderita.

c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat

untuk kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih efektif terutama

dalam hal pembiayaan.

2. Komponen Health Belief Model

Komponen health belief model antara lain :

a. Perceived Susceptibility (persepsi kerentanan)


Persepsi akan kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu

untuk berperilaku lebih sehat. Suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu penyakit

akan timbul bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan terhadap

penyakit tersebut ataupun keyakinan untuk melakukan suatu perilaku tertentu.

Persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa

dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Kerentanannya

dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang resiko yang dihadapi

individu pada suatu keadaan tertentu. Seseorang akan bertindak untuk mencegah

penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut tapi

sebaliknya mereka yang merasa jauh dari resiko akan menyangkal kemungkinan

terkena penyakit atau kondisi yang merugikan.

b. Perceived Severity (persepsi keparahan)

Keyakinan individu untuk mencari pertolongan pengobatan atau pencegahan penyakit

didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat. Keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh

penderitanya, resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya

juga dari lingkungan sekitarnya misalnya pandangan moral, agama, norma

masyarakat, keuangan dan lainnya.

Pandangan atau keyakinan individu tentng beratnya penyakit yang diderita. Selain

keseriusan penyakit yang diderita, keyakinan seseorang mengenai akibat atau efek dari

suatu penyakit dapat dipertimbangkan dari sudut pandang kesulitan-kesulitan yang

diciptakan oleh suatu penyakit seperti kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental,

kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial seperti kehilangan waktu kerja dan

biaya pengobatan.

c. Perceived Benefits (persepsi manfaat)


Persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari perilaku baru yang

dilakukan untuk mengurangi risiko suatu penyakit. Keyakinan terhadap manfaat yang

dirasakan ketika melakukan suatu tindakan tertentu dan tetap melakukan tindakan

tersebut.

Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif memang bermanfaat

mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan

sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi

oleh norma dan tekanan dari kelompok. Sulit meyakinkan seseorang untuk mengubah

perilaku jika tidak ada sesuatu manfaat untuk mereka

d. Perceived Barriers (persepsi hambatan)

Persepsi terhadap biaya/aspek negative yang menghalangi individu untuk

melakukan tindakan kesehatan. Misalnya membutuhkan biaya, usaha, waktu yang

lama, dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Apabila individu menghadapi

rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut.

e. Cues to Action (isyarat untuk melakukan tindakan)

Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-

pesan pada media massa, nasihat atau anjuran anggota keluarga, aspek sosiodemografis

misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan

orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial dan budaya

untuk melakukan perubahan perilaku.

Kejadian eksternal yang menganjurkan suatu keinginan untuk membuat

perubahan kesehatan, suatu isyarat untuk bertindak kadang- kadang membantu

menggerakkan seseorang dari keinginan untuk membuat perubahan kesehatan.

f. Self Efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak)


Keyakinan seseorang bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau

menampilkan suatu perilaku tertentu.


BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Penderita HIV berisiko lebih tinggi terinfeksi virus corona COVID-19

Dilansir dari situs World Health Organization (WHO) terkait dengan risiko

infeksi virus corona pada orang dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA)

yang belum mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk

mendapatkan infeksi oportunistik dan perjalanan penyakit akan lebih cepat

mengalami perburukan. Hal ini diakibatkan karena sistem imun yang belum pulih.

Antiretroviral itu sendiri merupakan terapi yang digunakan untuk mengurangi

risiko penularan HIV, menghambat perbaikan infeksi oportunistik, meningkatkan

kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai

keberadaanya tidak terdeteksi.

Belum ada bukti yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko infeksi

terhadap COVID-19 dan perburukan penyakit pada ODHA. Menurut WHO sampai

saat ini belum ditemukan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di antara penderita

HIV, meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa saja berubah ketika

penyebaran virus semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh laporan bahwa selama

wabah SARS dan MERS terdapat beberapa kasus penyakit ringan terkait SARS dan

MERS di antara ODHA.

Sejauh ini, data klinis menunjukan faktor risiko kematian terbesar karena

COVID-19 ada kaitannya dengan usia lanjut, dan penyebab lainnya termasuk

penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit saluran napas kronis, dan hipertensi.

Namun, bukan hal yang sangat tidak mungkin orang yang sangat sehat juga berisiko

masalah padao menderita penyakit parah akibat infeksi coronavirus.


Hanya saja, Center for Disease Control menyebutkan, orang dengan HIV yang

memiliki kondisi seperti di bawah ini mungkin berisiko untuk tertular virus corona,

yakni:

1. Orang dengan HIV yang tidak mengonsumsi ARV atau antiretroviral

2. Orang dengan HIV yang tidak memiliki jumlah CD4 yang rendah (>200

copies/cell)

3. Orang dengan HIV yang memiliki viral load cukup tinggi.

4. Orang dengan HIV yang tidak mengkonsumsi ARV atau antiretroviral.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang yang hidup dengan HIV

sangat rentan mengalami masalah infeksi saluran pernapasan jika tidak di ‘manage’

dengan baik. Untuk alasan yang satu ini, orang dengan HIV penting untuk melakukan

pengobatan antiretroviral (ARV) secara teratur, khususnya di tengah pandemi seperti

sekarang.

Risiko tersebut kemungkinan dapat terjadi pada orang dengan HIV yang juga

mengalami masalah pada saluran pernapasan seperti tuberculosis (TBC), penyakit

metabolik lainnya atau faktor usia

B. Pencegahan COVID-19 bagi orang yang hidup dengan HIV

Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus

melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan

perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena

sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada

peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit

untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara

ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar.
Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus

penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.

Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID

terutama terkait dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit

kardiovaskular, diabetes, penyakit saluran pernapasan kronis, dan hipertensi.

Beberapa orang yang sangat sehat juga menderita penyakit parah akibat infeksi

coronavirus.

ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil

tindakan pencegahan yang sama seperti populasi umum (mis. Sering mencuci tangan

sering, etika batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari

perawatan medis jika bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan

COVID -19 dan tindakan lain sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang

menggunakan obat-obatan ARV harus memastikan bahwa mereka memiliki paling

sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6 bulan tidak tersedia dan memastikan

bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin influenza dan pneumokokus).

Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV

dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan

untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat

dikendalikan dan mengurangi komplikasi dari penyakit ko-morbit lainnya.

Cara terbaik agar tidak tertular virus corona ada adalah dengan sebisa

mungkin menghindari paparan virus tersebut dengan melakukan pencegahan, seperti:

 Melakukan physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah)

 Sebisa mungkin mengurangi aktivitas diluar rumah

 Jika terpaksa keluar rumah, hindari kerumunan

 Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
 Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun

 Menggunakan masker atau face shield jika di luar rumah

Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA

juga tetap perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan

terkendali. Beberapa langkah dibawah ini dapat meminimalisir infeksi virus

corona.

 Mengkonsumsi makanan yang sehat

 Istirahat yang cukup

 Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu

tersedia.

C. ARV dapat digunakan untuk mengobati COVID-19

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa pasien yang terinfeksi SARS-

CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19, dan infeksi koronavirus terkait (SARS-

CoV dan MERS-CoV) memiliki hasil klinis yang baik, dengan hampir semua kasus

pulih sepenuhnya. Dalam beberapa kasus, pasien diberi obat antiretroviral: lopinavir

yang dikuatkan dengan ritonavir (LPV/r). Penelitian ini sebagian besar dilakukan

pada orang dengan status HIV-negatif.

Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini menggunakan LPV/r memiliki

keterbatasan. Penelitiannya kecil, waktu, durasi dan dosis untuk pengobatan bervariasi

dan sebagian besar pasien menerima ko-intervensi / ko-pengobatan yang mungkin

berkontribusi pada hasil pengobatan yang dilaporkan.

Sementara bukti manfaat penggunaan ARV untuk mengobati infeksi

coronavirus adalah tidak jelas., dilaporkan kejadian timbulnya efek samping yang

serius jarang terjadi. Di antara ODHA, penggunaan rutin LPV/r sebagai pengobatan

untuk HIV mempunyai toksisitas sedang. Efek samping LPV/r pada kasus
Coronavirus dilaporkan rendah, hal ini disebabkan karena pemberian LPV/r diberikan

dalam jangka waktu pendek.

D. ARV dapat digunakan untuk mencegah infeksi virus penyebab COVID-19

Dua penelitian telah melaporkan penggunaan LPV / r sebagai profilaksis pasca

pajanan untuk SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu penelitian ini menunjukkan

bahwa terjadinya infeksi MERS-CoV lebih rendah di antara petugas kesehatan yang

menerima LPV / r dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima obat apa pun;

penelitian lain tidak menemukan kasus infeksi SARS-CoV di antara 19 ODHA yang

dirawat di bangsal yang sama dengan pasien SARS, yang mana 11 di antaranya

memakai terapi antiretroviral. Sekali lagi, kekuatan bukti yang ada sangat rendah

karena ukuran sampel yang kecil, variabilitas dalam obat yang diberikan, dan

ketidakpastian mengenai intensitas paparan.

E. Studi terkait pengobatan dan pencegahan COVID-19 dengan ARV yang sedang

direncanakan

Beberapa uji coba random direncanakan untuk menilai keamanan dan

kemanjuran penggunaan obat antiretroviral - terutama LPV/r - untuk mengobati

COVID-19, dengan kombinasi obat lain. Hasil diharapkan pada pertengahan 2020 dan

seterusnya.

F. WHO dalam uji klinis / penelitian saat wabah sedang berlangsung

WHO memberikan dukungan dan arahan kepada komunitas ilmiah dan

menyambut baik penelitian dan pengembangan tes yang efektif, vaksin, obat-obatan

dan intervensi lain untuk COVID-19.

Untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat, WHO memiliki proses yang

sistematis dan transparan untuk penelitian dan pengembangan, termasuk untuk uji
klinis obat dan vaksin baru. “WHO R&D Blueprint” WHO untuk COVID-19, yang

dimulai pada 7 Januari 2020, akan berfungsi sebagai strategi global untuk kegiatan

Litbang. Tujuannya adalah untuk melacak dengan cepat ketersediaan tes yang efektif,

vaksin dan obat-obatan yang dapat digunakan untuk menyelamatkan jiwa dan

mencegah krisis skala besar. [1] Sebagai bagian dari ini, WHO memimpin penentuan

prioritas global kandidat vaksin dan pengobatan untuk pengembangan dan evaluasi.

Untuk mendukung pengujian, WHO mengundang kelompok penasihat ilmiah

(Scientific Advisory Group/SAG) untuk mengembangkan panduan tentang desain uji

cobabaik untuk vaksin eksperimental dan pengobatan.

WHO secara aktif mengikuti uji klinis yang sedang berlangsung untuk

antivirus yang ada dan obat-obatan lain yang sedang dilakukan untuk COVID-19.

WHO terus menekankan bahwa semua uji klinis seharusnya dan harus mengikuti

standar etika dan peraturan yang ketat. Otoritas regulasi memiliki peranan yang

penting untuk memastikan pengawasan yang ketat terhadap semua uji klinis yang

akan dilakukan.

G. WHO tentang penggunaan bukti dari hasil penelitian awal atau terapi yang

tidak terbukti untuk intervensi

Banyak kuman pathogen yang saat ini terbukti tidak mempunyai intervensi

yang efektif. Beberapa intervensi dilaboratorium dan uji hewan menunjukkan hasil

yang menjanjikan untuk beberapa kuman pathogen, uji klinis diperlukan untuk

menghasilkan bukti yang dapat diandalkan agar dapat digunakan pada manusia

sebelum rekomendasi resmi dapat dibuat.

WHO telah mengembangkan prosedur evaluasi dan pendaftaran (Emergency

Use Assessment and Listing/EUAL) untuk calon obat ataupun produk kesehatan
lainnya agar dapat digunakan dalam kedaruratan kesehatan masyarakat. Prosedur ini

dibuat untuk memberikan panduan kepada otoritas regulasi nasional.

Prosedur ini dapat digunakan untuk mempercepat ketersediaan obat-obatan

dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mungkin

bersedia untuk menerima kekurangan terkait efektifitas dan keamanan produk

mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas penyakit serta kekurangan pengobatan

dan / atau pilihan pencegahan [4]

Dalam konteks wabah yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi,

secara etis mungkin tepat untuk menawarkan intervensi eksperimental pada setiap

pasien secara darurat di luar kaidah uji klinis, dengan ketentuan bahwa: [6]

• tidak ada pengobatan yang terbukti efektif;

• tidak mungkin untuk segera memulai studi klinis;

• data tersedia memberikan dukungan awal untuk kemanjuran dan keamanan

intervensi, setidaknya dari studi laboratorium atau hewan, dan penggunaan intervensi

di luar uji klinis telah disarankan oleh komite penasihat ilmiah yang memenuhi syarat

sesuai berdasarkan analisis risiko-manfaat yang menguntungkan;

• otoritas nasional yang relevan, serta komite etik yang memenuhi syarat, telah

menyetujui penggunaan tersebut;

• sumber daya yang memadai tersedia untuk memastikan bahwa risiko dapat

diminimalkan;

• pasien telah memberikan persetujuan; dan

• penggunaan darurat intervensi dipantau, dan hasilnya didokumentasikan dan

dibagikan secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih luas.

Penggunaan intervensi eksperimental dalam keadaan ini disebut sebagai "Penggunaan

darurat intervensi eksperimental dan tidak teregistrasi yang terpantau" (MEURI) [7].
H. WHO tentang penggunaan ARV untuk pengobatan COVID-19

Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menilai efektivitas LPV / r atau

antivirus lain untuk mengobati COVID-19. Beberapa negara sedang mengevaluasi

penggunaan LPV / r dan antivirus lain dan kami menyambut baik hasil investigasi ini.

Sekali lagi, sebagai bagian dari respons WHO terhadap wabah, WHO R&D

Blueprint [8] telah diaktifkan untuk mempercepat evaluasi diagnostik, vaksin, dan

terapi untuk coronavirus baru ini. WHO juga telah merancang serangkaian prosedur

untuk menilai kinerja, kualitas, dan keamanan teknologi medis selama situasi darurat.

I. ARV untuk COVID-19

Antiretroviral adalah pengobatan yang manjur dan dengan tingkat toleransi

tinggi untuk ODHA. Antiretroviral LPV/r saat ini sedang diteliti sebagai pengobatan

yang mungkin untuk COVID-19.

Jika LPV/r akan digunakan untuk pengobatan COVID-19, harus ada rencana

untuk memastikan manajemen rantai pasok memadai dan berkelanjutan untuk

memenuhi kebutuhan semua ODHA yang sudah menggunakan LPV/r dan mereka

yang perlu memulai pengobatan. Proporsi penggunaan LPV/r baik sebagai terapi

substitusi ataupun lini kedua relative kecil dalam pengobatan ARV secara umum.

Setiap negara yang mengizinkan penggunaan obat-obatan HIV untuk pengobatan

COVID-19 harus memastikan ketersediaan pasokan yang memadai dan berkelanjutan.


BAB IV

KESIMPULAN DAN DAFTAR PUSTAKA

A. KESIMPULAN

Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus

melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan

perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena

sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada

peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit

untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara

ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar.

Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus

penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.

Cara terbaik agar tidak tertular virus corona pada penderita HIV AIDS

terhadap covid – 19 adalah dengan sebisa mungkin menghindari paparan virus

tersebut dengan melakukan pencegahan, seperti:

1. Melakukan physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah)

2. Sebisa mungkin mengurangi aktivitas diluar rumah

3. Jika terpaksa keluar rumah, hindari kerumunan

4. Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik

5. Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun

6. Menggunakan masker atau face shield jika di luar rumah

7. Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga

tetap perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali.

Beberapa langkah dibawah ini dapat meminimalisir infeksi virus corona.


8. Mengkonsumsi makanan yang sehat

9. Istirahat yang cukup

10. Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu

tersedia.

Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV

dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan

untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat

dikendalikan dan mengurangi komplikasi dari penyakit ko-morbit lainnya.

B. DAFTAR PUSTAKA

- Who.in. Diakses pada Juli 2020. Pertanyaan dan jawaban terkait COVID-19, HIV dan

antiretroviral di Indonesia. https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-on-hiv-

and-antiretroviral

- Avert. Diakses pada Juli 2020. CORONAVIRUS (COVID-19) AND HIV.

https://www.avert.org/coronavirus/covid19-HIV

- Hiv.gov. Diakses pada Juli 2020. If I Have HIV, Am I at Higher Risk of COVID-19?.

https://www.hiv.gov/hiv-basics/staying-in-hiv-care/other-related-health-issues/coronavirus-

covid-19

- Center for Disease and Prevention. Diakses pada Juli 2020. What to Know About

HIV and COVID-19.

https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/hiv.html?

- https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-on-hiv-and-

antiretroviral

Anda mungkin juga menyukai