Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

BAGAIMANA KERENTANAN PENDERITA HIV AIDS

TERHADAP COVID- 19

KELOMPOK 4

1. ACH.FARUQ IQBAL

2. BUNILA

3. M .JASULI

PROGSUS SITUBONDO

INSTITUT ILMU KESEHATAN (IIK) STRADA INDONESIA

KEDIRI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini

dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran

maupun materinya.

Penulis ( kelompok 4 ) sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan

dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa

pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah

ini.

Situbondo, 10 November 2021

Penyusun
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) merupakan kelompok yang memiliki

sitem imun yang lemah. Pada ODHIV terjadi penurunan CD4 yang merupakan salah

satu jenis sel darah putih yang berperan dalam sistem imun tubuh. Kelompok ini

rentan terkena penyakit infeksi, stres, dan berbagai masalah kesehatan yang dapat

mengganggu kualitas hidup. (WHO, 2019; Jordan, 2020). Oleh karena itu, penting

adanya pengawasan dan pengetahuan yang tepat bagi ODHIV dalam proses

perawatan, terlebih pada masa pandemi saat ini.

Kasus HIV positif baru tiap harinya terus meningkat. Berdasarkan informasi

pada laman hiv.gov (2020), pada tahun 2019 diperkirakan ada lebih dari 40 juta orang

di seluruh dunia yang terinfeksi HIV. Kasus HIV positif di Indonesia hingga

tahun 2020, terdapat total 543.075 kasus HIV positif dan hanya sekitar separuhnya

yang telah mendapat pengobatan. Sumatera Barat pada 2019 tercatat sebanyak 414

kasus (UNAIDS, 2020; Kemenkes, 2020). Meskipun demikian, tidak menutup

kemungkinan bahwa masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi dengan baik.

Selain HIV, dunia juga sedang dihadapkan pada pandemi Coronavirus 2019

(COVID-19). COVID-19 adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh sindrom

pernapasan akut parah, dan kemudian menjadi sejarah pandemi paling berpengaruh di

era modern. Penyakit ini teridentifikasi pertama kali di Wuhan China, diawali dari

wabah Pneumonia yang tidak diketahui asalnya pada tanggal 31 Desember 2019

hingga seminggu kemudian teridentifikasi sebagai Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) (European Center

for Disease Control, 2020; Phelan, 2020). Penyakit ini telah menyebar dengan cepat

ke lebih dari 200 negara di dunia hingga saat ini.


Angka kejadian COVID-19 tiap waktunya terus mengalami peningkatan

hingga gelombang ketiga saat ini. Dari website WHO didapatkan data lebih dari 210

juta penduduk dunia telah terinfeksi COVID-19 dengan negara Amerika Serikat

memiliki jumlah kejadian yang paling tinggi yaitu 37,6 juta kasus dengan 627,6 ribu

kematian. Angka kasus yang terjadi di Indonesia sendiri juga tergolong tinggi yaitu

3,93 juta kasus dengan 122,6 ribu kematian. Jawa Timur menjadi Provinsi tertinggi

secara Nasional dengan 3.90279 kasus dan 3909352 Sembuh. Kota Situbondo

memiliki jumlah dengan 7153 kasus dan 27 kasus kematian. Data-data menjadikan

penyebaran penyakit ini sangat cepat, merata dan bisa mengenai siapa saja, terutama

orang dengan sistem imun yang lemah.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan kekacauan diberbagai sektor. Selain

menjadi permasalahan global, pandemi COVID-19 juga berdampak pada penurunan

kualitas pelayanan HIV di beberapa fasilitas kesehatan mulai dari perhatian, sumber

daya, dan personel yang dialihkan untuk memerangi COVID-19. Ini diperparah

dengan diperkirakannya sekitar 19% pasien yang terinfeksi HIV tidak dapat

memperoleh obat antiretroviral (ARV), serta beberapa lembaga pencegahan dan

pengendalian HIV yang diubah menjadi pusat penanganan COVID-19 menolak

pasien HIV untuk menggunakan persediaan ARV mereka (Adadi, 2020; Amimo,

2020; Cairns, 2020; Pinto, 2020; Sun, 2020). Hal ini tentunya akan

mempengaruhi kondisi pelayanan dan kondisi pada pasien HIV sendiri. ODHIV

menjadi kelompok yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam menghadapi

pandemi ini. Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC (2020)

menyebutkan ODHIV sebagai populasi yang mungkin berisiko tinggi untuk tertular

COVID-19 dibandingkan dengan masyarakat umum. Risiko ini didasarkan pada

adanya potensi komorbid seperti diabetes dan hipertensi yang umum terjadi pada
ODHIV. Selain itu ODHIV juga berpotensi mengalami gangguan sosial seperti

beban kekerasan, stigma, diskriminasi, isolasi, dan

kebencian (Earnshaw et al, 2013; CDC, 2020). Dari sini bisa terlihat bahwa

banyak faktor risiko yang dialami oleh ODHIV baik dari fisik maupun psikososial.

Kondisi Pandemi seperti saat ini akan membahayakan kesejahteraan

psikologis dan emosional ODHIV. Penelitian Shiau (2020) melaporkan bahwa

banyak ODHIV yang dirawat via telepon mengaku bahwa mereka merasa sangat

stres, cemas, dan tidak dapat tidur. Selain itu, The Lancet HIV (2020) baru-baru ini

melaporkan bahwa ODHIV di Mesir sangat ketakutan untuk mendapatkan ARV karena satu-

satunya pusat pengobatan HIV telah diubah menjadi fasilitas karantina dan pengendalian

COVID-19. Sejalan dengan itu, penelitian Guo (2020) mengungkapkan bahwa ODHIV

berharap mereka mendapat dukungan sosial dan psikologis. Ini harus jadi perhatian bagi

perawat agar bisa mencegah penurunan ketahanan tubuh ODHIV.

Peristiwa ini menjadi penting mengingat data yang terus bertumbuh dan berkembang setiap

harinya. Menurut penelitian Kanwugu (2020) sejauh ini secara

global 378 kasus infeksi COVID-19 pada ODHIV telah dilaporkan dengan mayoritas berasal

dari Inggris dengan 101 kasus dan Amerika Serikat 122 kasus. Selain itu, Penelitian

Vizcara (2020) menemukan 51 ODHIV didiagnosis dengan COVID-19 Rumah Sakit

Universitario Ramón y Cajal Madrid. Selanjutnya, Gersovani (2020) mendapatkan 47

ODHIV yang terinfeksi virus ini. Sampai saat ini, angka-angka tersebut terus meningkat

seiring dengan perbaikan pendokumentasiannya.

Proporsi rendah ODHIV di antara pasien dengan COVID-19 harus ditafsirkan dengan hati-

hati karena ada beragam bukti tentang kontribusi HIV pada epidemi virus pernapasan

sebelumnya. Kenmoe (2019) mengaitkan HIV dengan risiko yang lebih tinggi terpapar
infeksi saluran pernapasan. Selain itu sebuah studi kohort berbasis populasi yang besar di

Afrika Selatan oleh Boulle (2020) menemukan bahwa risiko kematian COVID-19 di antara

ODHIV menjadi dua kali lipat dari mereka yang tidak HIV. Senada dengan Boulle,

Bhaskaran (2020) menyimpulkan bahwa ODHIV di Inggris berisiko lebih tinggi terhadap

kematian akibat COVID-19. Ini menunjukkan bahwa situasi terus berubah dengan

berjalannya penelitian dan mengharuskan perawat komunitas meningkatkan perhatiannya

kepada kelompok beresiko tinggi seperti ODHIV.

Salah satu cara untuk memulai tindakan pencegahan adalah dengan melihat persepsi dari

agregat yang akan dilindungi. Persepsi merupakan interpretasi kejadian maupun informasi

yang diterima oleh indra sensorik yang nantinya diproses menjadi data yang disesuaikan

dengan pengetahuan, budaya, harapan, kondisi pada saat kejadian, hingga sumber kejadian

atau informasi itu sendiri. Data tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam menyadari

kondisi dan situasi

hingga akhirnya mengambil keputusan. Tingkat kewaspadaan seseorang terhadap suatu

kejadian bisa dilihat dari bagaimana pandangannya terhadap obyek yang akan dipersepsikan,

lebih mengarah kepada positif atau negatif (Saleh, 2004; Sudarsono, 2016; Yuliana, 2019).

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa persepsi memiliki makna

pada kehidupan seseorang. Elsye (2017) menyatakan bahwa persepsi berpengaruh terhadap

keputusan seseorang. Sejalan dengan itu, Nilawati (2013) menemukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara persepsi dengan sikap seseorang. Selain itu, penelitian

Musta’inah et al (2021) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang penting dalam upaya

pencehgahan suatu penyakit. Sehingga dengan mengetahui persepsi ODHIV, kita bisa

merancang tindakan perlindungan yang tepat sasaran pada kelompok tersebut.


Kota Situbondo merupakan salah satu daerah sentral dan pantura di Jawa Timur yang

memiliki jumlah penduduk paling tinggi di Jawa Timur. Menurut Jamil (2020) jumlah

penduduk yang tinggi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka

penyebaran HIV di Kota ini. Selanjutnya Mulyani (2020) menyatakan bahwa dari 287 kasus

HIV positif, penyumbang terbanyak berasal dari kalangan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak

85 orang yang berada pada usia produktif 25 sampai 49 tahun. Oktawina (2020) mendapatkan

data bahwa selama pandemi pelayanan bagi pasien HIV dan AIDS di Puskesmas Panji

Situbondo tidak pernah ditutup atau pun terganggu, cenderung mengalami peningkatan

jumlah kunjungan. Puskesmas Panji Situbondo merupakan salah satu puskesmas yang

menyediakan layanan rawatan bagi pasien HIV/AIDS dimana mereka juga bisa mengakses

ARV disini. ODHIV yang mengakses ARV disini tidak hanya

berasal dari wilayah kerja Puskesmas Panji Situbondo saja, namun juga berasal dari seluruh

penjuru Kota Situbondo.

Voluntary counselling and testing (VCT) diartikan sebagai konseling dan tes HIV secara

sukarela (KTS). Layanan ini bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan, dan

pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah sakit

maupun klinik penyedia layanan VCT (Adrian, 2020). Selain VCT, juga terdapat Program

terapi Rumatan Metadon yang merupakan kagiatan memberikan metadon cair dalam bentuk

sediaan oral kepada pasien sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang biasa Menkes

disalahgunakan (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350/ / SK/ IV/

2008).

Kota Situbondo saat ini sudah memiliki 23 puskesmas yang sudah menjadi Layanan

Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dan mampu melakukan


pemeriksaan/testing dan konseling HIV. Dari 23 puskesmas tersebut, lima puskesmas bisa

menjadi rujukan pengobatan HIV. Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Panji Situbondo,

Puskesmas Bungus, Puskesmas Andalas, Puskesmas Lubukbuaya dan Puskesmas Pauh

(Yonavilbia, 2020).

Ada banyak lembaga, organisasi, atau perkumpulan yang bergerak untuk menjangkau,

mengedukasi, dan melindungi kelompok ODHIV seperti komisi penanggulangan AIDS

(KPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan LSM peduli HIV AIDS

seperti Yayasan Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, Yayasan Akbar, dll). KPA bersama

Dinas Kesehatan bertugas untuk mengawasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS.

Selanjutnya PKBI bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, sosial, sanitasi dan HIV.

Lalu mereka juga melakukan program penjangkauan untuk wanita pekerja seks, apabila

ada di antara wanita pekerja seks yang positif HIV, maka PKBI bermitra dengan LSM peduli

HIV AIDS untuk melakukan pendampingan. LSM peduli HIV AIDS sendiri, seperti Yayasan

Aksara, Yayasan Taratak Jiwa Hati, atau Yayasan Akbar bergerak di bagian pendamping dan

penjangkauan ODHIV.

Pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan Yayasan

Aksara. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, peneliti lebih mudah untuk

melakukan komuniasi dengan pihak Yayasan Aksara. Yayasan Aksara merupakan yayasan

swasta yang bergerak di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Kota dan Dinas Kesehatan

Provinsi. Yayasan ini menjangkau dan mendampingi ODHIV agar bisa mendapatkan

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Sehingga dengan melakukan penelitian dilokasi ini

diharapkan mampu mewakili data Kota Situbondo.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, saat ini banyak tempat-tempat berkumpul

yang sudah buka namun masyarakat dan petugas yang bekerja kurang memperhatikan
protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Untuk pengawasan terhadap kebijakan juga

sudah mulai dilonggarkan, ini terlihat dari jarangnya personil keamanan yang terlihat

mengawasi penerapan protokol kesehatan pada keramaian seperti saat fase awal COVID-19,

dimana banyak personil keamanan yang dikerahkan untuk mengawasi dan menertibkan

masyarakat dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Sehingga hal ini memungkinkan

terjadinya kelalaian pada masyarakat karena merasa tidak diawasi dan juga dikhawatirkan

dapat menyebabkan peningkatan penularan COVID-19.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, didapatkan data bahwa ODHIV

mengatakan takut dan stres dalam menghadapi pandemi

COVID-19 ini. Mereka mengatakan khawatir dengan kondisi komorbid yang dimilikinya

akan menyebabkan mereka beresiko tinggi untuk terinfeksi COVID-19 dan mengalami

perburukan yang cepat. Hal ini terjadi karena masih minimnya sumber informasi dan

program yang khusus diperuntukkan bagi populasi beresiko seperti ODHIV.

Mengingat urgensi pandemi COVID-19 dan informasi yang berubah dengan cepat tentang

penyakit tersebut, ditambah ODHIV merupakan salah satu populasi rentan untuk terpapar

COVID-19. Diperlukan kewaspadaan yang tinggi terhadap risiko penularannya diantara

ODHIV salah satunya dengan mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19. Dengan mengetahui bagaimana persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19, diharapkan akan diperoleh data dan gambaran mengenai kelompok ODHIV

sehingga bisa menghasilkan program atau kebijakan yang bisa melindungi mereka dari risiko

tertular COVID-19. Berdasarkan berbagai data yang telah disampikan sebelumnya,

1.2 Rumusan Masalah


Kematian pada COVID-19 lebih tinggi pada orang dengan berusia lanjut serta orang yang

memiliki komorbid seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, sementara

komorbiditas lazim ditemukan pada ODHIV. Hingga saat ini masih belum diketahui

bagaimana dampak COVID-19 pada orang dengan HIV positif dan bagaimana mereka

menghadapi situasi pandemi COVID-19 ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

bagaimana ODHIV terhadap risiko penularan COVID-19.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan COVID-19.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi kewaspadaan lingkungan terhadap risiko penularan

COVID-19 pada ODHIV

1.3.2.2 Mengidentifikasi harapan ODHIV dalam upaya menghadapi risiko penularan

COVID-19

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta referensi bagi

keperawatan komunitas untuk mengetahui persepsi ODHIV terhadap risiko penularan

COVID-19.

1.4.2 Bagian pelayanan keperawatan komunitas

1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk merumuskan program promotif dan

preventif bagi kelompok ODHIV dalam menghadapi risiko penularan COVID-19.

1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan mampu digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai acuan

dalam menghadapi risiko penularan COVID-19 pada ODHIV.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS

1. Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun

manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti

makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu

kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma

sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai

tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA

pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah

suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi

immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun

setelah diagnosis (Corwin, 2009).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit

akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).

2. Klasifikasi

a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi

ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody

terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu

(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri)

a. Fase 2

Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif

HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa

saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh

sendiri).

b. Fase 3

Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS. Gejala – gejala

yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus menerus,

pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan

berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini

sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

c. Fase 4

Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat

berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi

oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru dan

kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi

usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang

menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).
3. Etiologi

Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari

sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus

(LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell

Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)

menjadi asam

deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi, 2015).

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:

a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala

b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness

c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada

d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,

berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali

ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan

manifestasi neurologis

4. Kelompok Risiko

Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:

a. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian

b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk

kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks

c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki

d. Narapidana

e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi

f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti

kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi

HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati,

2016).

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang

termasuk kelompok resiko tinggi adalah

a. Lelaki homoseksual atau biseks

b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi


c. Orang yang ketagihan obat intravena

d. Partner seks dari penderita AIDS

e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).

5. Patofisiologi

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan

replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun.

Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5

– 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti

demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase

akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah

terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi

manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai

manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan

potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014).

Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel

– sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar

limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun

seluler makin lemah secara progresif. Diikuti


berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto &

Made Ari, 2013).

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak

memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel

T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 –

300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala –

gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).

6. Manifestasi Klinis

Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung

antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya

b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum

c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem

imun atau kekebalan

d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa

diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang

disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita

akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009).

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi

menurut WHO:

a. Stadium 1 (asimtomatis)

1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata

b. Stadium 2 (ringan)

1) Penurunan berat badan < 10%

2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus

oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik

3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir

4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media

c. Stadium 3 (lanjut)

1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas

2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan

3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan

4) Kandidiasis oral persisten

5) Oral hairy leukoplakia

6) Tuberculosis paru

7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi,

meningitis, bakteremia

8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut

9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa sebab jelas,

atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas

d. Stadium 4 (berat)

1) HIV wasting syndrome

2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii


3) Pneumonia bakterial berat rekuren

4) Toksoplasmosis serebral

5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan

6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening

7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral

8) Leukoensefalopati multifocal progresif

9) Mikosis endemic diseminata

10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus

11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru

12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren

13) Tuberculosis ekstrapulmonal

14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,

kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks

invasive, leismaniasis atipik diseminata

15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita

Selekta, 2014).

7. Komplikasi

a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human

Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,

keletihan dan cacat.

b. Neurologik

1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus

(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,

kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.

2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,

ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise,

demam, paralise total/parsial.

3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik

endokarditis.

4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.

c. Gastrointertinal

1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan

dehidrasi.

2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.

Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.

3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai

akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi

Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus dan

strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.

e. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi

otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder

dan sepsis.

f. Sensorik

1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan

efek nyeri (Susanto & Made Ari, 2013).

8. Cara Penularan

HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, semen,

cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang

tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin

merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah

dengan orang yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada

pengguna narkoba, hubungan seksual (Corwin, 2009).

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah,

cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin (sangat
rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah

disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak disunat.

Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:

a. Ibu hamil

1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)

2) Angka transmisi mencapai 20-50%

3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga

4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-29%

5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada duakelompok

ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang

menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan HIV

pada bayi yang belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme

kehamilan dan persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah

bayinya disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya

selama 6-15 bulan.

b. Jarum suntik

1) Prevalensi 5-10%

2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena

penyalahgunaan obat

3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna obat

suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%.
c. Transfusi darah

1) Risiko penularan sebesar 90%

2) Prevalensi 3-5%

d. Hubungan seksual

1) Prevalensi 70-80%

2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim

3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan semakin

meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom, maka penularan melalui

jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun (pengguna

narkoba suntik) (Widoyono, 2011).

9. Pencegahan Penularan

a. Secara umum

Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:

A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama

seks pranikah

B: Be faithful – saling setia

C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar D: Drugs – menolak

penggunaan NAPZA

E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama

b. Untuk pengguna Napza

Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti

menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama.


c. Untuk remaja

Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-obatan

terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran

darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah

pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah & Dewi, 2014).

10. Pengobatan

Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah

antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan

untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang

termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi

oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping

rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan

obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014).

11. Diagnosis

Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)

Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar98,1-100%. Biasanya tes ini

memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

b. Western blot

Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan

membutuhkan waktu sekitar 24 jam.


c. PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk:

1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat

menghambat pemeriksaan secara serologis.

2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi

3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.

4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk

HIV-2 (Widoyono, 2014).

B. Persepsi

1. Definisi

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasikan terhadap rangsang yang

diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang berarti dan merupakan

aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang intergrated,

maka dalam seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu aktif berperan dalam

persepsi itu (Walgito, 2012).

Persepsi adalah proses mengintergrasikan, mengenali, dan menginterpretasikan informasi

yang diterima oleh sistem sensori, sehingga menyadari dan mengetahui apa yang di indra

sebagai bentuk respons dari individu (Walgito, 2003 & Pinel, 2009 dalam Puspitawati, 2012).

Persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan

sebagainya itu, yang selanjutnya diinterprestasi. Persepsi berlangsung saat seseorang

menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian
masuk ke dalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud

dalam pemahaman (Sarwono, 2014).

2. Jenis-Jenis

Ada dua macam persepsi, yaitu:

a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang

dari luar diri individu.

b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari

dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri (Sunaryo,

2004).

Ada dua bentuk persepsi yaitu antara lain:

a. Persepsi positif

Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menuju pada suatu keadaan dimana subjek

yang mempersepsikan cenderung menerima objek yang ditangkap sesuai dengan pribadinya.

b. Persepsi negative

Persepsi atau pandangan terhadap suatu objek dan menunjuk pada keadaan dimana subjek

yang mempersepsi cenderung menolak objek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan

pribadinya.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Berikut ini adalah beberapa faktor yang berperan dalam persepsi


a. Adanya objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang masuk melalui indra atau reseptor. Stimulus bisa berasal

dari lingkungan mauun dari dalam diri manusia sendiri yang langsung mengenai syaraf

penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi sebagian besar stimulus berasal dari luar

individu.

b. Adanya alat indra (sistem sensori) dan sistem saraf pusat

Alat indra merupakan alat untuk menerima stimulus. Setelah stimulus diterima reseptor,

maka stimulus selanjutnya akan dikirim ke sistem saraf pusat, yaitu otak yang merupakan

pusat kesadaran melalui sel-sel saraf

sensori, sedangkan untuk menghasilkan suatu respons diperlukan adanya sel-sel saraf

motoris.

c. Atensi (perhatian selektif) (Puspitawati & Hapsari, 2012).

Menurut Yue (2012), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi sebagai

berikut:

a. Pengamat: penginterpretasikan dari apa yang seseorang lihat bergantung pada

karakteristik pribadi orang tersebut

b. Sikap: mempengaruhi persepsi yang dibentuknya akan hal-hal di sekitarnya


c. Motif atau alasan dibalik tindakan yang dilakukan seseorang yang mampu

menstimulasi dan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan persepsi mereka akan

segala sesuatu

d. Ketertarikan atau interest: fokus perhatian kita terhadap hal-hal yang tengah dihadapi

membuat persepsi orang berbeda-beda

e. Pengalaman: pengetahuan atau kejadian yang telah didapatkan dan dialami seseorang.

f. Harapan atau ekspresi: gambaran atau ilustrasi yang membentuk sebuah pencitraan

terhadap sebuah keadaan.

Menurut Rakhmat (2005), faktor yang dapat mempengaruhi persepsi baik dari internal

maupun eksternal adalah sebagai berikut

a. Faktor internal

1) Alat indra

Alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat

untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak

sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

2) Perhatian

Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu langkah

pertama sebagai suatu persiapan merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh individu

yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

3) Pengalaman
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewatproses belaar

formal. Pengalaman bisa bertambah melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi.

b. Faktor eksternal

1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenaialt indra atau reseptor. Stimulus dapat datang

dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari individu yang

bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.

2) Informasi

Era teknologi zaman sekarnag ini lebih dari kata maju, banyak sekali cara untuk mendapatkan

informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang terpercaya, baik dari media cetak

maupun elektronik.

3) Budaya/lingkungan

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh

para anggota suatu masyarakat.

4. Proses Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004), proses terjadinya persepsi melalui tiga proses yaitu proses fisik,

proses fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik berupa objek menimbulkan stimulus, lalu

stimulus mengenai alat indera atau reseptor.


Proses fisiologis berupa stimulus yang diterima oleh indera diteruskan oleh saraf sensoris ke

otak. Sedangkan proses psikologis berupa proses dalam otak sehingga individu menyadari

stimulus yang diterima.

Individu mengenali suatu objek dari dunia luar dan ditangkap melalui inderanya. Bagaimana

individu menyadari, mengerti apa yang diindera ini merupakan suatu proses terjadinya

persepsi. Proses terjadinya persepsi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Proses fisik atau kealaman

Tanggapan tersebut dimulai dengan objek yang menimbulkan stimulus dan akhirnya stimulus

itu mengenai alat indera atau reseptor.

b. Proses fisiologi

Proses fisiologi yaitu stimulus yang diterima oleh alat indera kemudian dilanjutkan oleh

syaraf sensorik ke otak.

c. Proses psikologis

Proses psikologis adalah proses yang terjadi dalam otak sehingga seseorang dapat menyadari

apa yang diterima dengan reseptor itu sebagai suatu akibat stimulus yang diterimanya

(Walgito, 2010).

C. Teori Health Belief Model

1. Definisi

Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktor- faktor intrapersonal

yang berpengaruh terhadap health belief behavior yang kemudian digunakan dalam

penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun preventif (Burke, 2013).

Teori health belief model menjelaskan bahwa kemungkinan individu akan melakukan

tindakan pencegahan tergantung pada hasil dari keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu
ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan serta kerugian

(Machfoedz, 2008).

Pada health belief model, perubahan sikap terhadap kesehatan yang didasari oleh tiga hal

yang muncul pada waktu yang bersamaan (Burke, 2013), yaitu:

a. Individu tersebut menemukan bahwa alasan untuk fokus terhadap masalah

kesehatannya.

b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit yang

diderita.

c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat untuk

kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih efektif terutama dalam hal

pembiayaan.

2. Komponen Health Belief Model

Komponen health belief model antara lain :

a. Perceived Susceptibility (persepsi kerentanan)

Persepsi akan kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk

berperilaku lebih sehat. Suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul

bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut

ataupun keyakinan untuk melakukan suatu perilaku tertentu.

Persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat

terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Kerentanannya dirasakan setiap
individu berbeda tergantung persepsi tentang resiko yang dihadapi individu pada suatu

keadaan tertentu. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa

sangat mungkin terkena penyakit tersebut tapi sebaliknya mereka yang merasa jauh dari

resiko akan menyangkal kemungkinan terkena penyakit atau kondisi yang merugikan.

b. Perceived Severity (persepsi keparahan)

Keyakinan individu untuk mencari pertolongan pengobatan atau pencegahan penyakit

didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat.

Keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh penderitanya,

resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya juga dari lingkungan

sekitarnya misalnya pandangan moral, agama, norma masyarakat, keuangan dan lainnya.

Pandangan atau keyakinan individu tentng beratnya penyakit yang diderita. Selain keseriusan

penyakit yang diderita, keyakinan seseorang mengenai akibat atau efek dari suatu penyakit

dapat dipertimbangkan dari sudut pandang kesulitan-kesulitan yang diciptakan oleh suatu

penyakit seperti kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya

terhadap kehidupan sosial seperti kehilangan waktu kerja dan biaya pengobatan.

c. Perceived Benefits (persepsi manfaat)

Persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari perilaku baru yang dilakukan untuk

mengurangi risiko suatu penyakit. Keyakinan terhadap manfaat yang dirasakan ketika

melakukan suatu tindakan tertentu dan tetap melakukan tindakan tersebut.


Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif memang bermanfaat mengurangi

ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya sehingga

tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari

kelompok. Sulit meyakinkan seseorang untuk mengubah perilaku jika tidak ada sesuatu

manfaat untuk mereka

d. Perceived Barriers (persepsi hambatan)

Persepsi terhadap biaya/aspek negative yang menghalangi individu untuk melakukan

tindakan kesehatan. Misalnya membutuhkan biaya, usaha, waktu yang lama, dan pengalaman

yang tidak menyenangkan. Apabila individu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam

mengambil tindakan tersebut.

e. Cues to Action (isyarat untuk melakukan tindakan)

Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan

pada media massa, nasihat atau anjuran anggota keluarga, aspek sosiodemografis misalnya

tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua,

pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial dan budaya untuk melakukan

perubahan perilaku.

Kejadian eksternal yang menganjurkan suatu keinginan untuk membuat perubahan kesehatan,

suatu isyarat untuk bertindak kadang- kadang membantu menggerakkan seseorang dari

keinginan untuk membuat perubahan kesehatan.

f. Self Efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak)

Keyakinan seseorang bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau

menampilkan suatu perilaku tertentu.


D. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori Health Belief Model (Ogden, 1996)

E. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Penderita HIV berisiko lebih tinggi terinfeksi virus corona COVID-19

Dilansir dari situs World Health Organization (WHO) terkait dengan risiko infeksi virus

corona pada orang dengan HIV. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum

mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi

oportunistik dan perjalanan penyakit akan lebih cepat mengalami perburukan. Hal ini

diakibatkan karena sistem imun yang belum pulih.

Antiretroviral itu sendiri merupakan terapi yang digunakan untuk mengurangi risiko

penularan HIV, menghambat perbaikan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup

penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus dalam darah sampai keberadaanya tidak

terdeteksi.
Belum ada bukti yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko infeksi terhadap

COVID-19 dan perburukan penyakit pada ODHA. Menurut WHO sampai saat ini belum

ditemukan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan di antara penderita HIV, meskipun tidak

menutup kemungkinan hal ini bisa saja berubah ketika penyebaran virus semakin meningkat.

Hal ini disebabkan oleh laporan bahwa selama wabah SARS dan MERS terdapat beberapa

kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.

Sejauh ini, data klinis menunjukan faktor risiko kematian terbesar karena COVID-19 ada

kaitannya dengan usia lanjut, dan penyebab lainnya termasuk penyakit kardiovaskular,

diabetes, penyakit saluran napas kronis, dan hipertensi. Namun, bukan hal yang sangat tidak

mungkin orang yang sangat sehat juga berisiko masalah padao menderita penyakit parah

akibat infeksi coronavirus.

Hanya saja, Center for Disease Control menyebutkan, orang dengan HIV yang memiliki

kondisi seperti di bawah ini mungkin berisiko untuk tertular virus corona, yakni:

1. Orang dengan HIV yang tidak mengonsumsi ARV atau antiretroviral

2. Orang dengan HIV yang tidak memiliki jumlah CD4 yang rendah (>200 copies/cell)

3. Orang dengan HIV yang memiliki viral load cukup tinggi.

4. Orang dengan HIV yang tidak mengkonsumsi ARV atau antiretroviral.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, orang yang hidup dengan HIV sangat rentan

mengalami masalah infeksi saluran pernapasan jika tidak di ‘manage’ dengan baik. Untuk

alasan yang satu ini, orang dengan HIV penting untuk melakukan pengobatan antiretroviral

(ARV) secara teratur, khususnya di tengah pandemi seperti sekarang.

Risiko tersebut kemungkinan dapat terjadi pada orang dengan HIV yang juga mengalami

masalah pada saluran pernapasan seperti tuberculosis (TBC), penyakit metabolik lainnya atau

faktor usia
B. Pencegahan COVID-19 bagi orang yang hidup dengan HIV

Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui

pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan perjalanan

penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang

belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi

terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada

kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan

cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS

hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.

Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID terutama terkait

dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes,

penyakit saluran pernapasan kronis, dan hipertensi. Beberapa orang yang sangat sehat juga

menderita penyakit parah akibat infeksi coronavirus.

ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil tindakan

pencegahan yang sama seperti populasi umum (mis. Sering mencuci tangan sering, etika

batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari perawatan medis jika

bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan COVID -19 dan tindakan lain

sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang menggunakan obat-obatan ARV harus

memastikan bahwa mereka memiliki paling sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6

bulan tidak tersedia dan memastikan bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin

influenza dan pneumokokus).

Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera

memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera

memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan

mengurangi komplikasi dari penyakit ko-morbit lainnya.


Cara terbaik agar tidak tertular virus corona ada adalah dengan sebisa mungkin menghindari

paparan virus tersebut dengan melakukan pencegahan, seperti:

 Melakukan physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah)

 Sebisa mungkin mengurangi aktivitas diluar rumah

 Jika terpaksa keluar rumah, hindari kerumunan

 Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik

 Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun

 Menggunakan masker atau face shield jika di luar rumah

Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga tetap perlu

menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali. Beberapa langkah dibawah

ini dapat meminimalisir infeksi virus corona.

 Mengkonsumsi makanan yang sehat

 Istirahat yang cukup

 Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu tersedia.

C. ARV dapat digunakan untuk mengobati COVID-19

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2, virus

yang menyebabkan COVID-19, dan infeksi koronavirus terkait (SARS-CoV dan MERS-

CoV) memiliki hasil klinis yang baik, dengan hampir semua kasus pulih sepenuhnya. Dalam

beberapa kasus, pasien diberi obat antiretroviral: lopinavir yang dikuatkan dengan ritonavir

(LPV/r). Penelitian ini sebagian besar dilakukan pada orang dengan status HIV-negatif.

Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini menggunakan LPV/r memiliki keterbatasan.

Penelitiannya kecil, waktu, durasi dan dosis untuk pengobatan bervariasi dan sebagian besar

pasien menerima ko-intervensi / ko-pengobatan yang mungkin berkontribusi pada hasil

pengobatan yang dilaporkan.


Sementara bukti manfaat penggunaan ARV untuk mengobati infeksi coronavirus adalah tidak

jelas., dilaporkan kejadian timbulnya efek samping yang serius jarang terjadi. Di antara

ODHA, penggunaan rutin LPV/r sebagai pengobatan untuk HIV mempunyai toksisitas

sedang. Efek samping LPV/r pada kasus Coronavirus dilaporkan rendah, hal ini disebabkan

karena pemberian LPV/r diberikan dalam jangka waktu pendek.

D. ARV dapat digunakan untuk mencegah infeksi virus penyebab COVID-19

Dua penelitian telah melaporkan penggunaan LPV / r sebagai profilaksis pasca pajanan untuk

SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya infeksi

MERS-CoV lebih rendah di antara petugas kesehatan yang menerima LPV / r dibandingkan

dengan mereka yang tidak menerima obat apa pun; penelitian lain tidak menemukan kasus

infeksi SARS-CoV di antara 19 ODHA yang dirawat di bangsal yang sama dengan pasien

SARS, yang mana 11 di antaranya memakai terapi antiretroviral. Sekali lagi, kekuatan bukti

yang ada sangat rendah karena ukuran sampel yang kecil, variabilitas dalam obat yang

diberikan, dan ketidakpastian mengenai intensitas paparan.

E. Studi apa terkait pengobatan dan pencegahan COVID-19 dengan ARV yang sedang

direncanakan

Beberapa uji coba random direncanakan untuk menilai keamanan dan kemanjuran

penggunaan obat antiretroviral - terutama LPV/r - untuk mengobati COVID-19, dengan

kombinasi obat lain. Hasil diharapkan pada pertengahan 2020 dan seterusnya.

F. WHO dalam uji klinis / penelitian saat wabah sedang berlangsung

WHO memberikan dukungan dan arahan kepada komunitas ilmiah dan menyambut baik

penelitian dan pengembangan tes yang efektif, vaksin, obat-obatan dan intervensi lain untuk

COVID-19.
Untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat, WHO memiliki proses yang sistematis dan

transparan untuk penelitian dan pengembangan, termasuk untuk uji klinis obat dan vaksin

baru. “WHO R&D Blueprint” WHO untuk COVID-19, yang dimulai pada 7 Januari 2020,

akan berfungsi sebagai strategi global untuk kegiatan Litbang. Tujuannya adalah untuk

melacak dengan cepat ketersediaan tes yang efektif, vaksin dan obat-obatan yang dapat

digunakan untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah krisis skala besar. [1] Sebagai bagian

dari ini, WHO memimpin penentuan prioritas global kandidat vaksin dan pengobatan untuk

pengembangan dan evaluasi. Untuk mendukung pengujian, WHO mengundang kelompok

penasihat ilmiah (Scientific Advisory Group/SAG) untuk mengembangkan panduan tentang

desain uji cobabaik untuk vaksin eksperimental dan pengobatan. [2] [3]

WHO secara aktif mengikuti uji klinis yang sedang berlangsung untuk antivirus yang ada dan

obat-obatan lain yang sedang dilakukan untuk COVID-19. WHO terus menekankan bahwa

semua uji klinis seharusnya dan harus mengikuti standar etika dan peraturan yang ketat.

Otoritas regulasi memiliki peranan yang penting untuk memastikan pengawasan yang ketat

terhadap semua uji klinis yang akan dilakukan.

G. WHO tentang penggunaan bukti dari hasil penelitian awal atau terapi yang tidak

terbukti untuk intervensi

Banyak kuman pathogen yang saat ini terbukti tidak mempunyai intervensi yang efektif.

Beberapa intervensi dilaboratorium dan uji hewan menunjukkan hasil yang menjanjikan

untuk beberapa kuman pathogen, uji klinis diperlukan untuk menghasilkan bukti yang dapat

diandalkan agar dapat digunakan pada manusia sebelum rekomendasi resmi dapat dibuat.

WHO telah mengembangkan prosedur evaluasi dan pendaftaran (Emergency Use Assessment

and Listing/EUAL) untuk calon obat ataupun produk kesehatan lainnya agar dapat digunakan
dalam kedaruratan kesehatan masyarakat. Prosedur ini dibuat untuk memberikan panduan

kepada otoritas regulasi nasional.

Prosedur ini dapat digunakan untuk mempercepat ketersediaan obat-obatan dalam keadaan

darurat kesehatan masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mungkin bersedia untuk

menerima kekurangan terkait efektifitas dan keamanan produk mempertimbangkan

morbiditas dan mortalitas penyakit serta kekurangan pengobatan dan / atau pilihan

pencegahan [4]

Dalam konteks wabah yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi, secara etis mungkin

tepat untuk menawarkan intervensi eksperimental pada setiap pasien secara darurat di luar

kaidah uji klinis, dengan ketentuan bahwa: [6]

• tidak ada pengobatan yang terbukti efektif;

• tidak mungkin untuk segera memulai studi klinis;

• data tersedia memberikan dukungan awal untuk kemanjuran dan keamanan intervensi,

setidaknya dari studi laboratorium atau hewan, dan penggunaan intervensi di luar uji klinis

telah disarankan oleh komite penasihat ilmiah yang memenuhi syarat sesuai berdasarkan

analisis risiko-manfaat yang menguntungkan;

• otoritas nasional yang relevan, serta komite etik yang memenuhi syarat, telah menyetujui

penggunaan tersebut;

• sumber daya yang memadai tersedia untuk memastikan bahwa risiko dapat diminimalkan;

• pasien telah memberikan persetujuan; dan

• penggunaan darurat intervensi dipantau, dan hasilnya didokumentasikan dan dibagikan

secara tepat waktu dengan komunitas medis dan ilmiah yang lebih luas.

Penggunaan intervensi eksperimental dalam keadaan ini disebut sebagai "Penggunaan darurat

intervensi eksperimental dan tidak teregistrasi yang terpantau" (MEURI) [7].


H. WHO tentang penggunaan ARV untuk pengobatan COVID-19

Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menilai efektivitas LPV / r atau antivirus lain untuk

mengobati COVID-19. Beberapa negara sedang mengevaluasi penggunaan LPV / r dan

antivirus lain dan kami menyambut baik hasil investigasi ini.

Sekali lagi, sebagai bagian dari respons WHO terhadap wabah, WHO R&D Blueprint [8]

telah diaktifkan untuk mempercepat evaluasi diagnostik, vaksin, dan terapi untuk coronavirus

baru ini. WHO juga telah merancang serangkaian prosedur untuk menilai kinerja, kualitas,

dan keamanan teknologi medis selama situasi darurat.

I. ARV untuk COVID-19

Antiretroviral adalah pengobatan yang manjur dan dengan tingkat toleransi tinggi untuk

ODHA. Antiretroviral LPV/r saat ini sedang diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk

COVID-19.

Jika LPV/r akan digunakan untuk pengobatan COVID-19, harus ada rencana untuk

memastikan manajemen rantai pasok memadai dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan

semua ODHA yang sudah menggunakan LPV/r dan mereka yang perlu memulai pengobatan.

Proporsi penggunaan LPV/r baik sebagai terapi substitusi ataupun lini kedua relative kecil

dalam pengobatan ARV secara umum. Setiap negara yang mengizinkan penggunaan obat-

obatan HIV untuk pengobatan COVID-19 harus memastikan ketersediaan pasokan yang

memadai dan berkelanjutan.


BAB IV

KESIMPULAN DAN DAFTAR PUSTAKA

A. KESIMPULAN

Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui

pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan perjalanan

penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang

belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi

terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada

kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan

cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS

hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA.

Cara terbaik agar tidak tertular virus corona pada penderita HIV AIDS terhadap covid – 19

adalah dengan sebisa mungkin menghindari paparan virus tersebut dengan melakukan

pencegahan, seperti:

1. Melakukan physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah)

2. Sebisa mungkin mengurangi aktivitas diluar rumah

3. Jika terpaksa keluar rumah, hindari kerumunan

4. Rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun setidaknya selama 20 detik

5. Membawa hand sanitizer sebagai pengganti air dan sabun

6. Menggunakan masker atau face shield jika di luar rumah

7. Sama halnya dengan orang tanpa HIV, orang dengan HIV atau ODHA juga tetap

perlu menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dan terkendali. Beberapa langkah

dibawah ini dapat meminimalisir infeksi virus corona.

8. Mengkonsumsi makanan yang sehat


9. Istirahat yang cukup

10. Mengkonsumsi obat ARV dengan rutin dan tepat waktu pastikan selalu tersedia.

Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera

memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera

memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan

mengurangi komplikasi dari penyakit ko-morbit lainnya.

B. DAFTAR PUSTAKA

- Who.in. Diakses pada Juli 2020. Pertanyaan dan jawaban terkait COVID-19, HIV dan

antiretroviral di Indonesia. https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-on-hiv-

and-antiretroviral

- Avert. Diakses pada Juli 2020. CORONAVIRUS (COVID-19) AND HIV.

https://www.avert.org/coronavirus/covid19-HIV

- Hiv.gov. Diakses pada Juli 2020. If I Have HIV, Am I at Higher Risk of COVID-19?.

https://www.hiv.gov/hiv-basics/staying-in-hiv-care/other-related-health-issues/coronavirus-

covid-19

- Center for Disease and Prevention. Diakses pada Juli 2020. What to Know About

HIV and COVID-19.

https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/hiv.html?

- https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-on-hiv-and-

antiretroviral

Anda mungkin juga menyukai