Anda di halaman 1dari 27

OUTLINE PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS


PARU TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN PADA KELUARGA
(LITERATURE REVIEW)

Oleh :
Dewi Safitri
2018.D.02.032

YAYASAN EKA HARAP


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN EKA HARAP

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru yang sering dikenal dengan TBC paru disebabkan


bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dan termasuk penyakit
menular. TBC paru mudah menginfeksi pengidap HIV AIDS, orang dengan
status gizi buruk dan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang Penularan
TBC paru terjadi ketika penderita TBC paru BTA positif bicara, bersin atau batuk
dan secara tidak langsung penderita mengeluarkan percikan dahak di udara dan
terdapat ±3000 percikan dahak yang mengandung kuman. Kuman TBC paru
menyebar kepada orang lain melalui transmisi atau aliran udara (droplet dahak
pasien TBC paru BTA positif) ketika penderita batuk atau bersin . TBC paru
dapat menyebabkan kematian apabila tidak mengkonsumsi obat secara teratur
hingga 6 bulan. Selain berdampak pada individu juga berdampak pada keluarga
penderita, yaitu dampak psikologis berupa kecemasan, penurunan dukungan
dan kepercayaan diri yang rendah .TBC paru masih menjadi masalah kesehatan
global WHO tahun 2017 melaporkan terdapat 1,3 Juta kematian yang
diakibatkan TBC paru dan terdapat 300.000 kematian diakibatkan TBC paru
dengan HIV.

Indonesia merupakan negara dengan peringkat ketiga setelah India dan


Cina dalam kasus TBC paru ditunjukkan dari dua per tiga jumlah kasus TBC di
dunia diduduki delapan negara, diantaranya India 27%, Cina 9%, Indonesia 8%,
Filipina 6%, Pakistan 5%, Nigeria dan Bangladesh masing-masing 4% dan
Afrika Selatan 3% Prevalensi TBC paru di Indonesia terbagi menjadi tiga
wilayah, diantaranya Sumatera 33%, Jawa dan Bali 23%, dan Indonesia bagian
timur 44% TBC paru termasuk penyakit yang paling banyak menyerang usia
produktif (15-49 tahun) Penderita TBC BTA positif dapat menularkan TBC
pada segala kelompok usia. Tahun 2017 di kota Semarang terdapat penderita
TBC semua tipe, pada kelompok usia bayi dan anak 24%, pada kelompok usia
15-44 tahun adalah 40% dan pada kelompok usia lebih dari 55 tahun adalah
22%.

1
2

Presentase TBC paru semua tipe pada orang berjenis kelamin laki-laki
lebih besar daripada orang berjenis kelamin perempuan dikarenakan laki-laki
kurang memperhatikan pemeliharaan kesehatan diri sendiri serta laki-laki sering
kontak dengan faktor risiko dibandingkan dengan perempuan Laki-laki lebih
banyak memiliki kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol, kebiasaan tersebut
dapat menurunkan imunitas tubuh dan akan mudah TBC (Tuberkulosis) yang
juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru akibat kuman
Mycobacterium tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa batuk yang
berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak, dan terkadang
mengeluarkan darah.

Kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa


menyerang tulang, usus, atau kelenjar. Penyakit ini ditularkan dari percikan
ludah yang keluar penderita TBC, ketika berbicara, batuk, atau bersin.
Penyakit ini lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan tubuhnya
rendah, misalnya penderita HIV. Di indonesia sendiri, TBC termasuk dalam
satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab utama agen infeksius. Data WHO
2019 menyebutkan jumlah estimasi kasus TBC di Indonesia sebanyak 843.000
orang. Menurut data TB Indonesia tahun 2020, jumlah kasus TBC meningkat
menjadi 845,000 dan jumlah kematian lebih dari 98.000 orang.

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Pada Tahun


2017, ditemukan jumlah kasus baru tuberkulosis sebanyak 2033 kasus, lebih
banyak bila dibandingkan dengan jumlah penemuan kasus pada tahun 2016
sebanyak 1580 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
Kabupaten Kotawaringin Barat sebanyak 316 kasus,diikuti oleh Kabupaten
Kotawaringin Timur sebanyak 310 kasus dan Kabupaten Kapuas dengan
jumlah kasus sebanyak 246 kasus. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit
jumlah kasus BTA+ yang ditemukan adalah di Kabupaten Pulang Pisau
sebanyak 40 kasus, kemudianKabupaten Lamandau sebanyak 49 kasus dan
Kabupaten Gunung Mas dengan jumlah kasus sebanyak 61 kasus .Menurut jenis
kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu pada
laki-laki sebanyak 1.098 kasus sedangkan pada perempuan sebanyak 629 kasus.
Pada masing-masing Kabupaten/Kota seluruh Provinsi Kalimantan Tengah
kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
3

Kota Palangka Raya memiliki 10 puskesmas salah satunya adalah


puskesmas Kereng Bangkirai. Pukesmas Kereng Bangkirai merupakan salah
satu pukesmas di Kota Palangka Raya yang penderita Tuberkulosis Paru
cukup tinggi pada tahun 2020 dengan jumlah 29 kasus 1,88 persen.

Sementara itu, berdasarkan data profil dinas kesehatan provinsi


Kalimantan Tengah tahun 2019, kasus tuberkulosis pada tahun 2018 sebanyak
3.679, kasus yang terkonfirmasi bakteriologis, lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah kasus yang ditemukan pada tahun 2019 sebanyak 3.833 kasus.
Prevalensi tuberkulosis paru pada Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2018 yaitu
sebesar 39%. Kemudian berdasarkan data Rikesdas Kalteng tahun 2018,
persentase tuberkulosis paru di Kota Palangka Raya sebesar 18% (Riskesdas,
2018) dan data Profil Kesehatan Kota Palangka Raya tahun 2018 terdapat 187
dan 320 kasus tuberkulosis paru per- 100.000 penduduk tahun 2019.
Kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat akan mempengaruhi
pengetahuan masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan penularan
tuberculosis (Amalia et al., 2021). Jika hal ini dibiarkan akan memberikan
dampak buruk yaitu penularan tuberkulosis (TB) akan semakin meluas dan
angka kesakitan akibat tuberkulosis akan terus meningkat yang mengakibatkan
angka kematian akan terus bertambah (Mardiatun & Haqiqi, 2019).

Fenomena yang terjadi yaitu anggota keluarga penderita tuberkulosis


paru yang menemani pasien tidak mengetahui penularan tuberkulosis paru
seperti tidak menutup mulut saat bersin dan batuk, tidak membuang dahak
disembarangan tempat, cahaya matahari tidak masuk kedalam rumah, sering
terpapar debu dan asap rokok dan tinggal ditempat yang pemukimannya padat
(Eka Rustia Purnama Sari, 2020).
Menurut Global Tuberculosis Report 2019 yang dirilis oleh WHO (World
Health Organization) pada 17 Oktober 2019, untuk mencapai tujuan strategi
END TB tahun 2020 yaitu mengurangi tuberkulosis sebesar 20 persen dari
jumlah kasus tahun 2015-2018 (Kemenkes RI, 2018). Kurangnya pengetahuan
keluarga tentang tuberkulosis paru dapat menyebabkan kurangnya keperdulian
terhadap dampak yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tuberkulosis sehingga
membuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk memeriksa dahak
sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit tuberkulosis masih kurang
dengan alasan mereka malu dan takut divonis menderita tuberkulosis paru
(Tonsisius Jehaman, 2020).
4

Pengetahuan dengan tindakan pencegahan penularan tuberkulosis paru


pada anggota keluarga penderita tuberkulosis paru memiliki hubungan yang
signifikan (Andriani & Sukardin, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa yang
berpengetahuan baik dan cukup dalam tindakan pencegahan, dibandingkan
dengan berpengetahuan kurang (Eka Rustia Purnama Sari, 2020).

Penelitian Insana Maria (2020) juga menemukan ada hubungan antara


pengetahuan keluarga dengan pencegahan penularan tuberkulosis paru. Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik memiliki
upaya pencegahan tuberkulosis yang tinggi daripada keluarga dengan
pengetahuan yang kurang (Insana Maria, 2020). Penelitian lainnya juga terdapat
hasil bahwa ada hubungan anatara tingkat pengetahuan dengan upaya
pencegahan tuberkulosis paru. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang memiliki
pengetahuan yang kurang tentang upaya pencegahan tuberkulosis paru
berpeluang besar tertular penyakit tuberkulosis dibandingkan orang yang
memiliki pengetahuan yang baik dalam upaya pencegahan tuberkulosis paru
(Ridwan, 2019).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian


Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru Terhadap Upaya
Pencegahan Pada Keluarga di Upt Puskesmas Kereng Bangkirai.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru terhadap upaya


pencegahan pada keluarga

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui Gejala TB paru


2. Mengetahui Jenis TB Paru
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi TB Paru terhadap upaya pencegahan
pada keluarga
5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Perkembangan Ilmu Pengetahuan IPTEK

Manfaat Penelitian diharapkan membantu bagi perkembangan ilmu


pengetahuan teknologi dilaksanakan sebagai kontribusi dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan serta dapat di aplikasikan didalam bidang kesehatan
masyarakat.

1.4.2 Bagi STIKes Eka Harap Palangka Raya

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan, referensi, dan


informasi khususnya mengenai pentingnya untuk pencegahan penyakit menular
dan menjadi bahan ajar dalam materi terkait.

1.4.3.Bagi Instansi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat


kepada instansi kesehatan untuk meningkatkan skrining dan memberikan
pengetahuan lebih kepada kekuarga penderita TB Paru agar lebih menerapkan
hidup sehat.

1.4.4 Bagi Mahasiswa

1. Hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa yang akan


melakukan penelitian lebih lanjut,dan untuk menambah pengalaman dan
pengetahuan bagi penulis.

2. Menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam


Kesehatan Masyarakat.

1.4.5 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi


masyarakat mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tuberkulosis
Paru Terhadap Upaya Pencegahan Pada Keluarga.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman TB ( M. tuberculosis ) sebagian besar menyerang paru tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2009).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius terutama menyerang parenkim paru.TB
paru adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh bacil
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan bagian bawah. Sebagian besar bakteri M. tuberculosis masuk ke
dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami
proses yang dikenal sebagai focus primer (Wijaya & Putri, 2013).
TB Paru adalah salah satu penyakit penyakit menular yang disebabkan
infeksi bakteri M. tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru.
Kuman ini termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding sel
mengandung komplek lipida glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus
zat kimia. (Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2005). Tuberkulosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh kuman M. tuberculosis atau dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).Untuk pemeriksaan bakterologis yang
bisa mengidentifikasi kuman M. tuberculosis menjadi sarana yang diagnosis
yang ideal untuk TB (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

2.1.1 Epidemiologi

Epidemiologi Tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang


menjadi perhatian di dunia. Dengan berbagai upaya pengendalian yang telah
dilakukan, insidens dan kematian akibat turberkulosis sudah menurun. Pada
tahun 2014 tuberkulosis diperkirakan menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan kematian 1,2 juta jiwa. India, Indonesia dan China merupakan
negara dengan penderita tuberkulosis terbesar di dunia (Kementerian
Kesehatan RI, 2016). Tuberkulosis adalah salah satu dari sepuluh penyakit
yang menyebabkan angka kematian terbesar di dunia.

6
7

Pada tahun 2015 jumlah penderita TB baru di seluruh dunia sekitar 10,4 juta
yaitu laki – laki 5,9 juta, perempuan 3,5 juta dan anak – anak 1,0 juta.
Diperkirakan 1.8 juta meninggal antara lain 1,4 juta akibat TB dan 0,4 juta
akibat TB dengan HIV (WHO, 2016).

TB adalah masalah kesehatan dunia, WHO melaporkan sejak dahulu dan


faktanya menurut estimasi WHO prevalensi TB setiap tahun selalu meningkat.
Epidemiologi TB di Indonesia, walaupun prevalensinya menunjukkan
penurunan yang signifikan survey epidemiologi tahun 1980 – 2004 secara
nasional telah mencapai target yang sudah ditetapkan tahun 2015 yaitu 221 per
100.000 penduduk dan WHO memprediksikan kurang lebih 690.000 tau
289/1000 terdapat penderita TB di Indonesia.

TB merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke pada usia 15


tahun ke atas dan penyebab kematian pada bayi dan balita (Nizar,
2017).Sumber infeksi yang paling sering adalah manusia yang
mengekskresikan dari saluran pernafasan sejumlah besar bakteri M.
tuberculosis. Riwayat kontak (contoh dalam keluarga) dan sering terpapar
(petugas medis) menyebabkan kemungkinan tertular melalui droplet.
Kerentanan terhadap bakteri M. tuberculosis merupakan faktor yang
ditentukan oleh resiko untuk mendapatkan infeksi dan resiko munculnya
penyakit klinis setelah infeksi terjadi. Orang beresiko tinggi terkena TB yaitu
bayi, usia lanjut, kurang gizi, daya tahan tubuh yang rendah, dan orang yang
mempunyai penyakit penyerta (Brooks, Carroll, Butel, Morse, & Mietzner,
2010).

2.1.2 Gejala Tuberkulosis

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik (Werdhani, 2009).

a. Gejala sistemik atau umum:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)


2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Terkadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul
8

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan


4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

b. Gejala khusus:

1)Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi


sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanankelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
“mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat


disertaidengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dandisebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demamtinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi, mulai dari


sama sekali tak ada keluhan sampai dengan adanya keluhan-keluhan yang serba
lengkap. Keluhan umum yang sering terjadi adalah malaise (lemas), anorexia,
mengurus dan cepat lelah. Keluhan karena infeksi kronik adalah panas badan
yang tak tinggi (subfebril) dan keringat malam (keringat yang muncul pada
jam-jam 02.30-05.00). Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau
pleura adalah batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri
dada. Makin banyak keluhan- keluhan ini dirasakan, makin besar kemungkinan
TBC. Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TBC di Indonesia
menentukan anamnesis resmi lima keluhan utama yaitu batuk-batuk lama
(lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada
(Danusantoso, 2013).

2.1.3 Jenis Tuberkulosis

TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC


(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang sangat kecil,
kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh
mekanisme
9

imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TBC dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TBC. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TBC dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TBC dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di jaringan paru disebut
Fokus Primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi
TBC. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi
lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi
tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Werdhani, 2009).

TBC primer adalah TBC yang terjadi pada seseorang yang belum pernah
kemasukan basil TBC. Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TBC,
walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TBC tidak akan mati.
Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa
dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan kecepatan 1 basil menjadi
2 basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi oleh satu basil saja, setelah 2
minggu akan menjadi 100.000 basil. TBC sekunder adalah penyakit TBC yang
baru timbul setelah lewat 5 tahun sejak terjadinya infeksi primer.
Kemungkinan suatu TBC primes yang telah sembuh akan berkelanjutan
menjadi TBC sekunder tidaklah besar, diperkirakan hanya sekitar 10%.

Sebaliknya juga suati reinfeksi endogen dan eksogen, walaupun semula


berhasil menyebabkan seseorang menderita penyakit TBC sekunder, tidak
selalu penyakitnya akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir
dengan kematian.hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas
seluler di satu pihak dan jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain.
Walaupun sudah sampai timbul TBC selama masih minimal, masih ada
kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila sistem
imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa
TBC pada anak-anak umumnya adalah TBC
10

primer sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder


(Danusantoso, 2013)

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi Tuberkulosis

Menurut Eka (2013) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian


TB paru, antara lain :

Umur berperan dalam kejadian penyakit TB. Risiko untuk mendapatkan


TB dapat dikatakan seperti halnya kurva normal tebalik, yakni tinggi ketika
awalnya, menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal
terhadap TB dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali
ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
Tingkat pendapatan mempengaruhi angka kejadian TB, kepala keluarga
yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan
dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan
untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru.
Kondisi rumah menjadi salah satu faktor resiko penularan TB paru. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai
dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi perkembangbiakan
kuman.
Membuka jendela setiap pagi dan merokok berpengaruh terhadap kejadian
TB paru. Kegiatan membuka jendela setiap pagi merupakan salah satu upaya
pencegahan penyakit TB paru. Dengan membuka jendela setiap pagi, maka
dimungkinkan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah atau ruangan.
Sedangkan kebiasaan merokok memperburuk gejala TB. Demikian juga
dengan perokok pasif yang menghisap rokok, akan lebih mudah terinfeksi TB
paru.
Riwayat kontak dengan penderita TB paru menyebabkan penularan TB
paru dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya, sedangkan besar resiko terjadinya penularan untuk rumah
tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah
tangga dengan hanya 1 orang penderita TB paru.
11

Dalam penelitian Girsang (2011) dijelaskan bahwa ada dua faktor resiko
yang mengakibatkan terjadinya penyakit TB paru. Pertama faktor lingkungan
yaitu kondisi rumah penderita yang tidak memenuhi syarat antara lain dinding
tidak permanen, kepadatan hunian tinggi, tidak ada pembuangan sampah,
rumah berlantai tanah dan mengkonsumsi air yang tidak memenuhi syarat.
Kedua faktor perilaku yaitu masyarakat masih memiliki pola hidup yang
belum sehat dan masih banyak masyarakat yang merokok. Kurniasari (2012)
mengatakan bahwa faktor resiko penyakit TB paru yaitu kondisi sosial
ekonomi, pencahayaan ruangan dan luas ventilasi. Kondisi sosial ekonomi
yang kurang baik menyebabkan penderita tidak memiliki kemampuan untuk
membuat rumah yang sehat atau memenuhi syarat, kurangnya pengetahuan
untuk mendapatkan informasi kesehatan, kurangnya mendapat jangkauan
layanan memiliki kemampuan untuk membuat rumah yang sehat atau
memenuhi syarat, kurangnya pengetahuan untuk mendapatkan informasi
kesehatan, kurangnya mendapat jangkauan layanan kesehatan dan kurangnya
pemenuhan gizi yang berakibat pada daya tahan tubuh yang randah sehingga
mudah untuk terinfeksi. Pencahayaaan yang kurang menyebabkan kuman
tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, dan gelap
tanpa sinar matahari sampai bertahun tahun lamanya, dan mati bila terkena
sinar matahari. Luas ventilasi yang kurang menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik
untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk
kuman tuberkulosis.
2.1.5 Patogenesis dan Penularan

1) Bakteri Penyebab TB

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Selain itu, terdapat beberapa spesies
Mycobacterium yang juga termasuk BTA yaitu M. tuberculosis, M. africanum,
M. bovis, dan M. leprae. Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis).
Bakteri MOTT terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB (Infodatin Kemenkes RI,
12

2018).Secara umum, bakteri M. tuberculosis mempunyai sifat di antaranya


yaitu:

a. Berbentuk batang (basil) dengan panjang 1-10 mikron, dan lebar 0,2-0,8
mikron.
b. Tahan terhadap suhu rendah antara 40C sampai (-7) 0C sehingga bisa bertahan
hidup dalam waktu lama.
c. Dalam sputum manusia pada suhu 30-370C akan mati dalam waktu lebih
kurang satu minggu.
d. Bersifat tahan asam jika diperiksa secara mikroskopis dalam pewarnaan
metode Ziehl-Neelsen.
e. Bakteri tampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
mikroskop.
f. Memerlukan media biakan khusus yaitu Loweinsten-Jensen dan Ogawa.
g. Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan ultraviolet, sehingga apabila
terpapar langsung sebagian besar bakteri akan mati dalam beberapa menit.h.
Bakteri dapat bersifat tidur atau tidak berkembang (dormant)(Kemenkes RI,
2014, 2017).

2). Cara Penularan TB

a. Sumber penularan dari penyakit ini adalah pasien TB BTA positif melalui
percik renik (droplet nuclei) yang dikeluarkannya. Akan tetapi, bukan berarti
bahwa pasien TB dengan hasil BTA negatif tidak mengandung bakteri dalam
sputumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena jumlah bakteri yang terkandung
dalam contoh uji ≤ dari 5.000 bakteri/cc sputum sehingga sulit dideteksi melalui
mikroskopis langsung.

b. Tingkat penularan pasien TB dengan BTA positif adalah 65%. Tingkat


penularan pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%,
sedangkan BTA negatif dengan hasil kultur negatif serta foto toraks positif
yaitu sebesar 17 %.
c. Infeksi terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik (droplet nuclei) dari sputum penderita TB.
d. Pada saat penderita TB dalam sekali batuk dapat mengeluarkan 0-3500 bakteri,
sedangkan bersin 4500-1.000.000 bakteri.(Kemenkes RI, 2014, 2017)
13

3) Perjalanan Alamiah TB pada Manusia


Terdapat empat tahapan perjalanan alamiah penyakit TB. Tahapan tersebut
yaitu meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit, dan meninggal dunia
(Kemenkes RI, 2014).

a. Paparan

Peluang peningkatan paparan terkait dengan beberapa hal yaitu jumlah


kasus menular di masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat
daya tular sputum oleh sumber penularan, intensitas batuk oleh sumber
penularan, kedekatan kontak dengan sumber penularan, faktor lingkungan yaitu
konsentrasi bakteri di udara, dan lamanya waktu kontak dengan sumber
penularan. Ada catatan penting yaitu paparan kepada pasien TB menular adalah
syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan
sesorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia
karena TB (Kemenkes RI, 2014, 2017).

b. Infeksi

Reaksi imunitas oleh tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah
infeksi. Pertama, reaksi imunologi (lokal) berupa bakteri TB masuk ke alveoli
dan ditangkap makrofag. Kemudian, berlangsung reaksi antigen-antibodi.
Kedua, reaksi imunologi (umum) yaitu terjadinya hipersensitivitas tipe empat
(delayed hypersensitivity) dengan bukti hasil tes tuberkulin menjadi positif.
Ketika lesi umumnya sembuh total, namun bisa saja bakteri tetap hidup di dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat bisa aktif kembali. Hal itu disebabkan
karena penyebaran melalui aliran darah atau getah bening yang bisa terjadi
sebelum penyembuhan lesi (Kemenkes RI, 2014, 2017).

c. Menderita Sakit
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB tergantung dari konsentrasi atau
jumlah bakteri yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang
yang terinfeksi dan tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk) justru akan memudahkan berkembangnya TB aktif (menderita sakit TB).
Apabila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB
akan meningkat pula.
14

Dengan demikian,penularan TB di masyarakat juga akan meningkat.


Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun apabila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses
reaktifasi (Kemenkes RI, 2014, 2017).

d. Meninggal Dunia

Faktor risiko kematian karena TB yaitu akibat dari keterlambatan


diagnosis, pengobatan tidak adekuat, dan adanya kondisi kesehatan sebagai
awal yang buruk atau adanya penyakit penyerta. Pada pasien TB tanpa
pengobatan selama 5 tahun, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat pada
pasien dengan HIV positif. Begitu juga pada ODHA (Orang Dengan HIV-
AIDS), 25% kematian disebabkan oleh TB (Kemenkes RI, 2014, 2017).

2.1.5 Pasien TB

Berdasarkan Hasil Konfirmasi Pemeriksaan Bakteriologis Seorang pasien


TB yang dikelompokkan berdasarkan pemeriksaan contoh uji biologinya
dengan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang
direkomendasikan oleh Kemenkes RI misalnya GeneXpert. Pasien yang
termasuk ke dalam kelompok ini yaitu:

a) Pasien TB paru BTA positif.


b) Pasien TB paru hasil biakan M. tuberculosis positif.
c) Pasien TB paru hasil tes cepat M. tuberculosis positif.
d) Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena infeksi.
e) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.Catatan yang
perlu diperhatikan yaitu semua pasien yang memenuhi definisi di atas harus
dicatat tanpa memandang pengobatan TB sudah dilakukan ataupun belum
(Kemenkes RI, 2014).
• Pasien TB Terdiagnosis Secara Klinis
Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
telah didiagnosis sebagai TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB. Pasien yang termasuk ke dalam kelompok ini yaitu:
15

a) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks


mendukung TB.
b) Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c) TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skor Perlu menjadi catatan bahwa
pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan setelah itu terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik itu sebelum maupun sesudah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis (Kemenkes RI, 2014).

2.1.6 Klasifikasi Pasien TB


Kasus pasien TB diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi penyakit,
riwayat pengobatan sebelumnya, hasil pemeriksaan kepekaan obat dan status
HIV (Human Immunodeficiency Virus ) pasien (PDPI, 2011).

1) Klasifikasi Berdasarkan Letak Anatomi Penyakit

a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim (jaringan)
paru dan ini terjadi secara umum (PDPI, 2011; Kemenkes RI, 2014). Adapun
istilah TB milier yang merupakan komplikasi dari suatu fokus infeksi
tuberkulosis yang disebarkan lewat aliran darah (hematogen) atau getah bening
(limfogen) (Wincen, Zulkarnain, dan Fauzar, 2018). Gambaran dari TB milier
yaitu bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru dengan ukuran lesi (1-5 mm) (Wincen et al, 2018; Robbins & Kumar, 2015).
TB milier menyebabkan semua organ tubuh terkena infeksi TB (Kemenkes RI,
2014, 2017).

b. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain
paru atau di luar paru. Organ lain selain paru di antaranya yaitu pleura, kelenjar
getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus
genitourinarius,kulit, sendi, tulang dan selaput otak (PDPI, 2011; Kemnkes
RI,
2017). Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Bila proses TB terdapat di beberapa
organ,
16

penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat


(Kemenkes RI, 2017).

Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya :

a. Pasien Baru TB
Pasien baru TB ialah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
namun kurang dari satu bulan (kurang dari 28 dosis) (Kemenkes RI, 2014).\

b. Pasien yang Pernah Diobati TB


Pasien TB yang sebelumnya pernah menelan OAT selama satu bulan atau
lebih (lebih dari sama dengan 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir yaitu pasien kambuh, diobati kembali
setelah gagal, diobati kembali setelah putus obat dan lain-lain (Kemenkes RI,
2014, 2017).

Pasien kambuh yaitu pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau


pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena infeksi
ulang). Pasien yang Diobati Kembali Setelah Gagal yaitu Pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir (Kemenkes RI, 2014,
2017)Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (loss to follow-up) yaitu
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan loss to follow-up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat)
(Kemenkes RI, 2014, 2017).Lain-lain yaitu pasien TB yang pernah diobati
namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui (Kemenkes RI, 2014,
2017).

c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Pengelompokan pasien ini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari M.
tuberculosis terhadap OAT dan bisa berupa antara lain :
a) TB Mono Resistan (TB MR)M. tuberculosis resistan terhadap salah satu
jenis OAT lini pertama saja.

b) TB Poli Resistan (TB PR) M. tuberculosis resistan terhadap lebih dari


satu jenis OAT lini pertama selain Rifampisin (R) dan Isoniazid (H)
secara bersamaan.
17

c) TB Multi Drug Resistan (TB MDR) M. tuberculosis resistan terhadap


Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) secara bersamaan, dengan atau tanpa
diikuti resistan OAT lini pertama lainnya.
d) Extensive Drug Resistan (TB XDR) TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Amikasin, Kanamisin,
Kapreomisin)secara bersamaan. Apabila hanya resistan terhadap OAT
golongan fluorokuinolon atau OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak
bersamaan dikenal sebagai kasus TB pre-XDR.
e) TB Resistan Rifampisin (TB RR) M. tuberculosis resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler) atau metode fenotip
(konvensional) (Kemenkes RI, 2014, 2017).
• Pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang TB paru yang kurang baik
memiliki dampak risiko lebih besar terjadi peningkatan kasus TB paru sedangkan
keluarga dan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang TB paru
dapat menurunkan kejadian kasus TB paru. Pendidikan kesehatan mengenai TB
paru dapat berupa pengetahuan dan perilaku pasien, keluarga dan masyarakat
terhadap pencegahan penularan penyakit TB paru. Pengetahuan dan perilaku
yang kurang mengenai penyakit TB paru akan menjadikan pasien berpotensi
sebagai sumber penularan yang berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu
sangat penting suatu keluarga dengan TB paru untuk memiliki pengetahuan
dalam perilaku pencegahan sehingga tidak menularkannya kepada orang lain
(Rizki Febriansyah,2017).
• Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah dengan
menerima vaksin BCG(Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini
termasuk dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2
bulan. Bagi yang belum pernah menerima vaksin BCG, dianjurkan untuk
melakukan vaksin bila terdapat salah satu anggota keluarga yang menderita TBC.
TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker
saat berada di tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC,
18

serta sering mencuci tangan.Walaupun sudah menerima pengobatan, pada


bulan-bulan awal pengobatan (biasanya 2 bulan), penderita TBC juga masih
dapat menularkan penyakit. Jika Anda menderita TBC, langkah-langkah di
bawah ini sangat berguna untuk mencegah penularan, terutama pada orang yang
tinggal serumah dengan Anda:Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau
kenakan Apabila menggunakan tisu untuk menutup mulut, buanglah segera
setelah digunakan. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.Pastikan
rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka
pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.Jangan tidur
sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda derita
tidak lagi menular.
• Mencegah penularan TBC
Berikut beberapa cara yang bisa Anda dan pasien lakukan untuk mencegah
penularan penyakit TBC:Memberikan pengobatan TB yang berkualitas dan
teratur pada pasien TBC hingga sembuh, agar dapat mencegah penularan kepada
orang lain.Tutup mulut saat batuk atau bersin sebagai etika batuk. Hal ini agar
dapat mencegah kuman TBC menyebar di udara.Buanglah dahak dan ludah di
tempat yang benar. Dahak dan ludah yang mengandung kuman TBC dapat
mengambang dan menyebar di udara.Ventilasi udara harus baik dan terkena
cahaya matahari. Ventilasi udara yang baik dapat menggantikan kuman TBC.
Selain itu, cahaya matahari dapat membunuh kuman TBC. Pasien TBC
seharusnya memakai masker saat beraktivitas di luar rumah, untuk menghindari
penularan kepada orang lain.Upayakan untuk memisahkan peralatan pribaadi
pasien, seperti handuk, peralatan makan dan juga peralatan mandi pasien dengan
orang lain termasuk keluarga sekalipun
• Penanggulan TBC di Indonesia melalui gerakan TOSS TBC
Untuk mengakhiri kasus TBC ini, tentu diperlukanupaya bersama dari berbagai
pihak. Salah satu upaya yang telah dilakukan olehpemerintah ialah dengan
menyelenggarakan program TOSS TBC. TOSS TBC merupakan singkatan dari
Temukan Tuberkulosis, Obati Sampai Sembuh.Program ini merupakan salah
satu pendekatan yang dilakukan untuk menemukan, mendiagnosis, mengobati,
dan
19

menyembuhkan pasien TBC serta untuk menghentikan penularan TBC yang


terjadi di tengah masyarakat (Dirjen P2P Kemenkes, 2020) TOSS TBC sendiri
telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2016. TOSS TBC merupakan
program atau gerakan yang mengajak masyarakat untuk memahami dengan
benar mengenai penyakit TB dan penanggulangannya,sehingga diharapkan
mampu membentuk masyarakat yang peduli TB (Pamela Sari &
Rachmawati,2019).
Gerakan ini memiliki tiga langkah, yaitu menemukan gejala di masyarakat,
mengobati TBC dengan tepat dan cepat, dan melakukan pemantauan TBC
sampai sembuh (Kemenkes, 2019). Dalam menilai keberhasilan program
pengendalian tuberculosis, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan,
seperti: indikator penemuan kasus, indikator pengobatan, dan angka keberhasilan
pengobatan TB.
Indikator penemuan kasus dapat dilihat berdasarkan CDR (case detection rate)
yaitu jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan diantara perkiraan
jumlah semua kasus TBC (insiden) dan CNR (case notification rate) yaitu
jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000
penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu. Selama sepuluh tahun terakhir,
CDR di Indonesia mengalami peningkatan dari 30,8% pada tahun 2008 menjadi
42,4% pada tahun 2017.Tidak hanya itu, CNR di Indonesia juga mengalami
peningkatan dari 131 per 100.000 penduduk pada tahun 2008 menjadi 161 per
100.000 penduduk pada tahun 2017 (Kemenkes RI, 2018). Sayangnya,
peningkatan angka CDR dan CNR di Indonesia tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan angka keberhasilan pengobatan pasien TBC. Angka keberhasilan
tersebut mengalami penurunan walaupun tidak secara signifikan dari 89,5% pada
tahun 2008 menjadi 85,1% pada tahun 2017.

Hal ini terjadi karena angka kesembuhan cenderung mempunyai gap dengan
angka keberhasilan pengobatan,sehingga kontribusi pasien yang sembuh terhadap
angka keberhasilan pengobatan mengalami penurunan dari tahun-tahun
sebelumnya. Pada tahun 2017, 42% dari hasil pengobatan pasien TBC mengalami
kesembuhan. Meskipun terjadi penurunan pada angka success rate pengobatan
pasien TBC, angka di Indonesia ini masih berada di atas standar keberhasilan
pengobatan yang ditetapkan oleh WHO, yaitu sebesar 85%.(Kemenkes RI, 2018).
20

Dalam penyelenggaraanya, program TOSS TBC (Temukan Tuberkulosis,


Obati sampai Sembuh) tentu memiliki hambatan atau kendala di dalamnya.
Hambatan atau kendala ini tentu mempengaruhi penanganan untuk penderita TB
itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian oleh Dewi (2019) dapat diketahui
beberapa kendala yang mungkin terjadi saat pengimplementasian program TB.
Kendala-kendala tersebut antara lain
1. Pengawas Minum Obat (PMO) tidak bisa menjalankan tugasnya dengan
baik dikarenakan kurangnya pengetahuan PMO tentang tugas-tugas yang
seharusnya dilakukan oleh PMO,
2. Rendahnya, kesadaran penderita TB untuk mengurangi penularan TB, hal
ini terlihat dari penderita TB tidak menggunakan masker dalam beraktivitas
sehari-hari,
3. Rendahnya, pengetahuan penderita terhadap resiko TB dan
4. Tenaga kesehatan khusus TB yang masih minim sehingga tenaga
kesehatan yang khusus menangani penyakit TB Paru keteteran (Dewi et al.,
2019). Selanjutnya.

Diketahui juga bahwa, beberapa faktor yang berhubungan dengan berhasil


atau tidaknya pengobatan dari penderita TBC adalah status pekerjaan penderita,
kepatuhan penderita dalam pengobatan serta akses ke pelayanan pengobatan
(Pulungan & Permatasari,2021).

Permasalahan TBC di Indonesia ini dapat diselesaikan apabila semua pilar


dan komponen penanggulangan TBC terlaksana dengan baik. Adapun pilar yang
dimaksud adalah integrasi layanan TBC berpusat pada pasien dan upaya
pencegahan TBC,kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas, serta
intensifikasi riset dan inovasi (Kemenkes RI, 2018).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature


riview. Literature riview adalah analisis terintegrasi tulisan ilmiah yang terkait
langsung dengan pertanyaan penelitian (Nursalam,2020).
Literature review adalah analisis terintegrasi tulisan ilmiah yang terkait langsung
dengan pertanyaan penelitian, dan menunjukkan korespondensi antara
tulisan- tulisan dan pertanyaan penelitian yang dirumuskan. Literature review
dapat menjadi sebuah naskah atau manuskrip yang berdiri sendiri dan
dipublikasikan dalam jurnal atau dapat menjadi sebuah tugas akhir atau skripsi
yang terdiri dari bab pendahuluan, bab tinjauan pustaka, bab hasil, dan
pembahasan serta bab kesimpulan (Farida, 2020).

3.2 Kriteria Kelayakan Literature Review

Strategi yang digunakan untuk mencari literatur dalam penelitian ini adalah
menggunakan PICOS dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria
inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini sebagai berikut (Farida, 2020).

1) Population/Problem yaitu populasi atau masalah yang akan dianalisis


sesuai dengan tema yang telah ditentukan dalam literature review.
2) Intervention/Indicators yaitu suatu tindakan atau indikator dari masalah
sesuai dengan tema yang diangkat dalam literature review.
3) Comparation yaitu intervensi yang digunakan sebagai pembanding. Jika
tidak ada dapat menggunakan kelompok kontrol dalam studi yang terpilih.
4) Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh pada studi terdahulu yang
sesuai dengan tema dalam literature review.
5) Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel yang
akan direview.

22
23

Tabel 3.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi Eksklusi


Population Keluarga pasien tuberkulosis Artikel yang tidak menjabarkan dengan
paru
jelas populasi yang digunakan

Intervensi Tidak ada intervensi atau Melakukan intervensi atau tindakan


ada tindakan

Comparison Adanya variabel Tidak mendapatkan hasil bahwa terdapat


Pembanding hubungan tingkat pengetahuan tentang
TB paru terhadap upaya pencegahan pada
keluarga

Outcome Studi yang mencantumkan dan Tidak membahas variabel hubungan


menjelaskan hasil berupa tingkat pengetahuan tentang TB paru
hubungan tingkat pengetahuan terhadap upaya pencegahan pada
tentang TB paru terhadap upaya keluarga
pencegahan pada keluarga

StudyDesign Cross sectional Quasy Eksperimental, Eksperimen.


Sistematik review

Publication Tahun publikasi 2019- Sebagian halaman kurang lengkap


Years 2021
Language Bahasa Indonesia dan Selain Bahasa Indonesia dan Bahasa
inggris
bahasa Inggris

3.3 Sumber Literature

Data sebagai sumber literature yang digunakan dalam penelitian adalah


data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
penelitipeneliti terahulu. Adapun sumber data sekunder yang didapat berupa
artikel jurnal nasional terdahulu. Dalam pencarian sumber literature data
sekunder peneliti menggunakan 1 database yaitu google scoolar dengan
menggunakan Keyword “Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru”.
24

3.4 Seleksi Literature

Berdasarkan hasil pencarian literature melalui database google scoolar,


dengan kata kunci “ Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru” “AND” “Terhadap
upaya pencegahan” “AND” “Pada Keluarga” Mendapatkan 25 Artikel baik
nasional dan internasional. Hasil pencarian artikel yang didapatkan tersebut
kemudian diperiksa duplikasi dan ditemukan sebanyak 5 artikel yang di
publikasi/sama sehingga dikeluarkan dan tersisa 20 Artikel. Kemudian peneliti
melakukan screening berdasarkan judul yang di sesuaikan dengan tema dan
variabel, Sebanyak 5 artikel yang di ekslusi karena tidak sesuai dengan tema
tersisa 15 artikel.
Kemudian peneliti menyeleksi berdasarkan abstrack (didalam abstack tidak
di temukan hasil atau pembahasan terkait variabel yang diteliti) sebanyak artikel
3 di eksklusi sehingga tersisa 12 artikel, dari 12 artikel tersebut Peneliti
memeriksa kelengkapan artikel secara full/lengkap mulai dari judul, abstrak,
latar belakang, metode, hasil, pembahasan dan daftar pustaka didapatkan
sebanyak 6 artikel yang bisa di pergunakan dan memenuhi kelengkapan
tersebut. Sedangan 6 artikel sisanya tidak memenuhi. Seleksi literature di
tampilkan dalam diagram flow berikut.

Diagram 3.1 Diagram_Flow_Seleksi Literature Review Hubugan Tingkat


Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru Terhadap Upaya Pencegahan
pada Keluarga
25

3.5 Tahapan Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah proses pendekatan kepada subjek dan


proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam penelitian
(Nursalam, 2013). Tahapan dan prosedur pengumpulan data dalam penelitian
Literature ini meliputi beberapa tahap sebagai berikut.

1) Proses penyusunan proposal, dalam memulai penelitian, peneliti


menguraikan terlebih dahulu pada menyusun BAB 1 latar belakang dan
menentukan tujuan yang sesuai dengan topik penelitian sampai pada BAB 3
yaitu Hubungan tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru terhadap
upaya pencegahan pada keluarga.
2) Peneliti menentukan pertanyaan Dalam penelitian ini yaitu peneliti
menentukan pertanyaan dalam penelitian ini yaitu hubungan tingkat
pengetahuan tuberkulosis paru terhadap upaya pencegahan pada keluarga?
3) Mencari Literature Dalam penelitian ini pencarian literature menggunakan 1
database yaitu Google Scoolar. Dengan menggunakan kata kunci pencarian
adalah “hubungan tingkat pengetahuan”,”AND”,“Tentang tuberkulosis
paru”, “AND”,”Terhadap upaya pencegahan pada keluarga”
4) Seleksi literature sesuai kriteriaUntuk mendapatkan literature yang layak
sesuai dengan topik, peneliti menentukan kriteria kelayakan artikel dengan
strategi seleksi menggunakan PICOS yang disesuaikan dengan kriteria
inklusi dengan eksklusi.
5) Seleksi literature yang berualitas Setelah melakukan seleksi literature, maka
selanjutnya peneliti melakukan seleksi studi dengan membaca lengkap
keseluruhan isi artikel mulai dari judul, absctrak, latar belakang, metode,
hasil, pembahasan dan daftar pustaka, apabila ditemukan artikel yang tidak
lengkap akan dibuang.
6) Melakukan ekstrasi data, setelah mendaptakan artikel yang sesuai dengan
seleksi literature, peneliti membaca dan menganalisa artikel satu persatu dan
mengambil atau hasil penelitian yang ditemukan dari setiap artikel.
7) Melakukan sintesis hasil dengan metode naratif Setelah dilakukan ekstraksi
data dan ditemukan data hasil penelitian tentang aktor yang mempengaruhi,
serta peneliti melakukan pembahasasn tentang hasil penelitian yang
didapakan serta
26

melakukan sintesis atau menuangkan ide, gagasan berupa data-data


informasi baru.
3.6 Metode Analisis

Metode analisis literature review tentang Hubungan tingkat


pengetahuan tentang tuberkulosis paru terhadap upaya pencegahan pada
keluarga, dalam penelitian ini menggunaan metode analisis deskriptif yaitu
menyajikan data dan menjabarkan secara naratif hasil-hasil penelitian yang
didapatkan dari artikel yang dijadikan sebagai sumber literature.
27

DAFTAR PUSATAKA

Berlian, W. (2021). Pengetahuan dan Upaya Pencegahan pada Keluarga tentang


Tuberkulosis. Gorontalo Jurnal Of Public Health, 4(2), 97–105.
Dewi, N. (2019). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Untuk Sembuh Pada
Pasien Tb Paru Di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
10(1), 78–89. https://doi.org/10.37012/jik.v10i1.19
Maria, I. (2020). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Perilaku Pencegahan Penularan
Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura II. Jurnal Keperawatan
Suaka Insan (Jksi), 5(2), 182–186. https://doi.org/10.51143/jksi.v5i2.242
Pratiwi, E. E., & Sofiana, L. (2019). Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia.
14(November), 4–9. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi/index
Raksanagara, A., & Raksanagara, A. (2016). Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Sebagai
Determinan Kesehatan Yang Penting Pada Tatanan Rumah Tangga Di Kota Bandung.
Jurnal Sistem Kesehatan, 1(1), 30–34. https://doi.org/10.24198/jsk.v1i1.10340
Susianti. (2020). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Tuberkulosis ( TB ) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019 The
Factors Associated With The Incidence Of Pulmonary Tuberculosis In The Working
Area Of Serang City Health Center 2019. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 12,
1–10. https://jikm.upnvj.ac.id/index.php/home/article/download/53/45/
A Wawan & Dewi M, 2019, Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta. Hudoyo, Ahmad, 2017. Tuberculosis mudah diobati. Jakarta:
EGC. Kemenkes RI. 2019. Indonesia Profil Data Kesehatan. Jakarta.
Saferi, A & Mariza, Y, 2017. Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.
Tri Dewi Kristini, & Rana Hamidah, 2020. Potensi Penularan Tuberculosis Paru pada
Anggota Keluarga Penderita. Semarang.
Rony D Alnur, & Rismawati Pangestika, 2018. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada
Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang Selatan.
Arkesmas.
Puji Eka Mathofani, & Resti Febriyanti, 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas SerangKota.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol. 12 Edisi 1, 2020.
Grahyta Dhamayanti, Ari Rahma Yanti, Hanifah Nurdani, Rijkianias Suningsih, 2020.
Analisis Spasial Penyakit Tuberkulosis Paru di Kalimantan TengahTahun 2017.
Bikfokes Volume 1 Edisi 1 Tahun 2020

Anda mungkin juga menyukai