Anda di halaman 1dari 94

FAKTOR RESIKO KEJADIAN TB PARU DI PUSKESMAS SUKARATU

KABUPATEN TASIKMALAYA 2019

SKRIPSI

Disusun oleh :

ANGGA MUSYAFFA
NIM. C1614201142

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TASIKMALAYA
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tuberkulosis Paru (TB paru ) adalah penyebab utama kesembilan

kematian di seluruh dunia dan penyebab utama dari satu agen infeksius, hal

ini menjadi tantangan besar dalam bidang kesehatan sebagai masalah beban

ganda yang dihadapi oleh pemerintah. Salah satu penyakit menular yang

berkontribusi terhadap kematian adalah penyakit TB paru (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2017).

Kasus TB paru Menurut organisasi kesehatan dunia atau dikenal dengan

istilah World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 adalah sebesar

660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. TB

paru merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana penyakit tersebut

sebagai penyakit menular yang dapat mengancam jiwa di dunia. Diperkirakan

sebanyak 61,000 kematian per tahunnya disebabkan karena akibat TB paru

(Kemenkes RI, 2010).

Jumlah kasus TB paru di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta kasus

per tahun atau naik dua kali lipat dari estimasi sebelumnya. Laporan

Tuberkulosis Global 2014 disebutkan, insidensi di Indonesia pada angka

460.000 kasus baru per tahun. Namun di laporan serupa tahun 2015, angka

tersebut sudah direvisi berdasarkan survei sejak 2013, yakni naik menjadi 1

juta kasus baru pertahun. Persentase jumlah kasus di Indonesia pun menjadi

1
2

10 persen terhadap seluruh kasus di dunia sehingga menjadi negara dengan

kasus terbanyak kedua bersama dengan Tiongkok (Bimantara, 2016).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), tingginya

jumlah penderita TB paru di Provinsi Jawa Barat (0,63%), menduduki

peringkat ketiga terbesar di Indonesia setelah Papua dan Banten. Hasil data

dan informasi diperoleh jumlah penderita TB paru sebesar 62.218 kasus,

dengan BTA positif sebesar 34.123 kasus. Data tersebut mengindikasikan

bahwa kasus TB paru di Jawa barat masih cukup tinggi.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, kasus TB paru di Kabupaten

Tasikmalaya sebanyak 1.824 orang yang positif, setelah dilakukan

pemeriksaan dan pengobatan sebanyak 1321 orang dinyatakan sembuh dan

sebanyak 503 orang belum sembuh karena dropout pengobatan, sebanyak 727

penderita TB paru BTA negative, sebanyak 109 orang penderita TB paru

Exstra Paru dan sebanyak BTA tidak diperiksa (untuk kasus anak dengan

sistem skoring) yaitu sebanyak 119 orang. (Dinkes Kabupaten Tasikmalaya,

2017).

Seorang penderita TB paru dengan BTA positif yang derajat positifnya

tinggi berpotensi menularkan penyakit TB. Setiap satu BTA positif akan

menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak

untuk tertular TB paru adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa

kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko

dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2015). Kondisi rumah

dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB paru. Atap,
3

dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai

dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,

sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya

kuman Mycobacterium tuberculosis (Prabu, 2016).

Faktor lainnya kemungkinan yang menjadi risiko terjadinya penyakit TB

paru diantaranya yaitu faktor kependudukan (umur, jenis kelamin, status gizi,

peran keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan), faktor lingkungan

rumah (luas ventilasi, kepadatan hunian, intensitas pencahayaan, jenis lantai,

kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding), perilaku (kebiasaan membuka

jendela setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak (Kemenkes

RI, 2010).

Wahyudi (2018) yang melakukan penelitian mengenai faktor yang

berhubungan dengan kejadian TB paru menemukan Laki – Laki 25 Orang

(68,44%), Berusia 20 – 39 Tahun 23 Orang (63,89%), Perkerjaan Petani 35

Orang (97,3%), Tidak Memiliki Ventilasi 30 Orang (83,33%), Cahaya

Matahari tidak masuk ke dalam rumah 28 Orang (77,78%), Jenis lantai rumah

tanah 32 Orang (88,89%), Dinding Gedek/Papan 32 Orang (88,89%), Sering

Kerumah Pasyen Tb 33 Orang (91,67%). Kesimpulannya adalah umur, jenis

kelamin, perkerjaan, ventilasi rumah, sinar matahari masuk kerumah, jenis

lantai rumah, jenis dinding rumah, kontak dengan penderita TB paru adalah

faktor resiko terjadinya penyakit TB paru. Begitupun dengan penelitian yang

dilakukan oleh Muaz (2014) menemukan dari hasil analisis multivariat,

variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian TB paru BTA+ adalah


4

penghasilan (OR= 6,575), jenis kelamin (OR= 4,772), pekerjaan (OR= 3,272),

dan imunisasi BCG (OR= 3,041).

Data dari Puskesmas DTP Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya didapatkan

kasus TB paru pada periode Januari – Agustus tahun 2019 termasuk dalam 10

terbesar penayakit, dimana jumlah kasus TB paru positif periode bulan

November mencapai 48 kasus pasen baru, terdapat 5 kasus MDR dan

meninggal 4 kasus, kemudian untuk Puskesmas Singaparna kasus TB paru

mencapai 32 kasus dengan kasus MDR 3 orang dan 1 orang diantaranya

meninggal dunia. Kemudian di Kecamatan Karangunggal sebanyak 29 kasus,

Jatiwaras sebanyak 27 kasus.

Hasil studi pendahuluan kepada 10 orang penderita TB paru di wilayah

kerja Puskesmas Sukaratu pada bulan Nopember 2019 didapatkan informasi

bahwa sebanyak 7 orang penderita jenis kelamin laki-laki dan 3 orang

perempuan, kemudian sebanyak 3 orang pernah kontrak dengan penderita TB

paru sebelumnya, sebanyak 2 orang mengatakan bekerja dipandai besi yang

terpapar asap dan debu. Terkait dengan keberadaan lingkungan rumah dari

hasil observasi didapakan sebanyak 6 orang memiliki rumah dengan ventilasi

yang kurang sehingga tidak terpapar matahari langsung masuk ke rumah hal

ini menyebabkan suhu yang lembab. Disisi lain, dari 10 orang yang

diwawancara sebanyak 4 orang memiliki kebiasaan merokok.

Penyakit tuberkulosis memegang peran penting kasus kesakitan dan

kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan bertanggungjawab


5

terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat penularan dan

perilaku masyarakat. Berdasarkana uraian tersebut, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai faktor resiko yang berhubungan dengan

kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten

Tasikmalaya.

B. Rumusan Masalah

Penyakit TB paru merupakan penyakit yang membutuhkan pengobatan

yang cukup lama, serta mudah menular kepada orang lain di lingkungan

sekitar. Seorang penderita TB paru dengan BTA positif yang derajat

positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit TB paru. Penyakit tersebut

dapat terjadi pada semua golongan umur, baik laki-laki maupun perempuan,

pada orang yang memiliki kebiasaan merokok, status gizi buruk, dan

imunisasi tidak lengkap. Selain itu penyakit TB pada menyerang pada

keluarga yang memiliki kepadatan hunian rumah, dan kondisi rumah yang

tidak sehat. Secara umum, faktor resiko terjadinya TB paru diantaranya adalah

faktor agen, host dan environtment. Penelitian mengenai faktor risiko penyakit

TB paru masih belum banyak dilakukan oleh karena itu rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan

kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten

Tasikmalaya.
6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor resiko yang berhubungan

dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu

Kabupaten Tasikmalaya.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui umur, jenis kelamin, status merokok, status gizi,

kepadatan hunian, suhu/kelembaban, ventilasi rumah, jenis lantai,

kontak dengan penderita dan kejadian TB paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

b. Mengetahui hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

c. Mengetahui hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

d. Mengetahui hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

e. Mengetahui hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

f. Mengetahui hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

g. Mengetahui hubungan faktor kelembaban rumah dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.


7

h. Mengetahui hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

i. Mengetahui hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

j. Mengetahui hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

k. Mengetahui hubungan faktor pencahayaan dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

l. Mengetahui hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian

TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten

Tasikmalaya.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengalaman dan pengetahuan tentang -- untuk mencegah TB

paru serta sebagai sarana untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu

yang telah diberikan dan diterima dalam rangka pengembangan

kemampuan diri.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi perawat dalam rangka

penanggulangan dan pencegahan penyakit TB paru di wilayah kerja

Puskesmas.

3. Bagi FIKes Universitas Muhammadiyah


8

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan bahan bacaan di

perpustakaan dan memperbanyak materi perkuliahan tentang penyakit TB

paru.

4. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi tenaga-

tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas dalam upaya menekan angka

kejadian TB paru.

5. Bagi Peneliti lain

Dapat dijadikan sebagai data dasar dan referensi bagi penelitian

selanjutnya terkait dengan penyakit TB paru.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tuberkulosis Paru (TB paru )

1. Pengertian

TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di

berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial

oksigen yang tinggi (Rab, 2010). TB paru adalah penyakit infeksi yang

menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis (Somantri, 2012). TB paru merupkan penyakit menular

pernapasan yang menyerang paru disebabkan oleh mycobacterium

tuberculosis (Marni, 2014). Menurut Notoatmodjo (2013) menyampaikan

bahwa TB paru adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar

disebabkan kuman mycobacterium tuberculosis.

Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,

program pemberantasan TB paru dijelaskan bahwa sumber penularan

adalah penderita TB paru yang di dalam dahaknya berdasarkan

pemeriksaan mikroskopis ditemukan kuman Tuberkulosis atau Basil

Tahan Asam (BTA) (Depkes, 2009). Basil Tuberkulosis memiliki sifat

khas, diantaranya adalah : berukur sangat kecil dan hanya dapat dilihat di

bawah mikroskop dengan panjang 1 – 4 mikron serta lebar antara 0,3 – 0,6

mikron. Berbentuk batang, mempunyai sifat tahan asam (BTA), artinya

9
10

bila basil ini diwarnai, warna tersebut tidak akan luntur oleh bahan kimia

yang bersifat asam. Proses berkembang biak basil ini dengan cara

melakukan pembelahan diri membutuhkan waktu 14 – 20 jam.

Lingkungan hidup optimal pada suhu 37 C dan kelembaban 70%. Kuman

ini mati oleh sinar matahari (ultra violet) langsung 5 – 10 menit.

2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculose

yang ditularkan melalui droplet infection, terutama pada saat batuk atau

bersin. Bakteri lain yang sering menyerang TB paru adalah

mycobacterium bovis. Keadaan yang membuat penderita lebih cepat

terinfeksi bakteri ini adalah orang yang kurang nutrisi, sedang mendapat

terapi kortikosteroid, dalam kondisi stress dan herediter (Marni, 2014).

Sedangkan menurut Somantri (2012) penyakit ini disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang,

dengan ukuran 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar kuman

berupa lemak atau lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih

tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob

yang menyukai daerah dengan banyak oksigen dan daerah yang memiliki

kandungan oksigen tinggi apikal atau apeks paru. Daerah ini menjadi

predileksi pada penyakit tuberkulosis.

3. Patofisiologi

Seseorang yang dicurigai menghirup basil Mycobacterium

tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan


11

napas ke alveoli, di mana pada daerah tersebut bakteri tertumpuk dan

berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan

aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area

lain dari paru-paru (lobus atas).

Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melakukan reaksi

inflamasi. Neutrofil dan makrofag (menelan) bakteri. Limposist yang

spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan

jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya

eksudat dalam alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal

biasanya timbul dalam waku 2-10 minggu setelah terpapar.

Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil

yang hidup dan sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk

dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.

Bagian tengah dari massa tersebut Ghon Tuberrcle. Materi terdiri atas

makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk perkijauan

(necrotizng caseosa). Setelah itu akan berbentuk klasifikasi, membentuk

jaringan kolagen. Bakter menjadi non-aktip.

Penyakit akan berkembang menjadi aktip setelah infeksi awal,

karena respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktip dapat juga

timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif.

Pada kasus ini, terjadi ulesari pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi

perkijauan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan

membentuk jaringan part. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,


12

mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel, dan seterusnya.

Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan

terus dan basil terus difagosit atau berkemang biak di dalam sel. basil juga

menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofrag yang mengadakan

inflitrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel

tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20

hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang

dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon berbeda

dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel

(Somantri, 2012).

4. Manifestasi klinis

Gejala yang sering muncul pada penderita yang mengalami

tuberkulosis adalah batuk lebih dari 2 minggu, kadang-kadang batuk

disertai darah, demam ringan, nyeri dada, berat badan mnurun, mailase,

sering keluar keringat dingin pada malam hari, pucat, anemia dan

anoreksia (Marni, 2014).

Sedangkan menurut (Rab, 2010) tanda – tanda klinis dari tuberkulosis

adalah terdapatnya keluhan keluhan berupa :

a. Batuk

b. Sputum mukoid atau purulen

c. Nyeri dada

d. Hemoptisis

e. Dispne
13

f. Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari

g. Berat badan berkurang

h. Anoreksia

i. Malaise

j. Ronki basal di apeks paru

k. Wheezing (mengi) yang terlokalisir

Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe

infeksi yang primer dapat tanda gejala dan sembuh sendiri atau dapat

berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala

tuberkulosis, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan

efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri

pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat

menyembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya

berkisar sekitar 50%.

Pada tuberkulosis postprimer terdapat gejala penurunan berat

badan, keringat dingin pada malam hari, temperatur subfebris, batuk

berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari

terlukanya pembuluh darah di sekitar bronkus, sehingga menyebabkan

bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif.

Tuberkulosis postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga

menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis

dengan fenomena papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi dan tuberkulosis

pada kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.


14

5. Klasifikasi TB paru

a. TB paru

TB paru adalah Tuberkulosis yang menyerang paru, tidak

termasuk pleura. TB paru merupakan bentuk yang paling sering

dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua klien TB paru. Jenis ini

merupakan satu-satunya bentuk Tuberkulosis yang mudah menular.

Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB paru dikelompokan menjadi dua

jenis (Depkes, 2009):

1) TB paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu, pagi,

sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS

hasilnya BTA( + ) dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis

aktif.

2) TB paru BTA negative

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA (-) dan foto rontgen

dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA (-)

rontgen positif dikelompokan berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu berat dan ringan.

3) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya ; pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, ginjal, saluran

kencing, alat kelamin dll.


15

4) Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan

Tuberkulosis ekstra paru ringan misalnya tuberkulosis kelenjar lymfe,

pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi

dan kelenjar adrenal.

5) Tuberkulosis Ekstra Paru Berat

Tuberkulosis ekstra paru berat misalnya meningitis, millier,

perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB paru tulang

belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

6. Tipe Klien TB paru

Tipe klien TB paru ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya, terdiri dari :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah klien yang belum pernah diobati dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kambuh

Kambuh atau relaps adalah penderita tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan lengkap dan telah

dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA (+)

c. Pindahan (transfer in)

Tipe pindahan adalah klien yang sedang mendapat pengobatan

disuatu unit pelayanan kesehatan dan kemudian pindah ke unit


16

pelayanan kesehatan lain. Klien yang pindah melakukan pengobatan

harus membawa surat rujukan pindah.

d. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/dropout)

Kasus ini adalah klien yang kembali berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak laboratorium BTA (+) setelah putus berobat dua

bulan atau lebih.

e. Gagal

Gagal adalah klien tuberkulosis BTA (+) yang masih tetap

positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan lima atau lebih

dan klien BTA (-) rontgen positif yang menjadi BTA (+) pada akhir

bulan ke dua pengobatan.

f. Lain-lain

Klien lain yang tidak memenuhi persyaratan di atas, termasuk

dalam kelompok ini adalah kasus kronik (klien yang masih BTA (+)

setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2)

7. Penularan TB paru

a. Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita

b. Penyebaran kuman di udara

c. Penyebaran kuman bersama dahak berupa droplet dan di sekitar

penderita TB paru

Kuman M. Tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat

langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA positif) dan

sangat infeksius. Sedangkan penderita yang kumannya tidak dapat


17

dilihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA

negatif) dan sangat kurang menular. Penderita TB paru ekstra paru

tidak menular, kecuali penderita TB paru. Penderita TB paru BTA

positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet

yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet

yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara

selama beberapa jam.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika

kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang menghirupnya,

kuman mulai membelah diri (berkembangbiak) dan terjadi infeksi.

Orang yang serumah dengan penderita TB paru BTA positif adalah

orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman tuberkulosis

(Notoatmodjo,2010).

8. Komplikasi TB paru

Komplikasi berikut sering terjadi pada klien stadium lanjut :

a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya

jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial

c. Bronhiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru

d. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura), spontan , kolaps

spontan karena kerusakan jaringan paru.


18

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya

f. Insufisiensi kardio pulmonary (Cardio Pulmonary Insufficiency)

9. Pengobatan TB paru

Pemberian obat pada klien TB paru paru tidak boleh terputus-putus

dan dalam jangka waktu yang lama, yaitu enam bulan (Depkes RI, 2009).

Pengobatan penyakit tuberkulosis di Indonesia sangat penting untuk dikaji

kembali bersama unit terkait. Mengingat penyakit tuberkulosis masih

merupakan salah satu penyebab kematian di Indonesia dan dengan adanya

kedaruratan global penyakit tuberkulosis, maka penangan dan pengobatan

penyakit yang ada selama ini diubah disesuaikan dengan program kerja

WHO dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis. Program

pemberantasan tuberkulosis di Indonesia dilaksanakan di Puskesmas.

Puskesmas dalam pelaksanaan program pemberantasan

tuberkulosis pada tahun anggaran 1995/1996, mulai menggunakan

panduan obat anti Tuberkulosis (OAT) baru, yaitu ;

a. Kategori 1

Yaitu paduan OAT yang direkomendasikan untuk klien baru

dengan BTA (+) yang belum pernah mendapat OAT, atau sudah

pernah makan OAT tetapi kurang dari 1 bulan dan untuk klien

tuberkulosis berat seperti meningitis serta untuk penderita tuberkulosis

ekstra paru yang berat didukung pemeriksaan jaringan oleh ahli

patologi anatomi. Paduan OAT kategori 1 dengan fase pengobatan


19

selama 6 bulan. Fase intensif selama 2 bulan dengan pemberian

Rifampisin 450 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg dan Pirazinamid

1500 mg, seluruh obat dimakan 1 kali setiap hari. Fase lanjutan selama

4 bulan dengan pemberian Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg

seluruh obat dimakan 1 kali setiap 3 kali per minggu. Sehingga

formulasi pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 ditulis 2

HRZE/4H3R3.

b. Kategori 2

Diperuntukan untuk klien dengan BTA (+) yang sudah pernah

mendapat OAT lebih dari 1 bulan, klien yang kambuh, klien yang

berobat kembali setelah dropout lebih dari 2 bulan dan klien yang

gagal dalam pengobatan. Paduan OAT kategori 2 dengan 2 fase

pengobatan selama 7 bulan. Pada fase intensif kategori 2, paduan OAT

ataupun cara pemberiannya sama seperti pada fase intensif kategori 1

ditambah dengan Steptomisin injeksi (0,75 gr) disuntikan setiap hari

selama 2 bulan. Untuk fase lanjutan sama seperti pada fase lanjutan

kategori 1 ditambah Etambutol (1250 mg) diberikan 3 kali per minggu.

Formulasi paduan OAT kategori OAT ditulis 2HRZES/5H3R3E3

c. Kategori 3

Dipakai pada klien dengan BTA (-) pada pemeriksaan dahak 3

kali yang berbeda dengan klinis dan radiologi mendukung tuberkulosis

aktif. Paduan OAT kategori 3 dengan 2 fase pengobatan selama 4

bulna. Fase intensif kategori 3 hanya tanpa Etambutol. Fase lanjutan


20

kategori 3, seperti fase kategori 1 tetapi lama pengobatan hanya 2

bulan. formulasi pasuan OAT kategori 3 ditulis, 2HRZ/2H3R3 (WHO,

2013).

Pemberian obat dengan strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse) ada prinsipnya adalah klien tidak lagi harus di

rawat disanatorium atau rumah sakit, tetapi cukup berobat jalan dan

menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Pengobatan harus segera diberikan

segera setelah diagnosa ditegakan. Untuk menjamin penyembuhan,

pencegahan resistensi, keteraturan pengobatan dan mencegah kegagalan

pengobatan, maka ditunjuk seorang pengawas minum obat (PMO) yang

sebelumnya telah dilatih. Prinsipnya adalah dalam rangka mendekatkan

pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat

mengawasi keteraturan menelan obat dan dilakukan pelacakan bila klien

tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan yaitu 2 hari

berturut-turut pada fase awal atau satu minggu pada fase selanjutnya.

(Depkes, 2009).

Untuk menjamin keteraturan pengobatan dilakukan pengawasan

pengobatan dengan pendekatan DOTS adalah pengawasan langsung

menelan obat oleh pengawasan pengobatan DOTS memiliki lima

komponen seperti yang dikemukakan oleh Kementrian Kesehatan (2011),

yaitu :

a. Pemerintah mendukung kegiatan pengontrolan penderita tuberkulosis.


21

b. Mendeteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopis sputum,

diantaranya dengan melaporkan gejala yang dirasakan oleh penderita

ke pelayanan kesehatan.

c. Standar pengobatan selama 6 – 8 bulan paling sedikit untuk klien BTA

(+) dengan pengawasan langsung minimal dua bulan pertama.

d. Tidak menghentikan pemberian obat anti tuberkulosis.

e. Mencatat dan melaporkan hasil pengobatan.

Pengobatan klien TB paru paru diberikan sesuai dengan anjuran

petugas kesehatan. Pengobatan dilakukan 2 tahap yaitu tahap awal dan

lanjutan. Pada tahap awal, satu papan obat (blister) diminum sekaligus

setiap hari. Lama pengobatan tahap awal diberikan 2 atau 3 bulan

terganutng berat ringannya penyakit. Pada tahap lanjutan satu papan obat

(blister) diminum sekaligus tiga kali seminggu. Lama pengobatan

diberikan 4 atau 5 bulan tergantung berat ringannya penyakit.

Cara mendapatkan obat TB paru yaitu: puskesmas, balai

pengobatan penyakit dan paru, rumah sakit, klinik dan dokter praktek

swasta. Cara menelan obat yang benar yaitu : sebaiknya satu papan obat

(blister) ditelan sekaligus sebelum makan pagi atau malam sebelum tidur.

Jika sulit, obat boleh ditelan satu persatu akan tetapi harus habis dalam

waktu 2 jam.

Apabila menelan obat tidak teratur akan mengakibatkan tidak

sembuh atau menjadi lebih berat bahkan meninggal, sukar diobati karena

kemungkinan kuman menjadi kebal sehingga diperlukan obat yang lebih


22

ampuh dan mahal harganya, sedangkan obat untuk kuman yang kebal

tidak tersedia disemua fasilitas kesehatan. Untuk mengetahui kemajuan

pengobatan yaitu keluhan berkurang atau hilang, berat badan meningkat

atau bertambah, nafsu makan makan bertambah, pemeriksaan dahak pada

akhir tahap awal menunjukan hasil negative.

10. Perawatan TB paru Paru

Kurangnya pengetahuan akan nutrisi yang adekuat, keletihan dan

kurang nafsu makan karena batuk dan penumpukan sputum merupakan

kondisi yang dapat memperparah sakit. Menghadapi efek dari faktor ini

perawat bekerja secara kolaburasi dengan ahli gizi, dokter dan klien untuk

mengidentifikasi pasokan nutrisi yang adekuat dan memastikan

ketersedian makanan yang bernutrisi, memperbanyak makan buah-buahan

dan sayur-sayuran serta penggunaan diet tambahan misalnya ensure dan

isocall (Kemenkes RI, 2011).

Memberikan makanan bergizi dengan menu yang seimbang antara

sumber tenaga (karbohidrat), sumber pembangun (protein) dan sumber

pengatur (vitamin dan mineral) dengan jumlah cukup dan bermutu.

Makanan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan

optimum meningkatkan daya tahan tubuh dan mengganti sel-sel tubuh

yang rusak serta membantu proses penyembuhan penyakit. Menu

seimbang sangat diperlukan untuk memempertahankan status kesehatan

yang optimal dan membantu penyembuhan penyakit.


23

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan

semua orang untuk dapat berfungsi optimal. Istirahat merupakan keadaan

yang tenang, rileks tanpa tekanan emosional dan bebas dari kegelisahan.

Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang

dapat dibangunkan kembali dengan rangsangan yang cukup. Tidur

diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional dan

kesehatan, mencegah kelelahan, menjaga keseimbangan aktivitas dan

istirahat serta menghemat energi fisik.

B. Faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru

Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi penyakit TB

paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk yang mempunyai risiko

mendapat TB paru lebih besar daripada golongan lainnya. Diantaranya adalah

faktor umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jenis kelamin, kondisi

lingkungan yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyebabkan daya

tahan tubuh rendah, gizi buruk, kontak dengan sumber penularan, pengaruh

merokok dan sebagainya. Berikut ini adalah faktor resiko penyakit TB paru

(Manlu, 2010).

1. Umur

Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku

yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis penderita TB paru.

Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai bergerak kearah umur tua
24

karena kepasrahan mereka terhadap penyakit yang diderita. (Ratnawati,

2016).

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Risiko

untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal

terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun

hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik.

Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau

kelompok menjelang usia tua. (Zaman, K, 2015).

Angka insiden TB paru secara perlahan bergerak kearah kelompok

umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian

besar kasus terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun, di Indonesia faktor

pertama tuberkulosis adalah faktor umur karena insiden tertinggi penyakit

tuberkulosis adalah pada usia dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75%

penderita tuberkulosis adalah pada kelompok usia produktif (Zaman, K,

2015).

Kejadian TB paru paling banyak pada lansia mungkin disebakan

karena pada usia ini sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan

kondisi ini lebih rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit infeksi,

salah satunya tuberkulosis. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia

lanjut lebih dari 55 tahun system imunolosis seseorang menurun, sehingga

sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru

(Manalu, 2010)
25

Hasil penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB

paru terbanyak pada berusia 20 – 39 tahun yaitu 23 orang (63,89%). Umur

berperan dalam kejadian penyakit TB. Risiko untuk mendapatkan TB paru

dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika

awalnya, menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya

tangkal terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan

menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.

Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia

produktif. Hal ini selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh Eka

Fitriani dengan judul Faktor resiko yang berhungan dengan kejadian TB

paru. Tapi tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurliza

Rohayu di masyarakat persisir di wilayah Kerja Puskesmas Kadatua

Kabupaten Buton selatan tahun 2016.

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan

presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang

ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari jumlah kasus. Penderita

TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam periode

setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru ,

dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi

kematian yang disebabkan oleh TB-paru dibandingkan dengan akibat

proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini
26

lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat

menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar

dengan agent penyebab TB-paru (Manalu, 2010).

Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di sebagian besar dunia,

lebih banyak laki-laki daripada perempuan didiagnosis tuberkulosis. Hal

ini didukung dalam data yaitu penderita TB paru pada laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada perempuan menurun 0,7%. TB

paru lebih banyak terjadi pada laki- laki dibandingkan dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru (WHO, 2013).

Hasil penelitian Wahyudi (2018) diketahui bahwa penderita TB

paru terbanyak berjenis kelamin laki – laki sebanyak 25 orang (68,44%)

dan perempuan sebanyak 11 orang (30,56%). Hal ini sesuai dengan

kepustakaan di mana laki-laki beresiko lebih besar untuk terkena penyakit

TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana laki-laki lebih banyak

yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan perempuan,

merokok dan alcohol dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih

mudah terkena penyakit TB paru.

Penelitian yang dilakukan oleh Namuwali, Domianus (2016)

dengan judul Deep Breating Relaxation Techniques Improve Emotional

Control On Tuberculosis Patients. Tapi tidak selaras dengan penelitian

yang di lakukan oleh Jendra F.J Dotulong dengan judul Hubungan Faktor
27

Risiko Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian

Penyakit TB paru Di Desa Wori Kecamatan Wori.

Demikian penelitian Herryanto (2014), terdapat proporsi menurut

jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 %

yang menderita TB paru , sebagian besar mereka tidak bekerja 34,9 % dan

berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)

sebesar 62,9 %.

3. Status merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap

isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam Depkes tahun 2014 adalah

mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan

selama hidupnya. Merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar

ke dalam tubuh kemudian menghembuskan kembali keluar (Masniari,

2013)

Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku merokok adalah sesuatu

yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat

menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang – orang disekitarnya

(Levy, 2014).

Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat

kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga

terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma,

merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih

menyempitkan saluran pernapasan. Efek merugikan tersebut mencakup


28

meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak

(Ayudhitya dan Tjuatja, 2012).

Asap rokok mengandung bahan iritan yang dapat menyebabkan

peradangan alveoli dan bronkus jika berlangsung lama akan terjadi

peradangan dan terkumpulnya sel-sel darah putih yang akan menghasilkan

enzim-enzim neutrofil elastase yang akan merusak jaringan penghubung di

dalam dinding alveoli dan juga merusak pertahanan paru-paru yaitu

dengan cara merusak sel-sel silia yang secara normal membawa lendir ke

mulut dan membantu mengeluarkan bahan beracun tersebut. Terjadinya

inflamasi respiratori yang akan mengakibatkan hipertropi dan hiperplasia

otot-otot polos saluran respiratorik, sel globet kelenjar mukosa yang

timbul pada bronkus (Manalu, 2010).

Variabel riwayat merokok mempengaruhi kejadian TB paru. Hal

ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lisa pada

tahun 2013. Merokok dapat merubah fungsi normal makrofag di alveolus

dan imunologi host sehingga meningkatkan resiko infeksi seperti TB paru.

Penelitian Toyalis (2010) menemukan bahwa merokok diketahui

mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan

kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker

kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena

TB paru sebanyak 2,2 kali.


29

4. Status gizi

Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan berpengaruh

terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan

penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada

orang dewasa maupun pada anak. Menurut Misnardiarly dalam Toyalis

menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan

angka kesakitan/kejadian TB paru , terutama TB paru pertama sakit

(Toyalis, 2010).

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat

besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang

sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Berat badan yang

kurang nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya

penyakit infeksi, memudahkan bakteri dan melemahkan sistem imunitas

tubuh baik pada wanita maupun pada pria (Manalu, 2010).

Pada infeksi TB paru dengan malnutrisi terjadi gangguan sistem

imun akibat penurunan produksi limfosit dan kemampuan proliferasi sel

imun. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar IFN-gamma, IL-2 dan

peningkatan kadar TGF-β yang berfungsi untuk menghambat aktivasi

makrofag. Pada kondisi kekurangan gizi, ditemukan adanya gangguan

berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respon proliferasi sel, serta

produksi limfosit T dan sitokin (Siagan, 2016)

Pengukuran IMT adalah dengan pengukuran memperkirakan lemak

tubuh adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah


30

Body Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur

dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m).

Interpretasinya WHO adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas

(BMI > 30 kg/m2) (Arisman, 2012).

Penelitian Muaz (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan

yangyang bermakna antara merokok dengan penderita TB paru BTA+.

Didapatkan OR= 1,382 (CI: 0,790-2,419), artinya merokok meningkatkan

resiko terkena TB paru BTA+ sebesar 1,3 kali dibanding responden yang

tidak merokok. Merokok berarti menghisap racun yang dapat merusak

kesehatan sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit diantaranya bakteri

tuberkulosis.

5. Status imunisasi

Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem

tubuh imun tidak aktif, kemampuan sistem imun untuk merespon pathogen

berkurang baik pada golongan muda dan golongan tua, respon imun

biasanya berkurang pada usia 50 tahun. Diet kekurangan cukup protein

berhubung dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi

fagosit, kensentrasi antibody (Manalu, 2010).

Status imunisasi mengindikasikan sejauhmana individu memiliki

daya tahan tubuh. Imunisasi yang diberikan untuk mencegah tuberkulosis

adalah imjunisasi BCG. Menurut Depkes RI (2014) mengatakan bahwa

vaksin BCG dikembangkan untuk memberikan kekebalan terhadap


31

penyakit TB paru yang sangat berbahaya dan mematikan namun daya

vaksin BCG terhadap tuberkulosis tidak tetap.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian WHO yang menunjukkan

bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara 0%- 80% (Toyalis, 2010)

Penelitian yang dilakukan (Setiarini, 2014) menemukan bahwa Imunisasi

BCG hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis,

bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk

terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p= 0,003), dibandingkan

dengan anak-anak yang belum divaksin. Walaupun imunisasi BCG tidak

mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko

tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.

6. Pengetahuan

Pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui proses

pengingatan atau pengenalan informasi ide yang sudah diperoleh

sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan adalah informasi atau

maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan

muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk

mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau

dirasakan sebelumnya (Irmayanti dkk, 2010).

Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru dan

pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita, dibandingkan

dengan penderita yang kurang akan pengetahuan penyakit TB paru dan

pengobatannya. Karena itu bimbingan dan pengawasan yang dilakukan


32

oleh PMO akan lebih terarah dan baik. Sehingga akan meningkatkan

keteraturan penderita dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan

akan menurun (Wirdani, 2011).

Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru.

Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, (2) Cara

menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup

istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau merokok. (3) Cara

menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak

sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela

rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. (4) Sikap

tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit

infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. (5)

Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh (Manalu, 2010)

Menurut Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa seseorang yang

punya pengetahuan yang baik tentang penularan TB paru , akan berupaya

untuk mencegah penularannya. Kategori pengetahuan dapat

dikelompokkan berdasarkan jawaban benar responden. Pengetahuan tinggi

jika responden dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila <

75%.

Penelitian yang dilakukan Muaz (2014) menemukan bahwa

terdapat hubungan antara Pengetahuan dengan penderita TB paru BTA+.

Selain itu diperoleh nilai OR= 0,557 (CI= 0,326-0,951), artinya responden

yang pengetahuannya kurang, akan beresiko menderita TB paru BTA+


33

sebesar 0,5 kali dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya

baik.

7. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang

untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-

hari. Anderson menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu

diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Selain itu pekerjaan memberikan

pendapatan atau penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup (Simatupang, 2017).

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi

setiap individu. Bila pekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel

debu di daerah terpapar akan memengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran pernapasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat

meningkatkan morbilitas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernapasan dan umumnya TB paru.

Hasil penelitian Wahyudi (2018) diketahuai bahwa penderita TB

paru terbanyak berkerja sebagai petani sebanyak 35 orang (97,22%) dan

sebagai PNS 1 orang (5,56%), perkerjaan seseorang juga sangat

mempengaruhi kesehatannya dibandingkan dengan yang memiliki

perkerjaan PNS. Hal ini dikarenkan responden dengan perkerjaan petani

cenderung berada di tempat – tempat yang kotor seperti sawah dan kebun

hal ini yang menyebabkan system pernapasan mereka mudah terganggu.


34

Penelitian yang di lakukan oleh Siti Fatimah dengan judul faktor

kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru

didapatkan bahwa status pekerjaan responden dapat mempengaruhi

kejdian TB, pekerjaan yang terpapar asap, debu dan partikel kimia lainnya

dapat memungkinkan bakteri mudah masuk ke dalam paru.

8. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap

pengetahuan seseorang. Di antaranya mengenai rumah yang memenuhi

syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru sehingga dengan

pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat pendidikan

seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan.

Penelitian Prihanti (2015) menemukan bahwa dari hasil uji regresi

logistik biner menunjukkan bahwa terdapat delapan variabel yang

mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kejadian TB paru yaitu

tingkat pendidikan (p = 0,0026). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Khandoker, Khan, Kramer, & Mori tahun 2011. Pendidikan yang tinggi

membuat seseorang lebih mudah untuk mengerti pesan mengenai TB.Pada

hasil Focussed Group Discussion (FGD) kami ditemukan bahwa sebagian

besar responden sudah mengetahui tentang etiologi dan cara penularan

serta bagian tubuh yang diserang oleh penyakit tuberkulosis. Hal ini sesuai

dengan penelitian oleh Rondags et al, 2014 yang menyatakan bahwa

meskipun sebagian besar responden telah mengetahui penyakit TB paru


35

paling sering menyerang paru-paru namun secara lebih jauh mereka tidak

tau etiologi serta cara penularannya (Khandoker, Khan, Kramer, & Mori,

2011).

9. Pendapatan

Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku dalam

menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini disebabkan

pendapatan mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam

mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan, mempengaruhi

lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi

pemukiman yang di tempati (Crofton 1995 dalam Muaz, 2014)

Muaz (2014) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dari hasil

analisis bivariat diperoleh nilai p= 0,012 yang berarti ada hubungan yang

bermakna antara pendidikan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu

diperoleh nilai OR= 1,898 (CI= 1,119-3,219), artinya responden yang

pendidikannya rendah, akan beresiko menderita TB paru BTA+ sebesar

1,8 kali dibandingkan dengan responden yang pendidikannya tinggi

Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada

kejadian TB paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya

hubungan antara pendapatan yang rendah dan kejadian TB paru. Lebih

lagi, bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian tuberkulosis

(Mahpudin, 2010).
36

10. Faktor Lingkungan

Rumah sehat adalah rumah yang memiliki kriteria minimal akses

air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi sesuai

dengan (Depkes, 2014). tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan

(Kemenkes, 2012) tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang

Rumah. Persyaratan Kesehatan Perumahan, ketentuan rumah yang

memenuhi persyaratan kesehatan sebagai berikut:

a. Bahan bangunan

1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat

membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150

μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, dan timah

hitam (Pb) kurang dari 300 mg/kg

2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme patogen

b. Komponen dan penataan ruangan rumah

1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan tidak berdebu saat musim

kemarau dan tidak becek saat musim hujan

2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci

kedap air dan mudah dibersihkan tahan terhadap terpaan angin

3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan

kecelakaan

4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir

5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya


37

6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap

Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB

paru memilki janis lantai rumah tanah sebanyak 32 orang (88,89%)

dan yang memiliki lantai semen sebanyak 4 orang (11,11%), Kondisi

rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit TB.

Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan

kuman. Lantai dan dinding yang sulit dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa Jenis lantai merupakan faktor risiko terhadap

kejadian TB paru atau ada hubungan antara pemcahayaan dengan

kejadian TB paru. Selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh

Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan antara kualitas fisik rumah dan

kejadian tuberkolosis paru dengan basil tahan asam positif di balai

kesehatan paru masyarakat serang.

c. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak

kurang dan tidak terlalu banyak, kurangnya cahaya yang masuk ke

dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang

nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup

dan berkembangnya bibit – bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak

cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat

merusakan mata. Cahaya dibeakan menjadi 2, yakni :

1) Cahaya alamiah : yakni cahaya matahari, cahaya matahari ini

sangat penting karena membunuh bakteri – bakteri patogen dalam


38

rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang

sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang –

kurangnya 15 – 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan

rumah. Sinar matahari dapat langsung masuk melalui jendela ke

dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Lokasi

penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar

sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).

2) Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan

alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya

Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB paru sinar

matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah sebanyak 28 orang

(77,78%) dan yang sinar matahari masuk ke dalam rumah sebanyak 8

orang (22,22%), selaras dengan penelitian yang di lakukan Nurliza

Rohayu dengan judul Analisis faktor resiko kejadian TB paru BTA

positif pada msyarakat pesisir di wilayah kerja puskesmas kadatua

kabupaten buton selatan tahun 2016.

d. Kualitas udara

1) Suhu udara nyaman antara 18 –30OC

2) Kelembaban udara 40 –70 %

3) Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam

4) Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni

5) Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam


39

6) Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3

e. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi :

1) Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang

berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena

terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri-

bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).

2) Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara

ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu

selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang

terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

3) Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu

tetap di dalam kelembaban (humidity) yang optimum.

Ada 2 macam ventilasi, yakni :

1) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut

terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-

lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi


40

alamiah ini tidak menguntungkan karena juga merupakan jalan

masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk

itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-

gigitan nyamuk tersebut.

2) Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus

untuk mengalirkan udara terebut, misalnya kipas angin dan mesin

pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi

rumah di pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa sistem

pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak berhenti atau

berbalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah

harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.

Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB paru

terbanyak tidak memiliki ventilasi sebanyak 30 orang (83,33%) dan yang

memiliki ventilasi sebanyak 6 orang (16,67%), Fungsi dari pada ventilasi

adalah membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri

patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selarasa dengan

penelitian yang di lakukan oleh Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan

antara kualitas fisik rumah dan kejadian tuberkolosis paru dengan basil

tahan asam positif di balai kesehatan paru masyarakat serang

11. Kepadatan hunian

Kepadatan hunian merupakan faktor lingkungan terutama pada

penderita tuberkulosis yaitu kuman M. tuberculosis dapat masuk pada


41

rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari

yang masuk. Namun pada rumah yang cukup luas dan tidak padat,

kemungkinan tidak terdapat kuman M. tuberculosis yang masuk ke dalam

rumah. Masyarakat yang memiliki rumah dengan padat penghuninya akan

berisiko tertularnya penyakit tuberkulosis karena sirkulasi udara yang

padat penghuninya berpengaruh terhadap kelembaban rumah sehingga

kuman M. tuberculosis berterbangan di dalam rumah yang padat

penghuninya (Notoatmodjo, 2013).

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Luas

bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan

menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat, sebab disamping

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota

keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota

keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah

biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat

relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk

rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang, untuk kamar tidur

diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami isteri dan anak dibawah 2

tahun yang biasanya masih sangat memerlukan kehadiran orang tuanya.

Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit pernafasan


42

sebaiknya tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain

(Ardhitya, 2015).

Fatimah (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepadatan

hunian rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau tidak ada

hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru.

Namun pada hasil penelitian Rosiana (2013), bahwa kepadatan hunian

tidak ada hubungannya dengan kejadian TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Kedungmundu Semarang, hal ini dikarenakan subjek kasus

maupun pembanding mempunyai peluang yang sama untuk terpapar dan

menderita TB paru. Nilai OR 2,250, artinya ada kemaknaan secara

biologis bahwa orang yang tinggal di rumah yang padat penghuni berisiko

2,250 kali lebih besar terkena tuberkulosis dibandingkan orang yang

tinggal dirumah yang tidak padat penghuni.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Prasetyowati (2013)

menunjukkan bahwa ada pengaruh kepadatan penghuni terhadap

terjadinya infeksi pada TB paru dengan besar risiko untuk terjadinya

adalah 4,653 kali dibandingkan dengan yang kepadatan penghuni yang

memenuhi persyaratan.

12. Kontak dengan penderita

Pasien TB paru TBA positif dengan kuman TB paru dalam

dahaknya berpontensi menuarkan kepada orang-orang di sekitarnya

(Depkes RI, 2011). Apabila seseorang yang telah sembuh dari TB paru

terkena paparan kuman TB paru dengan dosis infeksi yang cukup dari
43

penderita lain (terjadi kontak dengan penderita lain), maka ia bisa

mengalami kekambuhan, terlebih apabila ia masih dalam keadaan daya

tahan tubuh yang buruk.

Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis mempengaruhi

kejadian TB paru.hal ini sejalan dengan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, tinggal bersama dengan penderita secara terus-menerus

sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin penderita TB paru

positif menyebarkan kiman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(Kemenkes, 2010).

Penelitian Wahyudi (2018) diketahuai penderita tb sebagian besar

kontak dengan penderita TB paru sebanayak 33 orang (91,67%) dan yang

tidak kontak dengan penderita sebanyak 3 oarang (8,33%). Kontak dengan

pasyen TB paru lebih besar resiko terkena penyakit TB paru di banding

dengan yang tidak kontak dengan penderita tb. Selaras dengan penelitian

yang di lakukan oleh Musadad dengan judul Hubungan faktor lingkungan

rumah dengan penularan TB paru kontak serumah. Tapi tidak selaras

dengan penelitian yang di lakukian oleh Rukmini dengan judul Faktor-

Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian TB paru Dewasa Di

Indonesia (Analisa Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010).


44

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERSIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Tuberkulosis merupakan penyakit kronik dan menular, dimana

penyakit tersebut dapat menular dengan cepat pada orang yang rentan dan

daya tahan tubuh lemah. Berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan TB

paru diantaranya adalah faktor kependudukan (umur, jenis kelamin, status

gizi, peran keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan), faktor

lingkungan rumah (luas ventilasi, kepadatan hunian, intensitas pencahayaan,

jenis lantai, kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding), perilaku (kebiasaan

membuka jendela setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak.

berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konsep dapat digambarkan

sebagai berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent


Umur
Jenis kelamin
Status merokok Ada hubungan
Status gizi
Suhu Kejadian TB paru
Kelembaban
Ventilasi rumah Tidak ada hubungan
Cahaya Confounding :
Jenis lantai Pendapatan
Kepadatan hunian Pekerjaan
Pendidikan
Kontak dengan penderita
Pengetahuan
Status imunisasi
Keterangan : Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konsep

44
45

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Definisi Alat Cara Kategori


Variabel Skala
Operasional Ukur Ukur
Umur Lama hari hidup Format Menilai 1. Ordinal
responden yang Kuesion hasil Tahun
dihitung dari er kuesioner 2.
tanggal lahir tahun
dengan
pembulatan
sampai waktu
penelitian
Jenis Pembagian jenis Format Menilai 1. Nominal
kelamin seksual yang Kuesion hasil 2.
ditentukan er kuesioner
secara diologis
dan anatomis
Status Responden Format Menilai 1. Merokok, Ordinal
merokok memiliki Kuesion hasil lebih dari 6
kebiasaan er kuesioner bulan
merokok lebih 2. Tidak
dari 6 bulan
Merokok
/merokok
kurang dari
6 bulan

Status gizi Penilaian indeks Timbang Menilai Dewasa : Ordinal


masa tubuh berat pengukura 1. IMT < 18,5
yang diukur badan n (kurang)
dengan rumus dan 2. IMT ≥ 18,5
BB/TB` tinggi
(cukup)
badan
Kepadatan Suatu keadaan Format Menilai 1. Nominal
hunian dimana kondisi observas hasil <8 m2/2
rumah memiliki i observasi orang
kepadatan 2.
hunian yang jika ≥8 m2/2
diukur dari orang
jumlah anggota
keluarga dan
kamar rumah
Kelembaba Suatu keadaan Higrome Menilai 1. Ordinal
n yang menujukan ter hasil suhu <40%
banyaknya uap observasi 2.
air diudara suhu ≥40-
46

Definisi Alat Cara Kategori


Variabel Skala
Operasional Ukur Ukur
60%
Suhu Suatu keadaan Termom Menilai 1. Cukup, jika
panas atau etere hasil suhu ruang
dingin nya suatu Ruang observasi 20 - 25℃
tempat 2. Kurang,
jika
kurang
dari 20 ℃
Ventilasi Lubang dinding Luxmete Menilai 1. Nominal
rumah untuk tempat r hasil dari luas
masuk observasi rumah
keluarnya udara 2.
dari luas
rumah
Pencahayaa Suatu keadaan Luxmete Menilai 1.
n kondisi r hasil luas
lingkungan observasi jendela/pint
rumah pada u 15-20%
responden dari luas
dinilai dari lantai
keberadaan 2.
cahaya baik luas
cahaya buatan jendela/pint
maupun alami u < 15-20%
dari luas
lantai
Jenis lantai Struktur padat Format Menilai 1. Nominal
yang digunakan observas hasil (dilapisi
untuk alas i observasi keramik/
ruangan semen,
2.
air (tanah)
Kontak Responden Format Menilai 1. Nominal
dengan pernah kontak Kuesion hasil 2.
penderita dengan er kuesioner
penderita TB
paru
Kejadian Suatu keadaan Format Menilai 1. Nominal
TB paru dimana Kuesion hasil 2.
responden er kuesioner
menderita
penyakit TB
paru sesuai
dengan hasil
diagnosa dokter
47

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara faktor umur dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

2. Terdapat hubungan antara faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

3. Terdapat hubungan antara faktor status merokok dengan kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

4. Terdapat hubungan antara faktor status gizi dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

5. Terdapat hubungan antara faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

6. Terdapat hubungan antara faktor kelembaban rumah dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

7. Terdapat hubungan antara faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

8. Terdapat hubungan antara faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

9. Terdapat hubungan antara faktor pencahayaan dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

10. Terdapat hubungan antara faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.


48

11. Terdapat hubungan antara faktor kontak dengan penderita dengan kejadian

TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasi analitik, dengan desain

case control. Case control adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

membandingkan antara dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok

kontrol (Notoatmodjo, 2010). Studi kasus kontrol dilakukan dengan

mengindentifikasi kelompok kasus dan kelompok kontrol, kemudian secara

retrospektif diteliti faktor-faktor resiko yang mungkin dapat menerangkan

apakah kasus dan kontrol dapat terkena paparan atau tidak. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui besar risiko kejadian penyakit TB Paru di wilayah

kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila seseorang

ingin meneliti semua elmen yang ada dalam wilayah penelitian, maka

penelitiannya merupakan penelitian populasi atau studi sensus (Riduwan,

2011). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB paru di wilayah

Kerja Puskesmas Sukaratu yang berjumlah 96 orang.


49

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti

(Arikunto, 2010). Teknik pengambilan sampel menggunakan maching

individual. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu

kelompok kasus (48 orang penderita TB paru) dan kelompok kontrol (48

orang yang bukan penderita TB paru )

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari 2020 yang bertempat di wilayah

kerja Puskesmas Sukaratu Tasikmalaya.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent

Variabel independen adalah suatu variabel bebas yang keberadaan yang

tidak dipengaruhi oleh variabel yang lainnya. Dalam penelitian ini variabel

independennya adalah umur, jenis kelamin, status merokok, status gizi,

kepadatan hunian, suhu/kelembaban, ventilasi rumah, pencahayaan jenis

lantai dan kontak dengan penderita.

2. Variabel Dependent
50

Variabel dependen adalah suatu variabel terikat yang keberadaannya

merupakan suatu yang dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel

dependent adalah kejadian TB paru.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan sesuatu

metode. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Format Kuesioner. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data tentang

umur, jenis kelamin, status merokok, kontak dengan penderita

2. Format isian, format ini digunakan untuk memperoleh status gizi,

kepadatan hunian, suhu/kelembaban, ventilasi rumah, jenis lantai,

pencahayaan dan kejadian TB paru.

3. Field Note, yaitu inti catatan dalam penelitian. Field note dalam penelitian

ini berisi bagian gambaran tentang latar pengalaman, orang, tindakan dan

pembicaraan dari hasil observasi sebagai upaya validasi.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Pengambilan data ini diperoleh langsung dari responden, adapun langkah-

langkah untuk melakukan pengambilan data:

1. Peneliti meminta surat ijin penelitian dari Kampus yang ditujukan ke

Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, kemudian mencari lapangan

penelitian setelah itu peneliti ke Puskesmas Sukaratu Tasikmalaya untuk

menentukan jumlah sampel penelitian.


51

2. Selanjutnya peneliti melakukan kunjungan rumah kepada sasaran

penelitian yang diantar oleh kader ksehatan setempat. Peneliti

mengutarakan maksud dan tujuan peneletian kepada sampel penelitian

dengan menjamin untuk menjaga kerahasiaannya.

3. Peneliti memberikan informed consent kepada sampel penelitian untuk

membaca.

4. Pengambilan data untuk umur, jenis kelamin, status merokok, dan kontak

dengan penderita didapatkan melalui kuesioner. Status gizi didapatkan

melalui pengukurang tinggi badan dan berat badan (IMT). Kemudian pada

variabel Suhu/kelembaban, Ventilasi rumah, Jenis lantai, Kepadatan

hunian didapatkan dengan menggunakan format observasi

G. Rancangan Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat yang dilakukan tehadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmojo, 2010). Untuk

menilai pengkategorian setiap variabel dilakukan analisis distribusi

frekuensi dengan rumus:

n
P= x 100 %
N

Dimana : n = Jumlah responden berdasarkan kategori

N = Jumlah seluruh responden

100% = bilangan tetap


52

P = Persentase

2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoatmojo, 2010). Metode yang

digunakan untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut yaitu dengan

menggunakan uji statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu dengan

menggunakan uji Chi-Square (Arikunto, 2010).


2
2 ( f 0 −f h )
x =∑
fh

Keterangan:
X2 = chi square
F0 = Frekuensi observasi
Fh = Frekuensi harapan
Uji statistik untuk menguji hubungan dua variabel dimana masing-

masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori dengan tingkat

signifikan 5% (nilai α = 0,05), dengan ketentuan sebagai berikut :

a) Jika p value ≤ α, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara

variabel bebas dan variabel terikat.

b) Jika p value> α, maka Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat.


53

Odds Ratio (OR) dalam bidang kesehatan, untuk mengetahui

derajat hubungan dikenal ukuran Odds Rasio (OR). OR digunakan untuk

mengukur risiko pajanan terhadap terjadinya suatu penyakit atau kejadian.

Untuk menghitung Odds Ratio (OR) adalah dengan menguji derajat

kepercayaan 95% atau alpha 5% (0.005) Z= 1.96.

Tabel 4.1

Penghitungan Odds Ratio Dengan Menggunakan Tabel 2X2

Outcome
Exposure Jumlah
Ya Tidak
Faktor + A B a+b
Faktor - C D c+d
Jumlah a+c b+d N

Odss Ratio Kelompok Ya = (a/(a+c))/(c/(a+c))=a/c

Odss Ratio Kelompok Tidak = (b/(b+d))/(d/(b+d))=b/d

Odds Ratio = (a/c) / (b/d)= ad/bc


Interpretasi dari Odds Ratio adalah :

1) OR = 1, artinya tidak ada feel/ asosiasi atau tidak ada hubungan

2) OR < 1 , artinya menurunkan risk (sebagai proteksi atau pelindung)

3) OR > 1, artinya meningkatkan risk (sebagai faktor resiko)

H. Etika Penelitian
54

Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting. Karena

penelitian yang dilakukan langsung berhubungan dengan manusia. Adapun

etika yang telah dilakukan oleh peneliti diantaranya adalah:

1. Self determination

Peneliti memperlakukan responden secara manusiawi sehingga tidak ada

paksaan pada responden untuk dijadikan subjek penelitian. Responden

bebas untuk memilih bersedia atau tidak dijadikan subyek penelitian.

2. Privacy

Peneliti memberikan jaminan kepada subjek penelitian bahwa semua data

yang telah diperoleh dirahasiakan dan hanya data yang diperlukan untuk

disajikan,meliputi kerahasian identitas responden,dan data yang telah

diperoleh dari responden terkait dengan penelitian ini.

3. Fair treatment

Peneliti memperlakukan sama semua subjek penelitian tanpa

membeda-bedakan status sosial, suku bangsa, agama, dan ras, serta tidak

ada diskriminasi dalam melakukan penelitian.

4. Protect from discomfort and harm

Peneliti melindungi responden dari ketidaknyamanan dan menjaga

dampak buruk dan akibat lain yang ditimbulkan dari penelitian ini.

5. Anonymity
55

Peneliti menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan

nama subjek penelitian, hanya untuk lebih memudahkan dalam mengenali

identitas, peneliti memakai kode responden pada kuesioner.


56

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Univariat

1. Umur responden

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Umur Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Umur Jumlah Persentase (%)
55-64 tahun 49 51.0
15-54 tahun 47 49.0
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa umur responden sebagian besar

berada pada usia antara 55-64 tahun yaitu sebanyak 49 orang (51.0%),

sedangkan usia 15-54 tahun sebanyak 47 orang (49.0%).

2. Jenis kelamin

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 64 66.7
Perempuan 32 33.3
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis responden sebagian besar

laki-laki yaitu sebanyak 64 orang (66.7%), sedangkan perempuan

sebanyak 32 orang (33.3%).


57

3. Status merokok

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Status Merokok pada Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Merokok 58 60.4
Tidak 38 39.6
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden yang memiliki

kebiasaan merokok sebanyak 58 orang (60.4%), dan yang tidak merokok

sebanyak 38 orang (39.6%).

4. Status gizi

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
IMT < 18.5 40 41.7
IMT ≥ 18.5 56 58.3
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa responden yang memiliki IMT

lebih dari 18.5 sebanyak 56 orang (58.3%), dan yang memiliki IMT

kurang dari 18.5 sebanyak 40 orang (41.7%).

5. Suhu Ruangan

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Suhu Rungan Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 38 39.6
Cukup 58 60.4
Jumlah 96 100.0
58

Data pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden

memiliki suhu yang cukup sebanyak 58 orang (60.4%), dan yang kurang

sebanyak 38 orang (39.6%).

6. Ventilasi

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Ventilasi Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 40 41.7
Cukup 56 58.3
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden

memiliki ventilasi yang cukup sebanyak 56 orang (58.3%), dan yang

kurang sebanyak 40 orang (41.7%).

7. Kelembaban

Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Kelembaban Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Lembab 41 42.7
Hangat 55 57.3
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden

memiliki kelembaban yang hangat sebanyak 55 orang (57.3%), dan yang

lembab sebanyak 41 orang (42.7%).


59

8. Pencahayaan

Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Pencahayaan pada Rumah Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Kurang 39 40.6
Cukup 57 59.4
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden

memiliki pencahayaan yang cukup sebanyak 57 orang (59.4%), dan yang

kurang sebanyak 39 orang (40.6%).

9. Jenis Lantai

Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Jenis Lantai Rumah Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Tidak kedap air 21 21.9
Kedap air 75 78.1
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah responden

memiliki jenis lantai yang kedap air sebanyak 75 orang (78.1%), dan yang

tidak kedap air sebanyak 21 orang (21.9%).

10. Kepadatan hunian

Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Rumah Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Padat 34 35.4
Tidak 62 64.6
Jumlah 96 100.0
60

Data pada tabel 5.10 menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah

responden termasuk tidak padat sebanyak 62 orang (64.6%), dan yang

padat sebanyak 34 orang (35.4%).

11. Kontak dengan penderita

Tabel 5.11
Distribusi Frekuensi Kontak dengan Penderita pada Responden di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Ya 27 28.1
Tidak 69 71.9
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak

mengalami kontak dengan penderita sebanyak 69 orang (71.9%), dan yang

kontak penderita sebanyak 27 orang (28.1%).

12. Kejadian TB paru

Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru Responden di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
Kategori Jumlah Persentase (%)
Ya 48 50.0
Tidak 48 50.0
Jumlah 96 100.0

Data pada tabel 5.12 menunjukkan bahwa responden yang mengalami TB

paru (kelompok kasus) dan yang tidak mengalami TB paru (kelompok

kontrol) masing-msing sebanyak 48 orang (50%).


61

B. Analisis Bivariat

1. Hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru

Tabel 5.13
Hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Umur
Jm
F % F % (%)
l
55-64 tahun 32 66.7 17 35.4 49 51.0
0.004 3.647
15-54 tahun 16 33.3 31 64.6 47 49.0
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.12 diatas menunjukkan bahwa responden yang

menderita TB paru lebih banyak terjadi pada usia 55-64 tahun yaitu

sebanyak 32 orang (66.7%), dan tidak mengalami TB paru lebih banyak

pada usia 15-54 tahun sebanyak 31 orang (64.6%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.004 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan umur dengan kejadian TB Paru di Puskesmas

Sukaratu. Responden yang berumur 55-56 tahun berpeluang 3.647 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang berumur

15-54 tahun.

2. Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru

Tabel 5.14
Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Jenis Ya Tidak value
kelamin Jm
F % F % (%)
l
Laki-laki 40 83.3 24 50.0 64 66.7 0.001 5.000
62

Perempuan 8 16.7 24 50.0 32 33.3


100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.13 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 40 orang

(83.3%), dan tidak bukan penderita TB paru terjadi pada laki-laki dan

perempuan masing-masing sebanyak 24 orang (50.0%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.001 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden jenis kelamin laki-laki berpeluang 5.000

kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden perempuan.

3. Hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru

Tabel 5.15
Hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Status Ya Tidak value
merokok Jm
F % F % (%)
l
Merokok 36 75.0 22 45.8 58 60.4
0.007 3.545
Tidak 12 25.0 26 54.2 38 39.6
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.15 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada responden yang merokok yaitu sebanyak 36 orang

(75.0%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang tidak

memiliki kebiaaan merokok sebanyak 26 orang (54.2%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.007 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan merokok dengan kejadian TB Paru di


63

Puskesmas Sukaratu. Responden yang merokok berpeluang 3.545 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang tidak

merokok.

4. Hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru

Tabel 5.16
Hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Status gizi
Jm
F % F % (%)
l
IMT < 18.5 26 54.2 14 29.2 40 41.7
0.023 2.870
MT > 18.5 22 45.8 34 70.8 56 58.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.16 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada responden yang memiliki IMT < 18.5 sebanyak 26

orang (54.2%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang

memiliki IMT > 18.5 sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.023 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki IMT < 18.5 berpeluang

2.870 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang

IMT > 18.5.

5. Hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB paru .

Tabel 5.17
Hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.
Kepadatan TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
F % F % Jm (%)
64

l
Padat 22 45.8 12 25.0 34 35.4
0.055 2.538
Tidak 26 54.2 36 75.0 62 64.6
100. 0.05
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.17 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang padat penghuninya yaitu sebanyak 22

orang (45.8%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada rumah yang

tidak padat sebanyak 36 orang (75.0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai

p value sebesar 0.055 (>0.05) yang berarti Ho diterima artinya tidak

terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu.

6. Hubungan faktor kelembaban rumah dengan kejadian TB paru.

Tabel 5.18
Hubungan factor kelembaban rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Kelembaba Ya Tidak value
n Jm
F % F % (%)
l
Lembab 27 56.3 14 29.2 41 42.7
0.013 3.122
Hangat 21 43.8 34 70.8 55 57.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.16 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang lembab sebanyak 27 orang (56.3%), dan

bukan penderita TB paru terjadi pada responden pada rumah dengan

kelembaban yang hangat sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.013 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan kelembaban dengan kejadian TB Paru di


65

Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki rumah lembab berpeluang

3.122 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang

memiliki rumah dengan kelembaban yang hangat.

7. Hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru.

Tabel 5.19
Hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Suhu
Jm
F % F % (%)
l
Kurang 27 56.3 11 22.9 38 39.6
0.002 4.325
Cukup 21 43.8 37 77.1 58 60.4
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.19 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang memiliki suhu kurang yaitu sebanyak 27

orang (56.3%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang

memiliki rumah dengan suhu yang cukup sebanyak 37 orang (77.1%).

Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.002 (<0.05) yang

berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara suhu dengan kejadian

TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki suhu kurang

berpeluang 4.325 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan

responden yang memiliki suhu rumah yang cukup.

8. Hubungan faktor cahaya rumah dengan kejadian TB paru


66

Tabel 5.20
Hubungan faktor cahaya rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Cahaya Ya Tidak value
rumah Jm
F % F % (%)
l
Kurang 25 52.1 14 29.2 39 40.6
0.038 2.640
Cukup 23 47.9 34 70.8 57 59.4
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.20 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang memiliki cahaya kurang yaitu sebanyak

25 orang (52.1%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden

yang memiliki rumah dengan cahaya yang cukup sebanyak 34 orang

(70.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.038 (<0.05)

yang berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara cahaya rumah

dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang

memiliki cahaya rumah kurang berpeluang 2.640 kali lipat dapat

mengalami TB Paru dibandingkan responden yang memiliki cahaya rumah

yang cukup.

9. Hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru .

Tabel 5.21
Hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Ventilasi
Jm
F % F % (%)
l
Kurang 27 56.3 13 27.1 40 41.7
0.007 3.462
Cukup 21 43.8 35 72.9 56 58.3
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0
67

Data pada tabel 5.21 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang memiliki ventilas kurang yaitu sebanyak

27 orang (56.3%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden

yang memiliki ventilasi yang cukup sebanyak 35 orang (72.9%). Hasil uji

statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.007 (<0.05) yang berarti Ho

ditolak artinya terdapat hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB

Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki ventilasi kurang

berpeluang 3.462 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan

responden yang memiliki ventilasi rumah yang cukup.

10. Hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru .

Tabel 5.22
Hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Total OR
Ya Tidak value
Jenis lantai
Jm
F % F % (%)
l
Tidak 15 31.3 6 12.5 21 21.9
0.048 3.182
Kedap air 33 68.8 42 87.5 75 78.1
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.22 diatas menunjukkan bahwa penderita TB paru lebih

banyak terjadi pada rumah yang memiliki jenis lantai kedap air yaitu

sebanyak 33 orang (68.8%), dan bukan penderita TB paru sebanyak 42

orang (87.5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.048

(<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara jenis

lantai dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang


68

memiliki jenis lantai tidak kedap air berpeluang 3.182 kali lipat dapat

mengalami TB Paru dibandingkan responden yang memiliki jenis lantai

kedap air.

11. Hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian TB paru.

Tabel 5.23
Hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya
TB Paru P
Kontak Total OR
Ya Tidak value
dengan
Jm
penderita F % F % (%)
l
Ya 22 45.8 5 10.4 27 28.1
0.000 7.277
Tidak 26 54.2 43 89.6 69 71.9
100.
Jumlah 48 48 100 96 100
0

Data pada tabel 5.20 diatas menunjukkan bahwa responden yang kontak

dengan penderita sebanyak 22 orang (45.8%) mengalami TB paru,

sedangkan responden yang tidak kontak dengan penderita sebanyak 43

orang (89.6%) tidak mengalami TB Paru. Hasil uji statistik didapatkan

nilai p value sebesar 0.000 (<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat

hubungan antara kontak penderita dengan kejadian TB Paru di Puskesmas

Sukaratu. Responden yang kontak dengan penderita berpeluang 7.277 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang tidak pernah

kontak dengan penderita.

12. Rekapitulasi faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru

Tabel 5.24
Rekapitulasi faktor yang berhubungan dengan kejdian TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

No Variabel P value OR Keterangan


1. Umur 0.004 3.647 Ada hubungan
69

2. Jenis kelamin 0.001 5.000 Ada hubungan


3. Status merokok 0.007 3.545 Ada hubungan
4. Status gizi 0.023 2.870 Ada hubungan
5. Suhu 0.002 4.325 Ada hubungan
6. Kelembaban 0.013 3.122 Ada hubungan
7. Ventilasi rumah 0.007 3.462 Ada hubungan
8. Cahaya 0.038 2.640 Ada hubungan
9. Jenis lantai 0.048 3.182 Ada hubungan
10. Kepadatan hunian 0.055 2.538 Tidak Ada hubungan
11. Kontak dengan penderita 0.000 7.277 Ada hubungan

Melihat dari data pada tabel 5.24 menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang

diteliti, hanya variabel kepadatan hunian merupakan variabel yang tidak

berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan p value 0,055 (>0,05). Melihat

dari nilai OR pada variabel yang diteliti, maka nilai OR paling tinggi adalah

variabel kontak dengan penderita, artinya variabel tersebut merupakan faktor

dominan yang berhubungan dengan kejadian TB paru.

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Diskusi Hasil Penelitian

1. Hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang

menderita TB paru lebih banyak terjadi pada usia 55-64 tahun yaitu

sebanyak 32 orang (66.7%), dan tidak mengalami TB paru lebih banyak

pada usia 15-54 tahun sebanyak 31 orang (64.6%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.004 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan umur dengan kejadian TB Paru di Puskesmas


70

Sukaratu. Responden yang berumur 55-56 tahun berpeluang 3.647 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang berumur

15-54 tahun.

Melihat dari data tersebut dapat dikemukakan bahwa umur dapat

dikaitkan dengan daya tahan tubuh seseorang, kejadian TB paru lebi

banyak dialami oleh usia yang lebih tua yakni usia 55-64 tahun. Hal ini

sesuai dengan teori Manalu (2010) yang mengatakan bahwa kejadian TB

paru paling banyak pada lansia mungkin disebakan karena pada usia ini

sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi ini lebih

rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit infeksi, salah satunya

tuberkulosis. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan

usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Wahyudi (2018)

menemukan bahwa penderita TB paru terbanyak pada berusia 20 – 39

tahun yaitu 23 orang (63,89%). Adanya perbedaantersebut disebbakan

karena dalam penelitiannya umur responden yang diteliti mulai dari usia

20 tahun.

Umur berperan dalam kejadian penyakit TB. Risiko untuk

mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal

terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena di atas 2 tahun

hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TB paru dengan baik.

Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau

kelompok menjelang usia tua. Begitupun dengan penelitian yang di


71

lakukan oleh Eka Fitriani dengan judul Faktor resiko yang berhungan

dengan kejadian TB paru.

2. Hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 40 orang

(83.3%), dan tidak bukan penderita TB paru terjadi pada laki-laki dan

perempuan masing-masing sebanyak 24 orang (50.0%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.001 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden jenis kelamin laki-laki berpeluang 5.000

kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden perempuan.

Menurut analisis peneliti, tingginya prevalensi TB pada laki-laki

dapat disebabkan karena aktivitas laki-laki yang lebih banyak di luar

sehingga lebih berisiko untuk terpapar kuman TB. Manalu (2010)

berpendapat penderita TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki

dibandingkan perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO,

sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang

meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum

perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-paru

dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis

kelamin laki-laki penyakit ini lebih banyak melkaukan aktivitas sosial,

sehingga tidak menutup kemungkinan mudahnya tertular bakteri

mycrobacterium baik dari lingkungan maupun tertular dari penderita lain.


72

Masalah lainnya adalah pada jenis kelamin laki-laki memiliki

perilaku yang tidak baik seperti karena merokok tembakau dan minum

alkohol sehingga dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga

lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-paru.

Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyudi (2018) diketahui bahwa

penderita TB paru terbanyak berjenis kelamin laki – laki sebanyak 25

orang (68,44%) dan perempuan sebanyak 11 orang (30,56%). Hal ini

sesuai dengan kepustakaan di mana laki-laki beresiko lebih besar untuk

terkena penyakit TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana laki-

laki lebih banyak yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan

perempuan, merokok dan alcohol dapat menurunkan imunitas tubuh

sehingga lebih mudah terkena penyakit TB paru.

Penelitian yang dilakukan oleh Namuwali, Domianus (2016)

dengan judul Deep Breating Relaxation Techniques Improve Emotional

Control On Tuberculosis Patients. Tapi tidak selaras dengan penelitian

yang di lakukan oleh Jendra F.J Dotulong dengan judul Hubungan Faktor

Risiko Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian

Penyakit TB paru Di Desa Wori Kecamatan Wori. Demikian penelitian

Herryanto (2014), terdapat proporsi menurut jenis kelamin, laki laki

sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 % yang menderita TB paru ,

sebagian besar mereka tidak bekerja 34,9 % dan berpendidikan rendah

(tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9 %.

3. Hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru


73

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada responden yang merokok yaitu sebanyak 36

orang (75.0%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang

tidak memiliki kebiaaan merokok sebanyak 26 orang (54.2%). Hasil uji

statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.007 (<0.05) yang berarti Ho

ditolak artinya terdapat hubungan merokok dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden yang merokok berpeluang 3.545 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang tidak

merokok.

Menurut analisis peneliti, hal ini dapat terjadi karena jumlah

responden yang merokok lebih sedikit dibandingkan dengan responden

yang tidak merokok. Hal ini disebabkan responden yang telah diteliti

pernah merokok dan memiliki kebiasaan setelah terkena tuberkulosis

responden tersebut tetap merokok.

Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat

kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga

terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma,

merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih

menyempitkan saluran pernapasan. Efek merugikan tersebut mencakup

meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak

(Ayudhitya dan Tjuatja, 2012).

Asap rokok mengandung bahan iritan yang dapat menyebabkan

peradangan alveoli dan bronkus jika berlangsung lama akan terjadi


74

peradangan dan terkumpulnya sel-sel darah putih yang akan menghasilkan

enzim-enzim neutrofil elastase yang akan merusak jaringan penghubung di

dalam dinding alveoli dan juga merusak pertahanan paru-paru yaitu

dengan cara merusak sel-sel silia yang secara normal membawa lendir ke

mulut dan membantu mengeluarkan bahan beracun tersebut. Terjadinya

inflamasi respiratori yang akan mengakibatkan hipertropi dan hiperplasia

otot-otot polos saluran respiratorik, sel globet kelenjar mukosa yang

timbul pada bronkus (Manalu, 2010).

Variabel riwayat merokok mempengaruhi kejadian TB paru. Hal

ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lisa pada

tahun 2013. Merokok dapat merubah fungsi normal makrofag di alveolus

dan imunologi host sehingga meningkatkan resiko infeksi seperti TB paru.

Penelitian Toyalis (2010) menemukan bahwa merokok diketahui

mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan

kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker

kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena

TB paru sebanyak 2,2 kali.

Berdasarkan uraian tersebut, responden yang merokok akan lebih

berisiko terkena tuberkulosis disebabkan karena merokok dapat

menggangu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Merokok

dalam rumah merupakan faKtor risiko untuk terkena kejadian TB paru

BTA positif, polusi udara dalam ruangan dari asap rokok dapat

meningkatkan risiko terinfeksi kuman M. tuberculosis.


75

4. Hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki IMT < 18.5 sebanyak

26 orang (54.2%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden

yang memiliki IMT > 18.5 sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.023 (<0.05) yang berarti Ho ditolak

artinya terdapat hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki IMT < 18.5 berpeluang

2.870 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang

IMT > 18.5.

Menurut anallisis peneliti, pada infeksi TB dengan malnutrisi

terjadi gangguan sistem imun akibat penurunan produksi limfosit dan

kemampuan proliferasi sel imun. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar

IFN-gamma, IL-2 dan peningkatan kadar TGF-β yang berfungsi untuk

menghambat aktivasi makrofag.36 Pada kondisi kekurangan gizi,

ditemukan adanya gangguan berbagai aspek imunitas, termasuk

fagositosis, respon proliferasi sel, serta produksi limfosit T dan sitokin.37

Jumlah pasien TB paru dengan status gizi kurang melebihi 50%

dibandingkan dengan pasien TB paru yang memiliki status gizi cukup dan

gizi lebih.

Perbedaan yang besar ini mungkin bisa mendukung penelitian

sebelumnya yang menyatakan bahwa kondisi malnutrisi (terutama status

gizi kurang) meningkatkan risiko terjadinya sakit TB. Hill (1965) dalam
76

Mahmudiono (2012) merumuskan sembilan kriteria kausalitas, salah

satunya temporality yang mengacu pada perlunya suatu kausa mendahului

suatu outcome yang diasumsikan sebagai efek dari kausa tersebut. Pada

penelitian ini sulit dinilai apakah gizi kurang pada pasien terjadi sebelum

atau setelah sakit TB.

5. Hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada rumah yang padat penghuninya yaitu sebanyak

22 orang (45.8%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada rumah yang

tidak padat sebanyak 36 orang (75.0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai

p value sebesar 0.055 (>0.05) yang berarti Ho diterima artinya tidak

terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu.

Menurut analisis penleiti, tidak terbuktinya kepadatan hunian

rumah dengan terjadinya tuberkulosis dikarenakan karena dari hasil

observasi diperoleh data bahwa rata- rata kepadatan hunian msih

memenuhi syarat kesehatan, artinya luas rumah masih sebanding dengan

jumlah penghuninya, sehingga tidak menyebabkan overcrowded dan

kemungkinan kecil untuk terkena tuberkulosis.

Rumah yang cukup luas dan tidak padat, kemungkinan tidak

terdapat kuman M. tuberculosis yang masuk ke dalam rumah. Responden

yang memiliki rumah dengan padat penghuninya akan berisiko tertularnya

penyakit tuberkulosis karena sirkulasi udara yang padat penghuninya


77

berpengaruh terhadap kelembaban rumah sehingga kuman M. tuberculosis

berterbangan di dalam rumah yang padat penghuninya. Sesuai dengan

hasil penelitian yang menyatakan bahwa kepadatan hunian rumah bukan

merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau tidak ada

hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian tuberkulosis

paru (Fatimah, 2008). Sama halnya dengan hasil penelitian Rosiana

(2013), bahwa kepadatan hunian tidak ada hubungannya dengan kejadian

TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang, hal ini

dikarenakan subjek kasus maupun pembanding mempunyai peluang yang

sama untuk terpapar dan menderita TB paru.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Prasetyowati (2009)

menunjukkan bahwa ada pengaruh kepadatan penghuni terhadap

terjadinya infeksi pada TB dengan besar risiko untuk terjadinya adalah

4,653 kali dibandingkan dengan yang kepadatan penghuni yang memenuhi

persyaratan.

6. Hubungan faktor kelembaban rumah dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada rumah yang lembab sebanyak 27 orang (56.3%),

dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden pada rumah dengan

kelembaban yang hangat sebanyak 34 orang (70.8%). Hasil uji statistik

didapatkan nilai p value sebesar 0.013 (<0.05) yang berarti Ho ditolak


78

artinya terdapat hubungan kelembaban dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki rumah lembab berpeluang

3.122 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang

memiliki rumah dengan kelembaban yang hangat.

Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan

kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal.

Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan

dan pencahayaan Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan

menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan

kelembaban tinggi dalam ruangan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3).

Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan normal

bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:

keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar,

pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak

dan menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai

ruangan.

Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan

kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah. bila kondisinya terlalu dingin

akan tidak menyenangkan dan pada orang orang tertentu dapat

menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam


79

rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara

lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat

masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi

dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.

7. Hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki suhu kurang yaitu

sebanyak 27 orang (56.3%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada

responden yang memiliki rumah dengan suhu yang cukup sebanyak 37

orang (77.1%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.002

(<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara suhu

dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang

memiliki suhu kurang berpeluang 4.325 kali lipat dapat mengalami TB

Paru dibandingkan responden yang memiliki suhu rumah yang cukup.

Menurut analisis peneliti, penyakit tuberkulosis paru sebagian kecil

terdapat rumah responden yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 18-

30OC. Suhu dalam rumah berpengaruh terhadap kejadian penyakit

tuberkulosis paru. Suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

akan meningkatkan kehilangan panas tubuh. dan tubuh akan berusaha

menyeimbangkan dengan suhu lingkungan. Kehilangan panas dalam tubuh

akan menurunkan vitalitas tubuh dan lebih cepat untuk terkena infeksi

terutama infeksi saluran napas oleh agent yang menular.


80

Keadaan suhu sangat berperan sekali pada pertumbuhan basil

Mycobacterium Tuberculosis, dimana laju pertumbuhan basil tersebut

ditentukan berdasarkan suhu udara yang berada disekitarnya. Kondisi ini

sangat berkaitan dengan sirkulasi udara yang berada di dalam rumah yang

berhubungan langsung dengan udara luar rumah dan kurang memenuhi

syarat kesehatan akibat dari luas ventilasi yang kurang dari 10% luas

lantai. Salah satu usaha untuk menjaga suhu rumah adalah memasang

ventilasi yang cukup yaitu 10% dari luas lantai. Adanya sirkulasi yang

baik diharapkan dapat menjaga suhu rumah dan memanipulasi penularan

tuberkulosis paru BTA positif dalam rumah.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Imam Bachtiar,Erniwati Ibrahim, dan Ruslam (2012) di Kota Bima

Propinsi NTB bahwa hubungan variabel suhu secara statistik tidak

memilki hubungan (p = 0,5).

8. Hubungan Pencahayan dengan Kejadian TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki cahaya kurang yaitu

sebanyak 25 orang (52.1%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada

responden yang memiliki rumah dengan cahaya yang cukup sebanyak 34

orang (70.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.038

(<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara cahaya

rumah dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang

memiliki cahaya rumah kurang berpeluang 2.640 kali lipat dapat


81

mengalami TB Paru dibandingkan responden yang memiliki cahaya rumah

yang cukup.

Menurut analisis peneliti, kurangnya pencahayaan matahari

merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya

bibit – bibit penyakit. Sesuai hasil observasi pada saat melakukan

penelitian ditemukan rumah responden memiliki pencahayaan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan. Hal ini disebabkan karena responden kurang

memanfaatkan ventilasi, contohnya jendela responden sebagian besar

terbuat dari kayu dan lebih sering tertutup. Sebagian besar responden

memiliki jendela yang sangat kecil dan letaknya pun di pojok ruangan,

sehingga cahaya matahari yang masuk tidak merata, ada sisi ruangan yang

tidak terkena cahaya matahari.

Cahaya matahari ini sangat penting karena membunuh bakteri –

bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu,

rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang – kurangnya

15 – 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.

Sinar matahari dapat langsung masuk melalui jendela ke dalam

ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Lokasi penempatan jendela

pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari

lantai (bukan menyinari dinding).

Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dalam jumlah cukup

berfungsi untuk memberikan pencahayaan secara alami. Cahaya matahari


82

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, termasuk basil

tuberkulosis. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko

menderita tuberkulosis (Depkes, 2012). Menurut Rusnoto et al. (2005)

bahwa ada hubungan yang 27 bermakna antara pencahayaan rumah

dengan kejadian tuberkulosis paru dengan nilai odds ratio (OR) sebesar

7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129 –20,080). Keadaaan

rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen retak juga

memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes, 2012)

9. Hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru

Variabel ventilasi mampu mempengaruhi kejadian TB paru,

berdasarkan hasil penelitian didapatkan penderita TB paru lebih banyak

terjadi pada rumah yang memiliki ventilas kurang yaitu sebanyak 27 orang

(56.3%), dan bukan penderita TB paru terjadi pada responden yang

memiliki ventilasi yang cukup sebanyak 35 orang (72.9%). Hasil uji

statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.007 (<0.05) yang berarti Ho

ditolak artinya terdapat hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB

Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang memiliki ventilasi kurang

berpeluang 3.462 kali lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan

responden yang memiliki ventilasi rumah yang cukup.

Menurut analisis peneliti ventilasi yang kurang merupakan salah

satu penyebab terjadinya penyakit TB paru, karena dengan ventilasi yang

kurang menjadikan bakteri patogen dapat berkembang biak. Dengan

memiliki ventilasi yang baik, dapat membebaskan udara ruangan dari


83

bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran

udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu

mengalir. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan

oleh Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan antara kualitas fisik rumah dan

kejadian tuberkolosis paru dengan basil tahan asam positif di balai

kesehatan paru masyarakat Serang. Begitupun Penelitian Wahyudi (2018)

menemukan bahwa penderita TB paru terbanyak tidak memiliki ventilasi

sebanyak 30 orang (83,33%) dan yang memiliki ventilasi sebanyak 6

orang (16,67%),

Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti

kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di

samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban

udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari

kulit dan penyerapan.

Berdasrkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa ventilasi

yang kurang akan menyebabkan kelembaban ruangan sehingga kondisi

tersebut sebagai media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-

bakteri penyebab penyakit)

10. Hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru


84

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penderita TB paru

lebih banyak terjadi pada rumah yang memiliki jenis lantai kedap air yaitu

sebanyak 33 orang (68.8%), dan bukan penderita TB paru sebanyak 42

orang (87.5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.048

(<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat hubungan antara jenis

lantai dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukaratu. Responden yang

memiliki jenis lantai tidak kedap air berpeluang 3.182 kali lipat dapat

mengalami TB Paru dibandingkan responden yang memiliki jenis lantai

kedap air.

Menurut analisis peneliti, jenis lantai tanah memiliki peran

terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam

ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim

panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang

berbahaya bagi penghuninya.

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan

penyakit TB. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang

biakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa Jenis lantai merupakan faktor risiko terhadap kejadian

tuberkulosis paru atau ada hubungan antara pemcahayaan dengan kejadian

tuberkulosis paru.

Selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh Erwin Ulinnuhan

Fahreza Hubungan antara kualitas fisik rumah dan kejadian tuberkolosis

paru dengan basil tahan asam positif di balai kesehatan paru masyarakat
85

Serang. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mahfudin (2006)

bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan bermakna

dengan kejadian tuberkulosis paru. Begitupun dengan Penelitian Wahyudi

(2018) menemukan bahwa penderita TB paru memilki janis lantai rumah

tanah sebanyak 32 orang (88,89%) dan yang memiliki lantai semen

sebanyak 4 orang (11,11%),

11. Hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penleitian didapatkan bahwa responden yang

kontak dengan penderita sebanyak 22 orang (45.8%) mengalami TB paru,

sedangkan responden yang tidak kontak dengan penderita sebanyak 43

orang (89.6%) tidak mengalami TB Paru. Hasil uji statistik didapatkan

nilai p value sebesar 0.000 (<0.05) yang berarti Ho ditolak artinya terdapat

hubungan antara kontak penderita dengan kejadian TB Paru di Puskesmas

Sukaratu. Responden yang kontak dengan penderita berpeluang 7.277 kali

lipat dapat mengalami TB Paru dibandingkan responden yang tidak pernah

kontak dengan penderita.

Variable riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis

mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru. Riwayat kontak dengan

penderita tuberkulosis mempengaruhi kejadian TB paru.hal ini sejalan

dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tinggal bersama

dengan penderita secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui

batuk atau bersin penderita TB paru positif menyebarkan kiman ke udara

dalam bentuk percikan dahak (Kemenkes, 2010).


86

Penelitian Wahyudi (2018) diketahuai penderita tb sebagian besar

kontak dengan penderita TB paru sebanayak 33 orang (91,67%) dan yang

tidak kontak dengan penderita sebanyak 3 oarang (8,33%). Kontak dengan

pasyen TB paru lebih besar resiko terkena penyakit TB paru di banding

dengan yang tidak kontak dengan penderita tb. Selaras dengan penelitian

yang di lakukan oleh Musadad dengan judul Hubungan faktor lingkungan

rumah dengan penularan TB paru kontak serumah.

Berdasarkan uraian tersebut, pasien TB paru TBA positif dengan

kuman TB paru dalam dahaknya berpontensi menuarkan kepada orang-

orang di sekitarnya. Apabila seseorang yang telah sembuh dari TB paru

terkena paparan kuman TB paru dengan dosis infeksi yang cukup dari

penderita lain (terjadi kontak dengan penderita lain), maka ia bisa

mengalami kekambuhan, terlebih apabila ia masih dalam keadaan daya

tahan tubuh yang buruk.


87

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor yang

berhubungan dnegan kejadian TB paru, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

12. Gambaran faktor umur sebagian besar berkisar antara 55-64 tahun

(51.0%), jenis kelamin laki-laki (66.7%), memiliki kebiasaan merokok

(60.4%), status gizi dengan IMT ≥ 18.5 (58.3%), suhu ruangan yang cukup

(60.4%), ventilasi yang cukup (58.3%), kelembaban yang hangat (57.3%),

pencahayaan yang cukup (59.4%), jenis lantai kedap air (78.1%),

kepadatan hunian tidak padat (64.4%), tidak kontak dengan penderita

(71.9%) dan mengalami TB paru (50%).

13. Terdapat hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya dengan p value 0,004

14. Terdapat hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value 0,001

15. Terdapat hubungan faktor status merokok dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value

0,007.

16. Terdapat hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value 0,023.


88

17. Tidak terdapat hubungan faktor kepadatan hunian dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p

value 0,055.

18. Terdapat hubungan factor kelembaban rumah dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value

0,013.

19. Terdapat hubungan faktor suhu rumah dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value

0,002.

20. Terdapat hubungan faktor pencahayaan dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value

0,038.

21. Terdapat hubungan faktor ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya p value

0,007.

22. Terdapat hubungan faktor jenis lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya dengan p value 0.048.

23. Terdapat hubungan faktor kontak dengan penderita dengan kejadian TB

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya

dengan p value 0.000.


89

B. Saran

1. Bagi Profesi Perawat

Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberikan pelayanan

kesehatan yang sesuai dengan protap untuk dapat melakukan kunjungan

kerumah pasien.

2. Puskesmas

Diharapkan puskesmas untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan seperti

adanya penambahan jumlah tenaga kesehatan, sehingga petugas kesehatan

yang akan melakukan kunjungan kerumah pasien tidak terkendala jumlah

petugas yang ada.

6. Bagi FIKes Universitas Muhammadiyah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan bahan bacaan di

perpustakaan dan memperbanyak materi perkuliahan tentang penyakit TB

paru.

3. Peneliti lain

Dalam penelitian ini menggambarkan kondisi fisik rumah pasien penderita

penyakit tuberkulosis paru, dengan demikian bagi peneliti lain dapat

mengembangkan kondifi fisik rumah pasien yang lebih luas dan

menggunakan dengan metode multivariat agar dpaat diketahui faktor

dominan penyebab TB paru.


90

DAFTAR PUSTAKA

Ardhitya, (2015). Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Kemas 10 (2) (2015)


122-128 Jurnal Kesehatan Masyarakat
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas

Arikunto, (2010). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek;Edisi Revisi PT.


Asdi Mahasatya

Arisman, (2012). Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta. Penerbit EGC

Ayudhitya dan Tjuatja, (2012). Anda Dokter Keluarga Anda. (Cetakan Pertama).
Jakarta: Penebar Plus+ (Penebar Swadaya Group

Bimantara, (2016). Tuberkulosis di Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia.


http://www.kompas.com Diakses tanggal 13 Oktober 2019

Depkes RI (2014) . Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi kedua


Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan RI:Jakarta. (tanggal akses 23
Oktober 2019

Depkes RI, (2011). Buku Saku kader Program Penanggulangan TB. Kemenkes
RI. Jakarta

Depkes RI, (2009). Strategi Nasional pengendalian TB Paru. Direktorat Jenderal


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI.

Fatimah (2011). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidereja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008

Herryanto (2014). Riwayat pengobatan penderita TB paru meninggal di


Kabupaten Bandung, Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April 2004

Irmayanti dkk, (2010). Pengetahuan. Dari : http://www/Wikipedia Indonesia,


ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Diakses tanggal 18 Oktober 2016

Kemenkes RI, (2010). Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-


2014. Jakarta, 2011.

Kemenkes RI, (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republic Indonesia, 2009

Kemenkes, (2012). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta


91

Khandoker, Khan, Kramer, & Mori tahun (2011). Knowledge about tuberculosis
transmission among ever-married women in Bangladesh. The
Internasional Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 379-84

Levy, (2014). Lyfe and Healt. New York: Random Hause

Masniari, (2013) Penilaian hasil pengobatan TB paru dan faktor- faktor yang
mempengaruhinya serta alasan putus berobat di RS Persahabatan Jakarta.
Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI

Mahpudin, (2010). Hubungan faktor Lingkungan Fisik Rumah, Sosial Ekonomi


Dan Respon Biologis Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif
Pada Penduduk Dewasa di Indonesia (analisis data SPTBC Susenas 2004)
(tesis). Jakarta: UI.

Manalu, P, Sahat. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB paru dan


Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No. 4, (2010:
1340-1346

Marni, (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press

Muaz (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru


Basil Tahan Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota
Serang Tahun 2014. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Namuwali, Domianus (2016). Deep Breathing Relaxation Techniques Improve


Emotional Control on Tuberculosis Patients. International Journal of
Public Health Science (IJPHS), 5(3), 325-328

Notoatmodjo, (2010). Metodologi Penelitian. Teori dan Aplikasi. Rhineka Cipta.


Jakarta

Notoatmodjo, (2013). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, (2017). Pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI;

Prabu, (2016). Tuberkulosis paru. Artikel. Terdapat pada


http://prabu.wordpress.com/2009/01/04//tuberculosis. Diakses tanggal 2
November 2019

Prasetyowati (2013). Hubungan antara Pencahayaan Rumah, Kepadatan Penguhi


dan Kelembaban dan Risiko Terjadinya Infeksi TB Anak SD di Kabupaten
Jember. Jurnal Kedokteran Indonesia, 1 (1) : 88-93
92

Prihanti (2015). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru. Volume 11


NO 2 Desember 2015. Universitas Muhammadiyah Malang

Rab, (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta. Trans Info Media

Ratnawati, (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru


pada Kelompok Lanjut Usia di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Petang I
Kabupaten Badung Tahun 2016, Vol. 5 No. 7.

Riduwan, (2011). Belajar Mudah Penelitian. Alfabeta. Bandung

Riskesdas, (2018). Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan RI

Rondags et al, (2014). Health and Environment.San Fransisco: Academic Press


Penyakit Tuberkulosis. pusat informasi penyakit infeksi

Rosiana (2013). Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian


Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health, 2 (1): 1-8.

Setiarini, (2014). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan, Status Ekonomi Dan


Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Orang
Dewasa Di Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang
Kalimantan Barat, Jurnal KESMAS, 5 :162-232.

Siagan, (2016). Gizi, imunitas, dan penyakit infeksi. Medan: Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara; 2010

Simatupang, (2017). Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan Masalahnya Edisi IV.


Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia

Somantri (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Asuhan Keperawatan Pada Pasien


dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta : Salemba Medika,

Toyalis (2010). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Penyakit TB


Paru Di Provinsi Banten 2009-2010. Perpustakaan FKM Universitas
Respati Indonesia; 2010

Wahyudi (2018). Faktor Resiko Tb Paru Dengan Kejadian Tb Paru Di Puskesmas


Kambaniru. Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang

WHO, (2013). Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional


Pengendalian Tb. http://www.ino.searo.who.int/. Di unduh tanggal 4
Oktober 2019
93

Widoyono, (2015). Penyakit Tropis Epidemiologi,Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga

Wirdani, (2011). Hubungan Keberadaan PMO dengan Keteraturan Minum Obat


Penderita TB di Kab. Pandeglang. Depok: Tesis Program Pasca Sarjana
FKM UI

Zaman, K, (2015). Tuberculosis: a global health problem. J Health Popul Nutr.


2015;28:111-3.

Anda mungkin juga menyukai