Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujun penelitian ,

dan manfaat penelitian

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis Paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TBC Paru (mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk

selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak,

dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

lebih dari 1 bulan. Penyakit TBC Paru ditanyakan pada responden untuk kurun

waktu ≤ 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan

melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya (Alsagaff H, dan Mukty

H.A. 2015). Menurut WHO 2020, Tuberkulosis sendiri merupakan penyebab

kematian no 13 terbanyak di dunia dengan kasus kematian mencapai 1,5 juta

orang pada tahun 2020, dan kasus kematian kedua dengan kematian yang

disebabkan oleh virus setelah kematian akibat covid 19.

Penyakit tuberkulosis paru yang diderita oleh individu akan memberi dampak

yang sangat besar bagi kehidupanya baik secara fisik, mental maupun kehidupan

sosial. Secara fisik penyakit tuberkulosis paru jika tidak diobati dengan benar

akan menimbulkan berbagai komplikasi bagi organ lain , seperti penyebaran

infeksi ke organ lain, kekurangan nutrisi, batuk darah yang berat, resistensi

1 Universitas Borobudur
2

terhadap banyak obat dan komplikasi lainya. Tuberkulosis paru merupakan salah

satu penyakit yang membutuhkan waktu pengobatan yang panjang dan

memerlukan banyak obat-obatan yang dikonsumsi (Smeltzer & Bare, 2001).

Data World Health Organization (WHO) melalui laporan tb yang terbit pada 14

oktober 2021 pada tahun 2020 menunjukkan penurunan 18 % dari 7.1 juta yang

terinfeksi menjadi 5,8 juta yang terinfeksi. Data ini terjadi karena disebebkan oleh

pandemic covid 19 yang terjadi diseluruh dunia sehingga menurunkan laporan

insiden tb sendiri. Sedangkan Negara dengan penderita tuberculosis pada tahun

2019 hingga 2020 terbanyak terdapat dinegara India sebanyak 41% dari total

penderita tb, dan disusul Indonesia dengan 14 % , Philipina 12 % dan China 8 % .

Di Indonesia sendiri menurut data kementrian kesehatan 2021 yang dikeluarkan

pada 4 Oktober 2021 terdapat kasus TBC pada tahun 2020 sebanyak 393,323

yang terkonnfirmasi tb dan 824,000 kasus suspek tb, pada dasarnya data ini lebih

sedikit dari pada tahun sebelum nya pada 2019 sebanyak 570,289 kasus, tetapi

data ini dipengaruhi oleh pandemic covid 19 sehingga banyak kasus tb yang tidak

terlapor pada akun program tb nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu

provinsi di Indonesia yang terdiri dari 26 kabupaten/kota. Di tingkat nasional,

Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama penyumbang jumlah penderita

Tuberculosis. Total jumlah kasus sebanyak 127,000 orang dengan jumlah

kesembuhan hanya sebanyak 89.572 orang (Dinas Kesehatan Jawa Barat 2020)

Sedangkan menurut Badan pusat Statistik Kabupaten Karawang pada 2019 Kasus

Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Karawang masih terbilang cukup tinggi. Hasil

Universitas Borobudur
3

deteksi dini di masyarakat yang dilakukan pemerintah setempat bulan Maret 2019

menemukan 3,221 orang diduga menderita TBC. Oleh sebab itu diperlukan

berbagai faktor yang mendukung untuk keberhasilan program TBC hingga tuntas.

Di RSU Proklamasi sendiri dari bulan januari 2022 sampai febuari 2022 yang

terdiagnosis bakteriologis ada 20 pasien dan yang terdiagnosis klinis ada 10

pasien

Yang pengobatan di RSU Proklamasi ada 25 pasien yang 5 pasien di rujuk ke

PKM

Data ini dapat dari penginfutan SITB yang dilkakuan oleh Progamer TBC Paru

RSU Prokalmasi.

Pengobatan TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan. Apabila tidak dapat

menyelesaikan pengobatannya secara tuntas maka resiko terjadi resistensi kuman

TBC terhadap obat TBC semakin besar(Nofriyanda, 2010). Ketidakpatuhan

pasien terhadap ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai

kesembuhan sebagai akibat tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah. Proses

kesembuhan pasien tuberculosis cepat terwujud, jika kerja sama antara pasien dan

keluarganya dengan penyedia layanan kesehatan, khususnya dokter harus terjalin

dengan baik. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan

Universitas Borobudur
4

seseorang untuk meminum obat, yaitu antara lain: usia, pekerjaan, waktu luang,

pengawasan, jenis obat, dosis obat, dan penyuluhan dari petugas kesehatan

Badan kesehatan dunia menetapkan standar keberhasilan pengobatan sebesar

85%. Angka keberhasilan pada tahun 2017 sebesar 87,8% (WHO, 2018)

Keberhasilan terapi ini tergantung pada kepatuhan pasien dan dukungan dari

keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang

kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan adalah

munculnya kuman TBC paru yang resisten terhadap obat jika ini terus terjadi dan

kuman tersebut terus menyebar dan pengendalian obat TBC paru akan semakin

sulit dilaksanakan yang berdampak pada meningkatnya angka kematian terus

bertambah akibat penyakit TBC paru (WHO, 2017).

Faktor – faktor yang memengaruhi perilaku seseorang saat pengobatan TBC yaitu

faktor predisposing, faktor enabling, dan faktor reinforcing. Teori tersebut

merupakan teori perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Lawrence Green

(Nursalam, 2016). Predisposing factors atau faktor predisposisi terdiri dari

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakianan dan nilai – nilai. Enabling factors

atau faktor pendukung terdiri dari hal – hal yang terwujud dalam lingkungan fisik,

antara lain sarana maupun prasarana kesehatan yang meliputi puskesmas, obat,

alat, perundangan-undangan, dan keterampilan terkait kesehatan. Sedangkan

reinforcing factors atau faktor pendorong seperti petugas kesehatan, keluarga ,

maupun pengambil keputusan (Nursalam, 2016).

Universitas Borobudur
5

Untuk meningkatkan ketaatan dalam berobat, respon penderita terhadap sistem

pelayanan kesehatan adalah hal yang penting (Sunaryo, 2004). Keberhasilan

dalam pengobatan TBC adalah hasil dari ketaatan penderita TBC dalam

pengonsumsian obatnya. Menurut Notoatmodjo (2010), domain perilaku ada 3,

yaitu pengetahuan; sikap; dan tindakan. Oleh karena itu menurut peneliti untuk

menumbuhkan perilaku yang patuh dalam berobat dipengaruhi oleh ketiga hal

tersebut, sehingga mencegah terjadinya TB resisten obat yang dikenal dengan

TBC RO di Indonesia, estimasi TB RO adalah 2,4% dari seluruh pasien TBC baru

dan 13% dari pasien TBC yang pernah diobati dengan total perkiraan insiden

kasus TBC RO sebesar 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Pada tahun 2019,

sekitar 11.500 pasien TBC RR ditemukan dan dilaporkan, sekitar 48% pasien

yang memulai pengobatan TBC lini kedua, dengan angka keberhasilan

pengobatan 45% (WHO Global TBC Report 2020).

Berdasarkan data tersebut peneliti ingin melakukan penelitian tentang Hubungan

Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan Pengobatan Pada Pasien TBC

Paru Di Poliklinik Rawat Jalan RSU Proklamasi Karawang.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada pasien

TBC Paru di poliklinikrawat jalan di RS Proklamasi

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Universitas Borobudur
6

Penelitian ini bertujuan dapat diketahui Hubungan Tingkat Pengetahuan

Terhadap kepatuhan pengobatan pada pasien TBC di RS Proklamasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk diketahui distribusi frekuensi karakteristik responden

berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan pasien dengan

pengobatan TBC di RS Proklamasi.

1.3.2.2 Untuk diketahui distribusi frekuensi kepatuhan pengobatan

pasien di RS Proklamasi

1.3.2.3 Untuk diidentifikasi distribusi frekuensi tingkat pengetahuan

terhadap kepatuhan pengobatan TBC

1.4 Manfaat Penlitian

1.4.1 Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan gambaran

berupa data terkait gambaran tingkat pengetahuan dan kepatuhan

TBC di Rumah sakit proklamasi, sehingga hasil penelitian menjadi

pertimbangan Rumah sakit dalam evaluasi terkait kepatuhan

pengobatan TB paru. Penelitian ini dapat meningkatkan pelayanan

kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan mengenai

pengetahuan pengobatan TBC terjadinya keridakpatuhan

pengobatan di RS Proklamsi sehingga mencegah terjadi nya TBC

Resisten Obat.

Universitas Borobudur
7

1.4.2 Perkembangan ilmu keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

tambahan bahan bacaan di perpustakaan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan pengobatan TBC sehingga mencegah terjadinya putus

pengobatan. Penelitian ini dapat menjadi sumber Rujukan terkait

pengembangan penelitian keberhasilan pengobatan TBC paru.

Universitas Borobudur
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang Definisi dari Tuberculosis

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis.Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,

antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Lepraedsb. Yang

juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri

Mycobacterium selain mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan

gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other

Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakandiagnosis

dan pengobatan TBC (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

2.1.2 Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2016), Penyakit TBC paru disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis yang bisa menularkan dengan cara

penderita penyakit TBC paru aktif mengeluarkan organisme. Individu yang

rentan menghirup droplet dan bisa terinfeksi. Bakteria ditransmisikan ke

alveoli dan dapat memperbannyak diri. Reaksi inflamasi menghasilkan

eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa.

Menurut Muttaqin Arif (2012), Ketika pasien TBC Paru batuk, bersin, atau

berbicara, maka secara tidak sengaja bisa tertular droplet nurkei dan jatuh

8 Universitas Borobudur
9

ke tanah, lantai atau tempat lainya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu

panas, droplet atau nuklei dapat menguap. Menguapnya droplet bakteri

tuberculosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Jika

bakteri terhirup oleh orang sehat maka orang itu berpotensi terkenan TB

Paru.

Resiko tinggi yang tertular virus Tuberkulosis menurut Smeltzer & Bare

(2016) yaitu:

2.1.2.1 Mereka yang terlalu dekat kontak dengan pasien TBC Paru yang

mempunyai TBC Paru aktif.

2.1.2.2 Individu imunnosupresif (lansia, pasien dengan kanker, meraka

yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terkontaminasi

oleh HIV).

2.1.2.3 Mengunakan obat-obatan IV dan alkhoholik.

Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,

tahanan, etnik dan juga ras minoritas, terutama pada anak-anak di

bawah uiasa 15 tahun dan dewasa muda sekitar usia 15 sampai 44

tahun).

2.1.2.4 Gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (diabetes, gagal ginjal

kronis, silikosis, dan penyimpanan gizi).

2.1.2.5 Individu yang tinggal di daerah perumahan yang kumuh atau sub

stardar.

2.1.2.6 Pekerjaan (tenangga kerja kesehehatan, terutama yang melakukan

aktivitas yang mempunyai resiko tinggi).

Universitas Borobudur
10

2.1.3 Tanda dan Gejala

Kondisi yang umumnya yang dialami pasien adalah batuk berdahakselama 2-

3 minggu atau bahkan lebih. Kondisi batuk yang dialami oleh pasienyang

mengidap penyakit tuberculosis biasanya disertai dengan gejala lainnya

yaitubatuk berdahak dengan adanya dahak/slem bercampur darah, batuk

berdarah(haemaptoe), nafas terasa sesak (dyspneu), badan terasa lemas

(myalgia),menurunnya nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan,

malaise, kondisisering berkeringat di malam hari walaupun tanpa beraktifitas,

dan kondisi demammeriang pada pasien lebih dari sebulan atau biasa disebut

dengan istilah prolongfever ( Badan Pusat Statistik, 2017)

2.1.4 Patofisiologi

Bila terinplantasi Mycobacterium tuberculosis melalui saluran nafas, maka

mikroorganisme akan membelah diri dan terus berlangsung walaupun cukup

pelan. Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan

nodus limfe regional dapat terjadi, menghasilkan radiodens area menjadi

kompleks Ghon. Makrofag yang terinaktivasi dalam jumlah besar akan

mengelilingi daerah yang terdapat Mycobacterium tuberculosis sebagai

bagian dari imunitas yang dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda,

juga berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag

membentuk granuloma yang mengandung organisme (Sukandar dkk., 2009).

Universitas Borobudur
11

Setelah kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,

bakteri TBC Cparu tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh

lainnya, melalui system peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas,

atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Patofisiologi TBC paru dibagi menjadi dua proses antara lain :

2.1.4.1 Infeksi TBC Paru Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Droplet nuclei yang terhirup sangat

kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan muskuler

bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di

sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembang biak

dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di

dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman Tuberkulosis ke

kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek

primer yang memakan waktu sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat

dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif

menjadi positif (Depkes RI, 2008)

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman

yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).

Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TBC Paru. Meskipun demikian ada beberapa

kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).

Universitas Borobudur
12

Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan

perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang

bersangkutan akan menjadi penderita TBC paru. Masa inkubasi yaitu

waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,

diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2008).

2.1.4.2 TBC paru Post Primer

TBC paru Post Primer biasanya muncul beberapa bulan ataupun beberapa

tahun setelah infeksi TBC paru primer. TBC paru inilah yang yang

menjadi masalah utama kesehatan masyarakat karena dapat menjadi

sumber penularan penyakit TBC paru. Infeksi akan muncul apabila

terdapat banyak kuman TBC paru di dalam tubuh baik yang aktif ataupun

yang dormant (tidur). Saat tubuh memiliki daya tahan yang menurun

terkadang tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan

Mycobacterium tuberculosis sehingga terjadilah infeksi kembali oleh

bakteri TBC paru tersebut. Infeksi tersebut akan menyebabkan kerusakan

paru yang luas karena terjadi kavitas atau efusi pleura (PDPI, 2006).TB

paru Post Primer biasanya muncul beberapa bulan ataupun beberapa

tahun setelah infeksi TBC paru primer. TBC paru inilah yang yang

menjadi masalah utama kesehatan masyarakat karena dapat menjadi

sumber penularan penyakit TBC paru. Infeksi akan muncul apabila

terdapat banyak kuman TBC paru di dalam tubuh baik yang aktif ataupun

yang dormant (tidur). Saat tubuh memiliki daya tahan yang menurun

terkadang tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan

Universitas Borobudur
13

Mycobacterium tuberculosis sehingga terjadilah infeksi kembali oleh

bakteri TBC paru tersebut. Infeksi tersebut akan menyebabkan kerusakan

paru yang luas karena terjadi kavitas atau efusi pleura (PDPI, 2006).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak

menurut Depkes RI (2014), dibagi dalam:

2.1.5.1 Tuberkulosis paru BTA positif.

Tuberkulosis paru BTA positif, a) Sekurang-kurangnya 2 dari

3 spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) hasilnya

BTA positif, b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberculosis, c)

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan

kuman Tuberkulosis positif.1 atau lebih spesimen dahak

hasinya positif d) setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2.1.5.2 Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA

positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus

meliputi, a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative,

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis, c)

Universitas Borobudur
14

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, d)

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

menurut Depkes RI (2011) dibagi menjadi beberapa tipe

pasien, yaitu, a) Kasus baru

Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu),a) Kasus kambuh

(Relaps) Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur), b) Kasus setelah putus berobat (Default )

Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.,Kasus setelah gagal (Failure), c) Pasien yang

hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan, d) Kasus

pindahan (Transfer In) Pasien yang dipindahkan dari UPK yang

memiliki register TBC lain untuk melanjutkan pengobatannya, e)

Kasus lain

Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan

hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan

ulangan.

Universitas Borobudur
15

2.1.6 Komplikasi

Penyakit TBC Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi, menurut Suyono (2011), komplikasi dibagi menjadi 2 yaitu:

2.1.6.1 Komplikasi Dini

a pleuritis , b efusi pleura, c empiema , d laringitis, e menjalar ke

organ lain (usus), f poncets arthropathy

2.1.6.2 Komplikasi Lanjut

a obstruksi jalan nafas (SOPT: Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis) , b kerusakan parenkim berat (SOPT/Fibrosa Paru,

kor pulmonal) , c amiloidasis, d carsinoma Paru , d Sindrom

gagal nafas dewasa (ARDS).

2.1.7 Diagnosis TBC

Gejala utama pasien TBC paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam, meriang lebih dari satu bulan. Mengingat

prevalensi TBC paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang

Universitas Borobudur
16

yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai

seorang tersangka (suspek) pasien TBC, dan perlu dilakukan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis langsung pada pasien dewasa, serta skoring

pada pasien anak (Kemenkes RI, 2014).

2.1.7.1 Pemeriksaan Dahak

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi

penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada

semua suspek TBC dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen

dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang

berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

(Permenkes, 2014), a S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat

suspek TBC datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,

suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak

pagi pada hari kedua., b P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah

pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa

dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK., c S (sewaktu) :

Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi. Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TBC (BTA). Pada program TBC

nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

Universitas Borobudur
17

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan

mendiagnosis TBC hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks

saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas

pada TBC paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran

kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2. 1 patofisiologi TB Paru

Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (Kemenkes RI,

2014)

Universitas Borobudur
18

2.1.7.2 Pemeriksaan TCM

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler ( TCM ) dengan Xpert

MTB/RIF merupakan metode deteksi molekuler berbasis nested

real-time PCR untuk diagnosis TBC. Primer PCR yang digunakan

mampu mengamplifikasi sekitar 81 bp daerah inti gen rpoB MTB

kompleks, sedangkan probe dirancang untuk membedakan sekuen

wild type dan mutasi pada daerah inti yang berhubungan dengan

resistansi terhadap rifampisin.

Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan alat GeneXpert, yang

menggunakan sistem otomatis yang mengintegrasikan proses

purifikasi spesimen, amplifikasi asam nukleat, dan deteksi sekuen

target. Sistem tersebut terdiri atas alat GeneXpert, komputer dan

perangkat lunak. Setiap pemeriksaan menggunakan katrid sekali

pakai dan dirancang untuk meminimalkan kontaminasi silang.

Katrid Xpert MTB/RIF juga memiliki Sample Processing Control

(SPC) dan Probe Check Control (PCC). Sample processing

control berfungsi sebagai control proses yang adekuat terhadap

bakteri target serta untuk memonitor keberadaan penghambat

reaksi PCR, sedangkan PCC berfungsi untuk memastikan proses

Universitas Borobudur
19

rehidrasi reagen, pengisian tabung PCR pada katrid, integritas

probe, dan stabilitas dye. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat

mendeteksi MTB kompleks dan resistansi terhadap rifampisin

secara simultan dengan mengamplifikasi sekuen spesifik gen rpoB

dari MTB kompleks menggunakan lima probe molecular beacons

(probe A – E) untuk mendeteksi mutasi pada daerah gen rpoB.

Setiap molecular beacon dilabel dengan dye florofor yang

berbeda. Cycle threshold (Ct) maksimal yang valid untuk analisis

hasil pada probe A, B dan C adalah 39 siklus, sedangkan pada

probe D dan E adalah 36 siklus. Hasil dapat diinterpretasikan

sebagai berikut:

1) MTB terdeteksi apabila terdapat dua probe memberikan nilai Ct

dalam batas valid dan delta Ct min (selisih/perbedaan Ct terkecil

antar pasangan probe) < 2.0

2) Rifampisin Resistan tidak terdeteksi’ apabila delta Ct maks

(selisih/perbedaan antara probe yang paling awal muncul dengan

paling akhir muncul) ≤ 4.0

3) Rifampisin Resistan terdeteksi apabila delta Ct maks > 4.0

4) Rifampisin Resistan indeterminate’ apabila ditemukan dua

kondisi sebagai berikut :

 Nilai Ct pada probe melebihi nilai valid maksimal (atau nilai 0)

 Nilai Ct pada probe yang paling awal muncul > (nilai Ct valid

Universitas Borobudur
20

maksimal – delta Ct maksimal cut-off 4.0)

5) Tidak terdeteksi MTB’ apabila hanya terdapat satu atau tidak

terdapat probe yang positif. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF sudah

diatur secara otomatis sesuai dengan protokol kerja Xpert

MTB/RIF dan tidak dapat dimodifikasi oleh pengguna.

Tabel 2.2 Alur Diagnosis Terduga TB

TERDUGA TB

Universitas Borobudur
21

Keterangan alur:

Prinsip penegakan diagnosis TBC:

Universitas Borobudur
22

 Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih

dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan

bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis,

Tes Cepat Molekuler ( TCM ), dan biakan.

 Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler ( TCM ) digunakan untuk

penegakan diagnosis TBC, sedangkan pemantauan kemajuan

pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Pengobatan TBC Paru menurut Kemenkes RI (2014) yaitu:

1) Tujuan Pengobatan

Pengobatan TBC bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan

rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman

terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1 Jenis OAT

Dosis yang
Jenis OAT Sifat direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pirazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 0
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Universitas Borobudur
23

Sumber: Kemenkes RI, 2014

2) Prinsip Pengobatan

Pengobatan TBC Paru dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat, dalam dosis cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal

(Monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

3) Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaiatu tahap awal

(intensif) dan lanjutan.

a) Tahap Intensif

Pada tahap intensif, klien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat bila pengobatan tahap intensif tersebut

diberikan secara tetap, biasanya klien menular menjadi

tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar

klien TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan.

b) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan, klien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan

penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

Universitas Borobudur
24

b. Panduan OAT di Indonesia

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes RI, 2014)

antara lain:

1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a) Pasien baru TBC Paru BTA Positif

b) Pasien TBC Paru BTA Negatif foto thoraks positif

c) Pasien TBC Paru ekstra paru.

Tabel 2.2 Dosis OAT

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 x


Berat selama 58 hari RHZE seminggu selama 16
Badan (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 table 4KDT 2 table 2KDT
38-54 kg 3 table 4KDT 3 table 2KDT
55-70 kg 4 table 4KDT 4 table 2KDT
≥71 kg 5 table 4KDT 5 table 2KDT
Sumber: Kemenkes RI, 2014

2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA Positif yang telah

diobati sebelumnya:

a) Pasien kambuh

b) Pasien gagal

c) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).

Tabel 2.3 Jenis OAT

Tahap Lanjutan
Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE 3 x seminggu RH

Universitas Borobudur
25

Badan (150/75/400/275) + S (150/150) + E


(275)
Selama 56 hari Selama 28 Selama 20
hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
Streptomisin inj. tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
Streptomisin inj. tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
mg Streptomisin inj. tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT + 1000 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
mg Streptomisin inj. tab Etambutol
Sumber: Kemenkes RI, 2014

3) OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah seperti paduan paket untuk tahap

intensif kategori 1 yang diberikan selama 28 hari.

Tabel 2.4 OAT Sisipan

Berat Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE


Badan (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT
Sumber: Kemenkes RI, 2014

c. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TBC Paru.

Pemantaun dan hasil pengobatan TBC Paru menurut Kemenkes RI

(2014), yaitu:

1) Pemantauan Kemajuan Pengobatan TBC

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara

mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik

Universitas Borobudur
26

dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi dalam memantau

kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak

digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak

spesifik pada TBC Paru. Untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak 2 kali (sewaktu dan

pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua

spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen atau

keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut

dinyatakan positif.

2) Hasil Pengobatan TBC Paru

a) Sembuh

Klien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif

akhir pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan

follow up sebelumnya negatif.

b) Pengobatan Lengkap

klien yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap

tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c) Meninggal

Klien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab

apapun.

d) Pindah

Universitas Borobudur
27

Klien yang pindah berobat ke unit dengan register TBC

Paru yang lain dan hasil pengobatan tidak diketahui.

e) Default (putus berobat)

Klien yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatan selesai.

f) Gagal

Klien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

d. Perjalanan Alamiah TBC Paru yang Tidak Diobati

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun 50% dari klien TBC Paru akan

meninggal, 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tinggi, dan 25%

sebagai kasus kronik yang dapat menular (Kemenkes RI, 2014).

2.2 PENGETAHUAN

2.2.1Definisi

Universitas Borobudur
28

Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah kemampuan seseorang

untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti

jawaban baik lisan atau tulisan, bukti atau tulisan tersebut merupakan suatu

reaksi dari suatu stimulasi yang berupa pertanyaan baik lisan atau tulisan

(Notoatmodjo, 2018). Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan

melalui proses sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek

tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam terbentuknya

perilaku terbuka atau open behavior (Donsu, 2017).

2.2.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (dalam Wawan dan Dewi, 2010) pengetahuan

seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang

berbeda. Secara garis besar dibagi menjadi 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan

yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu disisni

merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja yang digunakan

untuk mengukur orang yang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu dapat

menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan

sebagainya.

b. Memahami (Comprehention)

Universitas Borobudur
29

Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap objek

tersebut, dan juga tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya.

Orang yang telah memahami objek dan materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menarik kesimpulan, meramalkan terhadap suatu

objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan ataupun mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi atau kondisi yang lain. Aplikasi juga

diartikan aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip,

rencana program dalam situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau

memisahkan, lalu kemudian mencari hubungan antara komponen-

komponen dalam suatu objek atau masalah yang diketahui. Indikasi

bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkatan ini adalah jika

orang tersebut dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan,

membuat bagan (diagram) terhadap pengetahuan objek tersebut.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen

pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata lain suatu kemampuan

Universitas Borobudur
30

untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada

sebelumnya.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian berdasarkan suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku

dimasyarakat.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor yang mempengaruhi

pengetahuan:

a. Pendidikan

Proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dan

merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin capat

menerima dan memahami suatu informasi sehingga pengetahuan yang

dimiliki juga semakin tinggi (Sriningsih, 2011).

b. Informasi atau Media Massa

Suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,

memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi

dengan tujuan tertentu. Informasi mempengaruhi pengetahuan seseorang

jika sering mendapatkan informasi tentang suatu pembelajaran maka

akan menambah pengetahuan dan wawasannya, sedangkan seseorang

Universitas Borobudur
31

yang tidak sering menerima informasi tidak akan menambah

pengetahuan dan wawasannya.

c. Sosial, Budaya dan Ekonomi.

Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa penalaran apakah

yang dilakukan baik atau buruk akan menambah pengetahuannya

walaupun tidak melakukan. Status ekonomi juga akan menentukan

tersedianya fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu. Seseorang

yang mempunyai sosial budaya yang baik maka pengetahuannya akan

baik tapi jika sosial budayanya kurang baik maka pengetahuannya akan

kurang baik. Status ekonomi seseorang mempengaruhi tingkat

pengetahuan karena seseorang yang memiliki status ekonomi dibawah

rata-rata maka seseorang tersebut akan sulit untuk meningkatkan

pengetahuan.

d. Lingkungan

Mempengaruhi proses masuknya pengetahuan kedalam individu karena

adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai

pengetahuan oleh individu. Lingkungan yang baik akan pengetahuan

yang didapatkan akan baik tapi jika lingkungan kurang baik maka

pengetahuan yang didapat juga akan kurang baik. Jika seseorang berada

di sekitar orang yang berpendidikan maka pengetahuan yang dimiliki

seseorang akan berbeda dengan orang yang berada di sekitar orang

pengangguran dan tidak berpendidikan.

e. Pengalaman.

Universitas Borobudur
32

Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan dari pengalaman

sebelumnya yang telah dialami sehingga pengalaman yang didapat bisa

dijadikan sebagai pengetahuan apabila medapatkan masalah yang sama.

f. Usia

Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh juga

akan semakin membaik dan bertambah (Budiman dan Riyanto, 2013).

2.3 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Nursalam (2016) pengetahuan seseorang dapat diinterpretasikan

dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

a. Pengetahuan Baik : 76 % - 100 %

b. Pengetahuan Cukup : 56 % - 75 %

c. Pengetahuan Kurang : < 56 %

Menurut Budiman dan Riyanto (2013) tingkat pengetahuan dikelompokkan

menjadi dua kelompok apabila respondennya adalah masyarakat umum, yaitu

a. Tingkat pengetahuan kategori Baik nilainya > 50%

b. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik nilainya ≤ 50%

2.4 KEPATUHAN

Universitas Borobudur
33

1. Definisi

Kepatuhan merupakan kecenderungan penderita melakukan instruksi

medikasi yang dianjurkan (Gough, 2011). Kepatuhan minum obat sendiri

kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi pelayanan

yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan untuk

jangka waktu pengobatan yang dianjurkan (Petorson, 2012).

Perilaku kepatuhan lebih rendah pengobatan yang kompleks, dan pengobatan

dengan efek samping. Penderita TBC paru yang patuh berobat adalah yang

menyesuaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6

bulan (Depkes RI, 2011).

2.5 Indikator

Salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan TBC adalah datang atau

tidaknya penderita setelah mendapat anjuran untuk kontrol kembali.

Seseorang penderita akan dikatakan patuh jika dalam proses pengobatan

penderita meminum obat sesuai dengan aturan paket obat dan tepat waktu

dalam pengambilan obat.

Tipe-tipe ketidakpatuhan pasien antara lain:

a. Tidak meminum obat sama sekali;

b. Tidak meminum obat dalam dosis yang tepat (terlalu kecil/ terlalu besar);

c. Meminum obat untuk alasan yang salah;

d. Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat;

e. Meminum obat lain di saat yang bersamaan sehingga menimbulkan

interaksi obat (Khoiriyah, 2009).

Universitas Borobudur
34

Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa

memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah

sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara

signifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti

yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan

dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatan itu sendiri. Hal-

hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang

disengaja dan yang tidak disengaja. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja

terlihat pada penderita yang gagal mengingat keyakinan tentang pengobatan

antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan (Chambers, 2010).

2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut penelitian yang di lakukan oleh Lestari dan Chairil pada tahun 2017,

kepatuhan minum obat antituberkulosis (OAT) dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu :

a. Motivasi Ingin Sembuh

Motivasi merupakan respon terhadap tujuan. Penderita TBC paru

menginginkan kesembuhan pada penyakitnya. Hal tersebut yang menjadi

motivasi dan mendorong penderita untuk patuh minum obat dan

menyelesaikan program pengobatan.

b. Dukungan Keluarga

Keluarga memiliki peran penting untuk kesembuhan penderita karena

keluarga mampu memberikan dukungan emosional dan mendukung

penderita dengan memberikan informasi yang adekuat. Dengan adanya

Universitas Borobudur
35

keluarga, pasien memiliki perasaan memiliki sebuah tempat yang aman

dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan

diri terhadap emosi pasien.

c. Pengawasan dari PMO

d. Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang dengan sukarela

membantu pasien TBC paru selama dalam masa pengobatan. PMO

biasanya adalah orang yang dekat dengan pasien dan lebih baik apabila

tinggal satu rumah bersama dengan pasien. Tugas dari seorang PMO

adalah mengawasi dan memastikan pasien agar pasien menelan obat

secara rutin hingga masa pengobatan teratur. Pengawasan dari seorang

PMO adalah faktor penunjang kepatuhan minumobat karena pasien

sering lupa minum obat pada tahap awal pengobatan. Namun, dengan

adanya PMO pasien dapat minum obat secara teratur sampai selesai

pengobatan dan berobat secara teratur sehingga program pengobatan

terlaksanakan dengan baik.

e. Pekerjaan

f. Status pekerjaan berkaitan dengan kepatuhan dan mendorong individu

untuk lebih percaya diri dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan

masalah kesehatan sehingga keyakinan diri mereka meningkat. Pasien

TBC yang bekerja cenderung memiliki kemampuan untuk mengubah

gaya hidup dan memiliki pengalaman untuk mengetahui tanda dan gejala

penyakit. Pekerjaan membuat pasien TBC lebih bisa memanfaatkan dan

Universitas Borobudur
36

mengelola waktu yang dimiliki untuk dapat mengambil OAT sesuai

jadwal di tengah waktu kerja.

g. Tingkat Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dan dapat juga

dilakukan dengan penggunaan buku-buku oleh pasien secara mandiri.

Usaha-usaha ini sedikit berhasil dan membuat seorang dapat menjadi taat

dan patuh dalam proses pengobatannya.

2.7 Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8)

Morisky Medication Adherence Scale-8 / MMAS-8 merupakan kuesioner

standar yang dibuat pada awal tahun 1986 oleh Donald E. Morisky dari

Universitas California dan merupakan kuesioner untuk mengukur kepatuhan

pengobatan pasien. Instrumen penelitian dari MMAS-8 yang dilakukan oleh

Morisky, dkk. (2011) telah dikembangkan ke dalam berbagai versi bahasa,

seperti versi Thailand, Perancis, Malaysia, dan Korea yang telah teruji

validitas dan reliabilitasnya. Pengembangan instrumen ke dalam berbagai

versi bahasa ini dilakukan karena penggunaan kuesioner MMAS-8 yang luas

dan banyak digunakan sebagai alat ukur kepatuhan (Al-Qazaz dkk., 2010).

Pengukuran kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis di

Asia, kuesioner MMAS-8 merupakan metode yang paling sering digunakan

untuk menilai kepatuhan pasien TBC paru (Culig dkk., 2014). Menurut

laporan World Health Organization (2017) kepatuhan rata-rata pasien pada

Universitas Borobudur
37

terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju sebesar 50%

dan di negara berkembang diperkirakan akan lebih rendah (Kearney dkk.,

2014). Perbedaan tersebut terjadi karena ada beberapa faktor yang

menyebabkan ketidakpatuhan pasien, pada umumnya diklasifikasikan ke

dalam lima kategori: faktor sosial ekonomi, faktor faktor yang berhubungan

dengan terapi pengobatan yang dijalani pasien, faktor perilaku pasien, faktor

kondisi pasien, dan faktor yang berasal dari regulasi ataupun sistem

pelayanan kesehatan dalam populasi tersebut (Lam dkk., 2015).

Di Indonesia, kuesioner MMAS-8 banyak digunakan untuk menilai tingkat

kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal ini dilakukan karena

kuesioner MMAS-8 yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang

digunakan merupakan kuesioner MMAS-8 versi Indonesia yang sudah baku,

maka tidak perlu melakukan uji validitas lagi, sedangkan kuesioner yang

belum baku perlu dilakukan uji validitas (Nasir dkk., 2015).

MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) merupakan skala kuesioner

dengan butir pertanyaan sebanyak 8 butir menyangkut dengan kepatuhan

minum obat. Kuesioner ini telah tervalidasi pada tuberkulosis tetapi dapat

digunakan pada pengobatan lain secara luas.

a. Kepatuhan tinggi memiliki nilai 8

b. Kepatuhan sedang memiliki nilai 6 - < 8

c. Kepatuhan rendah memiliki nilai 0 - < 6

Pertanyaan pada MMAS-8 versi Indonesia (Morisky et al., 2011)

Universitas Borobudur
38

Tabel 2.5 Kuesioner Kepatuhan

8 Pertanyaan Morisky
No
Medication Adherence Scale Answer
.
MMAS-8

1. Apakah terkadang anda lupa Ya (0) Tidak (1)


minum obat anti tuberkulosis?

Pikirkan selama 2 minggu


2. terakhir, apakah ada hari dimana Ya (0) Tidak (1)
Anda tidak meminum obat anti
tuberkulosis?

3. Apakah anda pernah mengurangi Ya (0) Tidak (1)


atau menghentikan pengobatan
tanpa memberi tahu dokter karena
saat minum obat tersebut anda
merasa lebih tidak enak badan?

4. Saat sedang bepergian, apakah Ya (0) Tidak (1)


anda terkadang lupa membawa
obat anti tuberkulosis?

5. Ya (1) Tidak (0)


Apakah anda meminum obat anti
tuberkulosis anda kemarin?

6. Saat anda merasa kondisi anda Ya (0) Tidak (1)


lebih baik, apakah anda pernah
menghentikan pengobatan anda?

7. Ya (0) Tidak (1)


Apakah anda pernah merasa
terganggu atau jenuh dengan
jadwal minum obat rutin anda?

8. Seberapa sulit anda mengingat a. Tidak pernah (1)


meminum semua obat anda?
b. Pernah sekali (0,75)

c. Kadang-kadang (0,50)

Universitas Borobudur
39

d. Biasanya (0,25)

e. Selalu (0)

Menilai tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TBC paru dapat diukur

dengan kuesioner MMAS-8. Item 1 sampai 7, jika dijawab “ya” maka diberi skor

0 dan jika “tidak” diberi skor 1. Item 5, jika dijawab “ya” maka diberi skor 1 dan

jika “tidak” diberi skor 0. Item 8 menggunakan skala likert 5 poin (0-1), kemudian

hasilnya ditambahkan dengan skor item 1 sampai 7. Skala likert 5 point terdiri

dari 5 pendapat responden yang diminta yaitu tidak pernah (1), pernah sekali

(0,75), kadang-kadang (0,50), biasanya (0,25), dan selalu (0). MMAS-8

dikategorikan menjadi 3 tingkat kepatuhan minum obat: kepatuhan tinggi (skor 8),

kepatuhan sedang (skor 6 - < 8), dan kepatuhan rendah (skor 0 - < 6) (Morisky et

al., 2009).

Universitas Borobudur
BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan kerangka konsep, hipotesis definisi oprasional, disen

penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian waktu npenelitian, etika

penelitian, alat pengumpulan data, prosedur pengumpulan data dan analisis

data

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan satu atau lebih

variabel independen dengan satu variabel dependen. Variabel independen

adalah faktor yang dapat di operasionalkan, sedangkan variabel dependen

adalah situasi masalah yang dapat di operasionalkan dalam penelitian

kuantitatif (Lapau, 2013). Sebuah penelitian sangat memerlukan sebuah

kerangka konsep yaitu suatu model pendahuluan dari sebuah maslaah

penelitian yang akan dilakukan dan menjadi refleksi dari hubungan variabel-

variabel yang akan diteliti. Kerangka konsep dibuat sesuai dengan literatur

dan teori yang sudah ada (Swarjana.2015).

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen dan dependen.

Independen yaitu pengetahuan dan variabel dependen yaitu Tingkat

Kepatuhan Pengobatan Pasien Tubercuosis Paru. Untuk lebih jelasnya dapat

di gambarkan sebagai berikut:

39 Universitas Borobudur
41

Bagan 3.1 Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kepatuhan
Tingkat Pengetahuan
Pengobatan Pasien
Pasien TBC Paru
TBC Paru

Variabel Counfounding

- Usia
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan

Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, diantaranya :

1. Varabel Independen

Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini

disebut bebas artinya variabel yang bebas mempengaruhi variabel

yang lain (Sugiyono, 2017). Variabel independen dalam penelitian ini

adalah pengetahuan.

Universitas Borobudur
42

2. Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi menjadi

akibat karena variabel bebas (Sugiyono, 2017). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah Tingkat Kepatuhan Pengobatan Pasien

Tubercuosis Paru.

3.2 Hipotesis

Menurut Sugiyono, (2017) Hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah dalam

bentuk kalimat pertanyaan.

Hipotesis pada penelitian ini:

1. Ada Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan

Tuberculosis Paru di RS Proklamasi Tahun 2022.

3.3 Definisi operasional

Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran

atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan dan mengembangan

instrument (alat ukur). Atau pegertian variabel – variabel yang diamati

atau diteliti (Notoatmodjo, 2018).

Universitas Borobudur
43

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Definisi Cara
Variabel Alat Ukur Hasil ukur Skala
. Operasional Ukur

1. Usia Usia responden Lembar Mengisi 0:Remaja Rasio

terhitung sejak Kuesoner lembar Akhir

lahir hingga Kuesioner ( 17-25 tahun )

ulang tahun 1:Dewasa

terakhir. Awal

( 26-35 tahun )

2: Dewsa

Akhir

( 36-45

btahun )

3: Lansia Awal

( 46-55

Tahun )

2. Jenis Identitas Lembar Mengisi 0: Laki-laki Ordinal

Kelamin responden Kuesioner lembar 1: Perempuan

sesuai kondissi Kuesioner

fisiknya laki-

laki atau

Universitas Borobudur
44

perempuan.

3 Pendidikan Tingkan Lembar Mengisi 0: SD Ordinal

pendididkan Kuesioner lembar 1: SLTP

terakhir yang Kuesioner 2: SLTA

dijalani 3: Perguruan

Tinggi

4 Pekerjaan Kegiatan Lembar Mengisi 0: Tidak Ordsinal

sehari-hari Kuesioner lembar bekerja

responden yang Kuesioner 1: Ibu rumah

menghasilkan tangga

uang 2: pelajar/

mahasiswa

3: Karyawan

swasta

5: PNS/Sipil

5 Lama Sakit Saat pasien Lembar Mengisi 0: > 1 Tahun Ordinal

awalterdiagnosa Kuesioner lembar 1: < 1 Tahun

TBC Paru Kuesioner

samapi dengan

saat ini.

6 Pengetahuan Segala sesuatu Lembar Mengisi 0: Baik bila

yang diketahui Kuesioner lembar nilai responden

Universitas Borobudur
45

penderita Kuesioner > mean/median

terhadap 0: Kurang baik

kepatuahn < mean/median

pengobatan

TBC Paru

7 Kepatuhan Proses tindakan Lembar Mengisi 0: Tidak patuh Ordinal

dalam Kuesioner lembar jika secor

melakukan Kuesioner jawaban

pengobatan responden

sesuai anjuran < mean/median

dari tenaga 1: Patuh jika

kesehatan. secore jawaban

responden

>mean/median

Peneliti ingin menggunakan teknik non probability sampling, Sugiyono

(2014:122) mengatakan bahwa teknik non probability sampling adalah

teknik penarikan sampel yang tidak memberikan peluang bagi setiap

unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Dan peneliti

akan menggunakan teknik total sampling. Menurut Sugiyono (2014:124)

mengatakan bahwa total sampling adalah teknik penentuan sampel bila

semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel ini

Universitas Borobudur
46

digunakan jika jumlah populasi relatif kecil yaitu tidak lebih dari 30

orang. Total sampling disebut juga sensus, di mana semua anggota

populasi dijadikan sebagai sampel. Maka dari uraian di atas, teknik

penarikan sampel yang digunakan sebagai penelitian sebanyak 30 pasien

tuberculosis paru di RS Proklamasi.

Untuk penjelasan sampel yang akan diteliti, adapun kriteria sampel

dalam penelitian ini adalah :

a. Kriteia inklusi:

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel

(Notoatmodjo, 2018), adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini

adalah :

1) Pasien tb paru yang bersedia menjadi responden dengan

menandatangani informed consent saat pengambilan data.

2) Pasien yang sedang menjalani pengobatan tb paru

3) Pasien tb paru dewasa yang berusia 20-60 tahun.

3.3 Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di RS Proklamasi yang menurut saya masih


banyak pasien yang tidak patuh minum obat.

3.7 Waktu Penelitian


Perijinan Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli, kemudian pengambilan
data akan dilakukan pada bulan Juli 2022, dan melakukan pembuatan
laporan penelitian pada bulan Agustus 2022.

Universitas Borobudur
47

3.8 Etika Penelitian

Masalah etika penelitian kesehatan merupakan masalah yang sangat penting

dalam penelitian, mengingat penelitian kesehatan berhubungan langsung

dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan

(Notoatmodjo,2012). Setiap penelitian yang menggunakan objek manusia

tidak boleh bertentangan dengan etika agar hak responden dapa

terlindungi, kemudian kuesioner dikirim ke subjek ang diteliti dengan

menekankan pada masalah etika penelitian. Untuk penelitian ini

menekankan pada masalah etika yang meliputi:

1. Informed Consent

Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed

consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek penelitian

mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.

Jika subjek penelitian bersedia, maka mereka harus menandatangani

lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia, maka peneliti

harus menghormati keputusan tersebut (Notoatmodjo, 2012). Pada

penelitian ini semua responden akan diberi lembar persetujuan.

2. Anonimity (Kerahasiaan nama/identitas)

Anonimity berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar

pengumpulan data (kuesioner). Peneliti hanya menuliskan kode pada

lembar pengumpulan data tersebut. Pada penelitian ini, peneliti tidak

Universitas Borobudur
48

akan mencantumkan nama subjek penelitian pada lembar

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012).

3. Confidentiality (kerahasiaan hasil)

Bab ini menjelaskan masalah - masalah responden yang harus

dirahasiakan dalam penelitian. Informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012).

3.9 Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner tertutup atau

angket yang diisi langsung oleh responden. Kuesioner adalah sejumlah

pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari

responden. Kuesioner tertutup adalah kuesioner dibuat sedemikian rupa

sehingga responden hanya tinggal memilih atau menjawab pernyataan

yang sudah ada atau disediakan jawabannya (Notoatmodjo, 2012).

Kuesioner yang terdiri dari 20 yang didalamnya memuat pernyataan

seputar hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dalam

penelitian ini.

Adapun instrument yang digunakan pada variabel independen berbentuk

kuesioner dengan 1 (satu) kali ukur. Adapun kuesioner dalam variabel

independen :

Universitas Borobudur
49

1. Kuisioner pengetahuan yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan

menggunakan skala likert. untuk jawaban sangat setuju (skor 5),

setuju (skor 4), tidak tahu (skor 3), tidak setuju (skor 2), sangat tidak

setuju (skor 1).

Adapun kuesioner dalam variabel dependen :

1. Kuesioner tingkat kepatuhan pengobatan tuberculosis paru yang

terdiri dari 2 item dengan pernyataan ya (1) dan tidak (0).

peneliti dengan variabel yang akan diukur. Kuesioner (Angket) merupakan

teknik pengumpulan data dimana responden mengisi perntanyaan,

kemudian setelah diisi dengan lengkap akan di ambil kembali oleh

peneliti.

3.10 Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan penulis dengan

maksud untuk memperoleh informasi secara langsung.

Setelah peneliti melakukan uji proposal kemudian peneliti melanjutkan

untuk memperbaiki proposal penelitian. Setelah itu peneliti mengajukan

pepermohonan izin penelitian lalu setelah mendapatkan persetujuan

peneliti melakukan penelitian kepada responden. Sebelum melakukan

penelitian dengan dilakukannya terlebih dahulu maksud dan tujuan

penelitian kemudian memberikan kuesioner kepada responden dan ketika

responden selesai, peneliti mengambil kembali kuesioner yang sudah diisi.

Universitas Borobudur
50

Untuk selanjutnya, peneliti mengumpulkan semua data yang telah

didapatkan untuk menganalisis hasil kuesioner dan diolah menggunakan

perangkat lunak SPSS. Kemudian setelah semuanya diolah peneliti segera

mempersiapkan sidang skripsi.

3.11 Analisis Data

Analisis pada variabel-variabel didalam penelitian yang dilakukan secara:

1. Analisis Univariat

Menurut Notoatmodjo, (2018) analisa univariat bertujan untuk

medeskripsikan atau menjelaskan karakteristik setiap variabel

penelitian. Pada umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi frekuensi dan presentasi dari setiap variabel misalnya dari

distribusi frekuensi responden penelitian ini berdasarkan

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan

antara 2 variabel yang diduga terdapat hubungan atau berkorelasi

(Notoatmodjo, 2018). Pada penilitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pengobatan di RS

Proklamasi tahun 2022. Alat yang digunakan pada analisis data adalah

korelasi Pearson Chi-Square. Adapun rumus Chi-Square sebagai

berikut :

X2 = [
∑ ( fo−fe) ]
fe

Keterangan :

Universitas Borobudur
51

X2 = Nilai Chi-square

Fe = Frekuensi yang diharapkan

Fo = Frekuensi yang diperoleh / diamati

Jika nilai p-value < a (0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima,

artinya terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan

dengan tingkat kepatuhan pengobatan pasien tuberkulosis. Sedangkan

jika nilai p < alpha (0,05) berarti Ho gagal ditolak dan Ha ditolak,

artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pengobatan pasien

tuberkulosis.

Penilaian dengan Odds Ratio (OR) untuk mengetahui seberapa besar

risiko variabel independen terhadap variabel dependen dengan

estimasi Confidence Interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat

kepercayaan 95%.

Adapun rumus Odds Ratio (OR) adalah :

a b

c d

Keterangan :
OR = a.d / b.c

Keterangan :

Universitas Borobudur
52

a = kasus yang mengalami pajanan

b = kontrol yang mengalami pajanan

c = kasus yang tidak mengalami pajanan

d = kontrol yang tidak mengalami pajanan

Penyajian data pada tabel silang 2 x 2

A: nilai O pada sel A

B: nilai O pada Sel B

C: nilai O pada sel C

D: nilai O pada sel D

Adapun interpretasi Odds Ratio (OR) adalah sebagai berikut :

a. Bila OR =1 berarti tidak ada hubungan faktor risiko dengan

kejadian

b. Bila OR <1 berarti hubungan faktor risiko dengan hasil jadi

adalah efek perlindungan (efek proteksi)

c. Bila OR >1 berarti hubungan faktor risiko dengan hasil jadi

adalah efek penyebab.

Universitas Borobudur

Anda mungkin juga menyukai