Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi Kusta


kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorus bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Djuanda Adhi, 2007:73).
Penyakit kusta memiliki derajat efektivitas yang rendah. Waktu onkubasinya
panjang, mungkin beberapa tahun dan tampaknya kebanyakan pasien
mendapatkan infeksi sewaktu masa anak-anak. Insiden yang rendah pada pasien
yang merupakan pasangan suami istri (lepra yang diperoleh dari pasangannya)
memberikan kesan bahwa orang dewasa relatif tidak mudah terkena. Penyakit ini
timbul akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan risiko ini
menjadi jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus lepromatosa (Brown
dan Bums, 2005:24).

2.1.2 Etiologi Kusta


Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
leprae. Armauer Hasen, orang Norwegia menemukan basil penyebab lepra
tersebut pada tahun 1873, microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak
membentuk spora, berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro dan lebar
0,2-0,5 micro, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
mycobacterium. Bakteri ini biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorasi oleh asam
atau alkohol (Kemenkes, 2012:8).
M. leprae belum dapat dikultur di laboratorium. Bakteri kusta ini
mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan
bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia

1
2

kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-
rata dua hingga lima tahun bahkan lebih dari 5 tahun (Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2015:1).
M. Leprae ditemukan di dalam sitoplasma sel monoseluler penderita kusta.
Manusia relatif resisten terhadap penyakit kusta dan merupakan satu-satunya host.
Kekebalan terhadap bakteri ini diperankan oleh kekebalan seluler sebagaimana
yang diperankan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi dari penyakit
ini adalah penderita kusta yaitu berupa eksudat dari lesi. Tempat masuknya kuman
adalah aberasi kulit (kulit yang lecet). Setelah masuk dalam tubuh penderita,
bakteri menyebar secara hematogen sehingga dapat ditemukan pada bermacam
jaringan termasuk hati dan limpa tetapi jaringan tersebut tidak mengalami
gangguan fungsi. Bakteri ini mempunyai predileksi pada kulit (terutama kulit
telinga, hidung dan wajah) dan saraf perifer.
Manifestasi klinis pada penderita dibagi menjadi beberapa tipe yakni tipe
lepromatous (tipe L) / tipe progresif yang mana ditempat lesi, bakteri banyak
ditemukan dalam sitoplasma sel-sel monoklear dalam jumlah banyak; tipe
tuberculoid (tipe T) / healing type yang mana ditemukan bakteri dalam sitoplasma
sel-sel monoklear dalam jumlah sedikit; tipe intermediate (tipe I) / dimophous
type yang mana lesi pada penderita sebagian mirip tipe L dan sebagian mirip tipe
T; indeterminate yang diperlukan bagi awal penyakit dimana proses penyakit
dapat sembuh sepontan atau berkembang menjadi tipe intermediate untuk
akhirnya menjadi tipe L atau tipe T.
2.1.3 Epidemiologi Kusta
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia dengan sebagian kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang dimana saja. Prevalensi yang cukup
mengkhawatirkan terjadi di India, Cina, dan tertinggi di Afrika. Di India, lebih
dari 3,2 juta orang menderita penyakit ini (Sehgal, 2014:5). Kusta dapat terjadi
pada epidemi dan pola endemi, tetapi pola epidemi jarang terjadi. Antara tahun
1921 dan 1925 terjadi epidemi di pulau pasific Nauru, dimana 30% dari populasi
telah terinfeksi. Semua usia mudah terinfeksi, sebagian besar pasien kusta
3

berkembang menjadi kusta tuberculoid (BT-TT), yang disembuhkan secara


spontan. Oleh sebab itu, telah di perkirakan bahwa lebih dari 5% penduduk rentan
terhadap penularan kusta dan kontak dengan penderita dapat meningkatkan risiko
dari infeksi (Webber, 2009:137).
Menurut kemenkes RI (2012:6) persebaran kusta di Indonesia hampir pada
seluruh provinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Indonesia merupakan
negara ketiga di dunia sebagai negara dengan kasus baru kusta paling banyak.
Pada tahun 2011, tercatat 20.023 kasus baru kusta dan jumlah kasus terdaftar
sebanyak 23.169 orang. Kusta dapat terjadi pada hampir semua kelompok umur
terutama pada usia muda dan produktif. Angka kejadian kusta meningkat sesuai
umur dengan puncak pada umur 20-30 tahun, kemudian menurun pada umur
diatasnya. Penyakit kusta dapat menyerang laki-laki maupun wanita. Insiden
maupun prevalensi pada laki-laki usia 15-19 tahun lebih besar dari pada wanita.
Penyebaran kusta menunjukkan adanya persebaran distribusi secara geografik dan
pada etnik tertentu.

2.1.4 Klasifikasi Kusta


Kalsifikasi kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan
prognosis, komplikasi dan perencanaa operasional. Klasifikasi penyakit kusta
menurut Kementerian Kesehatan RI (2012:91) dibagi menjadi tipe paucibacilarry
(PB) dan multibacillary (MB). Tipe paucibacilarry jarang menular tetapi apabila
tidak segera diobat menyebabkan kecacatan.
4

Tabel 2.1 Perbedaan tipe MB dan PB menurut P2MPLP


N Yang Membedakan Tipe PB Tipe MB
o
1 Bercak (makula)
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral/bilateral asimetris Bilateral, simetris
d. Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Gangguan sensibilitas Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada,
terjadi pada yang sudah lanjut
g. Kehilangan kemampuan, Bercak masih berkeringat, bulu
berkeringat, bulu rontok dan tidak rontok
bercak
2 Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang tidak ada
b. Membran mukosa (hidung Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada
tersumbat perdarahan di
hidung)
3 Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
4 Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut,
asimetris biasanya lebih dari satu dan
asimetris
5 Deformitas (cacat) Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
6 Sediaan apus BTA negatif BTA positif
7 Ciri-ciri khusus Central Healing Punched out lesion (lesi seperti
(penyembuhan di tengah) kue donat), madorosis,
ginekomastia, hidung pelana,
suara sengau
Sumber: Mansjour (2000:67)

2.1.5 Tanda dan gejala


Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit
mengalami bercak putih seperti panu (pada awalnya hanya sedikit tetapi lama
kelamaan semakin lebar dan banyak), adanya bintil-bintil kemerahan yang
tersebar pada kulit, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-benjol dan tegang yang
disebut facies leonina (muka singa), dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi.
Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada
anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu
lama dan juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit (Pusat Data Dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015:1).
5

2.1.6 Cara penularan


Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah.
Kusta memiliki masa inkubasi yang relatif lama yakni rata-rata 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewaktu masa anak-anak. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh
(hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita
kusta yang belum mendapatkan terapi obat MDT (Kemenkes RI, 2012:9).
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber penularan, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse
dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Mukosa
hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari
penderita tipe lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar
10-10,5 micro. Telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe
lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan
(Depkes RI, 2007:9).
Penularan kusta terutama tergantung pada penularan dari orang yang
terinfeksi, kerentanan kontak dan berdekatan dengan orang, frekuensi dan lama
kontak. Kuman ini menular pada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, serta
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernapasan. Orang
yang tinggal di daerah endemik kusta dapat mudah terinfeksi terutama jika tinggal
serumah dengan penderita (Gupta dan Manchanda, 2005).
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi
dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum
diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis
penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita.
Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber
penularan kepada orang lain. Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu
sampai saat ini belum dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui
6

saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Hanya
sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
intraselular dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler
(Depkes RI, 2007:9).
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke
arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit (Mansjoer A, 2000: 66).

2.1.7 Diagnosa
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012:67), diagnosis penyakit kusta
ditegakkan dengan mencari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Diagnosis ini ditetapkan dengan cara
mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta antara lain:
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak pada kulit yang berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous) yang mati rasa
(anestesi) dan penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul. Mati rasa
dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau
sebagian;
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa
nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami
mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parase) dan kelumpuhan
(paralis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak;
7

c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear) saat pemeriksaan hapusan jaringan kulit.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau
lebih dari tanda-tanda pokok diatas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2
maka perlu dirujuk, jika hasil masih diragukan maka orang tersebut dianggap
sebagai kasus yang dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnosa
dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain (Departemen Kesehatan RI, 2006:36).
Berikut adalah tahap-tahap untuk melakukan diagnosis secara lengkap antara lain:
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis yaitu pemeriksaan kulit, syaraf tepi dan fungsinya
3. Pemeriksaan bakteriologis
4. Pemeriksaan hispatologis
5. Immunologis

2.1.8 Patogenesis
Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang
terinfeksi. Pola klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang
diperantarai sel (cel-mediated immunity) atau imunitas selular (cellular imunity)
host terhadap organisme. Bila respon imunitas baik, maka akan timbul lepra
tuberkuloid, dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk
tunggal atau hanya beberapa dan berbatas tegas. Sedangkan Bila respons imunitas
selulernya rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak terkendali dan timbul
bentuk lepra lepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga
mukosa saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multiple
dan nodular. Diantara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat spektrum
penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, dimana gambaran klinis dan
histologisnya menggambarkan berbagai derajat respons imunitas seluler terhadap
kuman (Brown dan Burns, 2005:24).
8

2.1.9 Kecacatan Kusta


Penyakit kusta yang tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat
menyebabkan cacat pada penderita kusta. Kondisi ini dapat menghalangi
penderita dalam kehidupan sosialnya (Departemen Kesehatan, 2012:29).
Kecacatan yang dialami penderita kusta yaitu terjadi akibat kusta yang menyerang
saraf perifer. Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak.
Kementrian Kesehatan RI (2012:123) menyebutkan bahwa diduga kecacatan
akibat penyakit kusta bisa terjadi melalui dua proses, yaitu ;
a. Infiltrasi langsung M. Leprae kesusunan saraf tepi dan organ (misalnya : mata)
b. Melalui reaksi kusta
Bakteri kusta (M.leprae) dapat mengakibatkan kerusakan saraf sensoris,
motorik dan otonom. Kecacatan yang terjadi ini tergantung pada komponen saraf
apa yang terkena apakah pada sensoris, motoris, otonom atau bahkan kombinasi
dari ketiganya. Anastesi akan terjadi pada saraf sensoris sehingga terjadi luka
tusuk, luka sayat dan luka bakar dan gangguan kelenjar keringat akan terjadi pada
saraf otonom sehingga menyebabkan kulit menjadi kering. Hal ini dapat
mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Kelemahan atau paralisis akan terjadi pada saraf motorik yang nantinya dapat
mengakibatkan terjadinya deformitas sendi. Terjadinya cacat pada penderita kusta
disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun
karen terjadinya peradngan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta, yang meliputi
(Departemen Kesehatan, 2012:124) :
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kerusakan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anastesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Sedangkan pada kornea akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip sehingga
mata mudah kemasukan kotoran yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya
kebutaan.
b. Kerusakaan fungsi motorik
Kerusakan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
ototnya akan mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
9

kaki menjadi bengkok (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendinya. Bila kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan
(lagoptalmus).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak, dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani
secara tepat dan cepat maka akan terjadi ketingkat yang lebih berat. Rahayuningsih
(2012 : 21) mengungkapkan bahwa setiap penderita yang baru saja ditemukan harus
dicatat terlebih dahulu tingkat kecacatannya. Setiap organ tubuh diberi tingkat cacat
sendiri-sendiri. Tingkat cacat ini juga dipergunakan untuk menilai kualitas
penanganan kecacatan yang akan dilakukan oleh petugas, serta untuk menilai kualitas
penemuan dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 diantara pasien baru. Berikut
merupakan klasifikasi tingkat kecacatan di Indonesia:
Tabel 2. 2 Klasifikasi tingkat kecacatan kusta
Tingkat Mata Telapak Tangan/Kaki
0 Tidak ada kelainan mata akibat kusta Tidak ada cacat akibat kusta
1 Ada kelainan pada mata tetapi tidak Anastesi, kelemahan otot (tidak ada
terlihat (anastesi kornea), visus cacat/kerusakan yang kelihatan
sedikit berkurang akibat kusta)
2 Ada kelainan yang terlihat (misalnya Ada cacat/kerusakan yang kelihatan
lagotalmos, kekeruhan kornea, akibat kusta misalnya ulkus, jari,
iridosiklitis) dan atau visus sangat kriting, kaki semper
terganggu/berat (visus<6/60)
Sumber: Kemenkes RI, 2012.

2.1.10 Pencegahan
Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya yang diharapkan dapat
mencegah terjadinya penyakit kusta, mengingat penyebaran penyakit kusta
mengalami peningkatan jumlah kasus. Upaya tersebut antara lain:
1. Dilihat dari segi pejamu (host):
a. Pendidikan kesehatan dijalankan dengan cara bagaimana masyarakat dapat
hidup secara sehat (hygiene) agar daya tahan tubuhnya dapat dipertinggi.
10

b. Perlindungan khusus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi Bacillus


Calmette Guerin (BCG), terutama pada orang yang kontak serumah
dengan penderita kusta.
c. Mencari penderita dan menjalankan pengobatan pencegahan.
d. Periksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lainnya untuk
tanda-tanda kusta (Departemen Kesehatan RI, 2006:11).
2. Dilihat dari segi lingkungan:
a. Sesuaikan luas ruangan rumah dengan penghuninya
b. Bukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di dalam ruang tetap
terjaga agar terhindar berkembangnya M. Leprae di dalam rumah (Dinkes
Provinsi, 2005:6).

2.1.11 Pengobatan kusta


Kemoterapi penyakit kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai
obat tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk tipe
PB, sedangkan untuk tipe MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan
monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters serta
terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS.
Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta
dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB (Kementrian
Kesehatan RI, 2012:99).
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
mata rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan
menyebuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Strategi pokok yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut masih didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti
vaksin kusta yang efektif telah tersedia (Harahap, 2000:265).
Multy Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai antikusta yang bersifat bakterisidal
kuat sedangkan obat antikusta lain bersifat bakteriostatik (Kemenkes RI,
2012:99). Manajemen penyakit kusta yang tepat memerlukan pengetahuan tentang
11

tujuan terapi, sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan alamiah penyakit.
Regimen rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide teori dan
suksesnya tujuan pada kondisi lapangan di negara miskin. Keuntungan MDT
antara lain mencegah resistensi obat, mengobati penderita dengan resistensi
terhadap dapson, menghapus keperluan identifikasi sensivitas terhadap
Mycobacterium Leprae sebelum terapi, mengubah konsep dari terapi jangka
panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang
menyembuhkan penyakit, meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%,
mencegah deformitas secara lebih efisien, menurunkan jumlah kasus-kasus setiap
tahunnya, membuat penderita menjadi tidak infeksius dan mengurangi biaya
jangka panjang (Harahap, 2000:268).
Tabel 2. 3 Regimen pengobatan kusta
Tipe Kusta Dosis Dewasa Dosis Anak
PB a. Pengobatan bulanan: hari a. Pengobatan bulanan: hari
pertama (obat diminum pertama (obat diminum
didepan petugas) didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 - 2 kapsul rifampisin
mg (600 mg) @150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
b. Pengobatan harian: hari ke 2- b. Pengobatan harian: hari ke
28 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
c. Satu blister untuk satu bulan. c. Satu blister untuk 1 bulan.
Dibutuhkan 6 blister yang Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan diminum selama 6-9 bulan
MB a. Pengobatan bulanan: hari a. Pengobatan bulanan: hari
pertama (obat diminum pertama (obat diminum di
didepan petugas) depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 - 2 kapsul rifampisin 150
mg (600 mg) mg dan 300 mg
- 3 tablet lampren @100 - 3 tablet lampren @50
mg (300 mg) mg (150 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
b. Pengobatan harian: hari ke b. Pengobatan harian: hari ke
2-28 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg - 1 tablet lampren 50 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 selang sehari
mg - 1 tablet dapson/DDS 50
mg
c. Satu blister untuk 1 bulan. c. Satu blister untuk 1 bulan.
12

Tipe Kusta Dosis Dewasa Dosis Anak


Dibutuhkan 12 blister yang Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan diminum selama 12-18
bulan
Sumber: Kementrian Kesehatan RI, 2012:100-101.

2.1.12 Rehabilitas Kusta


Rahayuningsih (2012:29), mengemukakan bahwa Penyandang cacat kusta
(PCK) perlu mendapat berbagai macam rehabilitasi melalui pendekatan paripurna
mencakup bidang-bidang sebagai berikut :
a. Rehabilitasi bidang medis
1) Perawatan (care) yang dikerjakan bersamaan dengan program pengendalian
penyakit kusta melalui kegatan pencegahan cacat (POD), kelompok perawatan
diri (KPD) atau self care group.
2) Rehabilitasi fisik dan mental
Rehabilitasi yang dilakukan melalui berbagai tindakan pelayanan medis dan
konseling medis.
b. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
Rehabilitas sosial ini ditujukan untuk mengurangi masalah psikologi dan
stigma sosial agar PCK dapat diterima di masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
meliputi: konseling, advokasi, penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi
ekonomi ditujukan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi
pelatihan keterampilan (vocal training), fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri,
modal bergulir, modal usaha dan lain-lain.

2.2 Intensi

2.2.1 Pengertian Intensi


Intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas
tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi adalah
bagian vital self regulation individu yang di latarbelakangi oleh motivasi
seseorang untuk bertindak (Wijaya, 2007:119). Intensi merupakan niat untuk
berperilaku, seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang
13

perbuatan itu positif dan bila ia percaya dengan orang lain, ia juga ingin agar
melakukannya (Azwar, 2007). Secara singkat intensi merupakan indikator penting
yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu perubahan perilaku di masa
mendatang karena intensi mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
perilaku yang dilakukan oleh individu, dan merupakan perubahan yang
menjebatani antara sikap dan perilaku nyata.
Menurut Azwar (2007), keyakinan mengenai tersedia-tidaknya
kesempatan dan sumber yang diperlukan akan menentukan intensi untuk
berperilaku. Keyakinan dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang
bersangkutan dimasa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung
mengenai perilaku tersebut, misal melihat pengalaman teman atau orang lain yang
mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan yang
mungkin akan dilakukan. Disamping berbagai faktor penting seperti hakikat
stimulus itu sendiri, latar belakang, pengalaman individu, motivasi, status
kepribadian, dan sebagainya, memang sikap individu memegang peranan dalam
menentukan bagaimana perilaku seseorang dilingkungannya.

2.2.2 Faktor Pembentuk Intensi


Keterkaitan antara intensi untuk berperilaku dengan perilaku aktual salah
satu pendekatannya dapat ditemukan pada teori perilaku terencana (theory of
planed behaviour / TPB). TPB merupakan salah satu teori yang digunakan untuk
mengetahui bagaimana keyakinan individu untuk memahami apakah mereka jadi
memutuskan untuk bersikap terhadap objek sikap dan bagaimana keyakinan
mereka memprediksi apakah mereka pada akhirnya akan bersikap (Albery &
Munafo, 2011:211).
Menurut teori TPB, intensi seseorang untuk berperilaku diprediksi oleh
tiga faktor berbasis keyakinan. Ketiga faktor tersebut antara lain (Albery &
Munafo, 2011:212) :
a. Sikap
Sikap merupakan keyakinan tentang apakah hasil yang mestinya individu
peroleh jika telah bersikap tertentu. Di waktu yang sama, individu juga memegang
14

keyakinan tentang nilai dari hasil itu bagi individu sendiri. Sikap untuk
berperilaku ini meliputi :
1) Keyakinan
Keyakinan berperilaku yaitu bagaimana individu meyakini tentang apakah
hasil yang seharusnya diperoleh jika sudah bersikap tertentu. Misalnya ketika
penderita kusta melakukan pengobatan secara rutin, maka penderita akan dengan
cepat sembuh dari penyakit kusta yang dideritanya. Keyakinan merupakan suatu
hal yang diyakini oleh seseorang dan tertanam dalam pikiran yang nantinya akan
menetukan tindakan yang akan dilakukan. Keyakinan datang dari pengalaman,
dari apa yang kita baca, kita dengar, kita lihat dan rasakan. Baik secara sadar
maupun tidak sadar, keyakinan akan melandasi cara kita berfikir, berbicara, dan
bertindak dimasa sekarang dan dimasa depan. Keyakinan merupakan satu hal awal
yang paling penting bagi seseorang untuk memulai sesuatu. Jika keyakinan yang
ditanam dalam diri sudah positif, hasil yang diperoleh kemudian juga akan positif.
Akan tetapi, jika keyakinan yang ditanam dalam diri negatif, hasil yang diperoleh
juga akan negatif. Jika kita yakin akan membuat kita menjadi baik (Sudirman,
2010).
2) Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil merupakan keyakinan tentang nilai bagi dirinya sendiri dari
apa yang telah individu sikapi. Misalnya, memikirkan untuk melakukan
pengobatan kusta secara rutin. Dengan begitu berfikir jika melakukan pengobatan
kusta secara rutin akan memunculkan hasil bahwa ia akan cepat sembuh dari
penyakit ksuta yang dideritanya. Evaluasi akan hasil perilaku merupakan nilai
yang diberikan oleh individu terhadap tiap akibat atau hasil yang dapat diperoleh
apabila menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Evaluasi atau
penilaian ini dapat bersifat menguntungkan dapat juga merugikan, berharga atau
tidak berharga, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Semakin positif
evaluasi individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif
pula sikap terhadap objek tersebut, demikian pula sebaliknya (Widyarini, 2009).
Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku
tersebut akan membawa pada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Sikap
15

merupakan penilaian yang bersifat pribadi dari individu yang bersangkutan,


menyangkut pengetahuan dan keyakinannya mengenai perilaku tertentu, baik atau
buruknya, keuntungan dan manfaatnya. Sikap meliputi rasa suka atau tidak suka,
setuju atau tidak setuju, mendekati atau menghindari situasi, orang, kelompok,
atau lingkungan yang dikenal (Taufiq, 2008:371).
b. Norma Subjektif
Norma subjektif merupakan keyakinan individu tentang apa yang orang
lain inginkan agar kita perbuat. Persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku yang bersangkutan. Norma subjektif
meliputi :
1) Keyakinan Normatif
Keyakinan normatif yaitu bagaimana keyakinan yang individu miliki
tentang orang lain yang di anggap penting juga ingin individu bersikap demikian.
Misalnya ketika penderita melakukan pengobatan secara rutin, bisa jadi ia
melakukannya karena percaya dengan orang terdekat ataupun petugas kesehatan.
Keyakinan merupakan salah satu faktor utama yang akan membuat dan
menentukan persepsi seseorang terhadap hal-hal yang akan terjadi dalam
kehidupannya. Keyakinan seseorang biasanya tercipta dan terbentuk ketika
mereka sering melihat, meniru hal-hal atau kebiasaan orang disekitarnya
(Sudirman, 2010). Misalnya penderita dapat melihat atau mendengarkan nasehat
yang diberikan anggota keluarga, teman, penderita lain, ataupun petugas
kesehatan. Awalnya penderita melihat, kemudian penderita akan mulai meniru
dan melakukan pengobatan secara rutin, bisa jadi penderita tersebut
melakukannya karena percaya dengan orang tersebut. Keyakinan normatif bisa
jadi saran dari orang lain atau tentang persetujuan dan ketidaksetujuan orang lain
terhadap perilaku yang akan individu lakukan.
2) Motivasi Pencapaian
Motivasi untuk mencapai keinginan mencerminkan keyakinan bahwa
individu ingin melakukan apa yang orang lain penting bagi individu tersebut ingin
individu melakukannya. Misalnya seperti jika pasien yakin bahwa anggota
keluarga dan petugas kesehatan ingin pasien melakukan pengobatan secara rutin
16

dan memiliki harapan yang besar untuk cepat sembuh, kemudian pasien
melakukan apa yang diharapkan oleh petugas kesehatan, maka potensi besar untuk
membentuk intensi melakukan pengobatan secara rutin ini, dan karena itulah ingin
bersikap seperti apa yang diinginkan. Motivasi sasarannya adalah mempelajari
penyebab atau alasan yang membuat individu melakukan apa yang individu
lakukan. Motivasi merujuk pada suatu proses individu yang menyebabkan
bergerak untuk menuju suatu tujuan atau bergerak menjauhi situasi yang tidak
menyenangkan.
Norma subjektif merupakan keyakinan seseorang mengenai apa yang
harus dilakukan individu menurut orang lain, serta kekuatan motivasi individu
untuk memenuhi harapan orang lain tersebut. Dalam melakukan sesuatu yang
penting, seseorang akan mempertimbangkan apa harapan orang lain, dalam hal ini
adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, atau petugas pelayanan
kesehatan. Namun harapan orang-orang lain tersebut tidak sama pengaruhnya, ada
yang berpengaruh sangat kuat dan ada yang cenderung diabaikan (Widyarini,
2009).
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi terjadinya sikap. Seseorang yang kita anggap penting,
seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak langkah dan
pendapat kita, seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau seseorang yang
berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita
terhadap sesuatu (Azwar, 2007). Harapan dari orang lain yang berpengaruh lebih
kuat apabila orang lain lebih memotivasi orang yang bersangkutan untuk
memenuhi harapan tersebut, akan lebih menyokong kemungkinan seseorang
bertingkahlaku sesuai dengan harapan tersebut. Bila seseorang bersifat positif
terhadap kegiatan posbindu, di dukung oleh kader dan petugas kesehatan, tetapi
sangat ditentang oleh keluarganya yang dicintai, besar kemungkinan niatnya
untuk mewujudkan mengikuti kegiatan posbindu lansia menjadi berkurang
(Widyarini, 2009).
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau
kesediaan pasien untuk melakukan pengobatan secara rutin. Keluarga dapat
17

menjadi motivator yang kuat bagi pasien apabila selalu menyediakan diri untuk
mendampingi atau mengantar pasien berobat, mengingatkan pasien jika lupa
jadwal. Sedangkan peran petugas kesehatan adalah sebagai motivator atau
penyuluh kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya
hidup sehat bagi mereka untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit dengan
menggunakan sarana kesehatan yang ada, khususnya bagi pasien kusta untuk
meningkatkan perilaku pengobatan kusta.
c. Kontrol Perilaku
Pengendalian perilaku merupakan keyakinan-keyakinan yang berkaitan
dengan seberapa banyak kontrol yang dianggap dimiliki seseorang terhadap
perilaku tertentu, untuk menjelaskan hubungan sikap-perilaku dalam perilaku tak-
dikehendaki. Misalnya pasien ingin membentuk intensi untuk melakukan
pengobatan kusta secara rutin, jika ia yakin bahwa tindakan itu berada dibawah
kontrol pasien sendiri, yaitu pasien memiliki kemampuan untuk mengerjakan
perilaku tersebut.
Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masalalu dan perkiraan
individu mengenai mudah sulitnya melakukan perilaku yang akan dilakukan.
Kontrol perilaku ini sangat penting, artinya ketika rasa percaya diri seseorang
sedang dalam kondisi lemah. Dalam teori perilaku terencana, keyakinan-
keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma
subjektif, dan pada pengendalian perilaku. Ketiga komponen ini saling
berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada akhirnya akan
menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak
(Azwar, 2007).

2.3 Theory of Planned Behavior (TPB)

Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan pengembangan dari


Theory of Reasoned Action (TRA). Jogiyanto (2007:61) mengembangkan teori ini
dengan menambahkan konstruk yang belum ada di TRA. Konstruk ini disebut
dengan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konstruk ini
ditambahkan di TPB untuk mengontrol perilaku individual yang dibatasi oleh
18

kekurangan-kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan dari kekurangan sumber-


sumber data yang digunakan untuk melakukan perilakunya. Dengan
menambahkan sebuah konstruk ini, yaitu kontrol perilaku persepsian (perceived
behavioral control), maka bentuk dari model teori perilaku rencanaan (Theory of
Planned Behavior) tampak di gambar berikut ini.

Sikap terhadap perilaku


(attitude towards
behavioral)

Norma subjektif Niat perilaku Perilaku


(Subjective Norm) (behavioral Intention) (Behavior)

Kontrol perilaku
persepsian (Perceived
Behavioral Control)

Gambar 2.1 Teori Perilaku Terencanaan (Theory of Planned Behavioral), Jogianto


(2007:62)

2.4 Elemen-elemen dalam TPB (Theory of Planned Behavioral)

2.4.1 Sikap (Attitude)


Beberapa pendapat pakar dalam psikologi sosial di kemukakan beberapa
definisi sikap adalah evaluasi kepercayaan (belief) atau perasaan positif atau
negatif dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan.
Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007:36), mendefinisikan sikap
(attitude) sebagai jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan seseorang untuk
menerima atau menolak suatu objek atau perilaku dan diukur dengan suatu
prosedur yang menempatkan individual pada skala evaluatif dua kutub, misalnya
baik atau jelek, setuju atau menolak, dan lainnya. Sikap adalah suatu evaluatif
menguntungkan terhadap sesuatu atau beberapa, dipamerkan dalam keyakinan
seseorang, perasaan perilaku, kemudian definisi lain mengatakan: An attitude is a
disposition to respond favourably or unfuorably to object, person, insituition pr
19

event. Definisi ini memberikan pengertian bahwa sikap adalah suatu disposisi
bertindak positif atau negatif terhadap suatu objek, orang, lembaga atau peristiwa.
Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman,
yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu
terhadap semua objek dan situasi yang terkait. Sikap adalah ide yang berkaitan
dengan emosi yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam
situasi sosial. Sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat di tafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus social. Sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek
sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi), dan
perilaku (Wawan dan Dewi. M, 2010:20). Dari definisi-definisi di atas
menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide
yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku
(cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi
(menyebabkan respon-respon yang konsisten).
1. Komponen sikap
Sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok yang saling menunjang, yaitu:
a. Komponen kognitif
Merupakan respresentasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap,
komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimilki individu
mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila
menyangkut masalah isu atau yang kontroversial.
b. Komponen afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin
adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimilki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif
20

Merupakan aspek kecenderungan berperilaku sesuai sikap yang dimilki oleh


seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau
bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu (Azwar. S, 2011:23).
2. Aspek-aspek Sikap
Menurut Baron dan Byrne (2003:133-135). Beberapa aspek-aspek penting
dari sikap:
a. Sumber suatu sikap (attitude origin). Faktor inilah yang mempengaruhi
bagaimana pertama kali sikap terbentuk. Bukti yang ada mengindikasikan
bahwa sikap yang terbentuk berdasarkan pada pengalaman langsung sering
kali memberikan pengaruh yang lebih kuat pada tingkah laku dari pada sikap
yang terbentuk berdasarkan pada pengalaman tidak langsung atau pengalaman
orang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung lebih
muda diingat, hal ini meningkatkan dampak mereka terhadap tingkah laku.
b. Kekuatan sikap (attitude strenght). Faktor lain salah satu faktor yang paling
penting melibatkan apa yang disebut sebagai kekuatan sikap yang
dipertanyakan. Selain kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampak pada
tingkah laku.
c. Kekhususan sikap (attitude specificity). Aspek yang ketiga yang
mempengaruhi sikap dengan tingkah laku adalah kekhususan sikap yaitu
sejauh mana terfokus pada objek tertentu atau situasi dibandingkan hal yang
umum.
3. Komponen pembentukan sikap
Fishbein dan Ajzen dalam Rahma (2011:34), berpendapat bahwa ada dua
komponen dalam pembentukan sikap yaitu:
a. Behavioral belief adalah keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang
terhadap perilaku dan merupkan keyakinan yang akan mendorong
terbentuknya sikap.
b. Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi positif atau negatif
individu terhadap perilaku tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang
dimilikinya.
21

Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku (Latief, 2011:86).


Sikap menunjukkan status mental seseorang yang digunakan oleh individu untuk
menyusun cara mereka mempersepsikan lingkungan mereka dan memberi
petunjuk cara meresponnya. Sikap relatif sulit berubah dan sikap membuat orang
berperilaku relatif konsisten terhadap suatu objek. Sikap ialah tingkah laku yang
terkait dengan kesediaan untuk merespon objek sosial yang membawa dan menuju
ke tingkah laku yang nyata dari seseorang. Hal ini berarti suatu tingkah laku dapat
di prediksi apabila telah diketahui sikapnya. Walaupun manisfestasi sikap itu tidak
dapat dilihat secara langsung tapi sikap dapat ditafsirkan sebagai tingkah laku
yang masih tertutup (Suharyat, 2009:2).

2.4.2 Norma Subjektif (Subjective Norms)


Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu penentu yang secara
spesifik, seseorang menunjukkan atau tidak menunjukkan suatu perilaku.
Jogiyanto (2007:32) menyebutkan bahwa norma subjektif (subjective norm)
adalah tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Norma
subjektif, adalah faktor penentu minat yang kedua dalam TPB, yaitu persepsi atau
pandangan seseorang terhadap keyakinan-keyakinan orang lain yang akan
mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang
sedang dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007:42).
Keyakinan yang mendasari norma subjektif adalah keyakinan-keyakinan
normatif (normative belief), yaitu kekuatan keyakinan harapan normatif dari orang
lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative belief strength dan
motivation to comply). Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan di
atas, dapat disimpulkan bahwa norma subjektif dalam penelitian ini yaitu, dengan
adanya stigma penyakit kusta yang diterima oleh pasien kusta dan ketidak
teraturan berobat diharapkan dapat menambah keyakinan dan motivasi pasien
bahwa penyakit kusta yang dideritanya dapat disembuhkan dengan meningkatkan
perilaku pengobatannya.
22

2.4.3 Kontrol perilaku (Behavioral Control)


Kontrol perilaku menunjuk suatu derajat dimana seseorang individu
merasa bahwa menunjukkan atau tidak menunjukkan suatu perilaku yang
dimaksud adalah dibawah kontrolnya (Jogiyanto, 2007:63). Keyakinan dan
persepsi ini dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan di
masa lalu dan juga mengantisipasi halangan-halangan yang ada (Jogiyanto,
2007:65). Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung
mengenai perilaku itu. Sebagai contoh dengan melihat pengalaman teman atau
orang lain yang pernah melakukannya, dan dapat juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain yang mengurangi atau menambah kesulitan untuk melakukan sebuah
perilaku.
Komponen yang penting dalam kontrol perilaku berfokus pada proses
psikologi dalam membuat keputusan. Bukan hanya keyakinan utama seorang
individu dalam melakukan sebuah perilaku, dan bagaimana orang lain melihat
perilaku tersebut, tetapi keyakinan mereka akan kemampuan diri untuk melakukan
suatu perilaku, yang disebut sebagai self-efficacy (Cruz, 2005:5). Persepsi
mengenai self-efficacy adalah keyakikan seseorang akan kemampuan dirinya,
untuk menguji kontrol atas tingkat fungsional mereka dan atas kejadian-kejadian
yang mempengaruhi kehidupan mereka (Bandura, 1991:257).
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, persepsi tentang kontrol
perilaku (perceiced behavioral control) didefinisikan sebagai persepsi individu
mengenai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan suatu perilaku. Perceived
behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai
faktor pendukung dan atau penghambat untuk melakukan suatu perilaku (control
beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor pendukung ataupun
penghambat tersebut (perceived power control) (Ajzen, 2006:6-7). Secara umum,
semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor
penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan
cenderung mempersepsikan diri mudah untuk melakukan perilaku tersebut.
Sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan
banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu
23

akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan perilaku tersebut


(Ajzen 2006:1).
2.4.4 Intensi/niat
Faktor utama dalam TPB adalah intensi/niat seseorang yang tercermin
dalam perilaku. Intensi/niat dapat dikatakan sebagai faktor motivasi seseorang
yang mempengaruhi perilaku, mengindikasikan bagaimana kerasnya seseorang
berusaha, seberapa besar usaha mereka merencanakan penekanan, untuk
membentuk suatu perilaku (Ajzen, 1991:181). Intensi/niat adalah keinginan dalam
diri seseorang untuk melakukan tindakan atau perilaku. Intensi/niat dapat bisa saja
berubah sewaktu-waktu (Jogiyanto, 2008:57). Intensi/niat dipengaruhi oleh sikap
terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Dumitrescu, 2011:369).
Sikap terhadap perilaku, dalam hal ini perilaku untuk meningkatkan pengobatan
penyakit kusta, dinyatakan sebagai keyakinan akan manfaat atau hasil yang akan
diperoleh jika penderita meningkatkan perilaku pengobatan. Sementara itu, norma
subjektif merupakan keyakinan penderita bahwa dengan adanya stigma yang di
terima oleh penderita dapat memotivasi penderita untuk meningkatkan perilaku
pengobatan penyakit kusta, dan kontrol perilaku adalah keyakinan penderita kusta
mengenai faktor-faktor yang mendukung atau menyulitkan mereka untuk
meningkatkan pengobatan penyakit kusta.
24

2.5 Kerangka Teori


Berdasarkan tinjauan pustaka yang disusun peneliti, kerangka teori yang diambil bersumber dari teori Theory Of Planned
Behaviour (TPB) sebagai berikut :
Karakteristik individu :
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan

Intensi/Niat
Sikap pasien kusta Pasien kusta
Keyakinan berperilaku berobat pasien
kusta untuk melakukan
mencegah pengobatan
kecacatan terhadap
penyakitnya
Keyakinan normatif Norma subjektif
Keyakinan norma

Kontrol perilaku
Keyakinan kontrol Faktor pendukung
Faktor penghambat

Gambar 2.2 Kerangka Theory Of Planned Behaviour (TPB)


25

2.6 Kerangka Konseptual

Variabel Bebas

Karakteristik individu
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan

Sikap pasien tentang Variabel Terikat


kusta
Intensi/niat Pasien kusta
berobat pasien melakukan
kusta untuk pengobatan
Norma subjektif mencegah terhadap
Keyakinan normatif : kecacatan penyakitnya
Persepsi pasien terkait
keyakinan-keyakinan
dari keluarga dan
petugas kesehatan untuk
meningkatkan perilaku
berobat

Kontrol perilaku
Kontrol perilaku internal
Kontrol perilaku eksternal

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

Keterangan : = diteliti

= tidak diteliti
26

Karangka konsep diatas merupakan faktor demografi, sikap, norma subjektif dan
kontrol perilaku yang mempengaruhi intensi berobat pasien kusta. Faktor demografi hanya
mendeskripsikan karakteristik individu yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan. Sikap terdiri dari keinginan/harapan pasien kusta terhadap suatu tindakan untuk
meningkatkan perilaku pengobatan penyakit kusta. Norma subjektif terdiri dari keyakinan
normatif yaitu persepsi pasien terkait keyakinan-keyakinan dari keluarga dan petugas
kesehatan untuk meningkatkan perilaku pengobatan. Sedangkan kontrol perilaku terdiri dari
kontrol perilaku internal dari dalam diri pasien kusta dan kontrol perilaku eksternal dari
beberapa pengalaman yang pernah rasakan oleh pasien kusta. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah sikap pasien kusta terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien
kusta, norma subjektif terdiri dari keyakinan normatif yang diterima dari kerabat
terdekat/keluarga serta petugas kesehatan terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien
kusta, kontrol perilaku terdiri dari kontrol perilaku internal dari dalam diri pasien kusta dan
kontrol perilaku eksternal dari beberapa pengalaman yang pernah dirasakan oleh pasien kusta
terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien kusta. Sedangkan variabel terikat pada
penelitian ini adalah intensi berobat secara teratur pada pasien kusta.

Anda mungkin juga menyukai