SKRIPSI
Disusun oleh :
ANGGA MUSYAFFA
NIM. C1614201142
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
kematian di seluruh dunia dan penyebab utama dari satu agen infeksius, hal
ini menjadi tantangan besar dalam bidang kesehatan sebagai masalah beban
ganda yang dihadapi oleh pemerintah. Salah satu penyakit menular yang
istilah World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 adalah sebesar
660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. TB
per tahun atau naik dua kali lipat dari estimasi sebelumnya. Laporan
460.000 kasus baru per tahun. Namun di laporan serupa tahun 2015, angka
tersebut sudah direvisi berdasarkan survei sejak 2013, yakni naik menjadi 1
juta kasus baru pertahun. Persentase jumlah kasus di Indonesia pun menjadi
1
2
peringkat ketiga terbesar di Indonesia setelah Papua dan Banten. Hasil data
sebanyak 503 orang belum sembuh karena dropout pengobatan, sebanyak 727
Exstra Paru dan sebanyak BTA tidak diperiksa (untuk kasus anak dengan
2017).
tinggi berpotensi menularkan penyakit TB. Setiap satu BTA positif akan
untuk tertular TB paru adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa
kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko
dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB paru. Atap,
3
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai
paru diantaranya yaitu faktor kependudukan (umur, jenis kelamin, status gizi,
jendela setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak (Kemenkes
RI, 2010).
Matahari tidak masuk ke dalam rumah 28 Orang (77,78%), Jenis lantai rumah
lantai rumah, jenis dinding rumah, kontak dengan penderita TB paru adalah
penghasilan (OR= 6,575), jenis kelamin (OR= 4,772), pekerjaan (OR= 3,272),
kasus TB paru pada periode Januari – Agustus tahun 2019 termasuk dalam 10
terpapar asap dan debu. Terkait dengan keberadaan lingkungan rumah dari
yang kurang sehingga tidak terpapar matahari langsung masuk ke rumah hal
ini menyebabkan suhu yang lembab. Disisi lain, dari 10 orang yang
Tasikmalaya.
B. Rumusan Masalah
yang cukup lama, serta mudah menular kepada orang lain di lingkungan
dapat terjadi pada semua golongan umur, baik laki-laki maupun perempuan,
pada orang yang memiliki kebiasaan merokok, status gizi buruk, dan
keluarga yang memiliki kepadatan hunian rumah, dan kondisi rumah yang
tidak sehat. Secara umum, faktor resiko terjadinya TB paru diantaranya adalah
faktor agen, host dan environtment. Penelitian mengenai faktor risiko penyakit
TB paru masih belum banyak dilakukan oleh karena itu rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan
Tasikmalaya.
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Kabupaten Tasikmalaya.
2. Tujuan Khusus
Tasikmalaya.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
kemampuan diri.
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi perawat dalam rangka
Puskesmas.
paru.
kejadian TB paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di
oksigen yang tinggi (Rab, 2010). TB paru adalah penyakit infeksi yang
khas, diantaranya adalah : berukur sangat kecil dan hanya dapat dilihat di
bawah mikroskop dengan panjang 1 – 4 mikron serta lebar antara 0,3 – 0,6
9
10
bila basil ini diwarnai, warna tersebut tidak akan luntur oleh bahan kimia
yang bersifat asam. Proses berkembang biak basil ini dengan cara
Lingkungan hidup optimal pada suhu 37 C dan kelembaban 70%. Kuman
2. Etiologi
yang ditularkan melalui droplet infection, terutama pada saat batuk atau
terinfeksi bakteri ini adalah orang yang kurang nutrisi, sedang mendapat
dengan ukuran 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar kuman
berupa lemak atau lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih
tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob
yang menyukai daerah dengan banyak oksigen dan daerah yang memiliki
kandungan oksigen tinggi apikal atau apeks paru. Daerah ini menjadi
3. Patofisiologi
berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area
yang hidup dan sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk
Bagian tengah dari massa tersebut Ghon Tuberrcle. Materi terdiri atas
karena respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktip dapat juga
timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif.
Pada kasus ini, terjadi ulesari pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan
terus dan basil terus difagosit atau berkemang biak di dalam sel. basil juga
(Somantri, 2012).
4. Manifestasi klinis
disertai darah, demam ringan, nyeri dada, berat badan mnurun, mailase,
sering keluar keringat dingin pada malam hari, pucat, anemia dan
a. Batuk
c. Nyeri dada
d. Hemoptisis
e. Dispne
13
h. Anoreksia
i. Malaise
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe
infeksi yang primer dapat tanda gejala dan sembuh sendiri atau dapat
efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri
pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat
berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari
5. Klasifikasi TB paru
a. TB paru
dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua klien TB paru. Jenis ini
aktif.
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA (-) dan foto rontgen
tubuh lain selain paru, misalnya ; pleura, selaput otak, selaput jantung
a. Kasus baru
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kambuh
e. Gagal
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan lima atau lebih
dan klien BTA (-) rontgen positif yang menjadi BTA (+) pada akhir
f. Lain-lain
dalam kelompok ini adalah kasus kronik (klien yang masih BTA (+)
7. Penularan TB paru
penderita TB paru
yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika
(Notoatmodjo,2010).
8. Komplikasi TB paru
jalan nafas.
dan sebagainya
9. Pengobatan TB paru
dan dalam jangka waktu yang lama, yaitu enam bulan (Depkes RI, 2009).
penyakit yang ada selama ini diubah disesuaikan dengan program kerja
a. Kategori 1
dengan BTA (+) yang belum pernah mendapat OAT, atau sudah
pernah makan OAT tetapi kurang dari 1 bulan dan untuk klien
Rifampisin 450 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg dan Pirazinamid
1500 mg, seluruh obat dimakan 1 kali setiap hari. Fase lanjutan selama
HRZE/4H3R3.
b. Kategori 2
mendapat OAT lebih dari 1 bulan, klien yang kambuh, klien yang
berobat kembali setelah dropout lebih dari 2 bulan dan klien yang
selama 2 bulan. Untuk fase lanjutan sama seperti pada fase lanjutan
c. Kategori 3
2013).
rawat disanatorium atau rumah sakit, tetapi cukup berobat jalan dan
tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan yaitu 2 hari
berturut-turut pada fase awal atau satu minggu pada fase selanjutnya.
(Depkes, 2009).
yaitu :
ke pelayanan kesehatan.
lanjutan. Pada tahap awal, satu papan obat (blister) diminum sekaligus
terganutng berat ringannya penyakit. Pada tahap lanjutan satu papan obat
pengobatan penyakit dan paru, rumah sakit, klinik dan dokter praktek
swasta. Cara menelan obat yang benar yaitu : sebaiknya satu papan obat
(blister) ditelan sekaligus sebelum makan pagi atau malam sebelum tidur.
Jika sulit, obat boleh ditelan satu persatu akan tetapi harus habis dalam
waktu 2 jam.
sembuh atau menjadi lebih berat bahkan meninggal, sukar diobati karena
ampuh dan mahal harganya, sedangkan obat untuk kuman yang kebal
kondisi yang dapat memperparah sakit. Menghadapi efek dari faktor ini
perawat bekerja secara kolaburasi dengan ahli gizi, dokter dan klien untuk
yang tenang, rileks tanpa tekanan emosional dan bebas dari kegelisahan.
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang
lingkungan yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyebabkan daya
tahan tubuh rendah, gizi buruk, kontak dengan sumber penularan, pengaruh
merokok dan sebagainya. Berikut ini adalah faktor resiko penyakit TB paru
(Manlu, 2010).
1. Umur
Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai bergerak kearah umur tua
24
2016).
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian
besar kasus terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun, di Indonesia faktor
2015).
karena pada usia ini sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan
kondisi ini lebih rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit infeksi,
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
(Manalu, 2010)
25
dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika
tangkal terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan
produktif. Hal ini selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh Eka
paru. Tapi tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurliza
2. Jenis kelamin
ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari jumlah kasus. Penderita
proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini
26
lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
ini didukung dalam data yaitu penderita TB paru pada laki-laki cenderung
paru lebih banyak terjadi pada laki- laki dibandingkan dengan wanita
yang di lakukan oleh Jendra F.J Dotulong dengan judul Hubungan Faktor
27
jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 %
yang menderita TB paru , sebagian besar mereka tidak bekerja 34,9 % dan
berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)
sebesar 62,9 %.
3. Status merokok
isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam Depkes tahun 2014 adalah
mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan
2013)
(Levy, 2014).
terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma,
merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih
dengan cara merusak sel-sel silia yang secara normal membawa lendir ke
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lisa pada
4. Status gizi
penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada
menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan
(Toyalis, 2010).
imun. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar IFN-gamma, IL-2 dan
Body Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur
dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m).
resiko terkena TB paru BTA+ sebesar 1,3 kali dibanding responden yang
tuberkulosis.
5. Status imunisasi
tubuh imun tidak aktif, kemampuan sistem imun untuk merespon pathogen
berkurang baik pada golongan muda dan golongan tua, respon imun
bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara 0%- 80% (Toyalis, 2010)
bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk
6. Pengetahuan
mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
oleh PMO akan lebih terarah dan baik. Sehingga akan meningkatkan
Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, (2) Cara
istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau merokok. (3) Cara
rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. (4) Sikap
tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit
infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. (5)
jika responden dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila <
75%.
Selain itu diperoleh nilai OR= 0,557 (CI= 0,326-0,951), artinya responden
baik.
7. Pekerjaan
cenderung berada di tempat – tempat yang kotor seperti sawah dan kebun
kejdian TB, pekerjaan yang terpapar asap, debu dan partikel kimia lainnya
8. Pendidikan
mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat pendidikan
Khandoker, Khan, Kramer, & Mori tahun 2011. Pendidikan yang tinggi
serta bagian tubuh yang diserang oleh penyakit tuberkulosis. Hal ini sesuai
paling sering menyerang paru-paru namun secara lebih jauh mereka tidak
tau etiologi serta cara penularannya (Khandoker, Khan, Kramer, & Mori,
2011).
9. Pendapatan
analisis bivariat diperoleh nilai p= 0,012 yang berarti ada hubungan yang
(Mahpudin, 2010).
36
air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi sesuai
a. Bahan bangunan
1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat
μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, dan timah
1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan tidak berdebu saat musim
kecelakaan
rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit TB.
c. Pencahayaan
nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup
d. Kualitas udara
e. Ventilasi
itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-
pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selarasa dengan
antara kualitas fisik rumah dan kejadian tuberkolosis paru dengan basil
rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari
yang masuk. Namun pada rumah yang cukup luas dan tidak padat,
relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami isteri dan anak dibawah 2
(Ardhitya, 2015).
hunian rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau tidak ada
biologis bahwa orang yang tinggal di rumah yang padat penghuni berisiko
memenuhi persyaratan.
(Depkes RI, 2011). Apabila seseorang yang telah sembuh dari TB paru
terkena paparan kuman TB paru dengan dosis infeksi yang cukup dari
43
sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin penderita TB paru
(Kemenkes, 2010).
dengan yang tidak kontak dengan penderita tb. Selaras dengan penelitian
BAB III
A. Kerangka Konsep
penyakit tersebut dapat menular dengan cepat pada orang yang rentan dan
daya tahan tubuh lemah. Berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan TB
jenis lantai, kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding), perilaku (kebiasaan
membuka jendela setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak.
sebagai berikut:
44
45
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
C. Hipotesis
10. Terdapat hubungan antara faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di
11. Terdapat hubungan antara faktor kontak dengan penderita dengan kejadian
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
case control. Case control adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
apakah kasus dan kontrol dapat terkena paparan atau tidak. Penelitian ini
1. Populasi
ingin meneliti semua elmen yang ada dalam wilayah penelitian, maka
2. Sampel
individual. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu
kelompok kasus (48 orang penderita TB paru) dan kelompok kontrol (48
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari 2020 yang bertempat di wilayah
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent
tidak dipengaruhi oleh variabel yang lainnya. Dalam penelitian ini variabel
2. Variabel Dependent
50
E. Instrumen Penelitian
3. Field Note, yaitu inti catatan dalam penelitian. Field note dalam penelitian
ini berisi bagian gambaran tentang latar pengalaman, orang, tindakan dan
membaca.
4. Pengambilan data untuk umur, jenis kelamin, status merokok, dan kontak
melalui pengukurang tinggi badan dan berat badan (IMT). Kemudian pada
1. Analisis Univariat
n
P= x 100 %
N
P = Persentase
2. Analisis Bivariat
Keterangan:
X2 = chi square
F0 = Frekuensi observasi
Fh = Frekuensi harapan
Uji statistik untuk menguji hubungan dua variabel dimana masing-
Tabel 4.1
Outcome
Exposure Jumlah
Ya Tidak
Faktor + A B a+b
Faktor - C D c+d
Jumlah a+c b+d N
H. Etika Penelitian
54
1. Self determination
2. Privacy
yang telah diperoleh dirahasiakan dan hanya data yang diperlukan untuk
3. Fair treatment
membeda-bedakan status sosial, suku bangsa, agama, dan ras, serta tidak
dampak buruk dan akibat lain yang ditimbulkan dari penelitian ini.
5. Anonymity
55
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
1. Umur responden
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Umur Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Umur Jumlah Persentase (%)
55-64 tahun 49 51.0
15-54 tahun 47 49.0
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa umur responden sebagian besar
berada pada usia antara 55-64 tahun yaitu sebanyak 49 orang (51.0%),
2. Jenis kelamin
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 64 66.7
Perempuan 32 33.3
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis responden sebagian besar
3. Status merokok
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Status Merokok pada Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Merokok 58 60.4
Tidak 38 39.6
Jumlah 96 100.0
4. Status gizi
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
IMT < 18.5 40 41.7
IMT ≥ 18.5 56 58.3
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa responden yang memiliki IMT
lebih dari 18.5 sebanyak 56 orang (58.3%), dan yang memiliki IMT
5. Suhu Ruangan
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Suhu Rungan Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 38 39.6
Cukup 58 60.4
Jumlah 96 100.0
58
Data pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden
memiliki suhu yang cukup sebanyak 58 orang (60.4%), dan yang kurang
6. Ventilasi
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Ventilasi Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 40 41.7
Cukup 56 58.3
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden
7. Kelembaban
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Kelembaban Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Lembab 41 42.7
Hangat 55 57.3
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden
8. Pencahayaan
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Pencahayaan pada Rumah Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 39 40.6
Cukup 57 59.4
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden
9. Jenis Lantai
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Jenis Lantai Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Tidak kedap air 21 21.9
Kedap air 75 78.1
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden
memiliki jenis lantai yang kedap air sebanyak 75 orang (78.1%), dan yang
Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Rumah Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Padat 34 35.4
Tidak 62 64.6
Jumlah 96 100.0
60
Tabel 5.11
Distribusi Frekuensi Kontak dengan Penderita pada Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Ya 27 28.1
Tidak 69 71.9
Jumlah 96 100.0
Data pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Ya 48 50.0
Tidak 48 50.0
Jumlah 96 100.0
B. Analisis Bivariat
Tabel 5.13
Hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Umur
Jm
F % F % (%)
l
55-64 tahun 32 66.7 17 35.4 49 51.0
0.004 3.647
15-54 tahun 16 33.3 31 64.6 47 49.0
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
menderita TB paru lebih banyak terjadi pada usia 55-64 tahun yaitu
pada usia 15-54 tahun sebanyak 31 orang (64.6%). Hasil uji statistik
15-54 tahun.
Tabel 5.14
Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Jenis Ya Tidak value
kelamin Jm
F % F % (%)
l
Laki-laki 40 83.3 24 50.0 64 66.7 0.001 5.000
62
Data pada tabel 5.13 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
(83.3%), dan tidak bukan penderita TB paru terjadi pada laki-laki dan
Tabel 5.15
Hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Status Ya Tidak value
merokok Jm
F % F % (%)
l
Merokok 36 75.0 22 45.8 58 60.4
0.007 3.545
Tidak 12 25.0 26 54.2 38 39.6
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.15 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
(75.0%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang tidak
merokok.
Tabel 5.16
Hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Status gizi
Jm
F % F % (%)
l
IMT < 18.5 26 54.2 14 29.2 40 41.7
0.023 2.870
MT > 18.5 22 45.8 34 70.8 56 58.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.16 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada responden yang memiliki IMT < 18.5 sebanyak 26
orang (54.2%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang
memiliki IMT > 18.5 sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik
Tabel 5.17
Hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.
Kepadatan TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
F % F % Jm (%)
64
l
Padat 22 45.8 12 25.0 34 35.4
0.055 2.538
Tidak 26 54.2 36 75.0 62 64.6
100. 0.05
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.17 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
orang (45.8%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada rumah yang
tidak padat sebanyak 36 orang (75.0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai
Puskesmas Sukaratu.
Tabel 5.18
Hubungan factor kelembaban rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Kelembaba Ya Tidak value
n Jm
F % F % (%)
l
Lembab 27 56.3 14 29.2 41 42.7
0.013 3.122
Hangat 21 43.8 34 70.8 55 57.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.16 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada rumah yang lembab sebanyak 27 orang (56.3%), dan
Tabel 5.19
Hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Suhu
Jm
F % F % (%)
l
Kurang 27 56.3 11 22.9 38 39.6
0.002 4.325
Cukup 21 43.8 37 77.1 58 60.4
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.19 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada rumah yang memiliki suhu kurang yaitu sebanyak 27
orang (56.3%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.002 (<0.05) yang
Tabel 5.20
Hubungan faktor cahaya rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Cahaya Ya Tidak value
rumah Jm
F % F % (%)
l
Kurang 25 52.1 14 29.2 39 40.6
0.038 2.640
Cukup 23 47.9 34 70.8 57 59.4
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.20 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada rumah yang memiliki cahaya kurang yaitu sebanyak
(70.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.038 (<0.05)
yang cukup.
Tabel 5.21
Hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Ventilasi
Jm
F % F % (%)
l
Kurang 27 56.3 13 27.1 40 41.7
0.007 3.462
Cukup 21 43.8 35 72.9 56 58.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
67
Data pada tabel 5.21 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada rumah yang memiliki ventilas kurang yaitu sebanyak
yang memiliki ventilasi yang cukup sebanyak 35 orang (72.9%). Hasil uji
Tabel 5.22
Hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Jenis lantai
Jm
F % F % (%)
l
Tidak 15 31.3 6 12.5 21 21.9
0.048 3.182
Kedap air 33 68.8 42 87.5 75 78.1
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.22 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih
banyak terjadi pada rumah yang memiliki jenis lantai kedap air yaitu
orang (87.5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.048
memiliki jenis lantai tidak kedap air berpeluang 3.182 kali lipat dapat
kedap air.
Tabel 5.23
Hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Kontak Total OR
Ya Tidak value
dengan
Jm
penderita F % F % (%)
l
Ya 22 45.8 5 10.4 27 28.1
0.000 7.277
Tidak 26 54.2 43 89.6 69 71.9
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
Data pada tabel 5.20 diatas menunjukkan bahwa responden yang kontak
nilai p value sebesar 0.000 (<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat
Tabel 5.24
Rekapitulasi faktor yang berhubungan dengan kejdian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Melihat dari data pada tabel 5.24 menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang
dari nilai OR pada variabel yang diteliti, maka nilai OR paling tinggi adalah
BAB VI
PEMBAHASAN
menderita TB paru lebih banyak terjadi pada usia 55-64 tahun yaitu
pada usia 15-54 tahun sebanyak 31 orang (64.6%). Hasil uji statistik
15-54 tahun.
banyak dialami oleh usia yang lebih tua yakni usia 55-64 tahun. Hal ini
paru paling banyak pada lansia mungkin disebakan karena pada usia ini
sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi ini lebih
karena dalam penelitiannya umur responden yang diteliti mulai dari usia
20 tahun.
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
lakukan oleh Eka Fitriani dengan judul Faktor resiko yang berhungan
lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 40 orang
(83.3%), dan tidak bukan penderita TB paru terjadi pada laki-laki dan
perilaku yang tidak baik seperti karena merokok tembakau dan minum
laki lebih banyak yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan
yang di lakukan oleh Jendra F.J Dotulong dengan judul Hubungan Faktor
(tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9 %.
orang (75.0%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang
merokok.
yang tidak merokok. Hal ini disebabkan responden yang telah diteliti
terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma,
merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih
dengan cara merusak sel-sel silia yang secara normal membawa lendir ke
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lisa pada
BTA positif, polusi udara dalam ruangan dari asap rokok dapat
lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki IMT < 18.5 sebanyak
yang memiliki IMT > 18.5 sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik
kemampuan proliferasi sel imun. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar
dibandingkan dengan pasien TB paru yang memiliki status gizi cukup dan
gizi lebih.
gizi kurang) meningkatkan risiko terjadinya sakit TB. Hill (1965) dalam
76
suatu outcome yang diasumsikan sebagai efek dari kausa tersebut. Pada
penelitian ini sulit dinilai apakah gizi kurang pada pasien terjadi sebelum
lebih banyak terjadi pada rumah yang padat penghuninya yaitu sebanyak
22 orang (45.8%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada rumah yang
tidak padat sebanyak 36 orang (75.0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai
Puskesmas Sukaratu.
persyaratan.
lebih banyak terjadi pada rumah yang lembab sebanyak 27 orang (56.3%),
dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden pada rumah dengan
ruangan.
masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi
lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki suhu kurang yaitu
orang (77.1%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.002
terdapat rumah responden yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 18-
akan menurunkan vitalitas tubuh dan lebih cepat untuk terkena infeksi
sangat berkaitan dengan sirkulasi udara yang berada di dalam rumah yang
syarat kesehatan akibat dari luas ventilasi yang kurang dari 10% luas
lantai. Salah satu usaha untuk menjaga suhu rumah adalah memasang
ventilasi yang cukup yaitu 10% dari luas lantai. Adanya sirkulasi yang
lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki cahaya kurang yaitu
orang (70.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.038
yang cukup.
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya
terbuat dari kayu dan lebih sering tertutup. Sebagian besar responden
memiliki jendela yang sangat kecil dan letaknya pun di pojok ruangan,
sehingga cahaya matahari yang masuk tidak merata, ada sisi ruangan yang
bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu,
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari
dengan kejadian tuberkulosis paru dengan nilai odds ratio (OR) sebesar
rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen retak juga
terjadi pada rumah yang memiliki ventilas kurang yaitu sebanyak 27 orang
udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
oleh Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan antara kualitas fisik rumah dan
orang (16,67%),
udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari
lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki jenis lantai kedap air yaitu
orang (87.5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.048
memiliki jenis lantai tidak kedap air berpeluang 3.182 kali lipat dapat
kedap air.
penyakit TB. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang
biakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dengan demikian dapat
tuberkulosis paru.
paru dengan basil tahan asam positif di balai kesehatan paru masyarakat
85
nilai p value sebesar 0.000 (<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat
dengan yang tidak kontak dengan penderita tb. Selaras dengan penelitian
terkena paparan kuman TB paru dengan dosis infeksi yang cukup dari
BAB VII
A. Kesimpulan
berikut:
12. Gambaran faktor umur sebagian besar berkisar antara 55-64 tahun
(60.4%), status gizi dengan IMT ≥ 18.5 (58.3%), suhu ruangan yang cukup
0,007.
16. Terdapat hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di Wilayah
value 0,055.
0,013.
0,002.
0,038.
0,007.
22. Terdapat hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah
B. Saran
kerumah pasien.
2. Puskesmas
paru.
3. Peneliti lain
DAFTAR PUSTAKA
Ayudhitya dan Tjuatja, (2012). Anda Dokter Keluarga Anda. (Cetakan Pertama).
Jakarta: Penebar Plus+ (Penebar Swadaya Group
Depkes RI, (2011). Buku Saku kader Program Penanggulangan TB. Kemenkes
RI. Jakarta
Khandoker, Khan, Kramer, & Mori tahun (2011). Knowledge about tuberculosis
transmission among ever-married women in Bangladesh. The
Internasional Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 379-84
Masniari, (2013) Penilaian hasil pengobatan TB paru dan faktor- faktor yang
mempengaruhinya serta alasan putus berobat di RS Persahabatan Jakarta.
Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Siagan, (2016). Gizi, imunitas, dan penyakit infeksi. Medan: Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara; 2010