Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah suatu penyakit infeksi
menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang dapat
menyerang paru-paru tetapi bisa juga organ lainnya. (Kemenkes RI 2018).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh


Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 2018 diseluruh dunia kurang lebih 10,4
juta pasien terkena TBC dan 1,7 juta mengalami kematian akibat TBC lebih dari
95% kematian akibat TBC terjadi di negara penghasilan rendah dan menengah.
Pada tahun 2018 jumlah kasus TBC baru terbesar terjadi di Asia dengan 45%
kasus baru diikuti oleh Afrika dengan 25% kasus, dan 87% kasus TBC terjadi di
30 negara dengan beban TBC tinggi. 7 negara menyumbang 64% kaus TBC
baru, dengan India menempati peringkat pertama diikuti Cina, dan Indonesia lalu
Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Kemajuan global bergantung
pada kemajuan pencegahan dan perawatan TBC di negara- negara ini. (WHO,
2018)

Menurut World Healt rganization/ WHO Indonesia menempati peringkat ke3


dunia pengidap TBC yaitu mencapai (842.000 jiwa) setelah Negara india (2,7jt
jiwa) dan tiongkok (889.000 jiwa). Tuberculosis TBC merupakan salah satu
penyakit yang mematikan di Indonesia. Pada 2017, sebanyak 116 ribu jiwa
meninggal akibat penyakit TBC di Indonesia, termasuk 9.400 jiwa pengidap HIV
yang terjangkit TBC.. (WHO,2018)

Di Indonesia TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah


pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak setelah India dan cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. KNCV
2

Tuberkulosis foundation, 2018 menyatakan bahwa Tuberkulosis sampai saat ini


masih merupakan salah satu masalah kesehatan dunia (Pusdatin RI, 2017)

DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh petugas


kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien
TBC. Penanggulangan TBC dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi dimana WHO menargetkan angka kesembuhan minimal
85% dari penderita TBC BTA positif yang terdeteksi. Prinsip DOTS adalah
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas minum obat
(PMO) selama 6 bulan (Dirjen P2M & PLP,2018)

Keteraturan berobat anti tuberkulosis adalah mengkonsumsi obat-obatan yang


diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat, bertujuan menyembuhkan
pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya
kematian, mencegah terjadinya kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya penularan TB resisten obat. Pengobatan hanya akan efektif
apabila pasien mematuhi aturan dalam penggunaan obat. Keteraturan atau
kepatuhan berobat merupakan salah satu aspek adekuatnya pengobatan penderita
TB, selain pelayanan kesehatan dan ketepatan dosis yang juga merupakan aspek
adekuatnya pengobatan TBC. (Nizar. 2017).

Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TBC memerlukan jangka
yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulandengan demikian, apabila penderita meminum
obat secara tidak teratur atau tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya
kekebalan ganda, TBC terhadap obat Tuberkulosis, yang akhirnya untuk
pengobatannya penderita harus memerlukan biaya yang tinggi/mahal serta dalam
jangka waktu yang lebih lama. (Nizar. 2017).

Keberhasilan pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan


minum obat anti tuberculosis (OAT), Kepatuhan merupakan hal yang sangat
penting dalam perilaku hidup sehat. Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku
seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan
3

penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup


penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006). Meskipun kepatuhan
mengkonsumsi OAT merupakan kunci kesembuhan penyakit TB, masih banyak
penderita TB yang tidak patuh. Kepatuhan berobat penderita TB paru ditentukan
antara lain oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan
penyuluhan,penjelasan kepada penderita, kunjungan rumah, jarak rumah menuju
Puskesmas atau rumah sakit terdekat sertaketersediaan obat anti tuberkculosis
(OAT)(Salla, 2007).

Untuk mencapai keberhasilan pengobatan TBC, bukan semata-mata menjadi


tanggung jawab pasien, namun harus dilihat bagaimana faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perilaku seseorang dalam melengkapi pengobatannya dan
mematuhi pengobatan mereka. Banyak faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan terhadap terapi TBC, termasuk aksesibiltas pelayanan kesehatan baik
secara fisik dan nonfisik.( WHO, 2018).

Akses terhadap pelayanan adalah ketersediaan pelayanan kesehatan kapanpun


dan dimanapun masyarakat membutuhkan (salkever,1976). Konsep tentang
aksesibilitas berkaitan pemanfaatan fasilitas pelayanan yang disediakan
puskesmas. Konsep dasar tentang aksesibilitas seperti yang ditulis oleh
(salkever,1976) yaitu meliputi aksesibilitas fisik dan nonfisik, aksesibilitas fisik
meliputi bangunan, kendaraan, fasilitas-fasilitas lain yang dapat di akses,
sedangkan aksesibilitas nonfisik sifatnya lebih kepada layanan yang tidak bisa
dilihat tetapi dapat dirasakan. Hasil penelitian Restiyani et al., (2013)
menyatakan penyediaan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, dan menjadi
kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan dan
fasilitas layanan umum yang layak bagi setiap warga negara. Salah satu tanggung
jawab seluruh jajaran kesehatan adalah menjamin tersediannya pelayanan
kesehatan yang berkualitas, merata, dan terjangkau oleh setiap individu, keluarga
dan masyarakat luas.
4

Provinsi lampung termasuk dalam 10 besar kasus TBC di Indoesia yaitu


menempati peringkat ke9, pengidapnya mencapai 15.570 jiwa dengan presentase
kegagalan pengobatan mencapai 24,17%. (depkes 2018)

Sedangkan Kabupaten Lampung Timur menempati urutan ke 3 setelah Bandar


Lampung (1.871 per 100.000 penduduk) dan Lampung Selatan (1.164 per 100.00
penduduk) dalam hal kejadian TB di Provinsi Lampung. Prevalensi TBC di
Kabupaten Lampung Timur sebesar 991 kasus per 100.000 penduduk. Proporsi
kejadian TBC lebih

Berdasarkan hasil prasurvey pada tanggal 30 desember 2019 di Puskesmas


Labuhan Maringgai data yang didapat dari petugas kesehatan selaku penanggung
jawab penyakit TBC yaitu terdapat prevalensi dari tahun 2017-2019 sebanyak
425 kasus, 136 kasus pada tahun 2017, 145 kasus pada tahun 2018, dan 144 pada
tahun 2019.

Pada tahun 2017 jumlah pasien TBC yang harus menjalani pengobatan dari awal
akibat tidak teratur dalam berobat sebanyak 3 orang. Di tahun 2018 menjadi 7
orang atau mengalami peningkatan sebesar 57,14%. Hal ini menunjukan bahwa
jumlah pasien TBC yang harus mengulangi pengobatan dari awal setelah
menjalani pengobatan lebih dari 6 bulan ternyata belum sembuh, terus
mengalami peningkatan yang signifikan. Selanjutnya pada tahun 2019
menunjukan bahwa jumlah pasien TBC yang drop out adalah 7 orang.

Dari survei yang dilakukan pada tanggal 31 desember 2019 dengan cara
observasi dan wawancara dengan lima orang penderita TB paru yang gagal
menyelesaikan pengobatan di puskesmas labuhan maringgai, 5 orang
mengatakan tidak kembali tepat waktu karna pelayanan yang lama, petugas
kesehatan yang kurang ramah, ditambah lagi jarak rumah dan puskesmas yang
lumayan jauh, yaitu 3 orang dengan jarak rumah sejauh + 11 Km, 1 orang sejauh
8 Km dan seorang lagi sejauh 10 Km.. Hal yang menyebabkan kegagalan dalam
pengabatan adalah karena pelayanan yang lama serta masalah transportasi. Dari
5

tempat tinggalnya tidak ada kendaraan umum yang bisa dinaiki. Untuk datang ke
puskesmas harus diantar oleh anaknya sementara anaknya juga sudah bekerjan
sehingga sering harus menunggu anaknya libur baru bisa control ke puskesmas.
Hal ini menyebabkan terlambatnya obat yang dikonsumsi. Mengingat TB paru
merupakan penyakit yang menular sehingga kepatuhan dalam pengobatan TB
paru merupakan hal yang penting untuk dianalisis,

Sehingga berdasarkan fenomena yang dijelaskan diatas maka peneliti tertarik


melakukan penelitian dengan judul “Hubungan dimensi mutu pelayanan
kesehatan dengan keteraturan berobat penderita TBC di Puskesmas Labuhan
Maringgai Tahun 2018”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai


berikut: Penderita TBC BTA positif di Puskesmas Labuhan Maringgai tahun
2017-2019 sebanyak 425 pada tahun 2017 jumlah pasien TBC yang harus
menjalani pengobatan dari awal akibat tidak teratur dalam berobat sebanyak 3
orang tahun 2018 menjadi 7 orang atau mengalami peningkatan sebesar 57,14%.
2019 jumlah pasien TBC drop out adalah 7 orang. Hal ini menunjukan bahwa
jumlah pasien TBC yang harus mengulangi pengobatan dari awal setelah
menjalani pengobatan lebih dari 6 bulan ternyata belum sembuh, terus
mengalami peningkatan yang signifikan. Dari hasil survey pada tanggal 31
desember 2019 terhadap 5 pasien drop out, mengarakan bahwa alasan mereka
tidak kembali secara teratur karna pelayanan yang lama dan petugas kesehatan
kurang ramah serta jarak rumah ke puskesmas jauh serta minimnya alat
transportasi umum.

1.3 Rumusan Masalah


6

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah yaitu: “Apkah
ada pengaruh Aksesibilitas pelayanan kesehatan terhadap keterturan berobat
pasien TBC di Puskesmas Labuhan Maringgai tahun 2019?”

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu terdiri dari tujuan umum
dan tujuan khusus sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh Aksesibilitas pelayanan kesehatan terhadap


keterturan berobat pasien TBC di Puskesmas Labuhan Maringgai tahun
2019

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini :

a. Diketahui pengaruh jarak rumah-Puskesmas terhadap keteraturan


berobat pasien TBC Labuhan Maringgai pada tahun 2019
b. Diketahui pengaruh kehandalan terhadap keteraturan berobat pasien
TBC Puskesmas Labuhan Maringgai pada tahun 2019.
c. Diketahui pengaruh daya tanggap terhadap keteraturan berobat pasien
TBC Puskesmas Labuhan Maringgai pada tahun 2019.
d. Diketahui pengaruh jaminan terhadap keteraturan berobat pasien TBC
Puskesmas Labuhan Maringgai pada tahun 2019.
e. Diketahui pengaruh empati terhadap keteraturan berobat pasien TBC
Puskesmas Labuhan Maringgai pada tahun 2019.
f. Diketahui faktor paling dominan terhadap keteraturan berobat pasien
TBC Puskesmas Labuhan Maringgai pada tahun 2019.

1.5 Manfaat Penelitian


7

1.5.1 Manfaat teoritis


a) Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pemikiran secara
intelektualitas dibidang ilmu kesehatan masyarakat, serta dapat
meningkatkan kemampuan analisa ilmiah dalam mencermati fenomena-
fenomena pelaksanaan pelayanan kesehatan.

b) Bagi peneliti lain


Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan referensi atau titik tolak
tambahan bila diadakan penelitian lebih lanjut khususnya bagi peneliti lain
yang ingin mempelajari mengenai mutu pelayanan kesehatan.

1.5.2 Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi puskesmas


khususnya kepada petugas pemegang program TBC dalam menjalankan
tugas dan perannya secara efektif dan efisien demi terwujudnya bentuk
pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi dimasa mendatang serta dapat
memberikan informasi akurat berkaitan pelaksanaan pelayanan kesehatan
terutama kasus TBC. Dan sebagai sarana dalam menggembangakan ilmu
yang didapat selama pendidikan dengan mengaplikasian pada kenyataan
yang ada dilapangan baik di institusi pelayanan kesehatan maupun
dimasyarakat.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang
digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Subjek dalam
penelitian ini adalah pasien penderita TBC positif yang menjalani pengobatan
yang tercatat di Pusksmas Labuhan Maringgai. Objek penelitian ini adalah
pengaruh Aksesibilitas pelayanan kesehatan terhadap keterturan berobat pasien
8

TBC. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2020 di Puskesmas
Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

Anda mungkin juga menyukai