Anda di halaman 1dari 58

SKRIPSI

HUBUNGAN PERAN PERAWAT TERHADAP


KEPATUHANMINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS
PADA PASIEN TB DI RS ROYAL PRIMA JAMBI

Oleh

EKA GUSRIANI

NIM. 203001090035

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2022

...
2

vii
ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbinganNya saya
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “HUBUNGAN PERAN PERAWAT
TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA
PASIEN TB DI RS ROYAL PRIMA JAMBI”. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi
Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Adiwangsa Jambi.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ns.Margareta
Pratiwi,S.Kep,.M.Kes selaku pembimbing saya yang telah meluangkan banyak
tenaga dan waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberikan
dukungan dalam penyusunan skripsi ini
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya
bagi peneliti sendiri. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Aamiin.

Jambi, April 2022


Peneliti

Eka Gusriani
3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan


menimbulkan masalah yang sangat kompleks baik dari segi medis maupun sosial,
ekonomi, dan budaya,bahwa untuk mengatasi permasalahan Tuberkulosis dan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, diperlukan upaya
penanggulangan yang komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan,( Perpes
No.67 Tahun 2021). Hal ini karena masih tinggi angka ketidakpatuhan minum
obat pada penderita TB (Kemenkes, 2016b).
Penanggulangan TBC adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan
aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif
untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan
atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat TBC, dan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat TB.
Kasus tuberkulosis terjadi di 34 provinsi di Indonesia, dengan kasus
terbesar pada tahun 2019 terjadi di provinsi Jawa Barat, disusul Jawa Timur, Jawa
Tengah, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara. Kasus TB di Indonesia diperkirakan
sebanyak 824.000 kasus, menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah
India dan China. Melansir laman Kemenkes, data TBC di Indonesia tahun 2020
menunjukkan sebagian besar kasus atau 67 persen terjadi di usia produktif (15-54
persen) dan 9 persen usia anak kurang dari 15 tahun terkena TBC. Mengacu pada
WHO Global TB Report tahun 2020, sebanyak 10 juta orang di dunia menderita
TBC dan menyebabkan 1,2 juta orang meninggal setiap tahunnya.
Jumlah penderita penyakit Tuberculosis (TB ) paru di provinsi Jambi pada
Tahun 2020 menduduki urutan pertama berkisar 4.838 kasus,dan di urutan kedua
di kota Jambi berkisar 1.021 kasus,dilihat dari data kasus ini terlihat bahwa
meningkatkanya kasus TB Paru di kota jambi,dengan meningkatnya kasus TB
4

paru ini pemerintah mempunyai target dan strategi nasional eliminasi


Tuberculosis pada tahun 2030 yaitu penurunan angka kejadian TBC menjadi 65
per 100.000 ( seratus ribu ) penduduk dan penurunan angka kematian akibat TBC
menjadi 6 ( enam ) per 100.000 ( seratus ribu ) penduduk.( perpes No.67 Tahun
2021)
Kasus berdasarkan jenis kelamin pada laki-laki memiliki kasus lebih tinggi
dibandingkan perempuan yaitu 1,5 kali lebih tinggi pada seluruh provinsi di
Indonesia. Jika dikelompokkan berdasarkan umur, pada tahun 2015 kasus TB
paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65%,
disusul dengan kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 17,33% dan selanjutnya
pada kelompok umur 35-44 tahun yaitu sebesar 17,18% (Kemenkes, 2016).

Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai peran yang besar dalam


meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan mengawasi dan member
dukungan pada penderita. Keuntungan keluarga sebagai Pengawas Minum Obat
(PMO) adalah tempat tinggal yang serumah dengan penderita sehingga
pemantauan lebih optimal dan langsung, tidak memerlukan biaya transportasi.
Tujuan PMO adalah menjamin keteraturan dan ketekunan pengobatan sesuai
jadwal yang telah di sepakati, serta mengurangi kemungkinan gagal pengobatan
dan resistensi terhadap obat Anti Tubercolosis (OAT).
Menurut Gitawi & Sediati (2006), Pengawas Minum Obat (PMO)
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam strategi program DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse), karena mengingat pengobatan TB paru yang
relatife lama membuat penderita tidak teratur dalam minum obat. Untuk itu di
perlukan seseorang yang mampu mengawasi dan memberi motifasi pada penderita
agar minum obat secara teratur dan tuntas.
Multi Drugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB ) atau TBC MDR adalah
kondisi ketika pasien TB mengalami resistansi atau kebal obat antibiotic,ini
mungkin terjadi akibat pasien tidak mematuhi aturan minum obat TBC dengan
benar.kondisi resistensi antibiotic menandakan bakteri tidak lagi terpengaruh
dengan reaksi antibiotic,akibatnya oabat-obatan tidak mempan untuk
5

menyembuhkan infeksi bakteri,TB MDR ditandai dengan memburuknya gejala


tuberculosis,seperti batuk terus menerus,batuk berdarah,sesak nafas,demam ringan
dan berkeringat pada malam hari.
TB MDR merupaka masalah Kesehatan yang masih jadi ancaman
serius ,di negara-negara berkembang terutama daerah TBC tergolong
umum ,kasusnya cukup tinggi,sebuah studi dalam jurnal Tropical Disease Travel
Medicine and Vaccines ( 2016 ) menemukan ada sebanyak 4,1 % kasus kebal obat
yang muncul pertama kali.di samping itu ,ada 19% kasus tuberculosis MDR yang
berkembang dari TBC biasa ada pula 240.000 kasus kematian akibat resistansi
obat TB pada tahun yang sama.Badan Kesehatan Dunia ( WHO ) juga melaporkan
kasus resistensi obat TBC telah terjadi di 117 negara dengan kasus tertinggi
terjadi di tiongkok,India dan Rusia.tingginya jumlah pengidap TB resisten obat
dipicu berbagai macam factor,termasuk metode pengobatan yang kurang memadai
dan pasien yang lalai menjalani pengobatan.
Ditetapakan oleh pihak rumah sakit meliputi program edukasi yaitu
pasien TB mendapatkan penyuluhan dari petugas mengenai program pengobatan
TB pada saat pasien mengambil obat. Program selanjutnya program nutrisi untuk
pasien TB yaitu program perbaikan status nutrisi pasien untuk membantu proses
penyembuhan pasien TB. Berikutnya program PMO (pengawas minum obat),
pasien dengan TB mendapatkan pengawasan dalam minum obat oleh PMO yang
sebelumnya sudah diberikan edukasi oleh petugas. Berdasakan hasil wawancara
dengan beberapa pasien TB, pasien selalu patuh dan rutin dalam minum obat
namun terkadang masih harus diingatkan oleh PMO. Namun ada juga pasien yang
tidak rutin dalam minum obat dikarenakan kurangnya motivasi pasien dalam
pengambilan obat apabila pasien tidak bertemu dengan pihak farmasi Rumah
sakit.
Pengobatan TBC memerlukan waktu yang relatif lama yaitu 6 bulan atau
114 kali pengobatan, dimana hal tersebut memerlukan suatu pengawasan dan
dukungan dari PMO demi keteraturan dalam minum obat sehingga pengobatan
dapat berlangsung secara efektif dan tuntas (Doengoes, 2006).
Hal ini menjadi tantangan bagi kita sebagai tenaga kesehatan untuk dapat
6

menuntaskan masalah TB di Indonesia hingga mencapai target 100%. Untuk


menuntaskan masalah tersebut perlu dilakukan tindakan eliminasi TB dengan
melakukan program penanggulangan TB Nasional yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.dan disebutkan di permenkes 67 bahwa peningkatan askes layanan
tuberculosis yang bermutu dan berpihak pada pasien dan optimalisasi jejaring
layanan TBC di fasilitas pelayanan Kesehatan milik pemerintah dan swasta
Directly-observed treatment short -course chemotherapy ( DOTS ) adalah
nama suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan Kesehatan dasar di dunia
untuk mendeteksi dan menyembuhkan tuberculosis.kunci utama keberhasilan
DOTS adalah keyakinan bahwa penderita TB meminum obatnya sesuai dengan
yang telah ditetapkan dan tidak lalai atau putus berobat ,hal tersebut baru dapat
dipastikan bila ada orang lain yang mengawasi saat penderita minum obat.Strategi
DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu,dukungan politik, mikroskop,pengawas
minum obat,pencatatan dan pelaporan dan panduan obat jangka pendek ( Ahmad
Subagio,2013 )
Tuberkulosis adalah penyakit yang menular secara langsung yang
penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar
menyerang paru, akan tetapi dapat juga menyerang organ lainnya (Kemenkes,
2011). Penularan Tuberkulosis adalah melalui air bone infection yang
artinnya Penularan terjadi akibat adanya percikan dahak yang menguap kemudian
terbawa oleh udara dan setelah itu secara tidak sengaja terhirup oleh orang yang
sehat (Muttaqin, 2008). TBC merupakan suatu penyakit yang sifatnya kronis
dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma pada paru yang disebabkan
oleh mycobacterium tubercullosis (Doengoes, 2004)
Pengobatan TB bertujuan untuk memberikan kesembuhan pada pasien,
mencegah terjadinya kematian, mencegah terjadinya kekambuhan, memutuskan
rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes, 2011). Keberhasilan suatu pengobatan pada TB
adalah ditunjang dari kepatuhan dalam minum obat anti tuberkulosis dengan dosis
yang telah ditetapkan. Pasien yang dirawat berulangkali di rumah sakit
disebabkan ketidakpatuhan dalam mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT)
7

secara teratur (Manalu, 2010). Hal ini tentu akan memberikan dampak drop out,
yaitu salah satu penyebab terjadinya kegagalan dalam pengobatan dan hal ini
sangat berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi obat atau yang
kita sebut sebagai Multi Drugs Resistant (MDR) TB. Apabila terjadi resistensi
terhadap obat maka biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akan lebih banyak
dan juga waktu yang diperlukan untuk kesembuhan akan lebih lama (Himawan,
Hadisaputro, & Suprihati, 2015)
Hal-hal yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien TB dalam minum
obat adalah meliputi: pendidikan, pengetahuan dan pendapatan (Erawatyningsih,
Purwanta, & Subekti, 2009). Kurangnya pengetahuan tentang TB menjadi faktor
resiko dan juga variabel yang paling dominan terjadinya drop out pengobatan
(Himawan et al., 2015). Selain hal tersebut, motivasi juga merupakan salah satu
kunci keberhasilan dalam penatalaksaan pengobatan TB, semakin tinggi motivasi
maka akan semakin patuh dalam melaksanakan program pengobatan TB dengan
cara rutin meminum obat anti tuberkulosis (Prasetya, 2009).
Perawat memiliki peranan yang cukup penting dalam tugasnya dalam
penatalaksaan dan juga pengelolaan pasien TB sebagai edukator, konselor dan
fasilitator dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien TB. Sebagai
edukator, perawat memiliki tugas untuk meningkatkan pengetahuan pasien TB
mengenai penyebab, gejala dan juga program pengobatan yang harus dilakukan
dan juga menjelaskan mengenai tujuan alasan mengapa pengobatan tersebut harus
dilaksanakan secara teratur. Tujuan dari peran perawat sebagai edukator di sisi
lain juga untuk mengubah perilaku dari klien agar dapat menjalankan pengobatan
secara teratur sehingga akan meningkatan kesehatan klien dan mempercepat
penyembuhan klien dari TB (Kemenkes, 2011). Selain itu upaya untuk
mengantisipasi ketidakpatuhan dalam minum obat adalah dengan meningkatkan
motivasi klien, untuk meningkatkan motivasi klien perlu dilakukan penyampaian
informasi seakurat mungkin dengan cara melakukan komunikasi secara terapeutik
oleh perawat dan juga memberikan penjelasan bahwa penyakit TB dapat
disembuhkan dengan pengobatan yang rutin sesuai program tanpa putus (Prasetya,
2020)
8

Pada tahun 2020, diperkirakan ada 10 juta orang menderita TB baru di


seluruh dunia, dimana 5,9 juta (56%) diantaranya adalah pria, 3,3 juta (34%)
wanita dan 1,1juta (10%) adalah anak-anak (WHO, 2020). Pada Tahun 2020, 1,1
juta anak menderita TB di seluruh dunia.TB pada anak – anak dan remaja sering
kali diabaikan oleh tenaga Kesehatan dan bisa sulit di diagnosis dan diobati
( WHO,2020). Secara global,insiden TB menurun sebesar sekitar 2% per
tahun,dan antara tahun 2015 dan 2020,terjadi penurunan kumulatif sebesar
11%.Angka ini melebihi sasaran End TB Strategi mengakhiri TB ) yaitu
penurunan sebesar 20% antara tahun 2015 dan 2020.Pada tahun 2020,30 negara
dengan beban TB yang paling tinggi menyumbangkan 86% kasus TB baru.dua
pertiga jumlah ini berasal dari delapan negara, dengan india penyumbang terbesar
diikuti tiongkok,Indonesia,filipina,Pakistan,Nigeria,Bangladesh dan afrika
selatan,hingga 1,5 juta orang meninggal akibat tuberculosis (TB ) pada tahun
2020 ( termasuk 214.000 orang dengan HIV ).TB adalah penyebab kematian
terbesar ke -13 di dunia dan penyakit menular penyebab kematian terbesar kedua
setelah COVID 19 ( di atas HIV/AIDS ).orang-orang yang terinfeksi HIV 18 kali
lipat lebih mungkin mengalami TB aktif,resiko TB aktif juga lebih tinggi pada
orang-orang yang menderita kondisi-kondisi lain yang menganggu system
kekebalan.
Data lainnya juga setelah dilakukan survey data dihimpun dari Rumah
Sakit Umum Royal Prima, yaitu salah satu dari sekian layanan kesehatan di kota
Jambi milik swasta. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Royal Prima Kota
Jambi mendapatkan data kasus TB paru dilihat dari pasien rawat jalan dan rawat
inap dengan kasus TB paru baru dan TB paru berulang pada tahun 2020 sebanyak
22 orang, pada tahun 2021 sebanyak 14 orang dan pada tahun 2022 pasien rawat
jalan dan rawat inap yang berobat di RS Royal Prima Jambi dengan hasil TCM
Positif dilihat dari laboratprium dari bulan januari sampai April sebanyak 44
orang yang TB paru positif. Dan dari 44 orang yang hasil TCM positif hanya 21
orang yang diobati di RSU Royal Prima Jambi.,Peran perawat sebagai educator
dan motivator yang berperan membantu pasien meningkatkan kesehatannya
melalui pemberian pengetahuan tentang pengetahuan tentang perawatan dan
9

Tindakan medis terhadap pengobatan penyakit TB paru.Oleh karena itu, maka


perlu adanya penelitian mengenai ” “Hubungan peran perawat erhadap kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB”

1.2 Masalah Penelitian


Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya”Adakah hubungan
peran perawat terhadap kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien TB
di RSU Royal prima Jambi Tahun 2022“

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan peran perawat terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada pasien TB di RSU Royal Prima Jambi Tahun 2022.

1.3.2 Tujuan khusus


1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi peran perawat terhadap
kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien TB Paru di
RSU Royal Prima Jambi Tahun 2022
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan minum obat
Tuberculosis pada pasien TB Paru di RSU Royal Prima Jambi
Tahun 2022.
3. Untuk mengetahui hubungan peran perawat terahadap kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB di RSU Royal
Prima Jambi Tahun 2022

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi pasien
Memberikan informasi bagi pasien tentang hubungan pengetahuan
dan motivasi dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien
TB sehingga pasien menjadi tahu,paham dan dapat menjalankan minum
obat anti tuberculosis secara rutin.

1.4.2 Bagi peneliti


10

Sebagai bahan masukan dan pengalaman dalam menambah


wawasan di bidang penelitian keperawatan medical bedah khususnya
kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien TB

1.4.3 Bagi Rumah Sakit


Sebagai bahan pertimbangan oleh petugas tim medis dalam tim TB
DOTS dalam upaya peningkatan angka kesembuhan khusnya dalam
kepatuhan minum obat anti tuberculosis pada pasien TB RSU Royal prima
Jambi

1.4.4 Bagi peneliti selanjutnya


Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi
bahan referensi tambahan untuk pengembangan penelitian selanjutnya
khususnya tentang hubungan peran perawat terhadap kepatuhan minum
obat anti tuberculosis pada pasien TB di RSU royal prima jambi
1 .4.5 Ruang lingkup selanjutnya
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan
pendekatan cross-sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada
pengukuran data variabel independent dan dependent hanya sekali
sesaat.untuk mengetahui hubungan Peran Perawat terhadap kepatuhan
minum obat anti tuberculosis pada pasien TB.adapun metode pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling adalah dimana semua
populasi dijadikan sampel yakni pasien TB paru yang di rawat jalan
dengan kasus baru ataupun pasien kasus lama dan pasien TB paru dengan
indikasi penyakit lain.,populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 45
orang dengan jumlah sampel 21 orang dengan kriteria yaitu pasien yang
melakukan pengobatan di RSU Royal Prima Jambi, Hasil penelitian
dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji analisis
uji Kalmogorof Smirnow,hasil diketahui data berdistribusi normal,maka
digunakan uji Pearson Product Moment dengan nilai p value ˂ 0.05.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2022.
11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Tuberkulosis

1. Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.Tuberculosis bisa

menyerang semua bagian tubuh.(Puspasari,2019).Tuberculosis

adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

Mycobacterium Tuberculosis.Sebagian besar kuman TB menyerang

paru-paru,tetapi dapat juga mengenai organ tubuh

lainnya(Sofro,dkk,2018). Tuberculosis adalah penyakit infeksius

kronik dan berulang biasanya mengenai organ paru yang disebabkan

oleh Mycobacterium Tuberculosis (Lemone,burke, &

Baukloff,2016).

Tuberculosis atau TB atau TBC adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri

masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang baik

terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah dan

menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh


12

sebab itu infeksi TBC dapat menginfeksi hamper seluruh organ

tubuh seperti paru-paru, saluran pencernaan, tulang,

otak,ginjal,kelenjar getah bening dan lain-lain namun organ tubuh

yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Sinta,2015).

2. Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.

Bakteri tersebut mempunyai ukuran panjang 0,5 – 4 mikron dan

tebal 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak

bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi

mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama

asam mikolat) dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA)

(Widoyono, 2008).

Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe

human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang

menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada

di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita

tuberkulosis dan orang yang rentan terinfeksi tuberkulosis bila

menghirup bercak ini.

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama

5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan

dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan

selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap

(bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar matahari


13

(Gillespie & Bamford, 2009).

3. Klasifikasi

Menurut American Thoracic Society (1981) dalam Padila

(2013), tuberkulosis diklasifikasikan menjadi beberapa kategori,

diantaranya:

a. Kategori 0

Tidak pernah terpapar/terinfeksi, riwayat kontak negatif, hasil

tes tuberkulin negatif, tidak menderita TB.

b. Kategori 1

Terpapar kuman TB tetapi tidak terbukti adanya infeksi, riwayat

kontak negatif, tes tuberkulin negatif.

c. Kategori 2

Terinfeksi kuman TB, tes tuberkulin positif, tetapi tidak

menderita TB. Tidak ada gejala TB, hasil pemeriksaan radiologi

dan sputum negatif.

d. Kategori 3

Terinfeksi kuman TB dan hasil pemeriksaan putum positif.

4. Patofisiologi

Infeksi awal disebabkan karena seseorang menghirup bakteri

Mycobacterium tuberculosis melalui jalan napas menuju ke alveoli dan

mealukan proses perkembangbiakan (Irman Somantri, 2007).

Pada suatu titik bakteri akan melakukan implantasi juga akan

melakukan proses penggndaan diri atau yang sering diebut dengan


14

istilah multiplying. Dalam proses ini akan menghasilkan lesi primer

atau fokus ghon. Setelah terinfeksi dan menghasilkan fokus ghon,

infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu

prcabangan bronkus, saluran limfe, dan aliran darah menuju ke tulang,

ginjal dan otak. Jika pertahanan tubuh dari penderita kuat, maka infeksi

tidak akan menyebar tetapi bakteri bakteri tersebut akan tertidur atau

menjadi dorman dan akan aktif kembali ketika daya tahan tubuh

penderita melemah (Muttaqin, 2008).

Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.

Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit

spesifik tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan

normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam

alveoli yang menyebabkan terjadinya penebalan membran alveolar

kapiler dan kolaps pada alveoli sehingga menyebabkan terjadinya

gangguan pertukaran gas (Smeltzer & Bare, 2016).

Pada saat terjadi infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis,

maka proses inflamasi yang terjadi pada rongga alveoli akan

menyebabkan rongga alveoli menghasilkan banyak sputum yang

menyebabkan konsolidasi paru dan akan berdampak pada proses difusi

dan juga pertukaran gas yang tidak maksimal. Akibat adanya gangguan

tersebut, maka akan muncul masalah keperawatan

Gangguan Pertukaran Gas. Saat terjadi gangguan pertukaran gas

maka suplai oksigen ke seluruh tubuh juga akan mengalami penurunan,


15

hal ini akan ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi pernapasan,

penurunan satur asi oksigen, sianosis pada bibir dan Clubbing finger

(Irman Somantri, 2007).

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke

seluruh tubuh melalui berbagai jalan, salah satunya adalah melalui

percabangan bronkus, penyebaran infeksi melalui percabangan bronkus

dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke area laring

yang dapat menyebabkan Ulserasi laring, kondisi ini akan

menyebabkan terjadinya sumbatan pada jalan napas akibat adanya

penumpukan sekret (Muttaqin, 2008).

5. Penatalaksanaan

a. Pengobatan

Kemenkes (2016) pengobatan TB bertujuan untuk

menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT).

Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang

akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini

pertama. Secara ringkas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini


16

pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut:

1) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam

bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) tunggal (monoterapi). Pemakaian Obat Anti

Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat,

dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly

Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO)

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap

intensif dan lanjutan.

b. Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu

2 minggu Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA


17

negatif (konversi) dalam 2 bulan.

c. Tahap Lanjutan

(1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

(2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

(3) Berdasarkan Kemenkes (2016) pengobatan tuberkulosis

paru penggunakan obat antituberkulosis (OAT) dengan

metode Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)

yaitu :

a) Kategori I (2 HZRE / 4 H3R3) untuk pasien TB

baru.

b) Kategori II (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3)

untuk pasien ulangan (pasien yang pengobatan

kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).

c) Kategori III (2 HRZ / 4 H3R3) untuk pasien

baru dengan BTA (-) negatif dan Ro (+) positif

d) Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan

bila pada pemeriksaan akhir tahap intensif dari

pengobatan dengan kategori I atau kategori II

ditemukan BTA (+) positif.

d. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini pertama dan

Peruntukannya Menurut Kemenkes (2016) ada beberapa


18

kategori paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan

peruntukannya, diantaranya :

1. Pasien baru TB BTA positif

2. Pasien TB BTA negatif foto toraks positif

3. Pasien TB ekstra paru

Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE) :

Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 56 kali. Regimen

ini disebut KOMBIPAK II.

(1)INH (H) : 300 mg – 1 tablet

(2)Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

(3)Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg

(4)Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg

Tahap lanjutan diberikan 3 kali dalam seminggu

selama 4 bulan (4 H3R3):

4. INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300 mg

5. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet

Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu

(intermiten) sebanyak 48 kali. Regimen ini

disebut KOMBIPAK III.

e. Kategori II (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


19

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini diberikan

untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:


20

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan Obat Anti

Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

untuk Kategori II

Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari Tahap Lanjutan 3

Berat RHZE (150/75/400/275) + S kali seminggu selama


Badan 16 minggu

RHZE

(150/75/400/275)

Selama 56 hari Selama 28 Selama 20 Minggu

Hari

2 tablet 4KDT + 2 tablet 2KDT + 2


30 – 37 kg 500 mg 2 tablet tablet

Streptomisin inj. 4KDT Etambutol

3 tablet 4KDT + 3 tablet 2KDT + 3


38 – 54 kg 750 mg 3 tablet tablet
Streptomisin inj 4KDT Etambutol
.

4 tablet 4KDT + 4 tablet 2KDT + 4


55 – 70 kg 1000 mg 4 tablet tablet
Streptomisin inj. 4KDT Etambutol

Sumber : (Kemenkes, 2016a)


21

Tabel 2.6 Dosis paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak untuk Kategori

II

Tablet Table Tablet Etambutol Strept Jumlah


Tahap La Isoniasid t Pirazi Tabl Table om hari /
pengobat ma @ 300mg Rifam namid isin kali
et t@
an Pengo pisin @ injeks menela
@ 400 mg
batan @ 500m i n obat

450m g 250mg

g
Tahap

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0, 75 56

gr

(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28

harian)

Tahap

lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 -

(dosis 3 60

kali se-

minggu)

Sumber : (Kemenkes, 2016)

3 Kategori Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket

untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan


22

(28 hari).

Tabel 2.7 Dosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk Kategori Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE

(150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Tabel 2.8 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak Kategori Sisipan

Jumla

Tablet Kaplet Tablet Tablet h


Tahap Lama
Isonias Rifampis Pirazinam Etambut hari /
Pengobat Pengobat
id @ in @ 450 id @ 500 ol @ kali
an an
300 mg mg 250 mg menel

M an

g obat

Taha

p 1 Bulan 1 1 3 3 28

intens

if

(dosis
23

harian)

Sumber : (Kemenkes, 2016a)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk

paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk

satu pasien dalam satu masa pengobatan.

Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa

keuntungan dalam pengobatan TB yaitu :

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan

resep.

c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat

menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes,

2016a)

b. Pengobatan TB pada Anak (Kategori Anak 2RHZ / 4RH)

Menurut Kemenkes (2016), prinsip dasar pengobatan TB adalah

minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap

intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat

badan anak.
24

Tabel 2.9 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak pada Anak

Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 19 kg BB 20 – 32 kg

Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Sumber : (Kemenkes, 2016)

Tabel 2.10 Dosis Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

pada Anak

2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH


Berat Badan (kg)
(75/50/150) (75/50)

5–9 1 tablet 1 tablet

10 – 14 2 tablet 2 tablet

15 – 19 3 tablet 3 tablet

20 – 32 4 tablet 4 tablet

Sumber : (Kemenkes, 2016a) Keterangan :

1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah


sakit

2. Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberikan 3 tablet


3. Anak dengan BB >33 kg, dirujuk ke rumah sakit
25

4. Obat harus diberikan secara utuh, tiak boleh dibelah.

3. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS

Menurut Kemenkes (2016) penatalaksanaan pengobatan TB

pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) adalah sama seperti pasien

TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera,

sedangkan pengobatan atro retroviral (ARV) dimulai berdasarkan

stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari

pengobatan TB pada orang dengan HIV- AIDS (ODHA) adalah

apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan atro retroviral

(ARV) atau tidak.

Bila pasien tidak dalam pengobatan atro retroviral (ARV),

segera mulai pengobatan TB. Pemberian atro retroviral (ARV)

dilakukan dengan prinsip (Kemenkes, 2016a):

1. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan

untuk mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus

dimulai sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.

2. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB

dengan CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan atro

retroviral (ARV).

3. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan

ARV tanpa memandang nilai CD4.

Bila pasien sedang dalam pengobatan atro retroviral


26

(ARV), sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas

pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke

RS rujukan pengobatan ARV. dimulai ART bila tidak ada

alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I

kehamilan (risiko kelainan janin). Setelah pengobatan dengan

rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk memberikan

kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP

tidak diperlukan lead in dose. Jika seorang ibu hamil

trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB, paduan ART yang

mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan.

a. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat

Pengobatan TB resisten obat khususnya TB dengan

Multiple Direct Resistance (MDR) adalah sebagai

berikut :

1) 1Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT

yang masih efektif.

2) Jangan menggunakan obat yang kemungkinan

menimbulkan resistan silang (cross-resistance).

3) Membatasi pengunaan obat yang tidak aman.

4) Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara

hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT

golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan

khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan


27

dengan kondisi program.

5) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap

yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal

adalah tahap pemberian suntikan dengan lama

minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi

biakan.

6) Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan

setelah konversi biakan. Dikatakan konversi bila

hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan

jarak pemeriksaan 30 hari.

7) Pemberian obat selama periode pengobatan tahap

awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT =

Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO

diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader

kesehatan (Kemenkes, 2016a)

8) Pilihan paduan baku Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah

paduan standar (standardized treatment) yaitu : Km

- E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z – Cs.

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah

terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat

disesuaikan bila :

- Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah


28

resisten atau riwayat penggunaan sebelumnya

menunjukkan kemungkinan besar terjadinya

resistensi terhadap etambutol.

- Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis

pada : Pasien TB MDR yang diagnosis awal

menggunakan. Rapid test, kemudian hasil

konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi

yang berbeda.

- Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat

tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai

telah ada resistensi.

- Terjadi efek samping yang berat akibat salah

satu obat yang dapat diidentifikasi

penyebabnya.

- Terjadi perburukan klinis.

b. Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus


Menurut Kemenkes (2016) penobatan tuberkulosis
pada keadaan khusus, diantaranya :
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada
kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Hampir semua Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) aman untuk kehamilan,
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat
dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier
29

plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu

menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada

umumnya. Semua jenis Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu

menyusui yang menderita TB harus mendapat

paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara

adekuat. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah

penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi

tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus

disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH

diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat

badannya.

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi

hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB)


30

sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi

tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya

mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau

kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis

tinggi (50 mcg).

4) Pasien TB dengan hepatitis akut

Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau

klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya

mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana

pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan

streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3

bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan

dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid

(H) selama 6 bulan.

5) Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati,

dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum

pengobatan Tb. Jika SGOT dan SGPT

meningkat lebih dari 3 kali Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) tidak diberikan dan bila telah

dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau

peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan


31

dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan

pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,

Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dapat

dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

6) Pasien TB dengan gagal ginjal

Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan

Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu

dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang

tidak toksik. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jenis

ini dapat diberikan dengan dosis standar pada

pasien-pasien dengan gangguan ginjal.

Streptomisin dan Etambutol diekskresi

melalui ginjal, oleh karena itu hindari

penggunaannya pada pasien dengan gangguan

ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal

tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat

diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang

paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal

adalah 2HRZ / 4HR.

7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus

Diabetes harus dikontrol. Penggunaan


32

Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral

anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat

anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat

digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah

selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti

diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus

sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,

oleh karena itu hati-hati dengan pemberian

etambutol, karena dapat memperberat kelainan

tersebut.

8) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan

kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada

keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien

seperti: Meningitis TB, TB milier dengan atau tanpa

meningitis, TB dengan pleuritis eksudativa, TB

dengan perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan

dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian

diturunkan secara bertahap. Lama pemberian

disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan

pengobatan.
33

2.2.1 Perawat

2.2.2 Defenisi perawat


Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem.

Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar

dan bersifat stabil (Kusnanto, 2009). Jadi peran perawat adalah suatu

cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik, yang telah

menyelesaikan pendidikan formalnya, diakui dan diberikan

kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung

jawab keperawatan secara profesional sesuai dengan kode etik

profesinya. Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran

sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola,

dan peran sebagai peneliti (Asmadi, 2008). Dalam melaksanakan

asuhan keperawatan, perawat mempunyai peran dan fungsi sebagai

perawat diantaranya pemberi perawatan, sebagai advokat keluarga,

pencegahan penyakit, pendidikan, konseling, kolaborasi, pengambil

keputusan etik dan peneliti (Hidayat, 2012).

2.2.3 Peran perawat

Perawat memiliki peran yang diartikan sebagai tingkah laku

atau gerak gerik yang diharapkan oleh orang lain sesuai dengan

kedudukannya dalam system yang dipengaruhi oleh keadaan sosila di

dalam maupun diluar profesi perawat yang bersifat konstan ( Potter &

Perry.2010).Peran perawat tidak hanya menilai kepatuhan klien pada


34

pengobatan tapi juga harus mampu menangani ketidakpatuhan bila

terjadi ( Hopewell,2010 ), peran penting inilah yang diharapkan

mampu meningkatkan kemampuan klien dan keluarga

( Dermawan,2012 ).

1) Pemberian perawatan (Care Giver)

Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan

keperawatan, sebagai perawat, pemberian pelayanan keperawatan

dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan asah, asih dan asuh.

Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi tindakan yang

membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap

memelihara martabat klien. Tindakan keperawatan yang

dibutuhkan dapat berupa asuhan total, asuhan parsial bagi pasien

dengan tingkat ketergantungan sebagian dan perawatan suportif-

edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010).

Perencanaan keperawatan yang efektif pada pasien yang dirawat

haruslah berdasarkan pada identifikasi kebutuhan pasien dan

keluarga.

2) Sebagai advocat keluarga

Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat

juga mampu sebagai advocat keluarga sebagai pembela keluarga

dalam beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai

klien. Dalam peran ini, perawat dapat mewakili kebutuhan dan


35

harapan klien kepada profesional kesehatan lain, seperti

menyampaikan keinginan klien mengenai informasi tentang

penyakitnya yang diketahu oleh dokter. Perawat juga membantu

klien mendapatkan hak-haknya dan membantu pasien

menyampaikan keinginan (Berman, 2010).

3) Sebagai pendidik (educator)

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien,

perawat harus mampu berperan sebagai pendidik, sebab beberapa

pesan dan cara mengubah perilaku pada pasien atau keluarga

harus selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan khususnya

dalam keperawatan. Melalui pendidikan ini diupayakan pasien

tidak lagi mengalami gangguan yang sama dan dapat mengubah

perilaku yang tidak sehat. Contoh dari peran perawat sebagai

pendidik yaitu keseluruhan tujuan penyuluhan pasien dan

keluaraga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan

keluarga, mengajarkan mereka

tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah sakit, dan

memastikan keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di

rumah saat pulang (Kyle & Carman, 2015).

4) Sebagai konsultan (consultan)

Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan

peranya dengan memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap

masalah yang dialami oleh pasien maupun keluarga, berbagai


36

masalah tersebut diharapkan mampu diatasi dengan cepat dan

diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat,

keluarga maupun pasien itu sendiri. Konseling melibatkan

pemberian dukungan emosi, intelektual dan psikologis. Dalam hal

ini perawat memberikan konsultasi terutama kepada individu

sehat dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal dan fokus

dalam membuat individu tersebut untuk mengembangkan sikap,

perasaan dan perilaku baru dengan cara mendorong klien untuk

mencari perilaku alternatif, mengenai pilihan-pilihan yang

tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian diri (Berman,

2010).

5) Sebagai peneliti (researcher)


Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh

semua perawat pasien. Sebagai peneliti perawat harus

melakukan kajian-kajian keperawatan pasien, yang dapat

dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan.

Peran perawat sebagai peneliti dapat dilakukan dalam

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pasien (Hidayat,

2012).

Menurut Puspita (2014) peran perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan secara komprehensif sebagai upaya

memberikan kenyamanan dan kepuasan pada pasien, meliputi:

1) Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat,

menghargai orang lain, artinya memberi perhatian dan


37

mempelajari kesukaan- kesukaan seseorang dan bagaimana

seseorang berpikir dan bertindak.

2) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan

ilmu atau berdiskusi dengan pasiennya.

3) Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi

seorang perawat untuk meningkatkan rasa nyaman

pasien.Crying

4) artinya perawat dapat menerima respon emosional baik dari

pasien maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa

disaat senang ataupun duka.

5) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun

psikologis merupakan komunikasi simpatis yang memiliki

makna.

6) Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan

keperawatannya.

7) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang

lain memiliki hasrat dan kemampuan untuk selalu

meningkatkan derajat kesehatannya.

8) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan

diri dan keterampilannya.

9) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan

penghargaan terhadap orang lain dengan menjaga

kerahasiaan pasien kepada yang tidak berhak mengetahuinya.


38

10) Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.

11) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan

memahami perasaan duka , senang, frustasi dan rasa puas

pasien.

2.2.1 Pengawas Minum Obat ( PMO )

Menurut Depkes RI ( 2004 ) pengawas minum obat (PMO ) adalah

seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau

penderita tuberculosis dalam meminum obatnya secara teraturdan

tuntas.PMO bisa berasal dari keluarga,tetangga,kader atau tokoh

masyarakat atau petugas Kesehatan.Pengawas Minum Obata (PMO )

merupakan kegiatan yang dilakukan menjamin kepatuhan penderita untuk

minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal seperti yang telah ditetapkan.

2.2.2 Persyaratan Pengawas Minum Obat ( PMO )

1. Seseorang yang dikenal,dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

Kesehatan maupun pasien selain itu harus disegani dan dihormati

oleh pasien

2. Seeorang yang dekat dengan pasien

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan Bersama-sama


39

dengan pasien

2.2.3 Tugas Seorang PMO menurut Setiadi (2008 )

1. Mengawasi pasien Tuberculosis paru agar menelan obat secara

teratur sampai selesai pengobatan

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberculosis

paru yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan tuberculosis

paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan

2.3.1Konsep Kepatuhan

2.3.2 Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2020 ) kepatuhan

berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut perintah, taat pada

perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan

berdisiplin. Fatimah ( 2012 ) menjelaskan kepatuhan merupakan tingkat

perilaku pasien yang tertuju pada instruksi atau prosedur dari dokter

dalam bentuk terapi, baik diet, Latihan, penggunaan obat, yang

sebelumnya didahului oleh janji pertemuan antara pasien dan atau

keluarga pasien dengan dokter sebagai penyedia jasa medis.

2.3.3 pengukuran tingkat kepatuhan

Factor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan

pasien penderita TBC yaitu peran aktif pasien yang mempengaruhi


40

tingkat kepatuhan dalam menjalankan pengobatan dalam hal ini

meminum obat TBC secara rutin serta kesediaanya untuk

memeriksakan kesehatannya Kembali ke dokter sesuai dengan jadwal

yang telah ditentukan ( Toulasik 2019 ).

Cara untuk mengukur kepatuhan penggunaan obat terdiri dari 2

metode yaitu metode langsung dan tidak langsung.masing-masing

metode memiliki keuntungan dan kerugian dan tidak ada metode yang

menjadi standar baku ( Osterberg dan Blaschke,2005 ).

Tabel 2.12 Metode pengukuran kepatuhan penggunaan

obat

Pengukura Keuntungan Kerugian


n
Langsung Paling akurat Pasien dapat
Observasi menyembunyika
terapi n pil dalam
secara mulut kemudian
lansung membuangnya
Tidak Sederhana Rentan terhadap
langsung metode yang kesalahan
Kuesioner paling berguna dengan
dalam kenaikan waktu
penentuan antara
klinis kunjungan;
hasilnya mudah
terdistorsi oleh
pasien
Menghitun Obyektif,muda Data mudah
41

g jumlah h dilakukan diubah oleh


obat pasien
Buku Membantu Mudah dirubah
harian memperbaiki oleh pasien
pasien ingatan yang
lemah
Kecepatan Obyektif ,mud Resep yang
menebus ah untuk diambil tidak
resep memperoleh sama dengan
Kembali data obat yang
dikonsumsi

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti

tuberkulosis (OAT)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erni Erawayningsih, dkk

(2009) didapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

minum obat anti tuberkulosis meliputi: pendidikan, pengetahuan dan pendapatan

keluarga.

2.2.5 Perilaku kesehatan bedasarkan teori Lawrence W. Green

Berdasarkan dari hasil analisis yang dilakukan oleh Lawrence Green

mengenai perilaku manusia dari tingkat kesehatan didapatkan hasil bahwa

kesehatan seseorang masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor

perilaku (behavior causes) dan faktor luar lingkungan (non behavior causes).

Untuk mencapai suatu perilaku kesehatan memerlukan pengelolaan manajemen

program melalui tahap pengkajian, perencanaan, intervensi sampai dengan

penilaian dan evaluasi.


42

Menurut Nursalam (2016) dalam program promosi kesehatan yang

diadaptasi dari konsep Lawrence Green dikenal adanya model pengkajian dan

penindaklanjutan (Precede-Proceed model). Dalam model ini mengkaji mengenai

masalah perilaku manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, selain itu

dalam model ini juga membahas mengenai cara menindaklanjutinya dengan

berusaha mengubah, memelihara atau meningkatkan perilaku tersebut ke arah

perilaku yang lebih baik atau lebih positif. Proses pengkajian dalam tahap preceed

dan proses penindaklanjutan dalam tahap proceed. Penerapan keempat proses di

bawah ini ke dalam model pengkajian dan penindaklanjutan adalah suatu program

untuk memperbaiki perilaku kesehatan.

1. Kualitas hidup, kualitas hidup dalam hal ini merupakan sasaran utama yang

ingin dicapai di bidang pembangunan sehingga kualitas hidup akan sejalan

dengan dengan tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan

maka akan semakin tinggi pula kualitas hidup yang mana kualitas hidup juga

salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat

kesehatan seseorang maka akan tinggi pula kualitas hidup seseorang tersebut.

2. Derajat kesehatan, merupakan sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang

kesehatan, adanya derajat kesehatan maka masalah kesehatan yang sedang

dihadapi akan tergambarkan. Faktor yang paling besar yang mempengaruhi

hal ini adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.

3. Faktor lingkungan, adalah berupa faktor fisik, biologis, dan sosial budaya

yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi derajat kesehatan.

4. Faktor perilaku dan gaya hidup, adalah faktor yang terjadi karena adanya aksi
43

dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor

perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan gaya hidup

merupakan suatu pola kebiasaan dari seseorang atau sekelompok orang yang

dilakukan karena jenis pekerjaannya mengikuti tren yang berlaku atau untuk

meniru tokoh idolanya. Perilaku itu sendiri terbentuk atau ditentukan oleh

tiga faktor, ketiga

yang mempengaruhi kesehatan menurut Lawrence Green

1. Faktor predisposisi (predisposising factor), adalah faktor internal yang

berasal dari diri individu itu sendiri, keluarga, kelompok atau

masyarakat yang memberikan efek individu untuk untuk berperilaku

yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-

nilai, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factor), merupakan faktor yang terwujud

dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya faslitas dan sarana

kesehatan.

3. Faktor pendorong (reinforcing factor), yaitu faktor yang menguatkan

suatu perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas

kesehatan, teman sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok referensi

dari perilaku masyarakat.

Ketiga faktor penyebab tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor penyuluhan

dan faktor kebijakan, peraturan serta organisasi. Semua faktor-faktor tersebut

merupakan ruang lingkup promosi kesehatan.

Faktor lingkungan adalah segala faktor baik fisik, biologis, maupun


44

sosial budaya yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi derajat

kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan

sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu,

ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap

kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.


45

2.5.2 Kualitas Hidup

Menurut Adam, (2006) yang dikutip oleh Nursalam (2016)

kualitas hidup (Quality of life) merupakan konsep analisis

kemampuan mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi

secara individu mengenai tujuan, harapan, standar, dan perhatian

secara spesifik terhadap kehidupan yang dalami dengan dipengaruhi

oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut berada.

Kualitas hidup (Quality of life) digunakan dalam bidang pelayanan

kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial,

dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kegiatan dalam

kehidupan secara normal dan dampak sakit dapat berpontensi untuk

menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan (Brooks & Anderson,

2007) dalam (Nursalam, 2016).

Pembahasan kualitas hidup menjadi semakin penting bagi dunia

kesehatan, terkait kompleksitas hubungan biaya dan nilai dari pelayanan

perawatan kesehatan yang didapatkan. Institusi pemberi pelayanan kesehatan

diharapkan dapat membuat kebijakan ekonomi sebagai perantara yang

menghubungkan antara kebutuhan dengan perawatan kesehatan (Brooks &

Anderson, 2007) dalam (Nursalam, 2016).

Kualitas hidup yang menggambarkan kelompok pasien atau daerah juga

relevan di dalam penilaian kebutuhan kesehatan populasi. Indikator kesehatan

secara konvensional tidak memasukan analisis mengenai keadaan yang tidak

sehat atau distorsi oleh permintaan klinis dan faktor persediaan. Evaluasi

efektivitas dan penilaian kebutuhan kesehatan sering diperlukan memotong area


46

program dan perawatan yang luas, terkait dengan alokasi sumber daya (Brooks &

Anderson, 2007) dalam (Nursalam, 2016).

Kualitas hidup memiliki maksud sebagai usaha untuk membawa

penilaian memperoleh kesehatan. Berdasarkan klinis, kualitas hidup telah

menjadi pokok bahasan sehubungan dengan penggunaan instrument terkait

keadaan kesehatan yang mengukur kepuasan pasien dan manfaat fisiologis. Suatu

konsep total kesehatan manusia menggabungkan keduanya yakni faktor fisik dan

mental.

Kualitas instrumen kehidupan seperti usaha pengaturan untuk

meningkatkan pada pengukuran klinis sederhana yang sulit untuk mencerminkan

kualitas kehidupan, akibat yang merugikan dari perawatan kesehatan yang di

dapatkan, gaya hidup pasien tertentu yang mungkin perlu penyesuaian dan

pembatasan terkait dengan kondisi kesehatan yang ada.

Kualitas hidup terkait kesehatan yang terdahulu, memiliki konsep untuk

mengetahui situasi individu secara aktual yang dihubungkan dengan harapan

individu tersebut mengenai kesehatannya. Pemakaian konsep yang terdahulu,

memiliki variasi hasil jawaban yang tinggi, dan bersifat reaktif terhadap pengaruh

eksternal terhadap lama menderita penyakit dan dukungan sekitar (Beaudoin &

Edgar, 2003) dalam (Nursalam, 2016).

Kualitas hidup dengan konsep yang saat ini digunakan secara umum,

merupakan analisis dari hasil kuesioner yang dilakukan pada pasien, yang

bersifat multidimensi dan mencakup keadaan secara fisik, sosial, emosional,

kognitif, hubungan dengan peran atau pekerjaan yang dijalani, dan aspek spiritual

yang dikaitkan dengan variasi gejala penyakit, terpai yang didapatkan, beserta
47

dampak serta kondisi medis, dan dampak secara finalsial (John er al, 2004).
48

50

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Kerangka Konseptual

Faktor Predisposisi
(Predisposing factors) :
Sikap
Kepercayaan dan
keyakinan
Pengetahuan

Faktor pendukung
(Enabling factors) :
Ketersediaan fasilitas Perilaku spesifik
dan sarana kesehatan individu:
Terjangkaunya sarana Kepatuhan
kesehatan
3. Motivasi
Sehat

Faktor pendorong (Enabling


factors) :
Peran Petugas Kesehatan
Pemberian perawatan (Care
Giver)
Sebagai advokat pasien (client
advocate)
Sebagai pendidik (educator)
Sebagai konsultan (consultan)
Sebagai peneliti (researcher)
Peran Keluarga
Peran Masyarakat (5)

Bagan 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian. Faktor yang


mempengaruhi perilaku kesehatan (Green dan Kreuter,

.
49

1991)
Penjelasan Kerangka Konseptual

Perilaku spesifik individu (kepatuhan) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor

predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Dalam penelitian ini faktor

predisposi yang mempengaruhi kepatuhan meliputi sikap, kepercayan, keyakinan dan

pengetahuan. Faktor pendukung yang dapat memberikan pengaruh pada kepatuhan adalah

ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan, terjangkaunya sarana kesehatan dan motivasi.

Sedangkan faktor pendukungnya meliputi keluarga, petugas kesehatan dan

masyarakat.

Pengaruh dari ketiga faktor tersebut akan memberikan dampak pada perilaku

spesifik individu (kepatuhan). Dari ketiga faktor tersebut petugas Kesehatan merupakan

salah satu factor pendorong perilaku spesifik terhadap kepatuhan pasien untuk minum

obat ,petugas Kesehatan disini yang akan diteliti hubungannya dengan kepatuhan.

3.2 Hipotesis

1. Ada hubungan antara peran perawat dengan kepatuhan minum obat anti

tuberkulosis (OAT).

.
50

BAB III
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan rancangan pendekatan

cross Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada pengukuran data variable

independent dan dependent hanya sekali dalam sesaat (Nurassalam,2015).

4.2 Populasi,Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau subyek dengan karakteristik tertentu yang akan

diteliti (Nurassalam,2015). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB

paru baru dan TB paru ulangan di RSU Royal prima Jambi yang berjumlah 21 orang

2. Sampel

Sampel adalah populasi yang akan diteliti atau Sebagian jumlah karakteristik yang

diteliti yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2015). Sampel dalam penelitian ini

adalah semua pasien TB paru baru dan pasien TB paru ulangan yang berobat RSU

Royal Prima Jambi yang berjumlah 21 orang

3. Tehnik Sampling

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling atau sampel

jenuh dimana semua populasi dijadikan sampel (Sugiyono,2015)

4. Kriteria inklusi

a. Penderita Tb paru yang melakukan pengobatan di RS Royal Prima

b. Mampu berkomunikasi baik secara lisan dan tertulis

c. Usia 18-65 tahun

5. Kriteria Ekslusi

.
51

a. Pasien yang disarankan untuk perawatan ( rawat inap )Tidak berse dia menjadi

responden

b. Baru pertama kali melakukan pengobatan

4.4. Identifikasi dan Defenisi Operasional Variabel

4.4.1 Identifikasi Variabel

Variable dalam penelitian ini terdiri dari dua variable yaitu variable

independent ( variable bebas ) dalam hal in adalah peran perawat yang berfokus

terhadap edukasi dan promotor selain itu variable dependent ( variable terikat )

dalam hal ini adalah kepatuhan minum obat.

4.4.2 Definisi Operasional variable

Defenisi operasional bertujuan untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variable-variabel yang diamati/diteliti (Notoatmodjo,2010 ).Definisi

operasional juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variable-variabel yang bersangkutan serta pengembangan

instrument ( Notoatmodjo,2010).

Tabel …. Definisi Operasional variable

Variable Definisi operasional Alat ukur dan Hasil ukur skala


cara ukur
Edukasi Perawat Quisione Dari total pertanyaan Numeri
dan sebagai r dengan skor 130 dan k
promot educator nilai terendah 10.
or (pendidik Untuk menjelaskan
kesehat dan deskriptif maka
an promosi dikategorikan data
Kesehatan sebagai berikut :

.
52

bagi skor nilai > 78 peran


klien,kelua pearawat mendukung
rga dan dalam kepatuhan
masyarakat minum obat, skor <
52 peran perawat
tidak mendukung
dalam kepatuhan
minum obat
Kepatuh Persepsi Kuesione Kepatuh Ordinal
an pasien TB r an
paru kepatuha tinggi :
dewasa n 8
dalam berdasar Kepatuh
meminum kan an
obat secara Morisky sedang :
rutin sesuai medicati 6- ˂ 8
dengan on Kepatuh
terapi adherenc an
pengobatan e scale rendah :
berdasarka (MMAS- 0- ˂ 6
n morisky 8), cara
medication ukur
Adherence dengan
Scale cara
(MMAS-8) wawanca
ra dan
pembagi
an
kuesione
r

.
53

.
54

1.1. Metode

Pengumpulan Data

1. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang

diperoleh secara langsung pada saat penelitian dengan mengggunakan

kuesioner identitas dan lembar observasi untuk melihat adanya peran

perawat dalam kepatuhan minum obat anti tuberculosis. Dan data

sekunder diperoleh dari penelitian sebelumnya, buku register, rekam

medis dan buku pengambilan obat di instalasi farmasi RSU Royal

Prima Jambi.

2. Alat pengumpulan data

a. Alat pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, yaitu peneliti

mengumpulkan data formal pada responden untuk menjawab

pertanyaan pada lembar kuesioner yaitu identitas responden.

b. Kuesioner dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1) Kuesioner yang berisi pertanyaan untuk mendapatkan data

identitas pasien mengenai nama pasien, umur, tempat tanggal

lahir, alamat pasien dan tanggal berobat

2) Alat pengumpulan data dilakukan dengan lembar observasi,

yaitu peneliti yang dibantu asisten untuk melihat peran perawat

dalam kepatuhan pasien dalam minum obat anti tuberculosis

dengan pilihan jawaban ya: 1, tidak : 0.

.
55

3. Lembar observasi tentang peran perawat terhadap kepatuhan minum

obat anti tuberculosis pada pasien TBC 10 pernyataan yang terdiri atas

penyataan positif nomor1,2,3,4,6,7,8,9, 10 skor penilaian :

a. Jawaban ya : 1

b. Jawaban tidak : 0

3.5. Metode

Pengolahan dan Analisa Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa lembar observasi yang terdiri dari

pernyataan terbuka dan check list yang dibuat sendiri oleh peneliti

berdasarkan kriteria pasien TBC

2. Pengolahan Data

Agar dalam penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada empat

langkah langkah yang harus dilalui, yaitu :

a. Editing Data

Meneliti setiap daftar pertanyaan yang sudah diisi, editing meliputi

kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari

setiap jawaban.

b. coding

Memberikan kode untuk memudahkan dan memberikan skor

( skoring ) terhadap item – item pertanyaan yang perlu diberi skor.

c. Entri Data

.
56

Memasukkan data ke komputer dengan menggunakan aplikasi

program SPSS ( statitiscal package for social science ).

d. Tabulating

Mengelompokkan data sesuai penelitian kemudian dimasukkan

dengan tabel yang sudah disiapkan. Setiap pertanyaan yang diberi

kategori sesuai dengan jumlah pertanyaan kuesioner.

3. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menganalisis variabel – variabel yang

ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi

berbentuk tabel yang meliputi peran perawat terhadap kepatuhan

minum obat anti tuberculosis pada pasien TBC

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mendapatkan gambaran hubungan

antara variabel bebas ( peran perawat) dan variabel dependent yaitu

kepatuhan minum obat anti tuberculosis. Sebelum dilakukan analisa

data, maka perlu diketahui apakah data berdistribusi normal dengan

menggunakan analisis menggunakan uji kalmogorof smirnow. Hasil

diketahui data berdistribusi normal, maka digunakan uji Pearson

Product Moment dengan nilai p value < 0,05. Pengujian

menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dengan program SPSS

( Notoadmojo, 2015 ).

.
57

3.6. Etika

Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti berusaha untuk memperhatikan

etika yang harus dipatuhi dalam pelaksanaannya, mengingat bahwa

penelitian keperawatan berhubungan dengan manusia. Adapun etika

penelitiann meliputi :

1. Informed consent ( Informasi untuk responden )

Peneliti memberikan penjelasan tentang maksud, tujuan, manfaat,

dan dampak dari tindakan, dan dijelskan bahwa keikutsertaan

didalam penelitian ini sifatnya sukarela. Setalah pasien telah

membaca lembar permohonan menjadi responden, kemudian

peneliti menyerahkan lembar persetujuan menjadi responden, pasien

memberikan tanda tangan dilembar persetujuan sebagai bukti

bersedia menjadi responden.

2. Anonimity ( Kerahasiaan )

Peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar kuesioner tapi

hanya memberikan kode sebagai nomor urut sebagai responden.

3. Confidentialty ( Kerahasiaan Informasi )

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik

informasi atau masalah – masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang akan dilaporkan pada hasil riset dan data yang sudah tidak dibutuhkan lagi

maka seluruh data dimusnahkan.

.
58

Anda mungkin juga menyukai