Anda di halaman 1dari 48

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DENGAN

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SAWAN 1

PROPOSAL

OLEH :

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

2022
SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Keperawatan

Oleh :

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut (Ruru et al., 2018) TB Paru merupakan penyakit

menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia.

Penyembuhan total membutuhkan enam bulan pengobatan tanpa henti

dengan berbagai obat yang merupakan tantangan bagi pasien dan petugas

kesehatan. Pengobatan TB Paru yang tidak lengkap dapat menyebabkan

penularan TB yang berkepanjangan, peningkatan risiko pengembangan

TB Paru yang resistan terhadap obat, dan mortalitas yang lebih tinggi.

Perlunya kepatuhan yang baik terhadap pengobatan TB telah diakui dan

ditekankan oleh strategi WHO / IUATLD.

Dari data (World Health Organization, 2020) pada tahun 2020

setiap tahun, 10.000.000 kasus terserang TB Paru. Nyawa di selamatkan

sejak tahun 2000 sampai 2019 dengan upaya global untuk

menghakiri TB sekitar 63.000.000 orang, orang jatuh sakit dengan TB

2019 yakni 10.000.000 orang, orang meninggal karena TB di 2019 yakni

1.400.000 orang, dan orang jatuh sakit dengan obat resisten TB pada

2019 yakni 465.000 orang secara global. Secara geografis, penderita TB

terbanyak pada tahun 2019 berada di wilayah WHO di Asia Tenggara

(44%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), dengan persentase yang
lebih kecil di Mediterania Timur (8,2%), Amerika (2,9%) dan Eropa

(2,5%). Delapan negara dihitung untuk dua pertiga dari total global: India

(26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,7%),

Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%). 22

negara lainnya dalam daftar 30 WHO negara dengan beban TB tinggi

menyumbang 21% dari global total.

Dari data (Kemenkes RI, 2020) pada tahun 2019 sekitar

845.000 orang di Indonesia menderita penyakit TB, 543,874 orang

ternotifikasi kasus TB, 35% kasus TB Paru tidak di laporkan, 11,993

orang meninggal akibat TB. Kasus TB berdasarkan diagnosa terdapat

TB Paru 488.163 (89%) orang dan TB Ekstra Paru 55.711 (11%)

orang. Indonesia berada di peringkat ke ketiga dengan jumlah

penderita terbanyak di dunia, Negara kita tetap berada di bawah

negara Cina dan juga India.

Berdasarkan data Dinkes Provinsi Bali pada tahun 2019

kasus TB Paru terdapat 4310 orang dari semua Kabupaten Bali,

dari yang terbanyak Denpasar 1610 orang, Buleleng 703 orang,

Badung 646 orang, Gianyar 353 orang, Karangasem 321 orang,

Tabanan 274 orang, Jembrana 192 orang, Klungkung 123 orang,

Bangli 88 orang. Berdasarkan jumlah kasus, Buleleng peringkat

ke 2 untuk kasus TB Paru. (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2019).

Dari data Dinkes Buleleng pada tahun 2019 jumlah seluruh

penderita TB Paru sepanjang Tahun 2019 di Kabupaten Buleleng pada


sebanyak 703 orang yang terdiri dari laki – laki sebanyak 429 kasus dan

perempuan sebanyak 274 kasus. Dari 703 orang penderita kasus

tuberkulosis, ditemukan kasus Tuberkulosis anak 0-14 tahun sebanyak 33

orang.

Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif

terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal. Ruang lingkup

kesehatan lingkungan antara lain mencangkup perumahan, pembuangan

kotoran manusia,penyediaan air bersih,pembuangan sampah, rumah

hewan ternak (kandang), dan lain sebagainya. (Notoatmodjo,2011).

Rumah sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi

penghuninya dan berfungsi sebagai tempat tinggal yang digunakan untuk

berlindung dari ganguan iklim dan makluk lainnya. Kontruksi rumah dan

lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor

resiko sumber penularan penyakit. Kondisi sanitasi perumahan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi penyebab penyakit infeksi

saluran pernapasan akut dan TBC paru (Rahmawati et al., 2021)

Perilaku penduduk yang tidak memperhatikan kesehatan,

lingkungan dan hygiene individu, turut berkontribusi positif terhadap

peningkatan kejadian penyakit di masyarakat. Komponen lingkungan

sendiri meliputi kepadatan hunian, ventilasi, kelembaban, jenis lantai

rumah, jenis dinding rumah, suhu dan pencahayaan (Rahmawati et al.,

2021). Menurut (Rahmawati et al., 2021) Data terbaru tahun 2020 untuk
rumah yang memenuhi syarat rumah sehat lingkungan fisik yaitu dinding

rumah yang permanen (74%), lantai plester/ keramik 85,20%, ventilasi

(48,24%), pencahayaan (83,87%).

Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa ada kaitan atau

hubungan antara kondisi fisik rumah dengan kejadian TB paru yang sangat

signifikan, contoh seperti terhadap pencahayaan, dan luas ventilasi, pada

penelitian (Saragih & Indrawati, 2019) di kabupaten mamuju tengah

menyatakan adanya hubungan, luas ventilasi kurang dari 10% luas lantai,

tidak adanya pencahayaan yang masuk dalam rumah,saedangkan dalam

penelitian (Romadhan S et al., 2019) dalam tinjauan TB paru dari faktor

lingkungan dalam dan diluar rumah di kabupaten pekalongan menyatakan

hasil analisis bivariat dan univsriat menunjukkan faktor resiko TB paru

yaitu,suhu ruangan, pencahayaan alami, jenis lantai, dan kontak fisik

dengan penderita

Sejalan juga dengan jurnal yang diteliti oleh (Imaduddin &

Setiani, 2019) yang berjudul “Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan

Perilaku dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bati 10

Kota Tanjungpinang” . bahwa orang yang memiliki praktik pencegahan

TB Paru yang kurang baik seperti tidak merokok, menutup mulut dan

hidung saat batuk/bersin, membuang dahak/ludah pada air mengalir ,

membuka jendela rumah setiap hari akan beresiko 15,231 kali terhadap

kejadian tuberculosis paru dibandingkan dengan orang yang memiliki

praktik pencegahan TB yang baik.


Menurut jurnal yang diteliti oleh (Rahmawati et al., 2021) yang

berjudul “Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit

TBC Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Simomulyo Kota Surabaya”

dengan jumlah sampel 60 rumah dan sampel control 60 rumah yang

diambil secara acak dengan sampel random sampling dan data dianalisis

melalui uji Chi-Square. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara

kondisi fisik rumah dengan kejadian TB paru dengan didapatkan hasil

pencahayaan (p-value=0,009), kelembapan (p-value= 0,001), suhu (p-

value 0,007), Ventilasi (p-value= 0,004), Kepadatan Hunian (p-value =

0,019), Lantai (p-value = 0,039) Lubang Asap Dapur (pvalue = 0,001),

kondisi fisik rumah ( p-value = 0,030) dengan penyakit TBC Paru. Hal

ini diperhatikan dengan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat

sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999

tentang persyaratan kesehatan perumahan dan rumah tinggal.

Hasil studi pendahuluan tanggal 20 November 2022 di wilayah

kerja Puskesmas Sawan I dengan 10 orang penderita a penyakit TB Paru

di peroleh bahwa terdapat 4 orang menyatakan kondisi fisik lingkungan

rumah yang bagus diantaranya memiliki ventilasi yang bagus pada setiap

kamar dan adanya pencahayaan yang masuk, sedangkan 6 orang

penderita TB Paru mengatakan kurangnya sinar matahari yang masuk ke

dalam rumah , ventilasi/jendela yang buruk, hanya dibuka kadang

kadang, yang mengakibatkan keadaan rumah yang gelap dan lembab.


Dari latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik meneliti terkait

“Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis

Paru ”

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi latar belakang diatas, kondisi fisik lingkungan

rumah yang baik sangat signifikan dalam mencegat terjadinya TB Paru.

Maka dapat dirumuskan masalah “Adakah Hubungan Kondisi Fisik

Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum.

Tujuan umum dari studi ini ialah guna mengetahui Hubungan

Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.

2. Tujuan Khusus

a. Mengindetifikasi karakteristik responden pada penderita TB Paru

di Wilayah Puskesmas Sawan I.

b. Mengidentifikasi kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian

TB Paru di Wilayah Puskesmas Sawan I.

c. Menganalisa hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan

kejadian TB Paru di wilayah Puskesmas Sawan I.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Hasil studi ini diharpka mampu menambahkan wawasan di

bidang keperawatan khusunya dalam Hubungan Pengetahuan,

Pola Makan dan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil studi ini di harapkan menjadi acuan keperawatan pada

pelayanan kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan, pola

makan dan aktivitas fisik yang baik pada penderita hipertensi.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil dari studi ini diharapkan bisa dipergunakan guna

mengembangkan ilmu keperawatan serta masukan pada

proses belajar guna menambah pengetahuan dalam

kompetensi mahasiswa.

c. Bagi Tempat Penelitian

Penelitian ini bisa dijadikan bahan saran untuk lembaga

tempat studi untuk memaksimalkan layanan kesehatan.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari studi ini juga diharapkan dipergunakan dalam

penelitian selanjutnya untuk panduan melaksanakan studi

lebih mendalam mengenai tema yang sama.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

a. Tuberkulosis Paru

1. Definisi

Menurut Kemenkes RI Tuberkulosis adalah suatu penyakit

kronik menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian

besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan

menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki

kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)

seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.

(Kementerian Kesehatan RI, 2019)

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

basil mikobakterium tuberculosis tipe humanus, sejenis bakteri yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal

0,30,6/mm. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau

dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Penyakit

ini umumnya menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang sangat

bervariasi pada masing-masing penderita, mulai dari tanpa gejala

hingga gejala yang sangat akut. Pengobatan TB paru yang lama

sering membuat pasien bosan dan menimbulkan ketidakpatuhan

pasien dalam minum obat.(YunitaTheresiana,Yulianti,2016)


Dengan demikian dapat di simpukan bahwa sebagian besar

bakteri Mycobacterium tuberculosis sering ditemukan menginfeksi

parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga

memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya seperti

pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.

Penyakit ini umumnya menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang

sangat bervariasi pada masing-masing penderita, mulai dari tanpa

gejala hingga gejala yang sangat akut.

b. Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Bakteri Mycobacterium tuberculosis penyakit ini

penularannya melalui perantara ludah atau dahak penderita yang

mengandung basil berkulosis paru. Pada saat penderita batuk, butir–

butir air ludah lalu beterbangan di udara serta terhisap oleh orang

yang sehat, lalu masuk ke dalam paru–paru lalu menyebabkan

penyakit tuberkulosis paru.

Kuman Tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan

bersarang pada jaringan paru, dimana akan membentuk suatu sarang

pneumonik yang disebut dengan sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja pada paru, dan

berbeda pada sarang reaktivasi. Dari sarang primer ini akan terlihat

peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis lokal).

Peradangan tersebut akan diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

bening di hilus ( limfangitis regional ).(Humaidi & Ratna Anggarini,

2020)
c. Gejala Klinis TB Paru

Berdasarkan (Kementerian Kesehatan RI, 2019) gejala

penyakit TB Paru tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat

menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:

1. Batuk ≥ 2 minggu

2. Batuk berdahak

3. Batuk berdahak dapat bercampur darah

4. Dapat disertai nyeri dada

5. Sesak napas

Dengan gejala lain meliputi :


1. Malaise

2. Penurunan berat badan

3. Menurunnya nafsu makan

4. Menggigil

5. Demam

6. Berkeringat di malam hari

d. Faktor – Faktor Penyebab TB Paru

Menurut Naga,S.S (2015) faktor penting terjadinya

penyakit TB Paru di sebabkan oleh kondisi sosial ekonomi,

status gizi, umur, dan jenis kelamin. Berikut penjelasannya :


1. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor ini sangat erat dengan kepadatan hunian,

keadaan rumah, lingkungan perumahan, lingkungan dan

sanitasi tempat kerja yang buruk sehingga sangat

memudahkan penularan TB Paru. Pendapatan keluarga juga

sangat erat dengan penularan TB Paru, karena pendapatan

yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan

memenuhi syarat- syarat kesehatan.

2. Status Gizi

Keadaan malnutrisis atau kekuranagan kalori, protein,

vitamin dan zat besi lainnya, akan mempengaruhi daya tahan

tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk

TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa

maupun anak-anak.

3. Umur

Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda

atau usia yang produktif 15-50 tahun. Terjadinya transisi saat

demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia

lebih tinggi. Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis

seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai

penyakit, termasuk penyakit TB Paru. Penyebab penyakit pada

lanjut usia (lansia) pada umumnya berasal dari dalam tubuh


(endogen), sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar

tubuh (eksogen) Hal ini disebabkan pada lansia sudah terjadi

penurunan fungsi dari berbagai organ-oragan tubuh akibat

kerusakan sel-sel karena proses menua, sehingga produksi

hormon, enzin dan zat- zat yang diperlukan untuk kekebalan

tubuh menjadi berkurang

4. Jenis Kelamin

Penderita TB Paru lebih tinggi cenderung pada lakilaki

dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki lebih

tinggi dikarenakan merokok tembakau dan minum alkohol

sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga

lebih mudah terpapar dengan Agent penyebab TB paru.

e. Klasifikasi Penyakit Tuberculosis

Menurut Naga,S.S (2015) TB Paru merupakan penyakit yang

berbentuk yang paling sering di jumpai, yaitu sekitar 80% dari semua

penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paruparu ini

merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah tertular kepada

orang lain, asal kuman bisa keluar dari si penderita.

f. Pengobatan Tuberculosis

1. Tujuan Pengobatan

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup

dan produktivitas pasien.

b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

c. Mencegah kekambuhan TB.


d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

2. Prinsip Pengobatan

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling

efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri

penyebab TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang

tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk

mencegah terjadinya resistensi.

b. Diberikan dalam dosis yang tepat.

c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh

PMO (pengawas menelan obat) sampai selesai masa

pengobatan.

d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup

terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk

mencegah kekambuhan.

3. Tahapan Pengobatan Terdiri Dari 2 Tahap, yaitu :

a. Tahap awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan

pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif

menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan

meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang


mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan

pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,

harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan

pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya

penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2

minggu pertama.

b. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa

kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten

sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase

lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

4. Panduan OAT

Menurut (Humaidi & Ratna Anggarini, 2020) Terdapat

tiga kategori untuk pengobatan TB paru yaitu kategori 1,

kategori 2, kategori 3.

a. Kategori 1 adalah OAT Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamid,

serta Etambutol dengan masa minum selama 2 bulan (2 RHZE)

dimana diberikan selama pasien TB menjalani pengobatan fase

intensif. Sedangkan untuk Rifampisin sendiri diminum 4-6

bulan (4 H3R3) pada fase lanjutan.

b. Kategori 2 menggunakan panduan OAT Isoniazid, Rifampisin,

pyrazinamid, Etambutol, serta Streptomycin selama 2 bulan


(2HRZES). Pada fase intensif dan isoniazid, Rifampisin dan

etambutol yang diberikan 4-6 bulan (5H3R3E3) pada fase

lanjutan, sementara

Kategori 3 juga menggunakan panduan OAT Isoniazid,

Rifampisin, Pyrazinamid (2HRZ) pada fase intensif selama 2

bulan serta Isoniazid, Rifampicin sendiri diberikan 4-6

(4H3R3) pada fase. lanjutan. Pengobatan lain adalah kategori

sisipan yang terdiri dari Isoniazid, rifampicin, pyrazinamid

serta serta etambutol (HRZE) setiap hari di konsumsi selama 1

bulan , diberikan pada akhir tahap intensif pengobatan TB paru

pada BTA positif.

5. Efek Samping OAT

Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2019) efek tidak

diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor

dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor

sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi

simtomatik. Pada pasien yang mengalami efek samping mayor

maka paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan

pemberiannya. Efek samping dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek

samping berat dan ringan. Bila terjadi efek samping yang masuk ke

dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan segera dan pasien

dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.

b. Kondisi Fisik Lingkungan Rumah.


1. Definisi Rumah dan Kondisi Fisik Rumah

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat

tingga yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat

dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah

berfungsi sebagai tempat tinggal, berlindung dari gangguan iklim dan

mahluk lain. Rumah yang sehat dan nyaman merupakan sumber

inspirasi bagi penghuninya untuk berkarya sehingga dapat

meningkatkan produktifitasnya. (Fatimah, 2011)

2. Tinjauan Umum Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host

(pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti

suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen

termasuk host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan

penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan. Lingkungan rumah salah satu faktor

yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan (

Fatimah, 20018).

Unsur-unsur lingkungan adalah sebagai berikut

a. Lingkungan Biologis adalah segala sesuatu yang bersifat

hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termaksud

mikroorganisme.

b. lingkungan sosial adalah segala tindakan yang mengatur

kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk

mempertahankan kehidupan seperti pendidikan, rasa


tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan,

jumlah penghuni, dan keadaan ekonomi.

c. lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar,

manusia yang bersifat tidak bernyawa, misalnya air, tanah

kelembapan udara, suhu angin, rumah dan benda mati

lainnya.

d. Lingkungan Rumah Lingkungan rumah adalah segala sesuatu

yang berada dalam rumah (Walton, 1991), lingkungan rumah

terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu kelembapan,

lantai, dinding, serta lingkungan sosial yaitu kepadatan

hunian. Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu

struktur fisik yang digunakan orang sebagai tempat

berlindung. Lingkungan dari struktur fisik tersebut juga

semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan

yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani, serta

keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan diri sendiri

(individu). L Lingkungan rumah yang

sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis

a. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah

harus diusahakan agar kontruksinya sedemikian

rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak

dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan

sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini


harus diusahakan agar perbedaan suhu antara

dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak

terlalu banyak.

b. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk itu

diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses

pergantian udara.

c. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik

siang maupun malam. Suatu ruangan

mendapatkan penerangan pagi dan siang hari

yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10%

dari jumlah luas lantai rumah.

d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga

tenang dan tidak terganggu suara-suara yang

berasal dari dalam maupun dari luar rumah.

Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan

untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang

tidur, dll.

3. Kondisi Fisik Lingkungan Rumah yang Baik.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Rumah yang baik yaitu

rumah yang dihuni tidak terlalu banyak penghuni dan dapat mencegah

penyebaran penyakit menular. Oleh karena itu, rumah harus

memenuhi syarat kesehatan, karena rumah dan lingkungan yang tidak


sehat akan menimbulkan penyakit baik antara anggota keluarga

maupun kepada orang. Lingkungan rumah yang baik meliputi (luas

ventilasi, pencahayaan kamar, jenis lantai, kelembaban kamar, dan

kepadatan hunian kamar) yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis paru. Menurut (Kaligis et al., 2019) fungsi ventilasi yaitu

menjaga aliran udara tetap segar di dalam rumah, yang berarti

keseimbangan O2 (oksigen) harus tetap terhjaga. Kurangnya ventilasi

dapat mengakibatkan O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2

(karbon dioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat dan dapat menyebabkan kenaikan pada kelembaban udara

dalam ruangan karena terjadi proses penguapan dari kulit dan

penyerapan, kemudian akan menjadi media yang baik untuk

perkembangan bakteri-bakteri penyebab penyakit.

Rumah sehat jika memenuhi kriteria persyaratan salah

satunya memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu pencahayaan.

Berdasarkan hasil penelitian (Kaligis et al., 2019) menunjukkan

bahwa jumlah p-value 0,000 sehingga terdapat hubungan antara

pencahayaan dengan TB Paru.

Lantai merupakan salah satu bagian terpenting ruangan,

sehingga lantai dapat menunjang fungsi kegiatan yang terjadi dalam

ruangan, dapat memberikan karakter dan dapat memperjelas sifat

ruangan. Persyaratan kesehatan menyebutkan lantai harus cukup

kuat untuk menahan beban di atasnya. Bahan untuk lantai yang biasa
digunakan yaitu ubin, kayu plesteran, atau bamboo dengan syarat-

syarat tidak licin, stabil tidak lentur saat diinjak, permukaan lantai

harus rata dan mudah dibersihkan. Jenis lantai diantaranya yaitu

lantai tanah (tanah, pasir, dan semen), lantai papan dan lantai ubin

(Kaligis et al., 2019) menjelaskan Rh lebih tinggi atau lebih

rendah dari persyaratan kesehatan yang telah ditentukan untuk

kelembaban yaitu 40-60% Rh (Relative humidity) berdampak pada

suburnya pertumbuhan mikroorganisme seperti Mycobacterium

tuberculosis yang adalah bakteri penyebab penyakit tuberculosis.

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk

penghuni di dalamnya, umlah penghuninya agar tidak menyebabkan

overload. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan

kurangnya oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena

penyakit infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang

lain.

4. Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Yang Buruk

Rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dapat

menjadi faktor terjadinya penyakit tuberkulosis paru merupakan

penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara,

yaitu percikan ludah, bersin, dan batuk. Tuberculosis (TB) juga

merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh faktor


lingkungan. Lingkungan yang buruk sangat mendukung aktif dan

berkembangnya bakteri Tuberculosis (TB), khususnya lingkungan

rumah dapat berisiko terhadap perkembangbiakan dan penyebaran

bakteri. Lingkungan rumah meliputi kondisi fisik rumah yang tidah

memenuhi syarat kesehatan antara lain luas ventilasi rumah yang

sedikit, kondisi lantai rumah yang kurang , rumah yang terlalu

lembab, suhu dan kepadatan hunian rumah yang tinggi. Lingkungan

rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan

berpengaruh terhadap penyebaran penyakit menular Tuberculosis

(TB) (Oktavia, 2018).

5. Kerangka Teori
Faktor-Faktor Faktor Penyebab
Penyebab Tuberculosis
- Ekonomi
- Statusgizi
- Umur
- Jenis Kelamin
- Sosial Budaya

Kondisi Fisik
Lingkungan Rumah Kejadian
- Pencahayaan Tuberculosis
- Lantai
- Kepadatan Hunian
- Ventilasi jendela
- Bahan Banguna
BAB III

METODE PENELITIAN

i. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan formulasi atau simplikasi dari

kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian tersebut.

Oleh sebab itu, kerangka konsep terdiri dari suatu variabel serta

hubungan setiap variabel. Dengan adanya kerangka konsep akan

mengarahkan kita untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmodjo,

201I8: 101).
Kondisi Fisik
Lingkungan Rumah Kejadian Tuberculosis

Hasil Ukur
Hasil Ukur

Baik:<3
Tinggi :>50%
Buruk :>3
Rendah :<50%

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

: Memengaruhi

Skema 3.1 Kerangka konsep hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan
kejadian tuberculosis.
ii. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik

dengan rancangan cross sectional dengan metode kuantitatif,

yang dimana responden diberikan kuisioner untuk diisi.

Kemudian, setelah responden mengisi kuisioner maka akan

dilakukan skoring terkait jumlah responden yang memiliki

kondisi fisik rumah yang kurang dan baik.

iii. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara, patokan

duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan

dibuktikan dalam penelitian tersebut setelah melalui

pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat

benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (Notoatmodjo,

2018:105). Terdapat dua macam hipotesis yaitu hipotesis nol

dan alternatif.

1. Hipotesis nol (H0) yaitu hipotesis yang digunakan untuk

pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik.

Hipotesis nol dapat sederhana atau kompleks dan bersifat

sebab atau akibat (Nursalam, 2015:53).

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kondisi fisik rumah

dengan kejadian tuberculosis.

2. Hipotesis alternatif (Ha) yaitu hipotesis penelitian.


Hipotesis ini menyatakan adanya suatu hubungan,

pengaruh, dan perbedaan antara dua atau lebih variabel.

Hubungan, pengaruh, dan perbedaan tersebut dapat

sederhana atau kompleks, dan bersifat sebab-akibat

(Nursalam, 2015:53).

Ha: Terdapat hubungan antara kondisi fisik rumah

dengan kejadian tuberculosis.

iv. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan uraian tentang batasan

lingkup atau pengertian variabel-variabel yang akan diteliti.

Manfaat adanya definisi operasional yaitu untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan

instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2018:85).

Variabel Definisi Penelitian Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Variabel Independen
Kondisi Lingkungan Pengukuran Lembar Ordinal
Fisik dukungan observasi Ada apabila
adalah segala ring11-20
Lingkung keluarga dan
sesuatu yang ada
an Rumah dilakukan pemgukura Tidak ada jika
di luar diri host dengan n kondisi ring 1-10
(pejamu) baik menggunaka fisik
benda mati, benda n lembar lingkungan
observasi rumah.
hidup dan
yang terdiri
lingkungan dari 5 butir
memegang pertanyaan
peranan penting
dalam penularan,
terutama
lingkungan rumah
yang tidak
memenuhi syarat
kesehatan.
Variabel Dependen
Kejadian Pengukuran Kuisioner Ordinal
Tuberkulosis adalah Meme nuhi
kejadian hubungan
Tuberkulosis suatu penyakit syarat jika 5-10
tuberkulosi kondisi
kronik menular yang s fisik Tidak
disebabkan oleh
dilakukan lingkunga memenuhi
bakteri
dengan n rumah syarat jika tidak
Mycobacterium dengan
tuberculosis. Bakteri menggunak kejadian
ini berbentuk batang
an kuisioner tuberkulo
dan bersifat tahan
yang terdiri sis
asam sehingga sering
dikenal dengan Basil dari 6 butir
Tahan Asam (BTA). pertanyaan

v. KLasifikasi Variabel Penelitian


Menurut (Sugiyono,2018:57) variabel penelitian

merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja dan telah

ditetapkan oleh peneliti yaitu untuk dipelajari sehingga dapat

diperoleh informasi tentang hal tersebut, sehingga dapat ditarik

kesimpulannya. Berikut ini variabel yang terlibat dalam penelitian

ini:

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel Independen (bebas) merupakan variabel

yang mempengaruhi atau dapat menjadi sebab dari

perubahannya atau timbulnya variabel dependen

(terikat). Variabel Independen dalam penelitian ini adalah

Kondisi fisik lingkungan rumah.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel Dependen (terikat) merupakan variabel

yang dapat dipengaruhi atau dapat menjadi akibat, karena

adanya variabel bebas. Variabel Dependen dalam

penelitian ini adalah kejadian tuberculosis.

vi. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi ialah semua objek studi maupun yang

diteliti(Notoatmodjo, 2018 : 115). Populasi dalam studi ini

yakni pasien dengan riwayat tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Sawan 1 yakni sebanyak 74 pasien.

b. Sampel
Sampel merupakan obejk yang diteliti serta diasumsikan sebagai

perwakilan semua populasi yang ada(Notoatmodjo, 2018 : 115).

Apabila populasi besar maka peneliti dapat menggunakan sampel yang

dipilih mestinya bersifat representative maupun perwakilan(Sugiyono,

2018 : 131). Pada studi ini, sampel yang diambil ditentukan kedalam

kriteria inklusi dan eksklusi:

1. Kriteria Inklusi

Kriteriainklusi ialah karateristik umum pada subjek studi

pada populasi sasaran yang dijangkau serta yang diteliti

(Nursalam, 2017 :172). Pada studi ini yang mencakup kriteria

inklusi yaitu:

a. Penderita tuberkulosis yang melakukan pengobatan di

Puskesmas Sawan 1.

b. Penderita Tuberkulosis yang kooperatif dan

kesadarannya composmentis.

c. Penderita tuberkulosis yang bersedia menjadi

responden.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi yaitu mengeluarkan maupun

menghilangkan subjek yang tidak sesuai dalam syarat inklusi

serta tidak pantut diteliti sebagai sampel(Nursalam, 2017 :

172). Pada studi ini yang masuk pada kriteria eksklusi yakni:
a) Penderita tuberkulosis yang tidak mampu

berkomunikasi dengan baik dan secara wajar.

b) Penderita tuberlulosis yang mendapatkan turunnya

kesadaran.

c) Penderita tuberkulosis yang mengalami gangguan

pendengaran atau tuli.

a. Besar Sampel

Menurut (Nursalam, 2017 : 171), dalam melakukan

penelitian menentukan jumlah sampel sangat penting untuk

dilakukan. Penentuan besar sempel dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan rumus Yamane yang ada dalam (Sugiyono, 2018 :

143)melalui formulasi dibawah:

N
n=
1+ N ( e)²
Keterangan :
n = Jumlah sampel yang diperlukan
N = Jumlah populasi
e = Tingkat kesalahan sampel (sampling error), biasanya 5%
Populasi sejumlah 47 orang. Dari jumlah itu bisa

diperhitungkan

sampel yang digunakan yaitu dengan perhitungan berikut:

47
n= 2
1+ 47 ( 0,05 )
47
n=
1+0,1175
47
n=
0,1175
n=¿ dibulatkan menjadi 42 orang
Maka sampel ini berjumlah 42 orang.

d. Tehknik Sampling
Sampling ialah suatu langkah penyeleksi banyakanya sampel yang

menjadi wakil populasi(Nursalam, 2017 : 171). Teknik pemilihan

sampel mempergunkanNon Probability Samplingmelalui purposive

sampling, yakni teknik dalam menetapkan sampel melalui pemilihan

diantara populasi yang disesuaikan dengan tujuan studi maka sampel ini

bisa menjadi perwakilan karakteristik populasi yang ada(Nursalam,

2017 : 174).

vii. Tempat Penelitian

Studi ini dilaksanalan di wilayah kerja puskesmas sawan 1

viii. Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari 2023 dalam kurun

waktu 3 minggu.

ix. Etika Penelitian

Saat melaksanakan studi, peneliti diharuskan melakukan penelitian

sesuai dengan prosedur dan sesuai dengan etika penelitian menurut

(Notoatmodjo, 2018 : 202) yang meliputi:

1. Informen Consent
Informen Consent ialah upaya persetujuan pada peneliti dengan

responden melalui lemabar persetujuan. Informen Consentdibagikan

sebelum studi dimulai agar subjek paham dengan tujuan studi yang

dilakukan peneliti.

2. Beneficence

Tindakan keperawatan yang disalurkan diupayakan agar emuat

kebaikan (promote good). Prinsip baik dalam batas hubungan

terapeutik antara responden dan peneliti.

3. Otonomi

Prinsip otonomi dalam penelitian berarti memberikan kebebasan

untuk berpartisipasi atau tidak penelitian ini setelah diberikan lembar

persetujuan menjadi responden.

4. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan dalam penelitian harus dijaga karena itu merupakan

privasi pasien atau responden. Peneliti tidak boleh menuliskan nama

subjek pada lembar penghimpun data, namun memberikan kode

spesifik saja. Informasi yang disediakan subjek akan terjaga

kerahasiaannya.

5. Justice

Subyek diberikan perlakukan adil sebelum, saat maupun setelah

studi tanpa membeda-bedakan. Peneliti bertindak secara adil kepada

semua responden tanpa membeda-bedakan agama, jenis kelamin,

usia,dan lainnya.
x. Alat Pengumpulan Data

Instrumen adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2018:87). Dalam penelitian ini alat

pengumpulan data atau Instrument dalam penelitian ini adalah kuesioner

kejadian tuberculosis dan lembar observasi kondisi fisik lingkungan rumah

xi. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data ialah salah satu proses pendekatan pada

responden dan penghimpunan karakteristik subjek yang

diperlukan(Nursalam, 2017 : 191).Cara pengumpulan data pada penelitian

ini adalah dengan menggunakan metode wawancara terstruktur

berpedoman pada 6 pertanyaan kejadian tuberculosis , 5 pertanyaan pada

lembar observasi tentang keadaan kondisi fisik lingkungan rumah.

Langkah untuk mengumpulkan data yang peneliti lakukan yaitu:

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan peneliti lakukan, yaitu:

a. Melakukan permohonan izin kepada pihak jurusan atau prodi

keperawatan guna melaksanakan studi awal ditempat penelitian

yang dituju.

b. Dalam melakukan penelitian, peneliti mempersiapkan materi atau

konsep yang akan digunakan untuk mendukung penelitian.


2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan yang peneliti lakukan yaitu:

a. Meminta ijin untuk dalam pengumpulan data yang diketahui ketua

institusi kampus. Ijin tersebut ditujukan kepada Kepala Puskesmas

Sawan 1.

b. Mengajukan ijin untuk melakukan studi kepada Kesbanglinmas

Kabupaten Buleleng.

c. Setelah mendapatkan ijin dari Kesbanglinmas Kabupaten Buleleng

untuk melakukan penelitian, peneliti mengajukan suratpermohonan

ijin dalam melakukan studi di wilayah kerja Puskesmas Sawan 1.

d. Setelah peneliti mengajukan surat permohonan pelaksanaan

penelitian, peneliti mulai menentukan responden berdasarkan

kriteria inklusi dan ekslusi yang sudah ditentukan sebelumnya oleh

peneliti. Peneliti juga melaksanakan pendekatan secara informal

pada subjek dengan mendeskripsikan tujuan studi pada responden.

e. Melakukan pengambilan data dukungan keluarga dan kepatuhan

diit rendah garam menggunakan kuisioner. Pengambilan data

dilakukan dengan waktu bersamaan.

f. Setelah responden mengumpulkan kuisioner, apabila belum

lengkap responden diharapkan atau diminta untuk melengkapi

kuisioner yang masih kosong pada saat itu juga.

g. Data diolah serta dilaksanakan bimbingan skripsi.

xii. Pengolahan Data


Pengelolaan data merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan

setelah pengumpulan data (Notoatmodjo, 2018). Langkah-langkah

pengelolan data dengan komputer meliputi Editing, Coding, Entry,

Cleaning, Tabulating.

1. Editing

Editing ialah suatu aktivitas memeriksa lagi data yang sudah

terkumpul melalui kuesioner. Jika tetap ada informasu ataupun data

kurang maka dilaksanakan wawancara kembali.

2. Coding

Coding ialah langkah mengisi kode untuk menggolongkan

jawaban subjek yang dilakukan melalui penulisan kode angka atau

huruf di tiap jawaban:

1). Umur

a. 1 =40-60

b. 2=61-80

2). Jenis kelamin diberi kode:

a. 1 = Laki-laki

b. 2 = Perempuan

3). Pendidikan diberi kode

a. 1 = SD

b. 2 = SMP

c. 3 = SMA

4). Responden kasus atau kontrol


a. 1 = Kasus

b. 2 = Kontro

3. Entry dan Processing

Entry atau processing merupakan salah satu kegiatan

memasukkan jawaban-jawaban responden yang telah ditetapkan oleh

peneliti yakni dengan memenuhi kolom pada kode berdasarkan

jawaban untuk tiap persyaratan.

4. Tabulating

Tabulating ialah proses pembuatan suatu tabel pada data,

berdasarkan keinginan peneliti atau tujuan yang telah ditentukan oleh

peneliti. Melalui data dalam suasana tabel membuat variabel

independen dan dependen yang sudah dijawab oleh responden melalui

kuisioner yang diberikan peneliti dapat diperoleh jawaban yang sesuai

sehingga data dapat segera.

xiii. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat tujuannya mendeksripsikan atau memperjelas

suatu ciri di tiap variabel studi(Notoatmodjo, 2018 :182). Untuk wujud

analisa univariate bergantung pada tipe datanya. Di data numerik

dipergunakan nilai rata-rata ataupun mean, median, dan standar diviasi.


Pada analisa ini dapat mendistribusikan frekuensi untuk responden

sesuai jenis kelamin, umur, dan tingkatan pendidikan.

Adapun data yang nantinya dianalisa secara univariate yakni

meliputi data kondisi fisik lingkungan rumah penderita tuberkulosis.

Data yang telah dianalisis dengan menggunakan analisis univariate

nantinya dipresentasikan pada tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilaksanakan pada dua

variabel yang diasumsikan berkaitan (Notoatmodjo, 2018 :183).

Analisis bivariat yakni analisis data yang bisa membuktikan hipotesis.

Pada studi ini dipergunakan dataordinal, maka uji yang diberikan non

parametric yakni uji Spearman Rank.


DAFTAR PUSTAKA

Humaidi, F., & Ratna Anggarini, D. (2020). Kepatuhan Minum Obat Anti

Tuberkulosis Pada Pasien Tbc Regimen Kategori I Di Puskesmas

Palengaan. JIFA : Jurnal Ilmiah Farmasi ATTAMRU, 01(01), 1.

http://journal.uim.ac.id/index.php/Attamru/article/download/917/598

Kementerian Kesehatan Ri. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tata Laksana Tuberkulosis. 1–139.

Kemenkes RI. (2020). Dashboard TB.pdf. Online. https://tbindonesia.or.id

Notoatmodjo, S. (2018a). Metodelogi Penelitian Kesehatan (3rd ed.). Jakarta:

Rineka Cipta.

Notoatmodjo-Jakarta:Penerbit Gramedia Pustaka Utama,2010 repository.ui.ac.id

Kesehatan Masyarakat.

Nursalam. (2017). Metodelogi penelitian Ilmu Keperawatan (2nd ed.). Jakarta:

Salemba Medika.

Ruru, Y., Matasik, M., Oktavian, A., Senyorita, R., Mirino, Y., Tarigan, L. H.,

van der Werf, M. J., Tiemersma, E., & Alisjahbana, B. (2018). Factors

associated with non-adherence during tuberculosis treatment among

patients treated with DOTS strategy in Jayapura, Papua Province,

Indonesia.
GlobalHealthAction,11(1).https://doi.org/10.1080/16549716.2018.151059

World Health Organization. (2020). Global TuberculosisReport.In วารสารสงัคม

ศาสตรว ์ชาิ การ (Vol. 7, Issue 2).

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2019). DINAS KESEHATA PROVINSI BALI.

Dinkes Buleleng. (2019). Profil kesehatan Buleleng. In BMC Public Health (Vol.

5,Issue1).

Imaduddin, D., & Setiani, O. (2019). Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan

Perilaku dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Batu 10

Kota Tanjungpinang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(3), 8–14.

Rahmawati, S., Ekasari, F., & Yuliani, V. (2021). Hubungan Lingkungan Fisik

Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas

Pekalongan Kabupaten Lampung Timur Tahun 2020. Indonesian Journal of

Health and Medical, 1(2), 254–265.

Romadhan S, S., Haidah, N., & Hermiyanti, P. (2019). Hubungan Kondisi Fisik

Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas

Babana Kabupaten Mamuju Tengah. An-Nadaa: Jurnal Kesehatan

Masyarakat, 6(2). https://doi.org/10.31602/ann.v6i2.2680

Saragih, A., & Indrawati, I. (2019). Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan

Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuok Tahun 2018.

Jurnal Ners, 3(1), 22–39.


Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif (Setiyawami (ed.); 1st ed.).

Alfabeta.
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan

November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni


Kegiatan Penyusunan Skripsi 2020 2020 2021 2021 2021 2021 2021 2021
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Identifikasi masalah
Penyusunan proposal
Seminar proposal
Proses perbaikan proposal
Pengajuan ijin penelitian
Pengumpulan data
Pengumpulan data dan analisis
Penyusunan laporan
Seminar hasil
Revisi laporan
Penyerahan laporan akhir
Publikasi
Lampiran 1. Surat Ijin Studi Pendahuluan
Lampiran 2. Surat Balasan Studi Pendahuluan
Lampiran 2. Lembar Observasi Kondisi Fisik Lingkungan Rumah

LEMBAR OBSERVASI DAN PENGUKURAN HUBUNGAN KONDISI


FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWAN 1

1. Suhu :......... 0C

a. Tidak memenuhi syarat apabila (>180C atau >300C)

b. Memenuhi syarat apabila (180C-300C)

2. Ventilasi jendela : ............. %

a. Tidak memenuhi syarat apabila (tidak ada)

b. .Memenuhi syarat apabila (ada >1)

3. Pencahayaan

a. Tidak memenuhi syarat (tidak ada)

b. Memenuhi syarat (ada cahaya masuk)

4. Kepadatan Hunian kamar : Luas lantai kamar:....................m2 Jumlah

penghuni :...................orang

a. Tidak memenuhi syarat (Apabila terdapat > 2 orang /8 m2 )

b. Memenuhi syarat (Apabila terdapat 2 orang/8 m2)

5. Bahan bangunan

a. Tidak memenuhi syarat (Apabila bukan tembok)

b. Memenuhi syarat (Apabila tembok)


Lampiran 3. Kuesioner Kejadian Tuberkulosis

KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH


DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SAWAN 1

Hari/Tanggal Wawancara :

I. IDENTITAS RESPONDEN

No. Responden

Jenis Kelamin

Nama Responden

Umur Responden

Pendidikan Terakhir Responden

Responden Kasus atau Kontrol

II. Pertanyaan

No. Kejadian Tuberkulosis Paru Ya Tidak

1 Apakah bapak/ibu mengetahui apakah penyakit


TB paru ?
2 Apakah bapak/ibu mengetahui penyebab penyakit
TB Paru ?
3 Apakah bapak/ibu mengetahui tanda yang muncul
pada penderita penyakit TB paru ?
4 Apakah bapak/ibu mengetahui gejala yang muncul
pada penderita TB paru ?
5 Apakah bapak/ibu mengetahui cara penularan
penyakit TB paru ?
6 Apakah bapak/ibu mengetahui pencegahan
penyakit TB paru ?

Anda mungkin juga menyukai