Bab 2
Bab 2
2.1 Kusta
1
2
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-
rata dua hingga lima tahun bahkan lebih dari 5 tahun (Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2015:1).
M. Leprae ditemukan di dalam sitoplasma sel monoseluler penderita kusta.
Manusia relatif resisten terhadap penyakit kusta dan merupakan satu-satunya host.
Kekebalan terhadap bakteri ini diperankan oleh kekebalan seluler sebagaimana
yang diperankan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi dari penyakit
ini adalah penderita kusta yaitu berupa eksudat dari lesi. Tempat masuknya kuman
adalah aberasi kulit (kulit yang lecet). Setelah masuk dalam tubuh penderita,
bakteri menyebar secara hematogen sehingga dapat ditemukan pada bermacam
jaringan termasuk hati dan limpa tetapi jaringan tersebut tidak mengalami
gangguan fungsi. Bakteri ini mempunyai predileksi pada kulit (terutama kulit
telinga, hidung dan wajah) dan saraf perifer.
Manifestasi klinis pada penderita dibagi menjadi beberapa tipe yakni tipe
lepromatous (tipe L) / tipe progresif yang mana ditempat lesi, bakteri banyak
ditemukan dalam sitoplasma sel-sel monoklear dalam jumlah banyak; tipe
tuberculoid (tipe T) / healing type yang mana ditemukan bakteri dalam sitoplasma
sel-sel monoklear dalam jumlah sedikit; tipe intermediate (tipe I) / dimophous
type yang mana lesi pada penderita sebagian mirip tipe L dan sebagian mirip tipe
T; indeterminate yang diperlukan bagi awal penyakit dimana proses penyakit
dapat sembuh sepontan atau berkembang menjadi tipe intermediate untuk
akhirnya menjadi tipe L atau tipe T.
2.1.3 Epidemiologi Kusta
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia dengan sebagian kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang dimana saja. Prevalensi yang cukup
mengkhawatirkan terjadi di India, Cina, dan tertinggi di Afrika. Di India, lebih
dari 3,2 juta orang menderita penyakit ini (Sehgal, 2014:5). Kusta dapat terjadi
pada epidemi dan pola endemi, tetapi pola epidemi jarang terjadi. Antara tahun
1921 dan 1925 terjadi epidemi di pulau pasific Nauru, dimana 30% dari populasi
telah terinfeksi. Semua usia mudah terinfeksi, sebagian besar pasien kusta
3
saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Hanya
sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
intraselular dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler
(Depkes RI, 2007:9).
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke
arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit (Mansjoer A, 2000: 66).
2.1.7 Diagnosa
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012:67), diagnosis penyakit kusta
ditegakkan dengan mencari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Diagnosis ini ditetapkan dengan cara
mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta antara lain:
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak pada kulit yang berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous) yang mati rasa
(anestesi) dan penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul. Mati rasa
dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau
sebagian;
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa
nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami
mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parase) dan kelumpuhan
(paralis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak;
7
c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear) saat pemeriksaan hapusan jaringan kulit.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau
lebih dari tanda-tanda pokok diatas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2
maka perlu dirujuk, jika hasil masih diragukan maka orang tersebut dianggap
sebagai kasus yang dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnosa
dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain (Departemen Kesehatan RI, 2006:36).
Berikut adalah tahap-tahap untuk melakukan diagnosis secara lengkap antara lain:
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis yaitu pemeriksaan kulit, syaraf tepi dan fungsinya
3. Pemeriksaan bakteriologis
4. Pemeriksaan hispatologis
5. Immunologis
2.1.8 Patogenesis
Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang
terinfeksi. Pola klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang
diperantarai sel (cel-mediated immunity) atau imunitas selular (cellular imunity)
host terhadap organisme. Bila respon imunitas baik, maka akan timbul lepra
tuberkuloid, dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk
tunggal atau hanya beberapa dan berbatas tegas. Sedangkan Bila respons imunitas
selulernya rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak terkendali dan timbul
bentuk lepra lepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga
mukosa saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multiple
dan nodular. Diantara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat spektrum
penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, dimana gambaran klinis dan
histologisnya menggambarkan berbagai derajat respons imunitas seluler terhadap
kuman (Brown dan Burns, 2005:24).
8
kaki menjadi bengkok (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendinya. Bila kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan
(lagoptalmus).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak, dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani
secara tepat dan cepat maka akan terjadi ketingkat yang lebih berat. Rahayuningsih
(2012 : 21) mengungkapkan bahwa setiap penderita yang baru saja ditemukan harus
dicatat terlebih dahulu tingkat kecacatannya. Setiap organ tubuh diberi tingkat cacat
sendiri-sendiri. Tingkat cacat ini juga dipergunakan untuk menilai kualitas
penanganan kecacatan yang akan dilakukan oleh petugas, serta untuk menilai kualitas
penemuan dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 diantara pasien baru. Berikut
merupakan klasifikasi tingkat kecacatan di Indonesia:
Tabel 2. 2 Klasifikasi tingkat kecacatan kusta
Tingkat Mata Telapak Tangan/Kaki
0 Tidak ada kelainan mata akibat kusta Tidak ada cacat akibat kusta
1 Ada kelainan pada mata tetapi tidak Anastesi, kelemahan otot (tidak ada
terlihat (anastesi kornea), visus cacat/kerusakan yang kelihatan
sedikit berkurang akibat kusta)
2 Ada kelainan yang terlihat (misalnya Ada cacat/kerusakan yang kelihatan
lagotalmos, kekeruhan kornea, akibat kusta misalnya ulkus, jari,
iridosiklitis) dan atau visus sangat kriting, kaki semper
terganggu/berat (visus<6/60)
Sumber: Kemenkes RI, 2012.
2.1.10 Pencegahan
Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya yang diharapkan dapat
mencegah terjadinya penyakit kusta, mengingat penyebaran penyakit kusta
mengalami peningkatan jumlah kasus. Upaya tersebut antara lain:
1. Dilihat dari segi pejamu (host):
a. Pendidikan kesehatan dijalankan dengan cara bagaimana masyarakat dapat
hidup secara sehat (hygiene) agar daya tahan tubuhnya dapat dipertinggi.
10
tujuan terapi, sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan alamiah penyakit.
Regimen rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide teori dan
suksesnya tujuan pada kondisi lapangan di negara miskin. Keuntungan MDT
antara lain mencegah resistensi obat, mengobati penderita dengan resistensi
terhadap dapson, menghapus keperluan identifikasi sensivitas terhadap
Mycobacterium Leprae sebelum terapi, mengubah konsep dari terapi jangka
panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang
menyembuhkan penyakit, meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%,
mencegah deformitas secara lebih efisien, menurunkan jumlah kasus-kasus setiap
tahunnya, membuat penderita menjadi tidak infeksius dan mengurangi biaya
jangka panjang (Harahap, 2000:268).
Tabel 2. 3 Regimen pengobatan kusta
Tipe Kusta Dosis Dewasa Dosis Anak
PB a. Pengobatan bulanan: hari a. Pengobatan bulanan: hari
pertama (obat diminum pertama (obat diminum
didepan petugas) didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 - 2 kapsul rifampisin
mg (600 mg) @150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
b. Pengobatan harian: hari ke 2- b. Pengobatan harian: hari ke
28 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
c. Satu blister untuk satu bulan. c. Satu blister untuk 1 bulan.
Dibutuhkan 6 blister yang Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan diminum selama 6-9 bulan
MB a. Pengobatan bulanan: hari a. Pengobatan bulanan: hari
pertama (obat diminum pertama (obat diminum di
didepan petugas) depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 - 2 kapsul rifampisin 150
mg (600 mg) mg dan 300 mg
- 3 tablet lampren @100 - 3 tablet lampren @50
mg (300 mg) mg (150 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 - 1 tablet dapson/DDS 50
mg mg
b. Pengobatan harian: hari ke b. Pengobatan harian: hari ke
2-28 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg - 1 tablet lampren 50 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 selang sehari
mg - 1 tablet dapson/DDS 50
mg
c. Satu blister untuk 1 bulan. c. Satu blister untuk 1 bulan.
12
2.2 Intensi
perbuatan itu positif dan bila ia percaya dengan orang lain, ia juga ingin agar
melakukannya (Azwar, 2007). Secara singkat intensi merupakan indikator penting
yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu perubahan perilaku di masa
mendatang karena intensi mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
perilaku yang dilakukan oleh individu, dan merupakan perubahan yang
menjebatani antara sikap dan perilaku nyata.
Menurut Azwar (2007), keyakinan mengenai tersedia-tidaknya
kesempatan dan sumber yang diperlukan akan menentukan intensi untuk
berperilaku. Keyakinan dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang
bersangkutan dimasa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung
mengenai perilaku tersebut, misal melihat pengalaman teman atau orang lain yang
mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan yang
mungkin akan dilakukan. Disamping berbagai faktor penting seperti hakikat
stimulus itu sendiri, latar belakang, pengalaman individu, motivasi, status
kepribadian, dan sebagainya, memang sikap individu memegang peranan dalam
menentukan bagaimana perilaku seseorang dilingkungannya.
keyakinan tentang nilai dari hasil itu bagi individu sendiri. Sikap untuk
berperilaku ini meliputi :
1) Keyakinan
Keyakinan berperilaku yaitu bagaimana individu meyakini tentang apakah
hasil yang seharusnya diperoleh jika sudah bersikap tertentu. Misalnya ketika
penderita kusta melakukan pengobatan secara rutin, maka penderita akan dengan
cepat sembuh dari penyakit kusta yang dideritanya. Keyakinan merupakan suatu
hal yang diyakini oleh seseorang dan tertanam dalam pikiran yang nantinya akan
menetukan tindakan yang akan dilakukan. Keyakinan datang dari pengalaman,
dari apa yang kita baca, kita dengar, kita lihat dan rasakan. Baik secara sadar
maupun tidak sadar, keyakinan akan melandasi cara kita berfikir, berbicara, dan
bertindak dimasa sekarang dan dimasa depan. Keyakinan merupakan satu hal awal
yang paling penting bagi seseorang untuk memulai sesuatu. Jika keyakinan yang
ditanam dalam diri sudah positif, hasil yang diperoleh kemudian juga akan positif.
Akan tetapi, jika keyakinan yang ditanam dalam diri negatif, hasil yang diperoleh
juga akan negatif. Jika kita yakin akan membuat kita menjadi baik (Sudirman,
2010).
2) Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil merupakan keyakinan tentang nilai bagi dirinya sendiri dari
apa yang telah individu sikapi. Misalnya, memikirkan untuk melakukan
pengobatan kusta secara rutin. Dengan begitu berfikir jika melakukan pengobatan
kusta secara rutin akan memunculkan hasil bahwa ia akan cepat sembuh dari
penyakit ksuta yang dideritanya. Evaluasi akan hasil perilaku merupakan nilai
yang diberikan oleh individu terhadap tiap akibat atau hasil yang dapat diperoleh
apabila menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Evaluasi atau
penilaian ini dapat bersifat menguntungkan dapat juga merugikan, berharga atau
tidak berharga, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Semakin positif
evaluasi individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif
pula sikap terhadap objek tersebut, demikian pula sebaliknya (Widyarini, 2009).
Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku
tersebut akan membawa pada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Sikap
15
dan memiliki harapan yang besar untuk cepat sembuh, kemudian pasien
melakukan apa yang diharapkan oleh petugas kesehatan, maka potensi besar untuk
membentuk intensi melakukan pengobatan secara rutin ini, dan karena itulah ingin
bersikap seperti apa yang diinginkan. Motivasi sasarannya adalah mempelajari
penyebab atau alasan yang membuat individu melakukan apa yang individu
lakukan. Motivasi merujuk pada suatu proses individu yang menyebabkan
bergerak untuk menuju suatu tujuan atau bergerak menjauhi situasi yang tidak
menyenangkan.
Norma subjektif merupakan keyakinan seseorang mengenai apa yang
harus dilakukan individu menurut orang lain, serta kekuatan motivasi individu
untuk memenuhi harapan orang lain tersebut. Dalam melakukan sesuatu yang
penting, seseorang akan mempertimbangkan apa harapan orang lain, dalam hal ini
adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, atau petugas pelayanan
kesehatan. Namun harapan orang-orang lain tersebut tidak sama pengaruhnya, ada
yang berpengaruh sangat kuat dan ada yang cenderung diabaikan (Widyarini,
2009).
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi terjadinya sikap. Seseorang yang kita anggap penting,
seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak langkah dan
pendapat kita, seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau seseorang yang
berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita
terhadap sesuatu (Azwar, 2007). Harapan dari orang lain yang berpengaruh lebih
kuat apabila orang lain lebih memotivasi orang yang bersangkutan untuk
memenuhi harapan tersebut, akan lebih menyokong kemungkinan seseorang
bertingkahlaku sesuai dengan harapan tersebut. Bila seseorang bersifat positif
terhadap kegiatan posbindu, di dukung oleh kader dan petugas kesehatan, tetapi
sangat ditentang oleh keluarganya yang dicintai, besar kemungkinan niatnya
untuk mewujudkan mengikuti kegiatan posbindu lansia menjadi berkurang
(Widyarini, 2009).
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau
kesediaan pasien untuk melakukan pengobatan secara rutin. Keluarga dapat
17
menjadi motivator yang kuat bagi pasien apabila selalu menyediakan diri untuk
mendampingi atau mengantar pasien berobat, mengingatkan pasien jika lupa
jadwal. Sedangkan peran petugas kesehatan adalah sebagai motivator atau
penyuluh kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya
hidup sehat bagi mereka untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit dengan
menggunakan sarana kesehatan yang ada, khususnya bagi pasien kusta untuk
meningkatkan perilaku pengobatan kusta.
c. Kontrol Perilaku
Pengendalian perilaku merupakan keyakinan-keyakinan yang berkaitan
dengan seberapa banyak kontrol yang dianggap dimiliki seseorang terhadap
perilaku tertentu, untuk menjelaskan hubungan sikap-perilaku dalam perilaku tak-
dikehendaki. Misalnya pasien ingin membentuk intensi untuk melakukan
pengobatan kusta secara rutin, jika ia yakin bahwa tindakan itu berada dibawah
kontrol pasien sendiri, yaitu pasien memiliki kemampuan untuk mengerjakan
perilaku tersebut.
Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masalalu dan perkiraan
individu mengenai mudah sulitnya melakukan perilaku yang akan dilakukan.
Kontrol perilaku ini sangat penting, artinya ketika rasa percaya diri seseorang
sedang dalam kondisi lemah. Dalam teori perilaku terencana, keyakinan-
keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma
subjektif, dan pada pengendalian perilaku. Ketiga komponen ini saling
berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada akhirnya akan
menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak
(Azwar, 2007).
Kontrol perilaku
persepsian (Perceived
Behavioral Control)
event. Definisi ini memberikan pengertian bahwa sikap adalah suatu disposisi
bertindak positif atau negatif terhadap suatu objek, orang, lembaga atau peristiwa.
Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman,
yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu
terhadap semua objek dan situasi yang terkait. Sikap adalah ide yang berkaitan
dengan emosi yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam
situasi sosial. Sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat di tafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus social. Sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek
sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi), dan
perilaku (Wawan dan Dewi. M, 2010:20). Dari definisi-definisi di atas
menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide
yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku
(cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi
(menyebabkan respon-respon yang konsisten).
1. Komponen sikap
Sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok yang saling menunjang, yaitu:
a. Komponen kognitif
Merupakan respresentasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap,
komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimilki individu
mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila
menyangkut masalah isu atau yang kontroversial.
b. Komponen afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin
adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimilki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif
20
Intensi/Niat
Sikap pasien kusta Pasien kusta
Keyakinan berperilaku berobat pasien
kusta untuk melakukan
mencegah pengobatan
kecacatan terhadap
penyakitnya
Keyakinan normatif Norma subjektif
Keyakinan norma
Kontrol perilaku
Keyakinan kontrol Faktor pendukung
Faktor penghambat
Variabel Bebas
Karakteristik individu
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
Kontrol perilaku
Kontrol perilaku internal
Kontrol perilaku eksternal
Keterangan : = diteliti
= tidak diteliti
26
Karangka konsep diatas merupakan faktor demografi, sikap, norma subjektif dan
kontrol perilaku yang mempengaruhi intensi berobat pasien kusta. Faktor demografi hanya
mendeskripsikan karakteristik individu yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan. Sikap terdiri dari keinginan/harapan pasien kusta terhadap suatu tindakan untuk
meningkatkan perilaku pengobatan penyakit kusta. Norma subjektif terdiri dari keyakinan
normatif yaitu persepsi pasien terkait keyakinan-keyakinan dari keluarga dan petugas
kesehatan untuk meningkatkan perilaku pengobatan. Sedangkan kontrol perilaku terdiri dari
kontrol perilaku internal dari dalam diri pasien kusta dan kontrol perilaku eksternal dari
beberapa pengalaman yang pernah rasakan oleh pasien kusta. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah sikap pasien kusta terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien
kusta, norma subjektif terdiri dari keyakinan normatif yang diterima dari kerabat
terdekat/keluarga serta petugas kesehatan terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien
kusta, kontrol perilaku terdiri dari kontrol perilaku internal dari dalam diri pasien kusta dan
kontrol perilaku eksternal dari beberapa pengalaman yang pernah dirasakan oleh pasien kusta
terhadap intensi berobat secara teratur pada pasien kusta. Sedangkan variabel terikat pada
penelitian ini adalah intensi berobat secara teratur pada pasien kusta.