TERHADAP COVID- 19
KELOMPOK 4
1. ACH.FARUQ IQBAL
2. BUNILA
3. M .JASULI
PROGSUS SITUBONDO
KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Penulis ( kelompok 4 ) sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
Orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) merupakan kelompok yang memiliki
sitem imun yang lemah. Pada ODHIV terjadi penurunan CD4 yang merupakan salah
satu jenis sel darah putih yang berperan dalam sistem imun tubuh. Kelompok ini
rentan terkena penyakit infeksi, stres, dan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengganggu kualitas hidup. (WHO, 2019; Jordan, 2020). Oleh karena itu, penting
adanya pengawasan dan pengetahuan yang tepat bagi ODHIV dalam proses
Kasus HIV positif baru tiap harinya terus meningkat. Berdasarkan informasi
pada laman hiv.gov (2020), pada tahun 2019 diperkirakan ada lebih dari 40 juta orang
di seluruh dunia yang terinfeksi HIV. Kasus HIV positif di Indonesia hingga
tahun 2020, terdapat total 543.075 kasus HIV positif dan hanya sekitar separuhnya
yang telah mendapat pengobatan. Sumatera Barat pada 2019 tercatat sebanyak 414
kemungkinan bahwa masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi dengan baik.
Selain HIV, dunia juga sedang dihadapkan pada pandemi Coronavirus 2019
pernapasan akut parah, dan kemudian menjadi sejarah pandemi paling berpengaruh di
era modern. Penyakit ini teridentifikasi pertama kali di Wuhan China, diawali dari
wabah Pneumonia yang tidak diketahui asalnya pada tanggal 31 Desember 2019
for Disease Control, 2020; Phelan, 2020). Penyakit ini telah menyebar dengan cepat
hingga gelombang ketiga saat ini. Dari website WHO didapatkan data lebih dari 210
juta penduduk dunia telah terinfeksi COVID-19 dengan negara Amerika Serikat
memiliki jumlah kejadian yang paling tinggi yaitu 37,6 juta kasus dengan 627,6 ribu
kematian. Angka kasus yang terjadi di Indonesia sendiri juga tergolong tinggi yaitu
3,93 juta kasus dengan 122,6 ribu kematian. Jawa Timur menjadi Provinsi tertinggi
secara Nasional dengan 3.90279 kasus dan 3909352 Sembuh. Kota Situbondo
memiliki jumlah dengan 7153 kasus dan 27 kasus kematian. Data-data menjadikan
penyebaran penyakit ini sangat cepat, merata dan bisa mengenai siapa saja, terutama
kualitas pelayanan HIV di beberapa fasilitas kesehatan mulai dari perhatian, sumber
daya, dan personel yang dialihkan untuk memerangi COVID-19. Ini diperparah
dengan diperkirakannya sekitar 19% pasien yang terinfeksi HIV tidak dapat
pasien HIV untuk menggunakan persediaan ARV mereka (Adadi, 2020; Amimo,
2020; Cairns, 2020; Pinto, 2020; Sun, 2020). Hal ini tentunya akan
mempengaruhi kondisi pelayanan dan kondisi pada pasien HIV sendiri. ODHIV
pandemi ini. Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC (2020)
menyebutkan ODHIV sebagai populasi yang mungkin berisiko tinggi untuk tertular
adanya potensi komorbid seperti diabetes dan hipertensi yang umum terjadi pada
ODHIV. Selain itu ODHIV juga berpotensi mengalami gangguan sosial seperti
kebencian (Earnshaw et al, 2013; CDC, 2020). Dari sini bisa terlihat bahwa
banyak faktor risiko yang dialami oleh ODHIV baik dari fisik maupun psikososial.
banyak ODHIV yang dirawat via telepon mengaku bahwa mereka merasa sangat
stres, cemas, dan tidak dapat tidur. Selain itu, The Lancet HIV (2020) baru-baru ini
melaporkan bahwa ODHIV di Mesir sangat ketakutan untuk mendapatkan ARV karena satu-
satunya pusat pengobatan HIV telah diubah menjadi fasilitas karantina dan pengendalian
COVID-19. Sejalan dengan itu, penelitian Guo (2020) mengungkapkan bahwa ODHIV
berharap mereka mendapat dukungan sosial dan psikologis. Ini harus jadi perhatian bagi
Peristiwa ini menjadi penting mengingat data yang terus bertumbuh dan berkembang setiap
global 378 kasus infeksi COVID-19 pada ODHIV telah dilaporkan dengan mayoritas berasal
dari Inggris dengan 101 kasus dan Amerika Serikat 122 kasus. Selain itu, Penelitian
ODHIV yang terinfeksi virus ini. Sampai saat ini, angka-angka tersebut terus meningkat
Proporsi rendah ODHIV di antara pasien dengan COVID-19 harus ditafsirkan dengan hati-
hati karena ada beragam bukti tentang kontribusi HIV pada epidemi virus pernapasan
sebelumnya. Kenmoe (2019) mengaitkan HIV dengan risiko yang lebih tinggi terpapar
infeksi saluran pernapasan. Selain itu sebuah studi kohort berbasis populasi yang besar di
Afrika Selatan oleh Boulle (2020) menemukan bahwa risiko kematian COVID-19 di antara
ODHIV menjadi dua kali lipat dari mereka yang tidak HIV. Senada dengan Boulle,
Bhaskaran (2020) menyimpulkan bahwa ODHIV di Inggris berisiko lebih tinggi terhadap
kematian akibat COVID-19. Ini menunjukkan bahwa situasi terus berubah dengan
Salah satu cara untuk memulai tindakan pencegahan adalah dengan melihat persepsi dari
agregat yang akan dilindungi. Persepsi merupakan interpretasi kejadian maupun informasi
yang diterima oleh indra sensorik yang nantinya diproses menjadi data yang disesuaikan
dengan pengetahuan, budaya, harapan, kondisi pada saat kejadian, hingga sumber kejadian
atau informasi itu sendiri. Data tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam menyadari
kejadian bisa dilihat dari bagaimana pandangannya terhadap obyek yang akan dipersepsikan,
lebih mengarah kepada positif atau negatif (Saleh, 2004; Sudarsono, 2016; Yuliana, 2019).
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa persepsi memiliki makna
pada kehidupan seseorang. Elsye (2017) menyatakan bahwa persepsi berpengaruh terhadap
keputusan seseorang. Sejalan dengan itu, Nilawati (2013) menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara persepsi dengan sikap seseorang. Selain itu, penelitian
Musta’inah et al (2021) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang penting dalam upaya
pencehgahan suatu penyakit. Sehingga dengan mengetahui persepsi ODHIV, kita bisa
memiliki jumlah penduduk paling tinggi di Jawa Timur. Menurut Jamil (2020) jumlah
penduduk yang tinggi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka
penyebaran HIV di Kota ini. Selanjutnya Mulyani (2020) menyatakan bahwa dari 287 kasus
HIV positif, penyumbang terbanyak berasal dari kalangan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak
85 orang yang berada pada usia produktif 25 sampai 49 tahun. Oktawina (2020) mendapatkan
data bahwa selama pandemi pelayanan bagi pasien HIV dan AIDS di Puskesmas Panji
Situbondo tidak pernah ditutup atau pun terganggu, cenderung mengalami peningkatan
jumlah kunjungan. Puskesmas Panji Situbondo merupakan salah satu puskesmas yang
menyediakan layanan rawatan bagi pasien HIV/AIDS dimana mereka juga bisa mengakses
berasal dari wilayah kerja Puskesmas Panji Situbondo saja, namun juga berasal dari seluruh
Voluntary counselling and testing (VCT) diartikan sebagai konseling dan tes HIV secara
sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan, dan
pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah sakit
maupun klinik penyedia layanan VCT (Adrian, 2020). Selain VCT, juga terdapat Program
terapi Rumatan Metadon yang merupakan kagiatan memberikan metadon cair dalam bentuk
sediaan oral kepada pasien sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang biasa Menkes
disalahgunakan (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350/ / SK/ IV/
2008).
Kota Situbondo saat ini sudah memiliki 23 puskesmas yang sudah menjadi Layanan
menjadi rujukan pengobatan HIV. Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Panji Situbondo,
(Yonavilbia, 2020).
Ada banyak lembaga, organisasi, atau perkumpulan yang bergerak untuk menjangkau,
(KPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan LSM peduli HIV AIDS
seperti Yayasan Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, Yayasan Akbar, dll). KPA bersama
Dinas Kesehatan bertugas untuk mengawasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS.
Selanjutnya PKBI bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, sosial, sanitasi dan HIV.
Lalu mereka juga melakukan program penjangkauan untuk wanita pekerja seks, apabila
ada di antara wanita pekerja seks yang positif HIV, maka PKBI bermitra dengan LSM peduli
HIV AIDS untuk melakukan pendampingan. LSM peduli HIV AIDS sendiri, seperti Yayasan
Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, atau Yayasan Akbar bergerak di bagian pendamping dan
penjangkauan ODHIV.
Pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan Yayasan
Aksara. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, peneliti lebih mudah untuk
melakukan komuniasi dengan pihak Yayasan Aksara. Yayasan Aksara merupakan yayasan
swasta yang bergerak di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Kota dan Dinas Kesehatan
Provinsi. Yayasan ini menjangkau dan mendampingi ODHIV agar bisa mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Sehingga dengan melakukan penelitian dilokasi ini
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, saat ini banyak tempat-tempat berkumpul
yang sudah buka namun masyarakat dan petugas yang bekerja kurang memperhatikan
protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Untuk pengawasan terhadap kebijakan juga
sudah mulai dilonggarkan, ini terlihat dari jarangnya personil keamanan yang terlihat
mengawasi penerapan protokol kesehatan pada keramaian seperti saat fase awal COVID-19,
dimana banyak personil keamanan yang dikerahkan untuk mengawasi dan menertibkan
terjadinya kelalaian pada masyarakat karena merasa tidak diawasi dan juga dikhawatirkan
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, didapatkan data bahwa ODHIV
COVID-19 ini. Mereka mengatakan khawatir dengan kondisi komorbid yang dimilikinya
akan menyebabkan mereka beresiko tinggi untuk terinfeksi COVID-19 dan mengalami
perburukan yang cepat. Hal ini terjadi karena masih minimnya sumber informasi dan
Mengingat urgensi pandemi COVID-19 dan informasi yang berubah dengan cepat tentang
penyakit tersebut, ditambah ODHIV merupakan salah satu populasi rentan untuk terpapar
ODHIV salah satunya dengan mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan
COVID-19, diharapkan akan diperoleh data dan gambaran mengenai kelompok ODHIV
sehingga bisa menghasilkan program atau kebijakan yang bisa melindungi mereka dari risiko
komorbiditas lazim ditemukan pada ODHIV. Hingga saat ini masih belum diketahui
bagaimana dampak COVID-19 pada orang dengan HIV positif dan bagaimana mereka
menghadapi situasi pandemi COVID-19 ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
COVID-19
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta referensi bagi
COVID-19.
1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk merumuskan program promotif dan
1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan mampu digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai acuan
A. HIV/AIDS
1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun
kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma
sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai
tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA
suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi
immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun
akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2. Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi
ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody
terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
a. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif
HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa
saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh
sendiri).
b. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS. Gejala – gejala
yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus menerus,
pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan
berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini
c. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat
berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi
oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru dan
kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi
usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).
3. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari
sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus
(LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell
menjadi asam
deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan
manifestasi neurologis
4. Kelompok Risiko
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk
d. Narapidana
HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati,
2016).
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).
5. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan
replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun.
Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5
– 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti
demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase
akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah
terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi
manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai
manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel
– sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar
limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 –
300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala –
gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).
6. Manifestasi Klinis
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa
diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita
akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
6) Tuberculosis paru
meningitis, bakteremia
9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa sebab jelas,
d. Stadium 4 (berat)
4) Toksoplasmosis serebral
6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita
Selekta, 2014).
7. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
b. Neurologik
(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise,
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
c. Gastrointertinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi
otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder
dan sepsis.
f. Sensorik
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
8. Cara Penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, semen,
tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin
merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah
dengan orang yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah,
cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin (sangat
rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah
disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak disunat.
a. Ibu hamil
ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang
menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan HIV
pada bayi yang belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme
kehamilan dan persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah
bayinya disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya
b. Jarum suntik
1) Prevalensi 5-10%
2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat
3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna obat
suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%.
c. Transfusi darah
2) Prevalensi 3-5%
d. Hubungan seksual
1) Prevalensi 70-80%
3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan semakin
jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun (pengguna
9. Pencegahan Penularan
a. Secara umum
A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama
seks pranikah
penggunaan NAPZA
Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran
darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah
pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah & Dewi, 2014).
10. Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah
antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan
untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang
oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping
rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan
obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014).
11. Diagnosis
b. Western blot
Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan
1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk
B. Persepsi
1. Definisi
diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang berarti dan merupakan
aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang intergrated,
maka dalam seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu aktif berperan dalam
yang diterima oleh sistem sensori, sehingga menyadari dan mengetahui apa yang di indra
sebagai bentuk respons dari individu (Walgito, 2003 & Pinel, 2009 dalam Puspitawati, 2012).
menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian
masuk ke dalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud
2. Jenis-Jenis
a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang
b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari
dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri (Sunaryo,
2004).
a. Persepsi positif
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menuju pada suatu keadaan dimana subjek
yang mempersepsikan cenderung menerima objek yang ditangkap sesuai dengan pribadinya.
b. Persepsi negative
Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menunjuk pada keadaan dimana subjek
yang mempersepsi cenderung menolak objek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan
pribadinya.
Objek menimbulkan stimulus yang masuk melalui indra atau reseptor. Stimulus bisa berasal
dari lingkungan mauun dari dalam diri manusia sendiri yang langsung mengenai syaraf
penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi sebagian besar stimulus berasal dari luar
individu.
Alat indra merupakan alat untuk menerima stimulus. Setelah stimulus diterima reseptor,
maka stimulus selanjutnya akan dikirim ke sistem saraf pusat, yaitu otak yang merupakan
sensori, sedangkan untuk menghasilkan suatu respons diperlukan adanya sel-sel saraf
motoris.
Menurut Yue (2012), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi sebagai
berikut:
menstimulasi dan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan persepsi mereka akan
segala sesuatu
d. Ketertarikan atau interest: fokus perhatian kita terhadap hal-hal yang tengah dihadapi
e. Pengalaman: pengetahuan atau kejadian yang telah didapatkan dan dialami seseorang.
f. Harapan atau ekspresi: gambaran atau ilustrasi yang membentuk sebuah pencitraan
Menurut Rakhmat (2005), faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari internal
a. Faktor internal
1) Alat indra
Alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat
untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak
sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.
2) Perhatian
Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu langkah
pertama sebagai suatu persiapan merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh individu
3) Pengalaman
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewatproses belaar
formal. Pengalaman bisa bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi.
b. Faktor eksternal
Objek menimbulkan stimulus yang mengenaialt indra atau reseptor. Stimulus dapat datang
dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari individu yang
bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
2) Informasi
Era teknologi zaman sekarnag ini lebih dari kata maju, banyak sekali cara untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang terpercaya, baik dari media cetak
maupun elektronik.
3) Budaya/lingkungan
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh
Menurut Sunaryo (2004), proses terjadinya persepsi melalui tiga proses yaitu proses fisik,
proses fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik berupa objek menimbulkan stimulus, lalu
otak. Sedangkan proses psikologis berupa proses dalam otak sehingga individu menyadari
Individu mengenali suatu objek dari dunia luar dan ditangkap melalui inderanya. Bagaimana
individu menyadari, mengerti apa yang diindera ini merupakan suatu proses terjadinya
Tanggapan tersebut dimulai dengan objek yang menimbulkan stimulus dan akhirnya stimulus
b. Proses fisiologi
Proses fisiologi yaitu stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian dilanjutkan oleh
c. Proses psikologis
Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga seseorang dapat menyadari
apa yang diterima dengan reseptor itu sebagai suatu akibat stimulus yang diterimanya
(Walgito, 2010).
1. Definisi
Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktor- faktor intrapersonal
yang berpengaruh terhadap health belief behavior yang kemudian digunakan dalam
penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun preventif (Burke, 2013).
Teori health belief model menjelaskan bahwa kemungkinan individu akan melakukan
tindakan pencegahan tergantung pada hasil dari keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu
ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan serta kerugian
(Machfoedz, 2008).
Pada health belief model, perubahan sikap terhadap kesehatan yang didasari oleh tiga hal
kesehatannya.
b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit yang
diderita.
kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih efektif terutama dalam hal
pembiayaan.
Persepsi akan kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk
berperilaku lebih sehat. Suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul
bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut
Persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat
terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Kerentanannya dirasakan setiap
individu berbeda tergantung persepsi tentang resiko yang dihadapi individu pada suatu
keadaan tertentu. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa
sangat mungkin terkena penyakit tersebut tapi sebaliknya mereka yang merasa jauh dari
resiko akan menyangkal kemungkinan terkena penyakit atau kondisi yang merugikan.
didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat.
Keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh penderitanya,
resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya juga dari lingkungan
sekitarnya misalnya pandangan moral, agama, norma masyarakat, keuangan dan lainnya.
Pandangan atau keyakinan individu tentng beratnya penyakit yang diderita. Selain keseriusan
penyakit yang diderita, keyakinan seseorang mengenai akibat atau efek dari suatu penyakit
dapat dipertimbangkan dari sudut pandang kesulitan-kesulitan yang diciptakan oleh suatu
penyakit seperti kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya
terhadap kehidupan sosial seperti kehilangan waktu kerja dan biaya pengobatan.
Persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari perilaku baru yang dilakukan untuk
mengurangi risiko suatu penyakit. Keyakinan terhadap manfaat yang dirasakan ketika
ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya sehingga
tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari
kelompok. Sulit meyakinkan seseorang untuk mengubah perilaku jika tidak ada sesuatu
tindakan kesehatan. Misalnya membutuhkan biaya, usaha, waktu yang lama, dan pengalaman
yang tidak menyenangkan. Apabila individu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam
pada media massa, nasihat atau anjuran anggota keluarga, aspek sosiodemografis misalnya
tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua,
pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial dan budaya untuk melakukan
perubahan perilaku.
Kejadian eksternal yang menganjurkan suatu keinginan untuk membuat perubahan kesehatan,
suatu isyarat untuk bertindak kadang- kadang membantu menggerakkan seseorang dari
E. Kerangka Konsep
Dilansir dari situs World Health Organization (WHO) terkait dengan risiko infeksi virus
corona pada orang dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum
mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi
oportunistik dan perjalanan penyakit akan lebih cepat mengalami perburukan. Hal ini
Antiretroviral itu sendiri merupakan terapi yang digunakan untuk mengurangi risiko
penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai keberadaanya tidak
terdeteksi.
Belum ada bukti yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko infeksi terhadap
COVID-19 dan perburukan penyakit pada ODHA. Menurut WHO sampai saat ini belum
ditemukan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di antara penderita HIV, meskipun tidak
menutup kemungkinan hal ini bisa saja berubah ketika penyebaran virus semakin meningkat.
Hal ini disebabkan oleh laporan bahwa selama wabah SARS dan MERS terdapat beberapa
Sejauh ini, data klinis menunjukan faktor risiko kematian terbesar karena COVID-19 ada
kaitannya dengan usia lanjut, dan penyebab lainnya termasuk penyakit kardiovaskular,
diabetes, penyakit saluran napas kronis, dan hipertensi. Namun, bukan hal yang sangat tidak
mungkin orang yang sangat sehat juga berisiko masalah padao menderita penyakit parah
Hanya saja, Center for Disease Control menyebutkan, orang dengan HIV yang memiliki
kondisi seperti di bawah ini mungkin berisiko untuk tertular virus corona, yakni:
2. Orang dengan HIV yang tidak memiliki jumlah CD4 yang rendah (>200 copies/cell)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang yang hidup dengan HIV sangat rentan
mengalami masalah infeksi saluran pernapasan jika tidak di ‘manage’ dengan baik. Untuk
alasan yang satu ini, orang dengan HIV penting untuk melakukan pengobatan antiretroviral
Risiko tersebut kemungkinan dapat terjadi pada orang dengan HIV yang juga mengalami
masalah pada saluran pernapasan seperti tuberculosis (TBC), penyakit metabolik lainnya atau
faktor usia
B. Pencegahan COVID-19 bagi orang yang hidup dengan HIV
Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui
penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang
belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi
terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada
kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan
cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS
hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.
Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID terutama terkait
dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes,
penyakit saluran pernapasan kronis, dan hipertensi. Beberapa orang yang sangat sehat juga
ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil tindakan
pencegahan yang sama seperti populasi umum (mis. Sering mencuci tangan sering, etika
batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari perawatan medis jika
bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan COVID -19 dan tindakan lain
memastikan bahwa mereka memiliki paling sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6
bulan tidak tersedia dan memastikan bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin
Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera
memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera
memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan
Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga tetap perlu
menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali. Beberapa langkah dibawah
Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu tersedia.
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2, virus
yang menyebabkan COVID-19, dan infeksi koronavirus terkait (SARS-CoV dan MERS-
CoV) memiliki hasil klinis yang baik, dengan hampir semua kasus pulih sepenuhnya. Dalam
beberapa kasus, pasien diberi obat antiretroviral: lopinavir yang dikuatkan dengan ritonavir
(LPV/r). Penelitian ini sebagian besar dilakukan pada orang dengan status HIV-negatif.
Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini menggunakan LPV/r memiliki keterbatasan.
Penelitiannya kecil, waktu, durasi dan dosis untuk pengobatan bervariasi dan sebagian besar
jelas., dilaporkan kejadian timbulnya efek samping yang serius jarang terjadi. Di antara
ODHA, penggunaan rutin LPV/r sebagai pengobatan untuk HIV mempunyai toksisitas
sedang. Efek samping LPV/r pada kasus Coronavirus dilaporkan rendah, hal ini disebabkan
Dua penelitian telah melaporkan penggunaan LPV / r sebagai profilaksis pasca pajanan untuk
SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya infeksi
MERS-CoV lebih rendah di antara petugas kesehatan yang menerima LPV / r dibandingkan
dengan mereka yang tidak menerima obat apa pun; penelitian lain tidak menemukan kasus
infeksi SARS-CoV di antara 19 ODHA yang dirawat di bangsal yang sama dengan pasien
SARS, yang mana 11 di antaranya memakai terapi antiretroviral. Sekali lagi, kekuatan bukti
yang ada sangat rendah karena ukuran sampel yang kecil, variabilitas dalam obat yang
E. Studi apa terkait pengobatan dan pencegahan COVID-19 dengan ARV yang sedang
direncanakan
Beberapa uji coba random direncanakan untuk menilai keamanan dan kemanjuran
kombinasi obat lain. Hasil diharapkan pada pertengahan 2020 dan seterusnya.
WHO memberikan dukungan dan arahan kepada komunitas ilmiah dan menyambut baik
penelitian dan pengembangan tes yang efektif, vaksin, obat-obatan dan intervensi lain untuk
COVID-19.
Untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat, WHO memiliki proses yang sistematis dan
transparan untuk penelitian dan pengembangan, termasuk untuk uji klinis obat dan vaksin
baru. “WHO R&D Blueprint” WHO untuk COVID-19, yang dimulai pada 7 Januari 2020,
akan berfungsi sebagai strategi global untuk kegiatan Litbang. Tujuannya adalah untuk
melacak dengan cepat ketersediaan tes yang efektif, vaksin dan obat-obatan yang dapat
digunakan untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah krisis skala besar. [1] Sebagai bagian
dari ini, WHO memimpin penentuan prioritas global kandidat vaksin dan pengobatan untuk
desain uji cobabaik untuk vaksin eksperimental dan pengobatan. [2] [3]
WHO secara aktif mengikuti uji klinis yang sedang berlangsung untuk antivirus yang ada dan
obat-obatan lain yang sedang dilakukan untuk COVID-19. WHO terus menekankan bahwa
semua uji klinis seharusnya dan harus mengikuti standar etika dan peraturan yang ketat.
Otoritas regulasi memiliki peranan yang penting untuk memastikan pengawasan yang ketat
G. WHO tentang penggunaan bukti dari hasil penelitian awal atau terapi yang tidak
Banyak kuman pathogen yang saat ini terbukti tidak mempunyai intervensi yang efektif.
Beberapa intervensi dilaboratorium dan uji hewan menunjukkan hasil yang menjanjikan
untuk beberapa kuman pathogen, uji klinis diperlukan untuk menghasilkan bukti yang dapat
diandalkan agar dapat digunakan pada manusia sebelum rekomendasi resmi dapat dibuat.
WHO telah mengembangkan prosedur evaluasi dan pendaftaran (Emergency Use Assessment
and Listing/EUAL) untuk calon obat ataupun produk kesehatan lainnya agar dapat digunakan
dalam kedaruratan kesehatan masyarakat. Prosedur ini dibuat untuk memberikan panduan
Prosedur ini dapat digunakan untuk mempercepat ketersediaan obat-obatan dalam keadaan
darurat kesehatan masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mungkin bersedia untuk
morbiditas dan mortalitas penyakit serta kekurangan pengobatan dan / atau pilihan
pencegahan [4]
Dalam konteks wabah yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi, secara etis mungkin
tepat untuk menawarkan intervensi eksperimental pada setiap pasien secara darurat di luar
• data tersedia memberikan dukungan awal untuk kemanjuran dan keamanan intervensi,
setidaknya dari studi laboratorium atau hewan, dan penggunaan intervensi di luar uji klinis
telah disarankan oleh komite penasihat ilmiah yang memenuhi syarat sesuai berdasarkan
• otoritas nasional yang relevan, serta komite etik yang memenuhi syarat, telah menyetujui
penggunaan tersebut;
• sumber daya yang memadai tersedia untuk memastikan bahwa risiko dapat diminimalkan;
secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih luas.
Penggunaan intervensi eksperimental dalam keadaan ini disebut sebagai "Penggunaan darurat
Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menilai efektivitas LPV / r atau antivirus lain untuk
Sekali lagi, sebagai bagian dari respons WHO terhadap wabah, WHO R&D Blueprint [8]
telah diaktifkan untuk mempercepat evaluasi diagnostik, vaksin, dan terapi untuk coronavirus
baru ini. WHO juga telah merancang serangkaian prosedur untuk menilai kinerja, kualitas,
Antiretroviral adalah pengobatan yang manjur dan dengan tingkat toleransi tinggi untuk
ODHA. Antiretroviral LPV/r saat ini sedang diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk
COVID-19.
Jika LPV/r akan digunakan untuk pengobatan COVID-19, harus ada rencana untuk
memastikan manajemen rantai pasok memadai dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan
semua ODHA yang sudah menggunakan LPV/r dan mereka yang perlu memulai pengobatan.
Proporsi penggunaan LPV/r baik sebagai terapi substitusi ataupun lini kedua relative kecil
dalam pengobatan ARV secara umum. Setiap negara yang mengizinkan penggunaan obat-
obatan HIV untuk pengobatan COVID-19 harus memastikan ketersediaan pasokan yang
A. KESIMPULAN
Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui
penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang
belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi
terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada
kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan
cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS
hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.
Cara terbaik agar tidak tertular virus corona pada penderita HIV AIDS terhadap covid – 19
adalah dengan sebisa mungkin menghindari paparan virus tersebut dengan melakukan
pencegahan, seperti:
4. Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik
7. Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga tetap
perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali. Beberapa langkah
10. Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu tersedia.
Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera
memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera
memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan
B. DAFTAR PUSTAKA
- Who.in. Diakses pada Juli 2020. Pertanyaan dan jawaban terkait COVID-19, HIV dan
and-antiretroviral
https://www.avert.org/coronavirus/covid19-HIV
- Hiv.gov. Diakses pada Juli 2020. If I Have HIV, Am I at Higher Risk of COVID-19?.
https://www.hiv.gov/hiv-basics/staying-in-hiv-care/other-related-health-issues/coronavirus-
covid-19
- Center for Disease and Prevention. Diakses pada Juli 2020. What to Know About
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/hiv.html?
- https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-on-hiv-and-
antiretroviral