PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberculosis Paru (TB Paru) ialah penyakit infeksi menular langsung
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini sangat kerap
melanda organ paru dengan sumber penularan merupakan penderita TB Paru
BTA Positif. Sampai saat ini TB Paru masih menjadi penyakit yang parah di
berbagai Negara di dunia. WHO memperkirakan antara tahun 2002-2020
terdapat sekitar satu miliyar manusia terinfeksi TB Paru, apabila dihitung
pertambahan jumlah penderita TB Paru, akan meninggal setiap tahun.WHO
juga melaporkan bahwa 1/3 penduduk dunia sudah terinfeksi bakteri
tuberkulosis serta 9,6 juta orang sakit karena TB Paru, 1,5 Juta orang
meninggal disebabkan oleh TB Paru (World Health Organization, 2015).
Hasil studi Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia tahun 2018,
menyebutkan bahwa sebesar 1,0% prevalensi Tuberculosis paru klinis yang
tersebar diseluruh Indonesia. Beberapa Provinsi yang di antaranya memiliki
angka Prevalensi di atas angka Nasional yaitu: Provinsi Aceh, DKI Jakarta,
Nusa Tengara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatra
Barat, Kepulauan Riau, Nusa Tengara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tengah dan wilayah timur Indonesia (Riskesdas, 2018). Angka keberhasilan
penyembuhan seluruh permasalahan TB (success rate) sebesar 89% dari
sasaran 85%. Dengan bertambah lebih dari 90% menggambarkan semakin
banyak masyarakat yang mengidap TB Paru yang menyelesaikan pengobatan
sampai tuntas.
Kalimantan Barat pula ialah salah satu Provinsi yang turut ikut serta
dalam pencapaian Indonesia bebas TBC di tahun 2030. Sudah banyak
program dijalankan baik di tingkatan Provinsi maupun di tingkatan Kabupaten
Kota, termasuk perluasan kerjasama dengan berbagai sektor. Angka peristiwa
di Kota
1
2
Pontianak pada tahun 2018 ada 263 orang yang terinfeksi. Hingga saat ini TB
paru masih jadi permasalahan di Kota Pontianak yang utama di kecamatan
Pontianak Barat (Dinkes kota Pontianak 2018). Salah satu kota yang ikut
andil menyumbangkan data permasalahan TBC adalah Kota Pontianak. Data
ulangan tahun 2018 menunjukkan sebesar 1340 kasus dan pada tahun 2019
sebesar 750 kasus permasalahan TBC yang terjadi (Dinkes Provinsi, 2018;
2019).
Bersumber pada data tahun 2019 yang peneliti dapatkan di Pukesmas
Perum 2, pasien penderita penyakit (TB paru) pada tahun 2019-2020 sekitar
93 orang dengan jumlah pasien berulang yaitu 6 orang. Orang yang terinfeksi
bakteri TB memiliki resiko 5-15% seumur hidup jatuh sakit.
Penderita TB juga biasanya akan menyebabkan kurangnya nafsu makan dan
mengalami penyusutan berat badan yang disertai dengan demam, kelelahan
dan keringat malam hari. Jika infeksi tuberkulosis pada paru telah
menimbulkan kerusakan pada paru, akan timbul gejala sesak napas (Data
Puskesmas Perum 2, 2019).
Keberhasilan penyembuhan TB Paru sangat dipengaruhi akan
kepatuhan dalam berobat dan permasalahan kepatuhan pasien penyakit TB
Paru banyak dipengaruhi oleh beberapa aspek. Aspek yang bisa memengaruhi
tingkat kepatuhan seseorang untuk meminum obat, yaitu: usia, pekerjaan,
waktu luang, pengawasan, jenis obat, dosis obat, pengetahuan, sikap serta
penyuluhan dari petugas kesehatan (Danusantoso, H., 2012).
Yulianti, (2019) menempatkan kepatuhan minum obat pengidap
tuberkulosis dipengaruhi oleh diri serta dukungan keluarga. Penyakit
tuberkulosis memerlukan pengobatan jangka panjang untuk mencapai
kesembuhan, dengan tujuan mengenali hubungan efikasi diri, dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pengidap tuberkulosis di
Wilayah Kerja.
Penyembuhan TB paru yang lama kerap membuat penderita bosan serta
memunculkan ketidakpatuhan penderita dalam minum obat (Siswanto, dkk
2015). Pengidap TB yang menempuh pengobatan baik patuh maupun tidak
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini
adalah: apakah ada hubungan peran perawat sebagai care giver dan edukator
dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru di Puskesmas Perum 2?’’
C. Tujuan Penelitian
D. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara peran perawat sebagai
care giver dan edukator dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru
di Puskesmas Perum 2.
E. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien TB paru di Wilayah
Pukesmas Perum 2
b. Mengidentifikasi peran perawat sebagai care giver dalam mengontrol
kepatuhan pasien TB paru dalam mengkonsumsi Obat TB paru?
c. Mengidentifikasi peran perawat educator dalam mengontrol kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi Obat TB paru?
d. Membandingkan peran perawat sebagai care giver dan edukator yang
lebih efektif dalam mengontrol kepatuhan pasien TB paru
mengkonsumsi obat?
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan
bagi institusi dan di harapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dalam
peningkatan ilmu pengetahuan khusus di keperawatan Keperawatan
Medical Bedah.
6
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada
masyarakat tentang pentingnya kepatuhan minum obat pada penderita TB
Paru. Sehingga masyarakat dapat mengerti dan memahami pentingnya
mengkonsumsi obat pada pasien yang terkena TB Paru.
C. Manfaat Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian ini, penelitian berharap dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru,
sehinggah dapat memberikan wawasan kepada masyarakat dan juga
peneliti tentang Kepatuhan Minum Obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) paru ialah penyakit menular yang tidak dapat
dicegah dan masih menjadi masalah kesehatan yang signifikan di
Indonesia karena berdampak signifikan terhadap penurunan efisiensi
kerja. Penyakit TB paru ialah permasalahan yang perlu dicermati
penanggulangan serta pengobatannya, sehingga untuk meningkatkannya
dibuatlah suatu standar nasional oleh Departement Kesehatan Republik
Indonesia yang kemudian menjadi acuan bagi para tenaga Kesehatan
dalam pengendalian dan pengobatan penyakit TB paru di unit-unit
pelayanan kesehatan masyarakat (puskesmas) di Indonesia (Kemenkes
RI, 2016).
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi menular
yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru yang
disebabkan bakteri Mycrobacterium Tuberculosis. Apabila penyakit ini
tidak segera diobati ataupun pencegahannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Pusdatin, 2015).
Penyakit Tuberkulosis paru (TBC) ialah penyakit infeksi kronik menular.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang menyerang parenkim paru
yang disebabkan oleh M. tuberculosis (Irman, 2019).
B. Etiologi Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa yang memiliki sifat yang tidak
umum, khususnya perlindungan dari zat korosif pada pewarnaan (Acid
Resistant Basil) karena basil TB memiliki sel lipoid. Basil TB ini sangat
8
rentan dengan cahaya matahari sehingga dalam beberapa menit saja akan
mati. Basil TB juga akan mati dalam beberapa menit jika terkena
alcohol70% dan lisol 50%. Basil TB membutuhkan waktu 12-24 jam
untuk menyelesaikan mitosis, hal ini memungkinkan pemberian obat yang
tidak berkelanjutan setiap 2-3 hari (Darliana, 2011).
Dalam jaringan tubuh, organisme mikroskopis ini dapat menjadi
lamban dalam waktu yang cukup lama. Sifat dormant ini berarti bahwa
organisme mikroskopis dapat mundur kembali dan membuat tuberkulosis
kembali dinamis. Sifat lain kuman adalah bersifat aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman condong ke jaringan yang kaya oksigen,
untuk situasi ini faktor penekanan pada bagian apikal paru-paru lebih
penting daripada jaringan lain sehingga bagian ini merupakan tempat
preferensi untuk tuberkulosis. Bakteri bisa menyebar dari korban TB paru
BTA positif ke individu di sekitarnya, terutama yang kontak dekat
(Darliana, 2011).
C. Manifestasi Klinis
Penderita TB paru akan menghadapi kondisi medis yang berbeda,
seperti batuk berdahak kronis, demam, berkeringat tanpa sebab di malam
hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu
dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian. Pasien TB
paru juga sering melihat mata konjungtiva atau kulit putih karena pucat,
badan langsing atau berat badan berkurang (Darliana, 2011).
Manifestasi klinis serta penemuan patologi anatomi TB intestinal
sangat bervariasi. Manifestasinya bisa tidak spesifik serta menunjukkan
kemiripan dengan masalah gastrointestinal lain, semacam penyakit
Crohn, colitis ulseratif, limfoma, enteritis amuba, actinomikosis dan
enterokolitis Yersinia SP atau bahkan keganasan pada kolon (Larsson G,
dkk, 2014).
Pemberian imunosupresan pada kasus yang salah terkait dengan
penyakit dalam dapat menyebabkan penyebaran TB yang mendasar
dengan keterikatan yang mematikan (Mukewar S, 2012). Sebaliknya,
9
D. Patofisiologi TB paru
Orang-orang tercemar melalui drop core dari penderita TB paru ketika
pasien batuk, bersin, tertawa. droplet nuclei ini mengandung basil TB dan
ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan terlihat di sekelilingnya. Droplet
nuclei ini mengandung basil TB. ketika Mikobakterium tuberkulosa
berhasil menginfeksi paru-paru, maka akan terbentuk koloni bakteri yang
berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis
bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding
di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan
dinding itu menyebabkan jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut
dan bakteri TB paru akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk dormant
inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada sinar-X (Darliana,
2011).
Sistem imun tubuh bereaksi dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-
tubercolosis melisis (memusnahkan) basil dan jaringan biasa. Reaksi
jaringan ini menyembangkan perkembangan eksudat dalam alveoli,
menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10
minggu setelah pemajanan (Darliana, 2011).
10
E. Pathway TB Paru
F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat di sebabkan oleh fokus primer di
kelenjar getah bening regional. Fokus primer di paru bisa berkembang.dan
akan memicu terjadinya pneumonitis serta pleuritis fokal. Jika itu terjadi.
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan. keluar
melalui bronkus sehingga. menciptakan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar getah bening atau. Paratrakeal yang biasanya berukuran normal
di awal infeksi, akan membesar karna infeksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus bisa terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus. akibat tekanan
luar menyebabkan inflasi yang berlebihan di segmen distal paru. Obstruksi
total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
11
dan nekrosis dapat merusak dan menyebabkan area sekat dinding bronkus
terkikis, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa dapat menyebabkan gangguan total pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang juga dapat
disebut sebagai kombinasi kerusakan segmental. Penyebaran limfogen dan
hematogen dapat terjadi selama masa inkubasi, sebelum perkembangan
imunitas seluler. Saat penyebaran limfogen, bakteri menyebar ke pusat
kelenjar getah bening local untuk membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, bakteri TB masuk kedalam
sirkulasi darah kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran
hematogen penyebab TB ini disebut sebagai penyakit mendasar
(Suegijanto 2016).
Pasien TB yang mengandung kuman TB dalam dahaknya merupakan
Sumber penularan. Pada waktu bersin atau batuk, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percikan
renik). Apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan
dahak yang infeksius maka akan terjadi Infeksi. 3000 semburan dahak
akan mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis untuk sekali
batuk. Sementara itu jika bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500-
1.000.000 M. Tuberculosis (Menkes RI,2016).
Daya penularan. dari seorang penderita ditentukan oleh jumlah kuman
yang di keluarkan dari parunya. Semakin tinggi tingkat hasil positif hasil
pemeriksaan dahak, maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Kemungkinan seseorang tercemar TB dikendalikan oleh
sentralisasi tetesan yang terlihat di sekitar dan rentang pernapasan yang
terlihat di sekeliling (Depkes RI, 2003). Spesialis yang berbeda
mengatakan bahwa penularan mikroba penyebab TB dari satu orang ke
orang lain kecuali M. Bovis. Bentuk.kontaminasi lain yang lebih jarang
terjadi adalah kontaminasi pada petugas laboratorium yang berhubungan
dengan kumpulan bakteri dahak pasien, selain itu dalam beberapa kasus
12
7. Penelitian penunjang
Diagnosis TB. dapat ditegakkan. dari gejala klinis, pemeriksaan
fisik, tes laboratorium, pemeriksaan radiologi.dan pemeriksaan
pendukung. lainnya (Fitria, dkk, 2017).
Gejala klinis TB paru terdiri dari gejala respiratorik berupa:
a. Batuk ≥2 minggu.
b. Batuk disertai darah.
c. Nyeri dada.
d. Sesak napas.
Sedangkan gejala sistemik terdiri dari:
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Malaise.
d. Anoreksia.
e. Penurunan berat badan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi. kejadian Tuberkulosis
Paru, Sosioekonomi, lingkungan. fisik rumah, dan akses pelayanan
kesehatan. Karakteristik pekerjaan.seseorang dapat
mempengaruhi.tingkat gaji, kesejahteraan ekonomi, pendidikan
dan.kepemilikan rumah (Patiro, dkk, 2017).
H. Peran perawat
Peran perawat adalah tingkah. laku yang di harapkan oleh seseorang
terhadapat orang lain, sebagai penyelenggara dalam pelayanan ini perawat
memiliki peran untuk memberikan asuhan keperawatan, melakukan
pembelaan kepada klien, sebagai pendidik untuk tenaga perawat.dan
masyarakat. Tugas itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan sesuai
dengan perannya yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada
(Nurhidayah, 2014). Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada
individu sehat maupun sakit dimanan segala aktivitas yang dilakukan berguna
untuk memulihkan Kesehatan.berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, seperti
mengidentifikasi masalah. (diagnose keperawatan), perencanaan,
14
implementasi dan evaluas, aktivitas ini di lakukan dengan berbagai cara untuk
mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses
keperawatan. Peran perawat juga merupakan. tingkah laku yang diharapkan
oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukan dalam sistem, dimana
dapat dipengartuhi oleh keadaan sosial baik dari profesi maupun diluar profesi
keperawatan yang bersifat konstan (Amalia, 2015).
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, perawat mempunyai peran.dan
fungsi sebagai pendamping termasuk sebagai pemberi perawatan, sebagai
figur orang tua, pencegahan penyakit, pendidikan, konseling, kerjasama,
pengambil keputusan etik dan peneliti (Hidayat, 2012).
Upaya penanggulangan penyakit TB sudah di lakukan melalui berbagai
program kesehatan salah satunya strategi Directly.observed treatment short
course (DOTS). Keberhasilan pengobatan ini tergantung pada informasi
pasien tentang dukungan keluarga serta tidak bisa lepas dari peran tenaga
kesehatan. Setiap tenaga kesehatan harus mampu melaksanakan pelayanan
yang prima yaitu memberikan kepada pasien apa yang memang mereka
butuhkan. Pelayanan prima hanya dapat dicapai dengan pelaksanaan yang
mencakup komponen praktik bersifat disiplin, inisiatif, respons, komunikasi
dan Kerjasama.yang baik dengan pasien (Pongoh, dkk, 2015).
Tenaga kesehatan di rumah sakit/puskesmas sebagai lini terdepan dalam
pelayanan kesehatan dasar merupakan ujung tombak dalam penemuan kasus
TB paru yang juga berperan sebagai fasilitator dan memonitor pengawas
minum obat dalam melaksanakan pengobatan TB paru kepada penderita.
Namun pada kenyataannya masih banyak kasus TB yang belum tertangani
dengan maksimal. Buruknya keteraturan penderita berobat, akses diagnosis
dan pengobatan yang masih terbatas serta tingkat pengetahuan masyarakat
yang masih rendah dikarenakan kurangnya sosialisasi dari tenaga kesehatan
merupakan.fakor-faktor penyebabnya (Pongoh, dkk, 2015).
Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada
peningkatan Kesehatan.dan pencegahan penyakit, juga memandang klien
secara komprehensif. Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 38 tahun
15
membiasakan mereka dengan standar hidup dan budaya penderita TB agar mereka
tahu dan mandiri untuk hidup sehat. Meskipun demikian, mengemukakan masalah
secara akurat dan andal. Penanggulangan TBC secara luas dengan Obat Anti
aksesibilitasnya. Waktu yang di gunakan untuk pengobatan adalah 6-8 bulan. Hal
mengkonsumsi yang tidak teratur. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi
yang tidak lengkap diduga telah menyebabkan kehilangan dua kali lipat kuman
TBC terhadap Obat Anti Tuberkulosis. Oleh karena itu penting sekali bagi
(Wulandari,2015).
Peran perawat
TB Paru
a. Care giver
Care giver memberikan pelayanan
Memperhatikan individu
Perawat sebagai mengidenfikasi diagnosa
Manifestasi klinis keperawatan
b. Edukator
1. Batuk Motivasi
2. Sesak Pendidik
3. Nyeri dada Komunikasi
(Darliana, 2011)
c. Konselor
d. Advokat
e. Chang agent
(Kozier, 2010)
Di teliti
E. Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 keaslian penelitian
F. Hipotesis
1. Ha : ada hubungan antara peran perawat sebagai care giver dan edukator
dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru di Pukesmas Perum 2.
2. Ho : Tidak ada hubungan antara peran perawat sebagai care giver dan
edukator dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru di Pukesmas
Perum 2.
G. Intrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja perawat dan asuhan keperawatan adalah kuesioner.
Peneliti menggunakan 4 jenis kuesioner yaitu kuesioner data demografi,
kuesioner educator, kuesioner kepatuhan minum obat, kuesioner care giver.
a. Kuesioner Demografi
Kuesioner ini berisi empat pernyataan dengan bentuk pernyataan
berupa pertanyaan closed ended question. Kuesioner ini meliputi inisial
nama, usia, jenis kelamin, Pendidikan, Pekerjaan.
b. Kuesioner Kepatuhan minum obat
Pada penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner MMAS-8 (Modified
Morisky Adherence Scale-8) untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien
minum obat. Kuesioner MMAS-8 berisi 8 pertanyaan, dengan 7
pertanyaan dengan hasil jawaban “ya” atau “tidak”, yaitu dengan jawaban
“ya” memiliki skor 1 dan jawaban “tidak” memiliki skor 0. Sedangkan
29
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang
dihubungkan dengan fenomena yang menjadi fokus penelitian, kerangka
konsep akan menjelaskan tentang variabel-variabel yang dapat diukur dalam
penelitian ini. Variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah peran perawat:
care giver dan edukator
2. Variabel terikat (dependen) dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum
obat
Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Edukator
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis
penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross
sectional salah satu desain penelitian analitik yang melibatkan beberapa
variabel untuk melihat pola hubungannya (Dharma, 2017).
29
31
c. Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus sederhana untuk populasi kecil < 10.000 menggunakan rumus
Slovin (Nursalam, 2003 dalam Setiawan & Saryono, 2011).
N
n=
1+( N x e ²)
95
n=
1+(95.0 .05 .0 .05)
n= 77 orang
Keterangan:
n= jumlah sampel
N= jumlah keseluruhan
e= toleransi error (0.05)
kuesioner yang kita susun akan benar-benar baik dalam mengukur gejala
dan menghasilkan data yang valid.
1. Kuesioner Peran perawat care giver. Peneliti akan melakukan uji
validitas ulang di Puskesmas perum 1 dengan jumlah sampel 30. Uji
validitas akan di uji dengan menggunakan uji pearson product
moment jika nilai r hitung > dari r table maka tertanyaan itu valid.
2. Kuesioner Peran perawat educator. Peneliti akan melakukan uji
validitas ulang di Puskesmas perum 1 dengan jumlah sampel 30. Uji
validitas akan di uji dengan menggunakan uji pearson product
moment jika nilai r hitung > dari r table maka tertanyaan itu valid.
3. Kuesioner Kepatuhan minum obat. Kuesioner kepatuhan minum
obat disusun berdasarkan tinjauan pustaka, kerangka konsep dan dari
penelitian sebelumnya, dengan menggunakan skala guttman, yaitu
menyediakan 2 alternatif jawaban dan setiap jawaban sudah tersedia
nilainya. Pernyataan untuk variabel kepatuhan minum obat terdiri
dari 8 pertanyaan, dengan skor jawaban yaitu selalu, maka nilainya =
(0), sering, maka nilainya = (0,25), kadang-kadang, maka nilainya =
(0,50), Jarang, maka nilainya = (0,75) dan tidak pernah, maka
nilainya = 1.
Pada penelitian ini digunakan kuesioner MMAS-8 yang sudah
tervalidasi. Dari 8 pertanyaan didapatkan skala perhitungan memiliki
nilai R hitung > 0,3 (R tabel) dengan demikian maka nilai R hitung > R
tabel (Chaliks,2012).
bahwa data primer yang didapatkan dari lapangan sudah reliable r hitung
> 0,6 (Chaliks, 2012).
I. Etika Penelitian
Mengingat bahwa manusia menjadi salah satu objek penelitian
keperawatan, maka penelitian yang melibatkan manusia sebagai objek
penelitian harus memperhatikan hak asasi manusia. Bentuk umum
perlindungan bagi manusia sebagai objek penelitian adalah informed consent
yang berisi bukti hak dan kewajiban sebagai objek penelitian serta
perlindungan yang diberikan oleh peneliti (Suryanto, 2011).
Menurut Hidayat (2012), masalah etika yang harus diperhatikan antara
lain sebagai berikut :
1. Informend consent
Informed consent merupakan suatu persetujuan antara peneliti dan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Peneliti
memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian yang akan
dilakukan terhadap calon responden sebelum memberikan lembar
persetujuan. Kemudian peneliti memberikan pernyataan kuesioner kepada
calon responden, dan peneliti memberikan lembar persetujuan untuk
menjadi responden. Apabila calon responden setuju maka peneliti
memberikan pernyataan-pernyataan kuesioner, sebaliknya apabila calon
responden tidak bersedia menjadi responden maka peneliti tidak melanjut
ke tahap pemberian pernyataan kuesioner kepada calon responden yang
38
tidak mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Jika subjek bersedia, maka
peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subyek penelitian caranya dengan tidak
memberikan atau mengancam nama responden pada lembar alat ukur dan
cukup menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil
penelitian yang akan dikaji.
3. Kerahasian (confidentiality)
Masalah ini adalah masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Peneliti harus menjamin kerahasiaan semua informasi yang telah
dikumpulkan atau diberikan oleh responden, hanya kelompok data tertentu
yang akan dilaporkan pada hasil riset.
Nursalam (2015) menjelaskan bahwa dalam melakukan penelitian
menekankan prinsip etika penelitian yang meliputi:
1. Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian yang dilaksanakan hanya mengisi kuesioner sehingga
responden bebas dari bahaya.
b. Bebas dari Eksploitasi
Penelitian yang dilaksanakan ini hanya untuk kepentingan ilmu
pengetahuan sehingga nama responden disembunyikan.
c. Risiko (benefits ratio)
Peneliti harus mempertimbangkan keuntungan dan risiko yang akan
terjadi kepada subjek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (righ to self determination)
Responden mempunyai hak memutuskan bersedia menjadi subjek
ataupun tidak, tanpa adanya sangsi apapun.
39
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perawatan yang diberikan (right to full
disclosure)
Peneliti akan memberikan penjelasan rinci dan bertanggung jawab atas segala
operasi tentang subjek tersebut
c. Informed Consent
Responden akan diberikan informasi lengkap tentang tujuan penelitian
yang akan dilakukan, dan orang yang diwawancarai berhak untuk
berpartisipasi secara bebas atau menolak menjadi orang yang
diwawancarai. Data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, ini juga harus tertulis dalam formulir
informed consent.
J. Jadwal penelitian
Tabel 3.3
Jadwal penelitian
4. Pengolahan data,
analisis dan penyusunan
laporan
5. Seminar hasil