Anda di halaman 1dari 83

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang di sebabkan oleh bakteri

mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar bakteri mycobacterium

tuberculosis menyerang organ paru-paru (80%), sedangkan 20% lainnya

menyerang organ diluar paru.Tuberkulosis masih merupakan masalah

kesehatan di dunia, yang menempati urutan kedua sebagai penyakit infeksi

penyebab kematian terbanyak setelah Human Imunodeficiency Virus (HIV).

Penyakit TB paru dapat menular lewat percikan dahak yang keluar saat

batuk, bersin atau berbicara karena penularannya melalui udara yang terhirup

saat bernapas (Rachmawati, 2007). Diperkirakan, satu orang menderita TB

paru BTA positif yang tidak diobati akan menulari 10-15 orang setiap tahunnya

(Aditama, 2006).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013

terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada

tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO,

2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah

Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur

(17%) (WHO, 2015).

Di Indonesia, prevalensi TB paru dikelompokkan dalam tiga wilayah, yaitu

wilayah Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali (23%), serta wilayah

Indonesia Bagian Timur (44%) (Depkes, 2008). Penyakit TB paru merupakan

penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran

pernafasan pada semua kelompok usia serta nomor satu untuk golongan
2

penyakit infeksi. Korban meninggal akibat TB paru di Indonesia diperkirakan

sebanyak 61.000 kematian tiap tahunnya (Depkes RI, 2011)

Penyakit TB paru erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan rumah dan

perilaku keluarga. Sanitasi lingkungan rumah sangat berhubungan dengan

keberadaan bakteri mycobacterium tuberculosis, dimana bakteri inidapat hidup

selama 1–2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga bermingguminggu

tergantung ada tidaknya sinar matahari, ventilasi, kelembaban, suhu, lantai dan

kepadatan penghuni rumah (Achmadi, 2008).

Penelitian Bachtiar dkk (2012) tentang hubungan perilaku dan kondisi

lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di kota Bima Provinsi

NTB menunjukkan hanya variabel tindakan yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis paru . Selain faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

penyakit TB paru di atas, faktor perilaku juga berhubungan pada kesembuhan

dan bagaimana mencegah untuk tidak terinfeksi dan tidak menyebarkan bakteri

mycobacterium tuberculosis. Dimulai dari perilaku hidup sehat dengan tidak

meludah sembarangan, menutup mulut menggunakan sapu tangan atau tissue

apabila batuk atau bersin sebagai upaya pencegahan dini penyakit TB paru.

Pada tahun 2013 penemuan kasus TB-Paru BTA (+) di Kalimantan Timur

mencapai 1.969. Angka kesembuhan tahun 2013 sebesar 96,12 %.Sedangkan

untuk kecenderungan penemuan kasus baru TB Paru dari tahun 2012 mengalami

penurunan begitu pula dengan kasus kematian karena TB Paru Jumlah

penemuan kasus baru TB pada tahun 2013 sebesar 2.416 orang, pada tahun

2014 turun menjadi 1.953 orang dan kembali meningkat pada tahun 2015

sebesar 2.391 orang.Adapun di kalimantan timur jumlah penyakit TB di masing

masing wilayah kabupaten kota adapun di mahulu angka kesakitan TB yaitu 30


3

kasus penajam paser utara 71 kasus kubar 121 kasus paser 165 kasus bontang

180 kasus berau 225 kasus kutim 351 kasus kukar 377 kasus balikpapan 409

kasus samarinda 462 kasus pada tahun 2015 (dinkes kaltim).

Data TB paru di kota samarinda pada januari 2016 kelurahan sidodadi

menempati urutan tertinggi pertama dengan dua kategori TBC paru BTA + tanpa

biakan yang berjumlah 143 dan TBC klinis tanpa pemeriksaan BTA berjumlah 208,

disusul kelurahan air putih TBC paru BTA(+)tanpa biakan berjumlah 97 TBC klinis

tanpa pemeriksaan BTA berjumlah 46 kasus .

Berdasarkan Data TB paru yang di peroleh dari dinas kesehatan kota

samarinda wilayah kerja puskesmas segiri pada januari 2016 meliputi 3

kelurahan adapun 3 keluraharan tersebut meliputi kelurahan sidodadi menempati

urutan tertinggi dengan TBC paru BTA + tanpa biyakan berjumlah 143 dan TBC

klinis tanpa pemeriksaan BTA berjumalah 208.adapun kelurahan dadi mulya

dengan TBC paru BTA + tanpa biyakan berjumlah 15 dan TBC klinis tanpa

pemeriksaan BTA berjumlah 6 sedangkan kelurahan gunung kelua BC klinis tanpa

pemeriksaan BTA berjumlah 62 dan TBC klinis tanpa pemeriksaan BTA berjumalah

4.

Berdasarkan observasi di lapangan di puskesmas segiri jumlah pasien pada

tahun 2016 pada triwulan pertama berjumlah 6 pasien dan jumlah pasien pada

triwulan kedua 9 pasien dan triwulan ketiga 10 pasien dengan jumlah keseluruhan

25 pasien penderita TB paru .

Sesorang untuk terpapar oleh M.tubercolosis,mengalami infeksi ,sakit TB paru

dan sembuh atau meninggal dihubunganio oleh beberapa variable.2 variabel yang

dimaksud disini adalah kontak dengan penderita TB paru,karekteristik

individu,kondisi rumah, perilaku,dan daya tahan tubuh (DEpkes RI,2007).


4

Faktor kondisi rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru

diantaranya adalah kepadatan hunian rumah dan ventilasi rumah.penularan bekteri

M.tubercolosis akan meningkat dengan kepadatan hunian rumah dan ventilasi

rumah yang kurang karena dengan keadaan ini akan menyebabkan pertukaran

udara tidak maksimal sehingga bakteri atau kuman TB paru yang dikeluarkan oleh

penderita TB paru dapat bertahan lama di dalam ruangan (Canadian tuberculosis

comitee,2007).

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu

faktor faktor apakah yang berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah

kerja puskesmas segiri samarinda.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujun umum

Untuk mengetahui hubungan faktor faktor yang berhubungan dengan

kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri kota samarinda

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan Umur dengan kejadian TB

paru di wilayah kerja puskesmas segiri

b. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

d. Untuk mengetahui hubungan pendidikan dengan kejadian


5

TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

e. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan kejadian

TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri .

f. Untuk mengetahui hubungan penghasilan dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

g. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan

kejadian TB di wilayah kerja puskesmas segiri

h. Untuk mengetahui hubungan pencahayaan hunian

dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas

segiri

i. Untuk mengetahui hubungan Ventilasi hunian dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

j. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian

TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri

k. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi BCG

dengan kejadian di wilayah kerja puskesmas segiri

l. Untuk mengetahui hubungan merokok dengan kejadian

TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri


6

D. Manfaat penelitian

1. Bagi instansi kesehatan

Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi bagi instansi

terkait

2. Bagi fakultas kesehatan masyarakat

Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan perbandingan bagi

mahasiswa yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Bagi peneliti

Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti mengenai

faktor faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian TB paru


7

BABII

TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi Tuberkulosis

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang parenkim paru

yang menular karena infeksi kuman TB yaitu Mikobakterium tuberkulosis

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

1. Gejala Klinis TB Paru

Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-

macam atau tanpa keluhan sama sekali.

a. Demam

Biasanya subfebris, menyerupai demam influenza tetapi kadang-

kadang suhunya 40-41°C. Keadaan ini sangat dihubungani oleh

daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman

tuberkulosis yang masuk.

b. Batuk

Batuk berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya iritasi pada

bronkus, sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif)

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif

(menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut adanya dahak

bercampur darah bahkan sampai batuk darah (hemaptoe) karena

terdapat pembuluh darah yang pecah.

c. Sesak napas

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.


8

d. Nyeri dada

e. Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkanpleuritis. Malaise

Sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun sakit

kepala, meriang. Keluar keringat di malam hari tanpa melakukan

aktifitas.

2. Penyebab TB Paru

TB paru disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis yang

berbentuk batang berukuran ± 0,3–0,6 dan panjang ± 1–4 µ.

Mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan.

Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat

bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan

lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman)

selama beberapa tahun. Ada beberapa jenis Mikobakterium seperti

Mycobacterium africanus, Mycobacterium bovis, mycobacterium

kansasii, Mycobacterium avium dan Mycobacterium nenopi. Namun

yang penting adalah Mikobakterium tuberkulosis yang menyebabkan

penyakit tuberkulosis dan terutama menyerang paru.

3.Patogenesis TB Paru

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan

terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi

dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara

pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru.


9

Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening

di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara

terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar

4–6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan

reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi

primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya

respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya

tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun

demikian beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten

atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan

yang bersangkutan akan menjadi sakit TB.

4.Klasifikasi TB Paru

1).Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

a. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

b. Tuberkulosis Extra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),

kelanjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran

kencing, alat kelamin dan lain-lain.

2) Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopik

pada TB

Paru.
10

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

(+), 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak

SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB Positif, 1 atau

lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Kriteria diagnosis TB paru BTA negatif harus meliputi:

paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto

toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, ditemukan

(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3) Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumya.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi

menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau


11

pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (default)

Adalah pengobatan yang telah berobat dan putus berobat 2

bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki

register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien

dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan.

5 .Diagnosis TB Paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2

hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang

dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada

program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan


12

mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto

toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,

sehingga sering terjadi overdiagnosis

6.Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk

atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuklei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan

dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi

jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh

kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan yang gelap dan lembab.

Daya faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman

TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dan lamanya menghirup udara

tersebut.

7.Inkubasi

Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala

adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan

waktu 3-8 minggu. Resiko menjadi TB paru setelah terinfeksi primer

biasanya pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat

berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan resiko terhadap

infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.


13

8.Program Penanggulangan TB

Strategi Direct Observed Treatment Short-Course (DOTS) adalah

penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien

TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan

dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan

dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam pencegahan

penularan TB. Dengan menggunakan strategi DOTS, biaya program

penanggulangan TB akan lebih hemat.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu:

a. Komitmen politis

b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin

mutunya.

c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus

TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk

pengawasan langsung pengobatan.

d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program

secara keseluruhan.

9. Epidemiologi Penyakit TB Paru

Indonesia sekarang berada pada peringkat kelima negara

dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua

kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi

berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB


14

diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB

diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah

dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB

dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus

MDR TB setiap tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia

merupakan negara pertama diantara High Burden Country di wilayah

WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk

deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada

tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah

ditemukan dan diobati dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi

BTA+. Dengan demikian, Case Detection Rate untuk TB BTA+ adalah

73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka

keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%

dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global

tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB

nasional yang utama.

B.Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya peningkatan

angka kejadian penyakit TB Paru

Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi

penyakit TB paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk

yangmempunyai risiko mendapat TB paru lebih besar daripada golongan

lainnya. Diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengetahuan,

pekerjaan, jenis kelamin, kondisi lingkungan yang tidak sehat, adanya

penyakit lain yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, gizi buruk,
15

kontak dengan sumber penularan, hubungan merokok, asap dapur, asap

obat nyamuk dan sebagainya.

Konsep “trial epidemiology” atau konsep ekologis dari John

Gordon menyatakan bahwa terjadinya penyakit karena adanya

ketidakseimbangan antara agent (penyebab penyakit), host (pejamu),

dan environment (lingkungan).

a. Faktor Agent (penyebab penyakit)

Faktor agen yaitu semua unsur baik elemen hidup atau mati

yang kehadirannya dan atau ketidakhadirannya, apabila diikuti

dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan

yang memungkinkan akan memudahkan terjadinya suatu proses

penyakit. Agen diklasifikasikan sebagai agen biologis, kimia,

nutrisi, mekanik, dan fisik.12 Untuk khusus TB paru yang

menjadi agen adalah kuman Mikobakterium tuberkulosis.

Menurut penelitian, angka prevalensi TB di masyarakat,

pengobatan yang relatif lama, terutama yang kontak serumah

dengan penderita TB Paru menyebabkan meningkatnya kejadian

TB paru.Hasil penelitian, menemukan bahwa lama kontak > 3

bulan dengan penderita TB paru dapat meningkatkan kejadian TB

paru dalam masyarakat.

b. Faktor Host (Penjamu)

Faktor pejamu adalah manusia yang mempunyai

kemungkinan terpapar oleh agen. Ada beberapa faktor yang

berkaitan dengan penjamu antara lain usia, jenis kelamin, ras,

sosial ekonomi, kebiasaan hidup, status perkawinan, pekerjaan


16

keturunan, nutrisi dan imunitas. Faktor tersebut menjadi penting

karena dapat berhubungan dengan resiko untuk terpapar, sumber

infeksi dan kerentanan serta resistensi dari manusia terhadap

suatu penyakit atau infeksi seperti halnya:

− Pendidikan

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam

kesehatan. Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di

bidang kesehatan semakin berkurang, baik yang menyangkut

asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit dan

usaha-usaha preventif lainnya.

Tingkat pendidikan yang rendah dapat berhubungan dengan

pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung

maupun tidak langsung dapat berhubungan dengan lingkungan

fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan

kesehatan dan dapat berhubungan dengan penyakit TB dan pada

akhirnya berhubungan dengan tingginya kasus TB yang ada.

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan

penderita yang rendah mengakibatkan pengetahuan rendah,

sehingga memungkinkan penderita dapat putus dalam pengobatan

karena minimnya pengetahuan dari penderita dan

ketidakmengertinya pengobatan. Hal ini mengakibatkan penderita

tidak dapat teratur dalam program pengobatan yang dijalani.

Hampir seluruh penelitian sebelumnya menemukan faktor

pendidikan sangat erat kaitannya dengan ketidakteraturan berobat

dan minum obat.

− Pengetahuan
17

Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB

paru dan pengobatannya akan meningkatkan keteraturan

penderita, dibandingkan dengan penderita yang kurang akan

pengetahuan penyakit TB paru dan pengobatannya. Karena itu

bimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh PMO akan lebih

terarah dan baik. Sehingga akan meningkatkan keteraturan

penderita dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan

akan menurun.

Seseorang yang punya pengetahuan yang baik tentang

penularan TB paru, akan berupaya untuk mencegah penularannya.

Kategori pengetahuan dapat dikelompokkan berdasarkan

jawaban Benar responden. Pengetahuan tinggi jika responden

dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila < 75%.

−Pendapatan

Pendapatan akan banyak berhubungan terhadap perilaku dalam

menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini

disebabkan pendapatan berhubungan dengan pendidikan dan

pengetahuan seseorang dalam mencari pengobatan, berhubungan

dengan asupan makanan, berhubungan dengan lingkungan tempat

tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi pemukiman

yang di tempati.

Sekitar 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang

kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Faktor

kemiskinan walaupun tidak berhubungan langsung pada kejadian

tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan

adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dan kejadian


18

tuberkulosis paru. Lebih lagi, bahwa ada hubungan pengangguran

dengan kejadian tuberkulosis.

−Pekerjaan

Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan

pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang di

hubungani rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan

dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan

pada tingkat pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa

sebagian besar penderita TB paru adalah tidak bekerja (53,8%).

- Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan

presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Kadang-

kadang ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari jumlah

kasus. Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di sebagian

besar dunia, lebih banyak laki-laki daripada perempuan

didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu antara

tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki

cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada

perempuan

menurun 0,7%. tuberkulosis paru lebih banyak terjadi pada

laki- laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian

besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

terjangkitnya tuberkulosis paru.

- Status Gizi
19

Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan

berhubungan terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun

terhadap serangan penyakit. Faktor ini sangat penting pada

masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak.

Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa

faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka

kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama sakit

- Imunisasi BCG

Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian

tuberkulosis, bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko

0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p= 0,003),

dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin. Walaupun

imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat

mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa

dan tuberkulosis milier.

Daya cegah faksin BCG terhadap Tuberkulosis tidak

tetap.Hasil penelitian menunjukan bahwa efek pencegahan BCG

bervariasi antara 0%-80% (WHO, 1999).

- Penyakit HIV/ AIDS

Faktor yang berhubungan dengan kemungkinan seseorang

menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di

antaranya infeksi HIV/AIDS. HIV merupakan faktor resiko yang

paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV

menyebabkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,

sehingga bila terjadi infeksi penyerta (oportunitis), seperti


20

tuberkulosis, maka yang akan menjadi sakit parah bahkan bisa

menyebabkankematian.

- Kebiasaan Merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap

isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam depkes tahun 2004

adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu

minimal 6 bulan selama hidupnya.

Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang

bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema.

Merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru lainnya.

Pada penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma

sebab asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernapasan.

Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya kerentanan

terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak.

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru, penyakit

jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker kandung kemih.

Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru

sebanyak 2,2 kali.

- Umur

Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan

perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis

penderita TB paru. Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai

bergerak kearah umur tua karena kepasrahan mereka terhadap

penyakit yang diderita.


21

Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insiden TB

secara perlahan bergerak kearah kelompok umur tua (dengan

puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian besar

kasus terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun.

c. Faktor lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis

maupun sosial yang berada di sekitar manusia serta hubungan-

hubungan luar yang berhubungan dengan kehidupan dan

perkembangan manusia. Unsur- unsur lingkungan adalah sebagai

berikut:

−Lingkungan fisik

Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada di sekitar

manusia yang bersifat tidak bernyawa. Misalnya air, tanah,

kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.

−Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang bersifat

hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.

− Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang

mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk

mempertahankan kehidupan, seperti pendidikan pada tiap individu,

rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjan,

jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.

−Lingkungan Rumah
22

Menurut American Public Health Assosiaton (APHA),

lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

 Suhu ruangan

yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar

konstruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak

berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan

sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan

agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan

jendela tidak terlalu banyak.

 Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun

malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari

yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah luas

lantai.

Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi

yang cukup untuk proses pergantian udara.

-Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak

terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari

luar rumah.

 Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak

bermain, ruang makan, ruang tidur dll.

 Jumlah kamar tidur dan pengaturanya disesuaikan dengan umur

dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur


23

kurang dari lima tahun minimal 4,5m 3, artinya dalam satu

ruangan dalam suatu ruangan anak yang berumur lima tahun

kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m3

(1,5x1x3m3) dan atas lima tahun menggunakan ruangan 9 m3

(3x1x3m3).

Menurut Keputusan Menteri tentang Pemukiman dan

Prasarana tahun 2002 bahwa kebutuhan ruang perorang dihitung

berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas

seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk,

mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari

hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m 2 dengan

perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,8 m. Untuk

kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya

tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah

dua tahun.

Hasil penelitian Rusnoto, menunjukkan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara kepadatan rumah dengan kejadian

tuberkulosis paru (OR=5,983).


24

C.Kerangka teori

Host:
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Status Gizi
- Pengetahuan
tentang TB
Paru
- Imunisasi
BCG
- usia
Environment :
Agent: Kepadatan hunian
Mycobacterium tuberculosis Ventilasi
Suhu
pencahayaan

Kejadian TB paru

Sumber : Teori Jhon Gordon, Ahmadi 2010


25

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan desain case control atau retrospective

study ,karena yang dilakukan dengan mengidentifikasi atau mencari hubungan

seberapa jauh factor resiko berhubungan dengan terjadinya penyakit

(causeeffect relationship). Dalam penelitian ini ingin di ketahui apakah factor

resiko tertentu berhubungan terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan

membandingkan kekerapan pajanan dan factor resiko pada kelompok kasus

dengan kelompok control.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yaitu suatu

rancangan epidemologi yang di mulai dengan seleksi individu menjadi

kelompok kasus dan kelompok kontrol.yang factor resikonya akan diteliti.

Kedua kelompok itu diperbandingkan dalam hal ada penyebab atau

keadaan/pengalaman masalalu yang ,mungkin relevan dengan penyebab

penyakit.skea dasar studi kasus control dapat di gambarkan sebagai berikut.


26

Penelitian dimulai
Ada faktor resiko
dari sini
TB paru

Ya (+)
Faktor individu (Host) dan
faktor lingkungan
(environment)

Kasus TB paru

Ya (-)
Faktor individu (Host) dan
faktor lingkungan
(environment)

Ya (+)
Faktor individu (Host) dan
faktor lingkungan (environment)

Control (tanpa TB
paru)
Ya (-)
Faktor individu (Host) dan
faktor lingkungan (environment)

Gambar 3.Design penelitian kasus control

Dalam budiman dalam bukunya metodelogi kesehatan dipilihnya desain

kaus control dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a. Hasil diperoleh dengan cepat

b. Biaya yang diperlukan relatif sedikit


27

c. Memerlukan subyek penelitian yang lebih sedikit

d. Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risisko sekaigus

dalam satu penelitian

e. Adanya kesamaan kurun waktu antara kelompok kasus dengan

kelompok control

f. Kaitan dengan penelitian ini , di harapkan dengan desain penelitian

kasus control ini dapat mencari hubungan faktor- faktor resiko TB paru

yang berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas

segiri kota samarinda.

B. Lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di wilayah puskesmas segiri kota samarinda

2. Waktu

Adapun pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan mei – juli 2017

C.populasi dan sampel

a. Populasi

Sampel pada kelompok kasus semua yang teridentifikasi positif TB paru

yang didapatkan datanya dari rekam medis Puskesmas segiri tahun 2016 dan

memiliki alamat yang lengkap, yakni berjumlah 25 kasus. Jumlah kontrol

diambil sama dengan jumlah kasus. Pengambilan sampel untuk kelompok

kasus diambil semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan

ekslusi.Kelompok kontrol diambil secara acak dengan matching umur dan jenis

kelamin.
28

b. Sampel penelitian

Kriteria inklusi kasus .

• Bersedia berpartisipasi dalam penelitian

• Bertempat tinggal tetap di wilayah kerja puskesmas segiri

kota samarinda minimal 1 tahun.

Kriteria ekslusi kasus

• penderita tidak ditemui pada alamat yang tercatat,

• tidak bersedia menjadi responden

• Rumah memakai Air Conditioner

Kriteria inklusi control

• tidak serumah dan tidak bertempat tinggal di sekeliling

rumah penderita TB

• bukan merupakan suspek TB paru dan atau jika

merupakan suspek (batuk 2-3 minggu dengan atau tanpa

gejala lainnya) dipastikan dengan pemeriksaan BTA

yang hasilnya negatif, jenis kelamin sama dan umur tidak

jauh dengan pasien TB paru.

Kriteria eksklusi kontrol

• tidak bersedia menjadi responden

• rumah yang memakai Air Conditioner.


29

Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan

sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian

(Nursalam, 2008). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total

sampling.

Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah

sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2007). Alasan mengambil total

sampling karena menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari

100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya


30

D.kerangka konsep

Gambaran kerangka konsepsional sebagaimana terlihat dalam diagram

sebagai berikut :

VARIABEL INDEPENDEN VARIAB EL DEPENDEN

Faktor individu
 Umur
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Status gizi
 Status imunisasi BCG
 Jenis kelamin
 Merokok
TB PARU
 Pendapatan
 Pengetahuan

Faktor lingkungan
 Pencahayaan
 Kepadatan hunian dalam
satu rumah
 ventilasi

Gambar 3.1.kerangka konsep

E.Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Nol (Ho)

a. Tidak ada hubungan faktor umur dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

b. Tidak ada hubungan faktor jenis kelamin dengan kejadian TB paru di

wilayah Kerja Puskesmas segiri kota samarinda


31

Hipotesis Alternatif (Ha)

a. ada hubungan faktor pendidikan dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

b. ada hubungan faktor pekerjaan dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

c. ada hubungan faktor status gizi dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

d. ada hubungan faktor status imunisasi BCG dengan kejadian TB paru di

wilayah Kerja Puskesmas segiri kota samarinda

e. ada hubungan faktor merokok dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

f. ada hubungan faktor pendapatan dengan kejadian TB paru di wilayah Kerja

Puskesmas segiri kota samarinda

g. ada hubungan faktor pengetahuan dengan kejadian TB paru di wilayah

Kerja Puskesmas segiri kota samarinda


32

F.Variabel penelitian

1. variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :

a. Individu (Host)

b. Lingkungan (environment)

2.Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian TB paru di wilayah

kerja puskesmas segiri kota samarinda

Didalam definisi operasional terdapat variabel,definisi

operasional,cara pengukuran ,penyajian dan skala .untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada matrik berikut


33

Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian

Variabel Definisi oprasional Pengukuran Kreteria obyek Alat ukur skala

TB paru Kondisi seseorang dari Data rekam 0=penderita TB paru Nominal


sehat menjadi sakit medis baru,jika hasil
turbekulosis paru akibat pemeriksaan sptum
infeksi kuman dinyatakan BTA+
tuberculosis paru di
puskesmas segiri 1=bukan penderita
tuberculosis paru jika
sekurang kurangnya
(dua) kali pemeriksaan
BTA negative dari (tiga)
pemeriksaan

Ventilasi Kondisi rumah yang Wawancara dan 0 =tidak memenuhi obsevasi nominal
mempunyai sirkulasi lembar syarat : luas ventilasi
udara keluar masuk observasi >10% luas lantai
yang cukup dengan ruangan
luas ventilasi menimal
10% dari luas lantai 1=memenuhi syarat :
luas ventilasi <10%
luas lantai ruangan

Pencahayaan Penerangan atau Wawancara dan 0=.tidak cukup jika Observasi nominal
pencahayaan di dalam lembar pencahayaan dalam
rumah pada pagi dan observasi rumah tidak bisa
siang hari agar tidak digunakan untuk
gelap dan lembab membaca pada pagi
hari
1=.cukup jika
pencahaya dalam
rumah bisa digunakan
untuk membaca pada
pagi hari

Kepadatan Kepdatan hunian dalam Wawancara dan 0=.kepadatan hunian Observasi Nominal
hunian penelitian ini adalah lembar obsevasi tidak memenuhi
hasil perhitungan syarat ,jika rasio
terhadap rasio luas ruangan dengan jumlah
ruangan dalam rumah penghuni
dengan jumlah <10m2/orang.
penghuni dengan
minimal 10m2/orang 1=.kepadatan hunian
memenuhi syarat,jika
rasio ruangan dengan
jumlah penghuni
>10m2/orang

pendidikan Jenjang yang pernah di Wawancara =0 rendah (SD-SMP) kuisoner ordinal


raih di sekolah
=1 tinngi (SMA ke atas)

Pengetahuan wawancara 0= buruk jika jawaban kuisoner ordinal


Pengetahuan yang benar kurang dari 75%
diperoleh dari 1=baik jika jawaban
pengalaman sendiri benar lebih dari 75%
atau orang lain,
pencegahan,
penyebab, penularan
dan pengobatan TB
34

Usia Lama hidup yang di Wawancara 0= usia produktif 15-58 kuisoner Ordinal
hitung dengan tahun
pembulatan
1=usia tidak produktif
<15->58 tahun

merokok Responden memiliki wawancara 0=meroko lebih dari 6 koesioner nominal


kebiasaan meroko 6 bulan
bulan
1=meroko kurang dari
6 bulan

Pekerjaan Status sosial sesuai wawancara 0=tidak bekerja kuisoner nominal


dengan KTP
1=bekerja

Pendapatan Tingkat penghasilan Wawancara 0= rendah jika di kuisoner ordinal


keluarga dapat di hitung bawah <2,3 juta rupiah
dengan jumlah perbulan
pengeluaran setiap
bulan yang di hitung 1=tinggi jika diatas >2,3
dalam satuan rupiah juta rupiah perbulan

Imunisasi Adanya skor yang di Wawancara 0=tidak imunisasi kuisoner Nominal


BCG lihat dari lengan atas
1=imunisasi

Status gizi Penilaian indeks masa Wawancara 0=IMT <18,5 kurang kuisoner ordinal
tubuh di lihat dari TB/BB
1=IMT>18,5 cukup

Jenis kelamin Perbedaan jenis Wawancara 0=laki –laki kuisoner N0minal


kelamin secara biologis
1= perempuan

G. Sumber data Penelitian

a. Data primer

Menurut Sugiyono (2012:139) menjelaskan sumber primer adalah sebagai

berikut:

“Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data”. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini

melalui cara menyebarkan kuesioner dan melakukan wawancara secara

langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan.
35

b. Data Skunder

Data skunder yaitu data registrasi pasien yang tercatat sebagai penderita

TB paru di puskesmas segiri kota samarinda dan bertempat tinggal di

wilayah kerja puskesmas segiri.

H. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner untuk

dapat mendapatkan informasi subjek penelitian melalui wawancara

terstruktur.

I. Pengolahan Data

Setelah data penelitian terkumpul dan lengkap kemudian di lakukan lagkah

langkah sebagai berikut :

a. Editing, yaitu melakukan pengecekan kuesioner mengenai kelengkapan,

keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban, relevansi, kesesuaian jawaban dan

keseragaman satuan data.

b. Koding, yaitu mengklasifikasikan jawaban responden dengan cara member

kode tertentu. Tujuannya adalah mempermudah saat analisis data dan

entry.

c. Tabulasi, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan tujuan penelitian

kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.

d. Cleaning data, yaitu mengecek kembali data yang sudah di entry apakah

ada kesalahan atau tidak.


36

J. Analisis Data

Data dianalisis dan diinterpretasikan untuk menguji hipotesis yang

diajkukan dengan menggunakan perangkat luanak pengolah statistic

dengan tahapan sebagai berikut:

a. Analisis Univariat

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptis,yaitu

data untuk variable di sajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi ,gambar atau gambar diagram maupun grafik

b. Analisis bivariate

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen. Untuk mengetahui hal

itu uji yang digunakan adalah uji kai kuadrat (chisquare) dan

perhitungan odd ratio (OR) sehingga dapat diketahui ada dan tidak

hubungan yang bermakna secara statistik dengan derajat

kemaknaan 0,05 atau α = 5 %.

Adapun rumus dari uji chi square ini adalah:

2
2
X = O E
E

Df = (b – 1) (k – 1)

Dimana :

X2 = Kai Kuadrat/chi square

O (Observed) =Nilai observasi


E (Expected) =Nilai harapan
Df =Degree of Freedom / derajat kebebasan
b =Jumlah baris
k =Jumlah kolom.
37

Hasil akhir uji statistik adalah untuk mengetahui apakah

keputusan uji Ho ditolak atau Ho gagal ditolak. Dengan

ketentuan apabila p value < α (0,05), Maka Ho ditolak, artinya

ada hubungan yang bermakna, jika p value > α, maka Ho

gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna

antar variabel.
38

BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

A. Hasil Peneitian

a) Analisis Univariat

1. Gambaran umum lokasi penelitian

Puskesmas Segiri merupakan salah satu dari dua puluh tiga puskesmas

yang ada di Kota Samarinda, yang terletak di Jalan Ramania RT.47, Kelurahan

Sidodadi, Kecamatan Samarinda Ulu Kota Samarinda dengan batas-batas

wilayah kerja sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Wilayah kerja Puskesmas Suryanata

2. Sebelah Selatan : Wilayah kerja Puskesmas Gerilya

3. Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Bengkuring

4. Sebelah Barat : Wilayah kerja Puskesmas Pasundan

Wilayah kerja Puskesmas Segiri terdiri dari 3 Kelurahan, yaitu Kelurahan

Sidodadi, Kelurahan Dadi Mulya, dan Kelurahan gunung Kelua Jumlah

penduduk dalam wilayah kerja tersebut dapat dilihat pada data demografi

Puskesmas Segiri kota Samarinda berikut :

Tabel 4.1:Distribusi berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja puskesmas segiri


No Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Sidodadi 9.302 8.294 17.596
2 Dadi Mulya 9.848 8.942 18.260
3 Gunung Kelua 8.240 7.470 15.710

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk

Kelurahan Sidodadi berjumlah 17.596 orang, Kelurahan dadi Mulya berjumlah


39

18.260 orang, dan Kelurahan gunung Kelua berjumlah 15.710 orang. Yang

masing-masing mencakup jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.

Terdapat 5 penyakit terbesar di puskesmas segiri menurut kunjungan

bulan tahun 2016

Table 4.2: Distribusi penyakit terbesar puskesmas segiri

No Penyakit Jumlah Kasus

1 ISPA 2.128
2 Demam berdarah 222
3 TB paru 162
4 Diare 23
5 Pneumonia 14
Sumber : Puskesmas segiri 2016

2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin .

a. Karakteristik Responden berdasarkan umur

Karakteristik responden berdasarkan umur di puskesmas segiri dapat di

lihat pada table berikut

Tabel 4.3: Karakteristik responden menurut umur di puskesmas segiri

Umur Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
18-25 tahun 5 20 0 0 5 10
26-33 tahun 3 12 6 24 9 18
34-41tahun 1 4 2 8 3 6
42-49 tahun 5 20 3 12 8 16
50-57 tahun 2 8 3 12 5 10
58-65 tahun 3 12 11 44 14 28
66-80 tahun 6 24 0 0 6 12
Total 25 100 25 100 50 100

Tabel 4.3 diatas dapat di lihat bahwa kasus TB paru paling banyak

terdapat pada responden usia 66-80 tahun yaitu sebanyak 24 % dari seluruh

responden kasus atau responden yang menderita. Sedangkan TB paru

terendah terdapat pada responden usia 34-41 tahun yaitu 4% dari seluruh

responden kasus.
40

b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja

puskesmas segiri periode januari – desember dapat di lihat table berikut:

4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Penyakit TB paru


kelamin Total %
Ya % Tidak %
Perempuan 8 32 12 48 20 40
Laki-laki 17 68 13 52 30 60
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri adalah berjenis kelamin laki laki yaitu 17 responden

(68%) dari 25 kasus atau responden kasus atau responden yang menderita TB

paru .hal ini dapat di sebabkan laki laki cenderung mempunyai kebiasaan

meroko di banding perempuan

c. Gambaran umum tingkat pengetahuan

Adapun distribusi Frekuensi responden berdasarkan tingkat

pengetahuan di wilayah kerja puskesmas dapat di lihat table berikut:

4.5 Distribusi frekuensi responden berdasar kantingkat pengetahuan


No Tingkat Pengetahuan Kasus Kontrol Total
Responden

n % n % n %

1 Menurut Anda apa itu


penyakit TB Paru?
- Penyakit menular yang
disebabkan oleh
kuman/bakteri
a.Tau 25 50 25 50 50 100

b.Tidak 0 0 0 0 0 0

2 Anda tahu penyebab


penyakit TB Paru? - Kuman
Mycobacterium tuberculosis
a.Tau 24 48 25 50 49 98

1 2 0 0 1 2
41

b.Tidak

3 Anda tahu apa tanda


seseorang terkena penyakit
TB Paru?
- Batuk berdahak selama 2-
3 minggu atau lebih, batuk
bercampur darah,
berkeringat pada malam hari
tanpa kegiatan fisik.
a.Tau 15 30 15 30 30 60

b.Tidak 10 20 10 20 20 40

4 Anda tahu bagaimana cara


penularan penyakit TB
Paru?
- Penularan penyakit TB
Paru dapat terjadi melalui
batuk, bersin yang
mengandung kuman TB
yang terhirup orang lain. 15 30 23 46 38 76
a.Tau
10 20 2 4 12 24
b.Tidak

5 Anda tahu kebiasaan yang


memperburuk kesehatan
penderita TB Paru?
- Merokok, lingkungan dan
kurang gizi.
a.Tau 12 24 19 38 31 62

b.Tidak 13 26 6 12 19 38

6 Anda tahu bila tidak


menelan obat sekali saja
pengobatan bisa gagal?
a.Tau 9 18 14 28 23 46

b.Tidak 16 32 11 22 27 54

7 Anda tahu pemeriksaan apa


yang dilakukan untuk dapat
menegakkan seseorang
menderita TB Paru?
- Pemeriksaan dahak,
rontgen dan laboratorium
a.Tau 9 18 16 32 25 50

b.Tidak 16 32 9 18 25 50

8 Anda tahu berapa lama


seorang penderita TB Paru
harus minum obat?
- Minum obat selama 6
bulan dengan tahap awal (2
bulan) obat diminum setiap
hari dan dilanjutkan dengan
minum obat 3x seminggu
selama 4 bulan
42

a.Tau 20 40 4 28 34 68

b.Tidak 5 10 11 22 16 32

9 Anda tahu kemungkinan


efek samping yang dapat
ditimbulkan OAT? - Warrna
kemerahan pada air seni
(urine), tidak ada nafsu
makan, mual, sakit perut,
nyeri sendi dan kesemutan
sampai dengan rasa
terbakar
a.Tau 13 26 14 28 27 54

b.Tidak 12 24 11 22 23 46

Berdasarkan tabel 4.5 dapat di ketahui bahwa mayoritas kelompok kasus

tahu bila tidak menelan obat sekali saja pengobatan bisa gagal yaitu 9 (18%)

dan pada kelompok kontrol yang mengetahui bila tidak menelan obat sekali

saja pengobatan bisa gagal yaitu 14 (28%) hal ini di karenakan kelompok

kontrol mempunyai tingkat pengetahuan yang baik dan sarana prasarana yang

menunjang untuk mendapatkan pengetahuan juga baik.

d. Gambaran umum pendidikan

Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di

wilayah kerja puskesmas dapat di lihat table berikut:

4.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan

Pendidikan Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
SD 7 28 3 12 10 20
SMP 12 48 7 28 19 38
SMA 3 12 6 24 9 18
Diploma 1 4 3 12 4 8
Sarjana 2 8 6 24 8 16
Total 25 100 25 100 50 100
43

Tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa kasus TB paru paling banyak

frekuensi pendidikan smp yaitu sebanyak 19 responden atau 38% dari seluruh

responden kasus atau responden yang menderita. Sedangkan TB paru

terendah terjadi pada frekuensi usia Diploma yaitu 4 responden (6%).

e. Gambaran umum pekerjaan

Adapun distribusi Frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di

wilayah kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut

4.7distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
Tidak bekerja 16 64 7 28 23 46
Bekerja 9 36 18 72 27 54
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru

di wilayah puskesmas segiri yaitu responden yang tidak bekerja berjumlah 16

responden atau 64% dari 25 kasus atau responden kasus atau responden

yang menderita TB paru hal ini di sebabkan karena rendahnya tingkat sosial

ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan.

f. Gambaran umum pendapatan

Adapun distribusi Frekuensi responden berdasarkan pendapatan di

wilayah kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendapatan

Pendapatan Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
Rendah <Rp 18 72 9 36 27 54
2.300.000
Tinggi 7 28 16 64 23 46
>Rp 2.300.000
Total 25 100 25 100 50 100
44

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri yaitu responden yang berpendapatan rendah

berjumlah 18 responden atau 72% dari 25 kasus atau responden yang

menderita TB paru hal ini di sebabkan pendapatan berhubungan dengan

pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mencari

pengobatan ,berhubungan dengan asupan makanan,berhubungan dengan

lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bakan kondisi

pemukiman tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi

pemukiman yang di tempati.

g. Gambaran umum kepadatan hunian

Adapun distribusi Frekuensi berdasarkan kepadatan hunian di wilayah

kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.9 distribusi frekuensi responden berdasarkan kepadatan hunian

Kepadatan hunian Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
Tidak ada kepadatan 6 24 13 52 19 38
hunian
Ada kepadatan hunian 19 76 12 48 22 62
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru

di wilayah puskesmas segiri tidak memiliki kepadatan hunian adapun jumlah

responden yang terkena TB paru dengan tidak ada kepadatan hunian

berjumlah 6 kasus atau 24% responden yang menderita TB paru

h. Gambaran umum ventilasi rumah

Adapun distribusi Frekuensi berdasarkan ventilasi rumah di wilayah

kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.10 distribusi frekuensi responden berdasarkan ventilasi rumah

Ventilasi Penyakit TB paru


45

Ya % Tidak % Total %
>10% luas lantai 6 24 15 60 21 42
ruangan
<10% luas lantai 19 76 10 40 29 58
ruangan
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri memiliki ventilasi di bawah <10% luas ruangan

adapun jumlah responden yang terkena TB paru berjumlah 19 kasus atau 76%

responden yang menderita TB paru hal ini di sebabkan oleh sirkulasi udara

yang susah berganti di karenakan ventilasi sangat kecil dibawah < 10% luas

lantai ruangan

i. Gambaran umum pencahayaan rumah

Adapun distribusi Frekuensi berdasarkan ventilasi rumah di wilayah

kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.11 distribusi frekuensi responden berdasarkan pecahayaan

hunian

Pencahayaan Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
Tidak cukup pencahayaan 18 72 10 40 28 56

Cukup pencahayaan 7 28 15 60 22 54
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru

di wilayah puskesmas segiri memiliki pencahayaan yang kurang pada

huniannya adapun jumlah responden yang terkena TB paru berjumlah 18 kasus

atau 72% responden terena TB paru hal ini di sebabkan bakteri mudah

berkembang dengan pencahayaan yang kurang .

j. Gambaran umum status gizi


46

Adapun distribusi Frekuensi responden berdasarkan status gizi di

wilayah kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.12 distribusi frekuensi responden berdasarkan status Gizi

Status Penyakit TB paru


Gizi Total %
Ya % Tidak %
Kurang 18 72 8 32 26 52
Cukup 7 28 17 68 24 48
Total 25 100 25 100 50 100
Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri yaitu responden yang kurang dalam status gizi

berjumlah 18 kasus atau 72% responden responden yang menderita TB paru

hal ini di sebabkan oleh berkurangnya kekuatan daya tahan tubuh dan respon

imun terhadap serangan penyakit.

k. Gambaran umum status imunisasi

Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan status imunisasi di

wilayah kerja puskesmas dapat di lihat tabel berikut:

4.13 distribusi frekuensi responden berdasarkan status imunisasi

Status imunisasi Penyakit TB paru


BCG Total %
Ya % Tidak %
Tidak imunisasi 17 68 6 24 23 46
Imunisasi 8 32 19 76 27 54
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri yaitu responden yang tidak melakukan imunisasi

yang berjumlah 17 kasus atau 68% responden yang menderita TB paru hal ini

di sebabkan oleh status imunisasi hanya mengurangi resiko terpapar 0,6 kali

untuk terinfeksi TB paru

l. Gambaran umum perilaku merokok

Adapun distribusi Frekuensi responden berdasarkan kebiasaan

meroko di wilayah kerja puskesmas dapat di lihat table berikut:


47

4.14 distribusi frekuensi responden berdasarkan lama merokok

merokok Penyakit TB paru


Total %
Ya % Tidak %
>6 bulan 17 68 6 24 23 46
<6 bulan 8 32 19 72 27 54
Total 25 100 25 100 50 100

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mayoritas penderita TB paru di

wilayah puskesmas segiri yaitu responden yang meroko diatas 6 bulan yang

berjumlah 17 kasus atau 78 % responden yang terkena TB paru hal ini di

karenakan meroko dapat menyempitkan saluran pernapasan

b) Analisis Bivariat

Analisis bivariate dilakukan untuk melihat hubungan variabel bebas

(independent), dengan variabel terikat (dependent). Dalam penelitian ini analisis

di lakukan dengan menggunakan uji odds ratio

Odds ratio adalah risiko antara probabilitas terjadinya sesuatu (kejadian

)Dengan probabilitas tidak terjadinya sesuatu kejadian tersebut .bila ini di

kaitkan dengan peristiwa penyakit atau gangguan kesehatan lainya, maka odds

ratio adalah rasio antara probabilitas untuk terjadinya penyakit tertentu dengan

probabilitas untuk tidak terjadinya penyakit tersebut (Noor, 2002).

a. Hubungan antara Umur terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara umur terhadap kejadian TB Paru di Wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hubungan antara Umur dengan kejadian TB Paru di Wilayah


PuskesmasSegiri Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Umur Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Produktif 16 14 30
Tidak
9 11 20 1,387 0,378
Produktif
Jumlah 30 20 50
48

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang

menderita TB Paru pada umur terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 16 orang menyatakan memiliki TB paru

meskipun umurnya masih produktif dan 14 orang diantaranya merasa tidak

merasa kejadian TB paru walaupun umurnya produktif. Dari 20 responden yang

umur terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda,

9 orang menyatakan memiliki penyakit TB paru di umur yang tidak produktif dan

11 orang diantaranya tidak memiliki TB paru meskipun umur mereka sudah

tidak lagi produktif.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,378 > α (0,05) yang berarti bahwa tidak ada

hubungan antara umur terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki umur

produktif terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda cenderung akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara umur terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 1,387, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang lemah dan berbanding lurus antara umur

terhadap kejadian TB paru. Responden yang umurnya produktif terhadap

kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 1,397 kali terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dibandingkan

dengan responden yang umurnya tidak produktif.

b. Hubungan antara Jenis Kelamin terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistik antara jenis kelamin terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:


49

Tabel 2. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan kejadian TB paru di


wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda.
Jenis Kejadian TB Paru Odd
Jumlah P-Value
Kelamin Kasus Kontrol Ratio
Laki-Laki 17 13 30
Perempuan 8 12 20 1,962 0,248
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang

jenis kelamin terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda, 17 orang yang berjenis kelamin laki-laki menyatakan memiliki

penyakit TB paru dan 13 orang diantaranya merasa tidak memiliki kejadian TB

paru. Dari 20 responden yang berjenis kelamin perempuan terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 8 orang menyatakan

memiliki Penyakit TB paru dan 12 orang diantaranya tidak memiliki TB paru.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,248 > α (0,05) yang berarti bahwa tidak ada

hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin

seseorang (laki-laki maupun perempuan) terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda cenderung lebih sedikit sedikit.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara jenis kelamin terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 1,333, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang lemah dan berbanding lurus antara jenis

kelamin terhadap kejadian TB paru. Responden yang laki-laki terhadap

kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 1,962 kali terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda lebih tinggi

dibandingkan dengan responden yang perempuan.

c. Hubungan antara Pengetahuan terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.


50

Hasil uji statistika antara pengetahuan terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 3 berikut

Tabel 3. Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB paru di


wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Pengetahuan Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Baik 7 16 23
Buruk 18 9 27 4,571 0,011
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 23 responden yang

menderita TB Paru karena pengetahuan baik terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 7 orang menyatakan memiliki TB

paru meskipun memiliki pengetahuan baik dan 16 orang diantaranya merasa

tidak merasa kejadian TB paru karena memiliki pengetahuan baik. Dari 27

responden yang memiliki pengetahuan buruk terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 19 orang menyatakan memiliki

penyakit TB paru karena tidak memiliki pengetahuan buruk dan 9 orang

diantaranya tidak merasa penyakit TB paru meskipun mereka memiliki

pengetahuan buruk.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,011 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara pengetahuan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki

pengetahuan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda cenderung tidak akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara pengetahuan terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 6,522, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang sedang dan berbanding lurus antara
51

pengetahuan terhadap kejadian TB paru. Responden yang memiliki

pengetahuan buruk terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB

paru 4,571 kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan baik.

d. Hubungan antara Pendidikan terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara pendidikan terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Hubungan antara Pendidikan dengan kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri
Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Penghasilan Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Tinggi 6 15 21
Rendah 19 10 29 4,750 0,010
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 21 responden yang

menderita TB Paru karena pendidkan tinggi terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 6 orang menyatakan memiliki TB

paru meskipun memiliki pendidikan tinggi dan 15 orang diantaranya merasa

tidak merasa kejadian TB paru karena memiliki pendidikan tinggi. Dari 29

responden yang memiliki pendidikan rendah terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 19 orang menyatakan memiliki

penyakit TB paru karena tidak memiliki pendidikan rendah dan 10 orang

diantaranya tidak memiliki TB paru meskipun mereka memiliki pendidkan

rendah.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,010 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara pendidikan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan


52

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

cenderung tidak akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara pendidikan terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 6,650, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang sedang dan berbanding lurus antara

pendidikan terhadap kejadian TB paru. Responden yang memiliki pendidikan

rendah terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 4,750

kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

dibandingkan dengan responden yang pendidikan tinggi

e. Hubungan antara Pekerjaan terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistik antara pekerjaan terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Hubungan antara Pekerjaan dengan kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri
Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Pekerjaan Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
bekerja 9 18 27
Tidak
16 7 23 4,571 0,011
bekerja
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari 27 responden yang

menderita TB Paru karena pekerjaan terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 9 orang menyatakan memiliki TB paru

meskipun memiliki pekerjaan dan 18 orang diantaranya merasa tidak merasa

kejadian TB paru karena memiliki pekerjaan. Dari 23 responden yang memiliki

pekerjaan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda, 16 orang menyatakan memiliki penyakit TB paru karena tidak


53

memiliki pekerjaan dan 7 orang diantaranya tidak memiliki TB paru meskipun

mereka tidak bekerja.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari

uji pearson Chi Square adalah 0,011 < α (0,05) yang berarti bahwa ada

hubungan antara pekerjaan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki

pekerjaan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda cenderung tidak akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara pekerjaan terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 6,522, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang sedang dan berbanding lurus antara

pekerjaan terhadap kejadian TB paru. Responden yang tidak memiliki

pekerjaan kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 4,571 kali

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

dibandingkan dengan responden yang bekerja.

f. Hubungan antara Penghasilan terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara penghasilan terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Hubungan antara Penghasilan dengan kejadian TB paru di


wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Penghasilan Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
tinggi 7 16 23
Rendah 18 9 27 4,571 0,011
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 23 responden yang

menderita TB Paru karena penghasilan tinggi terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 7 orang menyatakan memiliki TB


54

paru meskipun memiliki penghasilan tinggi dan 16 orang diantaranya merasa

tidak merasa kejadian TB paru karena memiliki penghasilan tinggi. Dari 27

responden yang memiliki penghasilan rendah terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 18 orang menyatakan memiliki

penyakit TB paru karena tidak memiliki penghasilan rendah dan 9 orang

diantaranya tidak memiliki TB paru meskipun mereka memiliki penghasilan

rendah.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,011 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara penghasilan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki

penghasilan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda cenderung tidak akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara penghasilan terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 6,522, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang sedang dan berbanding lurus antara

penghasilan terhadap kejadian TB paru. Responden yang memiliki penghasilan

rendah terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 4,571

kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

dibandingkan dengan responden yang penghasilan tinggi.

g. Hubungan antara Kepadatan Hunian terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7. Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian TB paru di wilayah Puskesmas
Segiri Kota Samarinda.
Kepadatan Kejadian TB Paru Odd
Jumlah P-Value
Hunian kasus Kontrol Ratio
55

Padat 19 9 28
Tidak Padat 6 16 22 5,630 0,005
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa dari 28 responden yang

menderita TB Paru karena memiliki kepadatan hunian terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 19 orang menyatakan

memiliki TB paru karena memiliki kepadatan huian dan 9 orang diantaranya

merasa tidak merasa kejadian TB paru meskipun memiliki kepadatan jumlah

huian > 10 m2/orang. Dari 22 responden yang tidak memiliki kepadatan hunian

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 6

orang menyatakan memiliki penyakit TB paru karena memiliki kepadatan jumlah

huian < 10 m2/orang dan 16 orang diantaranya tidak memiliki TB paru meskipun

mereka memiliki kepadatan jumlah huian < 10 m 2/orang.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,005 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki

kepadatan hunian < 10 m2 /orang terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda cenderung akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara kepadatan hunian terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 8,117,

yang memiliki arti terdapat korelasi yang kuat dan berbanding lurus antara

kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru. Responden yang memiliki

kepadatan hunian < 10 m2 /orang terhadap kejadian TB paru cenderung terkena

penyakit TB paru 5,630 kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda dibandingkan dengan responden yang memiliki

kepadatan hunian > 10 m2 /orang.


56

h. Hubungan antara Pencahayaan terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Hubungan antara pencahayaan Hunian dengan kejadian TB


paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda .
Kejadian TB Paru Odd
Pencahayaan Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
cukup 7 15 22
Tidak cukup 18 10 28 3,857 0,023
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa dari 22 responden yang

menderita TB Paru karena memiliki pencahayaan cukup terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 7 orang menyatakan

memiliki penyakit TB paru meskipun memiliki pencahayaan cukup dan 15 orang

diantaranya merasa tidak merasa kejadian TB paru karena memiliki

pencahayaan cukup. Dari 28 responden yang memiliki pencahayaan tidak

cukup terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda,

18 orang menyatakan memiliki penyakit TB paru karena tidak memiliki

pencahayaan cukup dan 10 orang diantaranya tidak merasa sakit TB paru

meskipun mereka tidak memiliki pencahayaan cukup.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,002 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara pencahayaan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang tidak memiliki

pencahayaan cukup terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda cenderung akan terkena TB paru.


57

Nilai korelasi pearson Chi Square antara pencahayaan terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 5,195,

yang memiliki arti terdapat korelasi yang sedang dan berbanding lurus antara

pencahayaan terhadap kejadian TB paru. Responden yang tidak memiliki

pencahayaan cukup terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB

paru 3,857 kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda dibandingkan dengan responden yang memiliki pencahayaan

cukup.

i. Hubungan antara Ventilasi terhadap Kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara ventilasi terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Hubungan antara Ventilasi dengan kejadian TB paru di


wilayah
Puskesmas Segiri Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Ventilasi Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Memenuhi <
10% luas 16 6 22
lantai
Tidak
5,630 0,005
Memenuhi >
9 19 28
10% luas
lantai
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa dari 22 responden yang

menderita TB Paru karena memiliki ventilasi memenuhi < 10% luas lantai

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 16

orang menyatakan memiliki penyakit TB paru meskipun memiliki ventilasi

memenuhi < 10% luas lantai dan 6 orang diantaranya merasa tidak merasa

kejadian TB paru karena memiliki ventilasi memenuhi < 10% luas lantai. Dari 28

responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi > 10% luas lantai terhadap
58

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 6 orang

menyatakan memiliki penyakit TB paru karena memiliki ventilasi tidak

memenuhi > 10% luas lantai dan 15 orang diantaranya tidak merasa sakit TB

paru meskipun mereka tidak memiliki ventilasi memenuhi > 10% luas lantai.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,005 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara ventilasi terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki ventilasi tidak

memenuhi < 10% luas lantai terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda cenderung akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara ventilasi terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 8,117, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang kuat dan berbanding lurus antara ventilasi

terhadap kejadian TB paru. Responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi

< 10% luas lantai terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB

paru 5,630 kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi memenuhi

> 10% luas lantai.

j. Hubungan antara Status Gizi terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistik antara status gizi terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Hubungan antara Status Gizi dengan kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri
Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Odd
Status Gizi Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Cukup 7 17 24
Kurang 18 8 26 5,464 0,005
Jumlah 25 25 50
59

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa dari 26 responden yang

menderita TB Paru pada status gizi terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 7 orang menyatakan memiliki TB paru

meskipun mengkonsumsi gizi yang cukup dan 17 orang diantaranya merasa

tidak merasa kejadian TB paru karena mengkonsumsi gizi yang cukup. Dari 24

responden yang memiliki status gizi terhadap kejadian TB paru di wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 18 orang menyatakan memiliki penyakit TB

paru dengan status gizi kurang an 8 orang diantaranya tidak memiliki TB paru

meskipun mereka mengkonsumsi gizi yang kurang.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,005 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara status gizi terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki status gizi

kurang terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda cenderung akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara status gizi terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 8,013, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang kuat dan berbanding lurus antara status gizi

terhadap kejadian TB paru. Responden yang status gizinya kurang terhadap

kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 5,464 kali terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dibandingkan

dengan responden yang status gizinya cukup.

k. Hubungan antara Status Imunisasi BCG terhadap Kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara status imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:
60

Tabel 11. Hubungan antara Status Imunisasi BCG dengan kejadian TB


paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda .
Kejadian TB Paru Odd
Imunisasi BCG Jumlah P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Imunisasi 8 19 27
Tidak imunisasi 17 6 23 6,729 0,002
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa dari 27 responden yang

menderita TB Paru karena melakukan status imunisasi BCG terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 8 orang menyatakan

memiliki TB paru meskipun melakukan status imunisasi BCG dan 19 orang

diantaranya merasa tidak memiliki kejadian TB paru karena sering melakukan

status imunisasi BCG di puskesmas. Dari 23 responden yang melakukan status

imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda, 17 orang menyatakan memiliki penyakit TB paru karena tidak

melakukan status imunisasi BCG dan 6 orang diantaranya tidak memiliki TB

paru meskipun mereka tidak melakukan status imunisasi BCG.

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,002 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara status imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan

status imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri

Kota Samarinda cenderung tidak akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara status imunisasi BCG terhadap

kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 9,742,

yang memiliki arti terdapat korelasi yang kuat dan berbanding lurus antara
61

status imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru. Responden yang tidak

melakukan status imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru cenderung terkena

penyakit TB paru 6,729 kali terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas

Segiri Kota Samarinda dibandingkan dengan responden yang melakukan status

imunisasi BCG.

l. Hubungan antara merokok Terhadap Kejadian TB Paru Di Wilayah

Puskesmas Segiri Kota Samarinda.

Hasil uji statistika antara merokok terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dapat dilihat pada Tabel 12

berikut:

Tabel 12. Hubungan antara Merokok dengan kejadian TB paru di


wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda.
Kejadian TB Paru Pearson
Odd
Merokok Jumlah Chi P-Value
Kasus Kontrol Ratio
Square
Merokok > 6
17 6 23
bulan
Merokok <6 9,742 6,729 0,002
8 19 27
bulan
Jumlah 25 25 50

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa dari 23 responden yang

menderita TB Paru dalam keseharian mengkonsumsi rokok terhadap kejadian

TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda, 17 orang menyatakan

memiliki TB paru karena dalam keseharian mengkonsumsi rokok selama lebih 6

bulan dan 6 orang diantaranya merasa tidak memiliki kejadian TB paru

waulaupun keseharian mengkonsumsi rokok selama lebih 6 bulan. Dari 27

responden yang merokok selama kurang 6 bulan keseharian mengkonsumsi

rokok terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda,

8 orang menyatakan memiliki penyakit TB paru dan 19 orang diantaranya tidak

memiliki TB paru walaupun mereka mengkonsumsi rokok kurang 6 bulan.


62

Hasil uji perangkat lunak statistik menunjukkan bahwa nilai p-value dari uji

pearson Chi Square adalah 0,002 < α (0,05) yang berarti bahwa ada hubungan

antara merokok terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota

Samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi rokok

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

cenderung akan terkena TB paru.

Nilai korelasi pearson Chi Square antara merokok terhadap kejadian TB

paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda sebesar 9,742, yang

memiliki arti terdapat korelasi yang kuat dan berbanding lurus antara merokok

terhadap kejadian TB paru. Responden yang merokok lebih dari 6 bulan

terhadap kejadian TB paru cenderung terkena penyakit TB paru 6,729 kali

terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda

dibandingkan dengan responden yang merokok kurang dari 6 bulan.

B. Pembahasan

Penelitian ini menggunakan desain case control untuk mengkaji beberapa

faktor yang mempunyai asosiasi dengan kejadian TB paru di wilayah

puskesmas segiri kota samarinda.

a. Hubungan antara karakteristik individu dengan kejadian TB

paru

Di dalam variabel karakteristik individu mencakup umur dan jenis

kelamin serta hubunganya dengan TB paru

1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan yang

lemah antara umur dengan kejadian TB paru


63

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan

antara tingkat umur dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di

ketahui responden yang berumur produktif (18-57)tahun dan terkena TB paru

sebanyak 16 responden (64%). Dan responden yang tidak terkena TB paru

berjumlah 14 responden (56%) adapun usia responden paling banyak terkena

TB paru yaitu usia 42-49 tahun sedangkan responden yang terkena TB paru

dengan usia tidak produktif yaitu usia 58-80 tahun dengan jumlah 9

responden(36%) dan umur tidak produktif yang tidak terkena TB paru yaitu

11(44%)

Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang

juga dapat meningkatkan risiko terjadinya TB paru. Kondisi kerja yang demikian

ini memudahkan seseorang yang berusia produktif lebih mudah dan lebih

banyak menderita TB paru di bandingka usia yang tidak produktif

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang yang

menyatakan tidak ada hubungan antara faktor umur dengan kejadian TB paru.

2. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian TB paru

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan

antara jeniskelamin dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di

ketahui responden yang berjenis kelamin laki –laki 30(60%) responden 17

(68%) menderita TB paru atau kasus dan 13 (52%) merupakan responden

kontrol .adapun jumlah responden perempuan secara keseluruhan yaitu


64

20(40%) adapun responden kasus pada perempuan yaitu 8(32%) sedangkan

responden perempuan untuk kontrol berjumlah 12(48%)

Hal ini sesuai dengan kepustakaan di mana laki-laki beresiko lebih besar

untuk terkena penyakit TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana

laki-laki lebih banyak yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan

perempuan, merokok dan alcohol dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga

lebih mudah terkena penyakit TB paru.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB

paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Selain itu menurut

Buksin dalam Toyalis, juga mengemukakan bahwa faktor resiko tuberkulosis

orang dewasa laki-laki lebih 1,9 kali dibandingkan perempuan.

b. hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian TB paru

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

tingkat pengetahuan dengan kejadian TB paru

Dari pengamatan analisa statistic diketahui bahwa ada hubungan antara

tingkat pengetahuan dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di

ketahui responden yang memiliki pengetahuan baik dari kelompok kasus dan

kelompok kontrol berjumlah 23(46%) adapun kelompok kasus yang mempunyai

tingkat pengetahuan yang baik berjumlah 7(28%) hal ini di sebabkan oleh

penderita kasus lebih sering membaca artikel kesehatan dan sarana prasana

untuk memperoleh pengetahuan tersebut mendukung untuk di perolehnya

pengetahuan mengenai pengobatan TB paru adapun jumlah yang tidak

menderita TB paru dengan pengetahuan yang baik berjumlah 16(64%) hal ini di

karenakan tingkat pendidikan yang bagus dan sarana prasana untuk

memperoleh pengetahuan mudah di dapat.adapun responden dengan


65

pengetahuan yang buruk berjumlah 27(54%) adapun responden kasus yang

mempunyai pengetahuan yang buruk berjumlah 18(72%) hal ini di sebabkan

karena pendidikan responden dan angka penghasilan yang rendah

berhubungan dengan seseorang susah untuk mendapatkan sarana dan

prasarana yang menunjang untuk memperoleh pengetahuan.adapun kontrol

yang tidak menderita TB paru dengan pengetahuan buruk berjumlah 9 orang

hal ini di karenakan responden yang merupakan ibu rumah tangga dan para

lansia sehingga menganggap bahwa hal itu bukan sekala prioritas untuk di

ketahui .

Pengetahuan sebagai modal dasar bagi seseorang untuk berprilaku.

Masyarakat yang memiliki pemahaman baik tentang penyakit TB, maka hal

tersebut akan menjadi acuan baginya untuk berupaya mencegah penyakit

tersebut, karena sudah memahami bahaya serta penularan penyakit TB Paru.

c. Hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian TB paru

1. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

pendidikan dengan kejadian TB paru .

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa ada hubungan antara

pendidikan dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di ketahui

responden yang berpendidikan rendah 29 responden terdiri dari responden

kasus berjumlah19(76%) dan responden yang tidak TB paru berpendidikan

rendah berjumalah 10(40%) hal ini di sebabkan karena pendidikan bukan skala

prioritas dan keterbatasan ekonomi menjadi alasan yang kuat seseorang

memilih untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di banding melanjutkan

pendidikan . sedangkan responden dengan pendidikan tinggi berjumlah 21


66

responden yang terdiri dari responden kasus berjumlah 6(24%) adapun

responden dengan pendidikan tinggi dan menderita TB paru di karenakan

mempunyai riwayat kontak langsung dengan penderita dan responden

merupakan perokok aktif .adapun jumlah responden berpendidikan tinggi dan

tidak menderita TB paru berjumlah 15 (60%) Pendidikan menggambarkan

perilaku seseorang dalam hal kesehatan. Semakin rendah pendidikannya maka

ilmu pengetahuan dibidang kesehatan semakin berkurang, baik secara

langsung maupun tidak langsung dapat berhubungan dengan lingkungan fisik,

biologis dan sosial yang merugikan kesehatan dan akhirnya berhubungan

dengan tingginya kasus TB yang ada dan keteraturan minum obat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian ini diperoleh bahwa pendidikan rendah bukan merupakan faktor

resiko dominan terhadap angka kejadian TB Paru artinya responden yang

pendidikannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 1,8

kali dibandingkan dengan responden yang pendidikannya tinggi.

2. Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

status pekerjaan dengan kejadian TB paru .

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa ada hubungan antara

status pekerjaan dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di

ketahui responden yang berstatus tidak bekerja berjumlah 28 responden terdiri

dari responden kasus dan responden kontrol adapun jumlah responden kasus
67

berjumlah 16 (64%) hal ini di sebabkan daya tahan tubuh dan sistem imunitas

yang tidak mendukung untuk melakukan pekerjaan dan keteraturan dalam

mengkonsumsi obat dan waktu berobat membuat responden memilih untuk

tidak bekerja sampai sembuh total .adapun kontrol TB paru dan tidak bekerja

berjumlah 7 (28%) hal ini di sebabkan responden memilih untuk tidak bekerja

dengan alasan bukan merupakan kepala keluarga dan sebagian yang lain tidak

bekerja karena usia lanjut.adapun responden yang bekerja pada kelompok

kasus 9 (36%) hal ini disebabkan kebutuhan ekonomi keluarga yang menuntut

responden kasus untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sehari hari

adapun jumlah kontrol yang bekerja 18 (72%) Jenis pekerjaan ada kaitannya

dengan sosial ekonomi karena berhubungan dengan penghasilan yang

didapat. Penderita TB Paru yang bekerja dan memiliki sosial ekonomi yang baik

akan berupaya untuk segera mencari pengobatan dan asupan gizi yang baik,

sebaliknya seseorang dengan ekonomi bawah cenderung kesulitan untuk

mendapatkan pengobatan dan asupan gizi yang kurang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian ini diperoleh Hasil OR= 3,272 artinya responden yang tidak bekerja

berpeluang terhadap peningkatan kejadian penyakit TB Paru BTA+ sebesar 3,2

kali dibanding responden yang bekerja.

3. Penghasilan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

status penghasilan dengan kejadian TB paru .


68

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa ada hubungan antara

status penghasilan dengan kejadian TB paru adapun jumlah kelompok kasus

dan kontrol pada responden berpenghasilan rendah berjumlah 27 (54%) adapun

responden kasus yang menderita TB paru dengan penghasilan di bawah Rp

2.300.000 berjumlah 18 (72%) hal ini di sebabkan keterhubungan antara

pendidikan dan pekerjaan responden yang membuat responden mengerjakan

pekerjaan yang di bawah upah minimum samarinda atau buruh lepas.adapun

responden kontrol yang bukan merupakan penderita TB berjumlah 9 (36%) hal

ini di sebabkan oleh karena rata rata istri dari penderita kasus memilih untuk

kerja sebagai buruh cuci dan juga pedagang makanan ringan untuk menutupi

kebutuhan konsumsi seahri hari di karenakan suami menderita penyakit atau

usia lanjut. Adapun jumlah responden kasus dan responden kontrol yang

mempunyai pendapatan lebih dari Rp 2.300.000 berjumlah 23 responden yang

terbagi dalam kelompok kasus dan kontrol untuk kelompok kasus yang memiliki

penghasilan di atas Rp.2.300.000 samarinda berjumlah 7 (28%) hal ini di

sebabkan dari beberapa responden merupakan pegawai negri sipil dan sebagian

yang lain merupakan penjual barang barang poko di pasar segiri samarinda

adapun kelompok kontrol dengan upah di atas Rp.2.300.000 berjumlah 16(64%).

Pendapatan akan banyak berhubungan terhadap perilaku menjaga

kesehatan individu dan dalam menjaga keluarga. Hal ini disebabkan pendapatan

berhubungan dengan pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mencari

asupan makanan, pengobatan, berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal

seperti keadaan rumah dan kondisinya.


69

Kejadian TB Paru terkait erat dengan sosial ekonomi seseorang, yang

dapat diketahui salah satunya dari penghasilan keluarga. Keluarga yang

penghasilannya mencukupi atau ekonominya menengah keatas, relatif memiliki

perilaku yang lebih baik dalam menjaga kesehatan

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian membuktikan terdapat hubungan erat antara penghasilan keluarga

dengan kejadian TB Paru BTA+. Masyarakat yang berpenghasilan rendah lebih

beresiko terhadap peningkatan kejadian TB Paru dibanding yang berpenghasilan

tinggi.

d. hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian TB paru

1. kepadatan hunian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

kepadatan hunian dengan kejadian TB paru .

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa ada hubungan antara

kepadatan hunian dengan kejadian TB paru adapun jumlah kelompok kasus dan

kontrol yang memiliki kepadatan hunian berjumlah 22(62%) responden adapun

kelompok kasus yang memiliki kepadatan hunian berjumlah 19(76%) hal ini di

sebabkan karena sebagian rumah di huni sampai 3 kepala keluarga dan 1 kamar

di huni lebih dari 3 orang terdiri dari ayah,ibu sekaligus anak di atas 5 tahun.

Adapun yang memiliki kepadatan hunian dari kelompok kontrol berjumlah 12

(48%) hal ini di sebakan 1 keluarga memiliki beberapa kepala keluarga adapun

jumlah tidak ada kepadatan hunian dari kelopok kasus dan kelompok kontrol

berjumlah 19(38%) adapun jumlah kelompok kasus dengan tidak ada kepadatan
70

hunian berjumlah 6(24%) hal ini di sebabkan responden mempunyai riwayat

berkontak langsung dengan penderita adapun jumlah kontrol TB paru yang tidak

memiliki kepadatan hunian berjumlah 13(52%)

Menurut Keputusan Menteri tentang Pemukiman dan Prasarana

disebutkan bahwa kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan aktivitas

dasar manusia di dalam rumah. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang

adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80

m. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Kuman

TB menular melalui droplet nuclei yang dibatukkan atau dibersinkan seseorang

penderita kepada orang lain, dan dapat menularkan pada 10-15 orang

disekitarnya, terutama anak-anak

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru.

2.pencahayaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

pencahayaan rumah dengan kejadian TB paru .

Dari pengamatan analisa statistik diketahui bahwa ada hubungan antara

pencahayaan rumah dengan kejadian TB paru adapun jumlah kelompok kasus dan

kontrol yang memiliki pencahayaan rumah tidak cukup berjumlah 28(56%) adapun

kelompok kasus yang mempunyai pencahyaan rumah yang tidak cukup berjumlah

18(72%) hal ini di karenakan letak rumah yang di himpit anatara rumah satu dan
71

rumah yang lain sehingga tidak ada jarak untuk masuknya matahari adapaun

beberapa rumah menghadap keselatan karena matahari yang masuk hanya sedikit

dan rumah yang menghadap keselatan akan terlihat gelap di dalam rumah

sehingga perlu pencahayaan tambahan untuk membaca buku di pagi siang

hari .adapun jumlah kontrol yang pencahayaanya kurang berjumlah 10 (40%) hal ini

di sebabkan karena antara rumah yang satu ke rumah yang lain saling

berdempetan dan selalu menambahkan pencahayaan tambahan untuk membaca

buku di pagi dan siang hari.

Pencahayaan hunian merupakan intensitas masuknya sinar matahari ke

dalam rumah. Pengukuran sinar matahari menggunakan alat lux meter, yang

diukur di tengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi <84 cm dari lantai, dengan

ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila <50 lux atau >300 lux, dan

memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux.Cahaya

matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman Mikobakterium

tuberkulosis. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita

TB Paru sebesar 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar

matahari cukup.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian ini menyatakan ada hubungan antara pencahayaan hunian dengan

kejadian TB paru dengan OR= 3.684

3.ventilasi
72

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah

puskesmas segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada

hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB paru

Dari pengamatan analisa statistic diketahui bahwa ada hubungan

antara ventilasi dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di ketahui

responden yang memiliki <10% luas lantai ruangan berjumlah 29(58%)

responden adapun jumlah responden kasus berjumlah 19(76%) hal ini di

sebabkan rumah responden kasus sebagian tidak mempunyai ventilasi dan

hanya menggunkan pintu sebagai pertukaran sirkulasi udara ,ada pula rumah

responden yang ventilasinya tidak sebanding dengan besar ruangan sehingga

ketika seseorang atau peneliti memasuki rumah terasa pengap dan responden

hanya menggunakan kipas angina untuk mendinginkan ruangan pada siang hari

dan ada pula yang tinggal di bangsalan sehingga tekstur bangsalan yang

terkadang tidak mempunyai ventilasi dan hanya mengandalkan pintu menjadi

faktor uman TB dapat berkembang cukup mudah di dalam rumah.adapun

kelompok kontrol berjumlah 10 (40%) sama halnya dengan kelompok

kasus .adapun kelompok kasus dan kelompok kontrol yang mempunyai rumah

dengan total luas ruangan diatas >10 luas lantai berjumlah 21(42%) adapun

jumlah kasus berjumlah 6(24%) hal ini di sebabkan penyakit yang di derita di

karenakan aktifitas di tempat kerja dan lingkungan bergaul yang membuat

responden mengidap TB paru dan untuk kelompok kontrol berjumlah

15(60%).Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa hubungan bagi penghuninya.menurut azwar (1990) dan

notoatmodjo(2003),salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran dalam

rumah tersebut tetap segar.luas ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) berkurangnya konsentrasi oksigen dan


73

bertambahnya kosentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya.di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan meningkatkan

kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan.kelemababan ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik

untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri bakteri pathogen termasuk

kuman tuberkolosis.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M u a s ( 2 0 1 4 ) tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru basil tahan

asam positif di puskesmas wilayah kecamatan serang kota serang Hasil

penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan

kejadian TB paru dengan OR= 0.253

e. hubungan antara status gizi ,imunisasi BCG dan kebiasaan merokok

dengan kejadian TB paru

1.status gizi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

status gizi dengan kejadian TB paru.

Dari pengamatan analisa statistic diketahui bahwa ada hubungan antara

status gizi dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di ketahui

responden yang mempunyai status gizi yang kurang berjumlah

26(52%)responden adapun responden kasus dengan gizi yzng kurang

berjumlah 18 (72%) hal ini di sebabkan kondisi tingkat pengetahuan responden


74

yang kurang mengetahui apa itu gizi seimbang dan sebagian responden terlihat

sangat kurus dikarenakan responden tidak menerima asupan makanan yang

harusnya di terima oleh penderita TB paru dan hilangnya selera untuk

mengkonsumsi makanan menjadi latar belakang kurangnya status gizi

responden TB paru di puskesmas Segiri adapun jumlah kontrol yang tidak

terkena TB paru dengan status Gizi yang kurang berjumlah 8(32%) hal ini di

sebabkan oleh faktor perekonomian keluarga dan kurangnya pengetahuan

mengenai gizi seimbang sebagian responden kelompok kontrol mengkonsumsi

makanan lebih banyak tetapi tidak tau porsi porsi setiap butir makanan yang

harus di konsumsi faktor inilah yang membuat faktor kontrol mengalami kurang

gizi adapun status gizi yang cukup berjumlah 24(48%) adapun kelompok kasus

dengan kreteria gizi yang cukup berjumlah 7(28%)hal ini di sebabkan

responden mempunyai pengetahuan mengenai jumlah kalori yang di butuhkan

untuk seseorang yang menderita TB dan aspek sosial ekonomi yang

mendukung sehingga responden kasus memiliki gizi yang cukup.adapun jumlah

kontrol dengan gizi yang cukup berjumlah 17(68%) Menurut Misnardiarly dalam

Toyalis menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan

meningkatkan angka kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama

sakit Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan berhubungan

terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan penyakit.

Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa

maupun pada anak.

Hal ini sejalan dengan penelitian Supriyo tahun 2013 yang menunjukan

hasil p = 0,000 dan OR = 7,583 dengan CI 95% = 3,406 < OR < 16,882

sehingga bermakna karena p < 0,05 dengan demikian dinyatakan bahwa status
75

gizi merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau ada hubungan

antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis paru.

2.status imunisasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

status imunisasi dengan kejadian TB paru

Dari pengamatan analisa statistic diketahui bahwa ada hubungan antara

status imunisasi dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di

ketahui responden yang tidak imunisasi dan terkena TB paru sebanyak

23(46%) adapun responden kasus yang tidak melakukan imunisasi sebanyak

17(68%) hal ini di sebabkan karena hampir sebagian responden mengatakan

bahwa orang tua responden dahulu menganggap bahwa imunisasi tidak begitu

penting dan lebih prioritas pada memenuhi sandang pangan papan sehingga

responden tidak di bawa ke posyandu terdekat untuk di imunisasikan dan faktor

yang lain adalah tingkat pengetahuan orang tua mengenai pentingnya imunisasi

BCG dana pa keuntunganya dari mengimunisasikan bayinya.dan jumlah kontrol

yang tidak imunisasi berjumlah 6 (24%) hal ini di sebabkan oleh pola gizi yang

baik dan tidak merokok dan lingkungan fisik rumah dan pekerjaan mendukung

sehingga responden tidak menderita TB paru adapun jumlah kasus dan kontrol

yang melakukan imunisasi berjumlah 27(54%) adapun jumlah kasus yang

melakukan imunisasi berjumlah 8(32%) hal ini di sebabkan karena pernah

tinggal serumah dan berkontak langsung dengan seseorang terkena TB yang

merupakan bagian dari anggota keluarga dan faktor ventilasi yang lembab

berhubungan dengan semakin berkembangnya bakteri TB paru adapun jumlah

responden kontrol yang melakukan imunisasi berjumlah 19(76%)


76

Hasil ini sejalan dengan penelitian WHO yang menunjukan bahwa efek

pencegahan BCG bervariasi antara 0%-80% hasil ini juga sejalan dengan

penelitian fariz muas (2014) yang menunjukan hasil OR=3,041 artinya

responden yang belum di imunisasi BCG akan beresiko terkena TB Paru 3 kali

di banding yang sudah di imunisasi .

3.rokok

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di wilayah puskesmas

segiri kota samarinda di peroleh hasil yang menyatakan ada hubungan antara

lama merokok dengan kejadian TB paru


77

Dari pengamatan analisa statistic diketahui bahwa ada hubungan antara

lama merokok dengan kejadian TB paru di wilayah puskesmas segiri di ketahui

responden yang merokok di atas 6 bulan yang terdiri ndari kelompok kasus dan

kelompok kontrol berjumlah 23(46%) responden dan kelompok kasus yang

merokok di atas 6 bulan berjumlah 17(68%) responden hal ini disebabkan

budaya merokok yang tidak bisa di lepas sehingga responden merasa gelisah

ketika responden bekerja dan melakukan aktifitas sehari hari tidak di barengin

dengan menghisap rokok adapun responden kontrol yang meroko diatas 6

bulan berjumlah 6(24%) responden hal ini di sebabkan bahwa responden

kontrol merasa tidak ada akibat yang dirasakan sampai saat ini sehingga

responden kontrol enggan mengurangi atau berhenti merokok. Adapun jumlah

perokok dibawah 6 bulan dari kelompok kasus dan kelompok kontrol berjumlah

27 responden terdiri dari 8(32%) responden kasus hal ini di sebabkan karna

responden merupakan efek dari bagian dari anggota keluarganya yang

membiasakan menghisap rokok di dalam rumah sehingga asap rokok sering

terhirup oleh seluruh anggota keluarga yang berada di dalam rumah .adapun

jumlah responden yang tidak merokok dan tidak TB paru berjumlah 19

(76%)responden

Responden yang merokok lebih dari 6 bulan terhadap kejadian TB paru

cenderung terkena penyakit TB paru 6,729 kali terhadap kejadian TB paru di

wilayah Puskesmas Segiri Kota Samarinda dibandingkan dengan responden

yang merokok kurang dari 6 bulan.

Merokok berarti menghisap racun yang dapat merusak kesehatan

sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit diantaranya bakteri

tuberkulosis.Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru-paru yang

bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga
78

terkait dengan influenza dan radang paru-paru lainnya. Pada penderita

asma, merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih

menyempitkan saluran pernafasan. Efek merugikan tersebut mencakup

meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak.Hal

ini dapat memperparah kondisi infeksi bakteri tuberkulosis.

penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian muas (2014) yang

menunjukan hasil Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p= 0,160, artinya tidak

ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan penderita TB paru

BTA+. Didapatkan OR= 1,382, artinya merokok meningkatkan resiko terkena

TB Paru BTA+ sebesar 1,3 kali dibanding responden yang tidak merokok.
79

C.Keterbatasan Penelitian

Dari kegiatan penelitian yang di lakukan terdapat beberapa keterbatasan

atau hambatan yang di alami oleh peneliti adalah faktor pekerjaan responden dan

tempat tinggal responden.

Hambatan pertama yaitu faktoir pekerjaan responden,penelitian ini di

lakukan pada saat bulan puasa yang dimana responden kasus banyak yang

sedang bekerja pada pagi sampai sore hari adapun sore hari merupakan waktu

buka puasa sehingga kurang etika jika menemui responden .maka untuk menemui

responden kasus harus membuat janji terlebih dahulu.

Hambatan kedua yaitu tempat tinggal responden kasus yang masuk di

dalam gang sehingga menyulitkan sang peneliti untuk mencari No rumah

responden kasus ada pula responden yang tidak menyertakan No rumah

sehingga sang peneliti harus menanyakan pada warga sekitar


80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor faktor yang berhubungan

dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas segiri kota samarinda ,di

peroleh kesimpulan bahwa :

1. Ada hubungan yang kuat antara merokok dengan kejadian TB paru di

wilayah keja puskesmas segiri kota samarinda .dengan menggunakan uji

chi-square test di peroleh nilai p-value sebesar 0,002 karena nilai α

=0,05.

2. Ada hubungan yang kuat antara status gizi dengan kejadian TB paru di

wilayah keja puskesmas segiri kota samarinda .dengan menggunakan uji

chi-square test di peroleh nilai p-value sebesar 0,005 karena nilai α

=0,05.

3. Ada hubungan yang kuat antara status imuniasi BCG dengan kejadian TB

paru di wilayah keja puskesmas segiri kota samarinda .dengan

menggunakan uji chi-square test di peroleh nilai p-value sebesar 0,002

karena nilai α =0,05.


81

4. Ada hubungan yang kuat antara kepadatan hunian dengan kejadian TB

paru di wilayah keja puskesmas segiri kota samarinda .dengan

menggunakan uji chi-square test di peroleh nilai p-value sebesar 0,005

karena nilai α =0,05.

5. Ada hubungan yang kuat antara ventilasi dengan kejadian TB paru di

wilayah keja puskesmas segiri kota samarinda .dengan menggunakan uji

chi-square test di peroleh nilai p-value sebesar 0,005 karena nilai α

=0,05.

B. Saran

a. Saran bagi instansi

Melihat TB paru merupakan penyakit menular dan angka kesakitan

TB paru semakin lama semakin meningkat di harapkan instansi

agar memperbanyak penyuluhan mengenai faktor faktor yang

berhubungan dengan kejadian TB paru terutama mengenai gizi

seimbang ,bahaya merokok,memberi pengetahuan ibu mengenai

pentingnya imunisasi BCG pada anak,memberikan penyuluhan

mengenai rumah sehat dan pentingnya rumah sehat.

b. Saran bagi peneliti

Variabel yang behubungan sedang dan sangat lemah dengan

kejadian TB Paru seperti umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, pengetahuan,penghasilan,pencahayaan hunian perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut dengan desain/rancangan

penelitian yang berbeda seperti kohort, atau metode yang sama


82

tetapi lebih mendalam


59

59

Anda mungkin juga menyukai