PENDAHULUAN
menuju kehidupan yang lebih layak. Banyak sudah teori-teori dan praktek perubahan
sosial yang telah diciptakan, dipromosikan, dan dilakukan. Namun tidak sedikit dari
praktek terbaik perubahan sosial tersebut yang “harus dipaksakan” demi tercapainya
kebutuhan “global” yang pada akhirnya harus masuk ke dalam kantong TBU (True
Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang intensitas interaksi sosial
mereka cukup tinggi dan pada akhirnya ditemukan solusi dalam kelompok kecil
tersebut, tidak dari luar kelompok. Sehingga model ini memberikan impact yang
Konsep positive deviance telah tercantum dalam literatur gizi sejak tahun 1967,
walaupun penelitian lapangan secara serius dalam bidang ini baru dilaksanakan
akhir-akhir ini. Hegsted (1967) misalnya, telah menganjurkan: “Kita harus memberi
perhatian lebih besar kepada individu-individu yang kelihatannya lebih sehat ketika
mengkonsumsi makanan tertentu yang selama ini kita abaikan. Kita harus memberi
perhatian lebih besar kepada sebab-sebab keberhasilan program di bidang gizi dan
dapat menjelaskan bahwa: ada keluarga yang dapat mengasuh anak-anak mereka
menjadi lebih sehat dan aktif, sedangkan dalam masyarakat yang sama ada yang
tidak.
1.2.Tujuan Penulisan
1.3.Manfaat Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sistem yaitu mencari solusi masalah dari dalam sistem itu sendiri. Sistem akan
lebih toleran terhadap solusi yang ditemukan saat diterapkan pada skala yang
pengajaran (teaching) (Sternin 2007). Logika dari pendekatan ini adalah mencari
memerlukan analisa dan sumberdaya yang berasal dari luar dalam jumlah yang
mereka memiliki apa yang mereka butuhkan. Mereka hanya melakukan hal
pendekatan penyimpangan positif dapat diterapkan secara luas karena ada dalam
tempat berbeda-beda.
2.2. Konsep Umum Positive Deviance
Dalam positive deviance, secara teoritis ada tahapan yang harus dilakukan yang disebut
dengan istilah 6 “D” sebagai langkah yang harus dilalui dengan catatan yang
Define, tetapkan atau definisikan masalah dan solusinya, dengarkan apa penyebabnya
Determine, tentukan apakah ada orang-orang dari komunitas mereka yang telah
menunjukkan prilaku yang diharapkan atau menyimpang (deviants) dari keluarga miskin
yang lain. Misalnya, ada anak dari keluarga miskin yang gizinya baik, sementara mereka
berasal dari tempat yang sama dan menggunakan sumber yang sama
Discover, cari tahu apa yang membuat “penyimpang” mampu menemukan solusi yang
secara aktif kepada anaknya, memberikan makanan yang bergizi (bersumber lokal)
walau tidak biasa dikonsumsi oleh orang lain, memberi makan lebih sering kepada
yang mampu, baik yang berada di perkampungan itu maupun di daerah lain, sehingga itu
Design, rancang dan susun strategi yang memampukan orang lain mengakses dan
mengadopsi prilaku baru tersebut. Misalnya, membuat program gizi dan peserta
mempraktekkannya secara aktif. Atau ada strategi lain yang bersumber kepada
kebiasaan lokal yang bisa mendukung pengadopsian prilaku “penyimpang” yang sehat
tadi.
Discern, amati tingkat efektivitas intervensi melalui pengawasan dan monitoring yang
dilakukan secara terus menerus. Misalnya, mengukur status gizi anak-anak yang ikut
program gizi dengan penimbangan dan dampaknya kepada anak-anak sepanjang waktu.
Juga jangan lupa mengukur tingkat kepedulian anggota masyarakat lain terhadap
peningkatan gizi anak, karena ini juga merupakan peningkatan kapasitas masyarakat
bentuk sebuah “Universitas Hidup” (laboratorium sosial) sebagai tempat belajar bagi
orang lain yang tertarik untuk mengadopsi prilaku mereka sendiri di tempat lain dan siap
berpartisipasi dalam program tersebut. Untuk pendukung juga lebih bagus dilakukan
kampanye terhadap peningkatan status gizi anak yang lebih efektif dan efisien daripada
pola yang konvensional. Jadikan isu ini menjadi isu komunitas, tidak isu pribadi hanya
Secara garis besar, ada beberapa pendekatan sosiologi yang utama dalam studi
adalah karya Durkheim. Durkheim menjelaskan bahwa kejahatan atau kesalahan adalah
“normal”, karena itu adalah fenomena universal yang terjadi dalam setiap masyarakat,
dan penyimpangan itu bersifat fungsional karena melahirkan reaksi social dari
social. Secara khusus Durkheim memahami penyimpangan dalam sebuah konsep yang
yang memiliki banyak norma dan nilai yang satu sama lainnya saling bertentangan.
Teori anomi menyatakan bahwa masyarakat kompleks cenderung menjadi masyarakat
tanpa norma, yang tidak memberikan pedoman jelas yang dapat dipelajari dan dipatuhi
orang. Kedua, adalah teori reaksi masyarakat atau teori pemberian cap (labeling theory).
pemberian cap. Dengan mencap suatu perbuatan sebagai perbuatan menyimpang, maka
itu berarti kita mulai menciptakan serangkaian perbuatan yang cenderung mendorong
orang untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar dan akhirnya mencipkan pola
hidup menyimpang. Spreitzer & Soneshein (2004: 832) menjelaskan bahwa pendekatan
reaksi masyarakat atau labelig theory ini memerlukan sebuah observasi dari masyarakat
untuk menyatakan bahwa perilaku tersebut menyimpang. Artinya suatu perbuatan itu
dapat dicap sebagai penyimpangan apabila perilaku tersebut disaksikan atau dilihat oleh
masyarakat. Tidak hanya membutuhkan observasi tetapi juga harus ada reaksi bersama
Lebih lanjut Spreitzer & Sonenshein mengatakan bahwa pendekatan ini kurang tepat
digunakan untuk menjelaskan fenomena penyimpang positif, karena suatu perilaku yang
disebut sebagai penyimpang adalah yang memberikan reaksi negatif dalam masyarakat.
Pendekatan ini tidak memberi ruang kepada penyimpangan dalam pengertian yang
penyimpangan statistik merujuk pada perilaku yang berbeda dari rata-rata atau
sebelah kanan dari distribusi perilaku normal. Pendekatan ini lebih dapat dipakai untuk
menjelaskan fenomena penyimpangan positif dalam masalah kekurangan gizi.
kamiskinan akan
pendekatan ini, maka keluarga miskin yang mempunyai anak yang kekurangan gizi
adalah
sesuatu yang normal dalam masyarakat. Sedangkan keluarga miskin yang tidak memilik
anak
kekurangan gizi adalah penyimpang positif (positive deviant). Tentunya keluarga kaya
yang
mempunyai anak kekurangan gizi adalah sebagai penyimpang negatif. Ini terjadi tentu
dengan
asumsi bahwa kemiskinan adalah faktor yang sangat menentukan (determinant) status
gizi
anak.
pendekatan statistic dapat dipahami bahwa karena keluarga miskin tersebut memilki
perilakuperilaku
yang tidak lazim atau biasa dilakukan oleh kebanyakan (normal) keluarga miskin
lainnya dalam komunitas yang sama. Perilaku-perilaku tersebut adalah perilaku special
yang
perilaku
kebersihan, dll.
menetapkan
atau mengukur perilaku menyimpang norma-norma social dipergunakan sebagai standar
atau
Sumner, W.G. (1966), tokoh sosiologi dari Amerika, dianggap sebagai orang yang
pertama kali menyatakan bahwa “the mores can make anything right”. Pernyataan ini
sering kali
dikutip oleh ahli-ahli ilmu social yang membahas perilaku menyimpang. Dalam
hubungan
pernyataan tersebut di atas dapat pula dikatakan bahwa mores atau norma dapat pula
Definisi normatif yang demikian, ditambah pula adanya varasi dari norma-norma social
dari zaman ke zaman, dan di didalam berbagai lingkungan masyarakat dan kebudayaan,
peristilahan absolut. Karena apa yang dianggap berdosa dan jahat dalam masyarakat
tertentu
dapat pula dinyatakan sebagai sesuatu yang lain pada zaman yang lain atau didalam
lingkungan sosial yang berbeda. Contoh: mereka yang di dalam zaman kolonial Belanda
merdeka.
Tetapi, bagaimanapun atau apapun isi dari perilaku menyimpang, suatu hal yang esensil
bentuk
Normal
Behavior
individu
berinteraksi.
membatasi
umumnya.
perlaku
keluarga penyimpang positif ini menjadi menyimpang bukan disebabkan oleh adanya
factorfaktor
luar yang tidak dapat dilakukan oleh keluarga miskin kebanyakan. Misalnya, keluarga
penyimpang positif dapat memiliki anak yang sehat karena mereka sebenarnya selalu
mendapatkan kiriman uang dari saudaranya di rantau sehingga mampu membeli susu
adanya
dapat
melakukannya. Misalnya, di desa Batu Panjang Kab. Solok Sumatera Barat, beberapa
menyebutnya sipasin) yang banyak terdapat pada saat panen padi untuk makan anaknya.
Sipasin tersebut sebenarnya bisa didapatkan dengan mudah di lingkungan mereka tetapi
mengakibatkan
anak sakit. Tetapi beberapa keluarga penyimpang positif memasak dan memberikannya
pada
anak-anak mereka.
Banyak factor yang turut menjadi penyebab masalah gizi buruk, diantaranya adalah
aspek klinis/medis, lingkungan, fisik (cuaca, musim, keadaan rumah, radiasi, dll)
psikososial
(stimuli, cinta dan kasih sayang, kualitas interaki anak-anak dengan orang tua), keluarga
dan
adap istiadat atau social budaya tentang gizi (kepribadian ayah/ibu, norma, nilai-nilai,
tabutabu,
Ahli ilmu sosial terutama Antropologi Gizi mengungkapkan bahwa masalah makanan
sangat erat kaitannya dengan system social budaya masyarakat. Foster dan Anderson
(1986)
mengatakan, tidak ada satu kelompok pun, bahkan dalam keadaaan kelaparan yang akut,
akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan
agama,
tahayul, kepercayaan tentang kesehatan dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam
sejarah.
Ada bahan-bahan ,makanan bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka
diklasifikasikan
Penelitian Sri Meiyenti (2002) menunjukkan bahwa, walaupun banyak informan yang
sudah mengetahui tentang berbagai jenis makanan yang mengandung gizi, namun
didalam
praktek pemberian makan pada bayi dan balita hampir semua informan belum
menerapkan
pengaturan makan menurut anjuran kesehatan. Ada banyak hal yang menghalangi
mereka
pola
kebiasaan makan, stratifikasi dalam keluarga berdasarkan umur, rasa suka dan tidak suka
terhadap makanan tertentu dan juga kepercayaan yang hidup dalam masyarakat dimana
ia
berada. Dalam hal pola kebiasaan makan, informan lebih sering memberikan makanan
sumber karbohidrat (bubur nasi) kepada anak daripada sumber protein, seerti ikan,
kacang8
kacangan, walupun itu bisa didapat dengan mudah. Kemudian adanya stratifikasi
berdasarkan
usia dimana ketika memasak makanan pada hari ini yang terpikir oleh mereka bukan
masakan
untuk anak-anak, tetapi adalah makanan untuk orang dewasa, terutama makanan
kesukaan
ayah.
Penelitian ini menunjukkan kepada kita betapa kuatnya pengaruh aspek budaya dan
kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat terhadap status gizi anak-anak. Meiyenti
juga
mengatakan bahwa, pengetahuan informan tentang gizi baru berada pada tingkat
mengetahui
berbagai jenis bahan makanan yang mengandung gizi, tetapi belum sampai pada tingkat
yang
dialami seseorang baik dalam keluarga maupun lingkungan lainnya seperti sekolah,
teman
bermain, sumber bacaan,dll. Hal ini dapat kita pahami dengan pendekatan kebudayaan
diperguanakan
menjadi kerangka
sebuah
kebudayaan adalah milik bersama, yang dikomunikasikan pada setiap individu lewat
proses
belajar, baik lewat pengalaman, interaksi social maupun interaksi simbolis. Luasnya
cakupan
sebuah kebudayaan, dengan demikian tidak akan mampu diserap secara keseluruhan
oleh
interaksi
individunya,
membuat pengetahuan yang dimiliki setiap individu akan berdeda. (lebih lanjut lihat
Zainal
Arifin, 1999).
pada
tahap individu, setiap orang akan memiliki kebebasan dalam memperlakukan
lingkungan
sesuai dengan keinginannya (wants) dan kebutuhan (needs), tetapi secara social,
individu tadi
akan diakui sebagai anggota kelompok apabila ia bertindak sesuai dengan turan-aturan
yang
positif
Walaupun banyak orang berpendapat bahwa penyebab masalah gizi buruk adalah
masalah kemiskinan dan aspek budaya, tetapi beberapa keluarga miskin telah
menunjukkan
bahwa masalah ini dapat diatasi. Beberapa keluarga miskin memiliki kebiasaan-
kebiasaan
yang berbeda atau menyimpang dari jalur seharusnya dan mengambil jalur baru tetapi
mengutungkan sehingga menghasilkan anak-anak yang sehat dan memiliki gizi baik
(deviant
umum
yang memungkinkan mereka dapat yang memiliki sumber yang sama dan menghadapi
resiko
cara
mereka dan
perilaku-perilaku yang bermanfaat itu diantaranya: kebiasaan-kebiasaan pemberian
makan,
kebiasaan
menuju sehat
DAFTAR PUSTAKA
Donna Sillan, Deviasi Positif/Hearth, Child Survival and Collaborations and Resources
(CORE) Group
Foundation
Save The Children Experience, The Positive Deviance Hearth Nutrition Model, 2002
Sternin, Jerry and Choo, Robert, The Power of Positive Deviancy, Harvard Bussines
Review, 2000
http://www.pdrc.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=287:positive-
deviance-sebuah-pendekatan-untuk-perubahan-sosial&catid=66:article&Itemid=32