Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS DUKUNGAN SOSIAL PADA KEKAMBUHAN


PASIEN TB PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MAKASSAR
TAHUN 2023

ASRIANI MINARTI S.
NIM: 0074.1017.2022

PROGRAM STUDI : MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis Global TB


(Tuberculosis) Report 2023 pada Selasa 7 November 2023. Salah satu
hasilnya, kasus TBC di Indonesia menempati peringkat kedua di dunia.
Di tahun 2022 lalu, Indonesia juga menempati posisi kedua.
Seperti diketahui dari tahun ke tahun, Indonesia selalu
menempati posisi teratas dalam daftar kasus TBC di dunia. Data
terbaru dalam Global TB Report 2023 menunjukkan urutan persentase
jumlah kasus di dunia. Delapan negara teratas umumnya berada di
kawasan Asia dan Afrika. Di posisi pertama India sebanyak 27 persen,
Indonesia posisi kedua sebesar 10 persen, disusul China sebesar 7,1
persen, keempat adalah Filipina 7 persen, kelima adalah Pakistan
sebesar 5,7 persen, keenam ditempati Nigeria sebsar 4,5 persen,
posisi ketujh ditempati Bangladesh 3,6 persen, dan terakhir di posisi
kedelapan ditempati Republik Demokratik Kongo sebsar 3 persen.
Dalam laporannya juga menemukan peningkatan kasus TBC di
dunia dari 10 juta orang pada tahun 2020, menjadi 10,3 juta orang
pada 2021, dan meningkat kembali menjadi 10,6 juta orang pada
tahun 2022. Indonesia turut berkontribusi terhadap kenaikan tersebut
dengan menyumbangkan sekitar 68 persen kasus TBC di dunia.
Dalam laporan juga disebutkan bahwa 83 negara di dunia
mengalami penurunan kasus TBC rata-rata sekitar 20 persen. Namun
Indonesia dikelompokkan dalam negara yang angka kasus TBC
cenderung naik. Namun demikian, angka kematian akibat TBC di
dunia pada dasarnya cenderung mengalami penurunan. Namun,
penurunan masih belum sesuai target.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2019 jumlah kasus
Tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 543.874 kasus, menurun bila
dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun
2018 yang sebesar 566.623 kasus. Jumlah kasus tertinggi dilaporkan
dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi
tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus
tuberkulosis di Indonesia (45%) (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Data dari Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, menunjukkan
jumlah penderita TB Paru per kabupaten/Kota tahun 2019 sebanyak
19.071 kasus, dengan rincian laki- laki sebanyak 11.226 orang dan
perempuan 7.845 orang. Jumlah BTA+ sebesar 11.476 orang
(60,17%) yang terdaftar dan diobati, dengan kesembuhan pada tahun
2019 berjalan sebanyak 5.366 orang (46.75%). (Dinkes Prov. Sulawesi
Selatan, 2020).
Angka penularan penyakit TB paru di Kota Makassar masih
cukup tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan
Kota Makassar, penderita TB pada tahun 2019 mencapai 5.412,
dengan angka kesembuhan 83 persen. Kemudian pada tahun 2020,
kasus sempat mengalami penurunan menjadi 3.250 dengan angka
kesembuhan sebesar 85 persen, dan pada tahun 2021 kembali
melonjak menjadi 3.911 kasus dengan angka kesembuhan 87 persen.
Menurut Kleinman, meskipun para ahli kesehatan melihat
tuberkolosis sebagai masalah kesehatan masyarakat yang bisa
disembuhkan dengan rutin minum obat hingga enam bulan lamanya.
Akan tetapi jarang diketahui, pasien banyak yang mengalami tekanan
batin. Tuberkolosis seringkali dianggap sebagai penyakit yang
“memalukan” hingga membuat mereka terisolasi dan dikucilkan karena
stigma masyarakat sebagai transmitter penyakit.
Sedangkan bagi penderita Tuberkolosis yang sudah sembuh,
ada peranan penting keluarga dalam kesembuhan salah satu anggota
keluarganya, yang dimulai dari strategi pengobatan hingga rehabilitasi.
Hal ini dipaparkan oleh penelitian Tirta Suhaenra (2018) yang
menyatakan bahwa ada hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan
minum obat karena dapat menumbuhkan perhatian dan rasa empati
bagi penderita TB Paru.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ignasius Bima
Priambada (2019) yang meneliti hubungan dukungan sosial dan
tingkat pendidikan dengan kualitas hidup penderita TB Paru, yang
menyatakan bahwa ada hubungan dukungan sosial dengan kualitas
hidup penderita sedangkan tidak ada hubungan pendidikan dengan
kualitas hidup penderita.
Dari beberapa penelitian yang ditelusuri, semuanya lebih
berfokus pada dukungan sosial terhadap aspek kesembuhan pasien
dan belum ada yang meneliti mengenai hubungan dukungan sosial
dengan kekambuhan pasien TB Paru. Atas dasar hal inilah menjadi
fokus peneliti untuk menggali lebih dalam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh dukungan
sosial dengan kekambuhan pasien penderita TB Paru di Balai Besar
Kesehatan Paru Makassar?”
C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum
Untuk menganalisis dukungan sosial terhadap kekambuhan pasien
TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor penyebab TB Paru di Balai Besar
Kesehatan Paru Makassar.
2. Untuk menganalisis dukungan keluarga terhadap kekambuhan
pasien TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
3. Untuk menganalisis faktor kekambuhan pasien TB Paru di Balai
Besar Kesehatan Paru Makassar.
D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sebagai sumber
ilmiah terbaru yang bisa dijadikan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan baru megenai pentingnya dukungan sosial dari
masyarakat untuk membantu kesembuhan pasien TB Paru dan
mencegah kekambuhan pada pasien penderita TB Paru.

E. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian Vamila Meydiawati (2019) yang meneliti
hubungan dukungan sosial terhadap self efficacy dan kepatuhan
minum obat pada penderita TB Paru, pada penelitian ini dijelaskan
bahwa dukungan dan perlakuan yang baik dapat mempengaruhi self
efficacy dan kepatuhan pada seorang penderita TB Paru.
Sedangkan penelitian Asmaul Husna (2019) yang meneliti
hubungan dukungan sosial keluarga dengan resilience penderita TB
Paru menyatakan bahwa dukungan sosial yang paling tinggi dalam
pengaruhnya dalam meningkatkan resilience yaitu dukungan emosinal
sedangkan dukungan terendah adalah dukungan dari teman sehingga
diharapkan peranan petugas kesehatan sebagai support system dalam
meningkatkan resilience pada penderita TB Paru.
Selain itu, penelitian Anis Rosyiatul Husna dkk (2020) yang
meneliti pengaruh dukungan sosial bagi penderita TB Paru, pada
penelitian ini dijelaskan ada empat unsur dukungan sosial yaitu
dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental dan
dukungan penghargaan dalam membantu kesembuhan pasien TB
Paru.
Pada tesis Akbar (2022), yang meneliti mengenai hubungan
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB
Paru menyatakan bahwa ada hubunga signifikan antara dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru.
Pada tahun 2023, Ance Siallagan dkk yang meneliti hubungan
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB
Paru, menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat. Keluarga sebaiknya memberikan dukungan
secara informasional, penilaian, instrumental dan emosional pada
pasien TB Paru terutama dalam masa pengobatan.
Beberapa hal yang membedakan antara penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah:

1. Dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda.


2. Pasien sasaran dalam penelitian ini merupakan pasien yang
berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar, sehingga pada
pola mata pencaharian, interaksi sosial, dan keadaan lingkungan
berbeda dengan pasien sasaran pada penelitian terdahulu.
3. Jenis variabel yang membedakan adalah dukungan keluarga yang
diberikan kepada pasien yang mengalami kekambuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep


1. Tinjauan mengenai TB Paru

a. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan


oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.

b. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun


dari inang (host). Pada sebagian besar inang, invasi
patogen TB akan direspon secara adekuat oleh sistem
imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah
terjadinya infeksi. Secara paradoks, sebagian besar
kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada infeksi TB justru
berasal dari respon imun inang, misalnya pada kejadian
nekrosis perkijuan dan kavitas yang khas dilihat pada paru
pasien TB. Pada pasien dengan sistem imun yang
inadekuat, misalnya pada pasien HIV, dapat menghasilkan
tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-HIV,
penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto
toraks. Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit
dijumpai kerusakan jaringan akibat respon imun inang ada
pasien TB-HIV, rendahnya respon imun mengakibatkan
bakteri TB lebih mudah berproliferasi dan menyebar. Hal
tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB miliar
yang umum dijumpai pada pasien TB-HIV.
Tidak semua orang yang terpajan dengan patogen TB
akan berkembang menjadi penyakit TB. Secara skematis,
persentase orang terpajan TB yang akan berkembang
menjadi penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.
Tidak terinfeksi
(70%)
Pajanan terhadap
patogen TB TB aktif (5%)
Terinfeksi (30%) Reaktivasi (5%)
TB laten (95%)
Tetap sebagai TB
laten (95%)

Gambar 1. Persentase orang terpajan kuman TB yang


berkembang menjadi penyakit TB.
Sekitar 30% dari orang yang terpajan terhadap kuman
TB akan terinfeksi dengan TB. Dari pasien yang terinfeksi
TB, sekitar 3 – 10 % akan berkembang menjadi TB aktif
dalam 1 tahun pertama setelah infeksi. Setelah 1 tahun,
sekitar 3 – 5 % pasien dengan TB laten akan berkembang
menjadi TB aktif, sisanya akan tetap memiliki TB laten
sepanjang hidup.

c. Penularan Penyakit TB

Tuberkulosis adalah penyakit yang menular lewat


udara (airborne disease). Penularannya melalui partikel
yang dapat terbawa melalui udara (airborne) yang disebut
dengan droplet nuklei, dengan ukuran 1 – 5 mikron. Droplet
nuklei dapat bertahan di udara hingga beberapa jam
tergantung dari kondisi lingkungan. Droplet nuklei memiliki
sifat aerodinamis yang memungkinkannya masuk ke dalam
saluran napas melalui inspirasi hingga mencapai bronkiolus
respiratorius dan alveolus. Bila inhalasi droplet nuklei yang
terinhalasi berjumlah sedikit, kuman TB yang terdeposisi
pada saluran napas akan segera difagosit dan dicerna
oleh sistem imun nonspesifik yang diperankan oleh
makrofag. Namun jika jumlah kuman TB yang terdeposit
melebihi kemampuan makrofag untuk memfagosit dan
mencerna, kuman TB dapat bertahan dan berkembang
biak secara intraseluler di dalam makrofag hingga
menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang terlokalisasi.
Kuman yang berkembang biak di dalam makrofag ini akan
keluar saat makrofag mati. Sistem imun akan merespon
dengan membentuk barrier atau pembatas di sekitar area
yang terinfeksi dan membentuk granuloma. Jika respon
imun tidak dapat mengontrol infeksi ini, maka barrier ini
dapat ditembus oleh kuman TB. Kuman TB, dengan
bantuan sistem limfatik dan pembuluh darah, dapat
tersebar ke jaringan dan organ yang lebih jauh misalnya
kelenjar limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan tulang.
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu
sarang pneumoni, yang disebut fokus primer. Fokus primer
ini dapat timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari fokus
primer akan terjadi peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Fokus primer bersama- sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
kejadian sebagai berikut:

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama


sekali (restitution ad integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara
lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di
hilus)
3) Menyebar dengan cara:
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah
satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman TB
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan.
c) Penyebaran secara limfogen ke kelenjar limfa
sekitar dan dapat menyebabkan limfadenitis TB.
Sistem limfatik paru menyediakan rute
penyebaran M.tuberculosis secara langsung dari
fokus infeksi awal pada paru ke kelenjar limfa
sekitarnya di mana respon imun selanjutnya
terbentuk.8 Pada pembuluh limfa sendiri terjadi
inflamasi progresif sebagai bagian dari proses
infeksi primer. Kuman M. tuberculosis akan
menyebar di saluran pembuluh limfa pada awal-
awal infeksi. Penyebaran pada penjamu yang
memiliki defek imun baik lesi pada paru maupun
kelenjar limfa dapat bersifat progresif. Penyebaran
infeksi ke ekstra paru biasanya berawal dari
penyebaran ke kelenjar limfa. Penyebaran dari
simtem limfatik ini dapat berlanjut ke penyebaran
hematogen melalui duktus torasikus.
d) Penyebaran secara hematogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
TB milier, meningitis TB, typhobacillosis
LandouzyPenyebaran ini juga dapat menimbulkan TB
pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan:
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele
(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
 Meninggal.

d. Kasus TB

Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama, yaitu:

1) Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis

Yaitu pasien TB yang ditemukan bukti infeksi


kuman MTB berdasarkan pemeriksaan bakteriologis.
Termasuk di dalamnya adalah:

a) Pasien TB paru BTA positif


b) Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
c) Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif
d) Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara
bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun
tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
2) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan
bakteriologis.
3) Pasien TB terdiagnosis secara klinis

Yaitu pasien TB yang tidak memenuhi kriteria


terdiagnosis secara bakteriologis, namun berdasarkan
bukti lain yang kuat tetap didiagnosis dan ditata
laksana sebagai TB oleh dokter yang merawat.
Termasuk di dalam klasifikasi ini adalah:

a) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil


pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b) Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada
perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non
OAT, dan mempunyai faktor risiko TB.
c) Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara
klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa
konfirmasi bakteriologis.
d) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis jika
dikemudian hari terkonfirmasi secara
bakteriologis harus diklasifikasi ulang menjadi
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

Selain berdasarkan hasil pemeriksaan


bakteriologis, terdapat beberapa klasifikasi lain yang
dapat digunakan untuk mempermudah komunikasi
antara petugas kesehatan dan pencatatan data.

Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:

1) Tuberkulosis paru: yaitu TB yang berlokasi di parenkim


paru. TB milier dianggap sebagai TB paru karena
adanya keterlibatan lesi pada jaringan paru. Pasien TB
yang menderita TB paru dan ekstraparu bersamaan
diklasifikasikan sebagai TB paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ
selain paru, dapat melibatkan organ pleura, kelenjar
limfatik, abdomen, saluran kencing, saluran cerna, kulit,
meninges, dan tulang. Jika terdapat beberapa TB
ekstraparu di organ yang berbeda, pengklasikasian
dilakukan dengan menyebutkan organ yang terdampak
TB terberat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Kasus baru TB: kasus yang belum pernah


mendapatkan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah
pernah menelan OAT dengan total dosis kurang dari 28
hari.
2) Kasus yang pernah diobati TB:
 Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
didiagnosis kembali dengan TB.
 Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah
diobati dengan OAT dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir.
 Kasus putus obat: kasus yang terputus
pengobatannya selama minimal 2 bulan berturut-
turut.
 Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT
namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.

Klasifikasi hasil uji kepekaan obat:

1) TB Sensitif Obat (TB-SO)


2) TB Resistan Obat (TB-RO):
 Monoresistan: bakteri resisten terhadap salah satu
jenis OAT lini pertama
 Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium
tuberculosis resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
 Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama, namun tidak Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) bersamaan.
 Multi drug resistant (TB-MDR): resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan, dengan atau tanpa
diikuti resistensi terhadap OAT lini
pertama lainnya.
 Pre extensively drug resistant (TB Pre-
XDR): memenuhi kriteria TB MDR dan
resistan terhadap minimal satu
florokuinolon.
 Extensively drug resistant (TB XDR):
adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT grup A (levofloksasin,
moksifloksasin, bedakuilin, atau linezolid)

Klasifikasi berdasarkan status HIV:

1) TB dengan HIV positif


2) TB dengan HIV negatif
3) TB dengan status HIV tidak diketahu

e. Diagnosis
1) Gambaran Klinis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan


berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
2) Gejala klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2


golongan, yaitu gejala utama dan gejala tambahan:

a) Gejala utama
 Batuk berdahak ± 2 minggu
b) Gejala tambahan
 Batuk darah
 Sesak napas
 Badan lemas
 Penurunan nafsu makan
 Penurunan berat badan yang tidak disengaja
 Malaise
 Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
 Demam subfebris lebih dari satu bulan
 Nyeri dada

Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada


pasien dengan koinfeksi HIV.
Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk
menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan
pasien TB, lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat
penduduk, dan orang yang bekerja di lingkungan berisiko
menimbulkan pajanan infeksi paru, misalnya tenaga
kesehatan atau aktivis TB.
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

f. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah


foto toraks dengan proyeksi postero anterior (PA).
Pemeriksaan lain atas indikasi klinis misalnya foto toraks
proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat menghasilkan
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah:

1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan


posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah.
2) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang).

Pemeriksaan penunjang lain:


1) Analisis cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji


Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif, kesan cairan
eksudat, terdapat sel limfosit dominan, dan jumlah
glukosa rendah.
Pemeriksaan adenosine deaminase (ADA) dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
efusi pleura TB. Adenosine deaminase adalah enzim
yang dihasilkan oleh limfosit dan berperan dalam
metabolisme purin. Kadar ADA meningkat pada cairan
eksudat yang dihasilkan pada efusi pleura TB.

2) Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk


membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi.
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui psi atau otopsi,
yaitu:

a) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar


getah bening (KGB).
b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan
jarum abram, Cope dan Veen Silverman).
c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung
biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru
yang dicurigai TB.
e) Otopsi.

g. Pengobatan Tuberkulosis

Tujuan pengobatan TB adalah:

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki


produktivitas serta kualitas hidup.
2) Mencegah kematian dan/atau kecacatan karena
penyakit TB atau efek lanjutannya.
3) Mencegah kekambuhan.
4) Menurunkan risiko penularan TB
5) Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT) serta penularannya.

Pemberian OAT adalah komponen terpenting dalam


penanganan tuberkulosis dan merupakan cara yang paling
efisien dalam mencegah transmisi TB. Prinsip pengobatan
TB yang adekuat meliputi:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang


meliputi minimal empat macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi terhadap OAT.
2) OAT diberikan dalam dosis yang tepat.
3) OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas
menelan obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai.
4) OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup,
meliputi tahap awal/ fase intensif dan tahap lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan TB paru tanpa
komplikasi dan komorbid adalah 6 bulan. Pada TB
ekstraparu dan TB dengan komorbid, pengobatan
dapat membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan.

Pada tahap awal/fase intensif, OAT diberikan setiap


hari. Pemberian OAT pada tahap awal bertujuan untuk
menurunkan secara cepat jumlah kuman TB yang terdapat
dalam tubuh pasien dan meminimalisasi risiko penularan.
Jika pada tahap awal OAT ditelan secara teratur dengan
dosis yang tepat, risiko penularan umumnya sudah
berkurang setelah dua minggu pertama tahap awal
pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk memperkecil
pengaruh sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah
resisten terhadap OAT sejak sebelum dimulai pengobatan.
Durasi pengobatan tahap awal pada pasien TB sensitif obat
(TB-SO) adalah dua bulan.

Pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan.


Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa
kuman TB yang tidak mati pada tahap awal sehingga dapat
mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar
antara 4 – 6 bulan.

h. Pengobatan Suportif / Simptomatis

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan


keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada
indikasi rawat, pasien dapat dilakukan pengobatan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh
atau mengatasi gejala/keluhan.
Terdapat banyak bukti bahwa perjalanan klinis dan
hasil akhir penyakit infeksi termasuk TB sangat
dipengaruhi kondisi kurangnya nutrisi. Makanan sebaiknya
bersifat tinggi kalori-protein. Secara umum protein hewani
lebih superior dibanding nabati dalam merumat imunitas.
Selain itu bahan mikronutrien seperti Zinc, vitamin-vitamin
D, A, C dan zat besi diperlukan untuk mempertahankan
imunitas tubuh terutama imnitas seluler yang berperanan
penting dalam melawan tuberkulosis. Peningkatan
pemakaian energi dan penguraian jaringan yang berkaitan
dengan infeksi dapat meningkatkan kebutuhan mikronutrien
seperti vitamin A, E, B6, C, D dan folat.
Beberapa rekomendasi pemberian nutrisi untuk
penderita TB adalah:

1) Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan


6 kali perhari lebih diindikasikan menggantikan porsi
biasa tiga kali per hari.
2) Bentuk dan rasa makanan yang diberikan seyogyanya
merangsang nafsu makan dengan kandungan energi
dan protein yang cukup.
3) Minuman tinggi kalori dan protein yang tersedia secara
komersial dapat digunakan secara efektif untuk
mencukupi peningkatan kebutuhan kalori dan protein.
4) Bahan-bahan makanan rumah tangga, sepetri gula,
minyak nabati, mentega kacang, telur dan bubuk susu
kering nonlemak dapat dipakai untuk pembuatan
bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan susu
untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa
menambah besar ukuran makanan.
5) Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang
dikonsumsi untuk mencukupi asupan vitamin D dan
kalsium secara adekuat.
6) Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi tiap
hari.
7) Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver
sereal, polong, kentang, pisang dan tepung haver.
8) Alcohol harus dihindarkan karena hanya mengandung
kalori tinggi, tidak memiliki vitamin juga dapat
memperberat fungsi hepar.
9) Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal
6-8 gelas per hari).
10) Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan.
 Bila demam dapat diberikan obat penurun
panas/demam.
 Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala
batuk, sesak napas atau keluhan lain.
11) Hentikan merokok.
i. Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa


komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa
pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah:

1) Batuk darah
2) Pneumotoraks
3) Gagal napas
4) Gagal jantung

Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas


yang memadai.

j. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan


bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan
tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS,
yang juga telah dianut oleh negara kita. Karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat
penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu:

1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB


nasional
2) Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA
mikroskopis
3) Pemberian obat jangka pendek yang
diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4) Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku
/standar

Saat ini terdapat tujuh elemen kunci dalam strategi


nasional program pengendalian TB:

1) Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang


bermutu
2) Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak, dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya
3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah,
LSM, dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix
(PPM) dan menjamin penerapan international standards
for TB care
4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB
5) Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem
kesehatan, termasuk pengembangan SDM kesehatan
dan manajemen program pengendalian TB
6) Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah
terhadap program pengendalian TB
7) Mendorong penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan informasi strategis.

Tujuan

1) Mencapai angka kesembuhan yang tinggi


2) Mencegah putus berobat
3) Mengatasi efek samping obat jika timbul
4) Mencegah resistensi

Pengawasan
1) Pasien berobat jalan:

Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap


minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat
berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan
koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO
harus dekat dengan rumah pasien TB untuk
pelaksanaan DOT ini Beberapa pihak yang dapat
menjadi PMO:

a) Petugas kesehatan (misalnya bidan desa,


perawat, juru imunisasi).
b) Orang lain yang dikenal dan dipercaya untuk
menjadi PMO (misalnya tokoh masyarakat, guru,
atau pemuka agama).
c) Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah.
2) Pasien dirawat:

Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak


sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai
dengan berobat jalan.

Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan


pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan
bahwa harus ada seorang PMO yang harus ikut hadir
di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT.

Petugas PMO kemudian diberikan edukasi dan


pelatihan mengenai tugas-tugas seorang PMO.
PMO harus dilatih mengenai cara mengawasi
pasien menelan obat dengan benar, mengisi kartu
DOT, dan melaporkan efek samping yang terjadi.
Petugas kesehatan juga perlu memastikan komitmen
PMO dalam mendampingi pasien hingga akhir
pengobatan. Pada setiap jadwal kunjungan, PMO wajib
hadir bersama pasien.

Persyaratan PMO

1) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik


oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu
harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia dan sukarela membantu pasien
4) Bersedia dilatih dan bersama pasien mendapatkan
penyuluhan.

Tugas PMO

1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara


teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB
untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan.

k. Penyuluhan

Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang penting,


penyuluhan dapat dilakukan:
1) Perorangan

Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun


keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, misalnya
di apotek saat mengambil obat, atau pada saat
perawatan.

2) Kelompok

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap


kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, atau
masyarakat pengunjung rumah sakit.
Cara memberikan penyuluhan:

1) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah


ada.
2) Materi yang disampaikan perlu diuji tingkat
pemahamannya dengan ditanyakan ulang kepada
peserta penyuluhan.
3) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan,
terutama hal yang belum jelas.
4) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang
mudah dimengerti, gunakan alat peraga jika diperlukan,
misalnya brosur, lembar balik, atau leaflet.

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk


disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau


kutukan.
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan
dan cara pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur.
6) Risiko yang dapat terjadi jika pengobatan tidak tuntas.

Seperti disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari,


bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‫َم ا َأْن َز َل ُهللا َد اًء ِإاَّل َأْن َز َل َلُه ِش َفاًء‬
Artinya : “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga
menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).

2. Tinjauan mengenai Dukungan Sosial

a. Konsep Dasar Dukungan Sosial

1) Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan


orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial
individu seperti keluarga, teman, dan masyarakat
(Olson, Breckler, & Wiggins, 2006). Dukungan sosial
juga diartikan sebagai ketersediaan, penghargaan,
kasih sayang, dan kepedulian dari orang-orang yang
diandalkan oleh seseorang. Sejalan dengan itu Uchino
(2004, dalam Sarafino & Smith, 2012) menyatakan
bahwa social support atau dukungan sosial mengacu
pada kenyamanan, kepedulian, atau bantuan yang
diterima oleh individu dari seseorang atau
sekelompok orang (Sarafino & Smith, 2012). Dukungan
sosial bisa didapat dari banyak sumber seperti
keluarga, pasangan, dokter, atau orang-orang dalam
organisasi dan komunitas (Sarafino & Smith, 2012).
Sarafino & Smith (2012) menyatakan tidak semua
orang mendapatkan dukungan sosial. Beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan
dukungan sosial adalah jika orang tersebut tidak
bersosialisasi, tidak suka menolong orang lain, atau
tidak membiarkan orang lain tau bahwa mereka
membutuhkan bantuan.
Efek dari dukungan sosial sangatlah kompleks
karena agar benar- benar bisa membantu mengatasi
permasalahan individu yang bersangkutan, jenis
dukungan sosial yang diberikan harus sesuai dengan
situasi yang dialami individu (Noller, Feeney, &
Peterson, 2007).
Dukungan sosial dapat meningkatkan rasa
kepercayaan diri individu pada pilihannya sendiri.
Selain itu persepsi dan pemahaman seseorang
mengenai sesuatu kemungkinan bisa didasarkan pada
respon orang lain (Friedman, 2010).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu
berupa saran, petunjuk, dukungan, materi, dan hal-hal
yang terkait dengan masalah individu yang diberikan
oleh orang-orang di lingkungan sosialnya seperti
keluarga, orang tua, sekolah, guru, teman, dan
kelompok masyarakat lainnya.

2) Aspek Dukungan Sosial

Terdapat dua aspek yang terlibat dengan


dukungan sosial, yaitu (Sarason, Levine, Basham, &
Sarason, 2003) :

a) Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup


dapat diandalkan saat dibutuhkan oleh individu
yang bersangkutan. Aspek ini terkait dengan
kuantitas dukungan yang diterima individu.
b) Derajat kepuasan individu terhadap dukungan
yang didapatkan.

Aspek ini terkait dengan kualitas dukungan yang


dirasakan oleh individu yang bersangkutan.

3) Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial akan lebih berarti bagi individu


yang menerimanya jika diberikan oleh orang-orang
tertentu yang memiliki hubungan signifikan atau dekat
dengan individu yang bersangkutan. Dengan kata lain
dukungan sosial akan lebih berguna bagi individu jika
diberikan oleh orang tua, keluarga, teman, dan orang-
orang yang memiliki kedekatan hubungan lainya
(Taylor, 2012). Sejalan dengan hal itu, Winemiller dkk
(1993, dalam Noller, Feeney, & Peterson, 2007)
menyatakan terdapat beberapa sumber dukungan
sosial untuk seseorang, yaitu keluarga, teman,
pasangan, organisasi atau kelompok, rekan kerja, dan
tetangga. Sementara Sarafino mengemukakan bahwa
efektivitas dukungan tergantung dari penilaian individu
(Sarafino & Smith, 2012). Dukungan akan menjadi
efektif apabila dukungan tersebut dinilai adekuat oleh
individu penerima (Sarafino & Smith, 2012).

4) Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (Sarafino & Smith, 2012) tidak


semua individu mendapatkan dukungan sosial dari
orang-orang sekitarnya. Ada beberapa faktor yang
menentukan seseorang menerima dukungan sosial,
berikut a d a l a h faktor-faktor yang mempengaruhi
dukungan sosial yang diterima individu:

a) Penerima dukungan (Recipients)

Seseorang akan memperoleh dukungan sosial


jika dia juga melakukan hal-hal yang dapat memicu
orang lain untuk memberikan dukungan terhadap
dirinya. Yang dimaksud dalam hal tersebut adalah
individu harus memiliki proses sosialisasi yang baik
dengan lingkungannya, termasuk didalamnya
membantu orang lain yang butuh pertolongan atau
dukungan, dan membiarkan orang lain tahu bahwa
dirinya membutuhkan dukungan atau pertolongan
jika memang membutuhkan.
Seseorang tidak mungkin menerima dukungan
sosial jika dia tidak ramah, tidak pernah menolong
orang lain, dan tidak assertive atau tidak terbuka
kepada orang lain jika dia membutuhkan dukungan
atau pertolongan. Hal ini terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara individu dan orang-
orang sekitarnya, begitu pula sebaliknya.

b) Penyedia dukungan (Providers)

Providers yang dimaksud mengacu pada


orang-orang terdekat individu yang dapat
diharapkan menjadi sumber dukungan sosial.
Ketika individu tidak mendapatkan dukungan
sosial, bisa saja orang yang seharusnya
memberikan dukungan sedang dalam kondisi yang
kurang baik seperti tidak memiliki jenis bantuan
yang dibutuhkan oleh recipients, sedang
mengalami stress, atau kondisi-kondisi tertentu
yang membuatnya tidak menyadari bahwa ada
orang yang membutuhkan bantuannya.

c) Komposisi dan struktur jaringan sosial

Maksud dari komposisi dan struktur jaringan


sosial adalah hubungan yang dimiliki individu
dengan orang-orang dalam keluarga dan
lingkungannya. Hubungan ini dapat dilihat dalam
ukuran (jumlah orang yang sering berhubungan
dengan individu), frekuensi hubungan (seberapa
sering individu bertemu dengan orang-orang
tersebut), komposisi (apakah orang-orang tersebut
merupakan anggota keluarga, teman, rekan
kerja dan sebagainya) dan intimasi (kedekatan
hubungan individu dan kepercayaan satu sama
lain).
Selain itu menurut Sarafino (Sarafino & Smith,
2012), terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab
dari penolakan sebuah dukungan, yaitu:

1) Bantuan yang diberikan orang lain tidak sesuai dengan


kebutuhan individu sehingga tidak membantu individu
mengatasi masalah yang sedang dialami. Selain itu,
hal ini dapat terjadi jika individu tidak menginginkan
bantuan tersebut atau memang tidak menyadari
bantuan yang diberikan.
2) Kesesuaian antara dukungan sosial dengan kebutuhan
menekankan pentingnya jenis dukungan sosial dengan
kebutuhan individu. Efek positif dari dukungan sosial
sangat jelas terlihat jika orang yang menyediakan
dukungan sosial menyadari kebutuhan-kebutuhan
khusus yang dibutuhkan oleh individu sesuai dengan
masalah yang dihadapi (stressor). Sehingga penting
bagi provider dukungan sosial untuk tidak hanya
menentukan apa akan memberi dukungan atau tidak,
tetapi juga mengetahui jenis dukungan yang
dibutuhkan.

Seperti yang diriwayatkan dalam Al Qur’an surah Al-


Hujurat ayat 10 yang berbunyi:
‫ِاَّن َم ا اْلُمْؤ ِم ُنْو َن ِاْخ َو ٌة َفَاْص ِلُحْو ا َب ْي َن َاَخ َو ْي ُك ْم َو اَّتُقوا َهّٰللا َلَع َّلُك ْم ُت ْر َح ُمْو َن‬

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya


bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.”

3. Tinjauan mengenai Kekambuhan

a. Definisi

Kekambuhan adalah kembalinya suatu penyakit


setelah nampaknya mereda. Kekambuhan menunjukkan
kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup
parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan
memerlukan perawatan inap dan rawat jalan yang tidak
terjadwal (Dorland, 2015). Kekambuhan sering terjadi
selama tahun-tahun pertama dan mungkin terkait dengan
kemunduran klinis dan biasanya penghentian terapi obat
(Robinson, 1999). Menurut The Free Dictionary (2016)
yang dikutip dalam Tlhowe, et al (2017) kekambuhan
adalah kambuhnya gejala penyakit jiwa serupa dengan
yang pernah dialami sebelumnya.

b. Faktor penyebab kekambuhan


Kekambuhan tuberkulosis paru (TB paru) dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa faktor utama
yang dapat menyebabkan kekambuhan TB paru meliputi:

1) Penghentian Pengobatan Sebelum Waktu Selesai:

Salah satu faktor utama kekambuhan TB paru


adalah penghentian pengobatan sebelum waktu yang
ditentukan oleh dokter. Jika pasien tidak menyelesaikan
seluruh siklus pengobatan, bakteri TB yang masih ada
dalam tubuh dapat menjadi resisten terhadap obat-
obatan, dan ini dapat menyebabkan kekambuhan.

2) Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan:

Meskipun pengobatan TB paru berlangsung


dalam beberapa bulan, beberapa pasien mungkin tidak
patuh terhadap rencana pengobatan. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti efek samping
obat, kesulitan dalam mengakses obat, atau kurangnya
pemahaman tentang pentingnya menyelesaikan
pengobatan.

3) Kontak dengan Pasien TB yang Aktif:

Paparan kepada pasien TB aktif yang tidak diobati


dapat meningkatkan risiko kekambuhan. Jika
seseorang memiliki kontak dekat dengan individu yang
masih mengidap TB aktif, risiko terinfeksi dan
mengalami kekambuhan dapat meningkat.

4) Kondisi Kesehatan yang Melemahkan Sistem


Kekebalan:

Kondisi kesehatan yang melemahkan sistem


kekebalan tubuh, seperti infeksi HIV/AIDS, diabetes,
atau penggunaan obat imunosupresan, dapat
meningkatkan risiko kekambuhan TB paru.

5) Ketidaksempurnaan Pengobatan Awal:

Jika pengobatan awal tidak memadai atau obat-


obatan yang digunakan tidak efektif, bakteri TB
mungkin tidak sepenuhnya dibasmi dari tubuh. Ini dapat
meningkatkan risiko kekambuhan.

6) Penyakit TB dengan Resistensi terhadap Obat:

Adanya bakteri TB yang resisten terhadap satu


atau lebih obat dapat menyebabkan kekambuhan. Ini
mungkin terjadi jika pasien sebelumnya telah menerima
pengobatan TB yang tidak efektif.

7) Faktor Lingkungan dan Sosial:

Faktor-faktor seperti kondisi lingkungan yang tidak


mendukung, kurangnya akses ke perawatan kesehatan,
dan ketidakstabilan sosial (misalnya, masalah
perumahan atau kekurangan dukungan sosial) juga
dapat mempengaruhi risiko kekambuhan TB.
Penting untuk memahami bahwa kekambuhan TB
paru dapat dicegah dengan mematuhi pengobatan
yang diberikan oleh dokter, menyelesaikan seluruh
siklus pengobatan, dan menjaga gaya hidup sehat
untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Monitoring
yang cermat dan peran aktif dari pasien dan tenaga
kesehatan juga krusial dalam mencegah kekambuhan
TB.

4. Tinjauan Konsep

Karakteristik Responden
- Umur
- Jenis kelamin
Sumber : Modifikasi “H.L Blum” dari Hery (2011), Notoatmodjo
(2005), Peraturan Menkes RI (No.1077/Menkes/Per/V/2011),
Depkes RI (2009), Heri (2009).
B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan


sebagai berikut:

PASIEN
DUKUNGAN SOSIAL KEKAMBUHAN
TB PARU

Pengawas Lingkungan
KELUARGA
Minum Obat Masyarakat

C. Hipotesis Pengarah

Hipotesis Hipotesis pengarah dalam penelitian kualitatif


ditujukan untuk dapat memperjelas arah penelitian, dalam
penelitian ini hipotesis pengarah yang disusun adalah peranan
dukungan sosial dalam kekambuhan penderita TB Paru.

D. Defenisi Operasional
1. Dukungan sosial adalah sejauh mana peranan keluarga,
petugas pengawas minum obat dan tetangga dalam
memberikan dukungan atau motivasi sehingga terjadi
kekambuhan pada pasien penderita TB Paru.
2. Kekambuhan adalah kembalinya suatu penyakit setelah
nampaknya mereda.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif


dengan pendekatan studi kasus (case study). Informan dalam
penelitian kualitatif menggunakan teknik purposive sampling, yaitu
cara penentuan informan yang ditetapkan secara sengaja atas
dasar kriteria atau pertimbangan tertentu.
Peneliti memilih untuk menggunakan dua tipe informan, yaitu
informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah
informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang
sedang diteliti, sedangkan informan pendukung adalah informan
yang ditentukan dengan dasar pertimbangan memiliki pengetahuan
dan sering berhubungan baik secara formal maupun informal
dengan para informan kunci.
Menurut Sugiyono, pertimbangan memilih informan dalam
penelitian kualitatif ini adalah misalnya “orang yang kita jadikan
informan tersebut paling tahu tentang apa yang kita harapkan dan
memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti”
(2009:61).
1. Informan kunci yaitu orang yang paham mengenai TB Paru
atau juga bertugas secara langsung dalam menghadapi pasien
TB Paru yang mengalami kekambuhan.
2. Informan pendukung yaitu keluarga maupun tetangga yang
mengalami kekambuhan TB Paru di Balai Besar Kesehatan
Paru Makassar.
3. Informan biasa yaitu pasien yang mengalami kekambuhan TB
Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti

Peneliti memiliki peran yaitu sebagai peneliti, perencana,


pengumpul data, analis, penafsir data dan sebagai penyimpul data.

C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar
bulan Januari 2024.
D. Sumber Data
1. Data primer
Data primer diperoleh dari observasi langsung dan
wawancara mendalam kepada informan untuk
mengidentifikasi penyebab kekambuhan pasien TB Paru di
Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
2. Data Sekunder
Selain data primer, juga dilakukan pengumpulan data
sekunder yang berasal dari laporan kejadian kekambuhan TB
Paru Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data melalui:
1. Wawancara
Wawancara yaitu Menurut Esterberg dalam Sugiyono
(2013:231) wawancara merupakan pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik
tertentu. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah wawancara yang ditujukan kepada orang yang
bertanggung jawab dalam terjadinya kekambuhan pada
pasien TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
2. Observasi Lapangan
Observasi lapangan adalah kegiatan yang setiap saat
dilakukan, dengan panca indra yang dimiliki. Selain dengan
membaca koran, mendengarkan radio, menonton televisi atau
berbicara dengan orang lain, kegiatan observasi merupakan
salah satu kegiatan untuk memahami lingkungan (Ardianto
2011:179). Peneliti melakukan pengamatan dari bulan Januari
hingga Maret 2024 di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.
3. Dokumentasi
Adalah penelitian dengan mengambil sejumlah besar
fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi misalnya berupa foto-foto, surat-surat, catatan
harian, dan sebagainya, atau juga peneliti secara langsung
mengambil gambar pada kegiatan yang dilakukan di Balai
Besar Kesehatan Paru Makassar.
F. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yaitu suatu kegiatan yang mengacu pada


penelaahan atau pengujian yang sistematik mengenai suatu hal
dalam rangka mengetahui bagian-bagian, dan hubungan bagian
dengan keseluruhan. Oleh karena data penelitian ini berupa data
kualitatif (antara lain berupa pernyataan, gejala, tindakan nonverbal
yang dapat terekam oleh deskripsi kalimat atau gambar) maka
terdapat tiga alur kegiatan yang dapat dilakukan secara
bersamaan, yaitu:
1. Pengumpulan Data (Data collection) yaitu suatu proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan.
2. Reduksi Data (Data reduction) yaitu Data yang
dikelompokkan selanjutnya disusun dalam bentuk narasi-
narasi, sehingga berbentuk rangkaian informasi yang
bermakna sesuai dengan masalah penelitian.
3. Penyajian data (Data Display) yaitu susunan sekumpulan
informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
4. Penarikan kesimpulan (Conclusion verivications) dimana
kesimpulan tersebut diverivikasi selama proses penelitian.
Verivikasi tersebut berupa tinjauan atau pemikiran kembali
pada catatan lapangan yang mungkin berlangsung sekilas
atau malah dilakukan secara seksama dan memakan waktu
lama, serta bertukar pikiran. Sehingga makna-makna yang
muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya,
dan kecocokannya sehingga membentuk validitasnya.
5. Evaluasi (Evaluation) Melakukan verifikasi hasil analisis data
dengan informan, yang didasarkan pada kesimpulan tahap
keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah
informan yang dapat mengaburkan makna persoalan
sebenarnya dari fokus penelitian.
Adapun model yang dilukiskan Miles dan Huberman adalah
sebagai berikut:
Gambar: Komponen-Komponen Analisis Data: Model
Kualitatif Sumber: Miles and Huberman dalam Sugiyono
(2010:247)

Dari kelima tahap analisis data diatas setiap bagian-bagian


yang ada didalamnya berkaitan satu sama lainnya, sehingga saling
berhubungan antara tahap yang satu dengan tahap yang lainnya.
G. Pengecekan Validitas Temuan/Kesimpulan

Untuk mengecek validitas kesimpulan maka perlu dilakukan


beberapa pengujian. Peneliti menggunakan uji credibility atau uji
kepercayaan terhadap hasil penelitian. Uji keabsahan data ini
diperlukan untuk menentukan absah atau tidaknya suatu temuan
atau data yang dilaporkan peneliti dengan apa yang terjadi
sesungguhnya di lapangan.
Cara pengujian kredibilitas data atau kepercayaan terhadap
hasil penelitian menurut Sugiyono dilakukan dengan perpanjangan
pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi,
diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan
membercheck. ( Sugiyono, 2005:270)
1. Perpanjangan pengamatan, berarti peneliti kembali ke
lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan
sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru.
2. Peningkatan ketekunan, berarti melakukan pengamatan
secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara
tersebut maka kepastian data 68 dan urutan peristiwa akan
dapat direkam secara pasti dan sistematis
3. Triangulasi, diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data
yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi
teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber
yang sama dengan teknik berbeda. Misalnya data diperoleh
dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,
dokumentasi, atau kuesioner. Triangulasi waktu dilakukan
dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara,
observasi, atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang
berbeda. (Sugiyono, 2005:270-274)
4. Diskusi dengan teman sejawat, teknik ini dilakukan dengan
mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh
dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat.
Pemeriksaan sejawat berarti pemeriksaan yang dilakukan
dengan jalan mengumpulkan rekan-rekan sebaya, yang
memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang
sedang diteliti, sehingga bersama mereka peneliti dapat me-
review persepsi, pandangan dan analisis yang sedang
dilakukan. (Moleong, 2007:334).
H. Tahap-Tahap Penelitian dan Jadwalnya.

BULAN
NO KEGIATAN
NOVEMBER DESEMBER JANUARI FEBRUARI FEBRUARI
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan Judul
Penulisan proposal
2
Bimbingan
3 Ujian proposal
4 Revisi proposal
Penelitian lapangan
5
(wawancara informan)
6 Analisis Data
Penulisan hasil penelitian
7
Bimbingan
8 Ujian hasil
9 Revisi hasil
Penulisan Ujian Tutup
10
Bimbingan
12 Ujian tutup

Anda mungkin juga menyukai