Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Apabila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Kemenkes, 2015:1). Penanggulangan kusta di Indonesia bertujuan mengurangi beban akibat penyakit kusta dengan menurunkan transmisi penyakit, mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar, serta menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Hal ini sejalan dengan strategi WHO dalam penanganan kusta yaitu dengan menciptakan pelayanan berkualitas bagi pasien kusta dan mengurangi beban kusta yang dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan penemuan kasus dini tapi juga dengan mengurangi kecacatan, stigma dan diskriminasi, serta rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi pasien kusta (WHO,2010). Berdasarkan data WHO (2015), penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang di hadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di negara berkembang. Hal ini tertera pada hasil laporan epidemiologi mingguan yang menunjukkan bahwa prevalensi kusta secara global menurun dari >5 juta kasus di pertengahan 1980-an menjadi <200.000 di tahun 2015. Data statistik kusta tahunan yang diterima dari 121 negara untuk tahun pelaporan 2014 yaitu 13 negara dilaporkan >1000 kasus baru yang terbukti memberikan konstribusi 94% dari semua kasus baru kusta di seluruh dunia. Beban kasus baru tidak terdistribusi secara merata antara 13 negara tersebut. Indonesia merupakan negara yang dikategorikan sebagai penyumbang jumlah kasus terbesar bersama 3 negara lainnya, dimana Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia, setelah India dan Brazil, yang melaporkan >10.000 kasus baru dan menyumbang 81% dari kasus baru kusta secara global. Data yang di peroleh dari pusat data dan informasi mengenai Profil Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan jumlah kasus baru dengan prevalensi sebesar 19.949, lebih tinggi dari pada tahun 2014 yaitu sebesar 17.025 dan tahun 2013 sebesar 16.856 kasus baru (WHO,2015:391). Secara nasional, berdasarkan data Ditjen PP dan PI kemenkes RI (2015), Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan penderita kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000 orang. Pada tahun 2015, penemuan penderita kusta baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.013 kasus. Berdasarkan peta persebaran angka kesakitan, penyebaran kasus penderita kusta di Provinsi Jawa Timur banyak terjadi di pantai utara Jawa dan Madura. Beberapa wilayah Kabupaten atau Kota di Provinsi Jawa Timur menjadi daerah endemik dari penyakit kusta seperti Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Situbondo, Kota Tuban, Kota Probolinggo dan Kabupaten Lamongan (Dinkes Prov Jatim, 2016:12). Kabupaten Situbondo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang termasuk daerah pantai utara jawa dengan prevalensi dan angka penemuan kasus baru kusta yang tertinggi. Berdasarkan hasil laporan analisis situasi program pemberantasan penyakit kusta Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2014, Kabupaten Situbondo berada di urutan tertinggi kelima dengan prevalensi sebesar 2,35 per 10.000 penduduk, kemudian pada tahun 2015 turun menjadi 2,18 per 10.000 penduduk. Penurunan yang tidak signifikan juga terlihat pada angka penemuan kasus baru. Pada Tahun 2014, Kabupaten Situbondo terlapor dengan angka CDR sebesar 25,45 per 100.000 penduduk, kemudian pada tahun 2015 turun menjadi 25,23 per 100.000 penduduk. Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Situbondo memiliki beban kusta tinggi (Dinas Kesehatan Situbondo, 2015). Kecamatan dengan angka penemuan kasus baru tertinggi di Kabupaten Situbondo adalah Kecamatan Panji. Berdasarkan data analisa situasi program pemberantasan penyakit kusta didapatkan angka penemuan kasus baru di masing-masing kecamatan yang tepat berada pada daerah garis endemis kusta pantai utura jawa di Situbondo yaitu Besuki sebesar 8 kasus, Mlandingan sebesar 6 kasus, Bungatan sebesar 9 kasus, Panarukan sebesar 11 kasus, Situbondo sebesar 13 kasus, Mangaran sebesar 12 kasus, Panji sebesar 24 kasus, Kapongan sebesar 10 kasus, Arjasa sebesar 3 kasus, Jangkar sebesar 7 kasus, Asembagus sebesar 3 kasus, dan Banyuputih sebesar 3 kasus. Jika dibandingkan dengan kecamatan lain, Kecamatan Panji merupakan angka penemuan kasus kusta baru yang tertinggi. Angka penemuan kasus baru kusta di Kecamatan Panji menunjukkan grafik yang konstan dari beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2014, penemuan kasus baru kusta dengan jumlah sebesar 24 kasus yaitu 7 penderita kusta tipe Pausibasiler (PB) dan 17 penderita kusta tipe Multibasiler (MB) (Dinas Kesehatan Situbondo, 2014). Pada tahun 2015 naik menjadi 26 kasus yaitu 10 penderita tipe PB dan 16 penderita kusta tipe MB (Dinas Kesehatan Situbondo, 2015). Total penemuan kasus baru tidak jauh berbeda dengan tahun 2016 yang sebesar 27 kasus yaitu 13 penderita kusta tipe PB dan 14 penderita kusta tipe MB. Berdasarkan data tersebut mengindikasikan bahwa transmisi kusta di Kecamatan Panji masih tinggi dan terus berlangsung tanpa ada penurunan yang signifikan. Permasalahan pokok yang ada dalam program pemberantasan kusta di Kabupaten Situbondo adalah masih tingginya penularan yang ada di masyarakat, hal ini dapat dilihat dari tingginya proporsi pasien kusta MB. Masalah penyakit kusta diperberat dengan banyaknya pasien kusta yang mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit kusta dan akibatnya. Keterlambatan pengobatan pasien mengakibatkan penularan terus berjalan sehingga kasus baru banyak muncul. Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan program pemberantasan secara terpadu dan menyeluruh yang meliputi penemuan pasien sedini mungkin, pengobatan pasien yang tepat, rehabilitas medis, rehabilitas sosial dan seperti program inovasi GERDU NGOKOS (Gerakan Peduli Ngorengaghi/Mengorangkan Kusta) yang ada di Puskesmas Panji. Tujuan pengobatan pasien kusta adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit pasien dan mencegah terjadinya kecacatan atau bertambahnya kecacatan. Selain itu, juga diperberat dengan tingginya stigma di kalangan masyarakat dan sebagian petugas. Akibat dari kondisi ini sebagian pasien kusta dan mantan pasien kusta dikucilkan sehingga sulit mengakses pelayanan kesehatan dan keadaan ini diperparah dengan kondisi kesejahteraan dan hygiene sanitasi pasien kusta yang masih memperhatinkan (Dinas Kesehatan Situbondo, 2015:26). Sehubungan dengan peningkatan pasien kusta dan proporsi kejadian kusta tipe MB yang menggambarkan adanya keterlambatan untuk mendapatkan pengobatan kusta atau obat kombinasi/Multy Drug Therapy (MDT), sehingga mengakibatkan masih tingginya risiko penularan kusta. MDT merupakan program yang dicanangkan pemerintah untuk mencegah penularan/penyembuhan penyakit kusta. Pengobatan MDT dapat dilakukan di puskesmas. Obat penyakit kusta telah disediakan WHO secara gratis di puskesmas-puskesmas. Jangka waktu pengobatan MDT ini tergantung oleh jenis kusta pasien. Jenis kusta tipe MB ini dapat melakukan pengobatan sampai 9-12 bulan dan untuk jenis tipe kusta PB dapat melakukan pengobatan 6-9 bulan (P2 Kusta, 2012). Kebiasaan yang ada dalam masyarakat tentang perilaku berobat dilakukan setelah pasien kusta merasakan gejala atau tanda-tanda dari penyakit yang dideritanya. Akan tetapi gejala/tanda-tanda dari penyakit kusta ini berupa bercak-bercak pada kulit dan bersifat anastetik (tidak terasa sakit). Sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2010) bahwa seseorang yang mendapatkan penyakit, dan tidak merasakan rasa sakit (disease but not illness) sudah pasti tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakit tersebut. Akan tetapi apabila diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka seseorang baru berusaha mencari upaya kesembuhan dengan mengunjungi fasilitas kesehatan (Notoatmojdo, 2010:107). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Assefan, et al. tentang perilaku pencarian pengobatan pada pasien kusta menunjukkan bahwa 77% dari responden pada kelompok kasus menunggu lebih dari satu tahun untuk melakukan pemeriksaan gejala kusta di klinik. Oleh karena hal tersebut banyak pasien kusta yang terlambat untuk melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan (Assefan A, et al. 2000:43-47). Hasil penelitian Selum dan Wahyuni (2012:119) pasien kusta cacat banyak ditemukan pada responden yang tidak teratur minum obat sedangkan pasien kusta yang tidak cacat banyak ditemukan pada responden yang teratur minum obat. Adanya hubungan antara keteraturan berobat terhadap kecacatan pada responden. Risiko pasien kusta yang tidak teratur berobat akan menjadi cacat 6,7 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pasien kusta yang teratur minum obat. Hasil penelitian Mukminin (2006) yang menunjukkan bahwa responden yang tidak berobat secara teratur memiliki risiko 9,1 kali lebih besar untuk menderita cacat dibandingkan responden yang teratur berobat. Selain itu menurut penelitian Eliningsih (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keteraturan berobat dengan kecacatan pada pasien kusta dengan nilai p=0,002:OR=3,3 (95%CI=1,56-6,78). Ketidakteraturan berobat pasien kusta karena faktor kelalaian dari pasien itu sendiri dan tidak adanya dukungan dari keluarga, dan juga jarak pengambilan obat ke pelayanan kesehatan jauh, mengakibatkan penderita tidak lagi minum obat secara teratur (Laoming et al, 2015:109). Pengobatan secara teratur pasien terhadap penyakit kusta sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan sebuah terapi pada pasien yang mengikuti ketentuan-ketentuan kesehatan profesional. Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah karena tidak teratur berobat pasien masih tinggi. Faktor yang mempengaruhi tidak teraturnya berobat salah satunya yaitu adanya stigma yang diterima oleh pasien kusta.. Hubungannya dengan penyakit kusta hal ini dapat mencegah pasien untuk melakukan pengobatan hingga timbulnya kecacatan. Jika pasien sudah cacat maka sulit untuk disembuhkan karena pengobatan tidak dapat mengembalikan tubuh yang sudah cacat sebelumnya. Efek stigma masyarakat terhadap intensi berobat pasien juga besar. Pasien mungkin berhenti mengunjungi pelayanan kesehatan atau menghentikan pengobatannya karena takut ditolak oleh kelompok atau kurang diterima kondisinya. Sehingga intensi berobat pasien berkurang yang menyebabkan ketidak teraturan berobat pasien kusta menjadi masalah di beberapa daerah. Penyakit kusta tidak hanya menimbulkan permasalahan medis, akan tetapi juga menimbulkan permasalahan non-medis. Dalam hal ini, penanganan penyakit kusta secara non-medis juga diperlukan oleh para penderita karena permasalahan penyakit kusta tidak hanya menyangkut pada permasalahan medis saja, akan tetapi permasalahan penyakit kusta juga merupakan suatu permasalahan sosial. Kusta dapat menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang disebabkan karena munculnya persepsi yang beragam yang berkembang di masyarakat terhadap penyakit kusta itu sendiri. Adanya persepsi yang salah mengenai penyakit kusta menyebabkan para penderita penyakit kusta mengalami berbagai macam problematika dalam kehidupan sosialnya. Pemikiran yang salah mengenai kusta tersebut akan menimbulkan stigma yang muncul diantara masyarakat terhadap penyakit kusta. Salah satu masalah dalam penanggulangan penyakit kusta ini adalah masih kuatnya stigma tentang penyakit kusta sedangkan penanganan yang dapat dilakukan masih lebih berfokus pada penyembuhan secara fisik (Lesmana, 2013:3). Dalam hal ini sangat mempengaruhi intensi/niat pasien kusta untuk melakukan pengobatan secara teratur. Karena dengan adanya berbagai macam ancaman yang diterima, pasien kusta menutupi penyakit yang ada pada dirinya dari masyarakat. Intensi/niat dapat dikatakan sebagai faktor motivasi seseorang yang mempengaruhi perilaku, mengindikasikan bagaimana kerasnya seseorang berusaha, seberapa besar usaha mereka merencanakan penekanan, untuk membentuk suatu perilaku. Intensi/niat dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Dumitrescu, 2011:369). Sikap terhadap perilaku, dalam hal ini perilaku untuk meningkatkan pengobatan penyakit kusta, dinyatakan sebagai keyakinan akan manfaat atau hasil yang akan diperoleh jika pasien meningkatkan perilaku pengobatan. Sementara itu, norma subjektif merupakan keyakinan pasien bahwa dengan adanya stigma yang di terima dapat memotivasi pasien untuk meningkatkan perilaku pengobatan penyakit kusta, dan kontrol perilaku adalah keyakinan pasien kusta mengenai faktor-faktor yang mendukung atau menyulitkan mereka untuk meningkatkan pengobatan penyakit kusta. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti sebagian besar dari pasien kusta menutupi penyakitnya dari keluarga dan masyarakat. Selain itu, ketika petugas kesehatan hendak melakukan kunjungan kesehatan pada setiap rumah pasien kusta, sebagian dari mereka menolak dilakukan kunjungan kesehatan. Sehingga intensitas perilaku berobat pasien kusta menjadi berkurang. Hal ini terjadi karena ketakutan pasien atas terjadinya perceraian dan ketakutan dikucilkan di masyarakat. Permasalahan tersebut menjadi latar belakang peneliti tertarik untuk mengetahui intensi berobat secara teratur pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan di wilayah kerja Puskesmas Panji Kabupaten Situbondo.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana hubungan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku dengan intensi berobat pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan di wilayah kerja Puskesmas Panji Kabupaten Situbondo.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Menganalisis hubungan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku dengan intensi berobat pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan di wilayah kerja Puskesmas Panji Kabupaten Situbondo. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan pasien kusta di wilayah kerja Puskesmas Panji Kabupaten Situbondo. b. Menganalisis hubungan sikap pasien kusta dengan intensi berobat secara teratur pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan. c. Menganalisis hubungan norma subjektif pasien kusta dengan intensi berobat secara teratur pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan. d. Menganalisis hubungan kontrol perilaku pasien kusta dengan intensi berobat secara teratur pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat berperan dalam memberikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kesehatan di bidang pemberantasan penyakit menular kusta serta dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk penembangan penelitian yang terkait di masa yang akan datang. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Bagi Institut Ilmu Kesehatan STRADA Indonesia program S1 Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bahan pustaka bagi IIK STRADA Indonesia dan peneliti selanjutnya tentang intensi berobat secara teratur pada pasien kusta untuk mencegah kecacatan. b. Bagi Puskesmas Panji Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, gambaran dan informasi kepada Puskesmas Panji khususnya di bidang pemberantasan penyakit menular kusta untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai kusta secara menyeluruh, tidak hanya kepada pasien tetapi juga kepada masyarakat di sekitar pasien kusta. Sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan program kusta dari sudut pandang yang berbeda. Puskesmas panji sebagai puskesmas dengan spesialisasi penyakit kusta diharapkan dapat menjadi panutan untuk puskesmas di kecamatan lain dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. c. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor risiko terjadinya penyakit kusta, sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk meningkatkan pola hidup sehat agar terhindar dari infeksi penyakit kusta. Terutama bagi masyarakat yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit kusta.