Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Penyakit menular adalah penyakit yang disebut juga infeksi; yang dapat menular ke manusia

dimana disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit; bukan

disebabkan faktor fisik atau kimia; penularan bisa langsung atau melalui media atau vektor dan

binatang pembawa penyakit. Penyakit menular masih menjadi masalah besar kesehatan

masyarakat yang dapat menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga

perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan

pemberantasan yang efektif dan efisien. Salah satu penyakit menular adalah Tuberculosis

(Rumah Sakit Krakatau Medika, n.d.).

Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi hingga saat ini masih menjadi perhatian bagi seluruh

masyarakat dunia termasuk Indonesia karena dapat menyebabkan kematian, infeksi tersebut

paling sering menyerang jaringan paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit

tuberculosis ini dapat menyerang semua usia dengan kondisi klinis yang berbeda-beda atau tanpa

dengan gejala sama sekali hingga manifestasi berat. Tuberculosis menjadi penyakit menular yang

masih menjadi perhatian dunia. Sampai sekarang ini belum ada satu negara pun di dunia yang

bebas dari tuberculosis (Kementrian Kesehatan, 2011).


Pada tahun 2020 WHO memperoleh data sekitar 1,5 juta orang meninggal akibat Tuberculosis,

ada 214.000 orang diantaranya dengan HIV. Tuberculosis adalah penyebab kematian terbesar ke-

13 di dunia dan penyakit menular penyebab kematian terbesar kedua setalah COVID-19.

Diperkirakan 10 juta orang menderita Tuberculosis di seluruh dunia. 5,6 juta laki-laki, 3,3 juta

perempuan, dan 1,1 juta anak-anak. Tuberculosis ada di semua negara dan pada segala kelompok

usia. Namun Tuberculosis ini dapat disembuhkan dan dapat dicegah. Dari 30 negara dengan

beban Tuberculosis yang tinggi menyumbangkan 86% kasus Tuberculosis baru. Dua pertiga

jumlah ini berasal dari delapan Negara, dengan India sebagai penyubang terbesar,diikuti

Tiongkok, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Secara global,

insiden Tuberculosismenurun sebesar 2% per tahun, dan antara tahun 2015 dan 2020, terjadi

penurunan komulatif sebesar 11%. Antara tahun 2000 dan 2020, diperkirakan sebanyak 66 juta

nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan (World Health Organization, 2020)

Menurut laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2021, terdapat 385.295 kasus TBC

yang ditemukan dan diobati di Indonesia sepanjang 2021. Jumlah tersebut turun 2,04% dari

tahun sebelumnya. Pada 2020, tercatat jumlah kasus Tuberculosis yang ditemukan dan diobati

sebanyak 393.323 kasus. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah kasus Tuberculosis memiliki tren

yang fluktuatif. Pada 2011, misalnya, penyakit Tuberculosis yang ditemukan dan diobati

sebanyak 321.308 kasus. Kemudian, jumlahnya cenderung meningkat pada tiap tahun berikutnya

hingga mencapai 570.289 kasus pada 2018. Kasus Tuberculosis baru mulai menurun pada 2019

menjadi 568.997 kasus. Lalu, angkanya kembali merosot pada 2020 dan 2021 (Kemenkes RI,

2021).
Pada tahun 2020 Kesehatan (Dinkes) Bandar Lampung mencatat, jumlah Tuberculosis mencapai

777 kasus. Angka kasus tersebut terhitung sejak bulan Januari hingga Juni 2020. Sementara di

tahun 2019 terdapat 3.485 kasus. Pada bulan Januari terdapat 210 orang, Februari 192, Maret

219, April 72, Mei 70, Juni 15 orang. Jadi total 777 kasus (Dinkes Provinsi Lampung, 2020)

Di Pringsewu sendiri dari awal Januari hingga Maret 2022 telah tercatat sebanyak 109 kasus

pasien TBC yang saat ini masih dalam proses penanganan penyembuhan oleh pihak kesehatan

Pringsewu. dan itu sudah termasuk semua kategori baik dewasa, orang tua dan lainnya. Lalu dari

total tersebut 4 orang pasien diantaranya mengalami Resistence Obat (RO) dan 105 lainnya

Sensitif Obat (SO). Sementara itu, pada tahun 2021 Dinas Kesehatan Pringsewu mencatat kasus

TBC sebanyak 564 kasus dengan tingkat kesembuhan mencapai 93% (Dinas Kesehatan

Pringsewu, 2022) .

Penyakit Tuberculosis akan semakin parah dan menimbulkan komplikasi apabila tidak

dilakukan penanganan dengan benar. Komplikasi tuberculosis dapat diklasifikasikan menjadi dua

yaitu komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Gangguan yang termasuk dalam komplikasi dini

diantaranya adalah: pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis, dan usus. Sedangkan Gangguan

yang termasuk dalam komplikasi lanjut diantaranya yaitu: obstruksi jalan napas hingga sindrom

gagal napas dewasa (Sudoyo, 2014).


Sifat Tuberculosis yang mematikan tentu perlu melibatkan banyak aspek untuk bisa menurunkan

angka penularan termasuk keterlibatan seluruh unsur keluarga. Saat ini Kementrian Kesehatan

mecanangakan Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga yang salah satu

indikatornya adalah mengenai penderita Tuberculosis yang mendapatkan pengobatan sesusai

standar (Gustina, 2018).

Kemandirian keluarga adalah kemampuan dan inisiatif keluarga dalam mengenal dan mengatasi

masalah kesehatan secara mandiri. Menurut Friedman (1998) secara umum keluarga harus

mampu melaksanakan lima tugas kesehatan yaitu : 1) Mengenal masalah kesehatan setiap

anggotanya. 2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarganya.

3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat membantu

dirinya sendiri karena cacat atau usia yang terlalu muda. 4) Mempertahankan suasana dirumah

yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5)

Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan

fasilitas kesehatan yang ada).

Penelitian menurut Ardi (2012) perilaku kesehatan keluarga terbentuk dari tiga faktor, yaitu : 1)

Predisposing factors yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai

nilai. 2) Enabling factors yang terwujud dalam lingkungan fisik dan sarana (fasilitas) kesehatan

dan 3) Reinforcing factors yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.
Penelitian ini sejalan dengan Gustina (2016) dengan pendekatan Cross Sectional, bertujuan

untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian penderita

Tuberculosis Kota Bengkulu. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar factor beyond

health dan sebagian besar faktor dukungan pemerintah dengan tingkat keamandirian 2, sehingga

menunjukan hasil bahwa ada hubungan antara beyond health dengan tingkat kemandirian

penderita/keluarga dan ada hubungan faktor dukungan pemerintah kegiatan protecting dengan

tingkat kemandirian keluarga penderita TB.

Senada dengan penelitian Al-Hijrah et al., (2022) tentang pendidikan kesehatan terhadap tingkat

kemandirian keluarga dalam merawat penderita TB di wilayah kerja puskesmas Lembang. Jenis

penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan penelian cross sectional. Hasil

penelitian disimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kemandirian

keluarga dalam merawat penderita TB paru.

Perbedaaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi dan tahun penelitian. Hasil

prasurvey didapatkan penderita Tuberculosis di Puskesmas Wates pada tahun 2021 yaitu 44 dan

meningkat pada tahun 2022 sebanyak 67 penderita. Untuk sekarang di Puskesmas Wates tidak

didapatkan lagi penderita Tuberculosis BTA Positif, karena pemeriksaaan sudah beralih dengan

menggunakan TCM (Tes cepat molekuler). Hasil wawancara dengan keluarga pasien TB

didapatkan bahwa sebagian besar penderita TB yang sudah mandiri dan sudah mampu mengikuti

instruksi dari petugas dengan mengikuti arahan dari pemegang program TB. Namun masih ada

penderita TB yang terlambat datang ke Puskes untuk mengambil obat. Hal tersebut menandakan
bahwa pasien atau keluarga belum memahami perawatan pasien TB salah satunya adalah

meminum obat secara teratur. Dari data tersebut peneliti tertarik mengambil judul “Hubungan

antara sosial ekonomi dengan tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di

Puskesmas Wates”.

B. Rumusan Masalah

Tuberculosis hingga saat ini masih merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian bagi

seluruh masyarakat dunia termasuk Indonesia karena dapat menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil prasurvey yang peneliti lakukan didapatkan data penderita di Puskesmas

Wates meningkat dari tahun 2021 sebanyak 44 penderita dan 2022 sebanyak 67 penderita.

Dari hasil tersebut peneliti tertarik mengambil judul hubungan antara sosial ekonomi dengan

tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di Puskesmas Wates.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi dengan

tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di Puskesmas Wates.

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi responden apakah pendidikan berhubungan

dengan tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di Puskesmas

Wates.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi responden apakah pekerjaan berhubungan

dengan tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di Puskesmas

Wates.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi responden apakah pendapatan berhubungan

dengan tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis di Puskesmas

Wates.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Lingkup materi

Ruang lingkup penelitian ini adalah variabel independen sosial ekonomi berhubungan

dengan tingkat kemandirian keluarga dan variabel dependen keluarga penderita

Tuberculosis di Puskesmas Wates.

2. Lingkup sasaran

Sasaran penelitian adalah responden Tuberculosis di Puskesmas Wates.

3. Lingkup tempat

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Wates.


E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat membantu tingkat kemandirian keluarga pada pasien

Tuberculosis dan sebagai sumber refrensi berkaitan dengan hubungan antara sosial

ekonomi dengan tingkat kemandirian keluarga pada penderita Tuberculosis.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan pustaka berkaitan

dengan hubungan antara sosial ekonomi dengan tingkat kemandirian keluarga pada

penderita Tuberculosis di Puskesmas Wates.

3. Bagi Masyarakat

Menjadi refrensi untuk penelitian selanjutnya dengan berbagai variabel yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hijrah, M. F., Irwan, M., Rika Kurnia Kandacong, & Sherly. (2022). Pendidikan Kesehatan
Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga Dalam Merawat Penderita TB di Wilayah Kerja
Puskesmas Lembang. INSOLOGI: Jurnal Sains Dan Teknologi, 1(2), 87–95.
https://doi.org/10.55123/insologi.v1i2.229
Ardi. (2012). Konsep Kemandirian, Fakultas Psikologi UIN SAKA.
Dinas Kesehatan Pringsewu. (2022). Dinas Kesehatan Prinsewu.
Dinkes Provinsi Lampung. (2020). Data Dinkes Provinsi Lampung.
Friedman, M. . (1998). Keperawatan Keluarga. EGC.
Gustina, M. (2016). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Tingkat Kemendirian
Penderita/Kelurga Tuberkulosis Paru. 9(1), 99–106.
Gustina, M. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kemandirian
Penderita/Keluarga Tb Paru. Jurnal Media Kesehatan, 9(1), 99–106.
https://doi.org/10.33088/jmk.v9i1.298
Kemenkes RI. (2021). Kementrian Kesehatan.
Kementrian Kesehatan. (2011). TBC Masalah Kesehatan Dunia. www.depkes.go.id.
Nurlamsyah. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Keluarga dalam
Merawat Pasien Diabetes Melitus Tipe ll di Wilayah Kerja Puskesmas Teppo Pinrang.
Volume 4 Nomor 1 Tahun 2014 .ISSN : 2302-1721.
Rosidin, Shalahudin, S. (2018). Hubungan Kemandirian Keluarga dengan Perawatan Hipertensi
pada Keluarga Binaan Puskesmas Sukaresmi Garut. Jurnal Keperawatan BSI, Vol No.1
April 2018.
Rumah Sakit Krakatau Medika. (n.d.).
Sudoyo. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 6th edn.
world Health Organization. (2020).

Anda mungkin juga menyukai