DISERTASI
DISERTASI
ii
PEMBIMBING DISERTASI
PENGUJI DISERTASI:
iii
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor
Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak, sangat sulit bagi
saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu
Keperawatan.
2. Rektor Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan.
3. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah
memberikan ijin dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan
4. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di
Program S3 Ilmu Keperawatan
5. Ketua Program Studi S3 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Indonesia telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan
6. Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp, M.App.Sc selaku Promotor yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyelesaikan disertasi ini;
7. Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dan Dr. Ede Surya Darmawan, SKM,
MDM selaku ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini;
vi
Akhir kata saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
viii
.
Faktor utama penyebab kegagalan pengobatan TB paru adalah ketidakpatuhan
pasien. Perawat berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien melalui
proses interaksi. Berdasarkan hal ini maka perlu dikembangkan model intervensi
berbasis sistem interakasi untuk meningkatkan kepatuhan. Tujuan penelitian yaitu
menghasilkan model yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien TB paru berbasis
teori sistem interaksi King. Penelitian melalui dua tahap penelitian yaitu, tahap I:
Penelitian kualitatif dan pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King yang dihasilkan melalui penelitian kualitatif, studi
literatur dan konsultasi pakar; Tahap II: Validasi model dengan desain quasy
eksperimen dengan kelompok kontrol. Metode sampling yang digunakan adalah
consecutive sampling dengan sample sebanyak 50 pasien. Uji statistik
menggunakan uji chi square, independent t-test, Mancova dan GLM-RM. Hasil
didapatkan 1) Tahap I: diperoleh 12 tema kepatuhan dan model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi dengan 1 modul untuk pasien; 2) Tahap
II: terdapat perbedaan bermakna dalam pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan. Kesimpulan,
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti efektif
meningkatkan kepatuhan pasien TB paru. Rekomendasi: Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat diintegrasikan dalam clinical
pathway pada pasien TB paru di poli paru. Penelitian lebih lanjut mengenai
pengembangan model kepatuhan pada pasien TB paru yang memiliki keterbatasan
sistem interpersonal dengan keluarga yaitu pada pasien yang tidak memiliki
keluarga atau tinggal terpisah jauh dari keluarga.
ix Universitas Indonesia
The main factor cause the failure of Tuberculosis (TB) treatment was the patient’s
non-adherence. Nurses play an important role in improving patient’s adherence
through interaction nurse-patient. It is necessary to develop interaction model
based on interaction system theory to improve patient’s adherence. The purpose of
the study was to develop adherence improvement model based on King’s
inetraction system theory. This study was divided into 2 phase, Phase 1:
qualitative study and development adherence improvement model based on
King’s interaction system theory resulted from qualitative study, literature review
and expert consultation. Phase II: validation of the model by quasy experiment
design with control group. Sampling used in the study was consecutive sampling
to select 50 patients. Data were analyzed using chi square, independent t-test,
Mancova and GLM-RM. Result shows: Phase I: There were found 12 themes and
adherence improvement model based on King’s interaction system. Phase II:
There were significant different on knowledge, self efficacy, motivation,
prevention transmission, nutrition adherence and treatment adherence.
Conclusion, Adherence improvement model based on King’s interaction system
theory is effective on improving TB patient’s adherence. Development adherence
improvement model based on King’s interaction system theory can be integrated
into clinical pathway in TB patients. Further study on adherence improvement
model with limited interpersonal system, namely patient without family and
separated.
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
xv Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
menjadi pasien TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB.
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI
1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) pasien
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% pasien adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes,
2009).
Penyakit TB merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam prioritas untuk
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan
ekonomi serta dapat mengakibatkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010, periode prevalensi TB Paru 2009/2010
adalah sebesar 725/100.000 penduduk, dengan kasus tertinggi pada usia di atas 54
tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggal di desa, pendidikan tidak sekolah dan pada
kelompok petani/nelayan/buruh. Cakupan penggunaan OAT FDC (obat anti
tuberkulosis Fixed dose combination) dan kombipak sebesar 83.2%. Upaya yang
dilakukan oleh suspek TB Paru yaitu kembali ke tenaga kesehatan (32.2%),
pengobatan program TB (11.1%), beli obat di apotek/toko obat (31.9%), minum
obat herbal/tradisional (7.8%) dan tidak diobati (16.9%). Alasan suspek TB Paru
tidak datang ke fasilitas kesehatan yang paling besar adalah dapat diobati dan
sembuh sendiri (38.2%), tidak ada biaya (26.4%), penyakit tidak berat (16.3%),
akses ke fasilitas kesehatan sulit (4.4%), tidak ada waktu (5.7%) dan lainnya 9%.
(Kemkes, 2010)
Pada tahun 2011 World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadi 8,7 juta
kasus baru TB secara global, yang setara dengan 125 kasus per 100.000
penduduk. Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di
Asia (59%) dan Afrika (26%). WHO menetapkan 22 negara di dunia sebagai
negara dengan masalah penyakit TB yang tinggi (high burden countries), yaitu
negara-negara yang mencakup 63% dari populasi dunia dan menyumbang sekitar
Universitas Indonesia
80% dari perkiraan jumlah kasus TB baru yang terjadi di seluruh dunia setiap
tahunnya (WHO, 2012).
Estimasi prevalensi kasus TB di Indonesia adalah sebesar 600.000 atau setara 281
per 100.000 penduduk dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per
tahun atau setara 187 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 65.000 kematian per tahunnya. Sedangkan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2010 mencapai 90 % (WHO, 2012). Walaupun cakupan
keberhasilan pengobatan ini mencapai target WHO namun ada kecenderungan
pasien berhenti minum obat karena ada perbaikan gejala dalam 2-4 minggu.
Keadaan tersebut akan bertambah parah jika tidak ada suatu upaya penanganan
yang komprehensif dengan melibatkan beberapa pihak dan model asuhan yang
efektif dalam menangani pasien TB paru. Dampak yang diperoleh jika pasien
tidak melakukan pengobatan secara tuntas diantaranya adalah bisa terjadi MDR
yaitu resisten terhadap OAT primer, bahkan sekarang bisa menjadi XDR
(Extensive drug resistant) yaitu kuman TB resisten terhadap OAT lini kedua.
(Depkes RI & WHO, 2008)
Pada berbagai studi tentang TB paru diperoleh hasil bahwa pasien yang berobat
menunjukkan ketidakpatuhan dalam pengobatan. Studi yang dilakukan Daud
(2001) di poliklinik RS.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi menunjukkan
ketidakpatuhan pasien berobat sebesar 31% (n=100), sedangkan studi yang
dilakukan Aisyah (2003) di puskesmas Jatinegara menunjukkan ketidakpatuhan
pasien sebesar 26,1% (n=92). Selain faktor ketidakpatuhan faktor keterlambatan
pengobatan menjadi faktor yang penting dalam pengobatan TB Paru. Berdasarkan
Universitas Indonesia
studi yang dilakukan Wahyono (2003) didapatkan hasil bahwa pasien TB yang di
kecamatan Ciracas Jakarta Timur mengalami keterlambatan diagnostik pada
pasien selama 2 minggu, keterlambatan pada pelayanan kesehatan selama 1
minggu dan keterlambatan total selama 6,05 minggu. Berdasarkan data di atas
dapat disimpulkan bahwa puskesmas atau poliklinik yang menjadi struktur utama
pelayanan kesehatan dalam penanggulangan TB Paru masih mengalami kesulitan
dalam menangani pasien. Saat pasien TB tidak patuh berobat atau pasien
terlambat dilakukan diagnostik, maka bisa muncul gejala yang berat yang
mengharuskannya sampai di rawat inap.
Berdasarkan studi yang dilakukan Darmadi (2000) pasien TB paru yang aktif
berobat menunjukkan sikap yang positif dan motivasi yang tinggi untuk mencapai
kesembuhan sedangkan pasien yang tidak aktif berobat memiliki sikap yang buruk
dan motivasi yang rendah untuk sembuh. Demikian pula yang terjadi pada
pengawas menelan obat (PMO), PMO pada pasien TB yang aktif berobat
memiliki pengawasan yang baik sedangkan PMO pada pasien yang tidak aktif
berobat memiliki pengawasan yang buruk. PMO untuk pasien TB paru terbanyak
adalah keluarga (suami, istri, orangtua, anak, menantu) yaitu sebanyak 93%,
sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3% adalah lainnya
(Rachmawati & Turniani, 2006)
Pada studi yang dilakukan oleh Syahrizal (2004) tentang kepatuhan pasien TB
Paru dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru-paru propinsi Sulawesi
Selatan tahun 2002, diperoleh hasil bahwa pasien yang tidak patuh sebanyak
36,7% (n=190) dan prosentase terbanyak dari responden adalah umur muda
(58,9%), laki-laki (75,6%), bekerja (77,8%), pendidikan rendah (58,9%),
pengetahuan kurang baik (65,6%), jumlah anggota keluarga besar (62,2%), jarak
dekat (90%), transportasi mudah (94,4%), ketersediaan obat banyak (91,1%),
PMO (91,1%), pelayanan petugas baik (70%), penyuluhan petugas (97,8%).
Hasil studi Craig, dkk (2007) menunjukkan bahwa faktor risiko sosial dapat
menyulitkan pengobatan TB paru. Penambahan jangka waktu pengobatan,
Universitas Indonesia
melewatkan janji dengan layanan kesehatan dan peningkatan durasi rawat inap
semuanya terkait dengan penggunaan alkohol dan narkoba. Riwayat pengobatan
TB sebelumnya dikaitkan dengan perpanjangan masa perawatan dan melewatkan
janji dengan layanan kesehatan. Faktor risiko sosial menunjukkan pentingnya
kebutuhan layanan yang responsif untuk mempertahankan pasien pada
pengobatan. Tunawisma tidak memiliki orang untuk mengingatkan pasien untuk
meminum obat mereka, hal ini sebagai tanda kurangnya dukungan sosial yang
dikaitkan dengan lamanya waktu rawat inap (Craig. Story, Hayward, Hall,
Goodburn & Zumla, 2007) .
Universitas Indonesia
patuh yang cukup signifikan sehingga selain peran PMO perlu ditambahkan
intervensi yang menekankan pada sistem interaksi perawat pasien yang terus
menerus dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem
sosial pada pasien TB paru agar memiliki motivasi yang kuat untuk patuh dalam
melakukan pengobatan
Pengobatan TB saat ini bukan lagi berfokus pada mencegah kematian tetapi
pengobatan harus berfokus pada peningkatan kualitas hidup pada pasien yang
dilakukan pengobatan TB. Pada hasil studi Marra, dkk (2004) diperoleh 4 tema
yang berkaitan dengan kualitas hidup pada pasien TB yaitu isu yang berkaitan
dengan TB dengan subtema “gejala”, “ketersediaan fasilitas kesehatan” dan
“dampak emosional”; tema kedua yaitu faktor pengobatan TB dengan subtema
“efek yang merugikan”, “kemudahan administrasi” dan “kepatuhan” ; tema ketiga
yaitu isu dukungan sosial dan fungsional untuk pasien TB; dan tema keempat
yaitu perilaku kesehatan dengan subtema “modifikasi perilaku” dan “pengetahuan
TB” (Marra, Marra, Cox, Palepu & Fitzgerald, 2004)
Universitas Indonesia
PMO, perawat perlu melakukan suatu pendekatan agar pasien patuh dalam
menjalankan pengobatan.
Saat ini perawat sudah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tetapi
masih belum optimal terbukti dari hasil studi pendahuluan masih banyak pasien
yang belum patuh melaksanakan pengobatan. Dari kajian tersebut dapat dijelaskan
bahwa ada kesenjangan antara pendidikan kesehatan yang sudah diberikan oleh
perawat dengan kepatuhan pasien yaitu masih kurang optimalnya interaksi antara
perawat dan pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berdasarkan fakta
tersebut perlu adanya suatu pendekatan baru yang menekankan adanya sistem
interaksi perawat dengan pasien agar pasien memiliki kemampuan sendiri untuk
mencapai kepatuhan. Model interaksi King digunakan untuk meningkatkan
interaksi perawat dan pasien sehingga meningkatkan kepatuhan melaksanakan
pengobatan untuk mencapai kesembuhan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka teori kerangka kerja sistem interaksi dan
Middle range teori pencapaian tujuan dari King digunakan sebagai kerangka teori
dalam penelitian ini yang berfokus pada interaksi dinamis sistem personal, sistem
interpersonal dan sistem sosial dalam mencapai tujuan yaitu peningkatan
kepatuhan pasien TB Paru. Sistem personal menurut King menggambarkan
karakteristik individu dan individu dipandang sebagai sistem terbuka (Alligood &
Tomey, 2006). Sistem interpersonal menggambarkan interaksi dua orang atau
lebih seperti hubungan antara pasien, dan perawat. Sistem sosial adalah interaksi
yang menggambarkan hubungan yang lebih luas dari interpersonal seperti
hubungan antara pasien dan perawat dengan keluarga atau kelompok masyarakat.
King memandang manusia sebagai sistem personal yang terdiri dari konsep
persepsi, diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran,
waktu, ruang dan koping. Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih
individu berinteraksi, bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Dalam
memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai komunikasi,
interaksi, peran, stres, stresor dan transaksi. Sedangkan sistem sosial merupakan
sistem interaksi kelompok yang membentuk masyarakat.
Universitas Indonesia
Selain kajian tentang teori sistem interaksi dari King, model partnership
digunakan dalam melengkapi pengembangan model aplikasi King yang akan
dibangun pada pasien TB Paru. Model partnership menurut Notoatmojo (2010)
adalah model hubungan pasien dan perawat yang menekankan pada persamaan
(equity), keterbukaan (transparency) dan saling menguntungkan (mutual benefit).
Dari berbagai kajian model partnership, model partnership caring pada pasien
kanker dan partnership care pada pasien hipertensi menunjukan pengaruh yang
positif dalam menjalankan asuhan keperawatan. Model partnership memiliki
kesamaan dengan model sistem interaksi King yaitu merupakan suatu hubungan
yang sejajar antara perawat dan pasien dan merupakan hubungan yang bersifat
terbuka.
Selain kajian model partnership dan teori King, health promotion model (HPM)
Pender pada penelitian ini digunakan sebagai kerangka teori. HPM pada dasarnya
merupakan konsep yang didasarkan pada upaya memberdayakan kemampuan
seseorang dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Teori HPM memandang
pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai sesuatu yang
logis dan ekonomis. Komitmen pada rencana tindakan merupakan faktor yang
sangat penting dalam perubahan perilaku yaitu tercapainya peningkatan kepatuhan
pada pasien TB paru. HPM memungkinkan pasien menilai keuntungan apa yang
diharapkan sehingga patuh dalam pengobatan. Dalam pengembangan model ini
komitmen pada rencana tindakan berdasarkan teori HPM adalah adanya motivasi
dan keyakinan diri pada pasien TB paru untuk mencapai perilaku kepatuhan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikembangkan satu pendekatan atau model
baru yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan asuhan keperawatan pada TB paru
yang berfokus pada sistem interaksi pasien TB paru untuk meningkatkan
kepatuhan pasien TB paru. Pengembangan model keperawatan peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King akan dikembangkan sehingga
tercapai tujuan yaitu meningkatnya kepatuhan pasien.
Universitas Indonesia
Dalam pengembangan model ini, poli Paru RSU (Rumah Sakit Umum) Haji
Surabaya menjadi pilihan untuk lokasi penelitian kelompok intervensi dengan
beberapa pertimbangan yaitu RSU Haji Surabaya merupakan rumah sakit
pendidikan milik pemerintah daerah Jawa Timur dan rumah sakit tipe B di
wilayah Indonesia Timur. Pertimbangan lain adalah banyak pasien TB yang
berobat di Poli Paru sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkannya
model peningkatan kepatuhan. Sedangkan untuk kelompok kontrol dipilih RS.
Ibnu Sina Gresik dengan pertimbangan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ibnu
Sina Gresik setara dengan RSU Haji Surabaya, yaitu sama-sama milik pemerintah
daerah, melaksanakan program TB-DOTS dan memiliki karakteristik pasien yang
hampir sama. Dengan terpilihnya Poli Paru RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu
Sina Gresik sebagai tempat penelitian, diharapkan model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King dapat dikembangkan dan dapat diterapkan
secara optimal sesuai kondisi poli serta dapat dijadikan rujukan oleh rumah sakit
lainnya.
Universitas Indonesia
dicari model yang lebih baik untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Pada saat ini
walaupun pemerintah sudah melaksanakan program PMO bagi pasien TB paru,
namun masih terdapat pasien yang tidak patuh dalam menjalankan pengobatan.
Keluarga sebagai PMO terbanyak pada pasien TB paru belum banyak
memberikan kontribusi yang maksimal agar pasien patuh untuk berobat.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka selain dilaksanakannya program PMO
maka perlu alternatif intervensi keperawatan yang menekankan pada sistem
interaksi perawat dan pasien. Teori sistem interaksi King digunakan untuk
menekankan interaksi pasien dan perawat dimana perawat berfokus pada sistem
personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien sehingga pasien mampu
berkomitmen pada rencana tindakan sesuai dengan teori HPM untuk mencapai
kepatuhan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti merumuskan masalah
penelitian: Bagaimanakah efektifitas pengembangan Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pada pasien
TB paru.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2. Manfaat keilmuan
Hasil penelitian ini menunjang ilmu keperawatan khususnya
keperawatan medikal bedah. Penjelasan pengaruh model keperawatan
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap
kepatuhan pasien TB paru memberi kontribusi terhadap pengembangan
keilmuan khususnya teori aplikasi yang bisa langsung diterapkan
dalam asuhan kepada pasien.
3. Manfaat Metodologis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi yang bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya dan sebagai masukan untuk mendukung
pelaksanaan program pemerintah dalam mencapai target Global TB
yaitu penemuan kasus baru sebesar 90% dan angka angka kesembuhan
95%.
Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan teori
tuberkulosis paru, teori perilaku, framework sistem interaksi dan middle range
teori pencapaian tujuan dari King, health promotion model Pender, model
partnership, teori perilaku dan kerangka teori penelitian.
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang sudah sejak lama
diketahui keberadaannya. Keberadaan TB paru sering dihubungkan dengan daerah
urban yang padat dan kumuh. TB paru adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosae dan merupakan salah satu
penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Alsagaff & Mukti, 2005). Penyebab
TB paru adalah Mycobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um (Bahar & Amin, 2006).
maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan atau bronkus, batuk akan
terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang
(paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow
sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak.
2) Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukoporulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan
kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengkejuan. Jarang
berbau busuk, kecuali bila terjadi infeksi anaerob.
3) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan pasien mungkin berupa garis atau bercak-bercak
darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat
banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari
penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan
tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada
dinding kavitas. Oleh karena itu, proses tuberkulosis harus cukup lanjut untuk
dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi.
4) Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila
nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritik luas (nyeri dipelukan daerah
aksila, diujung scapula atau di tempat lain).
5) Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan
oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi, ulserasi dan lain-
lain (pada tuberkulosis lanjut).
6) Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat
adanya restriksi dan obstruksi saluran pernafasan serta loss of vascular
bed/vascular trombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi
pulmonal dan korpulmonal.
Universitas Indonesia
Usman (2008) menjelaskan bahwa faktor berat badan mempengaruhi gejala klinis,
berat badan yang kurang memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan
berat badan normal. Gejala klinis yang ditemukan secara umum adalah batuk
berat, sesak napas, sakit dada dan demam.
Alsagaff dan Mukty (2005) menjelaskan bahwa proses awal TB paru menahun
berupa satu atau lebih pneumonia lobuler yang juga disebut fokus dari “asman”.
Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah
posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan
segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokalisasi ini lebih jarang terjadi.
Lesi infiltrat dini ini selalu tidak stabil, dapat sembuh dengan jalan reabsorbsi
menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses
eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perlunakan dan
berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila
progresifitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai
penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih
tetap aktif dan meluas.
B. Diagnosis TB Paru
Menurut Depkes RI (2007) diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukanya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan dahak
secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga spesimen sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya
1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen
mendukung TB, maka pasien di diagnosis sebagai pasien TB BTA positif. Kalau
hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Universitas Indonesia
pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, di diagnosis sebagai pasien TB
BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen
dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB,
didiagnosis sebagai pasien TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen
tidak mendukung TB, pasien tersebut bukan TB.
Menurut Alsagaff & Mukty (2005) aktifitas penyakit tuberkulosis paru dinyatakan
dalam aktif dan tenang. Aktif bila dahak mengandung basil tuberkulosis, bila ada
kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif) dan
gambaran radiologis berbeda dengan foto tunggal maupun serial. Tenang
(quiescant) jika dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit
6 bulan, gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit
Universitas Indonesia
perubahan. Dan masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam
negatif). Tidak aktif (in active) jika bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak
setiap bulan untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan, gambaran radiologi yang
dibuat serial menunjukkan proses stabil atau bertambah bersih sedikit atau
berkerut dan tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada
tomogram.
Penularan yang sering terjadi ialah melalui saluran pernafasan yang dikenal
sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosis dapat masuk sampai ke
alveoli. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama
dengan pasien tuberkulosis paru aktif, yakni golongan pasien yang dikenal sebagai
open case, bentuk penularan yang lain adalah melalui debu yang beterbangan
diudara yang mengandung basil tuberkulosis (Alsagaff & Mukty, 2005).
C. Komplikasi TB Paru
Menurut Bahar dan Amin (2006) penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani
dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi
dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini meliputi pleuritis, efusi pleura,
empiema, laryngitis, menjalar ke organ lain: usus dan Poncet’s arthropath.
Komplikasi lanjutan: obstruksi jalan nafas: SOPT (sindrom obstruksi pasca
tuberkulosis) kerusakan parenkim berat: SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru dan sindrom gagal nafas dewasa: acute respiratory
distress syndrome (ARDS).
Menurut Alsegaff dan Mukty (2005) sebelum ditemukan obat anti tuberkulosis,
pasien tuberkulosis paru mempunyai masa depan yang suram, seperti halnya
pasien kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan obat anti tuberkulosis,
maka masa depan pasien tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali pasien yang
telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan
organ lain di dalam organ dada, maka banyak pasien yang jatuh ke dalam
korpulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah
Universitas Indonesia
hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun
secara tidak langsung.
Universitas Indonesia
Paru. Salah satu kekuatan daya tangkal untuk mencegah hal tersebut adalah
status gizi yang baik.
4) Kondisi sosial ekonomi
WHO dalam Achmadi (2008) menyebutkan 90% pasien TB didunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kondisi
sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara
langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya
kondisi gizi buruk, serta kondisi rumah yang tidak sehat, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
2. Lingkungan
Faktor lingkungan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit
TB paru yaitu:
1) Kepadatan tempat tinggal
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.
Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui
udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan dalam
rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB
paru
2) Lantai rumah
Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dengan demikian pertumbuhan kuman TB paru
di lingkungan juga sangat dipengaruhi.
3) Ventilasi
Menurut Budiyono (2003) ventilasi merupakan faktor yang berhubungan
dengan kejadian TB paru. Achmadi (2005) menyatakan bahwa ventilasi
bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi
kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dan kuman lain, terbawa keluar
dan mati terkena sinar matahari.
4) Pencahayaan
Universitas Indonesia
Faktor resiko TB paru juga didukung oleh studi yang dilakukan Tobing (2009)
yang menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap potensi TB
adalah sikap, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, pendidikan, pengetahuan,
pembinaan petugas dan dukungan keluarga.
Universitas Indonesia
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman
persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat
yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman
TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOTS).
Pengawasan menelan obat adalah salah satu komponen DOTS untuk pengobatan
panduan OAT dengan pengawasan langsung. Dibawah ini akan diuraikan
mengenai persyaratan PMO, siapa yang bisa menjadi PMO, tugas PMO dan
informasi penting yang perlu disampaikan PMO pada pasien dan keluarganya
(Depkes, 2007).
a. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, yang dipercaya dan disetujui oleh petugas
kesehatan maupun pasien dan harus disegani serta dihormati oleh
pasien.
Seseorang yang tinggal dekat pasien
Bersedia membantu pasien dengan sukarela
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)
masa pengobatan.
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari isoniosid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan
etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
isoniasid (H) dan rifampisisn (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan pasien TB
ekstra paru berat.
Universitas Indonesia
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah pasien selesai minum obat. Obat ini diberikan
untuk: pasien kambuh (relaps), pasien gagal (failure) dan pasien dengan
pengobatan setelah lalai (after default)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pasien baru BTA positif dengan
kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
hari selama 1 bulan.
Menurut Bahar dan Amin (2006) pasien kambuh adalah pasien yang telah
menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi
dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara
mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Umumnya kekambuhan terjadi pada
tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya masih
sensitif terhadap obat-obat yang digunakan semula.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Studi lain yang dilakukan oleh Daryatno (2003) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kekambuhan pasien TB paru adalah status gizi dengan indeks
masa tubuh (IMT) < 18.5, riwayat minum obat tidak teratur dan kebiasaan
merokok. Status gizi dengan IMT < 18.5 memiliki risiko untuk kambuh 20 kali
dibanding status gizi > 18.5. Status gizi yang buruk mengakibatkan kelemahan
fisik dan penurunan daya tahan tubuh yang meningkatkan risiko kekambuhan.
Riwayat minum obat tidak teratur memiliki risiko 43.46 kali untuk kambuh
dibandingkan dengan yang minum obat teratur. Kebiasaan merokok 1-10 batang
memiliki risiko 15 kali, merokok 20-30 batang memiliki risiko 40-50 kali dan
merokok 40-50 batang memiliki risiko 70-80 kali untuk kambuh dibanding yang
tidak merokok.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
TRA dikembangkan pertama kali tahun 1967 yang bertujuan untuk mempelajari
hubungan antara sikap dan perilaku. TRA telah banyak digunakan pada berbagai
studi namun kemudian dikritik oleh Ajben yaitu mengenai perilaku yang
dipengaruhi langsung oleh intensi, Ajben dan Fishben membatasi intensi hanya
pada perilaku yang dikontrol oleh kehendak. Pada tahun 1985 Ajzen membuat
TPB untuk mengatasi kekurangan tersebut (Peterson dan Brewdow, 2004). Pada
dasarnya TRA dan TPB mengasumsikan bahwa individu memiliki pertimbangan
rasional mengenai dampak dari tindakan mereka. Sebelum mereka memutuskan
terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku spesifik tertentu maka mereka
mempertimbangkan secara cermat dan mencari informasi yang tersedia kemudian
memutuskan perilaku mereka. Hubungan antara konstruksi TRA dan TPB dapat
dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 di bawah ini:
Keyakinan Sikap
perilaku
Variabel Intensi
eksternal perilaku Perilaku
Keyakinan Norma
normatif subyektif
Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action menurut Ajzen dan Fishben (Peterson dan
Brewdow, 2004)
Universitas Indonesia
Keyakinan Sikap
perilaku
Variabel Intensi
eksternal perilaku Perilaku
Keyakinan Norma
normatif subyektif
Persepsi
Keyakinan kontrol
kontrol perilaku
Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior menurut Ajzen (Peterson dan Brewdow,
2004)
a. Intensi perilaku
Intensi perilaku adalah motivasi individu untuk terlibat dalam perilaku
yang spesifik. Hal ini mengindikasikan upaya individu untuk berinvestasi
dalam perilaku. Determinan dari intensi perilaku adalah sikap, norma
subyektif dan persepsi kontrol perilaku.
b. Determinan intensi perilaku
Determinan intensi perilaku meliputi sikap, norma subyektif dan persepsi
kontrol perilaku.
Sikap: secara umum sikap didefinisikan sebagai tendensi
psikologis yang dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu
obyek. Misalnya, menyukai atau tidak menyukai, menyetujui atau
tidak menyetujui.
Norma subyektif: norma subyektif mengacu pada penilaian
subyektif seseorang tentang preferensi/rujukan lain yang signifikan
dan dukungan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang spesifik.
Universitas Indonesia
B. Pengetahuan
Dalam domain kognitif menurut Benyamin Bloom yang direvisi oleh Anderson
dan Krathwohl (2001 dalam Widodo, 2006) mencakup 6 (enam) tingkat, yaitu :
1) Mengingat (remember)
Mengingat adalah usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari
memori atau ingatan. Memori bisa yang baru saja didapatkan atau
sudah lama didapatkan.Mengingat meliputi mengenali (recognition)
dan memanggil kembali (recalling).
2) Memahami/mengerti (understand)
Memahami adalah membangun sebuah pengertian dari berbagai
sumber. Memahami mencakup tujuh proses kognitif yaitu menafsirkan
(interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan
(classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring),
membandingkan (comparing), dan menjelskan (explaining).
Universitas Indonesia
3) Menerapkan (apply)
Menerapkan merupakan proses kognitif memanfaatkan atau
mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau
menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dengan
dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yaitu
menjalankan prosdur (executing) dan mengimplementasikan
(implementing).
4) Menganalisis (analyze)
Menganalisis adalah memecahkan atau misahkan tiap-tiap bagian dari
suatu permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian
tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut
menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses
kognitif menguraikan (differentiating), mengorganisasikan
(organizing) dan memberi atribut (atributting).
5) Mengevaluasi (evaluate)
Mengevaluasi adalah proses kognitif memberikan penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Evaluasi meliputi
mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing). Mengecek
mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau
kegagalan dari suatu operasi atau produk. Mengkritisi mengarah pada
penilaian suatu operasi atau produk berdasarkan pada kriteria atau
standar eksternal.
6) Menciptakan (create)
Menciptakan merupakan kegiatan menggabungkan beberapa unsur
menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang
tergolong dalam kategori ini adalah membuat (generating),
merencanakan (planning), atau memproduksi (producing).
Universitas Indonesia
C. Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) self efficacy seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Self efficacy tersebut dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan
melalui salah satu atau kombinasi empat faktor yang terdiri atas :
1) Performance accomplishment
Merupakan suatu pengalaman menguasai sesuatu prestasi atau prestasi yang
pernah dicapai oleh individu tersebut di masa lalu. Faktor ini adalah pembentuk
self efficacy yang paling kuat. Prestasi yang baik pada masa lalu yang pernah
dialami oleh subyek akan membuat peningkatan pada ekspektasi efikasi,
sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan efikasi individu.
2) Vicarious experience
Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka
untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan
meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain,
sedangkan sebaliknya self efficacy akan menurun apabila individu mengamati
seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami
kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self efficacy adalah
berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri.
Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, maka semakin
besar potensial self efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini.
3) Verbal persuasion
Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau
berperilaku. Individu mendapat pengaruh atau sugesti bahwa ia mampu mengatasi
masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan
keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan perilaku untuk
Universitas Indonesia
Menurut Bandura (1994) self efficacy akan mempengaruhi proses dalam diri
manusia, yaitu :
1) Proses kognitif
Self efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau
menghambat perilaku seseorang. Self efficacy yang tinggi mendorong
pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan
kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin
memperkuat self efficacy seseorang.
2) Proses motivasional
Self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri
untuk membentuk sebuah motivasi. Kepercayaan self efficacy mempengaruhi
tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha
yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi
menurun.
Universitas Indonesia
3) Proses afektif
Self efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self efficacy
mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya
bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri
mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang self efficacy yang rendah cenderung
memperbesar resiko. Seseorang dengan self efficacy yang tinggi memiliki kontrol
pemikiran yang lebih baik, dan self efficacy yang rendah dapat mendorong
munculnya depresi.
4) Proses seleksi
Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan memungkinkan seseorang untuk
membentuk tindakan dan sebuah lingkungan yang membantu dirinya dan
bagaimana mempertahankannya.
Menurut Bandura (1994) suatu perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila
adanya perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Perubahan self
efficacy perlu dilakukan untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku
individu yang memiliki masalah perilaku. Berikut adalah gambar skema proses
pengubahan self efficacy.
Universitas Indonesia
1) Performance accomplishment
(1) Participant modelling. Hal ini dilakukan dengan menirukan model yang
telah berprestasi atau sukses dalam bidang tertentu.
(2) Performance desensitization, merupakan upaya menghilangkan pengaruh
buruk akibat kegagalan pada masa lalu. Apabila cara yang ditempuh
berhasil untuk bangkit dari kebangkrutan terdahulu, maka self efficacy
akan meningkat.
(3) Performance exposure. Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
dibandingkan kegagalan. Contohnya jika seseorang pernah tidak naik
kelas, maka hal yang dilakukan adalah dengan mengingatkan kembali
prestasi lain pada masa lalu pernah dicapainya.
4) Self-instructed performance. Melatih diri untuk melakukan yang terbaik
sehingga seseorang mampu untuk menekan dirinya sendiri sampai ke batas
maksimalnya.
2) Vicarious experience
(1) Live modelling, dengan cara mengamati model yang nyata di dunia atau
lingkungan yang mempunyai kemiripan tujuan dan karakteristik.
(2) Symbolic modelling, dengan cara mengamati model simbolik, film, komik,
cerita yang menceritakan keberhasilan atau kesuksesan mencapai tujuan
yang mempunyai kemiripan dengan karakteristik individu .
3) Verbal persuasion
(1) Sugestion. Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan
subyek terhadap pemberi persuasi. Contohnya hipnoterapis yang
memberikan sugesti kepada seorang siswa yang takut pelajaran
matematika agar ketakutannya tersebut hilang.
(2) Exhortation. Nasihat atau peringatan yang mendesak/memaksa seperti
yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika masih kecil.
(3) Self-instruction. Selain dapat diberikan oleh orang lain, persuasi juga dapat
diberikan oleh subyek kepada diriya sendiri dengan berkomunikasi dengan
dirinya sendiri untuk dapat melakukan sesuatu.
Universitas Indonesia
D. Motivasi
Menurut Jhon Elder (dalam Notoatmojo, 2007), motivasi adalah sebagai interaksi
antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau
mempertahankan perilaku. Menurut Terry G. (dalam Notoatmodjo, 2007),
motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku), sedangkan
Universitas Indonesia
menurut Stooner (dalam Notoatmodjo, 2007), motivasi adalah sesuatu hal yang
menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang.
Universitas Indonesia
(3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan
orang lain, diterima, memiliki)
(4) Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan
mendapatkan dukungan serta pengakuan)
(5) Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui,
memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian,
keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri:
mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)
2) Teori motivasi Herzberg (1966)
Menurut teori motivasi Herzberg (1966 dalam Nursalam, 2014) ada dua
jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai
kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu
disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor
intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari
ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia,
imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik),
sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement,
pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, (faktor intrinsik).
3) Teori Vroom (1964 dalam Nursalam, 2014) menerangkan tentang
cognitive theory of motivation yang menjelaskan mengapa seseorang tidak
akan melakukan sesuatu yang ia yakini jika ia tidak dapat melakukannya,
sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut
Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga
komponen, yaitu:
(1) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
(2) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika
berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk
mendapatkan outcome tertentu).
(3) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan positif,
netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan
Universitas Indonesia
E. Nutrisi
Universitas Indonesia
Diet pada pasien TB Paru adalah diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu
diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Makanan
yang diberikan dalam bentuk biasa ditambah protein tinggi seperti susu, telur dan
daging. Adapun tujuan diet ETPT adalah untuk:
1. Memenuhi Kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk
mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan pada jaringan paru.
2. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.
Dibawah ini ada bahan makanan yang dianjurkan yang dianjurkan pada pasien TB
paru:
1. Sumber karbohidrat: nasi, roti, mi, ubi, makaroni dan hasil olah tepung-
tepungan seperti cake, puding, dodol.
2. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan
seperti keju, yougurt dan es krim
3. Sumber protein nabati: Semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahnya
seperti tahu dan tempe.
4. Sayur: semua jenis sayuran seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang
panjang, labu siam dan wortel, dikukus dan ditumis
5. Buah-buahan: Semua jenis buah-buahan segar, buah kaleng dan jus buah
6. Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega, margarin, santan encer.
7. Minuman: madu, sirup, teh dan kopi encer
8. Bumbu: bumbu tidak tajam seperti bawang merah, bawang putih, laos, salam,
kecap.
Pada dasarnya tidak ada pantangan pada pasien TB paru, tapi ada beberapa bahan
makanan yang tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan asam lambung
sehingga dapat mengakibatkan pasien mudah terangsang untuk batuk saat asam
lambung mengiritasi tenggorokan. Bahan makan yang tidak dianjurkan
diantaranya:
1. Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
2. Bumbu yang tajam seperti cabe dan merica
3. Gorengan dan es terutama saat batuk.
Universitas Indonesia
F. Kepatuhan
Kepatuhan menurut Sacket dan Haynes (1976 dalam Rankin & Stallings, 2001)
didefinisikan sebagai perilaku pasien (minum obat, mengikuti diet dan perubahan
gaya hidup lainnya) yang berkaitan dengan resep klinis. Lebih lanjut lagi mereka
menjelaskan bahwa penyajian data kepatuhan memiliki relevansi klinis jika hal
tersebut berkaitan dengan pencapaian dari tujuan pegobatan. Pertama terkait
dengan kepatuhan terhadap pengendalian penyakit yang berkaitan dengan
pengobatan dokter (kontrol hasil mematuhi resep pengobatan). Dokter
menentukan dosis dan waktu pengobatan, diet khusus yang harus diikuti dan jenis
pemantauan tubuh yang harus dilakukan. Kepatuhan diukur melalui pencapaian
pasien dalam kegiatan ini.
Menurut teori Feuerstein (1986 dalam Niven, 2000) terdapat 5 faktor yang
mendukung kepatuhan pasien antara lain:
1. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan
buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
2. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri
harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program
Universitas Indonesia
Menurut Taylor (1991 dalam Niven, 2000), ada beberapa variabel yang
berhubungan dengan kepatuhan:
1. Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak ada akibat
buruk yang langsung dirasakan pengobatan yang komplek dan pengobatan
dengan efek samping. Tingkat kepatuhan rata-rata minum obat untuk
penyembuhan penyakit akut (kasus baru) dengan pengobatan jangka pendek
adalah sekitar 78%. Pada penyakit kronis dengan pengobatan jangka panjang,
tingkat kepatuhan minum obat menurun sampai 54%.
2. Ciri-ciri individu
Variabel demografi juga digunakan untuk meramal kepatuhan seseorang,
sebagai contoh di Amerika Serikat para wanita kulit putih dan orang tua
cenderung mematuhi aturan dokter.
3. Komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan
Universitas Indonesia
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan adalah: (a) faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio
ekonomi dan pendidikan, (b) faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan
hilangnya gejala akibat terapi, (c) faktor program pelayanan seperti kompleksitas
program dan efek samping yang tidak menyenangkan, (d) faktor psikososial
seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya
dan biaya finansial lainnya.
Universitas Indonesia
Kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru adalah tindakan atau kegiatan yang
dilakukan pasien agar sembuh dari penyakit. Sesuai buku pedoman
penanggulangan tuberkulosis (Kemkes, 2011), pasien dapat dikatakan patuh
berobat jika pasien berobat secara teratur selama minimal 6 bulan dalam 2 fase
pengobatan dan sesuai panduan obat. Tidak patuh jika pasien tidak berobat secara
teratur dalam 2 fase pengobatan dan tidak sesuai panduan obat.
Dibawah ini akan diuraikan metode pengukuran kepatuhan minum obat menurut
Osterberg dan Blaschke (2005).
Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat
Test Keuntungan Kerugian
Metode langsung
Pengawasan langsung Lebih akurat Pasien dapat menyembunyikan
menelan obat obat dalam mulut dan tidak
praktis untuk kegiatan rutin
Pengukuran level obat atau Obyektif Ada variasi metabolisme
metabolit dalam darah sehingga dapat terjadi
kesalahan penilaian; mahal
Pengukuran “biologic Obyektif Mahal
marker” dalam darah
Metode tidak langsung
Kuesioner pasien, laporan Sederhana, murah, metode Rentan terhadap kesalahan
diri pasien yang paling berguna dalam dengan peningkatan waktu
tatanan klinik antara kunjungan; hasil mudah
terdistorsi oleh pasien
Menghitung pil Obyektif, dapat dihitung, Data mudah diubah oleh
mudah dilaksanakan pasien
Jumlah ulangan resep Obyektif Ulangan resep tidak setara
dengan konsumsi obat-obatan;
membutuhkan sistem farmasi
tertutup
Pengkajian respons klinis Sederhana, secara umum Faktor lain selain kepatuhan
pasien mudah dilaksanakan pengobatan dapat
mempengaruhi respons klinis
Monitoring pengobatan Presisi, secara umum Mahal; membutuhkan
elektronik mudah dilaksanakan kunjungan kembali dan unduh
data dari pengobatan
Pengukuran “physiologic Mudah dilakukan “markers” mungkin tidak
markers” (seperti denyut nampak (misal: peningkatan
jantung pada pasien dengan metabolisme, kurang
pengobatan beta blocker) penyerapan, kurang respons)
Diari pasien Membantu menilai bagi Mudah diubah oleh pasien
yang susah mengingat
Pasien anak, kuesioner Sederhana, obyektif Rentan terhadap distorsi
pada pengasuh atau guru
Universitas Indonesia
2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Tencapaian
Tujuan dari King
1. Sistem personal
King mengatakan bahwa setiap individu adalah personal, sehingga
diperlukan pemahaman tentang konsep gambaran diri, pertumbuhan dan
perkembangan, persepsi, diri, ruang, dan waktu untuk memandang secara
komprehensif bahwa manusia adalah personal.
Persepsi merupakan konsep mayor dari sistem personal. Persepsi adalah
suatu proses dimana data diperoleh, diorganisasikan, diinterpretasikan dan
ditransformasikan dalam perilaku. Persepsi dipengaruhi oleh emosi dan
pengalaman masa lalu. Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi
benda-benda dan orang lain. Karakteristik diri adalah individu yang dinamis,
sistem terbuka dan orientasi pada tujuan. Konsep diri dipengaruhi oleh
perubahan tumbuh kembang. Gambaran diri merupakan komponen dari
tumbuh kembang yang berubah seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi
oleh konsep diri. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai proses
diseluruh kehidupan seseorang dimana dia bergerak dari potensial untuk
mencapai aktualisasi diri. Ruang adalah universal sebab semua orang punya
konsep ruang, personal atau subjektif, individual, situasional, dan tergantung
dengan hubunganya dengan situasi, jarak dan waktu, transaksional, atau
berdasarkan pada persepsi individu terhadap situasi. King mendefinisikan
waktu sebagai lama antara satu kejadian dengan kejadian yang lain
merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara satu kejadian
dengan kejadian yang lain. Konsep pada sistem personal kemudian oleh
King ditambahkan dua konsep baru yaitu pembelajaran dan koping
(Alligood, 2010).
Universitas Indonesia
2. Sistem interpersonal
Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi,
bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Hubungan antara pasien dan
perawat adalah salah satu tipe sistem interpersonal. Keluarga ketika dalam
kelompok kecil juga bisa dikatakan sebagai sistem interpersonal. Dalam
memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai
komunikasi, interaksi, peran, stres dan transaksi.
Universitas Indonesia
3. Sistem sosial
Sistem sosial adalah sistem interaksi yang berisi kelompok yang membentuk
masyarakat. Contoh dari sistem sosial adalah sistem keagamaan, pendidikan,
dan pelayanan kesehatan. Untuk memahami sistem sosial diperlukan
pengetahuan tentang otoritas, pembuat keputusan, organisasi, kekuasaan dan
status.
Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktifitas yang
berhubungan dengan pengaturan formal dan informal seseorang dan kelompok
untuk mencapai tujuan personal atau organisasi.
King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu aktif,
proses transaksi yang timbal balik dimana latar belakang, persepsi, nilai-nilai
dari pemegang mempengaruhi definisi, validasi dan penerimaan posisi di
dalam organisasi berhubungan dengan wewenang.
Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan personal,
esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber dalam suatu situasi,
dinamis dan orientasi pada tujuan. Pembuatan atau pengambilan keputusan
bercirikan untuk mengatur setiap kehidupan dan pekerjaan, orang, universal,
individual, personal, subjektif, situasional, proses yang terus menerus, dan
berorientasi pada tujuan. Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan,
dapat diubah. King mendefinisikan status sebagai posisi seseorang didalam
kelompok atau kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain di dalam
organisasi dan mengenali bahwa status berhubungan dengan hak-hak
istimewa, tugas-tugas, dan kewajiban.
Universitas Indonesia
Adapun ketiga komponen sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial
digambarkan oleh King sebagai berikut:
Social system
Social systems (socie
(society)
Interpersonal systems
(groups)
Personal systems
Interpersonal system
(individual)
(society)
Universitas Indonesia
feedback
Nurse Perception
Jugdement
Action
Patient Jugdement
Perception
feedback
1. Konsep Manusia
King memandang manusia sebagai suatu sistem terbuka yang berinteraksi
dengan lingkungan yang memungkinkan benda, energi, dan informasi dengan
leluasa mempengaruhinya. Dalam kerangka kerjanya meliputi tiga sistem
interaksi yang dinamis sebagai individu disebut sebagai sistem personal, ketika
individu ini bersatu dalam kelompok disebut sistem interpersonal. Sistem sosial
tercipta ketika kelompok mempunyai ketertarikan dan tujuan yang sama dalam
satu komunitas atau masyarakat.
2. Konsep Lingkungan
Menurut King lingkungan adalah sistem sosial yang ada dalam masyarakat
yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya secara terbuka. Lingkungan
Universitas Indonesia
Teori pencapaian tujuan King berfokus pada sistem interpersonal dan interaksi
yang membutuhkan tempat antara individu, khususnya hubungan perawat-pasien.
Dalam proses keperawatan tiap anggota dyad saling mempersepsikan, membuat
keputusan dan bertindak bersama-sama. Bersama-sama aktivitas ini memuncak
dalam reaksi. Hasil interaksi dan jika persepsi sama maka terbentuk transaksi.
Sistem ini terbuka untuk umpan balik karena tiap fase dipengaruhi oleh persepsi.
Hubungan dari proses dan outcome/hasil adalah fokus keperawatan dan pelayanan
kesehatan. Proses adalah sistem fungsi dinamik dan outcome/hasil diasumsikan
sebagai proses yang menyediakan informasi untuk mengevaluasi keefektifan
asuhan keperawatan. Outcome/hasil berpusat pada pasien, berorientasi tujuan
yang realistis dan dapat diukur.
King (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan delapan proposisi dalam
teori pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien,
transaksi terjadi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan akan
tercapai. Jika tujuan tercapai, kepuasan akan terjadi. Jika tujuan tercapai, asuhan
keperawatan yang efektif terjadi. Jika transaksi terjadi dalam interaksi perawat-
Universitas Indonesia
pasien, pertumbuhan dan perkembangan akan meningkat. Jika perkiraan peran dan
penampilan peran dipersepsikan sama oleh perawat dan pasien, transaksi akan
terjadi. Jika konflik peran dialami oleh perawat atau pasien atau keduanya maka
stres dalam interaksi perawat-pasien akan terjadi. Jika perawat dengan
pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke
pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan
dicapai.
Beberapa hasil penelitian yang menggunakan kerangka teori dari King adalah
persepsi pasien bedah tentang peran dan tanggung jawab perawat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan pasien bedah
tentang peran dan tanggung jawab perawat. Penerapan teori King melibatkan
identifikasi persepsi pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat. Persepsi
adalah salah satu konsep utama King. Persepsi didefinisikan sebagai representasi
realitas manusia melalui proses pengorganisasian, menafsirkan dan mengubah
informasi dari data sensori dan memori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat adalah sesuai.
(Sivaramalingan, 2008).
Reck (2010) meneliti tentang kepuasaan dan harapan pasien dengan pelayanan
keperawatan dan kesadaran perawat akan harapan mereka. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor (harapan pasien
yang diantisipasi diterima dari perawat) dan penilaian perawat tentang harapan
pasien dan variabel hasil yaitu kepuasan pasien. Teori pencapaian tujuan dari
King digunakan dalam penelitian ini sebagai fokus interaksi antara perawat dan
pasien. Konsep interaksi dyad dipergunakan dimana penelitian ini menggunakan
109 sampel pasangan pasien-perawat, yaitu 1 pasien dengan 1 perawat, perawat
dalam konsep ini adalah perawat yang merawat pasien. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan antara harapan pasien dan penilaian harapan
pasien dengan kepuasaan. Hasil penting dari penelitian ini adalah pengembangan
ukuran yang memungkinkan pasien untuk menilai harapan mereka dan ukuran
Universitas Indonesia
Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa manusia terdiri dari sistem personal,
sistem interpersonal dan sistem sosial dalam melakukan interaksi untuk mencapai
tujuan. Proses pencapaian tujuan dimulai dari tahap reaksi, interaksi dan transaksi.
Dasar teori inilah yang akan digunakan untuk mencapaian tujuan perawatan pada
pasien TB melalui sistem interaksi personal, sistem interpersonal dan sistem
pasien melalui tahapan proses sampai mencapai fase transaksi.
Universitas Indonesia
Adapun model health promotion model (HPM) menurut Pender dapat dilihat di
bagan berikut:
Universitas Indonesia
Dari uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pasien akan bertindak
dan tetap berperilaku jika hasil tindakan bernilai positif. Teori di atas juga
menekankan pada persepsi pasien tentang keyakinan diri. Berdasarkan hal
tersebut konsep ini dapat digunakan perawat untuk membentuk perilaku yang
positif pada pasien TB paru dengan meningkatkan self efficacy pasien agar pasien
memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai kesembuhan.
Pada perkembangan selanjutnya Pender melakukan revisi pada kerangka
konseptual model promosi kesehatan dari model sebelumnya menjadi sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
Adapun definisi konsep mayor health promotion model revisi menurut Pender
diuraikan sebagai berikut:
a. Prior related behavior (hubungan dengan perilaku sebelumnya) adalah
frekwensi perilaku yang sama atau mirip masa lalu. Perilaku sebelumnya
mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan
perilaku promosi kesehatan.
b. Personal factors (faktor personal) meliputi aspek biologis, psikologis, dan
sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan prediksi dari perilaku yang didapat
dan dibentuk secara alami oleh target perilaku.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Komponen paradigma health promotion model menurut Pender pada model revisi
telah banyak dilakukan penelitian misal untuk menilai persepsi manfaat dan
hambatan tindakan pada perilaku melakukan olahraga, deteksi dini kanker
payudara, perilaku promosi kesehatan. Grubbs dan Carter (2002) menjelaskan
bahwa manfaat tindakan olahraga yang dilakukan oleh mahasiswa adalah
meningkatkan tingkat fitnes fisik, penampilan, kekuatan otot dan tonus otot.
Sedangkan hambatan yang dirasakan oleh mahasiswa adalah olah raga membuat
lelah, mengalami kelelahan, butuh kerja keras dan tidak ada dukungan keluarga
untuk melakukan olahraga. Menurut Gasalberti (2002) tidak ada hubungan antara
tingkat kesehatan dengan perilaku melakukan pemeriksaan payudara untuk
deteksi dini kanker payudara. Hambatan yang dirasakan oleh pasien adalah berupa
ketakutan dan kecemasan terkena kanker. Johson dan Nies (2005) menjelaskan
bahwa biaya, kurangnya disiplin dan kurangnya motivasi merupakan faktor
hambatan dalam perilaku promosi kesehatan.
Berdasarkan uraian revisi health promotion model di atas, dapat dijelaskan bahwa
selain faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak selain dipengaruhi
oleh hasil tindakan yang diperoleh ternyata dipengaruhi oleh faktor lain yang
diantaranya adalah hambatan dalam melaksanakan tindakan dan faktor personal
pada seseorang. Faktor personal ini perlu mendapat kajian lebih lanjut untuk
menilai pengaruh perilaku pasien TB paru dalam mengambil tindakan perawatan.
Universitas Indonesia
perilaku promosi kesehatan dibandingkan model aslinya (Ronis, Hong & Lusk,
2006).
Menurut Rankin dan Stallings (2001) model revisi promosi kesehatan Pender
membuat kontribusi untuk pendidikan kesehatan pasien melalui fokus baru yaitu
komitmen pada rencana tindakan dan kebutuhan bersaing dan preferensi.
Mengevaluasi komitmen pasien pada rencana tindakan adalah kunci untuk
melaksanakan intervensi pendidikan. Jika penyedia layanan kesehatan
menentukan komitmen besar untuk mempromosikan gaya hidup sehat atau
skrining preventif, maka adalah suatu yang logis untuk menentukan kontrak
Universitas Indonesia
Partnership adalah suatu konsep yang menjelaskan suatu model tentang hubungan
yang antara perawat dan pasien. Partnership dalam hal hubungan ini ditandai
oleh suatu kerjasama dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Kerjasama ini
menganggap bahwa setiap individu adalah sederajat dan memiliki kompetensi
yang diakui dan dapat dimanfaatkan.
Model partnership adalah suatu proses yang memiliki tahapan yang saling
berhubungan. Setiap tahapan memiliki tujuan khusus dan memiliki interelasi yang
dinamis. Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa untuk membangun partnership
dibutuhkan 3 prinsip kunci yaitu persamaan (equity), keterbukaan (transparency)
dan saling menguntungkan (mutual benefit). Persamaan berarti siapa yang
menjalin partnership dalam hal ini perawat, pasien dan keluarga harus merasa
sama atau sederajat dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain
karena merasa lebih tinggi. Keterbukaan yang dimaksud adalah setiap anggota
membuka diri untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, hal ini
bertujuan untuk saling melengkapi dan saling membantu dalam mencapai tujuan.
Universitas Indonesia
Model partnership yang dibuat oleh Endo, Nitta, Inayoshi, Saito, Takemura,
Minegishi, Kubo dan Kondo (2000) pada dasarnya hampir sama dengan pedoman
penelitian yang dikembangkan oleh Neuman (1994) dan telah dilakukan pilot
study. Tujuan penelitian adalah untuk mengatasi proses partnership caring dengan
mengelaborasi pengenalan pola keluarga sebagai intervensi keperawatan dengan
keluarga dengan kanker. Penelitian dilakukan pada keluarga di Jepang dimana
istri atau ibu mereka mengalami kanker ovarium. Pengembangan model ini
dilakukan melalui empat tahap yaitu: (1) menetapkan mutualitas proses
penyelidikan, (2) memfokuskan wawancara pada peristiwa yang paling berarti
bagi seseorang dan kejadian dalam kehidupan keluarga, (3) berbagi
penggambaran peneliti mengenai pola keluarga yang telah ditransmutasikan dari
wawancara ke diagram yang sekuensial sebagai pola dari waktu ke waktu, (4)
identifikasi kejadian pola pengakuan keluarga dan wawasan ke dalam makna pola
hidup keluarga.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Data dikumpulkan melalui dua wawancara terbuka (3 minggu setiap bagian), field
notes, observasi, dokumen, jurnal dan review literatur. Dalam wawancara terbuka
Universitas Indonesia
Model partnership care model adalah model yang merupakan suatu tahap yang
berkesinambungan seperti dijelaskan oleh Mohammadi, Abedi, Jalali, Gofranifour
dan Kazemnejad (2006) bahwa model partnership adalah tahap-tahap yang
mengikuti suatu tujuan khusus dan memiliki keterkaitan yang dinamis seperti
yang dijelaskan pada gambar 2.5. Tahap-tahap ini terdiri dari motivasi
(motivation), kesiapan (readying), keterlibatan (involvement) dan evaluasi
Universitas Indonesia
Motivation
Partnership
for health Readying
Evaluation
promotion
Involvement
Universitas Indonesia
Hook (2006) melakukan analisis konsep dari model partnership dalam konteks
hubungan seorang profesional dengan pasien. Adapun alasan Hook melakukan
analisis ini karena dirasakan konsep partnership sebelumnya belum matang
Universitas Indonesia
Staf professional:
Kompetensi H Berbagi Peningkatan
-Nilai P
-Pengetahuan/keterampilan profesional pengetahuan Manajemen
U E
dalam membangun hubungan diri
M
dan komunikasi
-kompetensi klinik B B
Berbagi E
-introspeksi kekuasaan
U R Peningkatan
D utilisasi
Komunikasi pelayanan
N A
Y kesehatan
Lingkungan: Otonomi A
-aman
G pasien A
-waktu N
-dukungan kepemimpinan A Peningkatan
Berbagi
-hubungan interdisiplin Partisipasi pasien pengambilan outcome
N keputusan kesehatan
Universitas Indonesia
yang merasa dibutuhkan pasien dan mengambil keputusan untuk pasien dan bukan
membantu pasien untuk mengambil keputusan. Henderson (2003) menemukan
beberapa faktor yang menyebakan terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang
yaitu perawat memberi informasi, perawat mengontrol interaksi dengan pasien
dan perawat menggunakan kekuasaan.
Dari hasil didapatkan tiga tema yang berkaitan dengan proses partnership antara
perawat sebagai peneliti dan pasangan dengan istri yang mengalami kesulitan
bernafas. Tema yang didapatkan yaitu: koherensi hidup dengan gejala dan
regimen pengobatan, hidup sepenuhnya dan mengambil hal-hal saat mereka
datang, dan efisiensi penggunaan pelayanan kesehatan.
Universitas Indonesia
Dari beberapa studi tentang model di atas dapat disimpulkan bahwa masing-
masing model memiliki fokus sentral yang berbeda-beda. Model partnership care
dari Endo, 2000 menekankan pada pola pengenalan keluarga dalam hal ini pada
pengenalan pola keluarga pada pasien kanker. Dalam pengenalan pola keluarga ini
ditemukan 5 proses transformasi dari pola keluarga yang dimulai dari perhatian
terhadap evolusi pola keluarga, pengakuan pola keluarga, penerapan makna pola
keluarga, caring dan potensi, dan transformasi pola keluarga. Pola keluarga ini
merupakan transformasi proses partnership sebagai intervensi keperawatan dalam
merawat pasien kanker. Dari model partnership ini dapat disimpulkan bahwa
pola pehamanan yang sama dalam hal ini pola keluarga merupakan inti dari model
partnership untuk mencapai tujuan yaitu merawat keluarga dengan pasien kanker.
Pengenalan pola keluarga merupakan hal yang penting dalam proses patnership
tetapi masih memiliki kelemahan bahwa model ini belum menjelaskan tahapan
proses partnership dalam proses asuhan keperawatan.
Universitas Indonesia
2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model Pender
dan Model Partnership.
Menurut King setiap individu adalah personal yang tercermin melalui persepsi,
diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran, ruang, waktu
dan koping. King menekankan bahwa manusia memiliki perasaan dan persepsi,
makhluk sosial, rasional, memiliki kontrol, bertujuan dan berorientasi pada
tindakan dan berorientasi pada waktu. Diri merupakan konsep kedua dari sistem
personal yang merupakan individu secara keseluruhan. Pengalaman dan persepsi
yang tersimpan dalam diri seseorang adalah apa yang membentuk diri. Sikap,
gagasan, kebutuhan, nilai, tujuan dari individu dan sifat genetik merupakan faktor
yang mempengaruhi diri. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan konsep
ketiga dari sistem personal King, King mengidentifikasi bahwa pengalaman hidup
dan lingkungan yang positif maupun negatif mempengaruhi perubahan individu.
Gambaran diri merupakan konsep sistem personal yang dipengaruhi oleh
lingkungan dan persepsi, dengan demikian gambaran diri dianggap suatu hal yang
subyektif. Ruang adalah lingkungan dimana perawat dan pasien berinteraksi,
waktu digambarkan sebagai periode dari peristiwa yang dialami oleh setiap
individu. Pembelajaran dan koping adalah konsep yang ditambahkan terakhir oleh
King.
Sistem interpersonal terjadi ketika individu berinteraksi satu dengan yang lain
seperti interaksi antara perawat, pasien dan keluarga. Konsep yang berhubungan
dengan sistem interpersonal adalah peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan
komunikasi. Peran merujuk pada seperangkat perilaku yang diharapkan seseorang
dalam posisi spesifik dalam sistem sosial. Peran dalam sistem interpersonal
Universitas Indonesia
Sistem sosial berkembang sebagai hasil dari sistem personal yang lebih besar
seperti keluarga, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat. Dalam sistem
sosial terdapat konsep kekuasaan, otoritas, pengambilan keputusan, organisasi dan
status. Sistem sosial dapat digunakan sebagai sistem pendukung bagi pasien yaitu
berupa dukungan keluarga dan dukungan dari sistem pelayanan kesehatan.
Dalam promosi kesehatan pasien seringkali pasif dan sedikit bertanya, dengan
pendekatan sistem interaksi pasien dapat termotivasi untuk terlibat secara aktif
Universitas Indonesia
dan berdiskusi tentang manfaat dan hambatan untuk melaksanakan tindakan untuk
mencapai kepatuhan. Kerangka teori yang digunakan dalam membangun model
peningkatan kepatuhan adalah model partnership, dalam model partnership
menekankan adanya persamaan, kesejajaran dan keterbukaan, prinsip ini
digunakan dalam interaksi perawat-pasien dimana perawat harus memposisikan
diri sebagai fasilitator yang memiliki persamaan tujuan yaitu kepatuhan pasien
untuk mencapai kesembuhan. Sistem interaksi harus menekankan keterbukaan
antara perawat pasien sehingga akan mudah untuk mengkaji, menganalisis dan
melakukan intervensi segala permasalahan. Aspek kesejajaran ditekankan bahwa
walaupun perawat lebih tahu tentang masalah kesehatan, akan tetapi yang
memiliki permasalahan adalah pasien. Sehingga pasienlah yang berhak
memutuskan apa yang terbaik untuk mereka dan perawat hanya sebagai fasilitator
dan edukator.
Universitas Indonesia
Aplikasi kerangka kerja sistem interaksi King, health promotion model (HPM)
Pender dan model partnership sangat dimungkinkan untuk mengembangkan
model peningkatan kepatuhan pada pasien TB paru. Dalam penelitian ini teori
HPM Pender dan model partnership digunakan sebagai kerangka teori untuk
membangun model. Faktor biologis pada HPM merupakan faktor yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku digunakan sebagai faktor perancu yang
mempengaruhi hubungan model dengan variabel dependen. Model partnership
diterapkan sebagai salah satu komponen komunikasi dalam interaksi yang
menanamkan adanya kesejajaran antara perawat-pasien. Berdasarkan hal tersebut
di atas penulis merasa perlu menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan
teori untuk penelitian.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dalam bab 3 ini akan menguraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis
penelitian dan definisi operasional dari variabel pengembangan model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel dependen
yaitu pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan kepatuhan nutrisi
dan kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
Kerangka konsep merupakan struktur dari konsep dan atau teori yang diletakkan
secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu penelitian. Dalam
kerangka konsep menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan
kepatuhan pengobatan.
Kerangka konsep pada penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu kerangka
konsep penelitian tahap 1 dan kerangka konsep penelitian tahap 2. Di bawah ini
digambarkan kerangka konsep penelitian tahap 1 sebagai berikut:
Model
peningkatan
Studi Studi Konsultasi kepatuhan
literatur kualitatif pakar berbasis teori
sistem interaksi
King
74 Universitas Indonesia
Variabel perancu
Usia
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Status perkawinan
Pekerjaan
Universitas Indonesia
3.2 Hipotesis
Hipotesis mayor:
Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
efektif meningkatkan kepatuhan pasien TB paru
Hipotesis Minor:
1) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
2) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.
3) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.
4) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.
5) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru.
6) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
7) Terdapat hubungan variabel perancu:usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Universitas Indonesia
Variabel Independen/
Intervensi
Model peningkatan Serangkaian intervensi Model yang 1. Pasien yang kategorik
kepatuhan berbasis teori keperawatan yang bertujuan dikembangkan dan mendapatkan
sistem interaksi King untuk meningkatkan diujicobakan kepada model peningkatan
kepatuhan pasien TB paru pasien TB Paru. kepatuhan
dengan memperhatikan Peneliti sendiri yang
sistem interaksi pasien yaitu menerapkan uji coba 2. Pasien yang
sistem personal, sistem model kepada pasien tidak mendapatkan
interpersonal dan sistem TB Paru model kepatuhan
sosial
Variabel dependen:
pengetahuan Pengetahuan pasien tentang Kuesioner Pasien mengisi Skor (0-100) Numerik
TB paru yang meliputi kuesioner
pengetahuan sakit dan
penyakit, pemeliharaan
kesehatan dan kesehatan
lingkungan
Self Efficacy Keyakinan pasien bisa kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
mencapai hasil yang baik kuesioner Skor 10-50
dalam pengobatan
Motivasi Dorongan untuk bertindak Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
melakukan pengobatan dan kuesioner Skor 10-50
perawatan untuk mencapai
kesembuhan
Kepatuhan: Pencegahan Tindakan pasien mencegah Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) Numerik
penularan penularan kepada orang lain kuesioner Skor 10-50
Universitas Indonesia
Kepatuhan: nutrisi Tindakan pasien Kuesioner Pasien mengisi Skala Likert (1-5) numerik
untuk menkonsumsi kuesioner Skor (10-50)
diet ETPT (energi
tinggi protein tinggi)
PARAMETER
Perubahan berat Timbangan BB Penimbangan BB BB dalam kg numerik
badan pada akhir pasien
bulan ke-2 dan ke-5
pengobatan
Kepatuhan pengobatan Ketepatan pasien minum Dosis Menghitung pil 1. Sesuai
obat sesuai waktu, dosis, dan 2. tidak sesuai kategorik
lama pengobatan
Cara Kuesioner 1. Satu kali kategorik
satu waktu
2. Beberapa
waktu
Waktu kuesioner 1. Sebelum kategorik
makan
2. Setelah
makan
Formulir TB-01 dan Pendataan pasien 1. Patuh kategorik
formulir TB-02 melalui 2. Tidak patuh
kunjungan, (drop out)
menghitung
jumlah obat,
bungkus dan sisa
obat
Variabel perancu
Faktor personal
usia Umur pasien sejak lahir Angket Wawancara Golongan usia kategorik
sampai hari penelitian tentang usia menurut depkes,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap pertama adalah
pengembangan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar
dan tahap kedua adalah validasi model menggunakan desain quasi eksperimen.
80 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Langkah pertama yang dilakukan adalah melihat catatan medik pasien yang
berobat di poli paru. Pasien yang dipilih adalah pasien yang terakhir kontrol
ke rumah sakit yaitu akhir bulan ke-5 dan menunjukkan BTA negatif . Hal
lain yang disiapkan adalah ruangan untuk wawancara. Setelah itu dilakukan
wawancara pada pasien yang memenuhi kriteria dengan sebelumnya
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Populasi
(Pasien Tuberkulosis Paru)
Populasi yang diteliti adalah pasien TB paru yang tinggal di Kota Surabaya
berdasarkan data pasien yang masuk rumah sakit dan kontrol rutin di Poli Paru RS
Haji Surabaya dan RS Ibu Sina Gresik tahun 2014.
Universitas Indonesia
Keterangan:
= level of significance (%)
1- = Power of test (%)
P1 = Proporsi kelompok intervensi
P2 = Proporsi kelompok kontrol
n = sample size
Universitas Indonesia
1. Kerahasiaan ( Confidentially)
Di dalam penelitian ini aspek kerahasiaan dilakukan dengan cara: Peneliti
menjelaskan kepada responden bahwa semua data yang diperoleh dijaga
kerahasiaanya oleh peneliti. Hanya data-data mengenai demografi,
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi,
kepatuhan pengobatan dan berat badan yang disampaikan tanpa menyebutkan
nama responden. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar
pengumpulan data, peneliti hanya menggunakan kode yang diketahuinya,
dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden.
2. Menghargai martabat manusia (respect for persons)
Dalam menghargai martabat manusia peneliti memberikan penjelasan tentang
penelitian kepada responden dan diminta kesediannya untuk menjadi
responden penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa keikutsertaaan dalam
penelitian bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Pasien TB paru sebagai
responden memiliki hak untuk mengikuti atau menolak penelitian setelah
memperoleh penjelasan dan menandatangani surat persetujuan penelitian
(informed consent). Pada penelitian ini tidak ada pasien yang menolak
keikutsertaannya dalam penelitian.
3. Kemanfaataan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence)
Prinsip kemanfaataan dalam penelitian ini dipenuhi dimana hasil penelitian
yang diperoleh bermanfaat dalam peningkatan kepatuhan pasien untuk asuhan
keperawatan pasien berikutnya. Prinsip tidak merugikan dalam penelitian ini
terpenuhi dimana penelitian ini hanya memberikan model peningkatan
kepatuhan, pemberian kuesioner dan observasi yang tidak memberikan
tindakan invasif atau apapun yang dapat merugikan pasien.
Universitas Indonesia
4. Keadilan (justice)
Untuk melaksanakan prinsip keadilan dalam penelitian ini maka kelompok
kontrol dalam hal ini pihak RS Ibnu Sina Gresik akan diberikan penawaran
untuk memperoleh intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King setelah selesai penelitian.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Validitas atau disebut juga kesahihan menunjukkan berapa dekat suatu alat ukur
menyatakan apa yang seharusnya diukur. Kesahihan pengukuran dipengaruhi oleh
bias pengukuran (bias pengamat, bias subyek dan bias instrument), makin besar
bias maka akan makin kurang sahih pengukuran. Instrumen yang digunakan diuji
tingkat kevalidan dengan melakukan analisis item. Alat ukur yang digunakan
menggunakan alat ukur yang telah terstandar dan telah dilakukan kalibrasi
(peneraan ulang). Dilakukan pelatihan pada semua tenaga pengumpul data
sehingga memiliki keseragaman dalam melakukan pengukuran. Uji validitas
dilakukan melalui perbandingan nilai r hitung tiap item dengan nilai r tabel.
Intrumen valid jika r hitung masing-masing pernyataan lebih besar dari r tabel.
Instrumen di uji cobakan kepada 30 responden maka diperoleh nilai r tabel dengan
degree of freedom 28 (30-2) adalah 0.2407.
Universitas Indonesia
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel
yang diukur dalam penelitian yaitu dengan distribusi frekuensi. Pada
penelitian ini, variabel yang dianalisis secara univariat adalah
karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan dan status perkawinan. Variabel penelitian dengan data
Universitas Indonesia
2. Analisis Bivariat
Uji bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan proporsi dan
perbedaan rata-rata pada kedua kelompok. Uji yang digunakan
adalah uji chi square dan independent t test. Uji chi square digunakan
untuk melihat perbedaan proporsi jenis kelamin, usia, pendidikan,
status perkawinan dan pekerjaan.. Uji chi square juga digunakan
untuk melihat perbedaan proporsi kepatuhan dalam pengobatan TB
paru. Uji independent t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-
rata pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan
kepatuhan nutrisi.
3.Analisis Multivariat
Uji general linier model repeated measure (GLM-RM) digunakan
untuk melihat adanya perbedaan pada variabel yang diukur secara
berulang. Pengukuran terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dilakukan sebanyak tiga
kali yaitu sebelum diberikan intervensi, pada akhir bulan ke-2 dan
akhir bulan ke-5 setelah intervensi. Uji multivariat analysis of
covariance (Mancova) digunakan untuk menguji apakah variabel usia,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan
merupakan variabel perancu atau bukan.
Keseluruhan proses peneltian tahap 1 dan tahap 2 dapat dijelaskan pada kerangka
kerja di bawah ini:
Universitas Indonesia
Studi Literatur
Assesment dengan
1.Teori sistem interaksi studi kualitatif :
dan pencapaian tujuan, Konsultasi pakar
King (1971, 1981) Pengalaman pasien
TAHAP I TB paru dalam upaya
2. Model partnership, mencapai kepatuhan
Mohammadi, (2006) berbasis teori sistem
interaksi King
3. Kepatuhan pasien TB
Kepatuhan pasien:
Pengetahuan
self efficacy,
(Uji coba) motivasi
Terbentuknya model
pencegahan
peningkatan kepatuhan Model peningkatan penularan
berbasis teori sistem kepatuhan berbasis teori kepatuhan nutrisi
TAHAP II : Validasi
interaksi King sistem interaksi King kepatuhan
pengobatan
Faktor perancu
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Status perkawinan
5. Pekerjaan 94
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Universitas Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan hasil penelitian tahap I yaitu pengembangan model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berdasarkan studi
literatur, penelitian kualitatif dan konsultasi pakar.
5.1.1.2 Tema
Setelah data dianalisis ditemukan 12 tema sebagai hasil penelitian. Tema-tema
tersebut diuraikan berdasarkan tujuan penelitian yaitu kepatuhan pasien TB paru
dalam pengobatan berbasis sistem personal, kepatuhan pasien TB paru dalam
pengobatan berbasis sistem interpersonal dan kepatuhan pasien dalam pengobatan
berbasis sistem sosial. Pada tema yang luas teridentifikasi melalui subtema-
subtema dan subtema teridentifikasi melalui kategori-kategori. Sedangkan pada
tema yang spesifik hanya teridentifikasi melalui ketegori-kategori.
95 Universitas Indonesia
Katogori sembuh jika dokter yang menyatakan sembuh didukung oleh pernyataan:
“...diingatkan kalo sembuh itu harus kata dokter bukan oleh diri sendiri
atau orang lain.” (P2)
“....Sembuh itu harus kata dokter....” (P4)
Universitas Indonesia
Subtema pencegahan penularan pada kategori cara batuk dan buang dahak
didukung oleh pernyataan:
“...komunikasinya pakai masker, ...batuk ditutup, buang dahak gak
sembarangan” (P1)
“kalo batuk dan bersin menutup mulut, buang dahak ke saluran air” (P6)
Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan yang didukung oleh
pernyataan:
“Ya biasa saja mbak, nasi, sayur tahu tempe, gak macam-macam” (P5)
“...nasi, sayur, ikan, tahu, tempe,asalkan goreng-gorengan dikurangi” (P8)
Universitas Indonesia
“....di rumah ya seperti biasa merawat suami, paling ikut pengajian” (P4)
Tema disiplin minum obat terdiri dari kategori waktu minum obat 1 jam sebelum
makan dan menggunakan alarm sebagai pengingat.
Kategori waktu minum obat didukung oleh pernyataan:
“minum obat harus rutin, minum jam 6 malam 1 jam sebelum makan” (P1)
“....jam 6 sore habis magrib” (P2)
Kategori menggunakan alarm sebagai pengingat didukung oleh pernyataan:
“ ...saya pakai alarm..” (P2)
“konsep saya ya di alarm” (P8)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Subtema melakukan kegiatan di masyarakat dengan kategori ikut arisan dan ikut
pengajian didukung oleh pernyataan:
“...ya kalo badan sudah sehat sudah mulai ikut aktif lagi pengajian di
masjid” (P1)
“...ikut pengajian, ikut arisan RT mbak” (P4)
Tema mengelola stres yang dialami selama sakit terbagi menjadi tiga subtema
yaitu stres yang dialami dengan kategori penurunan berat badan, jenuh minum
obat dan jenuh bolak-balik ke RS, subtema penyebab stress dengan kategori
waktu pengobatan yang lama dan subtema penanganan stres dengan kategori
menganggap sebagai rekreasi, berdiskusi dengan keluarga dan berdiskusi dengan
sesama pasien. Subtema stres yang dialami didukung oleh pernyataan:
Universitas Indonesia
Subtema mengetahui wewenang poli paru terdiri dari kategori pemberian OAT
sesuai program pemerintah didukung oleh pernyataan:
“dari awal sudah dijelaskan kalo sakit paru seperti saya masuk dalam
program pemerintah dan akan dipantau terus”. (P2)
“...awal sakit didata sama perawat kalo masuk program pemerintah,
diawasi terus, kalo gak balik ke RS akan dicari” (P6)
Subtema menyadari status sebagai pasien rumah sakit dengan kategori patuh pada
aturan RS didukung oleh pernyataan:
“ya kalo berobat sesuai jadwal mbak, selasa dan rabu” (P1)
”....kalo berobat setiap selasa-rabu”, “kalo keluar kota sama perawatnya
boleh datang sebelum waktu kontrol asal di selasa atau rabu” (P2)
Tema mampu mengambil keputusan terdiri dari kategori: pengobatan di poli paru
dan kategori dirujuk ke tempat lain hal ini didukung oleh pernyataan:
Universitas Indonesia
Keseluruhan analisis tema dan subtema dapat dilihat pada tabel di bawah ini dapat
dilihat pada lampiran 8.
Dari hasil tema di atas dapat digambarkan sistem personal, sistem interpersonal
dan sistem sosial pasien yang patuh. Pada sistem personal, pasien TB paru yang
patuh memiliki presepsi yang positif, memiliki kesadaran diri untuk sembuh,
tumbuh kembang yang optimal, gambaran diri yang positif , lingkungan yang
sehat, disiplin minum obat dan memiliki koping yang efektif. Pasien yang patuh
memiliki persepsi yang positif mengenai pengobatan TB paru, pencegahan
penularan dan nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan. Pasien juga
memiliki kesadaran diri kalo penyakitnya dapat disembuhkan dan rajin berobat
walau harus datang sendiri. Pasien yang patuh memiliki tumbuh kembang
optimal karena masih meemiliki harapan akan masa depan yang lebih baik dan
mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien memiliki
gambaran diri yang positif yaitu tidak malu memakai masker dan tidak malu berat
badan turun. Pasien disiplin minum yaitu selalu minum obat 1 jam sebelum makan
dan menggunakan alarm sebagai pengingat. Pasien juga memiliki koping yang
efektif selama pengobatan TB paru karena mampu menerima kondisi yang
dialami dan selalu berfikir positif.
Pada sistem interpersonal, pasien yang patuh adalah pasien yang memiliki
komunikasi yang terbuka dengan tenaga kesehatan dan keluarga, yang mampu
menjalankan perannya secara optimal, yang mampu menyeimbangkan stres
selama sakit. Pasien mengatakan bahwa selama sakit dan berobat selalu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan perawat dan dokter. Perawat dan dokter
bersikap ramah dan selalu terbuka dan mau mendengarkan keluhan pasien dan
memberikan informasi yang dibutuhkan. Keluarga dapat menerima pasien dan
selalu mendukung pasien untuk menjalani pengobatan. Selama berobat tidak ada
kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah ataupun pekerjaan. Sekolah dan
kantor menerima ijin selama ada surat keterangan istirahat/sakit dari dokter.
Universitas Indonesia
Pasien yang patuh mengatakan bahwa pada awal pengobatan yang menyebabkan
stres adalah jenuh minum obat dan jenuh bolak balik ke RS tetapi lama kelamaan
menjadi hilang dan ringan menjalani pengobatan.
Pada sistem sosial, pasien yang patuh memiliki pengetahuan mengenai prosedur
pelayanan kesehatan di RS dan mampu mengambil keputusan untuk berobat di
RS. Pengetahuan mengenai prosedur pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan
organisasi pelayanan di poli paru, dan mengetahui kekuasaan dan wewenang yang
dimiliki poli paru serta pasien menyadari status dirinya sebagai pasien yang harus
patuh dengan peraturan RS. Dalam kemampuan pengambilan keputusan, pasien
yang patuh memilih melanjutkan pengobatan di RS karena lokasi rumah yang
lebih dekat dan karena RS memiliki dokter spesialis paru, perawat yang ahli dan
lokasi RS yang dekat dari rumah.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
yang dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien TB paru dengan
meningkatkan sistem interaksi perawat-pasien secara terus menerus berdasarkan
sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Media
pembelajaran yang dibuat dalam bentuk booklet yang representatif dan sesuai
dengan tingkat pemahaman pasien.
Model yang diberikan kepada pasien adalah bertujuan untuk meningkatkan sistem
personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Dalam model ini terdiri
dari 8 kali pertemuan yaitu dari awal pasien terdiagnosis sampai akhir bulan ke-5
pengobatan. Pertemuan pertama pada pasien dimulai saat awal pasien terdiagnosis
TB paru. Pada pertemuan ini yang perlu ditingkatkan pada sistem personal adalah:
menciptakan lingkungan yang nyaman untuk interaksi perawat-pasien di RS,
menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dan
meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh. Pada sistem interpersonal yang perlu
dilakukan pada pertemuan pertama adalah meningkatkan komunikasi perawat-
pasien dan pasien keluarga. Pada sistem sosial yang perlu ditingkatkan adalah
memfasilitasi pengambilan keputusan pasien untuk menjalankan pengobatan
meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pelayanan RS.
Pertemuan ke-2 dilakukan pada akhir minggu ke-2 pengobatan, pada pertemuan
ini yang dilakukan adalah meningkatkan sistem interpersonal yaitu meningkatkan
komunikasi perawat-pasien secara terus menerus dan untuk meningkatkan sistem
personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif dengan memberikan
pembelajaran tentang pencegahan penularan dan lingkungan yang sehat untuk
penyembuhan pasien TB paru dan sistem sosial untuk menjelaskan prosedur
pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kesadaran pasien akan statusnya
sebagai pasien untuk patuh pada peraturan RS. Pada pertemuan ke-3 yaitu pada
akhir minggu ke-4 meningkatkan sistem interpersonal yaitu komunikasi perawat-
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Berikut ini skema model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King :
Sistem Interaksi Perawat-Pasien
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
sistem interaksi yang dinamis. Fokus keperawatan dalam meningkatkan sistem
personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru,
meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang,
meningkatkan gambaran diri yang positif, mengoptimalkan lingkungan yang
sehat, menumbuhkan disiplin minum obat dan meningkatkan koping pasien. Pada
sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien dan pasien
keluarga, mengoptimalkan peran pasien selama sakit serta menyeimbangkan stres
yang dialami pasien. Sedangkan fokus pada sistem sosial adalah perawat
Universitas Indonesia
Panduan ini menjelaskan tentang prosedur intervensi model yang dilakukan oleh
perawat kepada pasien yang terdiri dari intervensi untuk meningkatkan sistem
personal pasien, intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal pasien dan
intervensi untuk meningkatkan sistem sosial pasien. Model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King secara keseluruhan terdiri dari
delapan kali pertemuan yaitu 8 kali pemberian edukasi dan 2 kali monitoring dan
evaluasi yaitu pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5. Model ini dilakukan
oleh peneliti sendiri, tetapi secara umum model ini harus dilakukan oleh perawat
dengan pendidikan minimal S1 Ners. Namun dalam pelaksanaannya jika terdapat
kekurangan sumber daya perawat maka dapat dilakukan oleh perawat dengan
minimal pendidikan D III dan telah mendapat sertifikasi atau pelatihan tentang TB
paru. Materi pendidikan kesehatan disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Berikut
ini adalah uraian kegiatan implementasi model:
Pada sistem personal, pasien TB paru agar patuh harus diberikan pembelajaran
dan motivasi agar persepsi menjadi positif atau benar. Pembelajaran yang
diberikan meliputi konsep TB paru, lama pengobatan, pencegahan penularan dan
nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan pasien. Pasien diberikan
keyakinan dan kesadaran diri bahwa sakitnya bisa disembuhkan asalkan pasien
patuh. Pasien dibantu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dengan cara
berdiskusi bahwa walaupun kondisi sakit tapi masih bisa meraih cita-cita atau
merawat anak asal tahu cara mencegah penularan. Pasien diberikan penjelasan
walaupun sakit dan harus memakai masker atau terjadi penurunan berat badan,
Universitas Indonesia
tidak perlu malu karena perubahan tersebut sifatnya sementara, dan justru harus
patuh agar berat badan bisa kembali normal dan tidak harus menggunakan
masker. Pasien diajak berdiskusi dan diberikan penjelasan agar menerima sakit
sebagai ujian, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, dengan keluarga dan rajin
berdiskusi dengan pasien lain agar bisa berbagi pengalaman mengenai sakit yang
dialami.
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin dengan proporsi terbesar adalah laki-
laki pada kedua kelompok. Usia responden pada kelompok intervensi maupun
Universitas Indonesia
kelompok kontrol proporsi terbanyak pada usia 18-45 tahun yaitu pada kelompok
intervensi sebesar 68% dan pada kelompok kontrol sebesar 62%. Pekerjaan pada
kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi pada bekerja yaitu sebesar 84%
sedangkan pada kelompok kontrol memiliki proporsi yang sama pada kelompok
bekerja maupun tidak bekerja yaitu sebesar 50%. Tingkat pendidikan pada
kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi yaitu pada pendidikan SMA dan
PT yaitu sebesar 76% sedangkan kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar
pada tingkat pendidikan SD dan SMP yaitu sebesar 54%. Status perkawinan pada
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar pada
status perkawinan sudah menikah, pada kelompok intervensi sebesar 74% dan
80% pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
karakteristik responden pada jenis, umur, status perkawinan dengan nilai p>0.05,
berarti kedua kelompok setara. Sedangkan status pekerjaan dan tingkat pendidikan
tidak memiliki nilai kesetaraan sehingga variabel ini berpotensi sebagai variabel
perancu. Untuk selanjutnya keselurahan variabel ini diuji apakah mempengaruhi
pengaruh model intervensi terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,
pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.
Pada tabel di bawah ini akan ditampilkan hasil uji variabel pengetahuan, self
efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model.
Universitas Indonesia
Dari hasil uji independent t test menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat
pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
dengan nilai p>0.05 sehingga kedua kelompok setara. Kepatuhan pengobatan
tidak dilakukan karena pengukuran kepatuhan dilakukan hanya pada pengukuran
post test1 dan pos test 2.
Di bawah ini akan diuraikan hasil uji normalitas data pengetahuan, self efficacy,
motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi sebelum dan setelah
intervensi.
Tabel. 5.4 Uji normalitas data pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan
penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sebelum dan setelah intervensi
Variabel Signifikansi
1. Pengetahuan pre p=0.140
2. Pengetahuan post 1 p=0.030
3. Pengetahuan post 2 p=0.000
4. Self efficacy pre p=0.204
5. Self efficacy post 1 p=7.660
6. Self efficacy post 2 p=0.000
7. Motivasi pre p=0.524
8. Motivasi post 1 p=0757
9. Motivasi post 2 p=0.010
10. Pencegahan penularan pre p=0.032
11. Pencegahan penularan post 1 p=0.000
12. Pencegahan penularan post 2 p=0.558
13. Kepatuhan nutrisi pre p=0.000
14. Kepatuhan nutrisi post 1 p=0.226
15. Kepatuhan nutrisi post 2 P=0.816
Dari hasil uji normalitas data di atas dapat terlihat sebagian besar data
berdistribusi normal atau p>0.05. Untuk selanjutnya data diuji dengan GLM-RM
untuk melihat pengaruh model dan uji mancova untuk melihat pengaruh variabel
perancu.
Universitas Indonesia
Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)
Universitas Indonesia
5.2.3 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir
bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)
Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)
Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)
Variabel Nilai p R2
Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI
Self efficacy
Sebelum 29.78 30.50 28.92-30.63 30.12 30.00 29.20-30.96 0.623
Post test 1 44.46 44.00 43.71-45.20 37.38 38.00 36.61-38.15 <0.001 0.646
Post test 2 49.06 50.00 48.63-49.48 46.79 46.00 46.35-47.28 <0.001 0.364
p1 (p<0.001, R2=0.475), p2 (p<0.001, R2=0.526)
P interaksi < 0.001, R2=0.406
Universitas Indonesia
Dari tabel 5.6 menunjukkan nilai rata-rata self efficacy mengalami peningkatan
antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan self
efficacy antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan
intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
(p=0.623), akan tetapi terdapat perbedaan self efficacy setelah 2 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.6% dan sesudah 5 bulan intervensi
(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 36.4%.
Universitas Indonesia
Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)
Dari tabel 5.7 menunjukkan nilai rata-rata motivasi mengalami peningkatan antara
sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan motivasi antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.967), akan tetapi
terdapat perbedaan motivasi setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 67.5% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan
perbedaan 85%.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi
King.(n=97)
Universitas Indonesia
Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi model
peningkatan kepatuhan nutrisi berbasis teori sistem interaksi
King.(n=97)
Intervensi Kontrol
Variabel
Mean Median Mean Median p
1. BB awal 51.83 52.00 50.06 50.00 0.246
2. BB1 54.30 54.00 51.81 52.00 0.104
3. BB2 56.08 56.00 53.32 53.00 0.067
4. ∆BBawal-BB1 2.36 2.00 1.96 2.00 0.012
5. ∆BB1-BB2 1.80 2.00 1.51 1.00 0.039
Tabel 5.10 mendukung perbedaan kepatuhan nutrisi pada pasien TB paru, dalam
tabel dapat dilihat peningkatan berat badan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Setelah 2 bulan intervensi kelompok intervensi mengalami
rata-rata peningkatan berat badan sebesar 2.36 kg sedangkan kelompok kontrol
mengalami rata-rata peningkatan berat badan sebesar 1.96 kg (p=0.012),
sedangkan setelah 5 bulan intervensi rata-rata peningkatan berat badan pada
kelompok intervensi sebesar 1.80 kg dan pada kelompok kontrol sebesar 1.51 kg
(p=0.039)
Universitas Indonesia
Kepatuhan pengobatan pasien TB paru berdasarkan cara minum obat (satu kali
dalam satu waktu atau beberapa kali dalam beberapa waktu), dosis pengobatan,
waktu minum obat (1 jam sebelum makan atau sesudah makan) dan kepatuhan
pengobatan selama 6 bulan didapatkan hasil sebagai berikut:
Dari tabel 5.10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cara minum OAT pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2 bulan pemberian intervensi
Universitas Indonesia
(p=0.001). Pada kelompok intervensi 100% responden minum OAT dalam satu
waktu sedangkan pada kelompok kontrol ada 11 responden (23.4%) yang masih
minum OAT dalam beberapa waktu (pagi, siang dan malam). Dosis minum OAT
pada kelompok intervensi atau kelompok kontrol tidak ada perbedaan, kedua
kelompok minum obat sesuai dengan dosis yang diberikan. Terdapat perbedaan
waktu minum obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2
bulan intervensi (p=0.005), setelah 2 bulan intervensi 100% kelompok intervensi
minum OAT 1 jam sebelum makan, sedangkan pada kelompok kontrol 7 (14.9%)
responden minum OAT setelah makan. Pada akhir intervensi (setelah 5 bulan)
tidak terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi tidak ada responden yang
drop out sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 (6%) responden yang drop out
pengobatan.
Universitas Indonesia
Tabel 5.12. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara
kelompok
Pengukuran
Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5
Jenis kelamin p=0.275 p=0.943
Umur p=0.255 p=0.189
Pekerjaan p=0.403 p=0.915
Pendidikan p=0.001 p=0.000
Status perkawinan p=0.722 p=0.242
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hanya variabel pendidikan (p<0.05)
yang merupakan variabel perancu. Untuk selanjutnya varaiabel mana saja yang
dipengaruhi oleh variabel pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.13. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara
kelompok berdasarkan variabel
Pengukuran
Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5
Pengetahuan p=0.000 Pengetahuan p=0.000
Self efficacy p=0.918 Self efficacy p=0.913
Pendidikan Motivasi p=0.756 Motivasi p=0.376
Pencegahan p=0.261 Pencegahan p=0.327
penularan penularan
Kepatuhan p=0.108 Kepatuhan p=0.428
nutrisi nutrisi
Dari tabel 5.13 di atas dapat dilihat bahwa variabel pendidikan merupakan
variabel perancu bagi pengaruh model intervensi peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pembronia (2012) yang meneliti
tentang pengaruh motivational interviewing terhadap motivasi dan kemandirian
penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa motivational interviewing
meningkatkan pengetahuan pasien TB paru. Penelitian senada dilakukan Prayogi
(2014) yang meneliti pengaruh psychoeducative family therapy terhadap
kepatuhan pasien TB paru, dari hasil didapatkan bahwa pasien yang diberi
psychoeducative family therapy memiliki pengetahuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak memperoleh perlakuan. Walaupun intervensi
dari penelitian ini berbeda dengan dengan intervensi model peningkatan
kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, namun masih memiliki kesamaan
yaitu sama-sama memberikan pembelajaran yang tepat ke pasien mengenai TB
paru.
Penelitian yang hampir sama yaitu penelitian Sekarsari (2013) yang meneliti
tentang efektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan konseling terhadap
perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan, readmission dan atau kematian
pasien gagal jantung. Persamaan dengan model peningkatan interaksi King
adalah sama-sama memberikan edukasi dan interaksi kepada pasien selama kurun
waktu 6 bulan. Pasien yang diberikan edukasi secara terus menerus akan
meningkatkan pengetahuannya.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Aini, Fatmaningrum & Yusuf
(2011) yang meneliti tentang upaya meningkatkan perilaku pasien dalam
tatalaksana Diabetes Mellitus dengan pendekatan teori model behavioral system
Dorothy E.Johnson. Persamaan dengan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King adalah sama-sama memberikan intervensi berupa
edukasi dan pemberian motivasi. Dari hasil didapatkan bahwa pasien yang
diberikan edukasi dan motivasi akan meningkat tingkat pengetahuannya
dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi.
Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian Ibrahim, Mardiah dan
Priambodo (2014) yang meneliti tentang pengetahuan, sikap, dan praktik
Universitas Indonesia
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Lamak, Kusnanto dan Dewi
(2014) tentang pengetahuan, self efficacy dan stres pasien kusta melalui penerapan
support group dengan pendekatan teori adaptasi, pada hasil didapatkan bahwa
support group dapat meningkatkan pengetahuan pasien. Walaupun intervensi
yang diberikan berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King namun masih memiliki persamaan yaitu pada intervensi
pasien mendapatkan informasi mengenai penyakit dan penanganannya.
Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Loriana, Thaha dan
Ramdan (2007) yang meneliti tentang efek konseling terhadap pengetahuan, sikap
dan kepatuhan berobat pada penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa ada
pengaruh efek konseling terhadap peningkatan pengetahuan pasien TB paru.
Konseling pada pasien TB pada intinya adalah memberikan pembelajaran kepada
pasien TB paru, hal ini hampir sama dengan yang intervensi pada model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yaitu memberikan
informasi yang dibutuhkan pasien. Sesuai pendapat Corones, dkk (2009) bahwa
kebutuhan akan informasi pada pasien yang menjalankan pengobatan adalah
sangat tinggi.
Universitas Indonesia
Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian tahap 1 dalam tema persepsi yang
positif atau benar mengenai TB paru. Pada penelitian ini pasien mendapatkan
pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru dan pengobatan TB paru.
Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang
setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru.
Peningkatan pengetahuan pada pasien dapat dipengaruhi karena pasien selalu
berinteraksi dengan perawat dan dokter, sehingga dimungkinkan melalui interaksi
yang terus menerus dan pembelajaran yang tepat maka pasien mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman yang tepat.
Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model
intervensi yang menekankan adanya interaksi antara perawat dan pasien. King
(dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan proposisi dalam teori
pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien
maka akan terjadi transaksi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan
akan tercapai. Dalam model ini perawat menumbuhkan persepsi yang tepat agar
pengetahuan pasien dapat meningkat. Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo
(2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dalam model ini untuk mencapai
transaksi atau tujuan maka interaksi harus dilakukan secara terus menerus.
Peningkatan pengetahuan pada pasien TB paru diperlukan sebagai dasar untuk
meningkatkan perilaku yaitu kepatuhan pasien.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh
pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self efficacy dan self care activity
keluarga dan penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pasien yang bersama-sama keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan
keluarga memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Walaupun intervensi ini berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King namun masih memiliki intervensi yang hampir sama.
Pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien
mendapatkan intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal yaitu
meningkatkan komunikasi dan interaksi pasien dengan keluarga. Pasien yang
dapat melakukan komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga akan
memperoleh dukungan yang sangat kuat untuk meningkatkan keyakinan diri
sehingga merasa yakin untuk patuh menjalankan pengobatan sehingga mencapai
kesembuhan.
Sejalan dengan hasil penelitian Hendiani, Sakti dan Widayanti (2012) yang
meneliti tentang hubungan antara persepsi dukungan keluarga sebagai PMO
dengan self efficacy pasien TB paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang
memiliki persepsi positif tentang dukungan keluarga sebagai PMO memiliki
Universitas Indonesia
keyakinan diri yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian tahap 1
yang mendukung yaitu subtema komunikasi dan interaksi pasien dan keluarga
selama pengobatan dengan kategori pasien merasa nyaman berinteraksi dengan
keluarga, pasien mendapat perhatian dari pasangan dan keluarga memberi
motivasi. Pasien yang memiliki komunikasi dan interaksi yang baik dengan
keluarga akan memiliki keyakinan diri yang lebih baik dibandingkan yang tidak
memiliki komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga.
Tema lain yang mendukung adalah kesadaran diri untuk sembuh yang memiliki
kategori yakin TB paru dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang
sendiri. Pasien yang patuh memiliki keyakinan yang kuat bahwa sakit TB paru
dapat disembuhkan. Pada pasien yang patuh yang tidak memiliki atau jauh dari
keluarga, mereka memiliki keyakinan yang kuat untuk sembuh dan rajin datang
berobat di poli paru walaupun harus datang sendiri ke rumah sakit.
Pada model intervensi King salah satu intervensi yang diberikan adalah
meningkatkan sistem personal yaitu meningkatkan kesadaran diri. Pasien yang
kurang mendapat dukungan keluarga diberikan keyakinan bahwa mereka harus
mampu dan harus yakin untuk patuh hingga mencapai kesembuhan. Beberapa
komponen yang penting dalam menumbuhkan self efficacy adalah meningkatnya
pengetahuan dan sikap , tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan
yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan
akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmojo, 2010). Berdasarkan hal
tersebut pasien harus diyakinkan bahwa diri mereka sendiri yang mampu merubah
situasi dari sakit menjadi sehat walau tanpa dukungan keluarga. Pasien masih
berhak meraih cita-cita di masa depan saat sudah sembuh dari TB paru.
Pada intervensi untuk meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, pasien TB paru
diberikan contoh pasien-pasien yang patuh berobat dan mencapai kesembuhan
agar memiliki keyakinan bahwa mereka juga sanggup untuk patuh supaya dapat
mencapai kesembuhan. Dengan memberikan contoh pasien yang sembuh, sesuai
dengan pendapat Bandura (1994) di atas salah satu faktor yang mempengaruhi self
Universitas Indonesia
efficacy seseorang adalah vicarious experience, yaitu seseorang dapat belajar dari
pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti
apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan meningkat jika mengamati
keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sebaliknya self efficacy akan
menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara
dengan dirinya mengalami kegagalan.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Kholifah (2014) yang meneliti
tentang self management intervention sebagai upaya peningkatan kepatuhan pada
penderita DM. Pada hasil didaptkan bahwa self management intervention terbukti
meningkatkan pengetahuan, self efficacy dan kepatuhan pada pasien DM.
Persamaan intervensi dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem
interaksi King adalah memberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan dan
pemberian motivasi.
Dalam model ini perawat melakukan interaksi yang terus menerus dengan pasien
dan meningkatkan komunikasi yang terbuka dengan pasien dari awal intervensi
sampai terminasi. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan jika
perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai
menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan
pencapaian tujuan akan dicapai. Dalam penelitian ini terbukti bahwa self efficacy
pasien terjadi peningkatan. Self efficacy sangat diperlukan bagi pasien TB paru
agar memiliki keyakinan bahwa sakit TB paru dapat disembuhkan.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Kamil, Ibnu dan Rachman (2013) yang
melakukan penelitian kualitatif tentang media cetak komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug resistant
tuberculosis. Pada hasil ditemukan tema diantaranya media cetak KIE
memberikan dampak yang positif terhadap pasien yaitu motivasi untuk lebih giat
berobat. Persamaan dengan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori
sistem interaksi King adalah pada intervensi model menggunakan media booklet
untuk meningkatkan sistem personal dimana salah satunya adalah meningkatkan
motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarno dan Utama (2012) yang
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berobat penderita
tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan
petugas, pengetahuan dan persepsi tentang TB memberi pengaruh yang positif
terhadap motivasi untuk berobat. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King terjadi interaksi yang terus menerus antara
perawat dan pasien beserta keluarga jika keluarga turut datang ke poli paru.
Perawat selalu melibatkan keluarga dalam memberikan intervensi terutama untuk
meningkatkan sistem interpersonal pasien yaitu meningkatkan komunikasi antara
Universitas Indonesia
pasien dengan keluarga dan perawat serta dokter. Senada dengan pendapat
Mohammadi (2006) bahwa motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien
agar mau terlibat secara aktif dalam proses pengendalian penyakit. Persamaan lain
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan model
partnership Mohammadi adalah menekankan adanya proses kerjasama yang terus
menerus antara perawat dan pasien dalam proses perawatan.
Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam persepsi yang
positif atau benar tentang TB paru dimana pasien memperoleh pembelajaran yang
tepat tentang TB paru dan pengobatan TB paru. Pasien yang patuh memperoleh
pembelajaran yang tepat sehingga merasa termotivasi untuk patuh dan mencapai
kesembuhan karena tahu mengenai penyakitnya. Tema lain yang berkaitan dengan
peningkatan motivasi adalah tema mencapai tumbuh kembang yang optimal, tema
gambaran diri yang positif dan tema komunikasi yang terbuka antara pasien
dengan tenaga kesehatan dan pasien dengan keluarga.
Pasien yang memiliki persepsi yang positif atau benar akan meyakini walaupun
gejala fisik sudah hilang namun penyakit TB paru belum sembuh. Hanya dokter
yang berhak menyatakan sembuh setelah melalui serangkaian pengobatan dan
pemeriksaan untuk menyatakan bahwa sakit benar-benar sembuh. Pasien yang
memiliki persepsi yang positif merasa yakin akan sembuh dan memiliki motivasi
yang kuat untuk sembuh walaupun harus menjalankan pengobatan dalam jangka
waktu yang lama.
.
Pasien yang patuh menjalankan pengobatan adalah pasien mampu mencapai
tumbuh kembang yang optimal. Tema mencapai tumbuh kembang yang optimal
terbagi menjadi dua subtema yaitu subtema harapan masa depan yang lebih baik
dan subtema mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien
yang patuh memiliki motivasi yang kuat karena harus sembuh untuk mencapai
cita-cita di masa depan seperti mencapai gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan
yang layak dan mewujudkan harapan untuk memiliki anak. Pasien yang patuh
juga memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh karena harus menjalankan tugas
Universitas Indonesia
perkembangan secara optimal seperti mengasuh anak. Pasien yang memiliki balita
namun memiliki sakit TB paru memiliki motivasi yang lebih untuk segera sembuh
dan patuh berobat agar tidak was was anaknya tertular TB paru.
Pada tema gambaran diri yang positif, pasien yang yang patuh memiliki gambaran
diri yang positif, Walaupun pada awalnya merasa minder dengan penurunan berat
badan namun akhirnya penurunan berat badan ini menjadikan motivasi yang kuat
untuk patuh dalam pengobatan agar mencapai berat badan normal. Pasien yang
patuh juga tidak pernah merasa malu kalo harus memakai masker kemana-mana
karena tujuan memakai masker adalah untuk melindungi orang lain dari tertular
TB paru dan melindungi diri agar tidak terkontaminasi udara kotor yang dapat
menyebabkan penyakit lain atau mempeparah kondisi sakit. Pasien merasa yakin
dan termotivasi untuk sembuh agar terbebas dari memakai masker dan terbebas
dari kekhawatiran menulari orang lain.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kaona, dkk (2004) yang
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan dan
pengetahuan tentang transmisi penularan pada pasien TB paru. Hasil
menunjukkan bahwa pasien lebih banyak pasien pria dibandingkan pasien wanita
yang melakukan transmisi atau penularan TB paru (memakai tempat makan yang
sama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang tidak
mengetahui bagaimana pencegahan penularan tuberkulosis paru. Pada intervensi
model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, salah satu
intervensi yang diberikan adalah pembelajaran yang tepat mengenai pencegahan
penularan. Pasien diberikan pembelajaran bagaimana cara batuk dan bersin yang
benar, cara membuang dahak dan menggunakan alat-alat makan dan minum agar
tidak terjadi penularan.
Hasil senada dengan penelitian Widari (2010) yang meneliti tentang perbandingan
pengaruh penyuluhan kesehatan dan konseling terhadap perubahan perilaku
pencegahan penularan pada penderita tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa
tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dan
konseling terhadap perubahan pengetahuan, sikap maupun perilaku pencegahan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang berobat di poli paru.
Pada hasil ditemukan bahwa 43.5% pasien memiliki pengetahuan yang baik,
70.4% memiliki sikap yang baik dan 46.1% memiliki perilaku yang baik tentang
upaya pencegahan penularan. Dari hasil tersebut memberikan gambaran bahwa
masih diperlukan pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku
pencegahan penularan TB paru. Intervensi model King menyediakan model
pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku pencugahan penularan.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Fatimah (2008), yang meneliti
tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian
TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan
antara kejadian TB paru dengan pencahayaan, ventilasi, keberadaan jendela
dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status gizi. Lingkungan merupakan
faktor yang penting untuk mencegah terjadinya penularan. Lingkungan yang
buruk dapat meningkatkan resiko penularan yang pada akhirnya meningkatkan
angka kejadian TB paru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis
teori sistem interaksi King pasien diberikan pembelajaran dan diajak diskusi
mengenai lingkungan rumah yang sehat untuk mencegah terjadinya penularan.
Pasien diajarkan untuk membuka jendela rumah setiap hari agar sinar matahari
dan udara dapat masuk ke dalam rumah, membuat genteng kaca jika kamar tidak
memiliki jendela serta mengajarkan agar selalu menjaga kebersihan rumah.
Hasil penelitian juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1, yang menemukan
bahwa pasien yang patuh mendapatkan pembelajaran yang tepat mengenai
pencegahan penularan, dimana pasien menjelaskan cara batuk dan bersin yang
benar, menjelaskan cara membuang dahak yang benar yaitu ke saluran air, dan
saat makan mengunakan alat-alat makan dan minum secara terpisah. Pasien yang
patuh dapat menurunkan resiko orang lain tertular TB paru. Tema lain yang
mendukung adalah tema lingkungan yang sehat yang mendukung kesembuhan.
Pada kategori lingkungan rumah pasien menjelaskan bahwa rumah memiliki
jendela yang dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Lingkungan yang sehat membantu mencegah penularan dan penyebaran penyakit
Universitas Indonesia
TB paru. Pada kategori ruang RS, pada ruang poli paru ruangan tidak dilengkapi
AC (air conditioner), memiliki jendela yang banyak dan selalu dibuka mendapat
sinar matahari yang cukup karena tidak terhalang oleh bangunan lain.
King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan bahwa kerangka kerja
sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan berlandaskan pada asumsi bahwa
fokus keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun
pada tingkat kesehatan individu. Dalam model ini interaksi antara perawat dan
pasien menuntun pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan agar tahu cara
melakukan pencegahan penularan sehingga tidak menulari orang lain disekitarnya,
pasien juga diajarkan bagaimana lingkungan yang sehat agar membantu
penunjang kesembuhan. Pencegahan penularan yang dinilai dalam penelitian ini
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengukur persepsi bagaimana melakukan
pencegahan penularan. Dengan persepsi yang tepat diharapkan pasien mampu
menerapkan pencegahan penularan baik saat di hadapan petugas di rumah sakit,
saat di rumah maupun saat berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna lebih besar
antar pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (77.8%)
dibandingkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan
ke-5 intervensi (0.06%). Pengaruh terhadap kepatuhan nutrisi pada pasien dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan menumbuhkan persepsi
Universitas Indonesia
yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru dengan salah
satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi yang menunjang kesembuhan pada
pasien TB paru. Hal ini juga didukung oleh adanya perbedaan peningkatan berat
badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2.36 kg
pada kelompok intervensi dan 1.96 kg pada kelompok kontrol. Walaupun pada
kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan
kepatuhan nutrisi dan peningkatan berat badan walaupun tidak sebesar kelompok
intervensi. Hal ini dimungkinkan karena pasien pada kelompok kontrol mendapat
informasi dari media lain atau dari petugas kesehatan. Peningkatan berat badan
juga dipengaruhi oleh pengobatan selama fase intensif dimana perbaikan pada
organ paru akan meningkatkan nafsu makan pasien sehingga terjadi peningkatan
berat badan.
Senada dengan penelitian Nurhanah, Airuddin dan Abdullah (2010) yang meneliti
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada
masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan 2007. Pada hasil penelitian ditemukan
bahwa ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
nutrisi, tempat tinggal dan merokok dengan kejadian tuberkulosis. Status nutrisi
berkorelasi positif dengan kejadian TB paru. Penelitian yang hampir sama
dilakukan oleh Misnadiarly dan Sunarno (2009), yang meneliti tentang analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di
Indonesia tahun 2007. Pada hasil ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi
kejadian TB paru adalah diabetes mellitus, status nutrisi, pendidikan, pekerjaan,
merokok, usia tua dan jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Fatimah (2008) yang meneliti tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang
berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian
ditemukan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan pencahayaan,
ventilasi, keberadaan jendela dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status
gizi.
Universitas Indonesia
Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam tema persepsi
yang positif atau benar tentang TB paru dimana pasien mendapatkan
pembelajaran yang tepat tentang nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang
kesembuhan. Dengan pembelajaran yang tepat pasien dapat mengetahui dan
mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan
tubuh sehingga dapat membantu proses kesembuhan. Menurut King (dalam
Alligood & Tomey, 2006), dalam hubungan interpersonal perawat dan pasien
saling mempersepsikan, membuat keputusan dan bertindak bersama-sama. Hasil
sebuah interaksi dan jika persepsi sudah sama maka akan terbentuk transaksi.
Dalam hal ini transaksi yang terbentuk adalah kepatuhan nutrisi. Nutrisi bukan
merupakan faktor penyebab terjadinya TB paru tetapi nutrisi adalah faktor yang
dapat menyebabkan seseorang tertular TB paru atau memperberat kondisi
penyakit TB paru.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mempengaruhi kepatuhan pasien akan DOTS. Didapatkan hasil bahwa dari pasien
yang tidak patuh sebanyak 61% menyatakan tidak tahu kalo harus minum obat
setiap hari terutama saat mereka sudah merasa lebih baik. DOTS, usia muda,
pengetahuan tentang TB dan ketersediaan pendidikan kesehatan berhubungan
dengan peningkatan kepatuhan pengobatan. Dari hasil penelitian tersebut sangat
jelas bahwa ketidakpatuhan pengobatan salah satunya adalah dipengaruhi oleh
persepsi pasien yang keliru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan
berbasis teori sistem interaksi King salah satu intervensi yang diberikan adalah
menekankan pentingnya kepatuhan dan kesembuhan. Pasien biasanya setelah 2
bulan pengobatan akan merasa sembuh karena gejala-gejala sudah mulai
berkurang dan tubuh sudah mulai membaik.
Senada dengan penelitian Pasek, Suryani dan Murdani (2013) yang meneliti
tentang hubungan persepsi dan pengetahuan penderita tuberkulosis dengan
kepatuhan pengobatan. Pada hasil ditemukan bahwa penderita TB yang memiliki
persepsi positif memiliki kemungkinan patuh sebesar 21.41 kali dibandingkan
yang memiliki persepsi negatif. Tingkat pengetahuan yang baik memiliki
kemungkinan untuk patuh sebesar 16,81 kali dibandingan dengan yang
pengetahuan kurang. Dilihat dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi
memiliki pengaruh yang besar pada pasien untuk patuh. Pada intervensi model
penigkatan kepatuhan seperti telah diuraikan di atas bahwa membuat persepsi
pasien menjadi benar adalah merupakan faktor yang penting dalam model ini.
Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian kualitatif Nugroho (2011) yang
meneliti tentang faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru. Pada
hasil ditemukan bahwa faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan adalah
lama pengobatan melewati tahaf intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa
sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak
mengetahui tahapan pengobatan, tidak ada pengawas menelan minum obat,
adanya kesulitan menuju BP4 (Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru),
adanya efek samping obat, dan ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Dari
uraian di atas tampak bahwa penyebab drop out pengobatan adalah adanya
Universitas Indonesia
persepsi yang tidak tepat tentang sembuh, kurangnya pengetahuan pasien dan
kurangnya dukungan keluarga.
Pada intervensi disiplin minum obat pasien diajarkan bagaimana cara minum obat
yang tepat dan bagaimana agar tidak lupa minum obat. Dengan memberi contoh
yaitu pasien minum obat pertama kali dihadapan perawat, pasien tidak akan lupa
dan bingung cara minum obat, sehingga pasien tidak akan membagi obat dalam
nbeberapa waktu. Pasien juga diajarkan memasang alarm pada telepon selular
atau jam weker sehingga tidak akan lupa saat waktunya tiba untuk minum obat.
Saat ini sudah banyak teknologi yang diciptakan melalui jaringan telepon selular
untuk pengingat minum obat. Beberapa teknologi yang dikembangkan
diantaranya kotak minum obat yang dilengkapi dengan alarm digital, alarm
pengingat pada telepon selular berbasis android maupun blackberry, aplikasi
pengingat berbasis sms (short message service). Diantara banyaknya pilihan tentu
saja disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menggunakan teknologi
tersebut. Alarm pada telepon selular sederhana maupun alarm jam weker
merupakan pilihan yang paling seserhana dan paling mudah untuk diterapkan
pada pasien TB paru.
Universitas Indonesia
hasil ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara mekanisme koping dengan
melakukan kemoterapi. Berdasarkan hal tersebut sangatlah jelas bahwa koping
sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Meningkatkan koping pasien
menjadi konstruktif sangat menunjang tercapainya kepatuhan pasien.
Hasil penelitian ini sejalan dengan analisis refleksi dari Garcia, Cirina, Elias, Lira
dan Enders (2014) yang menganalisis interaksi profesional-pasien dalam
kepatuhan pengobatan pasien TB paru dalam persepsi model konseptual sistem
interaksi dan teori pencapaian tujuan King. Dari hasil analisis refleksi ini
didapatkan hasil bahwa persepsi, keputusan dan aksi dari profesional-pasien
ketika sudah sama akan menghasilkan transaksi yang mempengaruhi tujuan,
kualitas komunikasi profesional pasien, menjamin kepatuhan pengobatan dan
memiliki pengaruh posistif terhadap kontrol dan pengobatan TB paru. Hasil
penelitian model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King
memiliki kesamaan dengan analisis refleksi dari Garcia, dari hasil penelitian ini
diperoleh bahwa sistem interaksi perawat-pasien meningkatkan kepatuhan
pengobatan pasien TB paru, terbukti bahwa pasien yang diberikan intervensi
memiliki kepatuhan sebesar 100% dibandingkan pada kelompok kontrol yang
memiliki kepatuhan sebesar 94%.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa variabel perancu usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan tidak berhubungan dengan
pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi
pada pasien TB paru. Hanya variabel tingkat pendidikan yang berhubungan
dengan pengetahuan pasien TB paru. Tingkat pendidikan pada kelompok
intervensi sebanyak 76% berpendidikan SMA dan PT sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 46% yang berpendidikan SMA dan PT. Dalam hal ini maka tingkat
Universitas Indonesia
Sejalan dengan penelitian Islami, Asiyah dan Wardoyo (2011) yang menjelaskan
bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan
dapat membawa pengetahuan seseorang secara umum, seseorang yang
berpendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan
dengan yang berpendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian model
peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dimana responden
yang memiliki tingkat pendidikan SMA-PT memiliki pengetahuan yang lebih baik
dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan SD-SMP.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bab ini membahas tentang simpulan dari hasil penelitian yang diuraikan
berdasarkan tahapan penelitian serta saran sebagai bahan rekomendasi terhadap
kebijakan dan peningkatan pelayanan keperawatan.
7.1 Simpulan
1. Terbentuknya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi
King berdasarkan hasil temuan penelitian kualitatif, studi literatur dan
konsultasi pakar. Model ini dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 modul
yang terdiri dari 8 pokok bahasan.
2. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
efektif meningkatkan pengetahuan pasien tentang TB paru sebagai dasar
terbentuknya perilaku kepatuhan. Pengetahuan dapat dicapai dengan
meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan persepsi yang
benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB paru.
3. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan self efficacy pasien. Peningkatan self efficacy dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien
melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri
pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan
komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,
membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan
koping pasien.
4. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti
meningkatkan motivasi pasien. Peningkatan motivasi pasien dicapai
dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien
melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,
mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri
pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan
Universitas Indonesia
7.2 Saran
Saran yang diberikan berupa saran aplikatif, perkembangan keilmuan dan saran
untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:
7.2.1 Aplikatif
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R & Tomey, A.M (2006). Nursing theory: utilization &
application. Missouri: Mosby Inc
Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Asih, Suyanto & Munir (2014). Gambaran perilaku pasien TB paru terhadap
upaya pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang
berobat di poli paru. Jurnal online mahasiswa, Universitas Negeri Riau,
April 2014.
Bandura, A., (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York:
W.H.Freeman
Bam, T.S., Gunneberg, C., Chamroonsawasdi, K., Bam, D.S., Aalberg, O.,
Kasland, O., ...& Srisorrachatr. S. (2006). Factor affecting patient
adherence to DOTS in urban Kathmandu, Nepal. The International
Jurnal Tuberculosis. Vol. 10 (3) 270-76
Universitas Indonesia
Benzein, E., Johansson, P., Arestedt, K.F., & Saveman, B.I. (2008). Nurses'
attitudes about the importance of families in nursing care; a survey of
swedish nurses. Journal of Family Nursing, 14(2), 162-80.
Carpenter, B. D. (2002). Family, peer, and staff social support in nursing home
patients: contributions to psychological well-being. Journal of Applied
Gerontology, Vol. 21(3), 275-93.
Corones, K., Coyer, F. M., & Theobald, K. A. (2009). Exploring the information
needs of patient who have undergone PCI. British Journal of Cardiac
Nursing, vol. 49(3), 123.
Craig G.M., B. H., Story A., Hayward A., Hall J., Goodburn A. & Zumla A.
(2007). The impact of social factor on tuberculosis management Journal
of advanced nursing, Vol 58(5), 418-24.
Universitas Indonesia
Endo, E., Nitta, N., Inayoshi, M., Saito, R., dkk (2000). Pattern recognicion as a
caring partnership in families with cancer. Journal of Advanced Nursing,
Vol. 32(3), 603-10.
Garcia, M.C., Cirina, I.D., Elias, T.M., Lira, A.L., & Enders, B.C., (2014)
Nurse-patient interaction in adhesion to tuberculosis treatment reflection
in light of Imogene King. Journal of Nursing UFPE online, Vol. 8 (7)
Grubbs, L., & Carter, J. (2002). The relationship of perceived benefits and
barrier to reported exercise behavior in college undergraduates. Family
Community Health 25(2), 76-84.
Universitas Indonesia
Hidayat, Hamid & Mustikasari (2014) Hubungan koping individu dengan tingkat
kepatuhan penyandang diabetes mellitus. In prosiding seminar
nasional. Vol. 2 (1)
Hook, M. L. (2006). Patnering with patients - a concept ready for action. Journal
of advanced nursing, 56 (2), 133-43.
Ibrahim, K., Wardiah, M., Priambodo, A.P., (2014). Pengetahuan, sikap, dan
praktik kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS.
Jurnal Ners, Vol 9 (1) 11-8
Islami, Asiyah, N., & Wardoyo, N.B. (2011) Hubungan tingkat pendidikan
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang pertolongan pertama kecelakaan
anak di rumah desa Sumber Girang RW 1 Lasem Rembang. E-Journal
Stikesmuhkudus. Vol 2(1)
Jonsdottir, H., Litchfield, M., & Pharris, M.D. (2004). The relational core of
nursing practice as partnership. Journal of Advanced Nursing, 47(3) 241-
50.
Kamil, S., Ibnu, I. F., & Rachman, W. A. (2013). Media cetak informasi dan
edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug
resistant (MDR) di kota Makasar. Repasitory. Unhas.ac.id
Kemkes (2010). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010
Universitas Indonesia
Killen, M. B., & King, I.M. (2007). Viewpoint: use of king's conceptual system,
nursing informatics and nursing classifiation system for global
communication International Journal of Nursing Terminologies &
Classification. Vol. 18 (2).
Lamak, M.K., Kusnanto, Dewi, Y.S., (2014). Pengetahuan, self efficacy dan
stres pasien kusta melalui penerapan support group dengan pendekatan
teori adaptasi. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 49-58
Lemeshow S., H., D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (2002). Besar sampel dalam
penelitian kesehatan (D. Pramono, & Kusnanto., H., Trans.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Marra C., Marra. F., Cox V., Palepu A., & Fitzgerald M. (2004). Factor
influencing quality of life in patients with active tuberculosis. Health and
quality of life outcomes 2(58), 1-10.
Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., & Jalali, F (2002). Partnership
caring: a theory of high blood pressure control in Iranian hypertensives.
International Journal of Nursing Practice, 8, 324-329.
Universitas Indonesia
Morisky D.E., Mallote. C. K., Ebin V., Davidson P., Cabrena D., Trout P.T &
Coly A. (2001). Behavioral interventions for the control of tuberculosis
among adolescents Public health reports, 116, 568-574.
Nurhanah, N., Amirrudin , R., & Abdullah, T., (2010). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di
provinsi Sulawesi Selatan 2007. Media kesehatan masyarakat Indonesia,
Vol. 6 (4)
Penuntun Diet (2010). Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia
Pasek, M. S., Suryani, N. & Murdani, P. (2013). Hubungan persepsi dan tingkat
pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di
wilayah kerja puskesmas Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran
Keluarga. Vol. 1 (1) 14-23
Peterson, S. J., & Brewdow, T.S, (2004). Middle range theories: application to
nursing research: Lippincott Williams & Wilkins.
Universitas Indonesia
Rankin, S.H., & Stallings, K.D., (2001). Patient education, principle & practice,
4th edition. Lippincott Williams & Walkins
Ronis, D. L., Hong, O., & Lusk,S.L. (2006). Comparison of the original and
revised structures of the health promotion model in predicting
construction worker's of hearing protection. Research in Nursing &
Health . Vol. 29, 3-17.
Smeltzer S.C., & Bare B.G. (2002). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-
Surgical Nursing. Lippincot Williams & Wilkins; 9th edition
Sonia, Arifin & Murni (2014). Hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan
kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan
depresi. Majalah Kedokteran Andalas. Vol.37 (1)
Universitas Indonesia
Sutarno, S., & Utama, G. A. & Utama (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi berobat penderita tuberkulosis paru di pekalongan 2012. Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Widya, Vol. 1 (1)
Syahrizal (2004). Analisis kepatuhan penderita TBC paru BTA positif dalam
menelan obat di rumah sakit khusus paru-paru provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2002. Tesis, FKM-UI
Tomey, Marriner A., & Alligood, Martha R. (2006). Nursing theorists and their
work. St.Louis, Missouri: Mosby Inc
Usman, S. (2008). Konversi BTA pada pasien TB paru kategori I dengan berat
badan rendah dibandingkan berat badan normal yang mendapatkan terapi
intensif. Tesis http: repository.usu.ac.id diunduh 2 April 2011
Universitas Indonesia
Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam
pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan
menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.
Penelitian ini melibatkan pasien TB Paru yang berusia 18 tahun atau lebih, telah
berobat di RS Haji minimal 5 bulan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang pengalaman pasien yang berobat dan faktor-
faktor apa saja yang menyebabkan patuh dalam pengobatan. Keputusan anda untuk
ikut atau pun tidak dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk
berobat di rumah sakit. Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas
untuk mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 8 Pasien akan
terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya.
Wawancara akan dilakukan satu kali pertemuan selama 30-45 menit sesuai dengan
kesepakatan, jika ada kekurangan informasi maka akan dilakukan wawancara kedua
dengan waktu yang disepakati dan ditetapkan kemudian.
Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.
Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi dan hasil
wawancara yang direkam hanya akan diberikan nomor kode yang tidak bisa
digunakan untuk mengidentifikasi identitas anda. Apabila hasil penelitian ini
dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan anda akan di
tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun yang bertanya tentang keterlibatan
anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini, anda berhak untuk tidak
menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini dapat dijadikan barang
bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda dalam penelitian ini, sejauh
yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih besar dari pada risiko yang
biasa anda hadapi sehari-hari.
Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat
menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.
Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan
peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanggal
Inisial Partisipan :
Umur :
Alamat :
Agama :
Jenis Kelamin :
Suku :
Status Pendidikan :
Pekerjaan :
Nomor Telepon :
Pertanyaan ini dapat dikembangkan dengan beberapa pertanyaan probing sebagai berikut:
Tanggal :
Waktu (jam) :
Tempat :
Pewawancara :
Informan :
Dihadiri oleh :
Posisi duduk :
Situasi Wawancara :
Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam
pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan
menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.
Penelitian ini melibatkan pasien yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah
dinyatakan positif menderita TB Paru. Keputusan anda untuk ikut atau pun tidak
dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk berobat di rumah sakit
(RS). Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas untuk
mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 120 Pasien akan terlibat
dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya dan RSUD
Ibnu Sina Gresik.
Kuesioner yang akan saya berikan terdiri dari 8 bagian. Bagian pertama berisi
pertanyaan tentang demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, staus
perkawinan. Bagian kedua berisi pertanyaan tentang pengetahuan TB Paru. Bagian
ketiga berisi pertanyaan tentang keyakinan diri. Bagian ke empat berisi pertanyaan
tentang motivasi, bagian kelima berisi tentang kepatuhan pencegahan penularan,
bagian ke enam berisi tentang kepatuhan nutrisi dan bagian terakhir bagian ke lima
berisi tentang kepatuhan minum obat. Diharapkan anda dapat menyelesaikan
pengisian kuesioner ini antara 30-45 menit.
Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.
Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi hanya
akan diberikan nomor kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi
identitas anda. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi
yang berkaitan dengan anda akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun
yang bertanya tentang keterlibatan anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini,
anda berhak untuk tidak menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini
dapat dijadikan barang bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda
dalam penelitian ini, sejauh yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih
besar dari pada risiko yang biasa anda hadapi sehari-hari.
Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat
menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.
Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan
peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanggal
Surabaya, 2012
Yang memberi Persetujuan
(___________________________)
No Responden :
A . Data Demografi
1. Jenis kelamin :
1) Laki – laki
2) Perempuan
2. Pendidikan :
1) Tidak sekolah
2) SD
3) SMP
4) SMA
5) Pendidikan Tinggi
3. Umur :
1) 18 - 25
2) 26 - 35
3) 36 –45
4) 46-55
5) 56-65
4. Status perkawinan :
1) Menikah
2) Belum menikah
3) Janda/duda
1) Tidak bekerja
2) PNS/POLRI/TNI
3) Swasta
4) Buruh/Tani/Nelayan
5) Pensiunan
6. Agama / Kepercayaan :
1) Islam
2) Kristen
3) Hindu
4) Budha
5) Lain – lain
Lainnya, sebutkan
1. PENGETAHUAN
No Pernyataan Benar Salah
1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman
Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2
2
minggu
3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain
4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan
Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat
5
memperbaiki kesehatan
Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi
6
desinfektan
7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup
Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar
8 matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit
TB paru
2. SELF EFFICACY
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
No Pertanyaan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang
sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar
rumah
2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya
melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit
3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan
keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya
4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat
tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.
5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan
kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.
6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang
disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak
mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa
sakit yang saya alami selama sakit.
8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)
ketika melakukan kegiatan sehari-hari.
9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia
yang saya alami karena sakit.
10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya
merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak
bahagia.
5. KEPATUHAN NUTRISI
2. SELF EFFICACY
SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju
No Pertanyaan SS S RR TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang
sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar
rumah
2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya
melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit
3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan
keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya
4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat
tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.
5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan
kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.
6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang
disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak
mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa
sakit yang saya alami selama sakit.
8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)
ketika melakukan kegiatan sehari-hari.
9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia
yang saya alami karena sakit.
10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya
merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak
bahagia.
5. KEPATUHAN NUTRISI
5. Meningkatkan 19. yakinkan pasien agar yakin 5-10 menit Wawancara dan
kesadaran diri sakitnya bisa disembuhkan diskusi
untuk sembuh dengan cara menunjukkan
pasien yang sembuh/hampir
sembuh yang saat itu sedang
kontrol di RS.
20. diskusikan dengan pasien
sumber-sumber dukungan
yang membantu pasien dalam
pengobatan baik dari dalam
diri maupun luar
21. berikan motivasi pada pasien
untuk terus berobat walau
harus datang sendiri ke RS
22. Jelaskan pada pasien bahwa
sakitnya adalah bukan kutukan
atau hukuman tetapi sebagai
suatu ujian
23. Yakinkan pasien bahwa yg
mengalami sakit bukan hanya
sendiri, tetapi banyak sekali
sehingga bisa berbagi
pengalaman (tunjukkan bahwa
pasien yang berobat di poli
memiliki masalah yang sama)
f. Bahaya penyakit TB
paru
36. Menyampaikan materi
tentang pengobatan :
a. Tujuan pengobatan
b. Prinsip pengobatan
c. Fase minum obat
d. Jenis obat
e. Cara dan waktu minum
obat
f. Bagaimana agar tidak
jenuh minum obat
g. Efek samping OAT dan
penatalaksanaan
37. Praktik:
Pasien minum OAT di
hadapan perawat
Memberi tahu waktu kontrol
berikutnya dan kelengkapan
yg harus dibawa pasien
(catatan obat, bungkus obat dan
sisa obat)
4. Pembelajaran 15. Mengkaji kondisi rumah Lingkungan pada 5-10 menit Ceramah dan
tentang pasien dengan menanyakan pasien TB paru diskusi dengan
lingkungan ruang yang ada di rumah, media booklet
rumah yang sehat posisi pintu dan jendela (Buat
denah sederhana)
16. Menjelaskan tentang
lingkungan rumah yang sehat
untuk pasien TB paru:
a. Lingkungan fisik
rumah yang
berpengaruh pada TB
paru
b. Menciptakan kondisi
dan ruang/lingkungan
rumah yang sehat
17. Penutup
Pertemuan 3 1. Meningkatkan 1. Memberi salam 5 menit wawancara
(Akhir minggu ke-4) komunikasi 2. Melibatkan keluarga dalam
terbuka perawat- pertemuan
Waktu: 15-20 menit pasien 3. Menanyakan keluhan pasien
4. Merespon keluhan pasien
5. Memberi motivasi agar pasien
patuh
6. Menjelaskan tujuan yang ingin
dicapai pada pertemuan 3
2. Menumbuhkan 7. Menjelaskan tentang materi Nutrisi pada 10-15 menit Ceramah dan
persepsi yang yang akan disampaikan pada pasien TB paru diskusi dengan
positif tentang TB pertemuan ketiga yaitu media booklet
paru melalui tentang kebutuhan nutrisi pada
pembelajaran pasien TB paru:
tentang nutrisi
a. Gizi seimbang
yang dibutuhkan
pasien TB paru b. Diet pada pasien TB
PERTEMUAN
NO EVALUASI I II III IV V VI VII VIII
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1. Pengetahuan :
Pasien mampu menyebutkan
penyebab TB paru
Pasien mampu menyebabkan
tanda-gejala TB paru
Pasien mampu menyebutkan
lama pengobatan TB paru
Pasien mampu menyebutkan
cara penularan TB paru
Pasien mampu menyebutkan
lingkungan rumah yang
sehat
2. Self Efficacy:
Pasien yakin penyakitnya
bisa disembuhkan
Pasien yakin dapat
menerima informasi dari
dokter dan perawat
Pasien yakin mendapat
dukungan dari keluarga
Pasien yakin dapat
mengatasi perasaan sedih
karena sakit
Pasien yakin mengetahui
efek samping obat dan kapan
harus mencari pertolongan
3. Motivasi:
Pasien rutin kontrol ke poli
Pasien percaya bahwa
sakitnya merupakan cobaan
dari Tuhan yang Maha Esa
Pasien tidak
mengkhawatirkan perannya
akan terganggu
Pasien tidak
mengkhawatirkan adanya
gangguan perubahan
gambaran diri
pasien tidak
mengkhawatirkan adanya
gangguan tumbuh kembang
4. Pencegahan Penularan
Pasien dapat menjelaskan
bahwa saat batuk menutup
mulut dengan saputangan
atau punggung tangan
pasien menjelskan bahwa
dahak di buang ke saluran
air
Pasien menjelskan pintu dan
jendela rumah dibuka setiap
hari agar sinar matahari
masuk dan ventilasi lancar
Pasien menjelaskan tidur
terpisah selama BTA masih
positif
Pasien memakai masker jika
BTA positif sampai BTA
negatif
5. Kepatuhan nutrisi
Pasien menjelaskan makan
sedikit tapi sering
pasien menjelaskan
mengkonsumsi energi tinggi
protein tinggi setiap hari
Pasien menjelaskan
mengkonsumsi sayur-
sayuran setiap hari
Pasien menjelaskan tidak
minum es saat batuk
Terjadi peningkatan berat
badan
6. Kepatuhan pengobatan
Pasien menjelaskan minum
obat sesuai dosis yang
diberikan
Pasien menjelaskan waktu
minum obat 1 jam sebelum
makan
Pasien menjelaskan minum
obat dalam satu waktu yaitu
sore hari
Bungkus dan sisa obat sesuai
Penurunan gejala fisik
1. KETERANGAN PERORANGAN
1. Nama Lengkap : Tintin Sukartini
2. NIP : 197212170320002001
3. Tanggal Lahir : 17 Desember 1972
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Instansi : Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga,
Kampus C Mulyorejo,
Surabaya
6. Alamat Rumah : Perum City Home
Regency N12A-Keputih,
Surabaya
7. No. Telepon :081357011444
8. Email : tintin_bios@yahoo.com
tintin171272@gmail.com
9. Nama Anak : Nada Nur Zahra
2. PENDIDIKAN FORMAL
STTB/TANDA
NO NAMA JURUSAN LULUS/IJAZAH TEMPAT
PENDIDIKAN TAHUN
1. SDN NAGRAK III - 1985 Sukabumi
2. SMPN NAGRAK - 1988 Sukabumi
3. SMAN CIBADAK - 1991 Sukabumi
4. Fakultas Ilmu
Keperawatan Keperawatan 1997 Jakarta
Universitas Indonesia
5. Pasca Sarjana Ilmu Magister
Kesehatan Masyarakat Kesehatan 2005 Surabaya
Universitas Airlangga (Biostatistik)
6. Fakultas Ilmu Program
Keperawatan Doktoral 2015 Depok
Universitas Indonesia Keperawatan
4. KEGIATAN PENELITIAN
NO TAHUN POSISI TOPIK SPONSOR
1. 2006 Ketua Manfaat Senam Tera LPPM-
terhadap kebugaran UNAIR
Lansia
2. 2014 Anggota Model Intervensi BOPT
keperawatan SBE
(Spiritual Breathing
Exercise) terhadap
kualitas fungsi
pernafasan dan modulasi
respons imun pada
penderita TB paru
5. PUBLIKASI ILMIAH
PANITIA/
PENYELENGGARA PESERTA/
TAHUN JUDUL KEGIATAN
PEMBICARA
2001 Lokakarya Program P4UA (Pusat Peserta
Pekerti peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2003 Tata laksana kegawat RSU Dr. Soetomo Peserta
daruratan terhadap efek Surabaya
samping obat
2004 Penanganan trauma RSU Dr. Soetomo Peserta
thorax dengan Surabaya
pemasangan Bullae
Drainage secara
paripurna
2005 Lokakarya kurikulum PSIK-FK Unair Pembicara
berbasis kompetensi
2005 Lokakarya media P4UA (Pusat Peserta
pembelajaran peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2006 Lokakarya Applied P4UA (Pusat Peserta
Approach (AA) peningkatan dan
pengembangan
pendidikan UNAIR)
2007 The Association of AINEC Peserta
Indonesia Education
Center (AINEC) “The
study visit to Hongkong
and China”
2008 Lokakarya pengelolaan PSIK-FK Unair Peserta
dan peningkatan kinerja
Program Studi Ilmu
Keperawatan FK Unair
2008 Simposium Nasional FK UNAIR Peserta
penyakit Tropik-Infeksi
dan HIV & AIDS dengan
tema “update on tropical
infectious disease dan
HIV & AIDS