Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA UPT

PUSKESMAS PENINGGALAN KECAMATAN TUNGKAL JAYA


KABUPATEN MUSI BANYUASIN
TAHUN 2022

OLEH
EVI NOPITA
20131011034

PROGRAM PASCA SARJA KESEAHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
PALEMBANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

World Health Organization (WHO) merencanakan startegi ‘End


Tuberculosis’, yang merupakan bagian dari Sustainable Development
Goals, dengan satu tujuan yaitu untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis
di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO (2020), pada tahun 2019
indonesia menempati urutan Kedua di dunia sebagai negara yang
memilki jumlah penderita TB terbanyak setelah india. Menurut WHO
terdapat 8,9 juta penduduk dunia terserang TB dengan kematian 1,7 juta
orang per tahun. Di negara berkembang kematian ini merupakan 25 %
dari kematian. penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Sejumlah 80 %
penderita TB Paru berada di negara-negara berkembang dan 75 %
penderita TB adalah kelompok produktif (15-55 tahun). Tuberkulosis
(TB) Paru merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat khususnya di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Masalah yang dihadapi berhubungan dengan penyakit,
penemuan, pengobatan, dan juga kegagalan pengobatan (WHO,2020).
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis
yang menginfeksi secara progresif menyerang paru-paru.
Mycrobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk
batang dengan panjang 1-10 micron, lebar 0,2- 0,6 mikron. Jika tidak
ditangani, Tuberculosis menyebabkan kematian. Mycobacterium
tuberculosis ditularkan oleh seseorang melalui batuk dan bersin.
Tuberculosis merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh
dunia. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular
langsung yang disebabkan kuman mycrobacterium tuberkulosis
(Kemenkes R1, 2020).
Indonesia juga termasuk kedalam daftar 30 negara dengan kategori
Hight Burdens Counteris (HBC) yaitu negara yang memiliki beban tinggi
terhadap masalah tuberculosis. Pengkategorian tersebut berdasarkan 3
indikator yaitu TBC, TBC/HIV, TBC-MDR. Satu negara dapat masuk
kedalam satu kategori tersebut atau dua bahkan tiga kategori tersebut
sekaligus (Kementrian Kesehatan RI,2020; WHO, 2020).
Berdasarkan data dari Kementrian Keseahatan RI (2020) jumlah
kasus TB yang di temukan di Indonesia ( Case Detection Rate
Tuberculosis/CDR) tahun 2019 mengalami penurunan bila dibandingkan
tahun 2018 dimana pada tahun 2018 penemuan kasus TB sebesar 67,2
persen (566,623 kasus) dari semua kasus baru TB yang diperkirakan
(843.000 kasus) sedangkan tahun 2019 hanya sebesar 64,5 persen
(543,874 kasus) dari semua kasus baru TB yang diperkirakan (843.000
kasus) namun bila dibandingkan tahun 2017 penemuan kasus TB hanya
sebesar 42,8 persen (425.089/992.441 kasus). Walaupun jumlah kasus
TB relatif meningkat namun angka penemuan kasus tuberkulosis (CDR)
di Indonesia masih berada jauh dibawah standar yang direkomendasikan
oleh WHO yaitu lebih dari 90 persen. Berdasarkan provinsi, pada tahun
2019 hanya jawa barat (96,2%) dan gorontalo (94,6%) yang telah
mencapai angka CDR diatas 90 persen( berada pada posisi ke-1 dan ke-2)
sedangkan sumatera selatan 58,5 % ( berada pada urutan ke-13)
(Kementrian Kesehatan RI, 2020).
Sumber penularan TB Paru yaitu pasien TB BTA (bakteri tahan
asam) positif melalui percikan renik dahak yang dikeluarkannya. TB
dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB meskipun dengan tingkat penularan yang kecil. (Depkes
RI,2015).
Berdasarkan data TB di sumatera selatan adalah sebanyak 22485
kasus. Data kasus TB di Musi Banyuasin sebanyak 1549 kasus (Simata
Sumsel, 2019). Pada Tahun 2017 jumlah suspek TBC 2.562 orang yang
diperiksa sampel Sputumnya dan 500 orang dinyatakan positif TB Paru
baik terkonfirmasi TB bakteriologis maupun klinis dengan case detection
rate (CDR) 900/100.000 penduduk. Pada tahun 2018 jumlah tersangka
TBC 3.304 kasus yang diperiksa sputumnya, 1.047 kasus dinyatakan
positif TB Paru baik terkonfirmasi TB bakteriologis maupun klinis
dengan case detection rate (CDR) 802/100.000 penduduk. Sedangkan,
tahun 2020 jumlah suspek TB sebanyak 5.710 kasus yang diperiksa
sputumnya 298 yang dinyatakan positif TB Paru baik terkonfirmasi TB
bakteriologis maupun klinis dengan case detection rate (CDR)
151/100.000 penduduk. Jumlah suspek TB Paru yang dinyatakan positif
baik terkontaminasi bakteriologis maupun klinis dengan case detection
rate (CDR) ini mengalami peningkatan, hal ini dikarenakan penjaringan
TB Paru sudah dilaksanakan sesuai standar yang ditetapkan serta adanya
kesadaran masyarakat tentang deteksi dini TB paru (Renstra Muba,
2020).
Menurut Oktavia (2016), faktor yang berhubungan dengan keajdian
TB Paru adalah umur (OR=3,9; CI 95%: 1,34-11,6), jenis lantai
(OR=16,7; CI 95%: 4,63-60,1), luas ventilasi (OR=27,12; CI 95%: 5,49-
133,84), kontak penderita TB (OR = 4,7; CI 95%: 1,44-15,075), status
gizi (OR=16,7; CI 95%: 1,34-56,4), dan kepadatan hunian (OR=4,3; CI
95%: 1,39-12,95). Seseorang yang bermukim di rumah dengan hunian
kamar memiliki tingkat kepadatan tinggi (<4 meter/orang), jenis kelamin
laki-laki, dan status gizi yang buruk (IMT >25,1 dan <18,4) beresiko
untuk menderita penyakit tuberculosis paru 29 kali lebih beresiko
dibanding orang yang tidak mempunyai faktor tersebut.
Penelitian agustian (2014), memperoleh hasil kepadatan hunian
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian Tuberkulosis Paru
(p 0,000). Pada variabel ventilasi diperoleh RP 3,0 IK 95% 1,05-8,60
menunjukka bahwa ventilasi merupakan faktor resiko terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Penelitian Kurnia, dkk (2016) menyimpulkan bahwa ada hubungan
antara kondisi fisik rumah (kepadatan rumah, ventilasi dan kondisi lantai)
dengan kejadian Tuberkulosis paru.
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
merupakan faskes yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya
(Kemenkes RI, 2020). UPT Puskesmas Peninggalan adalah salah satu
pusat pelayanan kesehatan di kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin. Puskesmas ini terletak di desa peninggalan, dimana diketahui
wilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan memiliki tempat tinggal jauh
dari kata bersih. Di wilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
merupakan bagian dari kecamatan Tungkal Jaya dimana sebagian
penduduknya tinggal di rumah panggung daerah rawa dan kemungkinan
besar kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat, sehingga tidak
menutup kemungkinan adanya kejadian penyakit infeksi didaerah
tersebut salah satunya TB Paru.
Berdasarkan data yang di temukan di UPT Puskesmas Peninggalan
(Case Detection Rate) pada tahun 2020 penemuan kasus TB Sebesar
86,05 persen (333 kasus) yang diperiksa dari total kasus tesangka TB
Paru yang diperkirakan (387 kasus). Sedangkan, Pada tahun 2021
penemuan kasus TB Sebesar 85,35 persen (373 kasus) yang diperiksa
dari total kasus tersangka TB Paru yang diperkirakan (437 kasus).
Laporan kasus TB Paru di UPT Puskesmas tahun 2019 terdapat jumlah
33 orang. TB. Pada tahun 2020 di temukan kasus 38 orang, pada tahun
2021 sebanyak 34 orang kasus TB Paru di UPT Puskesmas Peninggalan
(Profil Puskesmas 2021).
Berdasarkan pernyataan diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Kejadian TB Paru
diwilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan Kecamatan Tungkal
Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022”
1.2. Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis Kejadian TB Paru di wilayah kerja UPT
Puskesmas Peninggalan Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin tahun 2022.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi karekteristik demografi (umur,
jenis kelamin, pendidikan) responden di wilayah kerja UPT
Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkala Jaya Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2022.
2. Untuk menganalisis distribusi kejadian TB Paru di UPT
Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin Tahun 2022.
3. Untuk menganalisis hubungan antara pendidikan dengan kejadian
TB Paru diwialayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan
Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
4. Untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan
kejadian TB Paru diwialayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
5. Untuk menganalisis hubungan antara perilaku merokok dengan
kejadian TB Paru diwilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
6. Untuk menganalisis hubungan riwayat kontak dengan kejadian TB
Paru diwilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan
Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
7. Untuk menganalisis hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian TB Paru diwilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
8. Untuk menganalisis hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB
Paru diwialayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan
Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
9. Diketahuinya variabel yang paling dominan berhubungan dengan
kejadian TB Paru diwilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktisi, diantaranya:
1.3.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembanagan ilmu
kesehatan masyarakat mengenai analisis kejadian TB Paru.
1.3.2 Manfaat praktisi
Dapat dijadikan sebagai bahan kajian evaluasi bagi puskesmas
terhadap program pengobatan pasien TB Paru dan meningkatkan
wawasan petugas TB Paru mengenai Analisis kejadian TB Paru
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan
dalam menangani pasien TB Paru.

1.4. Ruang lingkup Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dibidang kesehataan
masyarakat yang dilakukan untuk menganalisis kejadian TB Paru di
wilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan. Populasi penelitian ini
adalah seluruh pasien yang teregistrasi dari januari – april 2022 di UPT
Puskesmas Peninggalan dengan jumlah sampel 30 0rang. Metode
penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan
multivariat dengan menggunakan uji Chi- Square dengan α = 0,05.
Peneltian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2022.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB PARU
2.1.1 DEFINISI TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering
ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru,
namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan
organ ekstra paru lainnya (Kemenkes, 2020)
2.1.2 Etiologi dan Transmisi TB
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara.
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB.
Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan
melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi
jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi
yang terinfeksi tersebut. Angka kejadian infeksi M.bovis pada
manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara
berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat
udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang
keluar ketika seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk,
bersin, atau bicara. Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB
paru melalui prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol
seperti saat dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat
dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di
laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter
1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat
infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena
ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan
mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian
melakukan replikasi. Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu
kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan,
dosis yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10
basil. Kasus yang paling infeksius adalah penularan dari pasien
dengan hasil pemeriksaan sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan
kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir
selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang
menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan
transmisi ke organisme lain (Kemenkes,2020).
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap,
dengan minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara
dalam waktu yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat
membunuh tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan
bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat dalam
waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko
penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut
berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun
individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak
akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus
akan menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah
terinfeksi dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling
tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana
setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi
terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia.
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit
TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal.
5060% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami
penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis
lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada kasus
silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-
obat imunosupresan lain dalam jangka panjang (Kemenkes,2020)

2.1.3 Faktor risiko TB


Beberapa faktor resiko pada penyakit Tuberkulosis Paru adalah:
1. Kuman penyebab TB (Agent) (Permenkes RI, 2016)
a. Pasien TB dengan BTA lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
b. Makin tinggi jumlah kuman dlam percikan dahak, makin besar
resiko penularan.
c. Semakin lama dan semakin sering terpapar dengan kuman,
semakin besar risiko terjadi penularan.
2. Faktor individu yang bersangkutan (Host)
Beberapa faktor individu (Permenkes RI, 2016) yang dapat
meningkatkan risiko menjadi sakit TB adalah :
a. Jenis kelamin
WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia,
lebih banyak laki-laki dari pada wanita didiagnosis
tuberkulosis. Hal ini di dukung dalam data yaitu antara tahun
1985-1987 penderita tuberkulsosis paru pada laki-laki
cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita
menurun 0,7%. Tuberkulosis paru lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian
besar mempunyai kebiasan merokok sehingga memudahkan
terjangkit tuberkulosis paru.
b. Usia
Kelompok usia paling rentan tertular TB adalah kelompok
usia dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia
produktif (Permenkes RI, 2015).
c. Daya tahan tubuh
Apabila daya tahan tubun menurun oleh karena sebab
apapun seperti usia lanjut, ibu hamil, ko infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes melitus, gizi buruk, keadaan immuno-
suppresive, bilamana terinfeksi dengan M. TB, lebih mudah
jatuh sakit. (Permenkes, 2015)
d. Perilaku
1) Batuk dan cara membuang dahak yang tidak sesuai etika
akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
2) Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya,
dan cara pengobatan (Permenkes, 2015).
e. Status sosial ekonomi
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah
(Permenkes, 2015).
3. Faktor Lingkungan (Permenkes RI, 2016)
a. Lingkungan padat dan kumuh akan memudahkan penularan
TB.
b. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa
cahaya matahari akan meningkatkan resiko penularan.
4. Status Gizi
Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan
gizi yang tidak seimbangan baik dari kualitas dan kuantitas, bisa
juga karena penyakit infeksi, gizi kurang atau buruk dapat
menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan tubuh.
Menurut litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru
ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah
sayur kurang dari 5 porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang
besar juga ditemukan pada kondisi status gizi kurus.
5. Penyakit Penyerta (Infeksi HIV dan DM)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita
tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya
infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). Human
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor resiko yang
aling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit
tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (celuler immunity), sehingga jika terjadi
infeksi penyerta (opportunity), seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan kan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. WHO (2012) telah menetapkan target angka kematian
akibat tuberkulosis separuh anatara orang yang HIV positif pada
tahun 2015, dibanding tahun 2004.

2.1.4 Patogenesis TB
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan
trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau
alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh
makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon
nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas
virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang
mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme
pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 2332
jam sekali di dalam makrofag (Kemenkes RI, 2020).
Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin,
sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan
jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang
cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat
dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian
akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel
basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun.
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam
aliran darah dan menyebar ke organ lain (Kemenkes RI, 2020).
Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap
replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan
hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan
dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana
kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri
Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan
cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat
membatasi multiplikasinya (Kemenkes RI, 2020).
1. TB primer Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap
tuberkel basili. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh
karenanya sering diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini
dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang belum pernah
terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili
yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya
terletak di bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus
inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagosistosis oleh
makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan
bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat
melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit
lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi
menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area
inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan
antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur
limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran
tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan
membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag
untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus
primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus
melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan
digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang
didalamnya terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi
yang akan mati jika sistem imun host adekuat. Beberapa basili
tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau
tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer
biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil
tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam
beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem
limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer
progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus
primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan
gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer
(Kemenkes RI, 2020).
2. TB pasca primer TB pasca primer merupakan pola penyakit yang
terjadi pada host yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB.
Terjadi setelah periode laten yang memakan waktu bulanan hingga
tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi
kuman laten atau karena reinfeksi. Reaktivasi terjadi ketika basili
dorman yang menetap di jaringan selama beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi
terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer
terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi
penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan
bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering
terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks
mungkin dapat memperlihatkan gambaran limfadenopati
intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya
mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ
tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah
ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru
yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil yang
positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal
(Kemenkes RI, 2020)

2.1.5 Gejala klinis TB paru


Gejala penyakit TB (Pusdatin Kemenkes RI, 2018) tergantung pada
lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan manifestasi klinis sebagai
berikut:
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

2.1.6 Klasifikasi TB
Diagnosis TB (Kemenkes RI, 2020) dengan konfirmasi
bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru
karena terdapat lesi di paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di
luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening,
abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang,
selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara
klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin
dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1
bulan (< dari 28 dosis bila memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai
obat program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :
a) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini
ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena
reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
b) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang
sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan
gagal pada akhir pengobatan.
c) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya
selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan
loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
d) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui atau tidak didokumentasikan.
e) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah
pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan
sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah
satu kategori di atas.
Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan
sebelumnya karena terdapat risiko resistensi obat. Sebelum
dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat yang
telah disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain
test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat
pemakaian OAT.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon
dan salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin,
kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap
Rifampisin baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional), dengan atau tanpa resistensi
terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok
TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan
TB XDR yang terbukti resistan terhadap rifampisin.

2.1.7 Komplikasi TB
Penyakit TB Paru bila tidak di tangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi
a. Komplikasi Dini
a) Pleuritis
b) Efulsi Pleura
c) Empiema
d) Laringitis
b. Komplikasi Lanjut
a) Obstruksi Jalan Nafas (SOPT : Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis)
b) Kerusakan parenkim berat
c) Amiloidosis
d) Sindrom gagal nafas (ARDS)
2.1.8 Diagnosis TB
Prinsip penegakan diagnosis TB (Kemenkes RI, 2020) :
a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis, yaitu :
a) Pemeriksaan mikroskopis
b) Tes cepat molekuler TB dan
c) Biakan
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis. Seperti juga pada diagnosis
TB maka diagnosis TB-RO juga diawali dengan penemuan
pasien terduga TB-RO Terduga TB-RO adalah pasien yang
memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang
mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di
bawah ini: a.
a) Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
setelah 3 bulan pengobatan.
c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang
tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi
lini kedua paling sedikit selama 1 bulan. Pasien TB gagal
pengobatan kategori 1. Pasien TB pengobatan kategori 1
yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.
d) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan
OAT kategori 1 dan kategori 2. Pasien TB yang kembali
setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
e) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang
ada di lapas/rutan, hunian padat seperti asrama, barak,
buruh pabrik.
f) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara
bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT,
(bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan
TCM TB). Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat
juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga pada kasus ini
perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM
yang saat ini sudah tersedia.
Kriteria terduga TB-MDR menurut program manajemen TB
resistan obat di Indonesia
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2 Pasien TB dengan
hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada
akhir pengobatan
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah
3 bulan pengobatan Pasien TB dengan hasil pemeriksaan
dahak positif setelah pengobatan tahap awal
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang
tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi
lini kedua minimalis selama 1 bulan Pasien TB yang
memiliki riwayat pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan
OAT standar, dan atau menggunakan kuinolon serta obat
injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal Pasien TB
dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau
pada akhir pengobatan.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3
bulan pengobatan (yang tidak konversi) Pasien TB dengan
hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan
tahap awal
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2 Pasien
TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini diagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai
berobat/default Pasien TB yang pernah diobati dan
dinyatakan putus berobat selama dua bulan berturut-turut
atau lebih
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB-MDR Terduga TB yang pernah memiliki riwayat
atau masih kontak erat dengan pasien TB-RO
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis
maupun bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila
penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM Pasien
ko-infeksi TB-HIV dalam penggunaan OAT selama dua
minggu tidak memperlihatkan perbaikan klinis

2.1.9 Penatalaksanaan
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan
rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenekes
RI,2020).
Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT

Dosis yang
Jenis OAT Sifat direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pirazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 0
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

b. Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB Paru dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam dosis cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (Monoterapi). Pemakaian
OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaiatu tahap awal
(intensif) dan lanjutan.
1) Tahap Intensif
Pada tahap intensif, mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tetap, biasanya
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar
penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan dalam waktu 4 bulan.
WHO merekomendasikan paduan standar untuk TB paru kasus
baru adalah 2RHZE/4RH. Jika tidak tersedia paduan dosis harian,
dapat dipakai paduan 2RHZE/4R3H3 dengan syarat harus disertai
pengawasan yang lebih ketat secara langsung untuk setiap dosis obat.

2.1.10 Panduan OAT di Indonesia


Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes RI, 2014)
antara lain:
a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien baru TB Paru BTA Positif
2) Pasien TB Paru BTA Negatif foto thoraks positif
3) Pasien TB Paru ekstra paru.

Tabel 2.2. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 x


Berat selama 58 hari RHZE seminggu selama 16
Badan (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 table 4KDT 2 table 2KDT
38-54 kg 3 table 4KDT 3 table 2KDT
55-70 kg 4 table 4KDT 4 table 2KDT
≥71 kg 5 table 4KDT 5 table 2KDT

b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA Positif yang
telah diobati sebelumnya:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).
Tabel 2.3. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Lanjutan 3 x
Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE seminggu RH
Badan (150/75/400/275) + S (150/150) + E (275)
Selama 56 hari Selama 28 Selama 20
hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
Streptomisin inj. tab Etambutol 3
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj. Etambutol 4 tab
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 2KDT + 4 tab
mg Streptomisin inj. 5 Etambutol 5 tab
≥71 kg tab 4KDT + 1000 5 tab 4KDT 2KDT + 5
mg Streptomisin inj. tab Etambutol

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 28 hari.
Tabel 2.4. Dosis KDT untuk sisipan
Berat Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE
Badan (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT

2.1.11 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru.


Pemantaun dan hasil pengobatan TB Paru menurut Kemenkes
RI (2014), yaitu:
a. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan
untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik pada
TB Paru. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan spesimen sebanyak 2 kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut
negatif. Bila salah satu spesimen atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
b. Hasil Pengobatan TB Paru
1) Sembuh
Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya
negatif akhir pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan
follow up sebelumnya negatif.
2) Pengobatan Lengkap
Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau
gagal.
3) Pengobatan gagal
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA sputum atau
biakan positif pada bulan kelima atau akhir pengobatan.
4) Meninggal
Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan
karena sebab apapun.
5) Putus obat
Pasien TB yang tidak memenuhi pengobatan setelah
terdiagnosis TB atau menghentikan pengobatan selama 2
bulan berturut-turut atau lebih
6) Tidak di evaluasi
Pasien yang tidak memilki hasil pengobatan pada saat akhir
pelaporan kohort pengobatan, termasuk pasien yang sudah
pindah ke fasilitas kesehatan lain dan tidak diketahui hasil
pengobatannya oleh fasilitas yang merujuk pada batas akhir
pelaporan kohort pengobatan.
7) Keberhasilan pengobatan
Jumlah kasus dengan hasil pengobatan sembuh dan
lengkap.

2.2 Faktor terjadinya infeksi Penyakit TB

2.2.1 Demografi/Etnis

Populassi pribumi atau aborigin

Studi dari kanada atau australia menunjukkan bahwa pribumi atau


aborigin memiliki resiko lebih tinggi terhadap TB dari pada non
aborigin. Aborigin memiliki resiko kerentanan menderita TB lebih
tinggi dari rata-rata. Faktor sosial ekonomi seperti kepadatan
penduduk dan kemiskinan diketahui sebagai penyumbang beban ini.
Studi terbaru menunjukkan bahwa orang aborigin dikanada memiliki
penghilang gen yang mungkin berakibat pada peningkatan
kecenderungan perkembangan penyakit TB aktif. (narasimhan dkk,
2013).

2.2.2 Pendidikan

Menurut Makhfudi (2010) yang dikutif oelh Yuda A (2018),


tingkat pendidikan merupakan salah saut variabel yang perlu
mendapat perhatian dalam pengobatan dan dalam perkembangan
penyakit TB. Tingkat pendidikan ini berkaitan dengan kelas sosial
dalam masyarakat. Kejadian penyakit TB Paru di indonesia sebagian
besar diderita oleh penderita TB yang berlatar belakang pendidikan
tingkat menengah dan pendidikan dasar.

Menurut Notoatmodjo dalam mkhfudi (2010) yang dikutif oleh


yuda A (2018) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka akan semakin muda menerima informasi sehingga
pengetahuan yang dimiliki semakain banyak. Sebaliknya, pendidikan
yang kurang akan menghambat sikap seseorang terhadap nilai-nilai
yang baru diperkenalkan.

2.2.3 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tau seseorang dan hasil penginderaan


manusia terhadap obek melalui indera yang dimiliki berupa mata,
hidung, telinga dan sebagainya. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh dari indera pendengaran (telinga) dan indera
penglihatan (mata). Penegtahuan seseorang terhadap obyek
mempunyai tingkat yang berbeda-beda, yairu dibagi dalam keenam
tingkatan pengetahuan:

1. Tahu (Know)
Sebagai recall atau memanggil memori yang sudah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengukur sesorang
yang tahu akan sesuatu dapat menggunkan pertamyaan-
pertanyaan.
2. Memahami (Comprehension)
Untuk memahami sesuatu bukan hanya sekedar tahu, tidak juga
sekedar dapat menyebutkan, tapi orang tersebut harus bisa
menginterprestasikan secara benar obyek yang diketahui tersebut.
3. Aplikasi(Application)
Diartikan sebagai orang yang telah memahami obyek yang
dimaksud dan dapat menggunakan prinsif yang diketahui tersebut
pada situasi yang lain.
4. Analisis (Analisys)
Kamampuan seseorang untuk memisahkan, menjabarkan, dan
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen dalam
suatu maslah yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seorang
sudah sampai tingkat analisis adalah apabila orang tesebut dapat
membedakan, mengkelmpokkan, memisahkan, membuat bagan
terhadap obyek tersebut.
5. Sintesis (Synthesis)
Menunjukkan suatu kemmpuan seseorang untuk meletakan dan
merangkum suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki.
6. Evaluasi (Evuluation)
Berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
penilaian terhadapa obyek tertentu.

2.2.4 Perilaku Merokok

Rokok atau temabakau sebutan lain merupakan faktor resiko


keempat timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit
tuberkulosis paru, hal ini di dukung dari penelitian wijaya (2012,
bahwa merokok meningkatkan resiko infeksi Mycrobacterium
tuberculosis, resiko perkembangan penyakit dan peneybab kematian
pada penderiata tuberkulosis.

2.2.5 Riwayat kontak

Riwayat kontak adalah tinggal serumah atau sering bertenu dengan


pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB
yang hasil pemeriksaan sputum BTA positif dan umumnya terjadi
pada pasien TB dewasa ( Kemenkes RI, 2013).
Upaya pencegahan kontak yang beresiko penularan menurut
Kemenkes ri (2013) adalah sebagai berikut :

a. Penderita menggunakan masker


b. Patuh menjalani pengobatan
c. Menyediakan tempat khusus untuk meludah
d. Menjaga sirkulasi udara dalam ruangan
e. Pencahayaan ruangan dengan sinar matahari
f. Menjaga kebersihan rumah

2.2.6 Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi


dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan
penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi
penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan overrowded. Hali ini tidak sehat
karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga
bila salah satu anggota keluarga menderita suatu enyakit infeksi
terutama TB Paru akan mudah menular kepada anggota kekuarga
yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada
dua samapi tiga orang dalam rumahnya (Mukono, 2015).

Kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2


orang pe 8 m²) dan kepadatan tinggi ( lebih 2 orang per 8 m² dengan
ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun di
hitung setengah). Persyaratan kesehatan perumahan, luas rumah
minimal 4 m² per orang dengan usia >10 tahun (Kemenkes RI, 2017)

2.2.6 Ventilasi

Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menajga agar


aliran udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara
ruangan dari-dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena
selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar rumah selalu dalam kelembaban optimum.
Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dan
penyerapan cairan kulit. Kelelmbaban ruangan yang tinggi akan
menjadi media yang baikuntuk tumbuh dan berkembang biaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. (Soekidjo,2007)

Apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat maka akan


memiliki dampak yaitu dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat mangakibatkan gangguan terhadap
kesehatan manusia. Upaya penyehatan dapat dilakukan dengan
mengatur pertukaran udara dengan cara yaitu ventilasi minimal 10%
luas lantai dengan sistem venilasi silang, pemeliharaan AC dilakukan
secara berkala sesuai dengan buku petunjuk serta harus melakukan
pergantian udara dengan membuka jendela minimal pada pagi hari
secara rutin, menggunakan exhaust fan dan mengatur tata letak ruang
(Kemenkes RI, 2011).

Menurut susilowati (2012), kejadian tuberkulosis berpeluang atau


beresiko besar pada orang yang tinggal serumah denga penderita
tuberkulosis, rumah beratap seng, laus ventilsi <10% luas lantai pada
daereh dataran tinggi Kabupaten Tamanggung dan bermakna secara
statistik.

2.3 KERANGKA TEORI

Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, kerangka teori yang


digunakan adalah
Host
(Manusia)

Agent TB Paru

(Mycobacterium tuberculosisi)

Environment
(Kondisi Fisik Rumah)

Sumber : Notoadmodjo 2011

Gambar 2.1 Kerangka Teori


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN


Penelitaian ini menggunkan metode kuantitatif. Berdasarkan waktu
penelitiannya, penelitian ini merupakan penelitian cross sectional
( Sastroasmoro & Ismael, 2014). Penelitian ini dilaksanakan di UPT
Puskesmas Peninggalan.

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2022 di wilayah kerja UPT
Puskesmas Peninggalan Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.4.1 Populasi

Menurut (Nursalam, 2013) populasi adalah subjek yang memenuhi


kriteria yang telah di tetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh penderita TB Paru yang teregristasi pada bulan januari sampai
April 2022 dan mendapat pengobatan TB Paru dengan menggunakan
OAT-KDT pada UPT Puskesmas Peninggalan Kabupaten Musi Banyuasin
berjumlah 30 orang.

3.4.2. Sampel

Menurut (Notoatmodjo, 2012) sampel adalah bagian dari polpulasi


yang dianggap mewakili populasinya. Sampel dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien TB Paru yang teregisterasi di UPT Puskesmas Peninggalan.

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih dengan tehnik


purposive sampling yaitu berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteri inklusi yaitu:
a. Pasien TB berusia lebih besar atau sama dengan 18 tahun pada saat
didiagnosis TB Paru
b. Pasien berdomisili di wilayah kerja UPT Puskesmas Peninggalan
c. Pasien bersedia menjadi responden

Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang pindah instansi lain


b. Pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik

3.4.3 Tehnik Sampling

Menurut (Sugiono, 2016) Purposive sampling adalah tehnik penentuan


sampel dengan pertimbangan tertentu. Alasan menggunakan tehnik
purposive sampling karena sesuia untuk digunakan untuk penelitian
kuantitatif atau penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi.

Metode penentuan sampel jenuh atau total sampling adalah tehnik


penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel
(Sugiono, 2016). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah semua
pasien TB Paru yang teregistrasi di UPT Puskesmas Peninggalan
Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin berjumlah 30 orang.
Alasan menggunakan seluruh populasi menjadi sampel adalah dikarenakan
mewakili seluruh populasi karena jika kurang dari 100 populasi, maka
dijadikan sampel penelitian semuanya, oleh karena itu peneliti mengambil
30 sampel yang diambil dari seluruh pasien.

3.4 KERANGKA KONSEP


Variabel Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai
Independen berikut:
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap perokok
4. Riwayat Kontak
5. Kepadatan Hunian
6. Ventilasi
Variabel Dependen
Kejadian TB Paru

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.5 Definisi operasional


Definisi operasional merupakan definisi variabel variabel yang akan
ditelliti secara operasional bermanfaar untuk mengarahkan kepada
pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang diteliti
menjadi terbatas dan penelitian akan lebih fokus (Ryanto, 2011). Definisi
operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel 3.1
Variabel, Definisi Operasional, Alat Ukur, Hasil Ukur, Skala Ukur

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Operasional Ukur
1. Pendidikan Jenjang Wawancara Kuisioner 1. Tinggi, jika Ordinal
pendidikan > SMA
formal 2. Rendah, jika
< SMA
2. Pengetahua Pengetahua Wawancara Kuisioner 1. Tinggi, jika Ordinal
n n responden total skore
tenang TB (mean ) > 5
Paru 2. Rendah, jika
total score
(mean) < 5
3. Sikap Kebiasaan Wawancara Kuisioner 1. Bukan Ordinal
Perokok responden Perokok
sehari-hari 2. Perokok
dalam
menggunak
an rokok
4. Riwayat Tinggal Wawancara Kuisioner 1. Tidak Ordinal
Kontak serumah kontak
atau sering 2. kontak
bertenu
dengan
pasien TB
menular
5. Kepadatan Jumlah Wawancara Kuisioner 1. Tidak Ordinal
Hunian penghuni memenuhi
dengan luas syarat (≤ 4
ruang m/orang)
rumah yang 2. Memenuhi
ditempati syarat (≥ 4
responden meter/orang)
6. Ventilasi Lubang Wawancara Kuisioner 1. Tidak ada Ordinal
hawa yang 2. Ada
berfungsi
sebagai
tempat
pertukaran
udara pada
kamar tidur
responden

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Operasional Ukur
1. Tuberkulosi Pasien yang Observasi Catatan/ 1. TB Paru Ordinal
s Paru telah Rekam 2. Tidak TB
melakukan Medis Paru
uji dahak
atau
Rontgen
dan
dinyatakan
positif oleh
dokter di
UPT
Puskesmas
Peninggalan

3.6 Hipotesis Ha
1) Ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB Paru di UPT
Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin Tahun 2022
2) Ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru di
UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2022
3) Ada hubungan antara sikap perokok dengan kejadian TB Paru di
UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2022
4) Ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian TB Paru di
UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2022
5) Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru
di UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya
Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022
6) Ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB Paru di UPT
Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi
Banyuasin Tahun 2022
3.7 Menejemen Data dan Analisi Data
3.7.1 Pengolahan Data Kuantitatif
Sebelum melakukan analisis data, data yang telah dikumpulkan diolah
menjadi informasi. Dalam proses pengolahan data dari hasil kuisioner
terdapat beberapa langkah, yaitu:

1. Penyuntingan data (Editing)


Edirting merupakan proses pemeriksaan kembali kebenaran dari data-
data yang diperoleh atau dikumpulkan.
2. Pengkodingan data (Coding)
Coding adalah kegiatan pemberian kode numerik atau angka terhadap
data yang telah dikumpulkan yang terdiri dari beberapa kategori.
Coding perlu dilakukan sebab memberi kemudahan saat melakukan
analisis data serta mempercepat saat memasukan data.
3. Memasukkan data (Data entry)
Data entry merupakan proses memasukan data yang telah dikoding
kedalam program komputer. Pada penelitian ini program yang
digunakan yakni SPSS for windows.
4. Pembersihan data (Cleaning)
Cleaning merupakan kegiatan pemeriksaan kembali yang telah
dimasukkan kedalam komputer untuk melihat adakah kesalahan atau
tidak baik berupa missing data, variasi data dan konsistensi data.

3.7.2 Analisis Data

1. Analisis Univariat
Digunakan untuk memberikan gambaran umum terhadapa data hasil
penelitian, yakni untuk mengetahui hasil distribusi frekuensi karekteristik
demografi responden berupa jenis kelamin, umur, pendidikan,
pengetahuan, sikap perokok, riwayat kontak, kepadatan hunian, ventilasi
dan untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian TB Paru pada
responden. Tabel distribusi frekuensi hanya menghasilkan presentase dari
tiap variabel.
2. Analasis Bivariat
Analisis ini dilakukan pada variabel yang berkorelasi. Dalam penelitian
analisis bivariate dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
karekterisik demografi responden (variabel independen) dengan kejadian
TB Paru di UPT Puskesmas Peninggalan kecamatan Tungkal Jaya
Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022. Uji statistik yang digunakan
adalah uji chi-square yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam
populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana datanya kategorik.
Untuk mengetahui hubungan anatara karekteristik variable independen
(pendidikan, pengetahuan, sikap perokok, riwayat kontak, kepadatan
hunian, ventilasi) dengan kejaidan TB Paru UPT Puskesmas Peninggalan
Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2022
digunakan taraf signifikan yaitu a (0,05).
a. Apabila p ≤ 0,05 = ada hubungan antara karekteristik variabel
independen dengan kejadian TB Paru di UPT Puskesmas Peninggalan
b. Apabila p > 0,05 = Tidak ada hubungan antara karekteristik variabel
independen dengan Kejadian TB Paru di UPT Puskesmas Peninggalan

Ketentuan yang berlaku pada uji Chi-square yaitu:

1) Bila tabelnya 2 x 2 , dan tidak ada nilai E<5, maka uji yang dipakai
sebaiknya “ Continuty Correction”.
2) Bila tabelnya 2 x 2 , dan tidak ada nilai E<5, maka uji yang dipakai
sebaiknya “ Fisher’s Exact Test”.
3) Bila tabelnya 2 x 2 , maka digunakan uji “Person Chi-square).
Analisis Bivariat juga digunakan untuk menghitung nilai Odd Ratio
(OR) untuk mencari besar resiko variabel independen yang diteliti.
Menghitung nilai Odd Ratio (OR) pada tingkat kepercayaan 95% dengan
menggunakan tabel 2x2. Nilai besarnya Odds Ratio ditentukan dengan
rumus diatas, dimana :

a. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor


resiko (kausatif)
b. Bila OR = 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan
faktor resiko
c. Bila OR < 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor
protektif. (Amanatilla N, 2019)
3. Anaisis Multivariat
Analisis ini dilakukan untuk mrngrtahui hubungan lebih dari satu
variabel independen dangan sat varaiabel dependen. Dalam peneletian, uji
multivariate dilakukan dengan melakukan Uji Regresi Logistic Berganda
karena variabel dependen berupa data kategorik.
a. Uji logistik berganda yang dipakai adalah uji regresi dengan model
prediksi yang bertujuan untuk mendapatkan model yang terdiri dari
beberapa variabel independen yang dianggap terbaik untuk
memprediksi kejadian dependen.
b. Analisis diawali dengan analisis bivariate terhadap masing-masing
variabel independen dengan variabel dependen. Apabila hasil analisis
bivariate menunjukkan v-valeu (sig) ≤ 0,25 maka variabel penelitian
dapat masuk kedalam permodelan analisis multivariate tahap
selanjutnya adalah melakukan pembuatan model untuk menentukan
variabel independen yang paling berhubungan dengan variabel
dependen.
c. Pembuatan model faktor penentu ini dilakukan dengan menggunakan
analasis regresi logistik berganda. Apabila hasil uji menunjukkan
terdapat variabel yang memiliki :
nilai p-value (sig) > 0,05, maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari
permodelan
d. Untuk melihat besaran pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen dilambangkan dengan Beta (β) sehingga dapat menentukan
variabel independen yang paling dominan mempengaruhi kejadian TB
Paru dilihat dari nilai Beta (β) nya:
Jika variabel independen mempunyai nilai β positif semakin menjahui
nol (0) maka variabel tersebut merupakan variabel yang paling
dominan.
DAFTAR PUSTAKA

WHO.Consolidated guidelines on Tuberculosis;2020

Kementrian Kesehatan Republik Indinesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis; 2020

Kementrian Kesehatan Republik Indinesia. Profil Kesehatan Indonesia; 2020

Kementrian Kesehatan Republik Indinesia. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Pusat


Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Tuberkulosis; 2018.

Keputusan Kementrian Kesehatan RI. Tata Laksana Tuberkulosis; 2019.

Peraturantan Menteri Kesehatan Nomor 67 RI. Penanggulangan Tuberkulosis;


2016

Peraturantan Menteri Kesehatan Nomor 1077 RI. Pedoman Penyehatan Udara


Dalam Ruang Rumah; 2011

Departemen Kesehatan RI. Penatalaksaan Tuberkulosis; 2020

Departemen Kesehatan RI. Penatalaksaan Tuberkulosis; 2015

Farrah Fhandhienie dkk; dalam artikel Analisis Faktor Resiko Terhadap Kejadian
Tuberkulosis Di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie; 2020

Agustian Deny, A. S. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan


Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas I Dan
II Kecamatan Pontianak Barat. Departemen Biokimia, Fakultas
Kedokteran Universitas Tnjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat; 2014.

Dinas Kesehatan Sumatera Selatan. SIMATA Sumsel;2019.

Dians Kesehatan Musi Banyuasin. Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kabupaten


Musi Banyuasin; 2020

Dinas Kesehatan Musi Banyuasin. Profil Kesehatan Puskesmas Peninggalan


Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin; 2019

Dinas Kesehatan Muba. Profil Kesehatan Puskesmas Peninggalan Kecamatan


Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin; 2020
Dinas Kesehatan Muba. Profil Kesehatan Puskesmas Peninggalan Kecamatan
Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin; 2021

Notoatmodjo. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: 2012.

Sugyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung ; 2016


KUESIONER
ANALISIS KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA
UPT PUSKESMAS PENINGGALAN KECAMATAN TUNGKAL JAYA
KABUPATEN MUSI BANYUASI
TAHUN 2022

Nomor Responden :
Tanggal Pengisian :

Data Demografi Responden


Mohon diisi dan dijawab pertanyaan dibawah ini dengan benar dan lengkap.
1. Nama responden/inisial :
2. Umur :
3. Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan
4. Alamat :
5. Pendidikan Terakhir :
Tidak Sekolah SLTA & Sederajat
SD Sarjana (S1) & (S2)
SLTP & Sederajat Lainnya
(Sebutkan) : . . . . . . . . . . . . .
6. Merokok
Ada Tidak ada

1) Pengetahuan
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan centang (√)
No Pertanyaan Benar Salah
1. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri Mikrobakterium
tuberkulosa
2. Bakteri mikrobakterium tuberkulosa merupakan
penyebab penyakit tuberkulosis paru
3. Gejala yang dirasakan penderita tuberkulosis/TB
Paru adalah batuk ≥ 2 minggu dan diertai
demam
4. Nyeri dada, sesak nafas dan batuk berdarah
adalah gejala yang dirasakan penderita TB Paru
5. Badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun bukan merupakan gejala-gejala
dari TB Paru
6. Penyakit ini dapat ditularkan melalui percikan
ludah dan bersin penderita TB Paru
7. Minum obat dengan teratur bukan termasuk
kedalam pencegahan TB Paru
8. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin
termasuk kedalam pencegahan TB Paru
9. Pencegahan penyakit TB Paru dengan cara tidak
meludah sembarang tempat.
10. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan
makanan yang bergizi termasuk kedalam
pencegahan penyakit TB Paru

2) Sikap perokok
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan centang (√)
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu merokok

3) Kontak erat
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan centang (√)
No Pertanyaan Benar Salah
1. Sebelum anda menderita tuberkulosis paru
apakah dalam keluarga anda ada yang
mengalami gejala Tuberkulosis paru seperti :
batuk berdahak ≥ 2 minggu, batuk darah, nyeri
dada yang menahun?
2. Jika ya, anda serumah dengan penderita
tersebut ?
3. Sebelum anda menderita tuberkulosis paru
apakah anda mempunyai teman atau tetangga
yang mengalami gejala Tuberkulosis paru seperti
: batuk berdahak ≥ 2 minggu, batuk darah, nyeri
dada yang menahun?
4. Anda pernah berhubungan atau kontak langsung
dengan penderita?

4) Kepadatan hunian
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan centang (√)
No Pertanyaan Benar Salah
1. Apakah Luas rumah yang
ditempati saudara/saudari ≥ 8

2. Apakah Luas rumah yang
ditempati saudara/saudari ≤ 8

3. Apakah 2 orang yang tinggal
dalam satu rumah
4. Apakah Lebih dari 2 orang
yang tinggal dalam satu rumah
5) Ventilasi
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan centang (√)
No Pertanyaan Benar Salah
1. Apakah kamar saudara/saudari mempunyai lubang
ventilasi ?
2. Apakah saudara/saudari Tinggal > 2 orang dalam
satu kamar ?
3. Apakah anda membuka ventilasi dan jendela
setiap pagi setiap hari?

Anda mungkin juga menyukai