Anda di halaman 1dari 233

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN


BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DISERTASI

NAMA: TINTIN SUKARTINI


NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN
DEPOK
APRIL 2015

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN


BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DISERTASI

NAMA: TINTIN SUKARTINI


NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN
DEPOK
APRIL 2015

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN


BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING
DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU

Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar


Doktor Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia

NAMA: TINTIN SUKARTINI


NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN
DEPOK
APRIL 2015

ii

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI DISERTASI

PEMBIMBING DISERTASI

Promotor : Prof. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc

Ko-Promotor : Agung Waluyo, S.Kp., MSc, PhD

: Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

PENGUJI DISERTASI:

Penguji : Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS, Ph.D

: Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, Sp.P(K)

: Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp., M.Epid

: Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes

iii

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor
Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak, sangat sulit bagi
saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu
Keperawatan.
2. Rektor Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan.
3. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah
memberikan ijin dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan
4. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di
Program S3 Ilmu Keperawatan
5. Ketua Program Studi S3 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Indonesia telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan
6. Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp, M.App.Sc selaku Promotor yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyelesaikan disertasi ini;
7. Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dan Dr. Ede Surya Darmawan, SKM,
MDM selaku ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini;

vi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


8. Kusman Ibrahim, SKp, MNS, PhD selaku penguji dan konsultan pakar
yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan
saya dalam menyelesaikan disertasi ini;
9. Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, SpP(K) selaku penguji disertasi yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyelesaikan disertasi ini;
10. Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp, M.Epid selaku penguji disertasi yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyelesaikan disertasi ini;
11. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku penguji dan konsultan pakar yang
telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam menyelesaikan disertasi ini;
12. Suryani, S.Kp., M.H.Sc., Ph.D selaku konsultan pakar yang telah banyak
memberikan masukan dalam proses pengembangan model untuk disertasi.
13. Endro Sukmono, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya terdahulu
dan Nur Indah, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya dan
pembimbing klinik yang telah memberi arahan sehingga terlaksananya
penelitian.
14. Puji Rahayu, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Kepala Bidang Keperawatan
RS.Haji Surabaya dan staf poli paru Siti Kholifah, A.Md.Kep, Mat Sahari
A.Md.Kep, dan Rita, A.Md.Kep yang telah banyak membantu
memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian;
15. Wahyu Handayani, S.K.M selaku Kasie Litbang RS Haji Surabaya dan
staf: mbak Laras dan mbak Widi yang telah banyak membantu
memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian
16. Haryanto, S.Kep, Ns selaku Kasie. Litbang RS.Ibnu Sina Gresik, Nur Hadi
A.Md.Kep dan Mulyati A.Md.Kep selaku perawat poli paru RS. Ibnu Sina
Gresik yang telah banyak membantu memfasilitasi untuk terlaksananya
penelitian;
17. Dr. Muhit, S.Kep, Ns.,M.Kes selaku staf Ahli Bupati Gresik yang telah
membantu memfasilitasi penelitian ini.
vii

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


18. Kepala Badan perencanaan pembangunan, penelitian dan pengembangan
daerah kabupaten Gresik telah membantu memfasilitasi untuk
terlaksananya penelitian;
19. Orang tua, anak Nada Nur Zahra dan seluruh keluarga yang telah
memberikan bantuan material dan moral;
20. Teman-teman di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah
banyak memberikan dukungan moral
21. Teman-teman S3 Keperawatan Angkatan II Fakultas Ilmu Keperawatan
Universtas Indonesia yang telah banyak memberikan dukungan dalam
menyelesaikan proposal disertasi;
22. Staf Administrasi S3 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan;
23. Seluruh responden penelitian

Akhir kata saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.

Depok, 1 April 2015


Tintin Sukartini

viii

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


ABSTRAK

Nama : Tintin Sukartini


Program Studi : Program Doktor Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
Judul : Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis
Teori Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap
Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

.
Faktor utama penyebab kegagalan pengobatan TB paru adalah ketidakpatuhan
pasien. Perawat berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien melalui
proses interaksi. Berdasarkan hal ini maka perlu dikembangkan model intervensi
berbasis sistem interakasi untuk meningkatkan kepatuhan. Tujuan penelitian yaitu
menghasilkan model yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien TB paru berbasis
teori sistem interaksi King. Penelitian melalui dua tahap penelitian yaitu, tahap I:
Penelitian kualitatif dan pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King yang dihasilkan melalui penelitian kualitatif, studi
literatur dan konsultasi pakar; Tahap II: Validasi model dengan desain quasy
eksperimen dengan kelompok kontrol. Metode sampling yang digunakan adalah
consecutive sampling dengan sample sebanyak 50 pasien. Uji statistik
menggunakan uji chi square, independent t-test, Mancova dan GLM-RM. Hasil
didapatkan 1) Tahap I: diperoleh 12 tema kepatuhan dan model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi dengan 1 modul untuk pasien; 2) Tahap
II: terdapat perbedaan bermakna dalam pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan. Kesimpulan,
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti efektif
meningkatkan kepatuhan pasien TB paru. Rekomendasi: Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat diintegrasikan dalam clinical
pathway pada pasien TB paru di poli paru. Penelitian lebih lanjut mengenai
pengembangan model kepatuhan pada pasien TB paru yang memiliki keterbatasan
sistem interpersonal dengan keluarga yaitu pada pasien yang tidak memiliki
keluarga atau tinggal terpisah jauh dari keluarga.

Kata kunci: Model peningkatan kepatuhan, sistem interaksi King, kepatuhan.

ix Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


ABSTRACT

Name : Tintin Sukartini


Program : Doctoral Program of Nursing Science, Faculty of
Nursing Science, University of Indonesia
Title/Topic : Development Adherence Improvement Model Based on
King’s Interaction System Theory and The Effect on
TB Patient’s Adherence

The main factor cause the failure of Tuberculosis (TB) treatment was the patient’s
non-adherence. Nurses play an important role in improving patient’s adherence
through interaction nurse-patient. It is necessary to develop interaction model
based on interaction system theory to improve patient’s adherence. The purpose of
the study was to develop adherence improvement model based on King’s
inetraction system theory. This study was divided into 2 phase, Phase 1:
qualitative study and development adherence improvement model based on
King’s interaction system theory resulted from qualitative study, literature review
and expert consultation. Phase II: validation of the model by quasy experiment
design with control group. Sampling used in the study was consecutive sampling
to select 50 patients. Data were analyzed using chi square, independent t-test,
Mancova and GLM-RM. Result shows: Phase I: There were found 12 themes and
adherence improvement model based on King’s interaction system. Phase II:
There were significant different on knowledge, self efficacy, motivation,
prevention transmission, nutrition adherence and treatment adherence.
Conclusion, Adherence improvement model based on King’s interaction system
theory is effective on improving TB patient’s adherence. Development adherence
improvement model based on King’s interaction system theory can be integrated
into clinical pathway in TB patients. Further study on adherence improvement
model with limited interpersonal system, namely patient without family and
separated.

Key word: Adherence improvement model, King’s interaction system theory,


treatment adherence.

x Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii
ABSTRAK ......................................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii

BAB 1PENDAHULUAN .................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 9
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 11
1.3.1 Tujuan umum ....................................................................................... 11
1.3.2 Tujuan khusus ...................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 13


2.1 Tuberkulosis Paru ........................................................................................ 13
2.2 Teori Perilaku ............................................................................................... 26
2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Pencapaian
Tujuan dari King ........................................................................................... 45
2.4 Health Promotion Model Nola J.Pender ...................................................... 52
2.5 Model Partnership ....................................................................................... 59
2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model, Pender
dan Model Partnership ................................................................................. 69
2.7 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................ 71

BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN


DEFINISI OPERASIONAL................................................................. 74
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................................... 74
3.2 Hipotesis........................................................................................................ 76
3.3 Definisi Operasional...................................................................................... 77

BAB 4 METODE PENELITIAN ..................................................................... 80


4.1 Penelitian Tahap I: Penelitian Kualitatif ...................................................... 80
4.1.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 80
4.1.2 Partisipan Penelitian ................................................................................... 80
4.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 81
4.1.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 81
4.1.5 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 82
4.1.6 Alat Pengumpul Data ................................................................................. 83
4.1.7 Analisis....................................................................................................... 84
4.1.8 Penyusunan Model ..................................................................................... 84
4.2 Penelitian Tahap II : Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori
Sistem Interaksi King ......................................................................................... 85

xi Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


4.2.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 85
4.2.2 Populasi dan Sampel ................................................................................. 86
4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 87
4.2.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 87
4.2.5 Alat Pengumpul Data ................................................................................ 89
4.2.6 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 92
4.2.7 Analisis Data ............................................................................................. 92
4.2.8 Kerangka Kerja Penelitian ......................................................................... 94

BAB 5 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 95


5.1 Hasil Penelitian Tahap I ................................................................................ 95
5.1.1 Hasil Penelitian Kualitatif .......................................................................... 95
5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interakasi King .......................................................................................... 103
5.2 Hasil Penelitian Tahap II............................................................................... 110
5.2.1 Perbedaan Karakteristik Responden antar Kelompok................................ 110
5.2.2 Pengetahuan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model
Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 113
5.2.3 Self Efficacy Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model
Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 114
5.2.4 Motivasi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model
Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 116
5.2.5 Pencegahan Penularan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi
Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 117
5.2.6 Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi
Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 119
5.2.7 Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi
Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 122
5.2.8 Pengaruh Variabel Perancu terhadap Pengetahuan, Self Efficaccy,
Motivasi, Pencegahan Penularan dan Kepatuhan Nutrisi ......................... 123

BAB 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 125


6.1 Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................................ 125
6.1. 1 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap Pengetahuan Pasien TB paru ............................. 125
6.1. 2 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap Self Efficacy Pasien TB paru ............................. 129
6.1. 3 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap MotivasiPasien TB paru .................................... 132
6.1. 4 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap Pencegahan Penularan Pasien TB paru ............. 135

xii Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


6.1. 5 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru .................... 138
6.1. 6 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem
Interaksi King terhadap Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru ............ 141
6.1. 7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. .......................... 145
6.2 Implikasi Keperawatan.................................................................................. 147
6.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 148

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 150

7.1 Simpulan ....................................................................................................... 150


7.2 Saran .............................................................................................................. 152
7.2.1 Aplikatif ..................................................................................................... 152
7.2.2 Perkembangan Keilmuan ........................................................................... 153
7.2.3 Penelitian Selanjutnya ................................................................................ 153

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154

xiii Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat 44


Tabel 3.1 Definisi operasional variabel 77
Tabel 4.1 Hasil Uji coba instrumen 91
Tabel 5.1 Penyusunan model bedasarkan tema 104
Tabel 5.2 Karakterstik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol 110
(n=100)
Tabel 5.3 Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan 111
penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan
kelompok kontrol sebelum intervensi (n=100)
Tabel 5.4 Uji normalitas data 112
Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi 113
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(n=97)
Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model 114
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97)
Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model 116
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97)
Tabel 5.8 Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah 118
intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King (n=97)
Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi 120
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(n=97)
Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi 121
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
Tabel 5.11 Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol 122
(n=97)
Tabel 5.12 Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara 124
kelompok
Tabel 5.13 Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara 124
kelompok berdasarkan variabel

xiv Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Theory of reasoned action 28
Gambar 2.2 Theory of planned behaviour 28
Gambar 2.3 Sumber-sumber self efficacy dan proses pegubahannya 34
Gambar 2.4 Dynamic interacting system 48
Gambar 2.5 Proses human interaction yang menuntun pada transaksi: sebuah 49
model transaksi
Gambar 2.6 Model promosi kesehatan menurut Pender 53
Gambar 2.7 Revisi model promosi kesehatan dari Pender 55
Gambar 2.8 Empat tahap partnership Mohammadi 64
Gambar 2.9 Antecedans, atribut dan konsekuen partnership 66
Gambar 2.10 Kerangka teori penelitian 73
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian tahap I 74
Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian tahap II 75
Gambar 4.1 Tahapan proses penelitian 86
Gambar 4.2 Kerangka kerja penelitian 94
Gambar 5.1 Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King 107
Gambar 5.2 Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu 114
pengukuran dan diantara kelompok
Gambar 5.3 Grafik interaksi nilai rata-rata self efficacy diantara waktu 115
pengukuran dan diantara kelompok
Gambar 5.4 Grafik interaksi nilai rata-rata motivasi diantara waktu pengukuran 117
dan diantara kelompok
Gambar 5.5 Grafik interaksi nilai rata-rata pencegahan penularan diantara 119
waktu pengukuran dan diantara kelompok
Gambar 5.6 Grafik interaksi nilai rata-rata kepatuhan nutrisi diantara waktu 121
pengukuran dan diantara kelompok

xv Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


DAFTAR SINGKATAN

ARDS : Acute respiratory distress syndrome


ARTI : Annual risk of tuberculosis infection
BMI : Body mass index
BP4 : Balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru
BTA : Bakteri tahan asam
DOTS : Directly observed treatment short-course
ETPT : Energi tinggi protein tinggi
FDC : Fixed-dose combination
Gerdunas : Gerakan terpadu nasional
HIV/AIDS : Human immunodeficiency virus/ acquired immune
deficiency syndrome
HPM : Health promotion model
HRZ : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid
HRZE : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol
HRZES : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol, streptomicin
IMT : Indeks massa tubuh
MDGs : Millenium development goals
MDR : Multidrug-resistant
OAT : Obat anti tuberkulosis
PPOK : Penyakit paru obstruksi kronis
RS : Rumah sakit
RSUD : Rumah sakit umum daerah
SOPT : sindrom obtstruksi pasca tuberkulosis
SPS :sewaktu-pagi-sewaku
TB : Tuberkulosis
TRA : Theory of reasoned action
TPB : Theory of planned behaviour
TURP : Trans urethral resection of prostate
WHO : World health organization

xvi Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat ijin penelitian


Lampiran 2: Surat keterangan lolos kaji etik
Lampiran 3: Surat keterangan telah melakukan penelitian
Lampiran 4: Informed consent/penjelasan penelitian tahap I
Lampiran 5: Lembar persetujuan menjadi partisipan
Lampiran 6: Data demografi
Lampiran 7: Petunjuk pelaksanaan wawancara mendalam
Lampiran 8: Lembar catatan lapangan (field note)
Lampiran 9: Informed consent/penjelasan penelitian tahap II
Lampiran 10: Lembar kuesioner
Lampiran 11: Analisis tema dan subtema berdasarkan penelitian kualitatif
Lampiran 12: Panduan implementasi model
Lampiran 13: Format evaluasi model

xvii Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan penyumbang terbesar ketiga di dunia untuk penyakit


tuberkulosis (TB) setelah India dan Cina (Depkes, 2007). Peringkat ini turun
menjadi peringkat ke 4 di dunia pada tahun 2012 dengan jumlah kasus baru
sekitar 400.000-500.000 kasus, setelah India (2,0 juta - 2,5 juta), Cina (900.000-
1.100.000) dan Afrika Selatan (400.000-600.000) kasus (WHO, 2012). Menurut
Survei kesehatan nasional tahun 2001 penyakit TB merupakan penyakit rakyat
nomor satu dan sebagai penyebab kematian nomor tiga di Indonesia (Depkes,
2001).

Berdasarkan data Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan WHO (2008)


bahwa sampai Januari 2007, 37% rumah sakit (RS) melaksanakan DOTS dengan
kualitas pelaksanaan yang berbeda. TB menduduki peringkat rata-rata nomor 2
pada klinik rawat jalan di Rumah Sakit Umum dan peringkat 1 di Rumah Sakit
Paru. Pada Rumah Sakit umum ditemukan hampir 6.5% kasus pengobatan
kategori II yang gagal pengobatan dan menunjukkan MDR-TB (multidrug
resistant TB). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi TB
yang diantaranya adalah rencana global penanggulangan TB yang diarahkan untuk
mencapai target Global TB yang sejalan dengan WHO DOTS (directly observed
treatment, short-course) dan strategi baru stop TB. Menurut Depkes pada tahun
2008 TB Prevalence adalah 253 per 100.000 populasi sedangkan MDGs
(millenium development goals) target pada tahun 2015 untuk TB adalah 222 per
100.000 populasi artinya hal ini kondisi di Indonesia mendekati target yang
diharapkan. Pada tahun 2009 deteksi kasus mencapai 71% dan tingkat
keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Kemkes, 2011).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di


Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh)

1 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


2

orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
menjadi pasien TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB.
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI
1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) pasien
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% pasien adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes,
2009).

Penyakit TB merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam prioritas untuk
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan
ekonomi serta dapat mengakibatkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010, periode prevalensi TB Paru 2009/2010
adalah sebesar 725/100.000 penduduk, dengan kasus tertinggi pada usia di atas 54
tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggal di desa, pendidikan tidak sekolah dan pada
kelompok petani/nelayan/buruh. Cakupan penggunaan OAT FDC (obat anti
tuberkulosis Fixed dose combination) dan kombipak sebesar 83.2%. Upaya yang
dilakukan oleh suspek TB Paru yaitu kembali ke tenaga kesehatan (32.2%),
pengobatan program TB (11.1%), beli obat di apotek/toko obat (31.9%), minum
obat herbal/tradisional (7.8%) dan tidak diobati (16.9%). Alasan suspek TB Paru
tidak datang ke fasilitas kesehatan yang paling besar adalah dapat diobati dan
sembuh sendiri (38.2%), tidak ada biaya (26.4%), penyakit tidak berat (16.3%),
akses ke fasilitas kesehatan sulit (4.4%), tidak ada waktu (5.7%) dan lainnya 9%.
(Kemkes, 2010)

Pada tahun 2011 World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadi 8,7 juta
kasus baru TB secara global, yang setara dengan 125 kasus per 100.000
penduduk. Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di
Asia (59%) dan Afrika (26%). WHO menetapkan 22 negara di dunia sebagai
negara dengan masalah penyakit TB yang tinggi (high burden countries), yaitu
negara-negara yang mencakup 63% dari populasi dunia dan menyumbang sekitar

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


3

80% dari perkiraan jumlah kasus TB baru yang terjadi di seluruh dunia setiap
tahunnya (WHO, 2012).

Estimasi prevalensi kasus TB di Indonesia adalah sebesar 600.000 atau setara 281
per 100.000 penduduk dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per
tahun atau setara 187 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 65.000 kematian per tahunnya. Sedangkan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2010 mencapai 90 % (WHO, 2012). Walaupun cakupan
keberhasilan pengobatan ini mencapai target WHO namun ada kecenderungan
pasien berhenti minum obat karena ada perbaikan gejala dalam 2-4 minggu.
Keadaan tersebut akan bertambah parah jika tidak ada suatu upaya penanganan
yang komprehensif dengan melibatkan beberapa pihak dan model asuhan yang
efektif dalam menangani pasien TB paru. Dampak yang diperoleh jika pasien
tidak melakukan pengobatan secara tuntas diantaranya adalah bisa terjadi MDR
yaitu resisten terhadap OAT primer, bahkan sekarang bisa menjadi XDR
(Extensive drug resistant) yaitu kuman TB resisten terhadap OAT lini kedua.
(Depkes RI & WHO, 2008)

Jawa Timur merupakan penyumbang kedua kasus Tuberkulosis positif di


Indonesia setelah Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Jawa Timur pasien TB di
Jawa Timur mencapai 20 ribu per tahun, dari total 41.472 pasien TB di provinsi
ini, sebanyak 25.618 diantaranya merupakan pasien baru BTA + yang ditemukan
selama 2012. Adapun tingkat keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Dinkes
Jatim, 2013).

Pada berbagai studi tentang TB paru diperoleh hasil bahwa pasien yang berobat
menunjukkan ketidakpatuhan dalam pengobatan. Studi yang dilakukan Daud
(2001) di poliklinik RS.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi menunjukkan
ketidakpatuhan pasien berobat sebesar 31% (n=100), sedangkan studi yang
dilakukan Aisyah (2003) di puskesmas Jatinegara menunjukkan ketidakpatuhan
pasien sebesar 26,1% (n=92). Selain faktor ketidakpatuhan faktor keterlambatan
pengobatan menjadi faktor yang penting dalam pengobatan TB Paru. Berdasarkan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


4

studi yang dilakukan Wahyono (2003) didapatkan hasil bahwa pasien TB yang di
kecamatan Ciracas Jakarta Timur mengalami keterlambatan diagnostik pada
pasien selama 2 minggu, keterlambatan pada pelayanan kesehatan selama 1
minggu dan keterlambatan total selama 6,05 minggu. Berdasarkan data di atas
dapat disimpulkan bahwa puskesmas atau poliklinik yang menjadi struktur utama
pelayanan kesehatan dalam penanggulangan TB Paru masih mengalami kesulitan
dalam menangani pasien. Saat pasien TB tidak patuh berobat atau pasien
terlambat dilakukan diagnostik, maka bisa muncul gejala yang berat yang
mengharuskannya sampai di rawat inap.

Berdasarkan studi yang dilakukan Darmadi (2000) pasien TB paru yang aktif
berobat menunjukkan sikap yang positif dan motivasi yang tinggi untuk mencapai
kesembuhan sedangkan pasien yang tidak aktif berobat memiliki sikap yang buruk
dan motivasi yang rendah untuk sembuh. Demikian pula yang terjadi pada
pengawas menelan obat (PMO), PMO pada pasien TB yang aktif berobat
memiliki pengawasan yang baik sedangkan PMO pada pasien yang tidak aktif
berobat memiliki pengawasan yang buruk. PMO untuk pasien TB paru terbanyak
adalah keluarga (suami, istri, orangtua, anak, menantu) yaitu sebanyak 93%,
sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3% adalah lainnya
(Rachmawati & Turniani, 2006)

Pada studi yang dilakukan oleh Syahrizal (2004) tentang kepatuhan pasien TB
Paru dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru-paru propinsi Sulawesi
Selatan tahun 2002, diperoleh hasil bahwa pasien yang tidak patuh sebanyak
36,7% (n=190) dan prosentase terbanyak dari responden adalah umur muda
(58,9%), laki-laki (75,6%), bekerja (77,8%), pendidikan rendah (58,9%),
pengetahuan kurang baik (65,6%), jumlah anggota keluarga besar (62,2%), jarak
dekat (90%), transportasi mudah (94,4%), ketersediaan obat banyak (91,1%),
PMO (91,1%), pelayanan petugas baik (70%), penyuluhan petugas (97,8%).

Hasil studi Craig, dkk (2007) menunjukkan bahwa faktor risiko sosial dapat
menyulitkan pengobatan TB paru. Penambahan jangka waktu pengobatan,

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


5

melewatkan janji dengan layanan kesehatan dan peningkatan durasi rawat inap
semuanya terkait dengan penggunaan alkohol dan narkoba. Riwayat pengobatan
TB sebelumnya dikaitkan dengan perpanjangan masa perawatan dan melewatkan
janji dengan layanan kesehatan. Faktor risiko sosial menunjukkan pentingnya
kebutuhan layanan yang responsif untuk mempertahankan pasien pada
pengobatan. Tunawisma tidak memiliki orang untuk mengingatkan pasien untuk
meminum obat mereka, hal ini sebagai tanda kurangnya dukungan sosial yang
dikaitkan dengan lamanya waktu rawat inap (Craig. Story, Hayward, Hall,
Goodburn & Zumla, 2007) .

Berdasarkan hasil studi pendahuluan bulan Februari-Maret 2012 di RSU Dr.


Soetomo terhadap 19 pasien dengan kasus lama dan 11 pasien dengan kasus baru,
17 dari 19 pasien kasus lama (89%) menyatakan tidak menyelesaikan pengobatan
pada kondisi sakit terdahulu. Dalam melakukan pencegahan penularan sebanyak
14 pasien (47%), masih jarang atau tidak pernah menutup mulut saat batuk atau
bersin, 17 pasien (57%) ludah dan dahak yang keluar tidak dibuang dalam tempat
tertutup yang diberi desinfektan dan 15 pasien (50%) dahak yang keluar saat
batuk selama di rumah sakit tidak dibuang ke tempat khusus yang telah
disediakan. Sedangkan untuk keyakinan diri, sebanyak 15 pasien (50%) merasa
tidak atau kurang yakin bisa mendapatkan informasi tentang penyakit TB, 22
pasien (73%) merasa tidak atau kurang yakin mampu melakukan kegiatan sesuai
kondisi sakitnya, dan 24 pasien (80%) merasa tidak atau kurang yakin dalam
mengatasi sesak napas dalam melakukan kegiatan yang diinginkan. Dari hasil
studi di atas menunjukkan bahwa kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru
masih sangat rendah.

Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan


pasien dalam berobat masih dirasakan cukup tinggi. Walaupun peran keluarga
sebagai PMO sudah dilakukan tetapi masih menunjukkan adanya ketidakpatuhan
dari pasien untuk menjalankan pengobatan. PMO bagi pasien merupakan faktor
motivasi eksternal bagi pasien untuk patuh berobat. Program ini sudah dijalankan
oleh pemerintah namun dari hasil studi di atas masih terdapat pasien yang tidak

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


6

patuh yang cukup signifikan sehingga selain peran PMO perlu ditambahkan
intervensi yang menekankan pada sistem interaksi perawat pasien yang terus
menerus dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem
sosial pada pasien TB paru agar memiliki motivasi yang kuat untuk patuh dalam
melakukan pengobatan

Pengobatan TB saat ini bukan lagi berfokus pada mencegah kematian tetapi
pengobatan harus berfokus pada peningkatan kualitas hidup pada pasien yang
dilakukan pengobatan TB. Pada hasil studi Marra, dkk (2004) diperoleh 4 tema
yang berkaitan dengan kualitas hidup pada pasien TB yaitu isu yang berkaitan
dengan TB dengan subtema “gejala”, “ketersediaan fasilitas kesehatan” dan
“dampak emosional”; tema kedua yaitu faktor pengobatan TB dengan subtema
“efek yang merugikan”, “kemudahan administrasi” dan “kepatuhan” ; tema ketiga
yaitu isu dukungan sosial dan fungsional untuk pasien TB; dan tema keempat
yaitu perilaku kesehatan dengan subtema “modifikasi perilaku” dan “pengetahuan
TB” (Marra, Marra, Cox, Palepu & Fitzgerald, 2004)

Secara umum asuhan keperawatan pada pasien TB di Indonesia sudah


melaksanakan program untuk peningkatan kepatuhan diantaranya melakukan
penyuluhan kepada pasien tentang TB Paru, penularan, pentingnya pengobatan
dan kontrol yang teratur. Penyuluhan di poliklinik biasanya dilaksanakan secara
berkelompok dan belum menekankan pada interaksi antara pasien dan perawat
yang intensif untuk merubah persepsi dan keyakinan diri pasien sehingga patuh
dalam melaksanakan pengobatan atas kesadaran dari diri sendiri.

Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan


pasien TB dalam memfasilitasi terapi dan mengarahkan perilaku pasien yang
konstruktif agar pasien dapat termotivasi untuk patuh. Peran serta perawat untuk
ikut program pemerintah sangat diperlukan agar tidak terjadi gagal pengobatan
yang menyebabkan terjadinya MDR-TB atau XDR-TB. Selain dengan
mendukung program pemerintah yang salah satunya adalah dengan program

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


7

PMO, perawat perlu melakukan suatu pendekatan agar pasien patuh dalam
menjalankan pengobatan.

Saat ini perawat sudah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tetapi
masih belum optimal terbukti dari hasil studi pendahuluan masih banyak pasien
yang belum patuh melaksanakan pengobatan. Dari kajian tersebut dapat dijelaskan
bahwa ada kesenjangan antara pendidikan kesehatan yang sudah diberikan oleh
perawat dengan kepatuhan pasien yaitu masih kurang optimalnya interaksi antara
perawat dan pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berdasarkan fakta
tersebut perlu adanya suatu pendekatan baru yang menekankan adanya sistem
interaksi perawat dengan pasien agar pasien memiliki kemampuan sendiri untuk
mencapai kepatuhan. Model interaksi King digunakan untuk meningkatkan
interaksi perawat dan pasien sehingga meningkatkan kepatuhan melaksanakan
pengobatan untuk mencapai kesembuhan.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka teori kerangka kerja sistem interaksi dan
Middle range teori pencapaian tujuan dari King digunakan sebagai kerangka teori
dalam penelitian ini yang berfokus pada interaksi dinamis sistem personal, sistem
interpersonal dan sistem sosial dalam mencapai tujuan yaitu peningkatan
kepatuhan pasien TB Paru. Sistem personal menurut King menggambarkan
karakteristik individu dan individu dipandang sebagai sistem terbuka (Alligood &
Tomey, 2006). Sistem interpersonal menggambarkan interaksi dua orang atau
lebih seperti hubungan antara pasien, dan perawat. Sistem sosial adalah interaksi
yang menggambarkan hubungan yang lebih luas dari interpersonal seperti
hubungan antara pasien dan perawat dengan keluarga atau kelompok masyarakat.
King memandang manusia sebagai sistem personal yang terdiri dari konsep
persepsi, diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran,
waktu, ruang dan koping. Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih
individu berinteraksi, bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Dalam
memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai komunikasi,
interaksi, peran, stres, stresor dan transaksi. Sedangkan sistem sosial merupakan
sistem interaksi kelompok yang membentuk masyarakat.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


8

Selain kajian tentang teori sistem interaksi dari King, model partnership
digunakan dalam melengkapi pengembangan model aplikasi King yang akan
dibangun pada pasien TB Paru. Model partnership menurut Notoatmojo (2010)
adalah model hubungan pasien dan perawat yang menekankan pada persamaan
(equity), keterbukaan (transparency) dan saling menguntungkan (mutual benefit).
Dari berbagai kajian model partnership, model partnership caring pada pasien
kanker dan partnership care pada pasien hipertensi menunjukan pengaruh yang
positif dalam menjalankan asuhan keperawatan. Model partnership memiliki
kesamaan dengan model sistem interaksi King yaitu merupakan suatu hubungan
yang sejajar antara perawat dan pasien dan merupakan hubungan yang bersifat
terbuka.

Selain kajian model partnership dan teori King, health promotion model (HPM)
Pender pada penelitian ini digunakan sebagai kerangka teori. HPM pada dasarnya
merupakan konsep yang didasarkan pada upaya memberdayakan kemampuan
seseorang dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Teori HPM memandang
pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai sesuatu yang
logis dan ekonomis. Komitmen pada rencana tindakan merupakan faktor yang
sangat penting dalam perubahan perilaku yaitu tercapainya peningkatan kepatuhan
pada pasien TB paru. HPM memungkinkan pasien menilai keuntungan apa yang
diharapkan sehingga patuh dalam pengobatan. Dalam pengembangan model ini
komitmen pada rencana tindakan berdasarkan teori HPM adalah adanya motivasi
dan keyakinan diri pada pasien TB paru untuk mencapai perilaku kepatuhan.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikembangkan satu pendekatan atau model
baru yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan asuhan keperawatan pada TB paru
yang berfokus pada sistem interaksi pasien TB paru untuk meningkatkan
kepatuhan pasien TB paru. Pengembangan model keperawatan peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King akan dikembangkan sehingga
tercapai tujuan yaitu meningkatnya kepatuhan pasien.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


9

Dalam pengembangan model ini, poli Paru RSU (Rumah Sakit Umum) Haji
Surabaya menjadi pilihan untuk lokasi penelitian kelompok intervensi dengan
beberapa pertimbangan yaitu RSU Haji Surabaya merupakan rumah sakit
pendidikan milik pemerintah daerah Jawa Timur dan rumah sakit tipe B di
wilayah Indonesia Timur. Pertimbangan lain adalah banyak pasien TB yang
berobat di Poli Paru sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkannya
model peningkatan kepatuhan. Sedangkan untuk kelompok kontrol dipilih RS.
Ibnu Sina Gresik dengan pertimbangan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ibnu
Sina Gresik setara dengan RSU Haji Surabaya, yaitu sama-sama milik pemerintah
daerah, melaksanakan program TB-DOTS dan memiliki karakteristik pasien yang
hampir sama. Dengan terpilihnya Poli Paru RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu
Sina Gresik sebagai tempat penelitian, diharapkan model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King dapat dikembangkan dan dapat diterapkan
secara optimal sesuai kondisi poli serta dapat dijadikan rujukan oleh rumah sakit
lainnya.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian


Tuberkulosis paru merupakan penyakit kronis yang sejak tahun 1993 dinyatakan
sebagai kegawatdaruratan global oleh WHO. Walau terjadi penurunan kasus TB
selama kurun waktu 20 tahun terakhir dimana pada tahun 1990 prevalensi TB
adalah 443 per 100.000 penduduk menjadi 281 per 100.000 penduduk pada tahun
2011, namun beban penyakit TB masih sangat tinggi di masyarakat. Menurut
WHO tahun 2011 diperkirakan masih ditemukan sekitar 8.7 juta kasus TB paru
dan 1.4 juta meninggal akibat TB paru di dunia. Walaupun kasus baru ditemukan
dan diberi pengobatan namun pada pasien TB ada kecenderungan untuk
mengalami putus obat karena adanya perbaikan gejala dalam 2-4 minggu. Jika hal
ini dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang buruk bagi pasien. Masalah
yang masih ditemukan pada pasien TB di RS adalah ketidakpatuhan dalam
pengobatan. Petugas perawat masih belum optimal melaksanakan peran untuk
membuat pasien patuh dalam berobat. Program penyuluhan yang dilakukan pada
pasien terbukti belum efektif meningkatkan kepatuhan pasien sehingga perlu

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


10

dicari model yang lebih baik untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Pada saat ini
walaupun pemerintah sudah melaksanakan program PMO bagi pasien TB paru,
namun masih terdapat pasien yang tidak patuh dalam menjalankan pengobatan.
Keluarga sebagai PMO terbanyak pada pasien TB paru belum banyak
memberikan kontribusi yang maksimal agar pasien patuh untuk berobat.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka selain dilaksanakannya program PMO
maka perlu alternatif intervensi keperawatan yang menekankan pada sistem
interaksi perawat dan pasien. Teori sistem interaksi King digunakan untuk
menekankan interaksi pasien dan perawat dimana perawat berfokus pada sistem
personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien sehingga pasien mampu
berkomitmen pada rencana tindakan sesuai dengan teori HPM untuk mencapai
kepatuhan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti merumuskan masalah
penelitian: Bagaimanakah efektifitas pengembangan Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pada pasien
TB paru.

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan pertanyaan penelitian


sebagai berikut:
1) Bagaimanakah pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King pada pasien TB paru?
2) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru?
3) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru?
4) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru?
5) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan penularan pasien TB paru?
6) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru?
7) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru?

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


11

8) Adakah hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat


pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Didapatnya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
yang efektif terhadap kepatuhan pada pasien TB paru.

1.3.2 Tujuan Khusus:


Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) Dikembangkannya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King.
2) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
3) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.
4) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.
5) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan
penularan pasien TB paru.
6) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan:nutrisi pasien TB
paru.
7) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien
TB paru.
8) Mengidentifikasi hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


12

1.4. Manfaat Penelitian


1. Manfaat aplikatif
Penjelasan yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan
sebagai dasar terapi berbasis teori sistem interaksi King yang sangat
diperlukan perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien penyakit kronis dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan
yang rendah.

2. Manfaat keilmuan
Hasil penelitian ini menunjang ilmu keperawatan khususnya
keperawatan medikal bedah. Penjelasan pengaruh model keperawatan
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap
kepatuhan pasien TB paru memberi kontribusi terhadap pengembangan
keilmuan khususnya teori aplikasi yang bisa langsung diterapkan
dalam asuhan kepada pasien.

3. Manfaat Metodologis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi yang bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya dan sebagai masukan untuk mendukung
pelaksanaan program pemerintah dalam mencapai target Global TB
yaitu penemuan kasus baru sebesar 90% dan angka angka kesembuhan
95%.

4. Manfaat kebijakan kesehatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan peningkatan pelayanan
keperawatan TB paru di tatanan klinik dan membantu program
pengentasan TB paru dan menurunkan angka putus obat.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab 2 ini menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan teori
tuberkulosis paru, teori perilaku, framework sistem interaksi dan middle range
teori pencapaian tujuan dari King, health promotion model Pender, model
partnership, teori perilaku dan kerangka teori penelitian.

2.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang sudah sejak lama
diketahui keberadaannya. Keberadaan TB paru sering dihubungkan dengan daerah
urban yang padat dan kumuh. TB paru adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosae dan merupakan salah satu
penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Alsagaff & Mukti, 2005). Penyebab
TB paru adalah Mycobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um (Bahar & Amin, 2006).

A. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi


Keluhan yang dirasakan oleh pasien dengan TB paru dapat bermacam-macam dan
kadang-kadang dijumpai tanpa keluhan. Beberapa manifestasi klinis TB paru
menurut Alsagaff dan Mukty (2005), yaitu:
1) Batuk
Gejala batuk adalah gejala yang paling banyak ditemukan. Gejala batuk
timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok.
Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu
pasien tidur dan dikeluarkan saat pasien bangun pagi hari.

Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga


batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu pasien pada waktu siang
13 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


14

maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan atau bronkus, batuk akan
terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang
(paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow
sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak.
2) Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukoporulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan
kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengkejuan. Jarang
berbau busuk, kecuali bila terjadi infeksi anaerob.

3) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan pasien mungkin berupa garis atau bercak-bercak
darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat
banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari
penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan
tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada
dinding kavitas. Oleh karena itu, proses tuberkulosis harus cukup lanjut untuk
dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi.

4) Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila
nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritik luas (nyeri dipelukan daerah
aksila, diujung scapula atau di tempat lain).

5) Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan
oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi, ulserasi dan lain-
lain (pada tuberkulosis lanjut).

6) Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat
adanya restriksi dan obstruksi saluran pernafasan serta loss of vascular
bed/vascular trombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi
pulmonal dan korpulmonal.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


15

Usman (2008) menjelaskan bahwa faktor berat badan mempengaruhi gejala klinis,
berat badan yang kurang memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan
berat badan normal. Gejala klinis yang ditemukan secara umum adalah batuk
berat, sesak napas, sakit dada dan demam.

Alsagaff dan Mukty (2005) menjelaskan bahwa proses awal TB paru menahun
berupa satu atau lebih pneumonia lobuler yang juga disebut fokus dari “asman”.
Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah
posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan
segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokalisasi ini lebih jarang terjadi.
Lesi infiltrat dini ini selalu tidak stabil, dapat sembuh dengan jalan reabsorbsi
menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses
eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perlunakan dan
berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila
progresifitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai
penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih
tetap aktif dan meluas.

B. Diagnosis TB Paru
Menurut Depkes RI (2007) diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukanya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan dahak
secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga spesimen sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya
1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen
mendukung TB, maka pasien di diagnosis sebagai pasien TB BTA positif. Kalau
hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,


misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila
tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


16

pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, di diagnosis sebagai pasien TB
BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen
dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB,
didiagnosis sebagai pasien TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen
tidak mendukung TB, pasien tersebut bukan TB.

Menurut Depkes (2007) tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: kasus baru, kambuh pindahan,
setelah lalai dan lain-lain. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 Dosis
harian). Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Pindahan
(transfer In) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten
lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Pasien pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah (form TB. 09). Setelah lalai (pengobatan
setelah default/drop-out) adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
pasien tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Di kategori
lain-lain ada kasus gagal dan kasus kronis. Dikatakan gagal jika pasien BTA
positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5
(satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih dan pasien dengan hasil BTA
negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2.

Menurut Alsagaff & Mukty (2005) aktifitas penyakit tuberkulosis paru dinyatakan
dalam aktif dan tenang. Aktif bila dahak mengandung basil tuberkulosis, bila ada
kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif) dan
gambaran radiologis berbeda dengan foto tunggal maupun serial. Tenang
(quiescant) jika dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit
6 bulan, gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


17

perubahan. Dan masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam
negatif). Tidak aktif (in active) jika bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak
setiap bulan untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan, gambaran radiologi yang
dibuat serial menunjukkan proses stabil atau bertambah bersih sedikit atau
berkerut dan tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada
tomogram.

Penularan yang sering terjadi ialah melalui saluran pernafasan yang dikenal
sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosis dapat masuk sampai ke
alveoli. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama
dengan pasien tuberkulosis paru aktif, yakni golongan pasien yang dikenal sebagai
open case, bentuk penularan yang lain adalah melalui debu yang beterbangan
diudara yang mengandung basil tuberkulosis (Alsagaff & Mukty, 2005).

C. Komplikasi TB Paru
Menurut Bahar dan Amin (2006) penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani
dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi
dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini meliputi pleuritis, efusi pleura,
empiema, laryngitis, menjalar ke organ lain: usus dan Poncet’s arthropath.
Komplikasi lanjutan: obstruksi jalan nafas: SOPT (sindrom obstruksi pasca
tuberkulosis) kerusakan parenkim berat: SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru dan sindrom gagal nafas dewasa: acute respiratory
distress syndrome (ARDS).

Menurut Alsegaff dan Mukty (2005) sebelum ditemukan obat anti tuberkulosis,
pasien tuberkulosis paru mempunyai masa depan yang suram, seperti halnya
pasien kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan obat anti tuberkulosis,
maka masa depan pasien tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali pasien yang
telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan
organ lain di dalam organ dada, maka banyak pasien yang jatuh ke dalam
korpulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


18

hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun
secara tidak langsung.

D. Faktor Risiko TB Paru


Menurut Achmadi (2008) faktor resiko adalah semua variabel yang berperan
menimbulkan kejadian penyakit. Faktor resiko TB saling berkaitan satu sama lain
dan dikelompokkan ke dalam kelompok faktor resiko kependudukan dan faktor
lingkungan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam
timbulnya atau kejadian penyakit TB paru, yaitu: jenis kelamin, umur, status gizi
dan kondisi sosial ekonomi. Faktor resiko lingkungan meliputi: kepadatan, lantai
rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan ketinggian.

1. Faktor resiko Kependudukan:


1) Jenis kelamin
Achmadi (2008) menyatakan bahwa berdasarkan catatan statistik meski
tidak selamanya konsisten mayoritas pasien TB paru adalah wanita. Hal ini
masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada
tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun
tingkat molekuler. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Depkes (2008)
bahwa wanita termasuk kelompok rentan terserang TB selain anak, usia
lanjut, kelompok resiko penularan tinggi seperti tahanan dan kaum
pendatang.
2) Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Menurut Depkes
(2008) anak dan usia lanjut termasuk dalam kelompok rentan terkena TB
paru. Namun di Indonesia sebagian besar pasien TB Paru adalah usia
produktif, yakni 15 hingga 55 tahun.
3) Status Gizi
Status gizi, merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya
kejadian TB. Seperti diketahui, kuman TB paru merupakan kuman yang
suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk
bangun dan menimbulkan penyakit, maka timbulah kejadian penyakit TB

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


19

Paru. Salah satu kekuatan daya tangkal untuk mencegah hal tersebut adalah
status gizi yang baik.
4) Kondisi sosial ekonomi
WHO dalam Achmadi (2008) menyebutkan 90% pasien TB didunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kondisi
sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara
langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya
kondisi gizi buruk, serta kondisi rumah yang tidak sehat, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

2. Lingkungan
Faktor lingkungan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit
TB paru yaitu:
1) Kepadatan tempat tinggal
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.
Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui
udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan dalam
rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB
paru
2) Lantai rumah
Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dengan demikian pertumbuhan kuman TB paru
di lingkungan juga sangat dipengaruhi.
3) Ventilasi
Menurut Budiyono (2003) ventilasi merupakan faktor yang berhubungan
dengan kejadian TB paru. Achmadi (2005) menyatakan bahwa ventilasi
bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi
kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dan kuman lain, terbawa keluar
dan mati terkena sinar matahari.
4) Pencahayaan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


20

Menurut Achmadi (2008) rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup,


khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain sinar
ultraviolet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak
menyilaukan. Budiyono (2003) menyatakan bahwa cahaya matahari masuk
rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru.
5) Kelembaban
Mulyadi dalam Achmadi (2008) berdasarkan hasil penelitian di Kota Bogor
menjelaskan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang
keluarga lebih besar dari 60% beresiko terkena TB paru 10,7 kali dibanding
penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih
kecil atau sama dengan 60%.

Faktor resiko TB paru juga didukung oleh studi yang dilakukan Tobing (2009)
yang menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap potensi TB
adalah sikap, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, pendidikan, pengetahuan,
pembinaan petugas dan dukungan keluarga.

E. Pengobatan dan Penatalaksanaan


Menurut Achmadi (2008) sejak tahun 1995 program pemberantasan paru telah
dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse)
yang direkomendasikan oleh WHO. Pelaksanaannya di Indonesia dibentuk
gerakan terpadu nasional (Gerdunas) TB yang dicanangkan oleh Presiden RI pada
tanggal 24 maret 1999 bertepatan dengan hari TB sedunia. Bank Dunia
menyatakan bahwa strategi DOTS ini adalah suatu strategi yang sangat cost
effective.

Ada 5 komponen kegiatan strategi DOTS ini yaitu:


1. Harus ada komitmen politik pada berbagai tingkatan, baik nasional maupun
kabupaten. Komitmen ini harus ditumbuhkan pada semua pihak, khususnya
yang dapat memberikan kontribusi sumber daya dan keputusan bersama.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


21

2. Diagnosis tuberkulosis paru harus dilaksanakan dengan metode pemeriksaan


dahak untuk mencari ada tidaknya kuman tahan asam TB yaitu BTA.
3. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan paduan obat yang telah ditetapkan
dan disepakati, yaitu obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek yang harus
diawasi oleh pengawas minum obat (PMO). Anggota PMO adalah keluarga
dekat, atau kerabat, kenalan, tokoh masyarakat yang bisa mengawasi
pelaksanaan minum obat bagi pasien yang bersangkutan.
4. Ketersediaan OAT dengan mutu yang baik harus terjamin selama pengobatan.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baik, disertai analisis untuk evaluasi dan
pengembangan program.

Menurut Depkes (2007) prinsip pengobatan TB Paru adalah sebagai berikut:

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman
persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat
yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman
TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOTS).

Pengawasan menelan obat adalah salah satu komponen DOTS untuk pengobatan
panduan OAT dengan pengawasan langsung. Dibawah ini akan diuraikan
mengenai persyaratan PMO, siapa yang bisa menjadi PMO, tugas PMO dan
informasi penting yang perlu disampaikan PMO pada pasien dan keluarganya
(Depkes, 2007).
a. Persyaratan PMO
 Seseorang yang dikenal, yang dipercaya dan disetujui oleh petugas
kesehatan maupun pasien dan harus disegani serta dihormati oleh
pasien.
 Seseorang yang tinggal dekat pasien
 Bersedia membantu pasien dengan sukarela

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


22

 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan


pasien
b. Siapa yang menjadi PMO
 Petugas kesehatan: bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru
immunisasi dan lain-lain.
 Kader kesehatan, guru, anggota PKK (pembinaan kesejahteraan
keluarga), PPTI (perhimpunan pemberantasan tuberkulosis Indonesia)
atau tokoh masyarakat
 Anggota keluarga.
c. Tugas PMO
 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan
 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
 TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
 TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
 Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
 Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
 Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan UPK (unit pelayanan kesehatan).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


23

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.

Menurut Depkes (2007) Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia


menggunakan paduan OAT: Kategori 1: 2HRZE/4H3R3; Kategori2:
2HRZES/HRZE/5H3R3E3; dan Kategori 3: 2HRZ/4H3R3. Disamping ketiga
kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)
masa pengobatan.

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniosid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan
etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
isoniasid (H) dan rifampisisn (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan pasien TB
ekstra paru berat.

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3)


Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan
isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK (unit pelayanan kesehatan). Dilanjutkan 1 bulan
dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


24

hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah pasien selesai minum obat. Obat ini diberikan
untuk: pasien kambuh (relaps), pasien gagal (failure) dan pasien dengan
pengobatan setelah lalai (after default)

3. Kategori 3 (2HRZ/ 4H3R3)


Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru BTA negatif dengan
rontgen positif sakit ringan, pasien ekstra paru ringan, yaitu kelenjar limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

4. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pasien baru BTA positif dengan
kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
hari selama 1 bulan.

Menurut Bahar dan Amin (2006) pasien kambuh adalah pasien yang telah
menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi
dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara
mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Umumnya kekambuhan terjadi pada
tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya masih
sensitif terhadap obat-obat yang digunakan semula.

Menurut Bahar dan Amin (2006) penatalaksanaan terhadap pasien kambuh


adalah:
1. Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA
mikroskopis langsung 3 kali, biakan dan resistensi.
2 Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


25

3. Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti


diabetes miletus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid yang lama.
4. Sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/resistensi.
5. Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan
bakteriologis tiap bulan selama pengobatan.

Menurut Depkes RI (2007) obat yang diberikan untuk pasien kambuh


menggunakan paduan OAT kategori 2 yaitu tahap intensif diberikan selama 3
bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid
(Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1
bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Menurut Bahar dan Amin (2006) yang dapat menyebabkan kegagalan


pengobatan/kekambuhan adalah lesi paru yang terlalu luas/sakit berat, penyakit
lain yang menyertai seperti diabetes melitus, infeksi HIV serta adanya gangguan
imunologis. Terjadinya gangguan imunologis ini adalah akibat adanya kebiasaan
merokok dan minum alkohol serta pemakaian obat-obatan sejenis imunosupresan
dan kortikosteroid. Pada pasien tuberkulosis paru yang mempunyai penyakit
penyerta perlu mendapat perhatian atau pengawasan sesudah pengobatan selesai,
untuk mengontrol atau mendeteksi.

Pokok permasalahan pada perawatan pasien TB paru pada umumnya adalah


ketidakpatuhan menggunakan OAT, hal ini dapat terlihat dari studi yang
dilakukan oleh Castelnuovo (2010) bahwa faktor yang menyebabkan kegagalan
dalam berobat adalah jauh dari rumah sakit, tidak hadir saat pengarahan pertama
pengobatan TB, kurangnya pemeriksaan dahak berulang, tidak melanjutkan
pengobatan setelah fase intensif, mengalami efek samping obat, tidak ada
dukungan keluarga, pengetahuan yang buruk tentang pengobatan TB, usia lebih
dari 25 tahun dan penggunaan transportasi umum.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


26

Studi lain yang dilakukan oleh Daryatno (2003) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kekambuhan pasien TB paru adalah status gizi dengan indeks
masa tubuh (IMT) < 18.5, riwayat minum obat tidak teratur dan kebiasaan
merokok. Status gizi dengan IMT < 18.5 memiliki risiko untuk kambuh 20 kali
dibanding status gizi > 18.5. Status gizi yang buruk mengakibatkan kelemahan
fisik dan penurunan daya tahan tubuh yang meningkatkan risiko kekambuhan.
Riwayat minum obat tidak teratur memiliki risiko 43.46 kali untuk kambuh
dibandingkan dengan yang minum obat teratur. Kebiasaan merokok 1-10 batang
memiliki risiko 15 kali, merokok 20-30 batang memiliki risiko 40-50 kali dan
merokok 40-50 batang memiliki risiko 70-80 kali untuk kambuh dibanding yang
tidak merokok.

Ketidakpatuhan atau ketidakteraturan dalam pengobatan (dosis, jangka waktu dan


panduan obat) pada pasien TB paru dapat mengakibatkan terhalangnya
kesembuhan. Kepatuhan minum obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang
ditetapkan, dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu yang
telah ditentukan. OAT harus ditelan secara teratur sesuai dengan jadwal untuk
menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.
Ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat dipengaruhi salah satunya oleh
perilaku pasien tersebut. Berikut akan diulas teori perilaku yang mendasari
perilaku seseorang.

2.2 Teori Perilaku

Perilaku pada dasarnya adalah aktivitas atau tindakan manusia. Perilaku


merupakan faktor penting dari pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk
merubah perilaku seseorang. Menurut Notoatmojo (2010) perilaku kesehatan
sebagai tujuan dari pendidikan kesehatan sekurang-kurangnya harus memiliki 3
dimensi yaitu:

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


27

a. Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai


nilai-nilai kesehatan)
b. Mengembangkan perilaku positif (pembentukan dan pengembangan
perilaku sehat)
c. Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai
dengan norma/nilai kesehatan (perilaku sehat).

Perubahan perilaku memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoatmojo


(2007) secara teori perubahan perilaku terjadi melalui 3 tahap yaitu: pengetahuan,
sikap dan tindakan. Pengetahuan berarti sebelum seseorang mengadopsi perilaku
maka harus tahu dulu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan
keluarganya, misalnya: pengetahuan tentang sakit dan penyakitnya. Sikap adalah
menilai atau bersikap terhadap obyek kesehatan tersebut. Indikator untuk sikap
sejalan dengan dengan indikator pengetahuan kesehatan. Praktik adalah perilaku
kesehatan yang terlihat. Praktik kesehatan muncul setelah seseorang mengetahui
stimulus kesehatan dan setelah melakukan penilaian terhadap stimulus tersebut.
Indikator praktik atau perilaku kesehatan mencakup tindakan (praktik)
sehubungan dengan penyakit misalnya: pencegahan penyakit dan penyembuhan
penyakit; tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan misalnya
mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur,
tidak merokok; tindakan (praktik) kesehatan lingkungan seperti membuang air
besar di jamban dan membuang sampah di tempat sampah.

Karena perubahan perilaku merupakan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan,


maka di bawah ini akan dibahas teori perubahan perilaku dalam keperawatan,
teori pengetahuan, teori self efficacy, teori motivasi, kebutuhan nutrisi pasien TB
paru dan teori kepatuhan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


28

A. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior


(TPB)

TRA dikembangkan pertama kali tahun 1967 yang bertujuan untuk mempelajari
hubungan antara sikap dan perilaku. TRA telah banyak digunakan pada berbagai
studi namun kemudian dikritik oleh Ajben yaitu mengenai perilaku yang
dipengaruhi langsung oleh intensi, Ajben dan Fishben membatasi intensi hanya
pada perilaku yang dikontrol oleh kehendak. Pada tahun 1985 Ajzen membuat
TPB untuk mengatasi kekurangan tersebut (Peterson dan Brewdow, 2004). Pada
dasarnya TRA dan TPB mengasumsikan bahwa individu memiliki pertimbangan
rasional mengenai dampak dari tindakan mereka. Sebelum mereka memutuskan
terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku spesifik tertentu maka mereka
mempertimbangkan secara cermat dan mencari informasi yang tersedia kemudian
memutuskan perilaku mereka. Hubungan antara konstruksi TRA dan TPB dapat
dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 di bawah ini:

Keyakinan Sikap
perilaku

Variabel Intensi
eksternal perilaku Perilaku

Keyakinan Norma
normatif subyektif

Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action menurut Ajzen dan Fishben (Peterson dan
Brewdow, 2004)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


29

Keyakinan Sikap
perilaku

Variabel Intensi
eksternal perilaku Perilaku

Keyakinan Norma
normatif subyektif

Persepsi
Keyakinan kontrol
kontrol perilaku

Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior menurut Ajzen (Peterson dan Brewdow,
2004)

a. Intensi perilaku
Intensi perilaku adalah motivasi individu untuk terlibat dalam perilaku
yang spesifik. Hal ini mengindikasikan upaya individu untuk berinvestasi
dalam perilaku. Determinan dari intensi perilaku adalah sikap, norma
subyektif dan persepsi kontrol perilaku.
b. Determinan intensi perilaku
Determinan intensi perilaku meliputi sikap, norma subyektif dan persepsi
kontrol perilaku.
 Sikap: secara umum sikap didefinisikan sebagai tendensi
psikologis yang dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu
obyek. Misalnya, menyukai atau tidak menyukai, menyetujui atau
tidak menyetujui.
 Norma subyektif: norma subyektif mengacu pada penilaian
subyektif seseorang tentang preferensi/rujukan lain yang signifikan
dan dukungan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang spesifik.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


30

 Persepsi kontrol perilaku: TPB menambahkan perilaku yang


dipersepsikan sebagai determinan ketiga dari intensi perilaku.
Konstruksi ini ditambahkan dalam upaya untuk memperluas
kesesuaian TRA untuk perilaku yang dibawah kendali kehendak,
yaitu perilaku yang tidak hanya tergantung keputusan seseorang
tapi juga berdasarkan kemampuan, sumber daya dan kesempatan
yang tidak selalu tersedia. Persepsi kontrol perilaku didefinisikan
sebagai persepsi individu tentang kemudahan dan kesulitan bagi
dia untuk melakukan perilaku.

B. Pengetahuan

Pengetahuan menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah hasil tahu dari


manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “apa”. Pengetahuan merupakan hasil
dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
obyek tertentu. Pengindraan, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang.

Dalam domain kognitif menurut Benyamin Bloom yang direvisi oleh Anderson
dan Krathwohl (2001 dalam Widodo, 2006) mencakup 6 (enam) tingkat, yaitu :
1) Mengingat (remember)
Mengingat adalah usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari
memori atau ingatan. Memori bisa yang baru saja didapatkan atau
sudah lama didapatkan.Mengingat meliputi mengenali (recognition)
dan memanggil kembali (recalling).
2) Memahami/mengerti (understand)
Memahami adalah membangun sebuah pengertian dari berbagai
sumber. Memahami mencakup tujuh proses kognitif yaitu menafsirkan
(interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan
(classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring),
membandingkan (comparing), dan menjelskan (explaining).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


31

3) Menerapkan (apply)
Menerapkan merupakan proses kognitif memanfaatkan atau
mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau
menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dengan
dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yaitu
menjalankan prosdur (executing) dan mengimplementasikan
(implementing).
4) Menganalisis (analyze)
Menganalisis adalah memecahkan atau misahkan tiap-tiap bagian dari
suatu permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian
tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut
menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses
kognitif menguraikan (differentiating), mengorganisasikan
(organizing) dan memberi atribut (atributting).
5) Mengevaluasi (evaluate)
Mengevaluasi adalah proses kognitif memberikan penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Evaluasi meliputi
mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing). Mengecek
mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau
kegagalan dari suatu operasi atau produk. Mengkritisi mengarah pada
penilaian suatu operasi atau produk berdasarkan pada kriteria atau
standar eksternal.
6) Menciptakan (create)
Menciptakan merupakan kegiatan menggabungkan beberapa unsur
menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang
tergolong dalam kategori ini adalah membuat (generating),
merencanakan (planning), atau memproduksi (producing).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


32

C. Self Efficacy

Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai suatu keyakinan seseorang


tentang kemampuannya dalam melakukan aktivitas tertentu yang akan
berpengaruh terhadap kehidupannya. Self efficacy akan menentukan bagaimana
seseorang merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak atau
berperilaku.

Menurut Bandura (1997) self efficacy seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Self efficacy tersebut dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan
melalui salah satu atau kombinasi empat faktor yang terdiri atas :
1) Performance accomplishment
Merupakan suatu pengalaman menguasai sesuatu prestasi atau prestasi yang
pernah dicapai oleh individu tersebut di masa lalu. Faktor ini adalah pembentuk
self efficacy yang paling kuat. Prestasi yang baik pada masa lalu yang pernah
dialami oleh subyek akan membuat peningkatan pada ekspektasi efikasi,
sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan efikasi individu.
2) Vicarious experience
Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka
untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan
meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain,
sedangkan sebaliknya self efficacy akan menurun apabila individu mengamati
seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami
kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self efficacy adalah
berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri.
Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, maka semakin
besar potensial self efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini.
3) Verbal persuasion
Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau
berperilaku. Individu mendapat pengaruh atau sugesti bahwa ia mampu mengatasi
masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan
keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan perilaku untuk

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


33

mencapai kesuksesan tersebut, begitupun sebaliknya. Faktor ini sifatnya berasal


dapat berasal dari luar atau dalam diri individu sendiri, namun yang membedakan
dengan vicarious experience adalah pada faktor ini subyek mendapatkan feedback
langsung dari pihak lain, sedangkan pada vicarious experience subyek sendirilah
yang secara aktif mengamati pihak lain tanpa intervensi dari pihak yang diamati.
Besar pengaruh yang dapat diberikan oleh pemberi persuasi adalah rasa percaya
kepada pemberi persuasi serta kriteria kerealistisan tentang apa yang
dipersuasikan. Selain itu, subyek dapat memberikan persuasi kepada dirinya
sendiri dengan semacam self talk kepada dirinya sendiri.
4) Emotional arousal
Kondisi emosional (mood) juga mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang
terkait self efficacy-nya. Keadaan emosi yang menyertai individu ketika dirinya
sedang melakukan suatu kegiatan akan mempengaruhi self efficacy seseorang
pada bidang tersebut. Emosi yang dimaksudkan adalah emosi yang kuat seperti
takut, stres, cemas dan gembira. Emosi-emosi tersebut dapat meningkatkan
ataupun menurunkan self - efficacy seseorang.

Menurut Bandura (1994) self efficacy akan mempengaruhi proses dalam diri
manusia, yaitu :
1) Proses kognitif
Self efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau
menghambat perilaku seseorang. Self efficacy yang tinggi mendorong
pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan
kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin
memperkuat self efficacy seseorang.
2) Proses motivasional
Self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri
untuk membentuk sebuah motivasi. Kepercayaan self efficacy mempengaruhi
tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha
yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi
menurun.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


34

3) Proses afektif
Self efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self efficacy
mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya
bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri
mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang self efficacy yang rendah cenderung
memperbesar resiko. Seseorang dengan self efficacy yang tinggi memiliki kontrol
pemikiran yang lebih baik, dan self efficacy yang rendah dapat mendorong
munculnya depresi.
4) Proses seleksi
Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan memungkinkan seseorang untuk
membentuk tindakan dan sebuah lingkungan yang membantu dirinya dan
bagaimana mempertahankannya.

Menurut Bandura (1994) suatu perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila
adanya perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Perubahan self
efficacy perlu dilakukan untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku
individu yang memiliki masalah perilaku. Berikut adalah gambar skema proses
pengubahan self efficacy.

Gambar 2.3 Sumber-sumber self efficay dan proses pegubahannya


(Bandura, 1994)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


35

1) Performance accomplishment
(1) Participant modelling. Hal ini dilakukan dengan menirukan model yang
telah berprestasi atau sukses dalam bidang tertentu.
(2) Performance desensitization, merupakan upaya menghilangkan pengaruh
buruk akibat kegagalan pada masa lalu. Apabila cara yang ditempuh
berhasil untuk bangkit dari kebangkrutan terdahulu, maka self efficacy
akan meningkat.
(3) Performance exposure. Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
dibandingkan kegagalan. Contohnya jika seseorang pernah tidak naik
kelas, maka hal yang dilakukan adalah dengan mengingatkan kembali
prestasi lain pada masa lalu pernah dicapainya.
4) Self-instructed performance. Melatih diri untuk melakukan yang terbaik
sehingga seseorang mampu untuk menekan dirinya sendiri sampai ke batas
maksimalnya.
2) Vicarious experience
(1) Live modelling, dengan cara mengamati model yang nyata di dunia atau
lingkungan yang mempunyai kemiripan tujuan dan karakteristik.
(2) Symbolic modelling, dengan cara mengamati model simbolik, film, komik,
cerita yang menceritakan keberhasilan atau kesuksesan mencapai tujuan
yang mempunyai kemiripan dengan karakteristik individu .
3) Verbal persuasion
(1) Sugestion. Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan
subyek terhadap pemberi persuasi. Contohnya hipnoterapis yang
memberikan sugesti kepada seorang siswa yang takut pelajaran
matematika agar ketakutannya tersebut hilang.
(2) Exhortation. Nasihat atau peringatan yang mendesak/memaksa seperti
yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika masih kecil.
(3) Self-instruction. Selain dapat diberikan oleh orang lain, persuasi juga dapat
diberikan oleh subyek kepada diriya sendiri dengan berkomunikasi dengan
dirinya sendiri untuk dapat melakukan sesuatu.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


36

(4) Intrepretive treatment. Menggunakan interpretasi baru yang berdasarkan


fakta lebih meyakinkan daripada memperbaiki interpretasi lama yang salah
dan cenderung menurunkan self - efficacy.
4) Emotional arousal
(1) Attribution. Mengubah atribusi atau penanggungjawab suatu kejadian
emosional. Hal ini berkaitan dengan cara pandang yang biasa digunakan
oleh subyek. Contohnya subyek yang merasa bahwa kemampuan
matematikanya rendah adalah dikarenakan pengajarnya di sekolah tidak
menyenangkan (eksternal), dapat diubah dengan memberikan gambaran
detil tentang teori atribusi.
(2) Relaxation biofeedback. Relaksasi digunakan untuk menurunkan
gelombang otak subyek sehingga lebih mudah untuk menerima sesuatu
dibandingkan ketika seseorang berada pada kondisi sadar penuh
(gelombang otak beta). Dengan melakukan relaksasi, gelombang otak akan
turun sampai ke level alpha.
(3) Symbolic desensilization. Menghilangkan sikap emosional dengan
modeling simbolik seperti benda-benda mati yang memiliki karakteristik
sama dengan sikap emosional positif yang diharapkan.
(4) Symbolic exposure. Memunculkan emosi secara simbolik yang
menguntungkan (meningkatkan self - efficacy) meskipun sedang tidak
dalam kondisi yang semestinya. Contohnya ketika sedang melakukan
pekerjaan yang kantor yang berat, seseorang diminta untuk
membayangkan keadaan emosinya ketika sedang berlibur.

D. Motivasi

Menurut Jhon Elder (dalam Notoatmojo, 2007), motivasi adalah sebagai interaksi
antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau
mempertahankan perilaku. Menurut Terry G. (dalam Notoatmodjo, 2007),
motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku), sedangkan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


37

menurut Stooner (dalam Notoatmodjo, 2007), motivasi adalah sesuatu hal yang
menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang.

Menurut Notoatmodjo (2007), motivasi mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:


1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor
yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor
penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang
harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan
sebelumnya.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang
harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan
perbuatan yang sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan
kepercayaan diri yang tinggi karena sudah melakukan proses penyeleksian.

Dibawah ini akan diuraikan beberapa teori motivasi:


1) Teori motivasi Abraham Maslow (1943)
Abraham Maslow (1943 dalam Nursalam, 2014) mengemukakan bahwa
pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia
menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang
memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu
dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari
kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks;
yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan
pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum
kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang
penting.
(1) Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
(2) Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari
bahaya)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


38

(3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan
orang lain, diterima, memiliki)
(4) Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan
mendapatkan dukungan serta pengakuan)
(5) Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui,
memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian,
keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri:
mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)
2) Teori motivasi Herzberg (1966)
Menurut teori motivasi Herzberg (1966 dalam Nursalam, 2014) ada dua
jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai
kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu
disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor
intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari
ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia,
imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik),
sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement,
pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, (faktor intrinsik).
3) Teori Vroom (1964 dalam Nursalam, 2014) menerangkan tentang
cognitive theory of motivation yang menjelaskan mengapa seseorang tidak
akan melakukan sesuatu yang ia yakini jika ia tidak dapat melakukannya,
sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut
Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga
komponen, yaitu:
(1) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
(2) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika
berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk
mendapatkan outcome tertentu).
(3) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan positif,
netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


39

sesuatu yang melebihi harapan motivasi rendah jika usahanya


menghasilkan kurang dari yang diharapkan.
4) Theory Achievement Mc Clelland (1961)
Teori Mc Clelland (1961 dalam Nursalam, 2014) menyatakan bahwa ada
tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
(1) Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
(2) Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)
(3) Need for Power (dorongan untuk mengatur)

E. Nutrisi

Kebanyakan pasien TB paru mengalami penurunan berat badan karena proses


penyakit. Peningkatab berat badan pasien diperlukan sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan penyakit maka diperlukan
gizi yang seimbang. Menurut Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Asosiasi Dietisien Indonesia (2010) gizi seimbang adalah gizi yang
dibutuhkan untuk memelihara kesehatan dan mencapai status gizi seimbang.
Berdasarkan gizi seimbang makanan dikelompokkan dalam tiga fungsi utama zat
gizi yaitu:
1. Sumber energi atau tenaga: yaitu padi-padian seperti beras, jagung, dan
gandum, sagu, umbi-umbian seperti ubi, singkong, talas serta hasil
olahannya seperti tepung-tepungan, mi, roti, makaroni dan bihun
2. Sumber protein yaitu sumber protein hewani seperti daging, ayam, telur,
susu dan keju, serta sumber protein nabati seperti kacang-kacangan berupa
kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang
tolo serta hasil olahannya seperti tempe, tahu, susu kedelai dan oncom.
3. Sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Sayuran diutamakan yang
berwarna hijau dan kuning jingga seperti bayam, daun singkong, katuk,
kangkung, wortel dan tomat serta sayur kacang-kacangan seperti kacang
panjang, buncis dan kecipir. Buah-buahan diutamakan yang berwarna
kuning jingga seperti pepaya, mangga, apel dan jeruk.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


40

Diet pada pasien TB Paru adalah diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu
diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Makanan
yang diberikan dalam bentuk biasa ditambah protein tinggi seperti susu, telur dan
daging. Adapun tujuan diet ETPT adalah untuk:
1. Memenuhi Kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk
mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan pada jaringan paru.
2. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.

Dibawah ini ada bahan makanan yang dianjurkan yang dianjurkan pada pasien TB
paru:
1. Sumber karbohidrat: nasi, roti, mi, ubi, makaroni dan hasil olah tepung-
tepungan seperti cake, puding, dodol.
2. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan
seperti keju, yougurt dan es krim
3. Sumber protein nabati: Semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahnya
seperti tahu dan tempe.
4. Sayur: semua jenis sayuran seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang
panjang, labu siam dan wortel, dikukus dan ditumis
5. Buah-buahan: Semua jenis buah-buahan segar, buah kaleng dan jus buah
6. Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega, margarin, santan encer.
7. Minuman: madu, sirup, teh dan kopi encer
8. Bumbu: bumbu tidak tajam seperti bawang merah, bawang putih, laos, salam,
kecap.

Pada dasarnya tidak ada pantangan pada pasien TB paru, tapi ada beberapa bahan
makanan yang tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan asam lambung
sehingga dapat mengakibatkan pasien mudah terangsang untuk batuk saat asam
lambung mengiritasi tenggorokan. Bahan makan yang tidak dianjurkan
diantaranya:
1. Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
2. Bumbu yang tajam seperti cabe dan merica
3. Gorengan dan es terutama saat batuk.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


41

F. Kepatuhan

Kepatuhan menurut Sacket dan Haynes (1976 dalam Rankin & Stallings, 2001)
didefinisikan sebagai perilaku pasien (minum obat, mengikuti diet dan perubahan
gaya hidup lainnya) yang berkaitan dengan resep klinis. Lebih lanjut lagi mereka
menjelaskan bahwa penyajian data kepatuhan memiliki relevansi klinis jika hal
tersebut berkaitan dengan pencapaian dari tujuan pegobatan. Pertama terkait
dengan kepatuhan terhadap pengendalian penyakit yang berkaitan dengan
pengobatan dokter (kontrol hasil mematuhi resep pengobatan). Dokter
menentukan dosis dan waktu pengobatan, diet khusus yang harus diikuti dan jenis
pemantauan tubuh yang harus dilakukan. Kepatuhan diukur melalui pencapaian
pasien dalam kegiatan ini.

Kedua, kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang ditentukan dalam kepatuhan


atau ketidakpatuhan. Menurut Hays dan Dimatteo (1987 dalam Rankin &
Stallings, 2001) ketidakpatuhan didefinisikan sebagai kegagalan pasien untuk
memenuhi resep klinis seperti yang dimaksudkan oleh praktisi kesehatan.
Menurut Leventhal, Zimmerman, dan Guttman, 1984; Trostle (1988 dalam
Rankin & Stallings, 2001) ketidakpatuhan pasien akan resep medis disebabkan
oleh kurang pengetahuan, pemberontakan atau ketidakstabilan emosional.

Menurut teori Feuerstein (1986 dalam Niven, 2000) terdapat 5 faktor yang
mendukung kepatuhan pasien antara lain:
1. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan
buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
2. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri
harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


42

pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam


menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan
cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi
untuk mengikuti anjuran pengobatan.
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.
Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program-program pengobatan.
4. Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien
terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan
tentang diagnosisnya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka
lakukan dengan kondisi seperti itu.

Menurut Taylor (1991 dalam Niven, 2000), ada beberapa variabel yang
berhubungan dengan kepatuhan:
1. Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak ada akibat
buruk yang langsung dirasakan pengobatan yang komplek dan pengobatan
dengan efek samping. Tingkat kepatuhan rata-rata minum obat untuk
penyembuhan penyakit akut (kasus baru) dengan pengobatan jangka pendek
adalah sekitar 78%. Pada penyakit kronis dengan pengobatan jangka panjang,
tingkat kepatuhan minum obat menurun sampai 54%.
2. Ciri-ciri individu
Variabel demografi juga digunakan untuk meramal kepatuhan seseorang,
sebagai contoh di Amerika Serikat para wanita kulit putih dan orang tua
cenderung mematuhi aturan dokter.
3. Komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


43

Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan petugas mempengaruhi


tingkat kepatuhan, misalnya informasi dengan pengawasan dari petugas yang
cukup, kepuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas,
kepuasan terhadap pengobatan yang diberikan, frekuensi pengawasan,
dukungan dan tindak lanjut juga penting.
4. Variabel sosial
Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah dipelajari secara
luas. Secara umum orang-orang yang merasa menerima perhatian dan
pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau sekelompok orang
biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis dari pada pasien
yang kurang mendapat dukungan sosial. Keluarga memegang peran yang
sangat penting dalam pengelolaan medis, baik pada anak, remaja ataupun
dewasa misalnya pengangguran pengaruh normatif pada pasien yang mungkin
memudahkan atau menghambat perilaku kepatuhan. Becker (1987) bahkan
menyarankan bahwa interaksi keluarga harus diintegrasikan pada proses
pengobatan dini.
5. Persepsi dan harapan penderita
Variabel-variabel health belief model bahwa kepatuhan sebagai fungsi dari
keyakinan tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi kekebalan,
pertimbangan mengenai hambatan/kerugian (biaya, waktu) dan keuntungan
(efektifitas pengobatan).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan adalah: (a) faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio
ekonomi dan pendidikan, (b) faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan
hilangnya gejala akibat terapi, (c) faktor program pelayanan seperti kompleksitas
program dan efek samping yang tidak menyenangkan, (d) faktor psikososial
seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya
dan biaya finansial lainnya.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


44

Kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru adalah tindakan atau kegiatan yang
dilakukan pasien agar sembuh dari penyakit. Sesuai buku pedoman
penanggulangan tuberkulosis (Kemkes, 2011), pasien dapat dikatakan patuh
berobat jika pasien berobat secara teratur selama minimal 6 bulan dalam 2 fase
pengobatan dan sesuai panduan obat. Tidak patuh jika pasien tidak berobat secara
teratur dalam 2 fase pengobatan dan tidak sesuai panduan obat.

Dibawah ini akan diuraikan metode pengukuran kepatuhan minum obat menurut
Osterberg dan Blaschke (2005).
Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat
Test Keuntungan Kerugian
Metode langsung
Pengawasan langsung Lebih akurat Pasien dapat menyembunyikan
menelan obat obat dalam mulut dan tidak
praktis untuk kegiatan rutin
Pengukuran level obat atau Obyektif Ada variasi metabolisme
metabolit dalam darah sehingga dapat terjadi
kesalahan penilaian; mahal
Pengukuran “biologic Obyektif Mahal
marker” dalam darah
Metode tidak langsung
Kuesioner pasien, laporan Sederhana, murah, metode Rentan terhadap kesalahan
diri pasien yang paling berguna dalam dengan peningkatan waktu
tatanan klinik antara kunjungan; hasil mudah
terdistorsi oleh pasien
Menghitung pil Obyektif, dapat dihitung, Data mudah diubah oleh
mudah dilaksanakan pasien
Jumlah ulangan resep Obyektif Ulangan resep tidak setara
dengan konsumsi obat-obatan;
membutuhkan sistem farmasi
tertutup
Pengkajian respons klinis Sederhana, secara umum Faktor lain selain kepatuhan
pasien mudah dilaksanakan pengobatan dapat
mempengaruhi respons klinis
Monitoring pengobatan Presisi, secara umum Mahal; membutuhkan
elektronik mudah dilaksanakan kunjungan kembali dan unduh
data dari pengobatan
Pengukuran “physiologic Mudah dilakukan “markers” mungkin tidak
markers” (seperti denyut nampak (misal: peningkatan
jantung pada pasien dengan metabolisme, kurang
pengobatan beta blocker) penyerapan, kurang respons)
Diari pasien Membantu menilai bagi Mudah diubah oleh pasien
yang susah mengingat
Pasien anak, kuesioner Sederhana, obyektif Rentan terhadap distorsi
pada pengasuh atau guru

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


45

2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Tencapaian
Tujuan dari King

Imogene King memformulasikan kerangka kerja sistem personal, sistem


interpersonal, dan sistem sosial sebagai domain dari keperawatan (Alligood &
Tomey, 2006)

1. Sistem personal
King mengatakan bahwa setiap individu adalah personal, sehingga
diperlukan pemahaman tentang konsep gambaran diri, pertumbuhan dan
perkembangan, persepsi, diri, ruang, dan waktu untuk memandang secara
komprehensif bahwa manusia adalah personal.
Persepsi merupakan konsep mayor dari sistem personal. Persepsi adalah
suatu proses dimana data diperoleh, diorganisasikan, diinterpretasikan dan
ditransformasikan dalam perilaku. Persepsi dipengaruhi oleh emosi dan
pengalaman masa lalu. Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi
benda-benda dan orang lain. Karakteristik diri adalah individu yang dinamis,
sistem terbuka dan orientasi pada tujuan. Konsep diri dipengaruhi oleh
perubahan tumbuh kembang. Gambaran diri merupakan komponen dari
tumbuh kembang yang berubah seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi
oleh konsep diri. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai proses
diseluruh kehidupan seseorang dimana dia bergerak dari potensial untuk
mencapai aktualisasi diri. Ruang adalah universal sebab semua orang punya
konsep ruang, personal atau subjektif, individual, situasional, dan tergantung
dengan hubunganya dengan situasi, jarak dan waktu, transaksional, atau
berdasarkan pada persepsi individu terhadap situasi. King mendefinisikan
waktu sebagai lama antara satu kejadian dengan kejadian yang lain
merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara satu kejadian
dengan kejadian yang lain. Konsep pada sistem personal kemudian oleh
King ditambahkan dua konsep baru yaitu pembelajaran dan koping
(Alligood, 2010).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


46

2. Sistem interpersonal
Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi,
bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Hubungan antara pasien dan
perawat adalah salah satu tipe sistem interpersonal. Keluarga ketika dalam
kelompok kecil juga bisa dikatakan sebagai sistem interpersonal. Dalam
memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai
komunikasi, interaksi, peran, stres dan transaksi.

Interaksi didefinisikan sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh


dua orang atau lebih di dalam hubungan timbal balik. King mendefinisikan
komunikasi sebagai proses dimana informasi yang diberikan dari satu orang
ke orang lain baik langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui
telpon, televisi atau tulisan kata. ciri-ciri komunikasi adalah verbal, non
verbal, situasional, perseptual, transaksional, tidak dapat diubah, bergerak
maju dalam waktu, personal, dan dinamis. Komunikasi dapat dilakukan
secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan ide-ide satu orang ke
orang lain. Aspek perilaku non verbal yang sangat penting adalah sentuhan.
Aspek lain dari perilaku adalah jarak, postur, ekspresi wajah, penampilan
fisik dan gerakan tubuh. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi
tujuan. Ciri-ciri transaksi adalah unik, karena setiap individu mempunyai
realitas personal berdasarkan persepsi mereka. Peran mengacu kepada
serangkaian set perilaku seseorang dalam posisi yang spesifik di dalam
sistem sosial. Stres menurut King adalah suatu keadaan yang dinamis
dimanapun manusia berinteraksi dengan lingkungannya untuk memelihara
keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang melibatkan
pertukaran energi dan informasi antara seseorang dengan lingkungannya
untuk mengatur stresor. Konsep stresor merupakan konsep yang
ditambahkan pada sistem interpersonal (Alligood, 2010)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


47

3. Sistem sosial
Sistem sosial adalah sistem interaksi yang berisi kelompok yang membentuk
masyarakat. Contoh dari sistem sosial adalah sistem keagamaan, pendidikan,
dan pelayanan kesehatan. Untuk memahami sistem sosial diperlukan
pengetahuan tentang otoritas, pembuat keputusan, organisasi, kekuasaan dan
status.
Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktifitas yang
berhubungan dengan pengaturan formal dan informal seseorang dan kelompok
untuk mencapai tujuan personal atau organisasi.
King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu aktif,
proses transaksi yang timbal balik dimana latar belakang, persepsi, nilai-nilai
dari pemegang mempengaruhi definisi, validasi dan penerimaan posisi di
dalam organisasi berhubungan dengan wewenang.
Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan personal,
esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber dalam suatu situasi,
dinamis dan orientasi pada tujuan. Pembuatan atau pengambilan keputusan
bercirikan untuk mengatur setiap kehidupan dan pekerjaan, orang, universal,
individual, personal, subjektif, situasional, proses yang terus menerus, dan
berorientasi pada tujuan. Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan,
dapat diubah. King mendefinisikan status sebagai posisi seseorang didalam
kelompok atau kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain di dalam
organisasi dan mengenali bahwa status berhubungan dengan hak-hak
istimewa, tugas-tugas, dan kewajiban.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


48

Adapun ketiga komponen sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial
digambarkan oleh King sebagai berikut:

Social system
Social systems (socie
(society)

Interpersonal systems
(groups)

Personal systems
Interpersonal system
(individual)
(society)

Gambar 2.4 Dynamic interacting system (Alligood & Tomey, 2006)

Untuk menguji teorinya King menggambarkan proses interaksi perawat-pasien


untuk mencapai tujuan. Riset King menggambarkan proses yang menuntun pada
pencapaian tujuan dan studi interaksi perawat-pasien untuk menentukan kapan
perawat membuat transaksi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


49

feedback

Nurse Perception

Jugdement

Action Reaction interaction transaction

Action
Patient Jugdement

Perception
feedback

Gambar 2.5 Proses human Interaksi yang menuntun pada transaksi :


sebuah model transaksi (Alligood & Tomey , 2006)

Filosofi personal King tentang manusia (human being) dan kehidupan


mempengaruhi asumsinya termasuk dalam hal yang berkaitan dengan lingkungan,
kesehatan, keperawatan, dan interaksi perawat-pasien. Kerangka kerja sistem
interaksi dan teori pencapaian tujuan “berlandaskan pada asumsi bahwa fokus
keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun pada
tingkat kesehatan individu, yaitu kemampuan dalam peran sosial” (Alligood &
Tomey, 2006)

1. Konsep Manusia
King memandang manusia sebagai suatu sistem terbuka yang berinteraksi
dengan lingkungan yang memungkinkan benda, energi, dan informasi dengan
leluasa mempengaruhinya. Dalam kerangka kerjanya meliputi tiga sistem
interaksi yang dinamis sebagai individu disebut sebagai sistem personal, ketika
individu ini bersatu dalam kelompok disebut sistem interpersonal. Sistem sosial
tercipta ketika kelompok mempunyai ketertarikan dan tujuan yang sama dalam
satu komunitas atau masyarakat.
2. Konsep Lingkungan
Menurut King lingkungan adalah sistem sosial yang ada dalam masyarakat
yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya secara terbuka. Lingkungan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


50

merupakan suatu sistem terbuka yang menunjukkan penukaran masalah, energi,


informasi dengan keberadaan manusia. Manusia tersebut akan berinteraksi
dengan lingkungan internal dengan penukaran energi yang diatur secara terus
menerus terhadap perubahan lingkungan eksternal.
3. Konsep Sehat
King mendefinisikan sehat sebagai pengalaman hidup manusia yang dinamis,
yang secara berkelanjutan melakukan penyesuaian terhadap stresor internal dan
eksternal melewati rentang sehat sakit, dengan menggunakan sumber-sumber
yang dimiliki oleh seseorang atau individu untuk mencapai kehidupan sehari-
sehari yamg maksimal.
4. Konsep Keperawatan
King menyampaikan pola intervensi keperawatan adalah proses interaksi
pasien dan perawat meliputi komunikasi dan persepsi yang menimbulkan aksi,
reaksi, dan jika ada gangguan, menetapkan tujuan dengan maksud tercapainya
suatu persetujuan dan membuat transaksi.

Teori pencapaian tujuan King berfokus pada sistem interpersonal dan interaksi
yang membutuhkan tempat antara individu, khususnya hubungan perawat-pasien.
Dalam proses keperawatan tiap anggota dyad saling mempersepsikan, membuat
keputusan dan bertindak bersama-sama. Bersama-sama aktivitas ini memuncak
dalam reaksi. Hasil interaksi dan jika persepsi sama maka terbentuk transaksi.
Sistem ini terbuka untuk umpan balik karena tiap fase dipengaruhi oleh persepsi.
Hubungan dari proses dan outcome/hasil adalah fokus keperawatan dan pelayanan
kesehatan. Proses adalah sistem fungsi dinamik dan outcome/hasil diasumsikan
sebagai proses yang menyediakan informasi untuk mengevaluasi keefektifan
asuhan keperawatan. Outcome/hasil berpusat pada pasien, berorientasi tujuan
yang realistis dan dapat diukur.

King (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan delapan proposisi dalam
teori pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien,
transaksi terjadi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan akan
tercapai. Jika tujuan tercapai, kepuasan akan terjadi. Jika tujuan tercapai, asuhan
keperawatan yang efektif terjadi. Jika transaksi terjadi dalam interaksi perawat-

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


51

pasien, pertumbuhan dan perkembangan akan meningkat. Jika perkiraan peran dan
penampilan peran dipersepsikan sama oleh perawat dan pasien, transaksi akan
terjadi. Jika konflik peran dialami oleh perawat atau pasien atau keduanya maka
stres dalam interaksi perawat-pasien akan terjadi. Jika perawat dengan
pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke
pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan
dicapai.

Beberapa hasil penelitian yang menggunakan kerangka teori dari King adalah
persepsi pasien bedah tentang peran dan tanggung jawab perawat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan pasien bedah
tentang peran dan tanggung jawab perawat. Penerapan teori King melibatkan
identifikasi persepsi pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat. Persepsi
adalah salah satu konsep utama King. Persepsi didefinisikan sebagai representasi
realitas manusia melalui proses pengorganisasian, menafsirkan dan mengubah
informasi dari data sensori dan memori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat adalah sesuai.
(Sivaramalingan, 2008).

Reck (2010) meneliti tentang kepuasaan dan harapan pasien dengan pelayanan
keperawatan dan kesadaran perawat akan harapan mereka. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor (harapan pasien
yang diantisipasi diterima dari perawat) dan penilaian perawat tentang harapan
pasien dan variabel hasil yaitu kepuasan pasien. Teori pencapaian tujuan dari
King digunakan dalam penelitian ini sebagai fokus interaksi antara perawat dan
pasien. Konsep interaksi dyad dipergunakan dimana penelitian ini menggunakan
109 sampel pasangan pasien-perawat, yaitu 1 pasien dengan 1 perawat, perawat
dalam konsep ini adalah perawat yang merawat pasien. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan antara harapan pasien dan penilaian harapan
pasien dengan kepuasaan. Hasil penting dari penelitian ini adalah pengembangan
ukuran yang memungkinkan pasien untuk menilai harapan mereka dan ukuran

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


52

lain yang memungkinkan perawat untuk memberi penilaian tentang harapan


pasien.

Khowaja (2006) melakukan studi yang menggunakan kerangka kerja sistem


interaksi dan teori pencapaian tujuan King dengan mengintegrasikan dengan
model multidisiplin clinical pathway pada pasien TURP (transurethral resection
of prostate) di Pakistan. Khowaja menjelaskan bahwa teori King memerlukan
kemampuan perawat untuk berfikir kritis, observasi perilaku dan mengumpulkan
informasi penting yang spesifik untuk menemukan kebutuhan pasien. Clinical
pathway menyediakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Pencapaian tujuan
memerlukan evaluasi yang terus menerus. Teori pencapaian tujuan dapat untuk
meningkatkan atau mempertahankan kesehatan, mengontrol sakit atau
memfasilitasi pasien meninggal dalam damai. Sesuai dengan proses ini, clinical
pathway adalah alat atau cara untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa manusia terdiri dari sistem personal,
sistem interpersonal dan sistem sosial dalam melakukan interaksi untuk mencapai
tujuan. Proses pencapaian tujuan dimulai dari tahap reaksi, interaksi dan transaksi.
Dasar teori inilah yang akan digunakan untuk mencapaian tujuan perawatan pada
pasien TB melalui sistem interaksi personal, sistem interpersonal dan sistem
pasien melalui tahapan proses sampai mencapai fase transaksi.

2.4 Health Promotion Model

Pender (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengemukakan health promotion


model (HPM) yang merupakan konsep yang didasarkan pada upaya
memberdayakan kemampuan seseorang dalam meningkatkan derajat
kesehatannya. Model promosi kesehatan menggabungkan 2 teori yaitu teori nilai
harapan (expectancy value) dan teori kognitif sosial (social cognitif theory) yang
konsisten dengan semua teori yang memandang pentingnya promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit adalah suatu yang logis dan ekonomis.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


53

Adapun model health promotion model (HPM) menurut Pender dapat dilihat di
bagan berikut:

Gambar 2.6 Model Promosi Kesehatan menurut Pender


(Alligood & Tomey, 2006)

Adapun komponen elemen dari teori ini adalah sebagai berikut :


a. Teori nilai harapan (expectancy-value theory)
Menurut teori nilai harapan, perilaku sehat bersifat rasional dan ekonomis.
Seseorang akan mulai bertindak dan perilakunya akan tetap digunakan
dalam dirinya, ada 2 hal pokok yaitu :
1) Hasil tindakan bernilai positif
2) Pengambilan tindakan untuk menyempurnakan hasil yang diinginkan.
b. Teori kognitif sosial (social cognitive theory)
Teori model interaksi yang meliputi lingkungan, manusia dan perilaku yang
saling mempengaruhi. Teori ini menekankan pada: pengarahan diri (self
direction), pengaturan diri (self regulation) dan persepsi terhadap keyakinan
diri (self efficacy).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


54

Teori ini mengemukakan bahwa manusia memiliki kemampuan dasar:


1) Simbolisasi yaitu proses dan transformasi pengalaman sebagai petunjuk
untuk tindakan yang akan datang.
2) Pikiran ke depan, mengantisipasi kejadian yang akan muncul dan
merencanakan tindakan untuk mencapai tujuan yang bermutu.
3) Belajar dari pengalaman orang lain. Menetapkan peraturan untuk
generasi dan mengatur perilaku melalui observasi tanpa perlu melakukan
trial dan error.
4) Pengaturan diri menggunakan standar internal dan reaksi evaluasi diri
untuk memotivasi dan mengatur perilaku, mengatur lingkungan eksternal
untuk menciptakan motivasi dalam bertindak.
5) Refleksi diri, berpikir tentang proses pikir seseorang dan secara aktif
memodifikasinya.
Menurut teori ini kepercayaan diri dibentuk melalui observasi dan refleksi diri.
Kepercayaan diri terdiri dari :pengenal diri (self atribut), evaluasi diri (self
evaluation) dan keyakinan diri (self efficacy).

Dari uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pasien akan bertindak
dan tetap berperilaku jika hasil tindakan bernilai positif. Teori di atas juga
menekankan pada persepsi pasien tentang keyakinan diri. Berdasarkan hal
tersebut konsep ini dapat digunakan perawat untuk membentuk perilaku yang
positif pada pasien TB paru dengan meningkatkan self efficacy pasien agar pasien
memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai kesembuhan.
Pada perkembangan selanjutnya Pender melakukan revisi pada kerangka
konseptual model promosi kesehatan dari model sebelumnya menjadi sebagai
berikut:

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


55

Kerangka Konseptual Model Promosi Kesehatan


Sifat-sifat Perilaku spesifik Hasil Perilaku
dan pengalaman individu pengetahuan dan sikap
Manfaat dari tindakan yang
dirasakan

Hambatan untuk melakukan


tindakan Kebutuhan
bersaing rendah
atau tinggi dan
Hubungan Keyakinan diri yang preferensi
dengan perilaku dirasakan
sebelumnya

Tindakan terkait yang


mempengaruhi Komitmen
Model
pada
perilaku
rencana
kesehatan
tindakan
Pengaruh hubungan
interpersonal (Keluarga,
kelompok, provider), norma,
dukungan , model.
Faktor personal,
biologis,
psikologis, sosial
budaya
Pengaruh situasional: pilihan,
sifat kebutuhan, estetika.

Gambar 2.7 Revisi Model Promosi Kesehatan


dari Pender, N.J, Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A (2002).
Promosi kesehatan dalam praktik keperawatan dikutip dari Alligood
&Tomey (2006) hal 458.

Adapun definisi konsep mayor health promotion model revisi menurut Pender
diuraikan sebagai berikut:
a. Prior related behavior (hubungan dengan perilaku sebelumnya) adalah
frekwensi perilaku yang sama atau mirip masa lalu. Perilaku sebelumnya
mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan
perilaku promosi kesehatan.
b. Personal factors (faktor personal) meliputi aspek biologis, psikologis, dan
sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan prediksi dari perilaku yang didapat
dan dibentuk secara alami oleh target perilaku.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


56

c. Perceived benefits of actions (manfaat tindakan) adalah hasil positif dari


tindakan yang diharapkan terjadi dari perilaku kesehatan.
d. Perceived bariers to actions (hambatan tindakan yang dirasakan) adalah dapat
diantisipasi dan dibayangkan. Hambatan yang diantisipasi secara berulang
terlihat dalam penelitian empiris, mempengaruhi intensitas untuk terlibat
dalam suatu perilaku yang nyata yang dilaksanakan.
e. Perceived self efficacy (keyakinan diri) adalah judgment/keputusan dari
kapabilitas seseorang untuk mengorganisasi dan menjalankan tindakan secara
nyata.
f. Activity-related affect (afek/sikap yang berhubungan dengan aktivitas).
Perasaan subjektif muncul sebelum, saat dan setelah suatu perilaku, didasarkan
pada sifat stimulus perilaku itu sendiri.

g. Interpersonal influences (pengaruh interpersonal) adalah kesadaran mengenai


perilaku, kepercayaan atau pun sikap terhadap orang lain. Pengaruh
interpersonal termasuk di dalamnya adalah norma (harapan dari orang
terdekat), dukungan sosial (instrument dan emosional) dan modeling (belajar
melalui observasi dari orang lain yang melakukan perilaku tertentu). Sumber
utama pengaruh interpersonal adalah keluarga, kelompok dan pemberi layanan
kesehatan
h. Situational influences (pengaruh situasional) adalah persepsi dan kesadaran
personal terhadap berbagai situasi atau keadaan dapat memudahkan atau
menghalangi suatu perilaku.
i. Commitment to a plan of action (komitmen pada rencana tindakan), komitmen
menggambarkan konsep intensi dan identifikasi strategi perencanaan. Rencana
kegiatan dikembangkan oleh perawat dan pasien dengan pelaksanaan perilaku
kesehatan.
j. Immediate competing demands and preferences (kebutuhan bersaing dan
preferensi) adalah perilaku alternatif yang masuk ke dalam kesadaran
sehingga tindakan yang mungkin dilakukan segera sebelum kejadian terjadi.
k. Health promoting behavior (perilaku peningkatan kesehatan) adalah tindakan
akhir atau hasil tindakan. Perilaku ini akhirnya secara langsung ditujukan pada
pencapaian hasil kesehatan positif untuk pasien.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


57

Komponen paradigma health promotion model menurut Pender pada model revisi
telah banyak dilakukan penelitian misal untuk menilai persepsi manfaat dan
hambatan tindakan pada perilaku melakukan olahraga, deteksi dini kanker
payudara, perilaku promosi kesehatan. Grubbs dan Carter (2002) menjelaskan
bahwa manfaat tindakan olahraga yang dilakukan oleh mahasiswa adalah
meningkatkan tingkat fitnes fisik, penampilan, kekuatan otot dan tonus otot.
Sedangkan hambatan yang dirasakan oleh mahasiswa adalah olah raga membuat
lelah, mengalami kelelahan, butuh kerja keras dan tidak ada dukungan keluarga
untuk melakukan olahraga. Menurut Gasalberti (2002) tidak ada hubungan antara
tingkat kesehatan dengan perilaku melakukan pemeriksaan payudara untuk
deteksi dini kanker payudara. Hambatan yang dirasakan oleh pasien adalah berupa
ketakutan dan kecemasan terkena kanker. Johson dan Nies (2005) menjelaskan
bahwa biaya, kurangnya disiplin dan kurangnya motivasi merupakan faktor
hambatan dalam perilaku promosi kesehatan.

Berdasarkan uraian revisi health promotion model di atas, dapat dijelaskan bahwa
selain faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak selain dipengaruhi
oleh hasil tindakan yang diperoleh ternyata dipengaruhi oleh faktor lain yang
diantaranya adalah hambatan dalam melaksanakan tindakan dan faktor personal
pada seseorang. Faktor personal ini perlu mendapat kajian lebih lanjut untuk
menilai pengaruh perilaku pasien TB paru dalam mengambil tindakan perawatan.

Dalam health promotion model, Pender berasumsi bahwa manusia menciptakan


kondisi agar tetap hidup dimana mereka dapat mengekspresikan keunikannya.
Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran dirinya, termasuk
penilaian terhadap kemampuannya. Mampu menilai perkembangan sebagai suatu
nilai yang positif dan mencoba mencapai keseimbangan antara perubahan dan
stabilitas. Secara aktif berusaha mengatur perilakunya dan melakukan perubahan
perilaku dimana mereka mengharapkan keuntungan yang bernilai bagi dirinya
(Alligood & Tomey, 2006). Model revisi HPM Pender merupakan model yang
lebih fit dibandingkan model original. Model revisi ini lebih mampu menjelaskan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


58

perilaku promosi kesehatan dibandingkan model aslinya (Ronis, Hong & Lusk,
2006).

Pender berasumsi bahwa individu terdiri dari biopsikososial yang kompleks


berinteraksi dengan lingkungannya secara terus menerus, menjelmakan
lingkungan yang diubah secara terus menerus. Profesional kesehatan merupakan
bagian dari lingkungan interpersonal yang berpengaruh terhadap manusia
sepanjang hidupnya. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan
lingkungan adalah penting untuk perubahan perilaku (Alligood & Tomey, 2006).

Menurut Alligood dan Tomey (2006) Pender mengemukakan asumsi kesehatan


dalam beberapa hal. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh
mempengaruhi kepercayaan dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan. Manusia
lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu menarik,
perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku yang sudah ada.
Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber interpersonal
yang penting yang mempengaruhi, menambah atau mengurangi keinginan untuk
berperilaku promosi kesehatan. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal
dapat menambah atau mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam perilaku
promosi kesehatan. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yang spesifik
lebih memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan untuk jangka
waktu yang lama. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi
interpersonal dan lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan
kesehatan.

Menurut Rankin dan Stallings (2001) model revisi promosi kesehatan Pender
membuat kontribusi untuk pendidikan kesehatan pasien melalui fokus baru yaitu
komitmen pada rencana tindakan dan kebutuhan bersaing dan preferensi.
Mengevaluasi komitmen pasien pada rencana tindakan adalah kunci untuk
melaksanakan intervensi pendidikan. Jika penyedia layanan kesehatan
menentukan komitmen besar untuk mempromosikan gaya hidup sehat atau
skrining preventif, maka adalah suatu yang logis untuk menentukan kontrak

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


59

dengan pasien untuk menentukan tindakan yang seharusnya serta menyediakan


beberapa penghargaan untuk pasien. Kebutuhan bersaing dan preferensi juga
sangat penting bagi perawat atau penyedia layanan kesehatan lainnya yang harus
dipertimbangkan sebelum melakukan pendidikan kesehatan. Contoh seorang ayah
muda yang khawatir kehilangan pekerjaan, mungkin tidak akan mengambil cuti
untuk melakukan kontrol ke layanan kesehatan dibandingkan orang lain dengan
pekerjaan yang lebih stabil.

2.5 Model Partnership

Partnership adalah suatu konsep yang menjelaskan suatu model tentang hubungan
yang antara perawat dan pasien. Partnership dalam hal hubungan ini ditandai
oleh suatu kerjasama dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Kerjasama ini
menganggap bahwa setiap individu adalah sederajat dan memiliki kompetensi
yang diakui dan dapat dimanfaatkan.

Hook (2006) menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi partnership adalah


profesionalisme staf dan lingkungan. Profesionalisme staf meliputi
pengetahuan/keterampilan dalam membangun hubungan, komunikasi, kompetensi
klinis dan instrospeksi. Lingkungan meliputi aman, waktu, dukungan pimpinan
dan hubungan interdisiplin.

Model partnership adalah suatu proses yang memiliki tahapan yang saling
berhubungan. Setiap tahapan memiliki tujuan khusus dan memiliki interelasi yang
dinamis. Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa untuk membangun partnership
dibutuhkan 3 prinsip kunci yaitu persamaan (equity), keterbukaan (transparency)
dan saling menguntungkan (mutual benefit). Persamaan berarti siapa yang
menjalin partnership dalam hal ini perawat, pasien dan keluarga harus merasa
sama atau sederajat dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain
karena merasa lebih tinggi. Keterbukaan yang dimaksud adalah setiap anggota
membuka diri untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, hal ini
bertujuan untuk saling melengkapi dan saling membantu dalam mencapai tujuan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


60

Saling menguntungkan dalam partnership bukanlah menguntungkan dalam segi


materi atau uang tetapi keuntungan dalam hal mencapai tujuan secara bersama-
sama sehingga lebih efektif.

Jonsdottir, dkk (2004) menjelaskan inti dari praktik keperawatan relasional


sebagai partnership. Inti dari praktik keperawatan relasional adalah proses
partnership profesional. Dialog terbuka, caring, saling responsif dan non-direktif
terjadi dalam partnership. Perawat ada untuk memberi perhatian kepada pasien
dalam kaitannya dengan kesehatan mereka yang sulit dan makna pengalaman
kesehatan mereka yang terungkap. Perawat sepenuhnya hadir dan berhubungan
dengan pasien dengan perhatian terbuka dalam partnership. Perawat menjaga
pasien sebagai sesama manusia. Kemitraan tidak hanya terbuka tetapi merupakan
proses caring yang terus menerus. Dibawah ini diuraikan berbagai studi tentang
partnership:

A. Model partnership pada pasien dengan kanker menurut Endo, dkk.

Model partnership yang dibuat oleh Endo, Nitta, Inayoshi, Saito, Takemura,
Minegishi, Kubo dan Kondo (2000) pada dasarnya hampir sama dengan pedoman
penelitian yang dikembangkan oleh Neuman (1994) dan telah dilakukan pilot
study. Tujuan penelitian adalah untuk mengatasi proses partnership caring dengan
mengelaborasi pengenalan pola keluarga sebagai intervensi keperawatan dengan
keluarga dengan kanker. Penelitian dilakukan pada keluarga di Jepang dimana
istri atau ibu mereka mengalami kanker ovarium. Pengembangan model ini
dilakukan melalui empat tahap yaitu: (1) menetapkan mutualitas proses
penyelidikan, (2) memfokuskan wawancara pada peristiwa yang paling berarti
bagi seseorang dan kejadian dalam kehidupan keluarga, (3) berbagi
penggambaran peneliti mengenai pola keluarga yang telah ditransmutasikan dari
wawancara ke diagram yang sekuensial sebagai pola dari waktu ke waktu, (4)
identifikasi kejadian pola pengakuan keluarga dan wawasan ke dalam makna pola
hidup keluarga.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


61

Perawat peneliti melakukan partnership dengan keluarga yang berbeda dan


melakukan 3 wawancara dengan keluarga masing-masing. Pada pertemuan
pertama peserta diminta menggambarkan orang yang bermakna dan peristiwa
dalam sejarah keluarga mereka. Cerita keluarga ditransformasikan ke dalam
diagram pola sekuensial konfigurasi interaksional dan berbagi dengan keluarga di
pertemuan kedua. Bukti pengenalan pola dan wawasan makna dari pola keluarga
diidentifikasi lebih lanjut dalam pertemuan ketiga

Hasil yang diperoleh menunjukkan 5 dimensi transformasi proses pengenalan pola


keluarga. Sebagian besar keluarga menemukan makna dalam pola keluarga
mereka, keluarga menunjukkan keterbukaan meningkat, keterhubungan dan
kepercayaan dalam partnership caring. Adapun 5 dimensi transformasi atau 5 fase
pola keluarga yang ditemukan adalah sebagai berikut:
1) Tahap 1: Perhatian utama keluarga-perawat dan evolusi pola keluarga
Tahap ini dimulai dari setiap anggota keluarga mengemukakan pendapat
dan anggota keluarga lain mendengarkan sehingga setiap anggota keluarga
dapat memahami diri sendiri dan anggota keluarga yang lain. Keluarga
menjadi suatu pola yang melekat dimana perawat dan seluruh anggota
keluarga dapat berpartisipasi dalam setiap pertemuan.
2) Tahap 2: Pengakuan pola keluarga sebagai keseluruhan dan pola anggota
keluarga sebagai bagian dari keseluruhan.
Fase ini mengacu pada pengenalan pola anggota keluarga sebagai bagian
dari pola keluarga. Pada fase ini mulai ditemukan makna dan saling
pengertian terhadap pola keluarga. Perawat dan keluarga saling menerima
dan penuh perhatian.
3) Tahap 3: Penerapan makna dalam pola keluarga
Setiap anggota keluarga memiliki makna yang berasimilasi menjadi makna
bersama dalam pola keluarga. Ketika proses mungkin akan terjadi
berbagai ketegangan tetapi pada saat makna bersama ditemukan maka
ketegangan ini perlahan akan menurun.
4) Tahap 4: Caring dan potensi aksi

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


62

Ketika terjadi pengakuan adanya kesamaan makna dalam pola keluarga


maka masing-masing anggota keluarga akan saling peduli dan berbagi
dalam setiap tindakan. Anggota keluarga akan percaya diri dengan
keberadaannya dan percaya diri dalam melakukan tindakan.
5) Tahap 5: Transformasi
Tahap ini mengacu kepada ekspresi keluarga akan tindakan perubahan
keadaan dan realisasi pertumbuhan diri. Keadaan keluarga yang biasanya
saja akan terlihat lebih harmonis.

Dalam partnership caring setiap perawat-peneliti memahami pola keluarga


sebagai makna keseluruhan dari caring. Pengenalan pola keluarga sebagai
intervensi keperawatan adalah proses pembentukan makna transformasi dalam
partnership keluarga dan perawat. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk
pemahaman proses pengenalan pola sebagai partnership caring dengan keluarga.

B. Partnership care model pada pasien hipertensi menurut Mohammadi,


dkk.

Model partnership yang dikembangkan oleh Mohammadi, dkk (2002) didahului


dengan studi kualitatif dengan metode grounded theory untuk menggambarkan
dan menjelaskan masalah hipertensi pada pasien di Iranian. Tujuan utama
penelitian partnership caring ini adalah untuk menentukan struktur penting dalam
mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi dan mengidentifikasi penjelasan
teoritis dari masalah tersebut. Partisipan yang dipilih adalah pasien yang
mengalami hipertensi minimal 4 tahun dan berada dalam perawatan, dokter dan
perawat yang bertanggung jawab dalam pengobatan dan perawatan selama
minimal 2 tahun. Tahap awal dipilih 4 partisipan kemudian dipilih delapan,
sepuluh dan dua belas dengan konsekuensi sudah terjadi saturasi data.

Data dikumpulkan melalui dua wawancara terbuka (3 minggu setiap bagian), field
notes, observasi, dokumen, jurnal dan review literatur. Dalam wawancara terbuka

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


63

(pasien, dokter dan perawat), diwawancara dengan pertanyaan yang mengacu


pada pertanyaan riset untuk menentukan struktur penting dalam mengontrol
hipertensi. Hasil wawancara direkam melalui tape recorder. Observasi langsung
dan catatan dibuat ketika kunjungan ke klinik berkenaan dengan dokter,
pengobatan, perawatan yang diberikan di rumah sakit dan perencaan pulang oleh
perawat. Wawancara, observasi dan review catatan digunakan sebagai triangulasi
untuk meningkatkan kredibilitas penelitian. Data yang terkumpul di analisis
dengan metode analisis komparatif konstan.

Partnership caring theory yang berhasil digeneralisasikan dari penelitian meliputi


konsep dan proses: ketidakpatuhan pasien, tidak efektif hubungan perawatan
antara pasien, dokter dan perawat, kurangnya kesadaran dan pengertian pasien
akan sifat penyakit dan efek samping yang membahayakan dari penyakitnya, perlu
kesadaran dan partisipasi aktif pasien dalam mengontrol hipertensi seperti yang
dilakukan oleh dokter dan perawat dalam proses mengontrol hipertensi tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Mohammadi, dkk (2002) menekankan bahwa


variabel tidak efektifnya hubungan pasien, dokter dan perawat merupakan
variabel inti. Berdasarkan hal tersebut Mohammadi, dkk berkeyakinan bahwa
perlu dibuat model atau mekanisme yang menjamin kepatuhan pasien selama
pengobatan dan proses perawatan. Pendekatan partnership dapat meningkatkan
keterlibatan, motivasi dan komitmen individu dalam kelompok. Peneliti pada
tahap selanjutnya merancang “partnership care model”. Pada model ini
partnership meliputi seluruh tim yang meliputi pasien, dokter dan perawat
sementara riset sebelumnya lebih banyak menekankan pada pasien.

Model partnership care model adalah model yang merupakan suatu tahap yang
berkesinambungan seperti dijelaskan oleh Mohammadi, Abedi, Jalali, Gofranifour
dan Kazemnejad (2006) bahwa model partnership adalah tahap-tahap yang
mengikuti suatu tujuan khusus dan memiliki keterkaitan yang dinamis seperti
yang dijelaskan pada gambar 2.5. Tahap-tahap ini terdiri dari motivasi
(motivation), kesiapan (readying), keterlibatan (involvement) dan evaluasi

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


64

(evaluation). Penelitian dilakukan secara clinical trial pada pasien hipertensi di


Iran untuk mengontrol hipertensi. Tahap pertama pada model partnership pada
pasien dengan hipertensi ini adalah motivasi. Motivasi sangat diperlukan pada
pasien hipertensi karena penyakit hipertensi adalah termasuk penyakit silent
disease dan banyak pasien tidak menyadari memiliki penyakit hipertensi.
Motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien agar mau terlibat secara aktif
dalam proses pengendalian penyakit. Setelah melalui tahap motivasi maka tahap
kesiapan pasien menjadi pertimbangan berikutnya. Pada tahap ini menyiapkan
desain program dan anggota tim partnership sangat diperlukan serta menyiapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Mereka menyiapkan diri untuk
berpartisipasi dalam perawatan diri. Hal ini dicapai selama proses pendidikan
selama kegiatan partnership dilakukan. Tahap selanjutnya adalah keterlibatan
yang berarti proses yang terus menerus dan partisipasi aktif anggota serta
kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan diri selama pertemuan-pertemuan
partnersip. Proses evaluasi dan modifikasi dilakukan selama situasi pengamatan
yang diperoleh dari pertemuan berkala. Secara keseluruhan tujuan praktis dari
model partnership ini adalah untuk membentuk hubungan yang efektif antara
anggota kelompok dan meningkatkan kerjasama, motivasi dan tanggung jawab
anggota dalam proses perawatan dalam rangka meningkatkan kesehatan, kualitas
pelayanan, kepuasan pasien dan mengurangi faktor resiko.

Motivation

Partnership
for health Readying
Evaluation
promotion

Involvement

Gambar 2.8 Empat tahap partnership Mohammadi (2006)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


65

Mohammadi (2006) menjelaskan bahwa proses dari model partnership yang


digunakan terdiri dari dua tahap yaitu (1) pertemuan pendidikan partnership
(educational partnership meeting), (2) tindak lanjut pertemuan partnership
(follow-up partnership meeting). Pada tahap pertama dilakukan empat pertemuan
yang terdiri dari 5-7 pasien dengan 1 orang perawat dan 1 orang dokter. Perawat
berperan sebagai pemimpin dan dokter hadir sebagai pendukung dan memberi
kontribusi dalam proses diskusi. Pertemuan pertama pada pertemuan pendidikan
partnership berisi topik mengenai sifat, penyebab dan komplikasi hipertensi.
Pertemuan kedua berisi topik terapi non-obat, pertemuan ketiga berisi topik terapi
obat dan pada pertemuan terakhir berisi topik pentingnya pengukuran dan
pencatatan tekanan darah secara terus menerus.
Pada tahap kedua dilakukan 11 pertemuan dalam 1 tahun. Pertemuan ini
dilakukan seperti pada pertemuan tahap pertama yang terdiri dari 5-7 pasien, 1
orang perawat dan 1 orang dokter. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk
memberi motivasi dan mengevaluasi kepatuhan pasien dan partisipasi selama
proses perawatan dan terapi. Dalam setiap pertemuan dilakukan pengukuran
tekanan darah, program pendidikan pasien, evaluasi medis dan pemberian resep
yang dilakukan selama 40-45 menit. Program pendidikan yang diberikan
dirancang sesuai dengan kebutuhan pasien. Hasil dari model partnership selama 1
tahun ini diperoleh hasil terdapat penurunan yang signifikan dari tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik pada kelompok intervensi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Selain penurunan yang signifikan pada penurunan
tekanan darah, pada kelompok intervensi memiliki BMI (body mass index), HDL
(high density lipoprotein), kecemasan, kualitas hidup dan skor kepatuhan yang
lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.

C. Model partnership Hook

Hook (2006) melakukan analisis konsep dari model partnership dalam konteks
hubungan seorang profesional dengan pasien. Adapun alasan Hook melakukan
analisis ini karena dirasakan konsep partnership sebelumnya belum matang

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


66

sehingga dibutuhkan konsensus dan konsistensi. Metode yang digunakan oleh


Hook adalah metode analisa dari Roger dengan mencari literatur dari berbagai
disiplin dan ditemukan 62 literatur dari tahun 2000-2004. Pencarian dilakukan
melalui CINAHL, Medline, Social science index dan PsyINFO. Dari 62 literatur
ini sebanyak 42% adalah literatur keperawatan, 5% dari terapi okupasi, 5% dari
pengunjung kesehatan, 2% dari kesehatan jiwa dan sitasi tunggal dari terapi fisik,
kedokteran holistik, sosiologi, pastoral care dan pemasaran.
Adapun hasil analisis dapat dilihat pada gambar berikut:

Antecedants; Atribut partnership Konsekuen


(Proses dan struktur)

Staf professional:
Kompetensi H Berbagi Peningkatan
-Nilai P
-Pengetahuan/keterampilan profesional pengetahuan Manajemen
U E
dalam membangun hubungan diri
M
dan komunikasi
-kompetensi klinik B B
Berbagi E
-introspeksi kekuasaan
U R Peningkatan
D utilisasi
Komunikasi pelayanan
N A
Y kesehatan
Lingkungan: Otonomi A
-aman
G pasien A
-waktu N
-dukungan kepemimpinan A Peningkatan
Berbagi
-hubungan interdisiplin Partisipasi pasien pengambilan outcome
N keputusan kesehatan

Gambar 2.9 Antecedans, atribut dan konsekuen partnership (Hook, 2006)

Dalam penerapan model partnership dapat ditemukan beberapa hambatan dalam


pelaksanaanya. Partnership adalah hubungan kerjasama yang sederajat, saling
mengakui kompetensi dan bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan. Bila
salah satu pihak merasa memiliki kekuasaan yang lebih dari yang lainnya maka
akan terjadi kekuasaan yang tidak seimbang. Perawat akan memberi pengetahuan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


67

yang merasa dibutuhkan pasien dan mengambil keputusan untuk pasien dan bukan
membantu pasien untuk mengambil keputusan. Henderson (2003) menemukan
beberapa faktor yang menyebakan terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang
yaitu perawat memberi informasi, perawat mengontrol interaksi dengan pasien
dan perawat menggunakan kekuasaan.

D. Partnership Keperawatan Keluarga

Penelitian Jondottsir, dkk (2007), menggambarkan proses partnership antara


perawat peneliti dan pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas
yang parah karena PPOK (penyakit paru obstruksi kronis). Hidup dengan gejala
penyakit paru-paru adalah tantangan. Dampak sulit bernafas pada individu dan
keluarga sering diabaikan oleh pelayanan kesehatan yang terbatas dalam
mengelola manifestasi klinis dan penyebab pernafasan yang sulit. Penelitian ini
menggambarkan pendekatan yang berbeda untuk praktik keperawatan keluarga
yang dinamakan partnership. Partnership adalah pendekatan praktik keperawatan
dimana perawat berhubungan dengan individu, keluarga, kelompok dan
komunitas sebagai “pasien”.

Jondottsir, dkk meneliti pengalaman pasangan dengan berpartisipasi dalam


konteks praktik (researcher-as-if practitioner). Partisipan dalam studi ini adalah
pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas, hidup satu rumah
dengan suami, usia 45-60, dan masuk rumah sakit berulang dalam 2 tahun
terakhir. Lima pasangan berpartisipasi sebagai partisipan. Data yang dihasilkan
didasarkan pada dialog yang mencerminkan research-as-if practice.

Dari hasil didapatkan tiga tema yang berkaitan dengan proses partnership antara
perawat sebagai peneliti dan pasangan dengan istri yang mengalami kesulitan
bernafas. Tema yang didapatkan yaitu: koherensi hidup dengan gejala dan
regimen pengobatan, hidup sepenuhnya dan mengambil hal-hal saat mereka
datang, dan efisiensi penggunaan pelayanan kesehatan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


68

Tema menemukan koherensi dalam kehidupan dengan gejala dan regimen


pengobatan, mengungkapkan sifat dialog relasional yang mencirikan partnership.
Memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog dengan perawat tentang hidup
dengan penyakit merupakan suatu hal baru dan sangat berharga bagi pasangan.
Dalam dialog, perawat empati dan aktif mendengar. Tema hidup sepenuhnya dan
mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang mencerminkan tantangan keluarga
dalam menemukan diri mereka, membuat mereka ingin hidup, meminimalkan
penyakit dan mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang. Interaksi dengan
professional kesehatan, khususnya dokter memiliki signifikansi yang tak terduga
dalam penelitian dan tercermin dalam tema efisiensi penggunaan fasilitas
kesehatan. Mengartikulasikan partnership dalam penelitian ini tidak dimaksudkan
menjadi resep atau instruksi bagi perawat untuk bagaimana terlibat dengan pasien
tetapi saran untuk “transformasi praktik keperawatan”.

Dari beberapa studi tentang model di atas dapat disimpulkan bahwa masing-
masing model memiliki fokus sentral yang berbeda-beda. Model partnership care
dari Endo, 2000 menekankan pada pola pengenalan keluarga dalam hal ini pada
pengenalan pola keluarga pada pasien kanker. Dalam pengenalan pola keluarga ini
ditemukan 5 proses transformasi dari pola keluarga yang dimulai dari perhatian
terhadap evolusi pola keluarga, pengakuan pola keluarga, penerapan makna pola
keluarga, caring dan potensi, dan transformasi pola keluarga. Pola keluarga ini
merupakan transformasi proses partnership sebagai intervensi keperawatan dalam
merawat pasien kanker. Dari model partnership ini dapat disimpulkan bahwa
pola pehamanan yang sama dalam hal ini pola keluarga merupakan inti dari model
partnership untuk mencapai tujuan yaitu merawat keluarga dengan pasien kanker.
Pengenalan pola keluarga merupakan hal yang penting dalam proses patnership
tetapi masih memiliki kelemahan bahwa model ini belum menjelaskan tahapan
proses partnership dalam proses asuhan keperawatan.

Model partnership caring dari Mohammadi, 2002 menekankan pada struktur


penting dalam membentuk model partnership untuk merubah perilaku pasien
dalam mengontrol hipertensi. Studi ini dilanjukan oleh Mohammadi, 2006 dengan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


69

menguraikan tahapan-tahapan proses dalam mengontrol hipertensi. Tahapan ini


terdiri dari motivasi, readying, involvement dan evaluasi. Kelemahan model ini
adalah belum menjelaskan proses interaksi antara perawat dan pasien yang
seharusnya merupakan hal penting dalam proses partnership.

2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model Pender
dan Model Partnership.

Menurut King setiap individu adalah personal yang tercermin melalui persepsi,
diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran, ruang, waktu
dan koping. King menekankan bahwa manusia memiliki perasaan dan persepsi,
makhluk sosial, rasional, memiliki kontrol, bertujuan dan berorientasi pada
tindakan dan berorientasi pada waktu. Diri merupakan konsep kedua dari sistem
personal yang merupakan individu secara keseluruhan. Pengalaman dan persepsi
yang tersimpan dalam diri seseorang adalah apa yang membentuk diri. Sikap,
gagasan, kebutuhan, nilai, tujuan dari individu dan sifat genetik merupakan faktor
yang mempengaruhi diri. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan konsep
ketiga dari sistem personal King, King mengidentifikasi bahwa pengalaman hidup
dan lingkungan yang positif maupun negatif mempengaruhi perubahan individu.
Gambaran diri merupakan konsep sistem personal yang dipengaruhi oleh
lingkungan dan persepsi, dengan demikian gambaran diri dianggap suatu hal yang
subyektif. Ruang adalah lingkungan dimana perawat dan pasien berinteraksi,
waktu digambarkan sebagai periode dari peristiwa yang dialami oleh setiap
individu. Pembelajaran dan koping adalah konsep yang ditambahkan terakhir oleh
King.

Sistem interpersonal terjadi ketika individu berinteraksi satu dengan yang lain
seperti interaksi antara perawat, pasien dan keluarga. Konsep yang berhubungan
dengan sistem interpersonal adalah peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan
komunikasi. Peran merujuk pada seperangkat perilaku yang diharapkan seseorang
dalam posisi spesifik dalam sistem sosial. Peran dalam sistem interpersonal

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


70

memerlukan komunikasi dan hubungan yang interaktif. Stres adalah perubahan


energi posistif dan negatif antara individu dan lingkungan, obyek, kejadian atau
orang lain. Stres dapat berupa fisiologik, psikologis dan sosial. Interaksi
didefinisikan sebagai tindakan 2 orang atau lebih, proses interaksi ini melibatkan
proses yang dipengaruhi oleh situasi. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi
tujuan dimana individu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan
lingkungan untuk mencapai tujuan. Ketika transaksi terjadi maka tujuan tercapai.
Komunikasi adalah transmisi informasi verbal dan non verbal antara 2 atau lebih
individu dalam lingkungan dan komunikasi dinamis terus terjadi dalam proses
interaksi ini.

Sistem sosial berkembang sebagai hasil dari sistem personal yang lebih besar
seperti keluarga, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat. Dalam sistem
sosial terdapat konsep kekuasaan, otoritas, pengambilan keputusan, organisasi dan
status. Sistem sosial dapat digunakan sebagai sistem pendukung bagi pasien yaitu
berupa dukungan keluarga dan dukungan dari sistem pelayanan kesehatan.

Pendekatan lain yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pasien agar


memiliki kepatuhan berobat berkaitan dengan penyakit dan masalah fisik salah
satunya menggunakan pendekatan promosi kesehatan. Teori HPM digunakan
sebagai kerangka teori untuk membangun penelitian ini. HPM secara konseptual
terdiri dari tiga komponen yaitu karakteristik individu, sikap dan perilaku spesifik,
dan hasil perilaku. Karakteristik individu dan pengalaman berhubungan dengan
perilaku dan faktor personal (biologis, psikologis, sosiokultural) yang merupakan
dasar pengalaman dari individu untuk memilih terikat dengan perilaku promosi
kesehatan. Sikap dan perilaku spesifik berkaitan dengan persepsi manfaat dan
hambatan tindakan, persepsi keyakinan diri, sikap yang berhubungan dengan
aktivitas, pengaruh interpersonal dan pengaruh situasional merupakan pusat dari
HPM dimana komponen tersebut dapat dirubah.

Dalam promosi kesehatan pasien seringkali pasif dan sedikit bertanya, dengan
pendekatan sistem interaksi pasien dapat termotivasi untuk terlibat secara aktif

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


71

dan berdiskusi tentang manfaat dan hambatan untuk melaksanakan tindakan untuk
mencapai kepatuhan. Kerangka teori yang digunakan dalam membangun model
peningkatan kepatuhan adalah model partnership, dalam model partnership
menekankan adanya persamaan, kesejajaran dan keterbukaan, prinsip ini
digunakan dalam interaksi perawat-pasien dimana perawat harus memposisikan
diri sebagai fasilitator yang memiliki persamaan tujuan yaitu kepatuhan pasien
untuk mencapai kesembuhan. Sistem interaksi harus menekankan keterbukaan
antara perawat pasien sehingga akan mudah untuk mengkaji, menganalisis dan
melakukan intervensi segala permasalahan. Aspek kesejajaran ditekankan bahwa
walaupun perawat lebih tahu tentang masalah kesehatan, akan tetapi yang
memiliki permasalahan adalah pasien. Sehingga pasienlah yang berhak
memutuskan apa yang terbaik untuk mereka dan perawat hanya sebagai fasilitator
dan edukator.

2.7 Kerangka Teori Penelitian


Kerangka teori disusun berdasarkan teori yang sudah dijelaskan pada bahasan
sebelumnya, kerangka teori merupakan panduan teoritis untuk melaksanakan
penelitian. Teori, konsep dan model yang digunakan untuk membangun kerangka
teori ini adalah teori sistem interaksi King, health promotion model Pender dan
model partnership Mohammadi.

Teori pencapaian tujuan King digunakan untuk mengembangkan model


peningkatan kepatuhan pasien dengan memperhatikan sistem personal dan
interpersonal pasien pasien. Kebutuhan pasien akan dinilai berdasarkan sistem
personal dengan memperhatikan persepsi, diri, gambaran diri, pembelajaran,
ruang, waktu dan koping. Sistem interpersonal pasien dinilai dengan
memperhatikan komunikasi, peran, stres dan stresor yang terjadi dalam interaksi
diantara pasien dan perawat sehingga tercapai transaksi. Dalam proses mencapai
tujuan peningkatan kepatuhan pasien diperlukan komitmen pasien yang sesuai
dengan teori health promotion model Pender. Komitmen dapat dinilai dari self
efficacy dan motivasi pasien. Model partnership diintegrasikan ke dalam teori
King sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan. Model partnership digunakan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


72

dalam proses intervensi dengan menggunakan azas persamaan, kesejajaran dan


keterbukaan.

Aplikasi kerangka kerja sistem interaksi King, health promotion model (HPM)
Pender dan model partnership sangat dimungkinkan untuk mengembangkan
model peningkatan kepatuhan pada pasien TB paru. Dalam penelitian ini teori
HPM Pender dan model partnership digunakan sebagai kerangka teori untuk
membangun model. Faktor biologis pada HPM merupakan faktor yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku digunakan sebagai faktor perancu yang
mempengaruhi hubungan model dengan variabel dependen. Model partnership
diterapkan sebagai salah satu komponen komunikasi dalam interaksi yang
menanamkan adanya kesejajaran antara perawat-pasien. Berdasarkan hal tersebut
di atas penulis merasa perlu menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan
teori untuk penelitian.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


KERANGKA TEORI PENELITIAN
Faktor pendukung Variabel yang
1. Pendidikan berhubungan:
Sistem Interaksi Pasien berdasarka teori 2. Akomodasi 1. Ciri-ciri
King 3. Modifikasi kesehatan dan
faktor pengobatan
 Sstem personal: persepsi, diri, lingkungan dan 2. Ciri-ciri individu
tumbuh kembang, gambaran diri, sosial 3. Komunikasi
ruang dan waktu 4. Perubahan model antara penderita
 Sistem interpersonal: komunikasi, terapi dengan petugas
stress, peran, interaksi dan transaksi 5. Meningkatkan kesehatan
 Sistem sosial: otoritas, pembuat interaksi 4. Variabel sosial
keputusan, organisasi, kekuasaan dan profesional 5. Persepsi dan
status kesehatan harapan
Model dengan pasien penderita
peningkatan
Kepatuhan
Health Promotion Model Nola J.Pender
 Sifat dan pengalaman individu
Pasien:
 Perilaku spesifik pengetahuan dan
sikap 1. Pengetahuan
 Komitmen pada rencana tindakan 2. Intensi perilaku:
 Perilaku promosi kesehatan self efficacy dan
motivasi
3. Kepatuhan:
Model partnership perawat pasien dalam pencegahan
mencapai tujuan: penularan, nutrisi,
 Persamaan pengobatan
 Kesejajaran
 keterbukaan

Gambar 2.10 Kerangka Teori Penelitian


73

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
PENELITIAN

Dalam bab 3 ini akan menguraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis
penelitian dan definisi operasional dari variabel pengembangan model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel dependen
yaitu pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan kepatuhan nutrisi
dan kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep merupakan struktur dari konsep dan atau teori yang diletakkan
secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu penelitian. Dalam
kerangka konsep menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan
kepatuhan pengobatan.

Kerangka konsep pada penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu kerangka
konsep penelitian tahap 1 dan kerangka konsep penelitian tahap 2. Di bawah ini
digambarkan kerangka konsep penelitian tahap 1 sebagai berikut:

Model
peningkatan
Studi Studi Konsultasi kepatuhan
literatur kualitatif pakar berbasis teori
sistem interaksi
King

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Tahap 1

74 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


75

Adapun kerangka konsep penelitian tahap II dapat digambarkan pada skema di


bawah ini:

Variabel independen Variabel dependen

Model peningkatan  Pengetahuan


kepatuhan berbasis  Self efficacy
teori sistem interaksi  Motivasi
King  Pencegahan penularan
 Kepatuhan nutrisi
Perawat Pasien  Kepatuhan pengobatan

Variabel perancu
 Usia
 Jenis kelamin
 Tingkat pendidikan
 Status perkawinan
 Pekerjaan

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Tahap II.

Berdasarkan kerangka konsep yang sudah dibuat, penelitian tahap 1 adalah


pembentukan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar.
Penelitian tahap 2 adalah validasi model dengan variabel penelitian sebagai
berikut:
1. Variabel independen
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
2. Variabel dependen
Pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan
nutrisi dan kepatuhan pengobatan.
3. Variabel perancu
Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


76

3.2 Hipotesis
Hipotesis mayor:
Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
efektif meningkatkan kepatuhan pasien TB paru
Hipotesis Minor:
1) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
2) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.
3) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.
4) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.
5) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru.
6) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
7) Terdapat hubungan variabel perancu:usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


77

3.3 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi operasional variabel:
VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL ALAT UKUR CARA UKUR HASIL UKUR SKALA UKUR

Variabel Independen/
Intervensi
Model peningkatan Serangkaian intervensi Model yang 1. Pasien yang kategorik
kepatuhan berbasis teori keperawatan yang bertujuan dikembangkan dan mendapatkan
sistem interaksi King untuk meningkatkan diujicobakan kepada model peningkatan
kepatuhan pasien TB paru pasien TB Paru. kepatuhan
dengan memperhatikan Peneliti sendiri yang
sistem interaksi pasien yaitu menerapkan uji coba 2. Pasien yang
sistem personal, sistem model kepada pasien tidak mendapatkan
interpersonal dan sistem TB Paru model kepatuhan
sosial
Variabel dependen:
 pengetahuan Pengetahuan pasien tentang Kuesioner Pasien mengisi Skor (0-100) Numerik
TB paru yang meliputi kuesioner
pengetahuan sakit dan
penyakit, pemeliharaan
kesehatan dan kesehatan
lingkungan

 Self Efficacy Keyakinan pasien bisa kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
mencapai hasil yang baik kuesioner Skor 10-50
dalam pengobatan
 Motivasi Dorongan untuk bertindak Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
melakukan pengobatan dan kuesioner Skor 10-50
perawatan untuk mencapai
kesembuhan
 Kepatuhan: Pencegahan Tindakan pasien mencegah Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
penularan penularan kepada orang lain kuesioner Skor 10-50

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


78

 Kepatuhan: nutrisi  Tindakan pasien Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) numerik
untuk menkonsumsi kuesioner Skor (10-50)
diet ETPT (energi
tinggi protein tinggi)
PARAMETER
 Perubahan berat Timbangan BB Penimbangan BB BB dalam kg numerik
badan pada akhir pasien
bulan ke-2 dan ke-5
pengobatan
 Kepatuhan pengobatan Ketepatan pasien minum Dosis Menghitung pil 1. Sesuai
obat sesuai waktu, dosis, dan 2. tidak sesuai kategorik
lama pengobatan
Cara Kuesioner 1. Satu kali kategorik
satu waktu
2. Beberapa
waktu
Waktu kuesioner 1. Sebelum kategorik
makan
2. Setelah
makan
Formulir TB-01 dan Pendataan pasien 1. Patuh kategorik
formulir TB-02 melalui 2. Tidak patuh
kunjungan, (drop out)
menghitung
jumlah obat,
bungkus dan sisa
obat
Variabel perancu
Faktor personal
 usia Umur pasien sejak lahir Angket Wawancara Golongan usia kategorik
sampai hari penelitian tentang usia menurut depkes,

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


79

responden dalam yang kemudian


tahun dibuat dalam 2
kategori
1. 18-45 th
2. 45-65 th
 jenis kelamin Pengelompokan responden Angket Wawancara 1.Laki-laki kategorik
menjadi laki-laki dan tentang jenis 2.Perempuan
perempuan kelamin
responden
 tingkat pendidikan terakhir Jenjang pendidikan yang Angket Wawancara 1. pendidikan kategorik
ditempuh responden secara tentang formal < 9
formal pendidikan tahun
responden 2. Pendidikan
formal > 9
tahun

 Status kawin Status perkawinan Angket Wawancara 1.Kawin kategorik


responden tentang status 2.Belum
perkawinan Kawin/Janda/duda
responden
 Pekerjaan Sesuatu yang sengaja Angket Wawancara 1.Bekerja kategorik
dilakukan oleh seseorang tentang pekerjaan 2.Tidak
untuk mendapatkan responden Bekerja
penghasilan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 4

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap pertama adalah
pengembangan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar
dan tahap kedua adalah validasi model menggunakan desain quasi eksperimen.

4.1 Tahap I: Penelitian Tahap 1

Pada pengembangan model melalui penelitian kualitatif bertujuan untuk


menghasilkan model dari hasil temuan pengalaman pasien TB paru dalam upaya
mencapai kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Adapun tujuan khusus
penelitian ini adalah menguraikan sistem personal, menguraikan sistem
interpersonal dan menguraikan sistem sosial pada pasien patuh.

4.1.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif
eksploratif. Metode ini digunakan untuk mengeksplorasi, memahami dan
menafsirkan pengalaman pasien yang menyebabkan pasien patuh dalam
menjalankan pengobatan TB paru berbasis teori sistem interaksi King.

4.1.2 Partisipan Penelitian


Partisipan penelitian ini adalah pasien TB yang berobat di Poli Paru RS Haji
Surabaya pengobatan dengan melihat catatan medik, dengan kriteria:
1. Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan
menanda tangani surat persetujuan atau informed consent
2. Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun)
3. Pasien yang patuh berobat selama 5-6 bulan dengan kriteria hasil
BTA menunjukkan negatif.
4. Mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang dapat dipahami
oleh peneliti.

80 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


81

Pemilihan sampel dilakukan melalui metoda purposive sampling, yaitu


memilih sampel sebagai informan penelitian sesuai dengan tujuan
penelitian. Informan atau partisipan dalam penelitian ini adalah 8 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan 8 partisipan ini karena saat
pengambilan data telah terjadi saturasi. Pada penelitian ini partisipan
adalah pasien TB paru yang telah menjalani pengobatan selama 6 bulan.

4.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di poli paru RSU Haji Surabaya, waktu penelitian
pada bulan Maret-April 2013. Pemilihan dilakukan di RSU Haji Surabaya
karena RSU Haji surabaya merupakan RS Pemerintah Provinsi Jatim
dimana banyak pasien TB paru yang berobat.

4.1.4 Etika Penelitian


Penelitian telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Komite Etik RSU Haji
Surabaya. Etika penelitian yang diterapkan memenuhi prinsip etik
beneficence, prinsip menghargai harkat dan martabat manusia serta prinsip
keadilan sesuai polit dan Beck (2008). Yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:

4.1.4.1 Prinsip beneficence


Untuk memenuhi prinsip beneficence peneliti memastikan penelitian yang
dilakukan menjamin bahwa manfaat yang didapatkan dari penelitian ini jauh lebih
besar daripada risiko yang mungkin ditimbulkan. Peneliti menjelaskan bahwa
penelitian ini hanya menggali pengalaman selama menjalankan pengobatan TB
paru dan tidak melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan partisipan.
Selama proses wawancara peneliti melakukan wawancara senyaman mungkin dan
partisipan dapat mengungkapkan pengalamannya secara terbuka dan leluasa.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


82

4.1.4.2 Prinsip menghargai harkat dan martabat manusia.


Untuk menghargai harkat martabat manusia dalam penelitian ini partisipan
mendapat informasi secara lengkap terlebih dahulu dan berhak untuk menerima
atau menolak terlibat dalam penelitian ini. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian
yaitu untuk menggal faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam
pengobatan TB paru. Peneliti juga menjelaskann alasan pemilihan partisipan yaitu
karena partisipan patuh berobat selama 5-6 bulan ini, kemudian peneliti meminta
kesedian partisipan untuk wawancara dan dilakukan penanda tanganan informed
consent sebagai bukti partisipan bersedia dilakukan wawancara. Wawancara
dilakukan di poli paru RSU Haji sekitar 45 menit untuk setiap partisipan.

4.1.4.3 Prinsip keadilan


Prinsip keadilan adalah hak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak
mendapatkan keleluasaan pribadi (privacy). Peneliti memberi perlakuan yang
sama kepada partisipan tanpa membeda-bedakan usia, jenis kelamin, pekerjaan,
suku, agama dan status sosial. Perlakuan yang sama diterapkan pada saat
wawancara yaitu, waktu yang hampir sama, tempat dan suasana ruangan yang
hampir sama. Peneliti menjelaskan bahwa hasil wawancara akan dipublikasikan
namun identitas dari partisipan akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan
dipublikasikan. Semua nama akan diganti dengan kode yang diketahui hanya oleh
peneliti. Peneliti juga menjelaskan bahwa hasil penelitian ini akan memberi
manfaat pada pasien TB paru yang nanti akan menjalani pengobatan selama 6-9
bulan.

4.1.5 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah pertama yang dilakukan adalah melihat catatan medik pasien yang
berobat di poli paru. Pasien yang dipilih adalah pasien yang terakhir kontrol
ke rumah sakit yaitu akhir bulan ke-5 dan menunjukkan BTA negatif . Hal
lain yang disiapkan adalah ruangan untuk wawancara. Setelah itu dilakukan
wawancara pada pasien yang memenuhi kriteria dengan sebelumnya

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


83

memberikan penjelasan dan penandatanganan surat persetujuan penelitian.


Wawancara dilakukan antara 30-45 menit.

Persiapan lain yang dilakukan selain menyiapkan partisipan adalah


persiapan alat. Peneliti memastikan bahwa alat rekam mampu merekam
dengan baik. Hal yang dilakukan peneliti adalah memastikan alat memiliki
baterai yang cukup untuk merekam, posisi volume suara adalah posisi
terendah dan memori alat rekam masih banyak.

Pada saat wawancara, peneliti menggunakan tehnik wawancara jenis


pertanyaan terstruktur untuk menggali pengalaman partisipan. Peneliti
selalu mengajukan pertanyaan terbuka di awal wawancara. Saat ada
jawaban partisipan belum jelas, peneliti memvalidasi jawaban partisipan
dengan tehnik pertanyaan klarifikasi.

Seluruh wawancara dilakukan dengan posisi berhadapan antara peneliti dan


partisipan. Dengan posisi ini peneliti tidak mengalami hambatan saat
membuat catatan lapangan yang berisi respon non verbal partisipan. Jarak
antara partisipan dan peneliti sekitar satu meter. Alat perekam diletakkan
sekitar 50 cm dari peneliti dan partisipan, dengan arah mikropon ke arah
partisipan. Wawancara dilakukan rata-rata sekitar 30-45 menit. Kegiatan
wawancara pada satu partisipan diakhiri pada saat semua informasi yang
dibutuhkan sesuai tujuan penelitian telah diperoleh. Setelah dilakukan
wawancara dibuat kontrak kembali yaitu apabila ada data yang kurang
lengkap atau perlu klarifikasi maka informan akan dilakukan wawancara
kembali. Seluruh partisipan dilakukan wawancara kembali melalui telpon
untuk melakukan klarifikasi atas data yang telah disusun.

4.1.6 Alat Pengumpul Data


Alat pengumpul data yang akan digunakan adalah peneliti sendiri,
pedoman wawancara, catatan lapangan dan tape recorder.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


84

4.1.7 Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini dilakukan hanya dilakukan untk
menemukan tema yang digunakan sebagai dasar untuk membangun model,
adapun langkah-langkah análisis sebagai berikut:
1. Membaca seluruh transkrip partisipan dan catatan lapangan untuk
memperoleh gambaran umum tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru
2. Mendengarkan hasil wawancara dan membaca transkrip secara
berulang-ulang untuk memilih pernyataan yang bermakna.
3. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan
partisipan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti.
4. Mengorganisasikan makna yang telah teridentifikasi kedalam
beberapa kelompok tema.
5. Mengintegrasikan semua hasil penelitian dalam suatu narasi.
6. Memvalidasi hasil penelitian dengan kembali ke partisipan dan
mengecek kembali apakah data yang ditampilkan sudah sesuai
dengan yang dialami partisipan dan menambah data baru pada proses
validasi untuk mendapatkan gambaran penelitian secara utuh.

4.1.8 Penyusunan Model


Setelah dilakukan studi kualitatif tahap selanjutnya adalah konsultasi pakar untuk
menambah masukkan agar terbentuk model yang fit untuk dilakukan uji coba.
Konsultasi dilakukan kepada pakar keperawatan. Konsultan yang dipilih adalah
pakar keperawatan yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam ilmu
keperawatan dan atau masalah tuberkulosis paru. Konsultan yang dipilih sebanyak
3 orang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan pakar yang dipilih
untuk dilakukan konsultasi. Setelah melakukan kontrak untuk pertemuan dengan
pakar yang dimaksud kemudian menjelaskan maksud dan tujuan konsultasi.
Konsultasi dilakukan 1 kali untuk masing-masing pakar. Hasil dari konsultasi
pakar dinarasikan, di analisis dan sintesis dengan hasil studi kualitatif sehingga
tercapai model peningkatan kepatuhan berdasarkan sistem interaksi King yang fit
dan siap untuk dilakukan uji coba.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


85

4.2 Penelitian Tahap II: Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis


Teori Sistem Interaksi King

Validasi dilakukan dengan melaksanakan uji coba pengembangan model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada pasien TB paru
di Poli Paru RSU Haji Surabaya untuk kelompok intervensi dan RSUD Ibnu Sina
Gresik untuk kelompok kontrol selama 6 bulan (akhir bulan ke-5 pengobatan).
Pertimbangan waktu 6 bulan disesuaikan dengan periode waktu dimana
pengobatan TB paru adalah selama 6 bulan sehingga dapat dinilai kepatuhan
pasien dalam pengobatan.

4.2.1 Desain penelitian

Penelitian pada tahap 2 menggunakan desain penelitian quasy eksperimen dengan


pre-post test control group design, yaitu subyek yang memenuhi kriteria inklusi
dimasukkan ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesuai dengan
RS yang dipilih. Subyek dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King pada saat berobat di poli paru dimana
sebelumnya dilakukan pengukuran awal (pre test). Pengukuran selanjutnya
dilakukan pada 2 bulan setelah pengobatan atau setelah fase intensif pengobatan
(post test 1) dan pengukuran ketiga dilakukan pada akhir bulan ke-5 (post test 2).
Selanjutnya hasil pengukuran awal (pre-test) dibandingkan dengan hasil
pengukuran akhir (post test1 dan post test2) untuk menentukan perbedaan
pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang mendapatkan
penerapan model dan yang tidak diberi perlakuan. Sedangkan untuk variabel
kepatuhan hanya dilakukan pengukuran pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-
5 intervensi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


86

Populasi
(Pasien Tuberkulosis Paru)

Observasi 1 Model Observasi 2 Observasi 3


Pre Peningkatan Post1 Post2
Kepatuhan
Populasi Sampel

Observasi 1 Observasi 2 Observasi 3


Pre Kontrol Post1 Post2

Gambar 4.1 Tahapan proses penelitian

4.2.2 Populasi dan Sampel

Populasi yang diteliti adalah pasien TB paru yang tinggal di Kota Surabaya
berdasarkan data pasien yang masuk rumah sakit dan kontrol rutin di Poli Paru RS
Haji Surabaya dan RS Ibu Sina Gresik tahun 2014.

1. Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan menanda


tangani surat persetujuan atau informed consent baik sebagai subyek
penelitian maupun tindakan keperawatan/pengambilan sampel darah.
2. Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun)
3. Tidak terdapat penyakit lain yang dapat mengganggu pengukuran,
misalnya diabetes melitus, sirosis hepatis, hepatitis; penyakit
kardiovasuler, pasien luluh paru, pasien tidak kooperatif dan tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap.
4. Pasien baru terdiagnosis TB paru.

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan penentuan besar


sampel untuk uji hipotesis beda dua proporsi (uji 1 sisi) dari Ariawan (1998) dan
Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK (diterjemahkan oleh Promono D
dan Kusnanto H, 2002).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


87

Formulasi rumus tersebut adalah sebagai berikut:

(Z1-/2 √2P(1-P)+ Z1-β√P1(1-P1)+P2(1-P2))²


n= _______________________________________
(P1 – P2)²

Keterangan:
 = level of significance (%)
1- = Power of test (%)
P1 = Proporsi kelompok intervensi
P2 = Proporsi kelompok kontrol
n = sample size

Pada penelitian sebelumnya ditemukan : P1= 33.3%, P2=10.7% (Mohammadi


dkk, 2006). Berdasarkan rumus di atas, peneliti ingin menguji hipotesis dengan
derajat kemaknaan 5% (Z1-α/2 =1.96) dan kekuatan uji 90% (Z1-β = 0.84).
Dengan memasukkan angka-angka tersebut kedalam rumus menggunakan
software maka diperoleh besar sampel sebesar 50. Pada penelitian ini
menggunakan besar sampel 50 untuk kelompok intervensi dan 50 untuk kelompok
kontrol. Sehingga total sampel adalah 100 responden. Kelompok intervensi adalah
pasien TB paru di RS Haji Surabaya dan kelompok kontrol adalah pasien TB paru
di RS Ibnu Sina Gresik.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu
memasukkan responden yang memenuhi kriteria sampai kuota terpenuhi.

4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Paru RS Haji Surabaya Surabaya dan RS Ibnu Sina
Gresik dengan waktu penelitian Februari – Juli tahun 2014.

4.2.4 Etika penelitian


Sesuai dengan pedoman nasional etik penelitian kesehatan Depkes (2005) maka
penelitian kesehatan harus mempertimbangkan prinsip utama etik yaitu (1)
kerahasiaan (confidenciality) , (2) menghargai martabat manusia (respect for

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


88

persons), (3) Kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence),


dan (4) keadilan (justice). Sebelum dilakukan penelitian peneliti mendapatkan
ethical clearance dari Komite Etik Fakultas Imu Keperawatan Universitas
Indonesia dan Komite Etik RS. Haji Surabaya. Ethical clearance yang didapat
hanya 1 kali untuk seluruh rangkaian penelitian dari tahap 1 dan tahap 2.

1. Kerahasiaan ( Confidentially)
Di dalam penelitian ini aspek kerahasiaan dilakukan dengan cara: Peneliti
menjelaskan kepada responden bahwa semua data yang diperoleh dijaga
kerahasiaanya oleh peneliti. Hanya data-data mengenai demografi,
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi,
kepatuhan pengobatan dan berat badan yang disampaikan tanpa menyebutkan
nama responden. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar
pengumpulan data, peneliti hanya menggunakan kode yang diketahuinya,
dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden.
2. Menghargai martabat manusia (respect for persons)
Dalam menghargai martabat manusia peneliti memberikan penjelasan tentang
penelitian kepada responden dan diminta kesediannya untuk menjadi
responden penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa keikutsertaaan dalam
penelitian bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Pasien TB paru sebagai
responden memiliki hak untuk mengikuti atau menolak penelitian setelah
memperoleh penjelasan dan menandatangani surat persetujuan penelitian
(informed consent). Pada penelitian ini tidak ada pasien yang menolak
keikutsertaannya dalam penelitian.
3. Kemanfaataan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence)
Prinsip kemanfaataan dalam penelitian ini dipenuhi dimana hasil penelitian
yang diperoleh bermanfaat dalam peningkatan kepatuhan pasien untuk asuhan
keperawatan pasien berikutnya. Prinsip tidak merugikan dalam penelitian ini
terpenuhi dimana penelitian ini hanya memberikan model peningkatan
kepatuhan, pemberian kuesioner dan observasi yang tidak memberikan
tindakan invasif atau apapun yang dapat merugikan pasien.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


89

4. Keadilan (justice)
Untuk melaksanakan prinsip keadilan dalam penelitian ini maka kelompok
kontrol dalam hal ini pihak RS Ibnu Sina Gresik akan diberikan penawaran
untuk memperoleh intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King setelah selesai penelitian.

4.2.5 Alat Pengumpul data

Pengumpulan data primer pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


instrumen penelitian sebagai berikut:

4.2.5.1 Instrumen pengukuran pada pasien


Karakteristik pasien meliputi jenis kelamin, pendidikan, umur, status perkawinan
dan pekerjaan. Kuesioner tentang pengetahuan disusun oleh peneliti berdasarkan
literatur yang ada. Pertanyaan merupakan pertanyaan positif benar salah.
Pertanyaan terdiri dari 8 item untuk kemudian di prosentase sehingga diperoleh
skor minimal 0 dan skor maksimal 100. Pertanyaan berisi pengetahuan tentang
gejala, penularan, pengobatan, cara batuk, membuang dahak dan lingkungan
rumah bagi pasien TB paru.

Kuesioner tentang self efficacy dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan


literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pertanyaan menggunakan
skala likert 1-5, yang ini memuat pertanyaan-pertanyaan tentang keyakinan diri
pasien dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan
mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta
keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 10-
50.

Kuesioner tentang motivasi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan


literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan menggunakan
skala likert 1-5, terdiri dari 9 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif yaitu no.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


90

2, kuesioner ini memuat pernyataan tentang motivasi pasien dalam menjalankan


pengobatan TB paru. Skor yang diperolah adalah 10-50.

Kuesioner tentang pencegahan penularan dikembangkan sendiri oleh peneliti


berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan
menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang keyakinan diri
pasien dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan
mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta
keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 10-
50. Pernyataan terdiri dari 7 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif (no. 1,3,
dan 9).

Kuesioner tentang kepatuhan nutrisi dikembangkan sendiri oleh peneliti


berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan
menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang kepatuhan
nutrisi dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi pola makan,
makanan 4 sehat 5 sempurna dan pantangan makan saat mengalami gejala batuk.
Skor yang diperolah adalah 10-50. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan positif dan
1 pernyataan negatif (no 10).

Untuk mengukur kepatuhan minum obat dilakukan penghitungan pil sehingga


pasien diminta membawa kembali blister obat dan juga digunakan formulir TB-01
dan formulir TB-02. Selain itu pada pasien juga ditanyakan mengenai dosis yang
diminum, cara minum dan waktu minum obat.

4.2.5.2 Uji coba instrumen


Uji coba instrumen dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen.
Suatu pengukuran dapat dikatakan memiliki keterandalan apabila ia memberikan
hasil yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-
ulang (Sastroasmoro, 2008).

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


91

Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi atau keteraturan


hasil pengukuran suatu instrumen apabila instrumen tersebut digunakan lagi
sebagai alat ukur dari responden. Hasil uji mencerminkan dapat dipercaya atau
tidaknya suatu instrument penelitian berdasarkan ketepatan suatu alat ukur.
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Alpha-Cronbach.
Tingkat reliabilitas diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai dengan 1. Dikatakan
reliable Alpa-Cronbach 0.6-0.8 dan sangat sangat reliable jika Alpa-Cronbach
lebih besar dari 0.8.

Validitas atau disebut juga kesahihan menunjukkan berapa dekat suatu alat ukur
menyatakan apa yang seharusnya diukur. Kesahihan pengukuran dipengaruhi oleh
bias pengukuran (bias pengamat, bias subyek dan bias instrument), makin besar
bias maka akan makin kurang sahih pengukuran. Instrumen yang digunakan diuji
tingkat kevalidan dengan melakukan analisis item. Alat ukur yang digunakan
menggunakan alat ukur yang telah terstandar dan telah dilakukan kalibrasi
(peneraan ulang). Dilakukan pelatihan pada semua tenaga pengumpul data
sehingga memiliki keseragaman dalam melakukan pengukuran. Uji validitas
dilakukan melalui perbandingan nilai r hitung tiap item dengan nilai r tabel.
Intrumen valid jika r hitung masing-masing pernyataan lebih besar dari r tabel.
Instrumen di uji cobakan kepada 30 responden maka diperoleh nilai r tabel dengan
degree of freedom 28 (30-2) adalah 0.2407.

Tabel 4.1 Hasil uji coba instrumen


No Variabel Jumlah Validitas Reliabilitas
pertanyaan
1 Pengetahuan 8 0.630-0.910 0.905
2 Self efficacy 10 0.496-0.880 0.872
5 Motivasi 10 0.463-0.786 0.666
4 Pencegahan 10 0.508-0.841 0.834
penularan
5 Kepatuhan 10 0.375-0.735 0.632
nutrisi
Uji keseluruhan 48 0.939-0.950 0.943

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


92

4.2.6 Prosedur pengumpulan data


Prosedur penelitian terdiri dari prosedur administratif dan prosedur teknis.
1. Prosedur administratif dalam penelitian ini adalah mengurus perijinan
kepada pihak RSU Haji sebagai kelanjutan penelitian kualitatif tahap 1
dan mengurus perijinan baru kepada Badan Perencanaan, Penelitian
dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik untuk kemudian
dilanjutkan mengurus perijinan ke RSUD Ibnu Sina Gresik.
2. Prosedur teknis proses pengumpulan data diawali dengan memberikan
penjelasan tentang penelitian dan responden diminta kesediannya
untuk menjadi responden penelitian selama 6 bulan. Keikutsertaaan
dalam penelitian ini bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Peneliti tetap
menghargai dan menghormati hak-hak responden. Sosialisasi program
kepada kepala ruang dan perawat di Poli Paru RSU Haji Surabaya dan
RSUD Ibnu Sina Gresik. Kegiatan ini dilaksanakan melalui pertemuan
yang dilaksanakan secara khusus atas persetujuan kepala ruang.
3. Adapun pelaksanaan intervensi model dilakukan sebanyak 8 kali
pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan saat pasien terdiagnosis TB
paru, pertemuan ke-2 pada akhir minggu ke-2, pertemuan ke-3 pada
akhir minggu ke-4, pertemuan ke-4 pada akhir minggu ke-6,
pertemuan ke-5 pada akhir bulan ke-2, pertemuan ke-6 pada akhir
bulan ke-3, pertemuan ke-7 pada akhir bulan ke-4 dan pertemuan ke-8
pada akhir bulan ke-5 intervensi. Panduan lengkap bisa dilihat pada
buku model.

4.2.7 Analisis Data

1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel
yang diukur dalam penelitian yaitu dengan distribusi frekuensi. Pada
penelitian ini, variabel yang dianalisis secara univariat adalah
karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan dan status perkawinan. Variabel penelitian dengan data

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


93

numerik disajikan dengan nilai mean dan median pada kedua


kelompok.

2. Analisis Bivariat
Uji bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan proporsi dan
perbedaan rata-rata pada kedua kelompok. Uji yang digunakan
adalah uji chi square dan independent t test. Uji chi square digunakan
untuk melihat perbedaan proporsi jenis kelamin, usia, pendidikan,
status perkawinan dan pekerjaan.. Uji chi square juga digunakan
untuk melihat perbedaan proporsi kepatuhan dalam pengobatan TB
paru. Uji independent t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-
rata pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan
kepatuhan nutrisi.

3.Analisis Multivariat
Uji general linier model repeated measure (GLM-RM) digunakan
untuk melihat adanya perbedaan pada variabel yang diukur secara
berulang. Pengukuran terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dilakukan sebanyak tiga
kali yaitu sebelum diberikan intervensi, pada akhir bulan ke-2 dan
akhir bulan ke-5 setelah intervensi. Uji multivariat analysis of
covariance (Mancova) digunakan untuk menguji apakah variabel usia,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan
merupakan variabel perancu atau bukan.

Keseluruhan proses peneltian tahap 1 dan tahap 2 dapat dijelaskan pada kerangka
kerja di bawah ini:

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


KERANGKA KERJA PENELITIAN

Studi Literatur
Assesment dengan
1.Teori sistem interaksi studi kualitatif :
dan pencapaian tujuan, Konsultasi pakar
King (1971, 1981) Pengalaman pasien
TAHAP I TB paru dalam upaya
2. Model partnership, mencapai kepatuhan
Mohammadi, (2006) berbasis teori sistem
interaksi King
3. Kepatuhan pasien TB

Kepatuhan pasien:
 Pengetahuan
 self efficacy,
(Uji coba)  motivasi
Terbentuknya model
 pencegahan
peningkatan kepatuhan Model peningkatan penularan
berbasis teori sistem kepatuhan berbasis teori  kepatuhan nutrisi
TAHAP II : Validasi
interaksi King sistem interaksi King  kepatuhan
pengobatan

Faktor perancu
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Status perkawinan
5. Pekerjaan 94
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 5
HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian diuraikan ke dalam 2 tahap penelitian yaitu tahap I: penelitian


kualitatif untuk menggali pengalaman pasien TB paru dalam upaya mencapai
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan pengembangan model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King; tahap II: validasi
model.

5. 1 Hasil Penelitian Tahap I

Di bawah ini akan diuraikan hasil penelitian tahap I yaitu pengembangan model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berdasarkan studi
literatur, penelitian kualitatif dan konsultasi pakar.

5.1.1. Hasil penelitian kualitatif

5.1.1.1 Karakteristik partisipan


Partisipan dalam penelitian ini yaitu 8 pasien TB yang telah berobat selama 6
bulan yaitu pasien yang pada masa akhir pengobatan. Usia pasien berkisar antara
18 sampai dengan 60 tahun, terdiri dari 7 laki-laki dan 1 perempuan. Tingkat
pendidikan bervariasi mulai dari SD sampai SMA. Suku berasal dari suku yang
sama yaitu Jawa. Pekerjaan swasta, ibu rumah tangga dan pelajar.

5.1.1.2 Tema
Setelah data dianalisis ditemukan 12 tema sebagai hasil penelitian. Tema-tema
tersebut diuraikan berdasarkan tujuan penelitian yaitu kepatuhan pasien TB paru
dalam pengobatan berbasis sistem personal, kepatuhan pasien TB paru dalam
pengobatan berbasis sistem interpersonal dan kepatuhan pasien dalam pengobatan
berbasis sistem sosial. Pada tema yang luas teridentifikasi melalui subtema-
subtema dan subtema teridentifikasi melalui kategori-kategori. Sedangkan pada
tema yang spesifik hanya teridentifikasi melalui ketegori-kategori.

95 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


96

Tema 1 : Persepsi yang positif tentang TB paru


Tema persepsi yang positif atau benar tentang TB paru diidentifikasi melalui
subtema pengobatan TB paru, pencegahan penularan dan nutrisi yang tepat untuk
menunjang kesembuhan. Subtema pengobatan TB paru terdiri dari ketegori
penyebab TB paru, lama pengobatan, cara minum obat, efek samping obat dan
sembuh jika dokter yang mengatakan sembuh. Subtema pencegahan penularan
diidentifikasi melalui kategori cara batuk dan bersin dan cara buang dahak.
Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan diidentifikasi melalui
kategori makanan yang membantu penyembuhan dan makanan yang dilarang.
Subtema pengobatan TB paru pada kategori penyebab didukung oleh pernyataan:
didukung oleh pernyataan:
“Ya penyakit karena kuman...” (P2)
“penyebabnya bakteri, harus jaga kesehatan”, (P7)

Kategori lama pengobatan didukung oleh pernyataan:


“Ya bisa 6 sampai 9 bulan” (P5)
“...pengobatan harus rutin 6 sampai 9 bulan”(P8)

Kategori cara minum obat didukung oleh pernyataan:


“sekali langsung 3 tablet” (P2)
“3 tablet sekali minum” (P4)

Kategori efek samping obat didukung oleh pernyataan:


“ ...dijelaskan saya lupa, kalo tidak salah mual-mual, muntah dan kulit
merah-merah, kalo saya tidak merasakan apa-apa” (P1)
“....gak mbak saya gak merasakan apa-apa,biasa saja malah badan
tambah enakan” (P6)

Katogori sembuh jika dokter yang menyatakan sembuh didukung oleh pernyataan:
“...diingatkan kalo sembuh itu harus kata dokter bukan oleh diri sendiri
atau orang lain.” (P2)
“....Sembuh itu harus kata dokter....” (P4)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


97

Subtema pencegahan penularan pada kategori cara batuk dan buang dahak
didukung oleh pernyataan:
“...komunikasinya pakai masker, ...batuk ditutup, buang dahak gak
sembarangan” (P1)
“kalo batuk dan bersin menutup mulut, buang dahak ke saluran air” (P6)

Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan yang didukung oleh
pernyataan:
“Ya biasa saja mbak, nasi, sayur tahu tempe, gak macam-macam” (P5)
“...nasi, sayur, ikan, tahu, tempe,asalkan goreng-gorengan dikurangi” (P8)

Tema 2: Kesadaran diri


Tema kesadaran diri teridentifikasi melalui kategori yakin TB paru dapat
disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang sendiri.
Kategori yakin untuk sembuh didukung dengan pernyataan:
“ ya karena saya punya keinginan untuk sembuh, karena ada cita-cita yang
belum tercapai” (P2)
“ya pengen sembuh, orang mana sih yang gak pengen sembuh, ya
kesadaran sendiri mbak” (P7)

Kategori datang sendiri ke rumah sakit:


“iya sendiri” (P3)
“dulu sih tiga bulan pertama diantar bapak sekarang tidak, wis sudah besar
saja saya datang sendiri, bapak tak suruh kerja”. (P8)

Tema 3: Tumbuh kembang yang optimal


Tema tumbuh kembang optimal teridentifikasi melalui dua subtema yaitu
subtema harapan masa depan yang lebih baik dan subtema mampu menjalankan
tugas perkembangan secara optimal. Subtema harapan masa depan yang lebih baik
didukung oleh pernyataan:
“...ada cita-cita yang belum tercapai” (P2)
“...masih ingin punya anak mbak” (P4)

Subtema mampu menjalankan tugas perkembangan di dukung oleh pernyataan:


“...selain sekolah paling main sepakbola” (P3)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


98

“....di rumah ya seperti biasa merawat suami, paling ikut pengajian” (P4)

Tema 4: Gambaran diri positif


Tema mampu menerima perubahan gambaran diri secara positif langsung
diidentifikasi langsung dalam kategori: Tidak malu memakai masker dan tidak
malu berat badan turun. Didukung oleh pernyataan:
“ gak mbak, sayakan orangnya gak pernah minder, gak pernah putus asa,
saya percaya diri saja” (P2)
“ya sempat minder mbak, ada rasa-rasa malu makanya dari situ saya
pengen sembuh...” (P8)

Tema 5: Lingkungan yang sehat


Tema Lingkungan yang sehat terdiri dari subtema lingkangan poli paru yang
tenang dan lingkungan rumah yang sehat.
Subtema lingkungan poli paru yang nyaman didukung oleh pernyataan;
“....cukup luas dan nyaman mbak” (P3)
“......ya enak mbak, apalagi ruangnya di pojok dekat kamar mandi kalo mau
buang dahak tinggal langsung ke kamar mandi” (P5)

Subtema lingkungan rumah yang sehat didukung oleh pernyataan:


“...saya masih ngontrak 1 kamar, tapi kalo matahari tiap pagi masuk kamar
kok mbak, terus dari halaman belakang juga masuk” (P2)
“ sama suster disini disuruh bikin genteng kaca, akhirnya sama suami
dibuatkan genteng kaca” (P4)

Tema 6: Disiplin minum obat

Tema disiplin minum obat terdiri dari kategori waktu minum obat 1 jam sebelum
makan dan menggunakan alarm sebagai pengingat.
Kategori waktu minum obat didukung oleh pernyataan:
“minum obat harus rutin, minum jam 6 malam 1 jam sebelum makan” (P1)
“....jam 6 sore habis magrib” (P2)
Kategori menggunakan alarm sebagai pengingat didukung oleh pernyataan:
“ ...saya pakai alarm..” (P2)
“konsep saya ya di alarm” (P8)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


99

Tema 7: Koping yang efektif


Tema koping yang efektif selama pengobatan TB paru terdiri dari subtema
menerima kondisi yang dialami dan berfikir positif.
Subtema menerima kondisi yang dialami didukung oleh pernyataan:
“ya banyak-banyak berdoa mbak...mau bagaimana lagi, namanya dikasih
musibah harus sabar, mendekatkan diri sama Allah, ya kadang ada
jenuhnya minum obat tapi kan mau sembuh jadi harus sabar, harus ikhlas,
minta sama Allah supaya lekas sembuh dan dikasih kesabaran” (P1)
“ya harus sabar, harus telaten, harus ikhlas, harus rutin. Ya namanya
dikasih sakit mbak, dikasih sama yang di Atas ya sabar saja” (P2)

Subtema berfikir positif ditunjang dengan pernyataan:


“Gak mbak saya anggap ujian saja” (P3)
“.......Insya Allah saya bisa sembuh mbak asal rajin berobat”(P4)

Tema 8: Komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga.

Tema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga


diidentifikasi melalui subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga
kesehatan dan subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga
Subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan didukung oleh
pernyataan:
” ya lancar mbak, suka ngasih tahu kalo berobat lagi kapan, minum
obatnya harus rutin, makan sediki-sedikit tapi sering biar nambah
beratnya” (P1)
“...ya dokter biasanya ngasih tahu mbak”, “perawat sih pasti ngasih tahu,
ya kalo semua demi kebaikan kita, ya kita nurut saja mbak”.(P7)

Subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga didukung oleh pernyataan:


” ya sama mbak, harus rajin-rajin beribadah, ya cobaan diambil
hikmahnya saja, berobat harus telaten” (P1)
“Ayah ibu kerja, paling mengingatkan saja untuk berobat” (P3)

Tema 9: Menjalankan perannya secara optimal

Tema menjalankan perannya selama sakit terbagi dalam subtema melakukan


pekerjaan sehari-hari dan sutema melakukan kegiatan di masyarakat. Subtema

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


100

melakukan pekerjaan sehari-hari dengan kategori bersekolah, bekerja seperti biasa


dan mengerjakan pekerjaan rumah yang didukung oleh pernyataan:
“iya sekolah boleh ijin” (P3)
“pernah gak masuk 1 bulan tapi dianggap cuti, sekarang sudah kerja lagi”
(P8)

Subtema melakukan kegiatan di masyarakat dengan kategori ikut arisan dan ikut
pengajian didukung oleh pernyataan:
“...ya kalo badan sudah sehat sudah mulai ikut aktif lagi pengajian di
masjid” (P1)
“...ikut pengajian, ikut arisan RT mbak” (P4)

Tema 10: Mengelola stres selama sakit

Tema mengelola stres yang dialami selama sakit terbagi menjadi tiga subtema
yaitu stres yang dialami dengan kategori penurunan berat badan, jenuh minum
obat dan jenuh bolak-balik ke RS, subtema penyebab stress dengan kategori
waktu pengobatan yang lama dan subtema penanganan stres dengan kategori
menganggap sebagai rekreasi, berdiskusi dengan keluarga dan berdiskusi dengan
sesama pasien. Subtema stres yang dialami didukung oleh pernyataan:

“jenuhnya minum obat tapikan mau sembuh jadi harus sabar”(P5)


“...awal-awal sempat stres karena berat badan turun mbak, tapi justru itu
yang memacu saya untuk segera sembuh supaya tidak kurus lagi” (P8)

Subtema penyebab stres diidentifikasi dengan kategori waktu pengobatan yang


lama didukung dengan pernyataan:
“...ya karena berobatnya kan lama...minum obatnya lama...tapi yak
diikhlaskan saja mbak” (P6)
“Berobatnya lama, harus bolak-balik” (P8)

Subtema penanganan stres didukung oleh pernyataan:


“...ya dianggap rekreasi saja mbak” (P2)
“...jenuh sih wajar ya mbak, tapi gak apa-apa, lama-lama juga biasa” (P8)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


101

Tema 11: Mengetahui prosedur pelayanan kesehatan

Tema mengetahui prosedur pelayanan kesehatan terdiri dari subtema mengetahui


organisasi pelayanan di poli paru, subtema mengetahui wewenang RS di poli paru
dan sub tema menyadari statusnya sebagai pasien di poli paru. Subtema
mengetahui organisasi pelayanan di poli paru terdiri dari kategori: fasilitas yang
dimiliki rumah sakit, SDM yang dimiliki RS dan alur penerimaan pasien di poli,
hal ini didukung dengan pernyataan:

”....katanya dokternya bagus, terus fasilitas disini tempatnya dekat-dekat


saja jadi bolak-baliknya cepet dan gak susah”. (P2)
“....kata anak saya fasilitasnya lebih lengkap daripada di puskesmas....”.
(P6)

Subtema mengetahui wewenang poli paru terdiri dari kategori pemberian OAT
sesuai program pemerintah didukung oleh pernyataan:

“dari awal sudah dijelaskan kalo sakit paru seperti saya masuk dalam
program pemerintah dan akan dipantau terus”. (P2)
“...awal sakit didata sama perawat kalo masuk program pemerintah,
diawasi terus, kalo gak balik ke RS akan dicari” (P6)

Subtema menyadari status sebagai pasien rumah sakit dengan kategori patuh pada
aturan RS didukung oleh pernyataan:

“ya kalo berobat sesuai jadwal mbak, selasa dan rabu” (P1)
”....kalo berobat setiap selasa-rabu”, “kalo keluar kota sama perawatnya
boleh datang sebelum waktu kontrol asal di selasa atau rabu” (P2)

Tema 12: Mampu mengambil keputusan

Tema mampu mengambil keputusan terdiri dari kategori: pengobatan di poli paru
dan kategori dirujuk ke tempat lain hal ini didukung oleh pernyataan:

“...dari awal memang saya niat berobat di RS”(P3)


“...awalnya saya mau pindah puskesmas, tapi kata perawatnya kalo berobat
disini mau pindah harus nunggu dulu 2 bulan baru boleh pindah, akhirnya
karena enak disini ya gak jadi pindah”. (P4)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


102

Keseluruhan analisis tema dan subtema dapat dilihat pada tabel di bawah ini dapat
dilihat pada lampiran 8.

Dari hasil tema di atas dapat digambarkan sistem personal, sistem interpersonal
dan sistem sosial pasien yang patuh. Pada sistem personal, pasien TB paru yang
patuh memiliki presepsi yang positif, memiliki kesadaran diri untuk sembuh,
tumbuh kembang yang optimal, gambaran diri yang positif , lingkungan yang
sehat, disiplin minum obat dan memiliki koping yang efektif. Pasien yang patuh
memiliki persepsi yang positif mengenai pengobatan TB paru, pencegahan
penularan dan nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan. Pasien juga
memiliki kesadaran diri kalo penyakitnya dapat disembuhkan dan rajin berobat
walau harus datang sendiri. Pasien yang patuh memiliki tumbuh kembang
optimal karena masih meemiliki harapan akan masa depan yang lebih baik dan
mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien memiliki
gambaran diri yang positif yaitu tidak malu memakai masker dan tidak malu berat
badan turun. Pasien disiplin minum yaitu selalu minum obat 1 jam sebelum makan
dan menggunakan alarm sebagai pengingat. Pasien juga memiliki koping yang
efektif selama pengobatan TB paru karena mampu menerima kondisi yang
dialami dan selalu berfikir positif.

Pada sistem interpersonal, pasien yang patuh adalah pasien yang memiliki
komunikasi yang terbuka dengan tenaga kesehatan dan keluarga, yang mampu
menjalankan perannya secara optimal, yang mampu menyeimbangkan stres
selama sakit. Pasien mengatakan bahwa selama sakit dan berobat selalu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan perawat dan dokter. Perawat dan dokter
bersikap ramah dan selalu terbuka dan mau mendengarkan keluhan pasien dan
memberikan informasi yang dibutuhkan. Keluarga dapat menerima pasien dan
selalu mendukung pasien untuk menjalani pengobatan. Selama berobat tidak ada
kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah ataupun pekerjaan. Sekolah dan
kantor menerima ijin selama ada surat keterangan istirahat/sakit dari dokter.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


103

Pasien yang patuh mengatakan bahwa pada awal pengobatan yang menyebabkan
stres adalah jenuh minum obat dan jenuh bolak balik ke RS tetapi lama kelamaan
menjadi hilang dan ringan menjalani pengobatan.

Pada sistem sosial, pasien yang patuh memiliki pengetahuan mengenai prosedur
pelayanan kesehatan di RS dan mampu mengambil keputusan untuk berobat di
RS. Pengetahuan mengenai prosedur pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan
organisasi pelayanan di poli paru, dan mengetahui kekuasaan dan wewenang yang
dimiliki poli paru serta pasien menyadari status dirinya sebagai pasien yang harus
patuh dengan peraturan RS. Dalam kemampuan pengambilan keputusan, pasien
yang patuh memilih melanjutkan pengobatan di RS karena lokasi rumah yang
lebih dekat dan karena RS memiliki dokter spesialis paru, perawat yang ahli dan
lokasi RS yang dekat dari rumah.

Berdasarkan 12 tema yang teridentifikasi dari hasil penelitian kemudian disusun


model intervensi untuk meningkatkan sistem interaksi perawat pasien berdasarkan
sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.

5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem


Interaksi King

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interkasi King dikembangkan


dengan beberapa alasan diantaranya: 1) Penyakit TB paru sampai hari ini masih
merupakan permasalahan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Walaupun ada
kecenderungan terjadi penurunan kasus dari tahun ke tahun tetapi beban di
masyarakat masih sangat tinggi. Perawat sebagai sebagai salah satu tim kesehatan
wajib berperan serta dalam membantu pemerintah menuntaskan kasus TB paru; 2)
perlu pendekatan asuhan kepada pasien dengan menggunakan teori-teori
keperawatan. Teori keperawatan berperan dalam membedakan keperawatan
dengan disiplin ilmu lain dan bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan,
memperkirakan, dan mengontrol hasil asuhan keperawatan yang dilakukan; 3)
program ini selaras dengan program pemerintah yaitu program TB DOTS.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


104

Pengembangan model peningkatan kepatuhan didasarkan pada hasil studi literatur


penelitian tahap 1, dan konsultasi pakar, diuraikan seperti di bawah ini.

Tabel 5.1 Penyusunan model bedasarkan tema


No Tema Model Intervensi Metode
1. Sistem personal  Menumbuhkan persepsi yang Wawancara, ceramah
 Persepsi yang positif atau benar tentang TB dan diskusi dilengkapi
positif tentang TB paru; pembelajaran tentang TB media booklet yang
paru paru dan disiplin minum obat berisi:
 Kesadaran diri  Menumbuhkan persepsi yang  Konsep TB paru
 Lingkungan yang positif: pembelajaran tentang  Pengobatan TB paru
sehat pencegahan penularan  Praktik minum obat
 Pembelajaran tentang lingkungan  Pencegahan
 Disiplin minum yang sehat penularan pada
obat  Menumbuhkan persepsi yang pasien TB paru
 Mengelola stres tepat tentang TB paru:  Nutrisi pada pasien
selama sakit pembelajaran tentang nutrisi TB paru
 Tumbuh kembang  Meningkatkan kesadaran diri  Lingkungan pada
yang optimal untuk sembuh pasien TB paru
 Gambaran diri  Membantu menyeimbangkan stres  Stres dan
positif  Mengoptimalkan tumbuh penanganannya
kembang  Tumbuh kembang
 Menumbuhkan gambaran diri dan gambaran diri.
yang positif
Sistem  Meningkatkan komunikasi yang  Stres dan
Interpersonal terbuka perawat-pasien, pasien- penanganannya
 Komunikasi keluarga  Peran
terbuka pasien  Membantu meningkatkan koping
dengan tenaga
kesehatan dan
keluarga
 Koping yang
efektif
 Menjalankan
perannya secara
optimal
Sistem sosial  Memfasilitasi pengambilan  Pelayanan dan
 Mampu keputusan pasien untuk menjalani fasilitas RS Haji
mengambil pengobatan
keputusan.  Meningkatkan pengetahuan
 Mengetahui tentang prosedur pelayanan RS:
prosedur wewanang dan kekuasaan RS,
pelayanan prosedur dan fasilitas RS.
kesehatan  Menjelaskan tentang prosedur
pelayanan RS: menumbuhkan
kesadaran akan status sebagai
pasien

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


105

5.1.2.1 Deskripsi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem


interaksi King.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
yang dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien TB paru dengan
meningkatkan sistem interaksi perawat-pasien secara terus menerus berdasarkan
sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Media
pembelajaran yang dibuat dalam bentuk booklet yang representatif dan sesuai
dengan tingkat pemahaman pasien.

Model yang diberikan kepada pasien adalah bertujuan untuk meningkatkan sistem
personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Dalam model ini terdiri
dari 8 kali pertemuan yaitu dari awal pasien terdiagnosis sampai akhir bulan ke-5
pengobatan. Pertemuan pertama pada pasien dimulai saat awal pasien terdiagnosis
TB paru. Pada pertemuan ini yang perlu ditingkatkan pada sistem personal adalah:
menciptakan lingkungan yang nyaman untuk interaksi perawat-pasien di RS,
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dan
meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh. Pada sistem interpersonal yang perlu
dilakukan pada pertemuan pertama adalah meningkatkan komunikasi perawat-
pasien dan pasien keluarga. Pada sistem sosial yang perlu ditingkatkan adalah
memfasilitasi pengambilan keputusan pasien untuk menjalankan pengobatan
meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pelayanan RS.

Pertemuan ke-2 dilakukan pada akhir minggu ke-2 pengobatan, pada pertemuan
ini yang dilakukan adalah meningkatkan sistem interpersonal yaitu meningkatkan
komunikasi perawat-pasien secara terus menerus dan untuk meningkatkan sistem
personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif dengan memberikan
pembelajaran tentang pencegahan penularan dan lingkungan yang sehat untuk
penyembuhan pasien TB paru dan sistem sosial untuk menjelaskan prosedur
pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kesadaran pasien akan statusnya
sebagai pasien untuk patuh pada peraturan RS. Pada pertemuan ke-3 yaitu pada
akhir minggu ke-4 meningkatkan sistem interpersonal yaitu komunikasi perawat-

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


106

pasien dan meningkatkan sistem personal yaitu menumbuhkan persepsi yang


positif dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang dibutuhkan oleh
pasien TB paru. Pada pertemuan ke-4 atau akhir minggu ke-6 adalah
meningkatkan sistem personal pasien yaitu meningkatkan koping pasien dan pada
sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien serta
membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami. Pada pertemuan ke-5 atau
akhir minggu ke-8/akhir bulan ke-2, intervensi yang diberikan pada sistem
personal adalah membantu pasien menerima perubahan gambaran diri secara
positif dan mengoptimalkan pencapaian tumbuh kembang. Sedangkan pada sistem
interpersonal adalah meningkatkan komunikasi antara perawat-pasien dan
membantu pasien mengoptimalkan atau menjalankan peran selama sakit. Pada
pertemuan ke-6 (akhir bulan ke-3), pertemuan ke-7 (akhir bulan ke-4) dan
pertemuan ke-8 (akhir bulan ke-5), intervensi difokuskan hanya untuk
meningkatkan komunikasi dan interaksi perawat pasien dan motivasi pasien agar
selalu patuh.

Di bawah ini akan digambarkan mengenai skema model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


107

1.1.2.2 Skema Model

Berikut ini skema model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King :
Sistem Interaksi Perawat-Pasien

Meningkatkan Sistem sosial


 Meningkatkan pengetahuan birokrasi
pelayanan RS
 Social
Meningkatkan
systemkemampuan
(socie Pengambilan
keputusan

Meningkatkan Sistem interpersonal


 Meningkatkan komunikasi perawat-
pasien, pasien-keluarga
 Mengoptimalkan peran selama sakit
Perawat  Mengelola stress selama sakit Transaksi
Peningkatan
 sistem
Meningkatkan Sistem personal personal
 Menumbuhkan persepsi yang  Sistem
Interpersonal
positif system interpersonal
(society)
 Meningkatkan kesadaran diri  Sistem sosial
Pasien untuk sembuh
 Mengoptimalkan tugas tumbuh
kembang
 Meningkatkan gambaran diri
 Mengoptimalkan lingkungan
yang sehat
 Menjelaskan disiplin minum
obat
 Meningkatkan koping pasien

Gambar:5.1 Model Peningkatan Kepatuhan berbasis Teori Sistem Interaksi King

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
sistem interaksi yang dinamis. Fokus keperawatan dalam meningkatkan sistem
personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru,
meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang,
meningkatkan gambaran diri yang positif, mengoptimalkan lingkungan yang
sehat, menumbuhkan disiplin minum obat dan meningkatkan koping pasien. Pada
sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien dan pasien
keluarga, mengoptimalkan peran pasien selama sakit serta menyeimbangkan stres
yang dialami pasien. Sedangkan fokus pada sistem sosial adalah perawat

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


108

melakukan interaksi untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang prosedur


pelayanan RS dan meningkatkan kemampuan pasien dalam pengambilan
keputusan. Semua intervensi di atas bertujuan untuk mencapai kepatuhan pasien
dalam pengobatan. Dalam melakukan interaksi perawat bertugas sebagai pemberi
pelayanan, motivator dan edukator bagi pasien dengan meningkatkan sistem
personal sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.

1.1.2.3 Panduan Implementasi Model

Panduan ini menjelaskan tentang prosedur intervensi model yang dilakukan oleh
perawat kepada pasien yang terdiri dari intervensi untuk meningkatkan sistem
personal pasien, intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal pasien dan
intervensi untuk meningkatkan sistem sosial pasien. Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King secara keseluruhan terdiri dari
delapan kali pertemuan yaitu 8 kali pemberian edukasi dan 2 kali monitoring dan
evaluasi yaitu pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5. Model ini dilakukan
oleh peneliti sendiri, tetapi secara umum model ini harus dilakukan oleh perawat
dengan pendidikan minimal S1 Ners. Namun dalam pelaksanaannya jika terdapat
kekurangan sumber daya perawat maka dapat dilakukan oleh perawat dengan
minimal pendidikan D III dan telah mendapat sertifikasi atau pelatihan tentang TB
paru. Materi pendidikan kesehatan disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Berikut
ini adalah uraian kegiatan implementasi model:

Pada sistem personal, pasien TB paru agar patuh harus diberikan pembelajaran
dan motivasi agar persepsi menjadi positif atau benar. Pembelajaran yang
diberikan meliputi konsep TB paru, lama pengobatan, pencegahan penularan dan
nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan pasien. Pasien diberikan
keyakinan dan kesadaran diri bahwa sakitnya bisa disembuhkan asalkan pasien
patuh. Pasien dibantu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dengan cara
berdiskusi bahwa walaupun kondisi sakit tapi masih bisa meraih cita-cita atau
merawat anak asal tahu cara mencegah penularan. Pasien diberikan penjelasan
walaupun sakit dan harus memakai masker atau terjadi penurunan berat badan,

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


109

tidak perlu malu karena perubahan tersebut sifatnya sementara, dan justru harus
patuh agar berat badan bisa kembali normal dan tidak harus menggunakan
masker. Pasien diajak berdiskusi dan diberikan penjelasan agar menerima sakit
sebagai ujian, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, dengan keluarga dan rajin
berdiskusi dengan pasien lain agar bisa berbagi pengalaman mengenai sakit yang
dialami.

Pada sistem interpersonal, pasien intervensi yang diberikan meliputi


meningkatkan komunikasi yang terbuka antara perawat pasien dan pasien
keluarga. Setiap pertemuan perawat meningkatkan komunikasi yang terbuka agar
pasien merasa percaya dan mampu mengungkapkan segala permasalahan
kesehatan yang dialami. Pasien juga ditingkatkan agar terus terbuka dan mencari
dukungan dari keluarga. Pasien diajak diskusi untuk mengidentifikasi stres,
penyebab dan solusi agar mampu menyeimbangkan stres selama sakit. Pasien
diajak diskusi agar tidak ada kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah
ataupun pekerjaan. Pihak RS atau dokter dapat memberikan surat keterangan
istirahat/sakit dari dokter untuk diberikan pada instansi tempat pasien sekolah atau
bekerja.

Pada sistem sosial, pasien diberikan intervensi pengetahuan mengenai prosedur


pelayanan RS, seperti pelayanan TB paru hanya dilaksanakan tiap selasa dan rabu,
fasilitas yang dimiliki seperti pelayanan laboratorium, radiologi dan farmasi. Tata
cara alur pelayanan baik pasien umum, BPJS maupun asuransi lainnya dan
sumber daya yang dimiliki seperti dokter spesialis dan perawat yang ahli dibidang
TB paru. Pasien juga diberikan penjelasan mengenai program TB paru, bahwa
setiap pasien yang sakit akan di data dan dilaporkan pada dinas kesehatan. Obat
yang diberikan adalah obat gratis dari pemerintah, jika pasien membeli sendiri
harganya mahal sehingga pasien harus patuh karena pemerintah sudah membantu
memfasilitasi biaya. Pasien juga diberikan penjelasan bahwa jika ingin pindah ke
puskesmas, maka harus setelah 2 bulan pengobatan atau setelah melewati
pengobatan fase intensif. Dengan diberikan penjelasan tersebut pasien dapat
mengambil keputusan untuk berobat di RS atau pindah setelah 2 bulan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


110

pengobatan. Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori


sistem interaksi King dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 booklet yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan pokok bahasan yang tercantum di panduan
implementasi model. Panduan lengkap intervensi model tercantum pada lampiran
9.

5.2 Hasil Penelitian Tahap II


Penelitian tahap II merupakan validasi model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King. Pada Tahap ini digambarkan tentang perbedaan
karakteristik responden, tingkat pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan
penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pasien dalam pengobata sebelum dan
sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi
King.

5.2.1 Perbedaan karakteristik responden antar kelompok


Berikut ini adalah gambaran perbedaan karakteristik responden, tingkat
pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
antar kelompok sebelum perlakuan.
Tabel.5.2 Karakteristik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Intervensi (n=50) Kontrol (n=50)
Variabel Nilai p*
N % n %
1. Jenis kelamin
Laki-laki 36 72 27 54 0.062
Perempuan 14 28 23 46
2. Umur
18-45 34 68 31 62 0.675
45-60 16 32 19 38
3. Pekerjaan
Tidak bekerja 8 16 25 50 0.01
Bekerja 42 84 25 50
4. Pendidikan
Pend.formal < 9 th 12 24 27 54 0.004
Pend.formal > 9 th 38 76 23 46
5. Status perkawinan
Menikah 37 74 40 80 0.635
Belum menikah/ 13 26 10 20
Janda/Duda

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin dengan proporsi terbesar adalah laki-
laki pada kedua kelompok. Usia responden pada kelompok intervensi maupun

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


111

kelompok kontrol proporsi terbanyak pada usia 18-45 tahun yaitu pada kelompok
intervensi sebesar 68% dan pada kelompok kontrol sebesar 62%. Pekerjaan pada
kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi pada bekerja yaitu sebesar 84%
sedangkan pada kelompok kontrol memiliki proporsi yang sama pada kelompok
bekerja maupun tidak bekerja yaitu sebesar 50%. Tingkat pendidikan pada
kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi yaitu pada pendidikan SMA dan
PT yaitu sebesar 76% sedangkan kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar
pada tingkat pendidikan SD dan SMP yaitu sebesar 54%. Status perkawinan pada
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar pada
status perkawinan sudah menikah, pada kelompok intervensi sebesar 74% dan
80% pada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
karakteristik responden pada jenis, umur, status perkawinan dengan nilai p>0.05,
berarti kedua kelompok setara. Sedangkan status pekerjaan dan tingkat pendidikan
tidak memiliki nilai kesetaraan sehingga variabel ini berpotensi sebagai variabel
perancu. Untuk selanjutnya keselurahan variabel ini diuji apakah mempengaruhi
pengaruh model intervensi terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Pada tabel di bawah ini akan ditampilkan hasil uji variabel pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model.

Tabel. 5.3 Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan


dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok kontrol
sebelum intervensi (n=100)
Intervensi Kontrol
Variabel Nilai p*
Mean Median Mean Median
1. Pengetahuan 51.75 50 48.80 50 0.299
2. Self efficacy 29.50 30 30.40 30 0.134
3. Motivasi 31.80 32 32.32 32 0.396
4. Pencegahan 24.80 24 24.16 24 0.069
penularan
5. Kepatuhan nutrisi 31.42 31 32.10 32 0.288
* uji independent t-test

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


112

Dari hasil uji independent t test menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat
pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
dengan nilai p>0.05 sehingga kedua kelompok setara. Kepatuhan pengobatan
tidak dilakukan karena pengukuran kepatuhan dilakukan hanya pada pengukuran
post test1 dan pos test 2.

Di bawah ini akan diuraikan hasil uji normalitas data pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi sebelum dan setelah
intervensi.

Tabel. 5.4 Uji normalitas data pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan
penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dan setelah intervensi
Variabel Signifikansi
1. Pengetahuan pre p=0.140
2. Pengetahuan post 1 p=0.030
3. Pengetahuan post 2 p=0.000
4. Self efficacy pre p=0.204
5. Self efficacy post 1 p=7.660
6. Self efficacy post 2 p=0.000
7. Motivasi pre p=0.524
8. Motivasi post 1 p=0757
9. Motivasi post 2 p=0.010
10. Pencegahan penularan pre p=0.032
11. Pencegahan penularan post 1 p=0.000
12. Pencegahan penularan post 2 p=0.558
13. Kepatuhan nutrisi pre p=0.000
14. Kepatuhan nutrisi post 1 p=0.226
15. Kepatuhan nutrisi post 2 P=0.816
Dari hasil uji normalitas data di atas dapat terlihat sebagian besar data
berdistribusi normal atau p>0.05. Untuk selanjutnya data diuji dengan GLM-RM
untuk melihat pengaruh model dan uji mancova untuk melihat pengaruh variabel
perancu.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


113

5.2.2 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir
bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan


kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai


Variabel R2
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI p*
Pengetahuan
 Sebelum 51.75 50 47.91-53.8 48.80 50.00 46.34-54.27 0.607
 Post test1 88.25 87.5 84.28-92.21 65.42 62.50 61.33-69.51 0.400
<0.001
 Post test 2 94.00 100 90.37-97.63 67.28 75.00 63.54-71.03 <0.001 0.521
2 2
p1 (p<0.001,R =0.581), p2 (p=0.013 R, =0.064)
p interaksi < 0.001,R2=0.555.

Dari tabel 5.5 menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan mengalami peningkatan


antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan
pengetahuan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan
intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(p=0.607), akan tetapi terdapat perbedaan pengetahuan setelah 2 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 40% dan sesudah 5 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 52.1%.
Terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran sebelum intervensi terhadap
pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
58.1% dan terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran setelah 2 bulan
terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
sebesar 6.4%. Perbedaan pengetahuan lebih tinggi pada pengukuran sebelum
intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan
pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi. Hal
ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap
pengetahuan terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.2)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


114

Gambar 5.2. Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu


pengukuran dan diantara kelompok

Secara umum terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran (sebelum


intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
sebesar 55.5%.

5.2.3 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir
bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)
Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)
Variabel Nilai p R2
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI
Self efficacy
 Sebelum 29.78 30.50 28.92-30.63 30.12 30.00 29.20-30.96 0.623
 Post test 1 44.46 44.00 43.71-45.20 37.38 38.00 36.61-38.15 <0.001 0.646
 Post test 2 49.06 50.00 48.63-49.48 46.79 46.00 46.35-47.28 <0.001 0.364
p1 (p<0.001, R2=0.475), p2 (p<0.001, R2=0.526)
P interaksi < 0.001, R2=0.406

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


115

Dari tabel 5.6 menunjukkan nilai rata-rata self efficacy mengalami peningkatan
antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan self
efficacy antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan
intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(p=0.623), akan tetapi terdapat perbedaan self efficacy setelah 2 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.6% dan sesudah 5 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 36.4%.

Terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran sebelum intervensi terhadap


pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
47.5% dan terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran setelah 2 bulan
terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
sebesar 52.6%. Perbedaan self efficacy lebih tinggi pada pengukuran setelah 2
bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi dibandingkan pada
pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap self
efficacy terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun lebih jelas terlihat setelah 5
bulan intervensi (Gambar 5.3)

Gambar 5.3. Grafik interaksi self efficacy diantara waktu pengukuran


dan diantara kelompok

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


116

Secara umum terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran (sebelum


intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
sebesar 40.6%.

5.2.4 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir
bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan


kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)


Variabel Nilai p R2
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI
Motivasi
 Sebelum 32.08 33 31.21-32.95 32.04 32.00 31.20-33.00 0.967
 Post test 1 45.26 45 44.54-45.97 37.98 38.00 37.24-38.71 <0.001 0.675
 Post test 2 47.28 47 46.61-47.94 36.13 35.00 35.44-36.81 <0.001 0.850
p1(p<0.001, R2=0.434), p2(p<0.001, R2=0.243)
p interaksi < 0.001, R2=0.524

Dari tabel 5.7 menunjukkan nilai rata-rata motivasi mengalami peningkatan antara
sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan motivasi antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.967), akan tetapi
terdapat perbedaan motivasi setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 67.5% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 85%.

Terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran sebelum intervensi terhadap


pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
54.34% dan terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran setelah 2 bulan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


117

terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan


sebesar 24.3%. Perbedaan motivasi lebih tinggi pada pengukuran sebelum
intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan
pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan ntervensi. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap motivasi
terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.4)

Gambar 5.4. Grafik interaksi motivasi diantara waktu pengukuran


dan diantara kelompok

Secara umum terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran (sebelum intervensi,


setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar
52.4%.

5.2.5 Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi


model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil
sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


118

Tabel 5.8 Pencegahan penularan sebelum dan sesudah intervensi model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) R2


Variabel Nilai p*
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI
Pencegahan
penularan
 Sebelum 24.80 25.00 24.30-25.29 24.16 24.00 23.68-24.70 0.093
 Post test 1 45.28 45.00 44.58-45.98 37.74 38.00 37.02-38.47 <0.001 0.699
 Post test 2 49.12 50.00 48.38-49.85 41.60 40.00 40.84-42.35 <0.001 0.679
p1 (p<0.001, R2=0.607), (p=0.987)
p interaksi < 0.001, R2=0.454

Dari tabel 5.8 menunjukkan nilai rata-rata pencegahan penularan mengalami


peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat
perbedaan pencegahan penularan antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King (p=0.093), akan tetapi terdapat perbedaan pencegahan
penularan setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 69.9%
dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 67.9%.

Terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran sebelum intervensi


terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 60.7%, namun tidak terdapat perbedaan pencegahan penularan antar
pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.987). Hal
ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap
pencegahan penularan terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun tidak
terdapat perbedaan setelah 5 bulan intervensi (Gambar 5.5)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


119

Gambar 5.5. Grafik interaksi pencegahan penularan diantara waktu pengukuran


dan diantara kelompok.

Secara umum terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran


(sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi)
diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan sebesar 45.4%.

5.2.6 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi


model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil
sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


120

Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi
King.(n=97)

Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai


Variabel R2
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI p*
Kepatuhan
nutrisi
 Sebelum 31.42 31.00 30.58-32.30 32.10 32.00 31.43-33.25 0.153
 Post test 1 44.52 44.00 43.78-45.25 37.60 38.00 36.84-38.35 0.001 0.641
 Post test 2 47.08 48.00 46.43-47.73 39.13 40.00 38.46-39.80 0.001 0.750
p1(p<0.001, R2=0.778), p2 (p=0.011, R2=0.065)
p interaksi < 0.001, R2=0.703

Dari tabel 5.9 menunjukkan nilai rata-rata kepatuhan nutrisi mengalami


peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat
perbedaan kepatuhan nutrisi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King (p=0.153), akan tetapi terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi setelah
2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.1% dan sesudah 5
bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 75%.

Terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran sebelum intervensi


terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 77.8% dan terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran
setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.011) dengan kekuatan
perbedaan sebesar 6.5%. Perbedaan kepatuhan nutrisi lebih tinggi pada
pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi
dibandingkan pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan
ntervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan
terhadap kepatuhan nutrisi terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar
5.5)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


121

Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan nutrisi berbasis teori sistem interaksi
King.(n=97)

Intervensi Kontrol
Variabel
Mean Median Mean Median p
1. BB awal 51.83 52.00 50.06 50.00 0.246
2. BB1 54.30 54.00 51.81 52.00 0.104
3. BB2 56.08 56.00 53.32 53.00 0.067
4. ∆BBawal-BB1 2.36 2.00 1.96 2.00 0.012
5. ∆BB1-BB2 1.80 2.00 1.51 1.00 0.039

Tabel 5.10 mendukung perbedaan kepatuhan nutrisi pada pasien TB paru, dalam
tabel dapat dilihat peningkatan berat badan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Setelah 2 bulan intervensi kelompok intervensi mengalami
rata-rata peningkatan berat badan sebesar 2.36 kg sedangkan kelompok kontrol
mengalami rata-rata peningkatan berat badan sebesar 1.96 kg (p=0.012),
sedangkan setelah 5 bulan intervensi rata-rata peningkatan berat badan pada
kelompok intervensi sebesar 1.80 kg dan pada kelompok kontrol sebesar 1.51 kg
(p=0.039)

Gambar 5.6. Grafik interaksi kepatuhan nutrisi diantara waktu pengukuran


dan diantara kelompok.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


122

Secara umum terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran (sebelum


intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan
sebesar 70.3%.

5.2.7 Kepatuhan pengobatan (cara, dosis, waktu dan kepatuhan pengobatan


selama 6 bulan) sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan
ke-5 intervensi)

Kepatuhan pengobatan pasien TB paru berdasarkan cara minum obat (satu kali
dalam satu waktu atau beberapa kali dalam beberapa waktu), dosis pengobatan,
waktu minum obat (1 jam sebelum makan atau sesudah makan) dan kepatuhan
pengobatan selama 6 bulan didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel.5.11 Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol


(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai p


n % n %
1. Cara
Satu kali satu 0 0 36 76.6
waktu 0.001
Beberapa kali 50 100 11 23.4
beberapa waktu
2. Dosis
Sesuai 50 100 47 100 1
Tidak sesuai 0 0 0 0
3. Waktu
sebelum makan 50 100 40 85.1
Sesudah makan 0 0 7 14.9 0.005
4. Kepatuhan
Tidak drop out 50 100 47 94 0.242
Drop out 0 0 3 6

Dari tabel 5.10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cara minum OAT pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2 bulan pemberian intervensi

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


123

(p=0.001). Pada kelompok intervensi 100% responden minum OAT dalam satu
waktu sedangkan pada kelompok kontrol ada 11 responden (23.4%) yang masih
minum OAT dalam beberapa waktu (pagi, siang dan malam). Dosis minum OAT
pada kelompok intervensi atau kelompok kontrol tidak ada perbedaan, kedua
kelompok minum obat sesuai dengan dosis yang diberikan. Terdapat perbedaan
waktu minum obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2
bulan intervensi (p=0.005), setelah 2 bulan intervensi 100% kelompok intervensi
minum OAT 1 jam sebelum makan, sedangkan pada kelompok kontrol 7 (14.9%)
responden minum OAT setelah makan. Pada akhir intervensi (setelah 5 bulan)
tidak terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi tidak ada responden yang
drop out sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 (6%) responden yang drop out
pengobatan.

5.2.8 Pengaruh variabel perancu terhadap pengetahuan, self efficacy,


motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King


terhadap pengetahuan, self effiacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan
nutrisi perlu dipertimbangkan adanya variabel lain yang mengganggu hasil atau
disebut juga variabel perancu. Variabel yang diduga sebagai variabel perancu
pada penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan dan status
perkawinan.
Di bawah ini akan dijelaskan hasil uji statistik untuk menilai adanya varaibel
perancu pada pengukuran hasil penelitian akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


124

Tabel 5.12. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara
kelompok

Pengukuran
Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5
Jenis kelamin p=0.275 p=0.943
Umur p=0.255 p=0.189
Pekerjaan p=0.403 p=0.915
Pendidikan p=0.001 p=0.000
Status perkawinan p=0.722 p=0.242

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hanya variabel pendidikan (p<0.05)
yang merupakan variabel perancu. Untuk selanjutnya varaiabel mana saja yang
dipengaruhi oleh variabel pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.13. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara
kelompok berdasarkan variabel

Pengukuran
Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5
Pengetahuan p=0.000 Pengetahuan p=0.000
Self efficacy p=0.918 Self efficacy p=0.913
Pendidikan Motivasi p=0.756 Motivasi p=0.376
Pencegahan p=0.261 Pencegahan p=0.327
penularan penularan
Kepatuhan p=0.108 Kepatuhan p=0.428
nutrisi nutrisi

Dari tabel 5.13 di atas dapat dilihat bahwa variabel pendidikan merupakan
variabel perancu bagi pengaruh model intervensi peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 6
PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian efektifitas model peningkatan


kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi, implikasi penelitian terhadap
ilmu keperawatan dan keterbatasan penelitian.

6.1 Pembahasan Hasil Penelitian

6.1.1 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan. Pengaruh ini dapat
dicapai dengan meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan
persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB
paru. Dengan intervensi yang reguler selama 2 bulan pertama, dimana perawat
dan pasien berinteraksi dengan rentang 2 minggu sekali yaitu saat pasien datang
ke poli paru untuk kontrol, pasien memperoleh pengetahuan dan dapat berdiskusi
dan berbagi pengalaman tentang TB paru. Pasien pada akhirnya menemukan
perspektif baru mengenai apa dan bagaimana TB paru.

Peningkatan pengetahuan terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun pada


kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan
pengetahuan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi. Peningkatan
pengetahuan pada kelompok kontrol dapat disebabkan karena pasien menerima
informasi tentang TB paru dari sumber lain. Sumber yang dapat dijadikan sumber
pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti media cetak,
elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

125 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


126

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pembronia (2012) yang meneliti
tentang pengaruh motivational interviewing terhadap motivasi dan kemandirian
penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa motivational interviewing
meningkatkan pengetahuan pasien TB paru. Penelitian senada dilakukan Prayogi
(2014) yang meneliti pengaruh psychoeducative family therapy terhadap
kepatuhan pasien TB paru, dari hasil didapatkan bahwa pasien yang diberi
psychoeducative family therapy memiliki pengetahuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak memperoleh perlakuan. Walaupun intervensi
dari penelitian ini berbeda dengan dengan intervensi model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, namun masih memiliki kesamaan
yaitu sama-sama memberikan pembelajaran yang tepat ke pasien mengenai TB
paru.

Penelitian yang hampir sama yaitu penelitian Sekarsari (2013) yang meneliti
tentang efektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan konseling terhadap
perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan, readmission dan atau kematian
pasien gagal jantung. Persamaan dengan model peningkatan interaksi King
adalah sama-sama memberikan edukasi dan interaksi kepada pasien selama kurun
waktu 6 bulan. Pasien yang diberikan edukasi secara terus menerus akan
meningkatkan pengetahuannya.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Aini, Fatmaningrum & Yusuf
(2011) yang meneliti tentang upaya meningkatkan perilaku pasien dalam
tatalaksana Diabetes Mellitus dengan pendekatan teori model behavioral system
Dorothy E.Johnson. Persamaan dengan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King adalah sama-sama memberikan intervensi berupa
edukasi dan pemberian motivasi. Dari hasil didapatkan bahwa pasien yang
diberikan edukasi dan motivasi akan meningkat tingkat pengetahuannya
dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi.

Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian Ibrahim, Mardiah dan
Priambodo (2014) yang meneliti tentang pengetahuan, sikap, dan praktik

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


127

kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS, pada hasil


menunjukkan adanya hubungan yang positif antara pengetahuan dan praktik.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi
setelah melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan/kognitif
merupakan domain penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan
didefinisikan sebagai pengakuan secara intelektual dengan fakta kebenaran/prinsip
di tambah dengan pengamatan, pengalaman dan laporan. Adanya pengetahuan di
perlukan sebelum terjadinya tindakan pada seseorang. Tingkat pengetahuan
dipengaruhi oleh pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran yang diberikan pada
pasien TB paru yang menjalani pengobatan diberikan melalui peningkatan sistem
personal yaitu memberikan pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Lamak, Kusnanto dan Dewi
(2014) tentang pengetahuan, self efficacy dan stres pasien kusta melalui penerapan
support group dengan pendekatan teori adaptasi, pada hasil didapatkan bahwa
support group dapat meningkatkan pengetahuan pasien. Walaupun intervensi
yang diberikan berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King namun masih memiliki persamaan yaitu pada intervensi
pasien mendapatkan informasi mengenai penyakit dan penanganannya.

Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Loriana, Thaha dan
Ramdan (2007) yang meneliti tentang efek konseling terhadap pengetahuan, sikap
dan kepatuhan berobat pada penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa ada
pengaruh efek konseling terhadap peningkatan pengetahuan pasien TB paru.
Konseling pada pasien TB pada intinya adalah memberikan pembelajaran kepada
pasien TB paru, hal ini hampir sama dengan yang intervensi pada model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yaitu memberikan
informasi yang dibutuhkan pasien. Sesuai pendapat Corones, dkk (2009) bahwa
kebutuhan akan informasi pada pasien yang menjalankan pengobatan adalah
sangat tinggi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


128

Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian tahap 1 dalam tema persepsi yang
positif atau benar mengenai TB paru. Pada penelitian ini pasien mendapatkan
pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru dan pengobatan TB paru.
Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang
setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru.
Peningkatan pengetahuan pada pasien dapat dipengaruhi karena pasien selalu
berinteraksi dengan perawat dan dokter, sehingga dimungkinkan melalui interaksi
yang terus menerus dan pembelajaran yang tepat maka pasien mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman yang tepat.

Gagne (1988) dalam information processing learning theory berpendapat bahwa


dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pemrosesan
informasi melalui interaksi antara kondisi internal dan kondisi eksternal individu.
Untuk mengingat sesuatu manusia harus melakukan 3 hal yaitu mendapatkan
informasi, menyimpannya dan mengeluarkan kembali.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
intervensi yang menekankan adanya interaksi antara perawat dan pasien. King
(dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan proposisi dalam teori
pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien
maka akan terjadi transaksi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan
akan tercapai. Dalam model ini perawat menumbuhkan persepsi yang tepat agar
pengetahuan pasien dapat meningkat. Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo
(2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dalam model ini untuk mencapai
transaksi atau tujuan maka interaksi harus dilakukan secara terus menerus.
Peningkatan pengetahuan pada pasien TB paru diperlukan sebagai dasar untuk
meningkatkan perilaku yaitu kepatuhan pasien.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


129

6.1.2 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King terhadap self efficacy pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.
Peningkatan self efficacy dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal dan
sistem interpersonal. Intervensi yang diberikan adalah meningkatkan kesadaran
diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan
gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit,
meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,
membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping
pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh
pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self efficacy dan self care activity
keluarga dan penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pasien yang bersama-sama keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan
keluarga memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Walaupun intervensi ini berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King namun masih memiliki intervensi yang hampir sama.
Pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien
mendapatkan intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal yaitu
meningkatkan komunikasi dan interaksi pasien dengan keluarga. Pasien yang
dapat melakukan komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga akan
memperoleh dukungan yang sangat kuat untuk meningkatkan keyakinan diri
sehingga merasa yakin untuk patuh menjalankan pengobatan sehingga mencapai
kesembuhan.

Sejalan dengan hasil penelitian Hendiani, Sakti dan Widayanti (2012) yang
meneliti tentang hubungan antara persepsi dukungan keluarga sebagai PMO
dengan self efficacy pasien TB paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang
memiliki persepsi positif tentang dukungan keluarga sebagai PMO memiliki

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


130

keyakinan diri yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian tahap 1
yang mendukung yaitu subtema komunikasi dan interaksi pasien dan keluarga
selama pengobatan dengan kategori pasien merasa nyaman berinteraksi dengan
keluarga, pasien mendapat perhatian dari pasangan dan keluarga memberi
motivasi. Pasien yang memiliki komunikasi dan interaksi yang baik dengan
keluarga akan memiliki keyakinan diri yang lebih baik dibandingkan yang tidak
memiliki komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga.

Tema lain yang mendukung adalah kesadaran diri untuk sembuh yang memiliki
kategori yakin TB paru dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang
sendiri. Pasien yang patuh memiliki keyakinan yang kuat bahwa sakit TB paru
dapat disembuhkan. Pada pasien yang patuh yang tidak memiliki atau jauh dari
keluarga, mereka memiliki keyakinan yang kuat untuk sembuh dan rajin datang
berobat di poli paru walaupun harus datang sendiri ke rumah sakit.

Pada model intervensi King salah satu intervensi yang diberikan adalah
meningkatkan sistem personal yaitu meningkatkan kesadaran diri. Pasien yang
kurang mendapat dukungan keluarga diberikan keyakinan bahwa mereka harus
mampu dan harus yakin untuk patuh hingga mencapai kesembuhan. Beberapa
komponen yang penting dalam menumbuhkan self efficacy adalah meningkatnya
pengetahuan dan sikap , tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan
yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan
akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmojo, 2010). Berdasarkan hal
tersebut pasien harus diyakinkan bahwa diri mereka sendiri yang mampu merubah
situasi dari sakit menjadi sehat walau tanpa dukungan keluarga. Pasien masih
berhak meraih cita-cita di masa depan saat sudah sembuh dari TB paru.

Pada intervensi untuk meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, pasien TB paru
diberikan contoh pasien-pasien yang patuh berobat dan mencapai kesembuhan
agar memiliki keyakinan bahwa mereka juga sanggup untuk patuh supaya dapat
mencapai kesembuhan. Dengan memberikan contoh pasien yang sembuh, sesuai
dengan pendapat Bandura (1994) di atas salah satu faktor yang mempengaruhi self

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


131

efficacy seseorang adalah vicarious experience, yaitu seseorang dapat belajar dari
pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti
apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan meningkat jika mengamati
keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sebaliknya self efficacy akan
menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara
dengan dirinya mengalami kegagalan.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Kholifah (2014) yang meneliti
tentang self management intervention sebagai upaya peningkatan kepatuhan pada
penderita DM. Pada hasil didaptkan bahwa self management intervention terbukti
meningkatkan pengetahuan, self efficacy dan kepatuhan pada pasien DM.
Persamaan intervensi dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King adalah memberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan dan
pemberian motivasi.

Sejalan dengan penelitian Hidayati (2012) yang meneliti tentang Pengaruh


hypertension self-management program terhadap perubahan self efficacy, self care
behaviour dan tekanan darah penderita hipertensi di puskesmas Mojo. Persamaan
dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan
penelitian ini adalah sama-sama memberikan edukasi dan meningkatkan
kesadaran diri pasien. Pada hasil ditemukan bahwa pasien yang diberikan edukasi
dan kesadaran diri memiliki self efficacy yang meningkat.

Dalam model ini perawat melakukan interaksi yang terus menerus dengan pasien
dan meningkatkan komunikasi yang terbuka dengan pasien dari awal intervensi
sampai terminasi. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan jika
perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai
menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan
pencapaian tujuan akan dicapai. Dalam penelitian ini terbukti bahwa self efficacy
pasien terjadi peningkatan. Self efficacy sangat diperlukan bagi pasien TB paru
agar memiliki keyakinan bahwa sakit TB paru dapat disembuhkan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


132

6.1.3 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King terhadap motivasi pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.

Pengaruh terhadap motivasi diperoleh dengan cara meningkatkan kesadaran diri


untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan
gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit,
meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,
membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping
pasien.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Kamil, Ibnu dan Rachman (2013) yang
melakukan penelitian kualitatif tentang media cetak komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug resistant
tuberculosis. Pada hasil ditemukan tema diantaranya media cetak KIE
memberikan dampak yang positif terhadap pasien yaitu motivasi untuk lebih giat
berobat. Persamaan dengan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King adalah pada intervensi model menggunakan media booklet
untuk meningkatkan sistem personal dimana salah satunya adalah meningkatkan
motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarno dan Utama (2012) yang
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berobat penderita
tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan
petugas, pengetahuan dan persepsi tentang TB memberi pengaruh yang positif
terhadap motivasi untuk berobat. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terjadi interaksi yang terus menerus antara
perawat dan pasien beserta keluarga jika keluarga turut datang ke poli paru.
Perawat selalu melibatkan keluarga dalam memberikan intervensi terutama untuk
meningkatkan sistem interpersonal pasien yaitu meningkatkan komunikasi antara

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


133

pasien dengan keluarga dan perawat serta dokter. Senada dengan pendapat
Mohammadi (2006) bahwa motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien
agar mau terlibat secara aktif dalam proses pengendalian penyakit. Persamaan lain
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan model
partnership Mohammadi adalah menekankan adanya proses kerjasama yang terus
menerus antara perawat dan pasien dalam proses perawatan.

Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam persepsi yang
positif atau benar tentang TB paru dimana pasien memperoleh pembelajaran yang
tepat tentang TB paru dan pengobatan TB paru. Pasien yang patuh memperoleh
pembelajaran yang tepat sehingga merasa termotivasi untuk patuh dan mencapai
kesembuhan karena tahu mengenai penyakitnya. Tema lain yang berkaitan dengan
peningkatan motivasi adalah tema mencapai tumbuh kembang yang optimal, tema
gambaran diri yang positif dan tema komunikasi yang terbuka antara pasien
dengan tenaga kesehatan dan pasien dengan keluarga.

Pasien yang memiliki persepsi yang positif atau benar akan meyakini walaupun
gejala fisik sudah hilang namun penyakit TB paru belum sembuh. Hanya dokter
yang berhak menyatakan sembuh setelah melalui serangkaian pengobatan dan
pemeriksaan untuk menyatakan bahwa sakit benar-benar sembuh. Pasien yang
memiliki persepsi yang positif merasa yakin akan sembuh dan memiliki motivasi
yang kuat untuk sembuh walaupun harus menjalankan pengobatan dalam jangka
waktu yang lama.
.
Pasien yang patuh menjalankan pengobatan adalah pasien mampu mencapai
tumbuh kembang yang optimal. Tema mencapai tumbuh kembang yang optimal
terbagi menjadi dua subtema yaitu subtema harapan masa depan yang lebih baik
dan subtema mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien
yang patuh memiliki motivasi yang kuat karena harus sembuh untuk mencapai
cita-cita di masa depan seperti mencapai gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan
yang layak dan mewujudkan harapan untuk memiliki anak. Pasien yang patuh
juga memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh karena harus menjalankan tugas

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


134

perkembangan secara optimal seperti mengasuh anak. Pasien yang memiliki balita
namun memiliki sakit TB paru memiliki motivasi yang lebih untuk segera sembuh
dan patuh berobat agar tidak was was anaknya tertular TB paru.

Pada tema gambaran diri yang positif, pasien yang yang patuh memiliki gambaran
diri yang positif, Walaupun pada awalnya merasa minder dengan penurunan berat
badan namun akhirnya penurunan berat badan ini menjadikan motivasi yang kuat
untuk patuh dalam pengobatan agar mencapai berat badan normal. Pasien yang
patuh juga tidak pernah merasa malu kalo harus memakai masker kemana-mana
karena tujuan memakai masker adalah untuk melindungi orang lain dari tertular
TB paru dan melindungi diri agar tidak terkontaminasi udara kotor yang dapat
menyebabkan penyakit lain atau mempeparah kondisi sakit. Pasien merasa yakin
dan termotivasi untuk sembuh agar terbebas dari memakai masker dan terbebas
dari kekhawatiran menulari orang lain.

Tema komunikasi terbuka diidentifikasi menjadi dua subtema yaitu komunikasi


dengan petugas kesehatan dan subtema komunikasi dengan keluarga. Pasien yang
mendapat dukungan yang positif dari keluarga maupun petugas memiliki motivasi
yang kuat untuk mencapai kesembuhan dan patuh dalam menjalankan
pengobatan. Menurut King (dalam Alligood & Tomey, 2006) jika perawat dengan
pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke
pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan
dicapai. Dengan komunikasi dan interaksi yang terus menerus pasien mampu
mencurahkan segala perasaan dan permasalahan selama sakit sehingga merasa
nyaman dan memiliki dukungan yang positif yang membantunya untuk selalu
termotivasi mencapai kesembuhan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


135

6.1.4 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB
paru. Pengaruh ini terbukti pada akhir bulan ke-2 intervensi namun tidak terbukti
pada akhir bulan ke-5 intervensi. Hal ini terjadi bisa disebabkan pada kelompok
kontrol mendapatkan informasi yang sama tentang pencegahan penularan dari
petugas kesehatan atau media lainnya. Pengaruh model terhadap pencegahan
penularan diperoleh melalui peningkatan sistem personal pasien yaitu
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar melalui pembelajaran yang tepat
tentang pencegahan penularan dan memberikan penjelasan tentang lingkungan
rumah yang mendukung kesembuhan

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kaona, dkk (2004) yang
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan dan
pengetahuan tentang transmisi penularan pada pasien TB paru. Hasil
menunjukkan bahwa pasien lebih banyak pasien pria dibandingkan pasien wanita
yang melakukan transmisi atau penularan TB paru (memakai tempat makan yang
sama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang tidak
mengetahui bagaimana pencegahan penularan tuberkulosis paru. Pada intervensi
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, salah satu
intervensi yang diberikan adalah pembelajaran yang tepat mengenai pencegahan
penularan. Pasien diberikan pembelajaran bagaimana cara batuk dan bersin yang
benar, cara membuang dahak dan menggunakan alat-alat makan dan minum agar
tidak terjadi penularan.

Hasil senada dengan penelitian Widari (2010) yang meneliti tentang perbandingan
pengaruh penyuluhan kesehatan dan konseling terhadap perubahan perilaku
pencegahan penularan pada penderita tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dan
konseling terhadap perubahan pengetahuan, sikap maupun perilaku pencegahan

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


136

penularan pasien tuberkulosis paru. Persamaan penelitian ini dengan model


peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah sama-sama
memberikan pembelajaran. Metode yang digunakan yaitu hampir sama dengan
metode konseling dimana interaksi perawat-pasien dilakukan secara individual
dan bukan dalam kelompok. Pada hasil ditemukan bahwa ada peningkatan
perilaku pencegahan penularan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna pada


pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (60.7%)
sedangkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan ke-5
intervensi tidak menunjukkan peningkatan yang bermakna. Hal ini dimungkinkan
pembelajaran selama 2 bulan sudah cukup memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan perilaku pasien. Kondisi ini dimungkinkan karena
pembelajaran yang reguler selama 2 bulan pertama yaitu setiap 2 minggu sekali
saat pasien berobat ke poli paru. Peningkatan ini juga dimungkinkan karena
adanya pembelajaran yang tepat pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King yaitu diberikannya pembelajaran mengenai orang yang
memiliki resiko tertular, pencegahan penularan TB paru dan sikap saat bersin dan
batuk. Dengan pembelajaran yang tepat pasien mampu melakukan pencegahan
penularan kepada orang lain sehingga menurunkan jumlah pasien TB paru.

Peningkatan pencegahan penularan juga terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun


pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami
peningkatan pencegahan penularan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi.
Peningkatan pencegahan penularan pada kelompok kontrol dapat disebabkan
karena pasien menerima informasi tentang TB paru dari sumber lain, seperti
media cetak, elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asih, Suyanto dan Munir (2014)
yang meneliti tentang gambaran perilaku pasien TB paru terhadap upaya

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


137

pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang berobat di poli paru.
Pada hasil ditemukan bahwa 43.5% pasien memiliki pengetahuan yang baik,
70.4% memiliki sikap yang baik dan 46.1% memiliki perilaku yang baik tentang
upaya pencegahan penularan. Dari hasil tersebut memberikan gambaran bahwa
masih diperlukan pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku
pencegahan penularan TB paru. Intervensi model King menyediakan model
pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku pencugahan penularan.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Fatimah (2008), yang meneliti
tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian
TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan
antara kejadian TB paru dengan pencahayaan, ventilasi, keberadaan jendela
dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status gizi. Lingkungan merupakan
faktor yang penting untuk mencegah terjadinya penularan. Lingkungan yang
buruk dapat meningkatkan resiko penularan yang pada akhirnya meningkatkan
angka kejadian TB paru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King pasien diberikan pembelajaran dan diajak diskusi
mengenai lingkungan rumah yang sehat untuk mencegah terjadinya penularan.
Pasien diajarkan untuk membuka jendela rumah setiap hari agar sinar matahari
dan udara dapat masuk ke dalam rumah, membuat genteng kaca jika kamar tidak
memiliki jendela serta mengajarkan agar selalu menjaga kebersihan rumah.

Hasil penelitian juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1, yang menemukan
bahwa pasien yang patuh mendapatkan pembelajaran yang tepat mengenai
pencegahan penularan, dimana pasien menjelaskan cara batuk dan bersin yang
benar, menjelaskan cara membuang dahak yang benar yaitu ke saluran air, dan
saat makan mengunakan alat-alat makan dan minum secara terpisah. Pasien yang
patuh dapat menurunkan resiko orang lain tertular TB paru. Tema lain yang
mendukung adalah tema lingkungan yang sehat yang mendukung kesembuhan.
Pada kategori lingkungan rumah pasien menjelaskan bahwa rumah memiliki
jendela yang dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Lingkungan yang sehat membantu mencegah penularan dan penyebaran penyakit

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


138

TB paru. Pada kategori ruang RS, pada ruang poli paru ruangan tidak dilengkapi
AC (air conditioner), memiliki jendela yang banyak dan selalu dibuka mendapat
sinar matahari yang cukup karena tidak terhalang oleh bangunan lain.

King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan bahwa kerangka kerja
sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan berlandaskan pada asumsi bahwa
fokus keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun
pada tingkat kesehatan individu. Dalam model ini interaksi antara perawat dan
pasien menuntun pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan agar tahu cara
melakukan pencegahan penularan sehingga tidak menulari orang lain disekitarnya,
pasien juga diajarkan bagaimana lingkungan yang sehat agar membantu
penunjang kesembuhan. Pencegahan penularan yang dinilai dalam penelitian ini
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengukur persepsi bagaimana melakukan
pencegahan penularan. Dengan persepsi yang tepat diharapkan pasien mampu
menerapkan pencegahan penularan baik saat di hadapan petugas di rumah sakit,
saat di rumah maupun saat berinteraksi dengan lingkungan sosial.

6.1.5 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King berpengaruh kepatuhan nutrisi pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepatuhan nutrisi diantara


kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Pada akhir bulan ke 2 dan akhir
bulan ke 5 setelah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King menunjukkan hasil adanya perbedaan kepatuhan nutrisi antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna lebih besar
antar pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (77.8%)
dibandingkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan
ke-5 intervensi (0.06%). Pengaruh terhadap kepatuhan nutrisi pada pasien dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan menumbuhkan persepsi

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


139

yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru dengan salah
satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi yang menunjang kesembuhan pada
pasien TB paru. Hal ini juga didukung oleh adanya perbedaan peningkatan berat
badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2.36 kg
pada kelompok intervensi dan 1.96 kg pada kelompok kontrol. Walaupun pada
kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan
kepatuhan nutrisi dan peningkatan berat badan walaupun tidak sebesar kelompok
intervensi. Hal ini dimungkinkan karena pasien pada kelompok kontrol mendapat
informasi dari media lain atau dari petugas kesehatan. Peningkatan berat badan
juga dipengaruhi oleh pengobatan selama fase intensif dimana perbaikan pada
organ paru akan meningkatkan nafsu makan pasien sehingga terjadi peningkatan
berat badan.

Senada dengan penelitian Nurhanah, Airuddin dan Abdullah (2010) yang meneliti
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada
masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan 2007. Pada hasil penelitian ditemukan
bahwa ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
nutrisi, tempat tinggal dan merokok dengan kejadian tuberkulosis. Status nutrisi
berkorelasi positif dengan kejadian TB paru. Penelitian yang hampir sama
dilakukan oleh Misnadiarly dan Sunarno (2009), yang meneliti tentang analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di
Indonesia tahun 2007. Pada hasil ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi
kejadian TB paru adalah diabetes mellitus, status nutrisi, pendidikan, pekerjaan,
merokok, usia tua dan jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Fatimah (2008) yang meneliti tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang
berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian
ditemukan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan pencahayaan,
ventilasi, keberadaan jendela dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status
gizi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


140

Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa walaupun status nutrisi


bukan penyebab kejadian TB paru akan tetapi status nutrisi berkaitan dengan daya
tahan tubuh seseorang. Saat daya tahan tubuh menurun maka akan mudah sekali
terserang berbagai penyakit termasuk TB paru. Pada pasien TB paru selain
pengobatan status nutrisi menjadi sangat penting karena membantu meningkatkan
daya tahan tubuh sehingga pasien dapat sembuh dengan waktu pengobatan yang
minimal (6 bulan). Status gizi yang buruk dapat memperpanjang waktu
pengobatan. Dalam intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King, pasien diberikan pembelajaran yang tepat mengenai nutrisi yang
penting untuk membantu proses penyembuhan TB paru.

Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam tema persepsi
yang positif atau benar tentang TB paru dimana pasien mendapatkan
pembelajaran yang tepat tentang nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang
kesembuhan. Dengan pembelajaran yang tepat pasien dapat mengetahui dan
mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan
tubuh sehingga dapat membantu proses kesembuhan. Menurut King (dalam
Alligood & Tomey, 2006), dalam hubungan interpersonal perawat dan pasien
saling mempersepsikan, membuat keputusan dan bertindak bersama-sama. Hasil
sebuah interaksi dan jika persepsi sudah sama maka akan terbentuk transaksi.
Dalam hal ini transaksi yang terbentuk adalah kepatuhan nutrisi. Nutrisi bukan
merupakan faktor penyebab terjadinya TB paru tetapi nutrisi adalah faktor yang
dapat menyebabkan seseorang tertular TB paru atau memperberat kondisi
penyakit TB paru.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


141

6.1.6 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh model peningkatan kepatuhan


berbasis teori sistem interaksi King terhadap cara minum OAT (satu waktu dan
beberapa waktu), waktu minum obat (sebelum makan dan setelah makan) namun
tidak ada pengaruh terhadap dosis OAT pada akhir bulan ke-2 intervensi. Dari
hasil kepatuhan (drop out pasien selama pengobatan), walau secara statistik tidak
signifikan namun secara teoritis angka 6% ini cukup signifikan karena dari yang
drop out ini dapat menimbulkan efek yang besar seperti terjadinya penularan
kepada orang lain dan terjadinya multidrug resisten yang semakin mempersulit
pengobatan dan menurunkan kualitas hidup pasien.

Penilaian kepatuhan pengobatan dilakukan melalui wawancara dan menghitung


bungkus obat dan sisa obat pada pasien. Metode ini merupakan metode yang
paling murah untuk menilai kepatuhan walaupun memiliki kelemahan yaitu
pasien dapat memanipulasi jumlah obat yang diminum. Metode yang paling tepat
adalah dengan melakukan pengukuran kadar konsentrasi obat dalam darah
sehingga dapat diketahui bahwa pasien memang benar patuh dalam minum obat.
Metode ini sangat sulit dilakukan karena mahal dan kemungkinan adanya
penolakan dari pasien untuk dilakukan pemeriksaan darah.

Pengaruh terhadap kepatuhan pengobatan diperoleh dengan cara meningkatkan


sistem personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem
sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan untuk
melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang birokrasi
pelayanan di rumah sakit. Hasil penelitian di atas sejalan dengan penelitian
Hutapea (2009) yang meneliti tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum OAT. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan
keluarga terhadap keteraturan minum obat dan cara minum obat. Responden yang
minum obat setiap hari adalah 69.4% sedangkan cara minum obat sekaligus

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


142

sebanyak 72.7%. Persamaan kedua penelitian ini sama-sama menekankan


pentingnya aspek keluarga dalam mempengaruhi kepatuhan pasien.

Senada dengan hasil penelitian Pramonodjati (2010), meneliti tentang pengaruh


pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan berobat dan tingkat kesembuhan
penderita tuberkulosis didapatkan hasil bahwa pembelajaran tuberkulosis pada
pasien memberikan kontribusi sebesar 13% terhadap kepatuhan berobat dan
tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis paru. Senada dengan hasil penelitian
Senewe (2002), yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Pada hasil didapatkan
bahwa sebanyak 33% pasien tidak patuh dalam pengobatan, dari pasien tidak
patuh ini didapatkan bahwa sebanyak 69% tidak mendapat penyuluhan kesehatan
dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran
merupakan hal penting yang memberikan kontribusi pada kepatuhan pasien.

Selain pembelajaran yang tepat tentang pengobatan TB paru, pada intervensi


model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien
diberikan pembelajaran tentang efek samping obat. Seperti diketahui bahwa
kebanyakan pasien saat mengalami efek samping obat maka akan menghentikan
sendiri pengobatannya atau akan menganggap bahwa obat yang diberikan tidak
manjur sehingga akan mencari pertolongan pada dokter lain yang berakibat
terputusnya pengobatan atau memulai pengobatan dari awal. Hal ini didukung
oleh penelitian Bagiada dan Primasari (2010) yang meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat
di poliklinik DOTS. Pada hasil ditemukan bahwa salah faktor yang paling penting
yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan adalah adanya efek samping dari
obat. Pembelajaran tentang efek samping obat dan hal apa yang harus dilakukan
saat timbul efek samping obat menjadi hal yang sangat penting agar pasien tidak
menghentikan pengobatan dan mencari pertolongan yang tepat.

Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian Bam,Gunneberg, Chabroon,


Sawasdi, Bam, Aalberg dan Kasland (2006) yang meneliti tentang faktor yang

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


143

mempengaruhi kepatuhan pasien akan DOTS. Didapatkan hasil bahwa dari pasien
yang tidak patuh sebanyak 61% menyatakan tidak tahu kalo harus minum obat
setiap hari terutama saat mereka sudah merasa lebih baik. DOTS, usia muda,
pengetahuan tentang TB dan ketersediaan pendidikan kesehatan berhubungan
dengan peningkatan kepatuhan pengobatan. Dari hasil penelitian tersebut sangat
jelas bahwa ketidakpatuhan pengobatan salah satunya adalah dipengaruhi oleh
persepsi pasien yang keliru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King salah satu intervensi yang diberikan adalah
menekankan pentingnya kepatuhan dan kesembuhan. Pasien biasanya setelah 2
bulan pengobatan akan merasa sembuh karena gejala-gejala sudah mulai
berkurang dan tubuh sudah mulai membaik.

Senada dengan penelitian Pasek, Suryani dan Murdani (2013) yang meneliti
tentang hubungan persepsi dan pengetahuan penderita tuberkulosis dengan
kepatuhan pengobatan. Pada hasil ditemukan bahwa penderita TB yang memiliki
persepsi positif memiliki kemungkinan patuh sebesar 21.41 kali dibandingkan
yang memiliki persepsi negatif. Tingkat pengetahuan yang baik memiliki
kemungkinan untuk patuh sebesar 16,81 kali dibandingan dengan yang
pengetahuan kurang. Dilihat dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi
memiliki pengaruh yang besar pada pasien untuk patuh. Pada intervensi model
penigkatan kepatuhan seperti telah diuraikan di atas bahwa membuat persepsi
pasien menjadi benar adalah merupakan faktor yang penting dalam model ini.

Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian kualitatif Nugroho (2011) yang
meneliti tentang faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru. Pada
hasil ditemukan bahwa faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan adalah
lama pengobatan melewati tahaf intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa
sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak
mengetahui tahapan pengobatan, tidak ada pengawas menelan minum obat,
adanya kesulitan menuju BP4 (Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru),
adanya efek samping obat, dan ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Dari
uraian di atas tampak bahwa penyebab drop out pengobatan adalah adanya

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


144

persepsi yang tidak tepat tentang sembuh, kurangnya pengetahuan pasien dan
kurangnya dukungan keluarga.

Pada intervensi disiplin minum obat pasien diajarkan bagaimana cara minum obat
yang tepat dan bagaimana agar tidak lupa minum obat. Dengan memberi contoh
yaitu pasien minum obat pertama kali dihadapan perawat, pasien tidak akan lupa
dan bingung cara minum obat, sehingga pasien tidak akan membagi obat dalam
nbeberapa waktu. Pasien juga diajarkan memasang alarm pada telepon selular
atau jam weker sehingga tidak akan lupa saat waktunya tiba untuk minum obat.
Saat ini sudah banyak teknologi yang diciptakan melalui jaringan telepon selular
untuk pengingat minum obat. Beberapa teknologi yang dikembangkan
diantaranya kotak minum obat yang dilengkapi dengan alarm digital, alarm
pengingat pada telepon selular berbasis android maupun blackberry, aplikasi
pengingat berbasis sms (short message service). Diantara banyaknya pilihan tentu
saja disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menggunakan teknologi
tersebut. Alarm pada telepon selular sederhana maupun alarm jam weker
merupakan pilihan yang paling seserhana dan paling mudah untuk diterapkan
pada pasien TB paru.

Pada intervensi menyeimbangkan stres, pasien diajarkan untuk mengatasi


kejenuhan saat berobat dengan cara memotivasinya agar pasien mau berobat dan
menganggapnya sebagai rekreasi serta menganjurkan untuk bersosialisasi dengan
berbagi pengalaman dengan pasien lain. Pada intervensi koping yang efektif
pasien diajarkan untuk sabar, tabah, ikhlas dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Koping yang konstruktif dapat membuat pasien lebih menerima kondisi sakitnya
dan dapat membantu pasien TB paru untuk mencapai kepatuhan. Hal ini sesuai
dengan penelitian Hidayat, Hamid dan Mustikasari (2014) yang meneliti tentang
hubungan koping individu dengan tingkat kepatuhan penyandang diabetes
mellitus, pada hasil ditemukan bahwa ada hubungan koping individu dengan
kepatuhan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Sonia, Arifin dan Murni
(2014) yang meneliti tentang hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan
kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan depresi, pada

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


145

hasil ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara mekanisme koping dengan
melakukan kemoterapi. Berdasarkan hal tersebut sangatlah jelas bahwa koping
sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Meningkatkan koping pasien
menjadi konstruktif sangat menunjang tercapainya kepatuhan pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan analisis refleksi dari Garcia, Cirina, Elias, Lira
dan Enders (2014) yang menganalisis interaksi profesional-pasien dalam
kepatuhan pengobatan pasien TB paru dalam persepsi model konseptual sistem
interaksi dan teori pencapaian tujuan King. Dari hasil analisis refleksi ini
didapatkan hasil bahwa persepsi, keputusan dan aksi dari profesional-pasien
ketika sudah sama akan menghasilkan transaksi yang mempengaruhi tujuan,
kualitas komunikasi profesional pasien, menjamin kepatuhan pengobatan dan
memiliki pengaruh posistif terhadap kontrol dan pengobatan TB paru. Hasil
penelitian model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
memiliki kesamaan dengan analisis refleksi dari Garcia, dari hasil penelitian ini
diperoleh bahwa sistem interaksi perawat-pasien meningkatkan kepatuhan
pengobatan pasien TB paru, terbukti bahwa pasien yang diberikan intervensi
memiliki kepatuhan sebesar 100% dibandingkan pada kelompok kontrol yang
memiliki kepatuhan sebesar 94%.

6.1.7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,


status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa variabel perancu usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan tidak berhubungan dengan
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
pada pasien TB paru. Hanya variabel tingkat pendidikan yang berhubungan
dengan pengetahuan pasien TB paru. Tingkat pendidikan pada kelompok
intervensi sebanyak 76% berpendidikan SMA dan PT sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 46% yang berpendidikan SMA dan PT. Dalam hal ini maka tingkat

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


146

pendidikan memperbesar pengaruh yang sesungguhnya dari model terhadap


pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan pada kelompok
intervensi dipengaruhi oleh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King dan bercampurnya pengaruh dari faktor tingkat pendidikan.

Sejalan dengan penelitian Islami, Asiyah dan Wardoyo (2011) yang menjelaskan
bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan
dapat membawa pengetahuan seseorang secara umum, seseorang yang
berpendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan
dengan yang berpendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dimana responden
yang memiliki tingkat pendidikan SMA-PT memiliki pengetahuan yang lebih baik
dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan SD-SMP.

Sesuai dengan penelitian penelitian Erawatiningsih, Purwanta dan Subekti (2012)


didapatkan bahwa faktor pendidikan merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan pasien TB paru. Tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi pola berpikir seseorang, semakin tinggi pendidikan maka
cara berpikir akan semakin luas sehingga lebih mudah dalam memperoleh
pengetahuan. Tingkat pendidikan turut menentukan seseorang memahami
pengetahuan yang diperoleh. Semakin tinggi pendidikan pada umumnya akan
semakin baik pengetahuannya. Informasi atau pembelajaran akan memberikan
pengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Walaupun pendidikan rendah,
seseorang akan meningkat pengetahuannya jika diberikan informasi atau
pembelajaran. Dengan demikian, perawat dalam memberikan pembelajaran
kepada pasien perlu menyesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Pada pasien
yang berpendidikan rendah perlu digunakan bahasa yang sederhana sehingga
maksud yang disampaikan dapat diterima dengan mudah.

Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi


King pada dasarnya adalah mengembalikan peran dan fungsi perawat di poli paru
sebagai pemberi pelayanan keperawatan. Selama ini perawat di poli lebih banyak

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


147

melaksanakan fungsi administratif sehingga dengan model ini peran perawat


sebagai pemberi pelayanan keperawatan dapat kembali dioptimalkan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien. Peran perawat meliputi peran pelaksana, peran
pendidik, peran koordinator, peran pembaharu, peran fasilitator. Pelaksanaan
intervensi model meningkatkan peran perawat sebagai pelaksana asuhan
keperawatan dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan
sistem sosial pasien.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori interaksi King dapat dimasukkan


kedalam pembiayaan BPJS pada tingkat pelayanan lanjut di rumah sakit. Sebagai
salah satu upaya untuk memasukkan dalam pembiayaan asuransi kesehatan BPJS,
maka model ini harus terintegrasi dengan pelayanan keperawatan pada pasien TB
paru. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat
digunakan sebagai bentuk asuhan keperawatan pada pasien TB paru di poli paru.
Sehingga pasien TB paru yang mendapatkan intervensi model ini dapat dibiayaai
melalui asuransi BPJS sebagai pelayanan tingkat lanjut di rumah sakit.

6.2. Implikasi terhadap pelayanan keperawatan


1. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
memberi kesempatan kepada pasien untuk berinteraksi terus menerus
dengan perawat berbagi informasi dan perasaan selama menjalankan
pengobatan. Melalui pertemuan yang rutin akan terbina hubungan saling
percaya sehingga pasien secara terbuka mengungkapkan perasaannya.
Kepatuhan pasien sangat ditunjang oleh interaksi perawat-pasien yang
terus menerus. Model ini efektif meningkatkan kepatuhan pasien melalui
peningkatan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.
2. Model ini teruji mampu meningkatkan pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan, kapatuhan nutrisi dan kepatuhan
menjalankan pengobatan khususnya setelah 2 bulan intervensi. Walaupun
model ini memiliki dampak optimum pada akhir bulan ke-2 intervensi
namun interaksi perawat-pasien perlu terus ditingkatkan sampai akhir

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


148

pengobatan. Pengetahuan pasien dapat ditingkatkan melalui intervensi


pembelajaran yang tepat dan persepsi yang benar tentang kepatuhan dan
kepatuhan. Self efficacy dapat ditingkatkan melalui intervensi peningkatan
sikap dan keyakinan nilai diri. Motivasi dapat ditingkatkan melalui
intervensi menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru,
mengoptimalkan tumbuh kembang dan memfasilitasi perubahan gambaran
diri menjadi positif. Pencegahan penularan dapat ditingkatkan melalui
pembelajaran tentang pencegahan penularan dan mengajarkan tentang
lingkungan rumah yang mendukung penyembuhan. Kepatuhan nutrisi
dapat ditingkatkan dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang
dibutuhkan untuk membantu proses kesembuhan. Sedangkan kepatuhan
pengobatan dapat ditingkatkan dengan memberikan intervensi
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar benar tantang TB paru
melalui pembelajaran tentang TB paru, mengajarkan disiplin minum obat,
mengajarkan koping yang efektif dan menyeimbangkan stres yang
dialami, membantu pasien menjalankan perannya selama sakit dan
meningkatkan sistem sosial pasien berupa kemampuan pengambilan
keputusan dan menjelaskan tentang birokrasi pelayanan kesehatan di RS.
3. Penerapan model dan modul ini memerlukan dukungan dari pemerntah
sehingga dapat dijadikan salah satu model intervensi keperawatan pada
pasien TB paru di poli paru. Model ini dapat dijadikan acuan perawat dan
penanggung jawab poli paru untuk menerapkan model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam pengobatan dan mencegah drop out pengobatan.

6.3. Keterbatasan penelitian


Ada beberapa hal keterbatasan dalam penelitian ini yaitu: pertama adalah
pemilihan sampel penelitian tidak dapat dilakukan randomisasi. Hal ini
tidak dapat dilakukan karena responden yang dilakukan penelitian dan
kelompok kontrol berasal dari rumah sakit yang berbeda. Kedua, adanya
variabel perancu pada penelitian yang tidak dapat dikendaalikan semuanya

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


149

yaitu variabel pendidikan. Ketiga, pada saat implementasi model ada


beberapa pasien yang harus berobat ke beberapa poli sehingga intervensi
dilakukan saat pasien telah menyelesaikan pengobatan di seluruh poli yang
harus dikunjungi sehingga saat intervensi kadang-kadang pasien sudah
merasa bosan dan mengantuk sehingga waktu intervensi lebih
dipersingkat.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas tentang simpulan dari hasil penelitian yang diuraikan
berdasarkan tahapan penelitian serta saran sebagai bahan rekomendasi terhadap
kebijakan dan peningkatan pelayanan keperawatan.

7.1 Simpulan
1. Terbentuknya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi
King berdasarkan hasil temuan penelitian kualitatif, studi literatur dan
konsultasi pakar. Model ini dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 modul
yang terdiri dari 8 pokok bahasan.
2. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
efektif meningkatkan pengetahuan pasien tentang TB paru sebagai dasar
terbentuknya perilaku kepatuhan. Pengetahuan dapat dicapai dengan
meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan persepsi yang
benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB paru.
3. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan self efficacy pasien. Peningkatan self efficacy dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien
melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri
pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan
komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,
membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan
koping pasien.
4. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan motivasi pasien. Peningkatan motivasi pasien dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien
melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri
pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan

150 Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


151

komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,


membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan
koping pasien.
5. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan pencegahan penularan pasien. Pencegahan penularan
dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan
meningkatkan lingkungan yang sehat melalui pembelajaran tentang
lingkungan yang mendukung kesembuhan dan bagaimana melakukan
pencegahan penularan TB paru.
6. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan kepatuhan nutrisi pasien. Kepatuhan nutrisi pada pasien
dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan
menumbuhkan persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran
tentang TB paru dengan salah satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi
yang menunjang kesembuhan pada pasien TB paru.
7. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
berpengaruh terhadap cara dan waktu minum obat namun tidak terdapat
perbedaan bermakna diantara kedua kelompok tentang kepatuhan
pengobatan ditinjau dari angka drop out. Dengan meningkatkan sistem
personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem
sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan
untuk melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang
birokrasi pelayanan di rumah sakit terbukti dapat meningkatkan kepatuhan
pasien. Walau tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik
dalam hal drop out pengobatan, namun pada kelompok intervensi tidak
ada yang drop out pengobatan sedangkan pada kelompok kontrol ada 3
pasien (6%) yang drop out pengobatan. Walau terlihat kecil tapi dari
angka tersebut dapat menimbulkan permasalahan karena pasien yang putus
obat dapat berisiko mengalami resistensi obat dan menyebabkan
penyebaran infeksi terhadap orang lain.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


152

7.2 Saran

Saran yang diberikan berupa saran aplikatif, perkembangan keilmuan dan saran
untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:

7.2.1 Aplikatif

1. Kepada pihak RS agar memperbaiki manajemen pelayanan keperawatan di


poli paru dengan menerapkan model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King sebagai standar asuhan. Model ini dapat digunakan
sebagai acuan meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan
dengan mengintegrasikan ke dalam asuhan keperawatan sesuai peran dan
fungsi perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan.
2. Menerapkan standar di RS agar perawat di poli paru memiliki sertifikasi
perawat TB paru dan menjadikan buku panduan intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King sebagai salah
satu materi yang diberikan di pelatihan untuk memperoleh sertifikasi
tersebut. .
3. Mengintegrasikan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King sehingga kegiatan pelayanan keperawatan di poli
paru dapat dilakukan sesuai jadwal kunjungan pasien ke poli paru,
menghemat biaya, tenaga dan dapat mencapai hasil yang optimal.
Intervensi model dapat diintegrasikan dalam clinical pathway pelayanan di
poli paru yaitu berupa tindakan mandiri keperawatan sehingga tindakan
keperawatan yang dilakukan dapat di klaim melalui asuransi BPJS.
4. Melakukan kajian dan modifikasi pelaksanaan model tanpa mengurangi
substansi materi dan proses interaksi disesuaikan dengan sumber daya
yang ada di poli paru, misal mengurangi lama waktu setiap pertemuan atau
interaksi dilakukan 1 perawat dengan 2 atau 3 pasien dalam setiap
interaksi.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


153

7.2.2 Perkembangan Keilmuan

1. Hasil penelitian ini dapat didesiminasikan pada tingkat nasional maupun


internasional sehingga dapat dijadikan rujukan dan model dapat
direplikasi.
2. Pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan dibidang
keperawatan medikal bedah khususnya terkait intervensi keperawatan
untuk meningkatkan kepatuhan pasien yang berobat di poli paru agar tidak
terjadi putus obat.
3. Kepada institusi pendidikan agar mengintegrasikan model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dalam kurikulum
pendidikan keperawatan khususnya dalam materi pembelajaran yaitu
keperawatan medikal bedah atau keperawatan sistem respirasi dalam
asuhan keperawatan pada pasien TB paru.

7.2.3 Penelitian selanjutnya

1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan responden pasien TB paru


dengan komplikasi seperti Diabetes Mellitus, penyakit kardiovaskuler,
penyakit ginjal atau penyakit lainnya.
2. Penelitian ini perlu dilakukan pada rumah sakit dengan jumlah pasien dan
jumlah perawat pelaksana yang berbeda dengan di RS Haji Surabaya
waktu minimal 2 bulan.
3. Penelitian lanjutan pada pasien TB paru kategori II atau pasien MDR-TB
4. Penelitian lanjutan pengembangan model interaksi keluarga dan pasien
perlu dilakukan karena mengingat pentingnya keluarga dalam
pendampingan pasien dan pengawas menelan obat selama pasien
menjalani pengobatan.
5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan metode riset kualitatif
fenomenology terkait sistem interaksi keluarga dan pasien yang
meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


154

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. (2008). Manajemen penyakit berbasis wilayah: Universitas


Indonesia Press

Aini, N., Fatmaningrum, W, Yusuf, Ah. (2011). Upaya meningkatkan perilaku


pasien dalam tatalaksana diabetes mellitus dengan pendek atan teori
model behavioral system Dorothy e. Johnson . Jurnal Ners, 6(1)

Aisyah (2003). Hubungan persepsi, pengetahuan TB paru dan PMO dengan


kepatuhan berobat pasien TB paru di puskesmas kecamatan Jatinegara
Jakarta Timur tahun 2001. Tesis, FKM-UI

Alsagaff, H. & Mukty, A (2005). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:


Airlangga University Press.

Alligood, M.R & Tomey, A.M (2006). Nursing theory: utilization &
application. Missouri: Mosby Inc

Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI.

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Asih, Suyanto & Munir (2014). Gambaran perilaku pasien TB paru terhadap
upaya pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang
berobat di poli paru. Jurnal online mahasiswa, Universitas Negeri Riau,
April 2014.

Bagiada & Primasari (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat


ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS.
Jurnal Penyakit Dalam vol 11 (3).

Bandura, A., (1994). Self Efficacy In V.S Ramachaudran (Ed 1).Encyclopedia of


human behavior (Vol.4 pp 71-81) New York: Academic Press (Reprined
in H.Friedman (Ed) Encyclopedia of mental health. San Diego:
Academic Press

Bandura, A., (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York:
W.H.Freeman

Bam, T.S., Gunneberg, C., Chamroonsawasdi, K., Bam, D.S., Aalberg, O.,
Kasland, O., ...& Srisorrachatr. S. (2006). Factor affecting patient
adherence to DOTS in urban Kathmandu, Nepal. The International
Jurnal Tuberculosis. Vol. 10 (3) 270-76

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


155

Benzein, E., Johansson, P., Arestedt, K.F., & Saveman, B.I. (2008). Nurses'
attitudes about the importance of families in nursing care; a survey of
swedish nurses. Journal of Family Nursing, 14(2), 162-80.

Budiyono, FX.(2003). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


tuberculosis paru BTA positif di kota Jakarta Timur tahun 2003. Tesis
Universitas Indonesia.
(http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77746&loka
si=lokal) akses 30 Januari 2011

Carpenter, B. D. (2002). Family, peer, and staff social support in nursing home
patients: contributions to psychological well-being. Journal of Applied
Gerontology, Vol. 21(3), 275-93.

Castelnuovo B. (2010). A review of compliance to anti tuberculosis treatment


and risk factors for defaulting treatment in Sub Saharan Africa. African
Health Sciences. Vol 10 (4) 320-4

Corones, K., Coyer, F. M., & Theobald, K. A. (2009). Exploring the information
needs of patient who have undergone PCI. British Journal of Cardiac
Nursing, vol. 49(3), 123.

Craig G.M., B. H., Story A., Hayward A., Hall J., Goodburn A. & Zumla A.
(2007). The impact of social factor on tuberculosis management Journal
of advanced nursing, Vol 58(5), 418-24.

Darmadi (2000). Analisis kualitatif perilaku kepatuhan menelan obat pasien


tuberkulosis Paru di 4 Puskesmas Wilayah Kabupaten Ketapang tahun
2000(http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=70978
&lokasi=lokal ) akses 30 januari 2011

Daryatmo, T (2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien


tuberculosis paru strategi DOTS di puskesmas dan BP4 di Surakarta dan
wilayah sekitarnya. Tesis Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/1436http://eprints.undip.ac.id/14364/1/2003MI
KM1965.pdf 4/1/2003MIKM1965.pdf 30 januari 2011

Daud, I., (2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita


TB paru pasien rawat jalan di poliklinik paru RSUD DR. Ahmad
Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Tesis, FKM-UI

Depkes (2002).Survei kesehatan nasional 2001: laporan studi mortalitas tahun


2001: pola penyakit penyebab kematian di Indonesia, Tim Suskernas,
Jakarta: Depkes

Depkes (2005). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta: Depkes.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


156

Depkes (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta:


Depkes

Depkes RI & WHO (2008). Lembar Fakta Tuberkulosis. Hari TB sedunia. 24


Maret 2008

Dinkes Jatim (2013). Profil kesehatan jatim 2012.

Duhamel, F., & Talbot, L.R. (2004). A constructivist evaluation of family


systems nursing interventions with families experiencing cardiovascular
and cerebrovascular illness. Jornal of Family Nursing, Vol. 10(1), 12-32.

Endo, E., Nitta, N., Inayoshi, M., Saito, R., dkk (2000). Pattern recognicion as a
caring partnership in families with cancer. Journal of Advanced Nursing,
Vol. 32(3), 603-10.

Erawatyningsih, Purwanta & Subekti, E. (2012) Faktor-faktor yang


mempengaruhiketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru.
Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 25(3), 117

Fatimah, S., (2008). Faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan


dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap tahun 2008.
Disertasi.Universitas Diponegoro.

Gagne (1998). Mastering learning and instructional design. Performance


improvement quartely, Vol. 1(1)

Garcia, M.C., Cirina, I.D., Elias, T.M., Lira, A.L., & Enders, B.C., (2014)
Nurse-patient interaction in adhesion to tuberculosis treatment reflection
in light of Imogene King. Journal of Nursing UFPE online, Vol. 8 (7)

Gasalberti, D. (2002). Early detection of breast cancer by self-examination: the


influence of perceived barriers and health conception. ONF, Vol. 29(9),
1341-7.

Grubbs, L., & Carter, J. (2002). The relationship of perceived benefits and
barrier to reported exercise behavior in college undergraduates. Family
Community Health 25(2), 76-84.

Henderson, S. (2003). Power imbalance between nurses and patients: a potential


inhibitor of partnership in care. Journal of Clinical Nursing, 12, 501-
508.

Hendiani, N., Sakti, H. & Widayanti, C. G. (2012). The relationship between


perceived family support as drug consumption controller/ pengawas
minum obat (PMO)’s and self efficacy of tuberculosis patients in BPKM
Semarang region. Jurnal Psikologi, Vol. 1 (1) 94-105

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


157

Hidayat, Hamid & Mustikasari (2014) Hubungan koping individu dengan tingkat
kepatuhan penyandang diabetes mellitus. In prosiding seminar
nasional. Vol. 2 (1)

Hidayati, L. (2012). Pengaruh hypertension self-management program terhadap


perubahan self efficacy, self care behaviour dan tekanan darah penderita
hipertensi di puskesmas Mojo. Tesis, Universitas Airlangga.

Hook, M. L. (2006). Patnering with patients - a concept ready for action. Journal
of advanced nursing, 56 (2), 133-43.

Hutapea (2009). Pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT .


Jurnal Respirologi Indonesia. 29 (2).

Ibrahim, K., Wardiah, M., Priambodo, A.P., (2014). Pengetahuan, sikap, dan
praktik kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS.
Jurnal Ners, Vol 9 (1) 11-8

Islami, Asiyah, N., & Wardoyo, N.B. (2011) Hubungan tingkat pendidikan
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang pertolongan pertama kecelakaan
anak di rumah desa Sumber Girang RW 1 Lasem Rembang. E-Journal
Stikesmuhkudus. Vol 2(1)

Jonsdottir, H., Litchfield, M., & Pharris, M.D. (2004). The relational core of
nursing practice as partnership. Journal of Advanced Nursing, 47(3) 241-
50.

Jonsdottir, H. (2007). Research-as-if-practice: a study of family nursing


partnership with couples experiencing severe breathing difficulties.
Journal of Family Nursing, Vol.13(4), 443-60.

Johson, R. L., & Nies, M.A. (2005). A qualitative perspective of barriers to


health-promoting behavior of african american ABNF Journal
March/April 39-41.

Kamil, S., Ibnu, I. F., & Rachman, W. A. (2013). Media cetak informasi dan
edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug
resistant (MDR) di kota Makasar. Repasitory. Unhas.ac.id

Kaona, F.A., Siziya, S., & Sikaona, L. (2004). An assesment of factors


contributing to treatment adherence and knowledge of TB transmission
among patients on TB treatment. BMC Publich health 4 (1), 68

Kemkes (2010). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010

Kemkes (2011). TB control in Indonesia is approching MDGs target, from


www.Depkes.go.id, diunduh 20 April 2011 jam 19.00

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


158

Kemkes (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.

Killen, M. B., & King, I.M. (2007). Viewpoint: use of king's conceptual system,
nursing informatics and nursing classifiation system for global
communication International Journal of Nursing Terminologies &
Classification. Vol. 18 (2).

Kholifah, S.N., (2014). Self management intervention sebagai upaya peningkatan


kepatuhan pada penderita DM. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 143-50

Khowaja, K. (2006). Utilization of King's interacting systems framework and


theory of goal attainment with multidisciplinary model:clinical pathway.
Australian Journal of Advanced Nursing, Vol. 24(2), 44-50

Lamak, M.K., Kusnanto, Dewi, Y.S., (2014). Pengetahuan, self efficacy dan
stres pasien kusta melalui penerapan support group dengan pendekatan
teori adaptasi. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 49-58

Lemeshow S., H., D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (2002). Besar sampel dalam
penelitian kesehatan (D. Pramono, & Kusnanto., H., Trans.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Loriana, R., Thaha, R. M., & Ramdan, I. M. Efek konseling terhadap


pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di
wilaah kerja dinas kesehatan kota Samarinda. Pasca unhas.ac.id

Marra C., Marra. F., Cox V., Palepu A., & Fitzgerald M. (2004). Factor
influencing quality of life in patients with active tuberculosis. Health and
quality of life outcomes 2(58), 1-10.

Misnadiarly dan Sunarno (2009). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi


tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia tahun 2007. Buletin
penelitian kesehatan.

Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., & Jalali, F (2002). Partnership
caring: a theory of high blood pressure control in Iranian hypertensives.
International Journal of Nursing Practice, 8, 324-329.

Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., Jalali, F & Kazemnejad, A.


(2006). Evaluation of 'partnership care model' in the control of
hypertension. International Journal of Nursing Practice, 12, 153-159.

Motsomane, S., & Peu, MD (2008). Nurses'views about tuberculosis


patients'discharge plan at Moses Kotana in the North-West Province.
curationis 31(1), 59-67.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


159

Morisky D.E., Mallote. C. K., Ebin V., Davidson P., Cabrena D., Trout P.T &
Coly A. (2001). Behavioral interventions for the control of tuberculosis
among adolescents Public health reports, 116, 568-574.

Muhtar (2013). Pengaruh pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self


efficacy dan self care activity keluarga dan penderita tuberkulosis paru di
kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Tesis, FKp-UNAIR

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho (2011). Faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru.


Jurnal kesehatan masyarakat, Vol.7(1),83-90.

Nurhanah, N., Amirrudin , R., & Abdullah, T., (2010). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di
provinsi Sulawesi Selatan 2007. Media kesehatan masyarakat Indonesia,
Vol. 6 (4)

Nursalam (2014). Manajemen keperawatan, konsep dan penerapan dalam


praktik keperawatan. Edisi 4. Jakarta, Salemba Medika.

Osterberg, L. & Blascchke, T (2005). Adherence to medication. NEJM;


353:487-97.

Penuntun Diet (2010). Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia

Pasek, M. S., Suryani, N. & Murdani, P. (2013). Hubungan persepsi dan tingkat
pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di
wilayah kerja puskesmas Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran
Keluarga. Vol. 1 (1) 14-23

Pembronia (2012). Pengaruh pendekatan motivational interviewing terhadap


motivasi dan kemandirian penderita dalam pengobatan TB paru di
Puskesmas Kopeta Maumere. Tesis. FKp-UNAIR

Peterson, S. J., & Brewdow, T.S, (2004). Middle range theories: application to
nursing research: Lippincott Williams & Wilkins.

Pramonodjati (2010). Pengaruh pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan


berobat dan tingkat kesembuhan penderita tuberculosis. Tesis.
Universitas Sebelas Maret.

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


160

Prasad, S. A., Randall, S.D., & Baljour-Lyn, I.A. (2000). Fifteen-count


breathlessness score: an objective measure for children. Pediatric
Pulmonology, Vol. 30, 56-62.

Prayogi, B., (2014). Pengaruh psycoeducative family therapy terhadap dukungan


keluarga dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dan kualitas hidup pasien TB paru. Tesis, FKp-
UNAIR

Rachmawati T.& Turniani. (2006). Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan


tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh pasien TB paru
yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian sistem kesehatan, Vol.
9(3), 134-41.

Rankin, S.H., & Stallings, K.D., (2001). Patient education, principle & practice,
4th edition. Lippincott Williams & Walkins

Reck, D. L. H. (2010). Patients’ expectations and satisfaction with nursing care,


and their nurses’ awareness of their expectations Retrieved 1 March
2012, from www.proquest.com/products_umi/dissertations/

Ronis, D. L., Hong, O., & Lusk,S.L. (2006). Comparison of the original and
revised structures of the health promotion model in predicting
construction worker's of hearing protection. Research in Nursing &
Health . Vol. 29, 3-17.

Sastroasmoro (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung


seto.

Sekarsari, R. (2013). Effektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan


konseling terhadap perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan,
readmission dan atau kematian pasien gagal jantung. Disertasi,
Universitas Indonesia.

Senewe, F.P. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat


penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Bulletin penelitian
kesehatan, Vol. 30 (1).

Sivaramalingan, S. (2008). Surgical patients' perceptions of nurse'sroles and


responsibilities Retrieved 1 Mach 2012, from
www.proquest.com/products_umi/dissertations/

Smeltzer S.C., & Bare B.G. (2002). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-
Surgical Nursing. Lippincot Williams & Wilkins; 9th edition

Sonia, Arifin & Murni (2014). Hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan
kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan
depresi. Majalah Kedokteran Andalas. Vol.37 (1)

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


161

Streuebert,H.J.,& Carpenter, D.R. (2003) Qualitative research in nursing:


advancing humanistic imperative. (3rd ed). Philadelphia: Lippincott

Sutarno, S., & Utama, G. A. & Utama (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi berobat penderita tuberkulosis paru di pekalongan 2012. Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Widya, Vol. 1 (1)

Syahrizal (2004). Analisis kepatuhan penderita TBC paru BTA positif dalam
menelan obat di rumah sakit khusus paru-paru provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2002. Tesis, FKM-UI

Tobing, T. L. (2009). Pengaruh perilaku pasien TB paru dan kondisi rumah


terhadap pencegahan potensi penularan TB paru pada keluarga di
kabupaten Tapanuli utara tahun 2008. Tesis http: repository.usu.ac.id
diunduh 2 April 2011

Tomey, Marriner A., & Alligood, Martha R. (2006). Nursing theorists and their
work. St.Louis, Missouri: Mosby Inc

Osterberg L., dan Blaschke, T. (2005). Drug therapy: adherence to medication.


The New England Journal of Medicine. 487-497

Usman, S. (2008). Konversi BTA pada pasien TB paru kategori I dengan berat
badan rendah dibandingkan berat badan normal yang mendapatkan terapi
intensif. Tesis http: repository.usu.ac.id diunduh 2 April 2011

Wacharasin, C. (2010). Families Suffering with hiv/aids; what family nursing


interventions are useful to promote healing. Journal of Family Nursing,
Vol.16(3), 302-21.

Wahyono, Tri Y.W. (2003). Faktor risiko yang berhubungan dengan


keterlambatan diagnosa tuberkulosis paru. Tesis, FKM-UI

WHO (2012). Global tuberculosis report 2012. ISBN 978 92 4 156450 2

Widari, N.P., (2010). Perbandingan pengaruh metode penyuluhan dan konseling


terhadap perubahan perilaku pencegahan penularan pada penderita TBC
di Surabaya. Tesis. UNS

Universitas Indonesia

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 1

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 2

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 2

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 3

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 4

INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP 1

Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori


Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis
(TB) Paru

Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam
pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan
menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.

Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan


Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas
Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan
Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon
081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program
Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah
DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dan Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dari
Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dan DR. Ede Surya Darmawan, SKM,
MDM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Penelitian ini melibatkan pasien TB Paru yang berusia 18 tahun atau lebih, telah
berobat di RS Haji minimal 5 bulan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang pengalaman pasien yang berobat dan faktor-
faktor apa saja yang menyebabkan patuh dalam pengobatan. Keputusan anda untuk
ikut atau pun tidak dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk
berobat di rumah sakit. Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas
untuk mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 8 Pasien akan
terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya.

Wawancara akan dilakukan satu kali pertemuan selama 30-45 menit sesuai dengan
kesepakatan, jika ada kekurangan informasi maka akan dilakukan wawancara kedua
dengan waktu yang disepakati dan ditetapkan kemudian.

Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.
Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi dan hasil
wawancara yang direkam hanya akan diberikan nomor kode yang tidak bisa
digunakan untuk mengidentifikasi identitas anda. Apabila hasil penelitian ini
dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan anda akan di
tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun yang bertanya tentang keterlibatan
anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini, anda berhak untuk tidak
menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini dapat dijadikan barang
bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda dalam penelitian ini, sejauh
yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih besar dari pada risiko yang
biasa anda hadapi sehari-hari.

Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung


pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam menjalankan


pengobatan.

Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat
menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.

Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan
peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.

Tanggal

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 5
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama ( inisial ) :
Umur :
Alamat :

Setelah membaca dan mendengarkan penjelasan penelitian ini (terlampir) dan


setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya terkait penelitian ini, maka
saya memahami tujuan penelitian ini yang nantinya akan bermanfaat bagi pasien-
pasien lain yang mengalami sakit seperti saya. Saya mengerti bahwa penelitian
ini menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai partisipan.

Saya sangat memahami bahwa keikutsertaan saya menjadi partisipan pada


penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi pemahaman tentang kepatuhan minum
obat, kepatuhan pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. Dengan
menandatangani surat persetujuan ini, berarti saya telah menyatakan untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa paksaan dan bersifat sukarela.

Nama dan Tangan Informan Tanggal :

Nama dan Tanda Tangan Peneliti Tanggal :

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 6
DATA DEMOGRAFI

Inisial Partisipan :
Umur :
Alamat :
Agama :
Jenis Kelamin :
Suku :
Status Pendidikan :
Pekerjaan :
Nomor Telepon :

Sudah berapa lama menjalani pengobatan ?


Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit yang sama?
Kapan terjadi?
Berapa lama pengobatan?
Apakah Bapak/Ibu/Saudara teratur berobat di poliklinik?
Siapa yang mengantar Bapak/Ibu/Saudara berobat dan yang mengingatkan minum
obat di rumah?

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 7
Petunjuk Pelaksanaan Wawancara mendalam
Faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam pengobatan

Petunjuk untuk Wawancara mendalam: Pertama-tama di tiap sesi wawancara


saya menyiapkan ruangan, petunjuk dan kisi-kisi wawancara, buku catatan,
informend consent, tape recorder dan kaset. Setelah itu dilakukan sesi
wawancara dengan menjelaskan tujuan dari wawancara dan tanda tangan
informed consent. Kemudian dijelaskan juga agar selama sesi wawancara
partisipan terbuka, jujur dan menyampaikan pengalaman dalam menjalankan
pengobatan.
Sebagai pewawancara saya mendorong partisipan untuk mengungkapkan
pengalamannya secara mendalam dengan memberikan pertanyaan terbuka.
Peneliti mendengarkan dengan empati semua yang yang dijelaskan partisipan
dan berusaha mendapatkan informasi yang jelas dan detail.

Pertanyaan Yang Berkaitan Dengan Kepatuhan Pasien

1. Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara patuh dalam menjalankan pengobatan TB


paru?

Pertanyaan ini dapat dikembangkan dengan beberapa pertanyaan probing sebagai berikut:

1) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara ketahui tentang TB paru?


2) Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara yakin bahwa penyakit TB paru dapat
disembuhkan?
3) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan peran sebagai
suami/istri/orang tua/anak?
4) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan pada penambilan
diri?
5) Apakah yang dikatakan oleh perawat kepada Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh
minum obat?
6) Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Bapak/Ibu/Saudara untuk berobat agar
sembuh dari TB paru?
7) Bagaimana keadaan lingkungan rumah yang menurut Bapak/Ibu/Saudara dapat
menunjang proses penyembuhan?
8) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan ketika mengalami permasalahan yang
berkaitan dengan sakit yang dialami?
9) Bagaimana komunikasi yang dilakukan perawat terhadap Bapak/Ibu/Saudara
sehingga membuat patuh dalam berobat?
10) Apa saja interaksi yang dilakukan perawat dengan Bapak/Ibu/Saudara sehingga
membuat patuh dalam berobat?
11) Peran seperti apa yang dilakukan oleh Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam
berobat?
12) Selama proses pengobatan apakah Bapak/Ibu/Saudara mengalami permasalahan?
13) Seperti apa masalah yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan?
14) Perubahan apa yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan setelah menjalani pengobatan
dalam 5-6 bulan terakhir?
15) Dukungan apa yang dilakukan oleh suami/istri/orangtua/anak selama berobat?
Apa yang mereka katakan sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh berobat?
16) Apa saja yang sudah disampaikan pihak RS sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh
dalam berobat?

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

17) Apakah Bapak/Ibu/Saudara diberdayakan/dilibatkan oleh pihak RS dalam


pengobatan?
18) Dukungan seperti apa yang diberikan oleh masyarkat/lingkungan yang
mendukung Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam berobat?
19) Dalam hal apa Bapak/Ibu/Saudara dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pengobatan yang dilakukan?

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 8
LEMBAR CATATAN LAPANGAN (FIELD NOTE)

Tanggal :
Waktu (jam) :
Tempat :
Pewawancara :
Informan :
Dihadiri oleh :
Posisi duduk :
Situasi Wawancara :

Karakteristik partisipan (penampilan, pakaian, dll):

RESPON YANG DIAMATI ARTI DARI RESPON

Rencana isi field Note:

Komunikasi non verbal yang sesuai


dengan komunikasi verbal informan

Komunikasi non verbal yang tidak


sesuai dengan komunikasi verbal
informan

Situasi lingkungan saat wawancara

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 9
INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP II

Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori


Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis
(TB) Paru

Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam
pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan
menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.

Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan


Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas
Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan
Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon
081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program
Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah
DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.

Penelitian ini melibatkan pasien yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah
dinyatakan positif menderita TB Paru. Keputusan anda untuk ikut atau pun tidak
dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk berobat di rumah sakit
(RS). Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas untuk
mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 120 Pasien akan terlibat
dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya dan RSUD
Ibnu Sina Gresik.

Kuesioner yang akan saya berikan terdiri dari 8 bagian. Bagian pertama berisi
pertanyaan tentang demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, staus
perkawinan. Bagian kedua berisi pertanyaan tentang pengetahuan TB Paru. Bagian
ketiga berisi pertanyaan tentang keyakinan diri. Bagian ke empat berisi pertanyaan
tentang motivasi, bagian kelima berisi tentang kepatuhan pencegahan penularan,
bagian ke enam berisi tentang kepatuhan nutrisi dan bagian terakhir bagian ke lima
berisi tentang kepatuhan minum obat. Diharapkan anda dapat menyelesaikan
pengisian kuesioner ini antara 30-45 menit.

Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.
Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi hanya
akan diberikan nomor kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi
identitas anda. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi
yang berkaitan dengan anda akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun
yang bertanya tentang keterlibatan anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini,
anda berhak untuk tidak menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini
dapat dijadikan barang bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda
dalam penelitian ini, sejauh yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih
besar dari pada risiko yang biasa anda hadapi sehari-hari.

Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung


pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
jauh tentang pengetahuan, keyakinan diri, motivasi, kepatuhan minum obat,
kepatuhan pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kualitas hidup pada pasien
TB Paru.

Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat
menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.

Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan
peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.

Tanggal

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
SURAT PERSETUJUAN

Setelah mendapatkan penjelasan maksud penelitian dan tindakan yang akan


dilakukan selama penelitian (pengukuran Tinggi badan, Berat Badan, pertanyaan
pengetahuan, pernyataan mengenai self-efficacy, motivasi, kepatuhan
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dan kepatuhan minum obat) dan
lamanya penelitian maka dengan ini saya menyatakan PERSETUJUAN untuk
dilakukan pemeriksaan pemeriksaan dan menjawab pertanyaan seperti tersebut di
atas guna mengetahui status penyakit Tuberkulosis paru saya dengan segala
akibatnya.

Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Surabaya, 2012
Yang memberi Persetujuan

(___________________________)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 10
LEMBAR KUESIONER
Isilah tanda silang ( X ) pada kotak yang telah disediakan sesuai dengan pertanyaan
berikut :

No Responden :

A . Data Demografi
1. Jenis kelamin :

1) Laki – laki

2) Perempuan
2. Pendidikan :

1) Tidak sekolah

2) SD

3) SMP

4) SMA

5) Pendidikan Tinggi

3. Umur :
1) 18 - 25

2) 26 - 35

3) 36 –45

4) 46-55

5) 56-65

4. Status perkawinan :

1) Menikah

2) Belum menikah

3) Janda/duda

5. Pekerjaan sebelum sakit:

1) Tidak bekerja

2) PNS/POLRI/TNI

3) Swasta

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

4) Buruh/Tani/Nelayan

5) Pensiunan

6. Agama / Kepercayaan :

1) Islam

2) Kristen

3) Hindu

4) Budha

5) Lain – lain

7. Minuman yang dikonsumsi

1`. Minuman beralkohol

Lainnya, sebutkan

10. Status gizi: TB:........cm BB:.............kg

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
KUESIONER PRE TEST

PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN

1. PENGETAHUAN
No Pernyataan Benar Salah
1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman
Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2
2
minggu
3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain
4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan
Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat
5
memperbaiki kesehatan
Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi
6
desinfektan
7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup
Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar
8 matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit
TB paru

2. SELF EFFICACY
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
No Pertanyaan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang
sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar
rumah
2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya
melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit
3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan
keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya
4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat
tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.
5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan
kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.
6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang
disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak
mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa
sakit yang saya alami selama sakit.
8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)
ketika melakukan kegiatan sehari-hari.
9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia
yang saya alami karena sakit.
10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya
merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak
bahagia.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
3. MOTIVASI
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
NO Pernyataan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan
cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman
2 Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya
tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan
3 Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi
secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya
4 Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya
walaupun memerlukan waktu yang lama
5 Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari
keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka
tidak sakit seperti saya.
6 Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya
matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah.
7 Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit
untuk kontrol dan mengambil obat.
8 Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena
tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan
9 Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya
untuk minum obat
10 Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai
dokter menyatakan saya sembuh.

4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN


No Pernyataan Tidak Jarang Kadang Sering Selalu
pernah (2) kadang (4) (5)
(1) (3)
1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut
dengan tissue atau saputangan
2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya
buang ditempat sembarangan
3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang
di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus
plastik
4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar
udara masuk ke dalam rumah
5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari
yang cukup di pagi hari
6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara
dengan orang lain karena takut menulari
7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus
yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke
saluran air pembuangan
8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari
9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif
kuman
10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

5. KEPATUHAN NUTRISI

No Pernyataan Tidak Jarang Kadang Sering Selalu


pernah (2) kadang (4) (5)
(1) (3)
1. Saya makan minimal 3x sehari
2. Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap
hari
3. Saya makan makanan yang mengandung
protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe,
ikan atau telur setiap kali makan
4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan
5. Saya makan buah-buahan setiap hari
6. Saya minum susu setiap hari
7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh
dokter setiap hari
8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu
sedikit
9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau
minum es setiap saya batuk
10. Saya tidak mau banyak makan karena takut
gemuk

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
KUESIONER POST TEST
PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN
1. PENGETAHUAN
No Pernyataan Benar Salah
1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman
Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2
2
minggu
3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain
4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan
Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat
5
memperbaiki kesehatan
Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi
6
desinfektan
7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup
Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar
8 matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit
TB paru

2. SELF EFFICACY
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
No Pertanyaan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang
sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar
rumah
2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya
melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit
3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan
keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya
4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat
tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.
5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan
kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.
6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang
disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak
mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa
sakit yang saya alami selama sakit.
8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)
ketika melakukan kegiatan sehari-hari.
9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia
yang saya alami karena sakit.
10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya
merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak
bahagia.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
3. MOTIVASI
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
NO Pernyataan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan
cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman
2 Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya
tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan
3 Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi
secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya
4 Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya
walaupun memerlukan waktu yang lama
5 Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari
keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka
tidak sakit seperti saya.
6 Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya
matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah.
7 Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit
untuk kontrol dan mengambil obat.
8 Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena
tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan
9 Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya
untuk minum obat
10 Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai
dokter menyatakan saya sembuh.

4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN


No Pernyataan Tidak Jarang Kadang Sering Selalu
pernah (2) kadang (4) (5)
(1) (3)
1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut
dengan tissue atau saputangan
2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya
buang ditempat sembarangan
3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang
di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus
plastik
4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar
udara masuk ke dalam rumah
5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari
yang cukup di pagi hari
6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara
dengan orang lain karena takut menulari
7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus
yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke
saluran air pembuangan
8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari
9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif
kuman
10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

5. KEPATUHAN NUTRISI

No Pernyataan Tidak Jarang Kadang Sering Selalu


pernah (2) kadang (4) (5)
(1) (3)
1. Saya makan minimal 3x sehari
2. Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap
hari
3. Saya makan makanan yang mengandung
protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe,
ikan atau telur setiap kali makan
4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan
5. Saya makan buah-buahan setiap hari
6. Saya minum susu setiap hari
7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh
dokter setiap hari
8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu
sedikit
9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau
minum es setiap saya batuk
10. Saya tidak mau banyak makan karena takut
gemuk

6. KEPATUHAN MINUM OBAT


1. Dosis:
1) Seharusnya: ....tab.
2) Yang diminum ....tab, sisa obat: ....tab
2. Cara:
1) Satu waktu: jam....
2) Beberapa waktu: pagi jam ..., siang jam ....., malam jam ....
3. Waktu
1) 1 jam sebelum makan
2) Setelah makan
4. Pemantauan :
Formulir TB-01
Formulir TB-02

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 11

Analisis tema dan sub tema berdasarkan penelitian kualitatif


Variabel Tema Sub tema Kategori
Kepatuhan 1. Persepsi yang Pengobatan TB  Penyebab TB paru
berdasarkan positif paru  Lama pengobatan
sistem tentang TB  Cara minum obat
personal paru  Nutrisi selama sakit
pasien  Efek samping obat
Pencegahan  Cara batuk dan bersin
penularan  Cara buang dahak
Nutrisi  Makanan untuk
membantu
penyembuhan
 Makanan yang
dilarang
2. Kesadaran  Yakin sakit TB paru
diri untuk bisa disembuhkan
sembuh  Patuh berobat walau
datang sendiri ke RS
3. Tumbuh Harapan masa  Masih bisa sekolah
kembang depan yang mencapai sarjana
optimal lebih baik sesuai  Masih bisa mencapai
tumbuh keinginan memiliki
kembang anak
Mampu  Mampu merawat
menjalankan keluarga
tugas  Mampu merawat anak
perkembangan balita
4. Gambaran  Tidak malu berat
diri positif badan turun
 Tidak malu memakai
masker
5. Lingkungan  Nyaman saat  Nyaman saat berada di
yang sehat berada di ruang poli paru
ruang poli
paru
 Ruang di  Tiap ruang di rumah
rumah memiliki jendela
menunjang  Ruang tanpa jendela
penyembuhan memiliki genting kaca
 Ada ruang sendiri
untuk tidur
6. Disiplin  Waktu minum obat 1
minum obat jam sebelum makan
 Alarm sebagai
pengingat
7. Koping yang Menerima  Selalu tabah menjalani
efektif kondisi yang takdir dari Tuhan
dialami  Mendekatkan diri ke

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
Tuhan dengan rajin
beribadah
Berfikir positif  Berfikir bisa sembuh
asal rajin berobat
 Berfikir sakit sebagai
cobaan
Kepatuhan 1. Komunikasi Komunikasi  Perawat dan dokter
berdasarkan yang terbuka terbuka pasien menyampaikan
sistem antara pasien dan petugas informasi tentang sakit
interpersonal dengan kesehatan yang dialami
pasien petugas  Perawat dan dokter
kesehatan dan mendengar keluhan
pasien
dengan
keluarga.
Komunikasi  keluhan sakit
terbuka pasien disampaikan ke
dan keluarga keluarga
 berdiskusi dengan
keluarga tentang
pengobatan
2. Menjalankan Melakukan  Bersekolah
perannya pekerjaan  Bekerja seperti biasa
selama sakit sehari-hari  Mengerjakan
pekerjaan rumah
Melakukan  Ikut arisan
kegiatan di  Ikut pengajian
masyarakat
3. Mengelola Stress yang  Penurunan berat badan
stres selama dialami  Jenuh minum obat
sakit  Jenuh bolak-balik ke
RS

Penyebab stress  Waktu pengobatan


yang lama
Penanganan  Anggap rekreasi
stress  Berdiskusi dengan
keluarga
 Berdiskusi dengan
sesama pasien
Kepatuhan 1. Mengetahui Mengetahui  Alur pengobatan di RS
berdasarkan birokrasi tentang  Fasilitas yang dimiliki
sistem sosial pelayanan organisasi RS
pasien kesehatan pelayanan di  SDM yang dimiliki RS
poli paru
Mengetahui  Pihak RS yang
wewenang dan menyatakan sembuh
kekuasaan RS  Pemberian OAT sesuai
Program

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
 Pasien terdaftar dalam
program pemerintah
 Obat gratis
Menyadari  Patuh pada aturan RS
statusnya  Penanganan saat
sebagai pasien. kondisi tak terduga
2. pengambilan  pengobatan di poli
keputusan paru
oleh pasien  dirujuk ke tempat lain

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 12
Panduan Implementasi Model

TAHAP TUJUAN INTERVENSI PERAWAT POKOK WAKTU METODE


INTERVENSI BAHASAN
Pertemuan 1 1. Menciptakan 1. Perawat mempersiapkan Menyiapkan
(Awal pasien ruang yang tempat atau ruang yang tempat/ruang
terdiagnosis) nyaman untuk cukup nyaman untuk
interaksi perawat- interaksi perawat-pasien
Waktu: 40-60 menit pasien dengan didampingi 1 orang
anggota keluarga
2. Siapkan meja dan tempat
duduk khusus bagi perawat
dan pasien untuk berinteraksi
2. Meningkatkan 3. Perawat mengucapkan salam 5 menit Wawancara dan
komunikasi dan memperkenalkan diri diskusi
terbuka perawat- sebagai perawat di ruang poli
pasien, pasien- paru yang siap membantu
keluarga pasien menjalani pengobatan
4. Bina hubungan saling
percaya, saling menerima dan
saling menghargai
5. Gunakan bahasa sederhana dan
mudah dimengerti oleh pasien
6. Libatkan keluarga (PMO)
dalam pertemuan
7. Motivasi pasien agar selalu
terbuka mengenai masalah
kesehatan kepada keluarga,
perawat dan dokter
8. Melakukan kontrak waktu
dengan pasien untuk 6 kali
pertemuan selama di RS

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
3. Memfasilitasi 9. Menanyakan pada pasien 5-10 menit Wawancara dan
pengambilan apakah pasien akan berobat diskusi
keputusan pasien di RS Haji atau dirujuk balik
untuk menjalani ke puskesmas
pengobatan 10. Jika pasien bersedia berobat
di RS Haji lakukan
pencatatan pada form TB-01
11. Tanyakan apakah pasien siap
menjalani pengobatan selama
6-9 bulan dan tidak akan
putus obat
12. Jelaskan bahwa obat yang
diberikan adalah gratis
sehingga tidak perlu takut
memikirkan biaya
13. Jelaskan bahwa jika memilih
pengobatan di RS untuk
selanjutnya harus
melanjutkan pengobatan rutin
di RS, Jika ingin pindah
dapat dilakukan setelah 2
bulan pengobatan.
14. Libatkan keluarga jika pasien
datang ditemani keluarga
(PMO)

4. Menumbuhkan 15. Menanyakan apa yang 5-10 menit Wawancara dan


persepsi yang diketahui oleh pasien diskusi
positif tentang TB mengenai sakit yang diderita
paru 16. Menjelaskan pada pasien
bahwa pasien menderita TB
paru dan harus menjalani

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

pengobatan selama 6-9 bulan


17. Tanda dan gejala hilang tidak
berarti sakit sudah sembuh
18. Hanya dokter yang berhak
menyatakan sembuh melalui
pemeriksaan

5. Meningkatkan 19. yakinkan pasien agar yakin 5-10 menit Wawancara dan
kesadaran diri sakitnya bisa disembuhkan diskusi
untuk sembuh dengan cara menunjukkan
pasien yang sembuh/hampir
sembuh yang saat itu sedang
kontrol di RS.
20. diskusikan dengan pasien
sumber-sumber dukungan
yang membantu pasien dalam
pengobatan baik dari dalam
diri maupun luar
21. berikan motivasi pada pasien
untuk terus berobat walau
harus datang sendiri ke RS
22. Jelaskan pada pasien bahwa
sakitnya adalah bukan kutukan
atau hukuman tetapi sebagai
suatu ujian
23. Yakinkan pasien bahwa yg
mengalami sakit bukan hanya
sendiri, tetapi banyak sekali
sehingga bisa berbagi
pengalaman (tunjukkan bahwa
pasien yang berobat di poli
memiliki masalah yang sama)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

24. Beri contoh banyak pasien yang


asalnya tidak mau minum obat
dengan dimotivasi terus
menerus akhirnya mau berobat
dan bisa sembuhyakinkan
pasien agar yakin sakitnya
bisa disembuhkan dengan
cara menunjukkan pasien
yang sembuh/hampir sembuh
yang saat itu sedang kontrol
di RS.
25. diskusikan dengan pasien
sumber-sumber dukungan
yang membantu pasien dalam
pengobatan baik dari dalam
diri maupun luar
26. berikan motivasi pada pasien
untuk terus berobat walau
harus datang sendiri ke RS
27. Jelaskan pada pasien bahwa
sakitnya adalah bukan kutukan
atau hukuman tetapi sebagai
suatu ujian
28. Yakinkan pasien bahwa yg
mengalami sakit bukan hanya
sendiri, tetapi banyak sekali
sehingga bisa berbagi
pengalaman (tunjukkan bahwa
pasien yang berobat di poli
memiliki masalah yang sama)
29. Beri contoh banyak pasien
yang asalnya tidak mau minum
obat dengan dimotivasi terus

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

menerus akhirnya mau berobat


dan bisa sembuh
6. Menumbuhkan 30. Menjelaskan tentang materi 1. Konsep TB 10-15 menit Ceramah dan
persepsi yang yang akan disampaikan pada paru diskusi dengan
positif melalui pertemuan pertama yaitu 2. Pengobatan media booklet
pembelajaran tentang penyakit TB paru dan TB paru
yang tepat tentang pengobatan TB paru 3. Praktik minum
TB paru dan 31. Menjelaskan bahwa nanti obat
menjelaskan
pasien akan minum OAT
tentang pentingnya
disiplin minum yang pertama di hadapan
obat dan lama petugas
pengobatan 32. Menanyakan tentang apa
yang diketahui oleh pasien
tentang penyait TB Paru.
Berikan kesempatan kepada
pasien untuk menjawab
sesuai pemahamannya.
33. Memberikan pujian terhadap
jawaban yang benar yang
diberikan pasien
34. Memperbaiki jawaban pasien
jika keliru
35. Menjelaskan dengan bahasa
yang mudah dimengerti oleh
pasien mengenai:
a. Definisi TB paru
b. Apakah TB paru dapat
disembuhkan?
c. Tanda & gejala TB
paru
d. Diagnosis TB paru
e. Klasifikasi TB

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

f. Bahaya penyakit TB
paru
36. Menyampaikan materi
tentang pengobatan :
a. Tujuan pengobatan
b. Prinsip pengobatan
c. Fase minum obat
d. Jenis obat
e. Cara dan waktu minum
obat
f. Bagaimana agar tidak
jenuh minum obat
g. Efek samping OAT dan
penatalaksanaan
37. Praktik:
 Pasien minum OAT di
hadapan perawat
 Memberi tahu waktu kontrol
berikutnya dan kelengkapan
yg harus dibawa pasien
(catatan obat, bungkus obat dan
sisa obat)

7. Meningkatkan 38. Beritahukan pada pasien Prosedur 5 menit Wawancara &


pengetahuan bahwa selama pengobatan akan pelayanan dan diskusi
prosedur pelayanan menjalani serangkaian fasilitas RS
di RS : tentang pemeriksaan seperti Rontgen,
wewenang dan pemeriksaan dahak dan atau
kekuasaan RS darah yang waktunya akan
ditentukan oleh pihak RS
39. Beritahukan pada pasien
bahwa hanya dokter yang
berhak menyatakan sembuh

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

Beritahukan pada pasien


bahwa OAT yang diberikan
adalah obat gratis dari
pemerintah
40. Beritahukan bahwa harga obat
mahal, sehingga pasien harus
patuh berobat karena
pemerintah sudah
memprogramkan pemberian
obat secara gratis selama 6
bulan.
41. Beritahukan Obat yang
diberikan pemerintah memiliki
kandungan dan khasiat yang
sama dengan obat paten
42. Beritahukan bahwa OAT
seluruh dunia adalah sama
sehingga berobat dimanapun
akan diberikan obat yang sama
43. Beritahukan pasien bahwa
pengobatan TB paru merupakan
program pemerintah sehingga
nama mereka akan tercatat di
Dinas Kesehatan.
8. Meningkatkan 44. Menjelaskan pelayanan dan Pelayanan dan 5 menit Ceramah dan
pengetahuan fasilitas RS Haji: fasilitas RS.Haji diskusi dengan
pasien tentang a. Pelayanan medis media booklet
prosedur pelayanan b. Penunjang medis
kesehatan di RS: c. Fasilitas penunjang umum
organisasi d. SDM & fasilitas poli paru
pelayanan di poli
e. Waktu pelayanan
paru dan fasilitas
RS poliklinik
f. Waktu pelayanan
pendaftaran pasien

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

g. Tata cara pendaftaran


pasien umum, BPJS dan
asuransi lain
45. Mengakhiri pertemuan dan
menjelaskan gambaran materi
untuk pertemuan ke-2
Pertemuan 2 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 5 menit wawancara
(Akhir Minggu ke-2) komunikasi 2. Libatkan keluarga dalam
terbuka perawat- pertemuan
pasien, pasien- 3. Menanyakan keluhan pasien
Waktu: 20-30 Menit keluarga. 4. Merespon keluhan pasien
5. Memberi motivasi agar
pasien terbuka kepada
keluarga, perawat dan dokter
mengenai masalah kesehatan
6. Memberi motivasi agar
pasien patuh
7. Menjelaskan tujuan yang
ingin dicapai pada pertemuan
2
8. Menjelaskan tentang materi
yang akan disampaikan pada
pertemuan kedua yaitu
tentang pencegahan
penularan dan lingkungan
rumah yang sehat untuk
pasien

2. Menumbuhkan 9. Beri penjelasan pada pasien 5 menit Wawancara dan


kesadaran akan bahwa sebagai pasien harus diskusi
statusnya sebagai patuh mengikuti aturan di
pasien. RS

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

10. Bantu pasien untuk patuh


pada aturan yang ditetapkan
di rumah sakit seperti harus
menunggu antrian dalam
berobat dengan mengikuti
nomor antrian yang
diperoleh saat daftar.
11. Jelaskan pada pasien bahwa
pasien masih boleh bekerja
dan beraktifitas di masyarakat
jika kondisi kesehatan
memungkinkan
12. Jelaskan pada pasien
walaupun dinas ke luar kota,
bepergian ataupun maka
pasien dapat menjelaskan
kepada dokter agar
pengobatan tidak terputus
13. Dalam keadaan mendesak dan
pasien tidak dapat datang
kontrol, maka keluarga dapat
mewakili pasien datang ke RS
untuk konsultasi dengan
dokter agar pengobatan tidak
terputus.
3. Menumbuhkan 14. Menjelaskan tentang Pencegahan 5-10 menit Ceramah dan
persepsi yang pencegahan penularan: penularan pada diskusi dengan
positif tentang TB a. Orang yang memiliki pasien TB paru media booklet
paru melalui resiko tertular
pembelajaran yang b. Pencegahan penularan
tepat tentang
TB paru
pencegahan
penularan TB paru c. Sikap saat bersin dan
batuk

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

4. Pembelajaran 15. Mengkaji kondisi rumah Lingkungan pada 5-10 menit Ceramah dan
tentang pasien dengan menanyakan pasien TB paru diskusi dengan
lingkungan ruang yang ada di rumah, media booklet
rumah yang sehat posisi pintu dan jendela (Buat
denah sederhana)
16. Menjelaskan tentang
lingkungan rumah yang sehat
untuk pasien TB paru:
a. Lingkungan fisik
rumah yang
berpengaruh pada TB
paru
b. Menciptakan kondisi
dan ruang/lingkungan
rumah yang sehat
17. Penutup
Pertemuan 3 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 5 menit wawancara
(Akhir minggu ke-4) komunikasi 2. Melibatkan keluarga dalam
terbuka perawat- pertemuan
Waktu: 15-20 menit pasien 3. Menanyakan keluhan pasien
4. Merespon keluhan pasien
5. Memberi motivasi agar pasien
patuh
6. Menjelaskan tujuan yang ingin
dicapai pada pertemuan 3
2. Menumbuhkan 7. Menjelaskan tentang materi Nutrisi pada 10-15 menit Ceramah dan
persepsi yang yang akan disampaikan pada pasien TB paru diskusi dengan
positif tentang TB pertemuan ketiga yaitu media booklet
paru melalui tentang kebutuhan nutrisi pada
pembelajaran pasien TB paru:
tentang nutrisi
a. Gizi seimbang
yang dibutuhkan
pasien TB paru b. Diet pada pasien TB

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


paru
c. Tujuan diet ETPT
pada pasien TB paru
d. Bahan makanan yang
dianjurkan
e. Bahan makanan yang
tidak dianjurkan
f. Cara makan sehari-hari
8. Penutup
Pertemuan 4 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 5 menit Wawancara
(Akhir minggu ke-6) komunikasi 2. Libatkan keluarga dalam
terbuka perawat- pertemuan
Waktu: 15-20 menit pasien 3. Menanyakan keluhan pasien
4. Merespon keluhan pasien
5. Memberi motivasi agar
pasien patuh
6. Menjelaskan tujuan yang
ingin dicapai pada pertemuan
4
2. Membantu pasien 7. Diskusikan dengan pasien Stres dan koping 10-15 menit Ceramah dan
mengelola stres stres yang dialami pasien diskusi dengan
dan meningkatkan selama sakit media booklet
koping pasien 8. Diskusikan dengan pasien
bahwa kejenuhan berobat
bisa diatasi dengan kesabaran
dan mendekatkan diri pada
Tuhan
9. Diskusikan dengan pasien
bahwa dengan kesabaran
pengobatan yang lama pada
akhirnya akan sampai pada
akhir pengobatan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan
10. Ajarkan pasien untuk
tabah, sabar dan ikhlas
menerima cobaan
11. Memberi pembelajaran
tentang stres:
a. Definisi stres
b. Penyebab stres pada
pasien TB paru
c. Penanganan stres pada
pasien TB paru
12. Anjurkan pasien untuk
berdiskusi dengan sesama
pasien TB sehingga bisa
berbagi pengalaman
13. Ajarkan pasien agar
berobat ke RS dianggap
sebagai rekreasi atau hiburan
sehingga tidak membuat
jenuh
14. Penutup
Pertemuan 5 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 5 menit Wawancara
(Akhir minggu ke-8/ komunikasi 2. Libatkan keluarga dalam
akhir bulan ke-2) terbuka perawat- pertemuan
pasien 3. Menanyakan keluhan pasien
Waktu: 20-35 menit 4. Merespon keluhan pasien
5. Motivasi agar pasien patuh
6. Libatkan keluarga dalam
pertemuan
7. Menjelaskan tujuan yang
ingin dicapai pada pertemuan
2. Mengoptimalkan 8. Tanya dan diskusikan 5 -10 menit Wawancara dan
tumbuh gangguan tugas diskusi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

kembang pasien perkembangan yang


dialami pasien, mis:
gangguan peran dalam
mencari nafkah atau
bersekolah
9. Diskusikan dengan pasien
bahwa saat pengobatan
jika kondisi membaik
masih bisa bekerja dengan
normal dan memenuhi
peran dalam keluarga
maupun masyarakat.
10. Diskusikan dengan pasien
bahwa jika patuh berobat
maka pasien masih bisa
sekolah dan meraih cita-
cita seperti menjadi
sarjana
11. Yakinkan pasien masih bisa
merawat anak (asal memakai
masker jika BTA positif,
sampai BTA negatif)
12. Beritahukan pasien untuk
memeriksakan anak balita
dan orang dewasa yang
memiliki gejala yang sama
yang tinggal 1 rumah
3. Menumbuhkan 13. Tanyakan dan monitor 5-10 menit Wawancara dan
gambaran diri frekwensi pernyataan yang diskusi
pasien agar mengkritik diri sendiri
positif. 14. Monitor pernyataan pasien
tentang pernyataan
gambaran diri yang

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

berkaitan dengan bentuk


tubuh dan berat badan
15. Ajarkan pasien bahwa
perubahan gambaran diri
karena TB paru bersifat
sementara dan dapat
kembali ke semula asalkan
patuh dalam pengobatan
16. Ajarkan pasien untuk
merubah gaya hidup
seperti tidak merokok dan
begadang sehingga kondisi
badan menjadi lebih sehat
17. Yakinkan pasien jangan
pernah malu untuk memakai
masker saat bekerja demi
menjaga diri sendiri dan
orang lain agar tidak tertular
4. Mengoptimalkan 18. Bantu pasien Tumbuh 5-10 menit Wawancara dan
perannya pasien mengidentifikasi transisi Kembang, diskusi
selama sakit peran selama sakit Gambaran diri Media: Booklet
19. Diskusikan dengan pasien dan peran
bahwa gangguan peran
sifatnya sementara
20. Diskusikan dengan pasien
bahwa walau sakit dan
memerlukan pengobatan
yang lama, pasien masih
bisa memenuhi peran
sebagai suami atau istri
21. Diskusikan dengan pasien
bahwa selama sakit asal

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

kondisi sudah membaik


masih bisa bekerja dan
atau sekolah
22. Diskusikan dengan pasien
bahwa saat kontrol berobat
masih bisa ijin kerja dan
ijin sekolah dengan
meminta surat keterangan
dari rumah sakit.
23. Memberi pembelajaran
tentang: Tumbuh
kembang, gambaran diri
dan peran
a. Masalah tumbung
kembang yang sering
dihadapi
b. Upaya
mengoptimalkan
tumbuh kembang
c. Masalah gambaran diri
yang sering dihadapi
d. Upaya meningkatkan
gambaran diri menjadi
positif
e. Masalah peran yang
sering dihadapi
f. Upaya meningkatkan
fungsi peran
24. Penutup
Pertemuan 6 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 10-15 menit Wawancara dan
(Akhir bulan ke-3) komunikasi 2. Libatkan keluarga dalam diskusi
Waktu: 10-15 menit terbuka pertemuan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

perawat-pasien 3. Menanyakan keluhan


pasien
4. Merespon keluhan pasien
5. Motivasi agar pasien patuh
6. Beri pujian atas kepatuhan
pasien
Pertemuan 7 1. Meningkatkan 2. Memberi salam 10-15 menit Wawancara dan
(Akhir bulan ke-4) komunikasi 3. Libatkan keluarga dalam diskusi
terbuka pertemuan
Waktu:10-15 menit perawat-pasien 4. Menanyakan keluhan
pasien
5. Merespon keluhan pasien
6. Motivasi agar pasien patuh
7. Beri pujian atas kepatuhan
pasien
Pertemuan 8 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 10-15 menit Wawancara dan
(Akhir bulan ke-5) komunikasi 2. Libatkan keluarga dalam diskusi
terbuka pertemuan
Waktu: 10- 15 menit perawat-pasien 3. Menanyakan keluhan
pasien
4. Merespon keluhan pasien
5. Motivasi agar pasien patuh
6. Beri pujian atas kepatuhan
pasien
7. Terminasi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 13

PERTEMUAN
NO EVALUASI I II III IV V VI VII VIII
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1. Pengetahuan :
 Pasien mampu menyebutkan
penyebab TB paru
 Pasien mampu menyebabkan
tanda-gejala TB paru
 Pasien mampu menyebutkan
lama pengobatan TB paru
 Pasien mampu menyebutkan
cara penularan TB paru
 Pasien mampu menyebutkan
lingkungan rumah yang
sehat
2. Self Efficacy:
 Pasien yakin penyakitnya
bisa disembuhkan
 Pasien yakin dapat
menerima informasi dari
dokter dan perawat
 Pasien yakin mendapat
dukungan dari keluarga
 Pasien yakin dapat
mengatasi perasaan sedih
karena sakit
 Pasien yakin mengetahui
efek samping obat dan kapan
harus mencari pertolongan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

3. Motivasi:
 Pasien rutin kontrol ke poli
 Pasien percaya bahwa
sakitnya merupakan cobaan
dari Tuhan yang Maha Esa
 Pasien tidak
mengkhawatirkan perannya
akan terganggu
 Pasien tidak
mengkhawatirkan adanya
gangguan perubahan
gambaran diri
 pasien tidak
mengkhawatirkan adanya
gangguan tumbuh kembang
4. Pencegahan Penularan
 Pasien dapat menjelaskan
bahwa saat batuk menutup
mulut dengan saputangan
atau punggung tangan
 pasien menjelskan bahwa
dahak di buang ke saluran
air
 Pasien menjelskan pintu dan
jendela rumah dibuka setiap
hari agar sinar matahari
masuk dan ventilasi lancar
 Pasien menjelaskan tidur
terpisah selama BTA masih
positif
 Pasien memakai masker jika
BTA positif sampai BTA
negatif

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lanjutan

5. Kepatuhan nutrisi
 Pasien menjelaskan makan
sedikit tapi sering
 pasien menjelaskan
mengkonsumsi energi tinggi
protein tinggi setiap hari
 Pasien menjelaskan
mengkonsumsi sayur-
sayuran setiap hari
 Pasien menjelaskan tidak
minum es saat batuk
 Terjadi peningkatan berat
badan
6. Kepatuhan pengobatan
 Pasien menjelaskan minum
obat sesuai dosis yang
diberikan
 Pasien menjelaskan waktu
minum obat 1 jam sebelum
makan
 Pasien menjelaskan minum
obat dalam satu waktu yaitu
sore hari
 Bungkus dan sisa obat sesuai
 Penurunan gejala fisik

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


Lampiran 14

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. KETERANGAN PERORANGAN
1. Nama Lengkap : Tintin Sukartini
2. NIP : 197212170320002001
3. Tanggal Lahir : 17 Desember 1972
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Instansi : Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga,
Kampus C Mulyorejo,
Surabaya
6. Alamat Rumah : Perum City Home
Regency N12A-Keputih,
Surabaya
7. No. Telepon :081357011444
8. Email : tintin_bios@yahoo.com
tintin171272@gmail.com
9. Nama Anak : Nada Nur Zahra

2. PENDIDIKAN FORMAL
STTB/TANDA
NO NAMA JURUSAN LULUS/IJAZAH TEMPAT
PENDIDIKAN TAHUN
1. SDN NAGRAK III - 1985 Sukabumi
2. SMPN NAGRAK - 1988 Sukabumi
3. SMAN CIBADAK - 1991 Sukabumi
4. Fakultas Ilmu
Keperawatan Keperawatan 1997 Jakarta
Universitas Indonesia
5. Pasca Sarjana Ilmu Magister
Kesehatan Masyarakat Kesehatan 2005 Surabaya
Universitas Airlangga (Biostatistik)
6. Fakultas Ilmu Program
Keperawatan Doktoral 2015 Depok
Universitas Indonesia Keperawatan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


3. RIWAYAT PEKERJAAN

NO TAHUN INSTITUSI JABATAN


1. 1997-1998 Akper Muhammadiyah Staf Pengajar
Ponorogo, Jawa Timur
2. 1998-2000 Akper Pemda Ponorogo, Staf Pengajar
Jawa Timur
3. 2000-sekarang Fakultas Keperawatan Staf Pengajar
Universitas Airlangga
Surabaya, Jawa Timur

4. KEGIATAN PENELITIAN
NO TAHUN POSISI TOPIK SPONSOR
1. 2006 Ketua Manfaat Senam Tera LPPM-
terhadap kebugaran UNAIR
Lansia
2. 2014 Anggota Model Intervensi BOPT
keperawatan SBE
(Spiritual Breathing
Exercise) terhadap
kualitas fungsi
pernafasan dan modulasi
respons imun pada
penderita TB paru

5. PUBLIKASI ILMIAH

TAHUN JUDUL PENERBIT/


JURNAL
2007 Pernafasan Active cycle breathing Jurnal Ners Vol 2
meningkatkan aliran ekspirasi No 2 Oktober 2007
maksimum penderita tuberculosis paru (ISSN 1858-3598)

2007 Oksigenisasi dengan Bag and mask 10 Jurnal ners Vol 2


lpm memperbaiki asidosis respiratorik No 2 Oktober
pada klien edema akut 2007 (ISSN
1858-3598)
2007 Perilaku pemulung tentang demam Jurnal ners Vol 2
berdarah dengue dengan keberadaan no 2 Oktober 2007
jentik aedes aegypty (ISSN 1858-3598)
2008 Manfaat senam lansia terhadap kebugaran Artikel Penelitian
Pio Ners Cermin
Dunia Keperawatan
ISSN 1907-35

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


6. KONFERENSI/LOKAKARYA/SEMINAR/SIMPOSIUM

PANITIA/
PENYELENGGARA PESERTA/
TAHUN JUDUL KEGIATAN
PEMBICARA
2001 Lokakarya Program P4UA (Pusat Peserta
Pekerti peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2003 Tata laksana kegawat RSU Dr. Soetomo Peserta
daruratan terhadap efek Surabaya
samping obat
2004 Penanganan trauma RSU Dr. Soetomo Peserta
thorax dengan Surabaya
pemasangan Bullae
Drainage secara
paripurna
2005 Lokakarya kurikulum PSIK-FK Unair Pembicara
berbasis kompetensi
2005 Lokakarya media P4UA (Pusat Peserta
pembelajaran peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2006 Lokakarya Applied P4UA (Pusat Peserta
Approach (AA) peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2007 The Association of AINEC Peserta
Indonesia Education
Center (AINEC) “The
study visit to Hongkong
and China”
2008 Lokakarya pengelolaan PSIK-FK Unair Peserta
dan peningkatan kinerja
Program Studi Ilmu
Keperawatan FK Unair
2008 Simposium Nasional FK UNAIR Peserta
penyakit Tropik-Infeksi
dan HIV & AIDS dengan
tema “update on tropical
infectious disease dan
HIV & AIDS

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.


7. PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

TAHUN JENIS/NAMA KEGIATAN TEMPAT


2004 Diversifikasi pangan produk olahan susu dan Lamongan
kedelai sebagai alternative penanggulangan diare
balita akibat intoleransi laktosa di Puskesmas
Kembangbahu Lamongan
2004 Penerapan pencegahan pemberantasan penyakit Lamongan
demam berdarah melalui media pembinaan budi
daya ikan pada masyarakat terjangkit endemik
kabupaten Lamongan
2005 Pelatihan penerapan keamanan pangan sebagai Sidoarjo
upaya penanggulangan keracunan pangan di
kecamatan krian Sidoarjo
2007 Pelatihan Siswa pemantau jentik (Wamantik) Gresik
sebagai upaya peningkatan kesadaran siswa
sekolah dasar akan bahaya demam berdarah
dengue di Surabaya
2007 Pelatihan kader Posyandu Lansia sebagai upaya Lamongan
deteksi dini masalah kesehatan yang terjadi pada
lanjut usia di puskesmas kembangbahu Lamongan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Anda mungkin juga menyukai